II. TINJAUAN TEORI DAN STUDI DAMPAK INFRASTRUKTUR
2.1.
Tinjauan Teori Pada bab ini dilakukan tinjauan teori dan studi empiris mengenai dampak
infrastruktur terhadap output sektoral, agregat dan perekonomian regional. Penjelasan
diawali
dari
konsep
infrastruktur
beserta
pembiayaan
dan
penyediaannya, teori pertumbuhan ekonomi regional, kebijakan penyediaan infrastruktur antar wilayah dan keterkaitan infrastruktur dengan tingkat dan distribusi pendapatan. Selanjutnya dilakukan tinjauan berbagai studi empiris sebelumnya yang relevan untuk mendapatkan justifikasi dan pembuktian empiris mengenai dampak infrastruktur baik studi dinegara lain maupun Indonesia. 2.1.1. Konsep Infrastruktur Infrastruktur dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Tidak ada suatu kesamaan pandangan antar lembaga, antar negara atau antar disiplin ilmu terhadap konsep ini. Para ahli ekonomi memandang infrastruktur sebagai sumberdaya kapital yang digunakan dalam aktivitas konsumsi dan produksi, sementra World Bank (1994) mengemukakan: Infrastructure is umbrella term for many activities referred to as “social overhead capital” by such development economists as Paul Rosenstein Rodan, Ragner Nurkse, and Albert Hirschman. Neither term is precisely define, but both encompass activities that share technical features (that as economics of scale) and economic features (such as spillovers from users to nonusers). Infrastruktur menurut lembaga tersebut mencakup utilitas publik (energi listrik, telekomunikasi, pipa penyalur air, sanitasi dan saluran kotoran, pembuangan dan pengumpulan limbah padat, dan pipa gas), pekerjaan publik
18 (jalan, dam dan saluran irigasi dan drainase), dan sektor-sektor transportasi (kereta api kota dan antar kota, angkutan darat kota dan antar kota, pelabuhan angkutan air, dan landasan pacu pesawat udara). Akatsuka dan Yoshida (1999) juga memandang infrastruktur dasar berupa transportasi, energi, dan telekomunikasi sebagai barang publik. Ketiganya dipertimbangkan sebagai social overhead capital dan berperan sebagai fondasi bagi aktivitas-aktivitas ekonomi dan industri. Lebih jauh dikemukakan bahwa social overhead capital mencakup: (1) kapital yang berfungsi secara tidak langsung untuk meningkatkan kapasitas produksi bagi kapital produktif. Ini berbeda dengan kapital produktif yang berperan langsung sebagai penentu kapasitas produksi; (2) kapital yang fungsinya esensial bagi kesehatan masyarakat, tetapi penyediaannya tidak selalu dapat dilakukan melalui mekanisme pasar karena karakteristiknya yang dapat dikonsumsi secara kolektif atau tidak dapat dikecualikan; dan (3) kapital yang diharapkan disediakan oleh entitas publik, bukan perusahaan swasta. Social overhead capital dipertimbangkan sebagai pelayanan khusus yang dapat disupplai secara ekslusiv dalam mana manfaatnya bagi wilayah atau masyarakat lebih besar dari pada pengguna individu (external economy). Sebagai alternatif, social overhead capital dapat dipandang sebagai fondasi bagi peningkatan standar kehidupan, penggunaan lahan nasional secara lebih baik, dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Manfaat penyediaan infrastruktur terhadap peningkatan pertumbuhan, penurunan kemiskinan, dan perlindungan lingkungan hidup, hanya dapat terjadi apabila infrastruktur dapat merespon permintaan efektif dengan menyediakan pelayanan yang efisien. Pelayanan yang efisien kepada pengguna, baik konsumen maupun produsen, merupakan sasaran aktual dari
19 penyediaan infrastruktur atau sebagai ukuran utama dari keberhasilan penyediaan infrastruktur. Tidak jauh berbeda dengan kedua konsep sebelumnya, Hyman (1996) juga memandang infrastruktur sebagai barang kapital dengan menekankan pada aspek phisiknya sebagai berikut: Government supply a considerable amount of capital used in production. A nation’s phisical infrastructure is its transportation and environmental capital including its schools, power and communication networks, and health care system. Selanjutnya dikemukakan bahwa penyediaan infrastruktur oleh pemerintah melengkapi dan memperbaiki produktivitas kapital privat. Keberadaan jalan dan jembatan yang lebih baik menghemat waktu perjalanan dan membuat kendaraan pribadi dan truk lebih produktif. Landasan pacu dan sistem kontrol lalu lintas udara memperbaiki kinerja dan keamanan angkutan udara. Prasarana jalur angkutan pantai (intracoastal waterway) seperti pelabuhan, pintu air, dan dam membuat angkutan air menjadi lebih produktif. Fasilitas saluran pembuangan menghasilkan biaya produksi yang lebih rendah bagi aktivitas bisnis dan membantu perbaikan lingkungan hidup. Khusus di NSB penyediaan dan perbaikan infrastruktur pertanian telah meningkatkan produktivitas input yang digunakan dalam aktivitas pertanian. Banister
dan
Berechman
(2000)
secara
singkat
mendefenisikan
infrastruktur sebagai kapital tahan lama (durable capital) pada suatu kota, wilayah atau negara, yang lokasinya tetap. Kay (1993) diacu dalam Banister dan Berechman (2000) telah mengemukakan beberapa karaktersitk infrastruktur. Pertama, jasa yang disumbangkan oleh infrastruktur berdimensi spasial yang dimanifestasikan oleh struktur jaringannya seperti jaringan jalan raya dan rel kereta api. Akan tetapi di sisi lain manfaat jasa yang dihasilkannya tidak dapat
20 dibatasi secara spasial. Kedua, dari dimensi spasial, fasilitas infrastruktur seperti transportasi merupakan monopoli alamiah pada suatu wilayah yang luas dalam mana biaya per unitnya akan menurun dengan meningkatnya output yang dihasilkan, pada suatu kapasitas tertentu. Ketiga, fasilitas infrastruktur memiliki karkteristik barang publik, yakni pengecualian pasar tidak layak dilakukan dilihat dari aspek biaya, sosial, dan alasan-alasan legal. Keempat, fasilitas infrastruktur adalah barang durable dalam mana biaya yang ditanamkan (sunk cost) bertahan dalam jangka waktu yang lama pada suatu tempat tertentu. Kelima, infrastruktur tidak dapat dibagi-bagi sehingga biaya investasi kapital awal yang diperlukan menjadi sangat tinggi, demikian juga biaya penambahan kapasitas dan pemiliharaannya. Keenam, fasilitas infrastruktur memiliki kecenderungan menciptakan
eksternalitas
sosial
dan
lingkungan,
baik
melalui
lokasi
keberadaannya atau melalui jasa yang dihasilkannya. 2.1.2. Karakteristik Barang Publik dan Penyediaan Infrastruktur Penyediaan infrastruktur oleh pemerintah atau pihak privat ditentukan oleh karakteristik
konsumsi
masing-masing
jenis
infrastruktur.
Berdasarkan
karakteristik konsumsinya, seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian dapat dibedakan atas barang privat (private good) dan barang publik (public good). World Bank (1994) mendefenisikan barang privat sebagai barang yang penggunaannya bersaing dan memiliki sifat pengecualian. Konsumsi barang
privat
oleh
seorang
pengguna
akan
menurunkan
ketersediaan
penawarannya bagi pengguna lain, dan seorang pengguna dapat mencegah konsumsi barang yang sama oleh pengguna lainnya sehingga barang ini hanya dapat memberikan manfaat bagi seorang pemakai tunggal pada suatu waktu tertentu. Sebaliknya, barang publik tidak memiliki satupun dari kedua sifat tersebut baik persaingan atau pengecualian dalam penggunaannya.
21 Berdasarkan pengelompokan barang atas barang privat dan barang publik, maka sumber-sumber ekonomi yang ada dalam suatu perekonomian teralokasi untuk memproduksi kedua jenis barang tersebut. Secara sederhana alokasi sumberdaya untuk menghasilkan barang privat dan barang publik dapat diilustrasikan dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi (Possibility Production Curve=PPC) seperti ditunjukkan pada gambar 1. Kurva ini menggambarkan kemungkinan produksi dua jenis barang dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada dalam suatu perekonomian (full emplloyment). Apabila sumberdaya dialokasikan untuk menyediakan barang privat sebanyak OPr1 maka sumber daya yang tersisa akan digunakan untuk menyediakan barang publik sebanyak OPu1. Alokasi ini menghasilkan penggunaan sumber daya yang optimal di titik Q1. Setiap perubahan alokasi akan menggeser posisi penggunaan sumber daya yang optimal disepanjang garis PPC. Andaikan produksi barang publik diturunkan menjadi OPu2, maka umber daya yang digunakan untuk menghasilkan barang privat akan meningkat sehingga produksi barang privat naik menjadi OPr2. Perubahan alokasi tersebut menyebabkan bergesernya posisi penggunaan sumber daya yang optimal ke titik Q2. Barang Publik
PPC
Q1
Pu1
Q2
Pu2
Barang Privat
0
Pr1
Pr2
Gambar 1. Kurva Kemungkinan Produksi Sumber: Myles (2001)
22 Barang publik dapat dibedakan lagi menjadi barang publik murni (pure public good) dan barang publik tidak murni (inpure public good). Myles (2001) mengemukakan, jika barang publik dapat mengakomodasi dan memberikan manfaat bagi sejumlah pengguna pada waktu yang bersamaan dan seorang individu tidak dapat mengecualikan individu lainnya dari penggunaannya, maka barang tersebut dikatakan barang publik murni. Jika pemakaian barang publik dalam waktu yang sama dapat menyebabkan terjadinya kepadatan (congestion) maka barang tersebut digolongkan sebagai barang publik tidak murni. Berdasarkan sifatnya, barang publik murni menurut Myles memiliki dua karakteristik utama yaitu non-exludability dan non-rivalry. Karakteristik pertama menyatakan bahwa barang publik tidak memiliki sifat pengecualian, artinya seseorang atau sekelompok masyarakat tidak dapat melarang orang, rumah tangga atau sekelompok masyarakat lainnya untuk menggunakan barang tersebut. Meskipun secara teknis pengecualian dapat dilakukan, namun biaya yang diperlukan kemungkinan menjadi sangat besar dan pengecualian tersebut mengakibatkan penggunaan barang publik menjadi tidak efisien. Tidak ada tambahan biaya yang diperlukan untuk setiap tambahan satu orang pengguna terhadap barang publik tersebut. Implikasinya, konsumsi barang publik murni tidak dapat dilakukan secara efisien melalui suatu sistem harga atau perekonomian kompetitif murni, karena tidak ada rumah tangga yang dapat dilarang dari penggunaannya apabila barang tersebut telah tersedia. Karakteristik kedua menyatakan bahwa penggunaan barang publik tidak bersaing, setiap konsumen, rumah tangga atau anggota masyarakat dapat menggunakannya secara bersamaan pada waktu yang sama tanpa mengurangi nilai utilitas yang diperoleh setiap penggunanya. Dengan kata lain, konsumsi barang publik oleh seseorang atau sebuah rumah tangga tidak akan menurunkan
23 kuantitas yang tersedia untuk dikonsumsi bagi orang atau rumah tangga yang lainnya. Berdasarkan sifat non-rivalry dapat disimpulkan, jika diinginkan, semua rumah tangga dapat secara bersama-sama mengkonsumsi barang publik pada tingkat dimana jumlah konsumsi tersebut sama dengan total penawarannya. Apabila semua rumah tangga bersedia mengkonsumsi, untuk memaksimumkan kepuasannya, tingkat kesejahteraan setiap rumah tangga bergantung pada total barang publik yang disediakan. Realitasnya, tidak mudah untuk menemukan barang yang memenuhi kedua persyaratan non-excludability dan non-rivalry secara tepat. Barang publik cendrung mengalami kepadatan ketika jumlah pemakaiannya cukup besar. Barang publik yang memiliki sifat demikian merupakan barang publik tidak murni. Utilitas yang diperoleh setiap pengguna dari barang publik tidak murni merupakan fungsi yang meningkat terhadap tingkat penawarannya dan suatu fungsi yang menurun terhadap jumlah penggunanya. Artinya semakin besar jumlah penyediaannya semakin tinggi utilitas yang dapat diningmati setiap penguna, sebaliknya semakin banyak jumlah penggunanya seamakin kecil utilitas yang dapat diperoleh setiap pengguna. Pengklasifikasian
infrastruktur
menjadi
infrastruktur
publik
dan
infrastruktur privat berkaitan erat dengan pengkategorian barang atas barang publik dan barang privat seperti yang telah dikemukan di atas. Klasifikasi infrastruktur tersebut tidak berkenaan dengan kepemilikan barang. Tidak ada persoalan yang berarti tentang siapa pemilik fasilitas infrastruktur, karena pada akhirnya jasa infrastruktur digunakan oleh semua individu. Bagaimana preferensi setiap individu dalam mengkonsumsi jasa infrastruktur dan bagaimana kesediaan konsumen tersebut membayar kompensasi kepada pihak penyedia merupakan indikator kunci dalam pembuatan keputusan penyediaan infrastruktur.
24 Karakteristik konsumsi akan menentukan luasnya cakupan dan permintaan jasa infarstruktur dan menjadi kunci untuk menggerakan investasi dalam bidang infrastruktur. Derajat pengecualian konsumsi jasa infarstruktur juga akan menjadi penentu siapa pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakaannya. Tingkat pengecualian yang lebih tinggi dalam penggunaannya berarti bahwa besarnya tingkat harga yang harus dibayar untuk menggunakan infrastruktur akan menetukan siapa yang dapat mengakses jasa tersebut. Jasa-jasa infarstruktur yang tingkat rivalitas penggunaannya sangat tinggi berarti terdapat kompetisi yang lebih besar diantara pengguna untuk memperoleh hak pelayanan sehingga harga yang bersedia dibayar atas pelayanan tersebut juga menjadi lebih tinggi. Pada kasus jenis infrastruktur seperti ini pihak privat akan tertarik untuk berpartisipasi dan bersedia melakukan investasi dalam pembiayaannya. Karakteristik konsumsi jasa infrastruktur seperti yang dikemukakan di atas memiliki implikasi yang luas terhadap penyediaannya. Infrastruktur yang memiliki karakteristik barang publik murni seperti infrastruktur pengendalian banjir tidak akan menimbulkan daya tarik bagi pihak privat untuk ikut berinvestasi, karena tidak memungkinkan untuk melakukan pungutan atas penggunaannya. Penyediaannya tidak dapat dilakukan melalui mekanisme pasar bersaing sehingga umumnya diambil alih oleh perusahaan monopoli alamiah yang bersifat legal (natural monopoly) dan pengelolaannya dilakukan langsung oleh pemerintah. Pada kondisi demikian, pembiayaan penyediaan infrastruktur sebagian besar bergantung pada alokasi angaran pengeluaran pembentukan kapital publik oleh pihak pemerintah baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pada kasus jasa infrastruktur yang karakteristik konsumsinya tergolong barang privat atau barang kelompok dimana kepadatan dalam penggunaannya dapat terjadi seperti jalan tol maka pembebanan pungutan atas penggunaannya
25 sangat memungkinkan untuk dilakukan. Pengembalian investasi yang lebih wajar dari pembebanan pungutan tersebut akan menarik minat pihak privat untuk terlibat dalam penyediaannya. Pada kasus ini telah memungkinkan terjadinya kerjasama antara pihak pemerintah dan privat atau pihak privat sendiri dalam penyediaannya, sehingga peran pasar menjadi semakin penting. Pada kondisi ini, hambatan untuk memasuki pasar dalam penyediaan infrastruktur semakin berkurang. Oleh sebab itu, karakteristik struktur pasar oligopolis atau persaingan akan semakin mencirikan penyediaan jenis infrastruktur tersebut. Menurut World Bank (2005), pada kasus infrastruktur yang persaingan dan kemungkinan pengecualian penggunaannya sangat tinggi maka setiap individu, perusahaan atau kelompok masyarakat dapat ikut serta secara luas dalam penyediaannya tanpa adanya atau dengan hambatan legal yang seminimal mungkin. Dengan kata lain, kebebasan memasuki pasar bagi individu, perusahaan swasta atau kelompok masyarakat merupakan tandingan bagi monopoli legal dalam mana hanya satu perusahaan yang diizinkan untuk menyediakan jasa-jasa infrastruktur. Berdasarkan studi yang dilakukannya, Ehrhardt dan Burdon (2005) mengemukakan bahwa pembatasan persaingan dalam penyediaan infrastruktur didasari oleh kekhawatiran terjadinya resiko duplikasi pemborosan investasi, degradasi lingkungan, dan penurunan sumber dana investasi bagi pihak privat. Akan tetapi pengalaman di sebagian besar NSB, hal tersebut sangat jarang terjadi. Perusahaan monopoli justru tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan gagal menyediakan tenaga listrik dan air bersih untuk kelompok komunitas berpenghasilan rendah dan wilayah marginal. Sebagai alternatif pemerintah menghapus hambatan legal dan memberikan kebebasan bagi individu atau kelompok masyarakat untuk berperan serta atau memasuki pasar (free entry).
26 Melalui kebijakan ini muncul ratusan pendatang baru penyedia infrastruktur berskala kecil yang lebih inovativ, berproduksi dengan biaya yang lebih rendah dan berkelanjutan. Temuan ini menunjukkan adanya fakta yang berkebalikan dengan kebijakan pembatasan persaingan dalam penyediaan infrastruktur ekonomi. Penghapusan hambatan legal ternyata dapat meningkatkan pelayanan jasa infrastruktur publik bagi masyarakat dan perusahaan. Pada kasus Indonesia, penyediaan jasa telekomunikasi dilakukan dalam struktur pasar bersaing dengan meningkatnya keterlibatan pihak privat setelah pemberlakuan UU Nomor 36 Tahun 1999 tetang komunikasi sebagai tindak lanjut dari paket kebijakan deregulasi Mei 1994. Restrukturisasi sektor telekomunikasi melalui undang-undang ini mengandung tiga pokok pembaharuan yang cukup mendasar yaitu: (1) menghapus monopoli dengan mendorong terjadinya persaingan dalam semua kegiatan penyelenggaraan dan mencegah penyelenggara memiliki kekuasaan pasar yang besar dan melakukan tindakan anti-persaingan; (2) menghilangkan diskriminasi dan hambatan bagi swasta besar maupun kecil dan koperasi untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi; dan (3) mereposisi peran pemerintah sebagai pembina dan memisahkannya dari fungsi operasi. Melalui undang-undang ini penyediaan jaringan dan jasa telekomunikasi serta penetapan harga dilakukan melalui mekanisme pasar persaingan. Peran pemerintah bergeser dari operator menjadi regulator
melalui
perumusan
kebijakan,
pengaturan,
pengawasan
dan
pengendalian sektor telekomunikasi. Pemerintah bahkan dapat melimpahkan fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendaliannya kepada badan regulasi khusus. Tidak jauh berbeda dengan dengan infrastruktur telekomunikasi, penyediaan jasa angkutan jalan raya, laut dan udara juga dilakukan dalam struktur
27 pasar yang bersaing setelah pemerintah memberikan ruang gerak yang lebih besar dalam penetapan tarif. Penyediaan energi listrik sebagian bahkan dibangkitkan sendiri oleh perusahaan-perusahaan khususnya sektor industri pengolahan dalam mengatasi kekurangan pasokan listrik oleh PT PLN seperti akan dijelaskan pada bab berikutnya. 2.1.3. Eksternalitas dan Penyediaan Infrastruktur Hyman (1996) mendefenisikan eksternalitas sebagai dampak positif atau negatif yang timbul dari kegiatan produksi atau konsumsi oleh suatu pihak terhadap pihak lainnya tanpanya adanya kompensasi dari pihak yang duntungkan atau pemberian kompensasi kepada pihak yang dirugikan. Keberadaan eksternalitas menimbulkan biaya atau manfaat, tetapi tidak tercermin (tidak termasuk) dalam harga yang terbentuk pada transaksi pasar. Konsekuensinya, sumber daya menjadi dinilai terlalu rendah atau terlalu tinggi dibanding harga pasarnya, sehingga keberadaan eksternalitas menimbulkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Secara umum eksternalitas dikelompokkan atas eksternalitas negatif dan eksternalitas positif. Eksternalitas negatif (disebut juga biaya eksternal) adalah dampak yang merugikan atau pengorbanan yang diderita pihak ketiga, selain pihak yang terlibat dalam transaksi, tetapi tidak tercermin dalam harga pasar. Banjir yang disebabkan oleh deforestasi oleh perusahaan perkayuan untuk memenuhi permintaan industri kayu olahan atau kebisingan yang diderita oleh penduduk yang bermukim disekitar lapangan pesawat udara sebagai akibat interaksi penyedia jasa angkutan udara dan penumpang merupakan contoh eksternalitas negatif dalam mana pihak yang dirugikan tidak memperoleh kompensasi. Sebaliknya eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan
28 bagi pihak ketiga, selain pihak yang terlibat dalam transaksi, tetapi manfaat ekternal tersebut tidak tercermin dalam harga pasar. Pembangunan jalan oleh suatu perusahaan menuju lokasi pabriknya menimbulkan manfaat eksternal bagi penduduk yang berada di sekitarnya, tetapi tidak ada kompensasi yang diterima perusahaan tersebut. Eksternalitas menimbulkan distorsi dalam suatu sistem pasar karena pada tingkat harga yang terbentuk, biaya marginal (marginal cost) tidak sama dengan manfaat marginal (marginal benefit). Pada kasus eksternalitas positif, produsen atau konsumen hanya memperhitungkan tambahan manfaat pribadi yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit output (marginal private benefit=MPBi). Padahal keberadaan eksternalitas positif menghasilkan manfaat yang jauh lebih besar bagi orang lain atau kelompok masyarakat lain (marginal sosial benefit=MSB) dari pada manfaat yang dirasakan secara pribadi, karena adanya manfaat eksternal (external benefit) dari produksi atau konsumsi barang dan jasa tersebut yang tidak diperhitungkan. Setiap penambahan aktivitas produksi atau konsumsi akan menimbulkan tambahan manfaat ekstra (marginal external benefit=MEB) yang diningmati pihak ketiga dari keberadaan eksternalitas positif. Jadi manfaat sosial dari kegiatan produksi atau konsumsi terdiri dari manfaat privat dan manfaat eksternal. Keberadaan manfaat eksternal mengakibatkan tingkat harga pasar tidak sepenuhnya sama dengan tambahan manfaat sosial dari setiap penambahan satu unit barang dan jasa yang menimbulkan eksternalitas positif. Lebih jauh Hyman mengemukakan bahwa produsen atau konsumen tidak memperhitungkan adanya manfaat eksternal yang timbul dari kegiatan produksi atau konsumsi barang dan jasa sehingga dalam kasus eksternalitas positif, manfaat pribadi bagi produsen atau konsumen lebih rendah dari manfaat sosial. Pada pasar
29 yang bersaing sempurna, produsen akan menghasilkan barang dan jasa pada kondisi MSC=MPBi, tanpa memperhitungkan manfaat eksternal yang timbul, sehingga barang dan jasa cenderung dihasilkan terlalu sedikit dan akibatnya alokasi sumber daya menjadi tidak efisien. Kondisi yang efisien hanya akan tercapai jika manfaat eksternal diperhitungkan barsama manfaat pribadi dalam kegiatan produksi, sehingga MSB=MPBi+MEB=MSC. Infrastruktur cenderung menimbulkan eksternalitas positif atau spillover effect, karena keberadaannya memberikan manfaat kepada pihak lain yang tidak terlibat secara langsung dalam penyediaanya. Kondisi yang efisien tidak tercapai jika penyediaannya tidak memperhitungkan manfaat eksternal yang diperoleh pihak lain. Peningkatan penyediaan infrastruktur dapat dilakukan dengan menginternalisasikan keberadaan eksternalitas tersebut. Keberadaan eksternalitas positif
dalam
berbagai
jenis
infrastruktur
membutuhkan
subsidi
jika
penyediaannya dilakukan oleh pihak privat. Hal inilah antara lain yang menjadi landasan keterlibatan langsung pemerintah dalam penyediaan sebagian besar infrastruktur di berbagai negara. Pemerintah terutama mengambil alih penyediaan infrastruktur yang eksternalitas positifnya cukup tinggi seperti penyediaan infrastruktur jalan raya, pengairan atau bendungan dan energi listrik. Walaupun keterlibatan pemerintah seringkali juga gagal mewujudkan efisiensi penyediaan infrastruktur seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Keberadaan eksternalitas positif yang melekat pada infrstruktur telah mendapat perhatian sejak tahun 1990-an yang mengakibatkan terjadinya pergeseran dalam studi sektor ekonomi publik dari peran pengeluaran pemerintah terhadap
stabilitas
pertumbuhan
jangka
pendek
ke
perannya
terhadap
pertumbuhan jangka panjang (Patnaik, 2008). Wangs (2002) misalnya menganalisis interrelasi antara ekspansi infrastruktur publik dan pertumbuhan
30 produksi sektor swasta serta mengidentifikasi efek eksternalitasnya untuk tujuh perekonomian negara Asia (Jepang, Hongkong, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand dan Taiwan) periode 1979-1998. Kerangka kerjanya berisikan dua versi model dinamis dua sektor yang masing-masing sektor (sektor investasi publik dan sektor produksi privat) diasumsikan menciptakan spillover effect terhadap yang lainnya. Pada versi pertama, studi ini mengasumsikan bahwa sektor infrastruktur publik menciptakan spillover effect terhadap sektor privat, sementara pada versi kedua berlaku hubungan sebaliknya. Keberadaan eksternalitas atau spillover effect diakomodasi dengan mengasumsikan kontribusi kapital publik terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi secara langsung melalui peningkatan penyediaan infrastruktur selain daripada perannya sebagai input langsung dalam fungsi produksi agregat. Tidak jauh berbeda dengan Wangs, Hulten (2003) membedakan dampak infrastruktur terhadap industri manufaktur melalui dua jalur. Pertama, jasa transportasi dan tenaga listrik diperhitungkan sebagai bagian dari input intermediat variabel dalam fungsi produksi. Peningkatan kapasitas jalan atau tenaga listrik akan menurunkan biaya produksi karena biaya yang dikeluarkan untuk jasa transportasi dan tenaga listrik menjadi lebih rendah. Efek ini disebut sebagai market mediated effect dari infrastruktur terhadap output industri. Kedua, peningkatan stok kapital infrastruktur akan meningkatkan efisiensi yang didorong oleh keberadaan eksternalitas yang menimbulkan spillover effect. Studi
lainnya dilakukan oleh Patnaik (2008) yang melihat dampak
eksternalitas kapital publik melalui efek perubahan kebijakan fiskal terhadap kondisi pertumbuhan mantap dalam jangka panjang (long run steady state rate of growth) di India. Studi ini memasukkan berbagai mekanisme untuk melihat pengaruh kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan jangka panjang. Efek kebijakan
31 fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, menurut studi ini dapat terjadi baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran. Berdasarkan analisis yang dilakukan dari sisi penawaran menggunakan model pertumbuhan endogenus, studi ini menunjukkan adanya efek yang sangat kuat dari keberadaan eksternalitas kapital publik terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang di India. 2.1.4. Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional Proses pertumbuhan ekonomi wilayah bersifat kompleks dan terkait dengan berbagai aspek analisis lainnya dalam suatu wilayah. Secara umum fokus kajiannya berkisar diseputar analisis teoritis mengenai proses dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi wilayah dan perdebatan mengenai apakah proses pertumbuhan ekonomi wilayah akan menuju pada kondisi yang semakin berimbang (konvergen) atau semakin timpang (divergen), serta penjelasan tentang bagaimana keterlibatan pemerintah dalam proses pertumbuhan tersebut. 2.1.4.1. Teori Tahapan Pembangunan dan Penyediaan Infrastruktur Dinamika historis proses pembangunan dikemukakan pertama kali oleh Rostow (1969) yang membagi pertumbuhan ekonomi ke dalam lima tahapan yaitu masyarakat tradisional, prasyarat lepas landas, lepas landas, masa kedewasaan dan masa konsumsi masal. Pada perkembangan terakhir, teori ini lebih menekankan pada pola perubahan struktural secara sequensil yang relevan dengan proses pembangunan territorial pada semua tingkatan perekonomian, nasional, regional atau lokal. Capello (2007) telah mengidentifikasi tahapan proses pembangunan tersebut sebagai berikut: 1.
Autarki,
yaitu
tahap
awal
proses
pembangunan
dimana
aktivitas
perekonomian lokal masih bersifat self-sufficient dalam sistem subsisten.
32 2.
Spesialisasi, yaitu tahap pembangunan yang dicirikan oleh pengembangan infrastruktur transportasi yang memungkinkan meningkatnya perdagangan barang-barang pertanian dan perekonomian lokal yang berspesialisasi dalam produksi barang-barang primer.
3.
Transformasi perekonomian lokal dari aktivitas pertanian ke industri sebagai hasil dari peningkatan prosesing produk-produk primer (pertanian dan pertambangan) sejalan dengan pertumbuhan populasi yang mendorong berkembangnya sektor jasa konstruksi bangunan.
4.
Diversifikasi aktifitas manufaktur karena meningkatkan permintaan barangbarang intermediat, pertumbuhan pendapatan, dan konsukensi dari munculnya sektor-sektor baru untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sebagai akibat tumbuh dan meningkatnya populasi secara terdisversifikasi.
5.
Tersierisasi, yaitu meluasnya aktivitas tersier dalam merespon pertumbuhan yang sedang terjadi ke sistem industri yang lebih maju. Pada kasus negara sedang berkembang, teori ini menekankan pentingnya
pertumbuhan simultan pada berbagai sektor dan pembangunan infrastruktur dalam sutau proses pembangunan yang berimbang (balanced development) di segala bidang. Proses pembangunan demikian memiliki sejumlah keunggulan dan menghasilkan ekternalitas, terutama bersumber dari increasing return pada level territorial dan dapat berperan sebagai mesin pertumbuhan bagi perekonomian lokal. Peran paling signifikan dari proses pembangunan berimbang adalah munculnya eksternalitas yang tercipta dari: (1) keberadaan interdependensi antar sektor melalui keterkaitan input-output yang menjamin terselenggaranya pembangunan perekonomian lokal secara lebih luas jika terdapat suatu pergerakan pertumbuhan awal pada suatu sektor tunggal, oleh Rostow disebut sebagai leading sector pada tahap lepas landas; (2) interdependensi antara permintaan dan
33 penawaran
yang
menciptakan
proses
pembangunan
kumulatif
berbasis
pertumbuhan suplai yang sejalur dengan struktur preferensi konsumen lokal; dan (3) peningkatan investasi dalam berbagai infrastruktur untuk mengintegrasikan proyek-proyek terpilih berbasis kebutuhan atau permintaan infrastruktur lokal. Investasi dalam infrastruktur transportasi menjadi sangat penting karena ekspansi pasar dapat dikontrol oleh perusahaan-perusahaan lokal. Dilihat dari fungsinya, infrastruktur merupakan penunjang kegiatan sektorsektor lainnya dan membantu pencapaian pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara efisien untuk menghasilkan output yang optimal di sisi penawaran. Menurut penganut teori pembangunan berimbang, hal ini membutuhkan penyediaan overhead social capital dan overhead economic captal atau infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi secara bersamaan. Pertumbuhan ekonomi secara serentak akan memperluas kesempatan kerja dan menciptakan sumber pendapatan serta meningkatkan permintaan berbagai barang dan jasa yang dihasilkan setiap sektor, sehingga terbentuklah keberimbangan sisi penawaran dan permintaan (Jhingan, 1990). Kebutuhan penyediaan infrastruktur sangat bergantung pada tahapan yang dicapai oleh proses pembangunan. Pada tahap awal proses pembangunan, peran jasa infrastruktur sebagai “the promoting sectror” lebih menonjol daripada perannya sebagai “the servicing sector”. Sebagai sektor pendorong sektor lainnya, infrastruktur selalu dibangun mendahului pembangunan sektor-sektor lainnya. Jaringan jalan misalnya harus disedikan mendahului suatu proyek industri, perluasan dermaga pelabuhan didahulukan dari pabrik yang menghasilkan produk ekspor. Pada kondisi ini, nilai ekonomi bersih yang diperoleh dari investasi dalam penyediaan prasarana pengangkutan tidak layak untuk dibandingkan dengan nilai ekonomi yang mungkin dapat diperoleh dari jumlah investasi yang sama pada
34 sektor atau aktivitas ekonomi lainnya. Pemerintah lebih berperan dalam penyediaan prasarana dan sarana publik pada tahap ini.
Peran infrastruktur
sebagai sektor penghasil jasa akan kelihatan jika kegiatan ekonomi telah berjalan secara rutin, sehingga membutuhkan jasa infrastruktur lebih besar. Seorang investor sudah mulai melakukan perhitungan nilai ekonomi yang dapat dihasilkannya dari investasi pada sektor infrastruktur dan investasi pada sektor ekonomi lainnya. Olah sebab itu, pada tahap ini peran perusahaan swasta dan pasar dalam penyediaan jasa infrastruktur seperti jasa angkutan juga semakin besar. Akatsuka dan Yosshida (1999) telah menjelaskan keterkaitan antara tahapan pembangunan dengan penyedian infrastruktur di Jepang. Pengalaman empiris di negara ini menunjukkan bahwa investasi dalam bidang infrastruktur meningkat cepat terutama pada fase industrialisasi. Bila dilihat per jenis infrastruktur, elastisitas PDB negara ini terhadap lalu lintas angkutan barang menurun dari satu periode ke periode berikutnya dalam jangka panjang, namun, elastisitas PDB terhadap investasi sektor transportasi meningkat melebihi elastisitas angkutan barang setelah periode perang dunia ke-2. Gambaran ini menunjukkan bahwa peningkatan investasi yang tinggi setelah perang dunia ke-2 terkait erat dengan pemulihan sektor transportasi yang dilakukan secara cepat pada periode tersebut. Berbeda dengan sektor transportasi, elastisitas PDB terhadap total supplai energi relatif konstan, namun elastisitas PDB terhadap energi listrik menurun hingga tahun 1965 bersamaan dengan menurunnya elastisitas PDB terhadap investasi dalam energi listrik. Pada periode berikutnya elastisitas PDB terhadap investasi
listrik
meningkat
kembali
secara
cepat
yang
mencerminkan
meningkatnya produktivitas sektor energi listrik pada fase kebangkitan
35 industrialisasi di Jepang. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh sektor telekomunikasi yang elastisitas PDB-nya menurun terhadap jumlah sambungan telepon tetap hingga periode 1954-1965, namun meningkat kembali pada periode berikutnya sebelum kemudian menurun sejak tahun 1975. Elastisitas PDB terhadap investasi bidang telekomunikasi juga menurun hingga periode menjelang perang dunia ke-2, namun meningkat cepat pada periode setelah perang, sebelum turun kembali pada periode berikutnya. Gambaran ini memperlihatkan bahwa penyediaan infrastruktur dasar di negara Jepang telah meningkat sangat pesat selama periode industrialisasi setelah negara ini melakukan pemulihan ekonomi dari kehancuran yang terjadi pada saat perang dunia ke-2. Pada tahap lebih lanjut ketika perekonomian Jepang telah mengalami perkembangan lebih pesat, elastisitas PDB terhadap infrastruktur ternyata menurun kembali yang mengindikasikan
berlakunya fase diminishing return dalam penyediaan
infrastruktur. Teori tahapan pembangunan memiliki sejumlah fitur penting dari proses pembangunan wilayah dan resultannya pada tingkat perekonomian nasional. Teori ini telah menjelaskan secara eksplisit peran spesialisasi produksi berbasis increasing return pada produktivitas faktor dan terbentuknya eksternalitas dalam konteks pembangunan secara berimbang dan peran infrastruktur dalam penciptaan spesialisasi, peningkatan produksi dan perluasan pasar bagi perusahaanperusahaan lokal. 2.1.4.2. Pendekatan Sentralitas dan Periprealitas Pendekatan ini dikemukan pertama kali oleh Walter Isard’s (1954) dengan teori
potensi
pembangunannya
dan
analisis
barycentric
location
pada
perekonomian Eropa yang dikemukkan H. Giersch (1949) dan selanjutnya
36 dekembangkan
oleh
J.
Friedman
(1966)
dalam
teorinya
mengenai
underdevelopment. Pendekatan sentralitas/periperalitas (centrality/periperality approach) menekankan faktor jarak dari pusat aktivitas ekonomi sebagai penyebab lambannya pembangunan suatu wilayah seperti dijelaskan oleh Capello (2007). Teori ini memandang wilayah sentral berperan sebagai faktor pendorong perkembangan pembangunan bagi dirinya sendiri, sementara wilayah periperalitas justeru menghambat perkembangannya. Akses terhadap informasi, pengetahuan teknologi, saluran pemasaran barang-barang dan pasar bagi faktor-faktor produksi merupakan prasyarat yang diperlukan bagi pertumbuhan pasar lokal, sementara periperalitas memerlukan biaya transportasi yang lebih tinggi bagi barang-barang jadi, barang-barang setengah jadi, dan bahan mentah; biaya yang lebih tinggi terhadap akuisisi informasi; dan keterlambatan mengadopsi inovasi yang keseluruhannya memperlambat pertumbuhan pendapatan dan daya saing. Model ini menurut Capello telah bekerja dengan sangat baik di Eropa, dimana suatu kekuatan telah berkembang dan pusat industri berteknologi tinggi telah terbentuk sepanjang waktu di wilayah pusat, berlawanan dengan wilayah yang lebih periperal, kurang dinamis dan terbelakang. Wilayah Mediteranian, juga Nordic atau wilayah-wilayah Eropa Barat lainnya mencatat level pembangunan lebih rendah daripada wilayah-wilayah pusat. Tujuan Uni Eropa adalah mengkover wilayah-wilayah kurang maju ini, yang seluruhnya periperal secara geografis. Pada beberapa kasus tidak selalu pusat geografis pada suatu negara menjadi pusat aktivitas ekonominya. Amerika Serikat merupakan negara yang wilayah pusatnya kurang berkembang dan wilayah-wilayah periperal secara geografis yang berlokasi di wilayah pantai merupakan aktivitas ekonomi utama yang berkembang jauh lebih pesat dan tingkat sejahteraan masyarakatnya relatif
37 lebih tinggi. Hal yang sama juga ditemukan di negara China dimana wilayah pantai berkembang jauh lebih pesat dibanding wilayah pedalaman (Demurger, 2001). 2.1.4.3. Model Basis Ekonomi Teori tahapan pembangunan menggambarkan proses awal pembangunan regional
dengan
menekankan
pentingnya
peran
sektor
pemimpin
dan
infrastruktur, sementara teori sentralitas/periperialitas menjelaskan peran pusat geografis dalam proses pembangunan wilayah. Model basis ekonomi merupakan salah satu model pertumbuhan ekonomi sisi permintaan yang menginvestigasi determinan pembangunan ekonomi dan mekanisme yang memungkinkan suatu sistem tumbuh dan mencapai tingkat output lebih tinggi, pendapatan per kapita lebih besar, pengangguran lebih rendah, dan tingkat kesejahteraan lebih tinggi dengan menekankan peran ekonomi sektoral pada suatu wilayah. Model ini membedakan aktivitas perekonomian suatu wilayah menjadi sektor basis (basic sector) dan sektor non-basis (non-basic sector). Sektor basis adalah sektor yang kinerjanya terutama bergantung pada pengaruh kondisi ekonomi eksternal terhadap perekonomian lokal, sementara sektor non-basis adalah sektor yang kinerjanya terutama bergantung pada kondisi ekonomi internal wilayah itu sendiri (Fujita et al., 2001 dan McCann, 2001). Suatu industri dikatakan sebagai industri basis ekspor (export-base) apabila sebagian besar outputnya dipasarkan di luar wilayah tersebut, yaitu pada tingkat nasional atau pasar global. Pada sisi lain, aktivitas ekonomi yang melayani konsumen lokal seperti perdagangan eceran, tempat rekreasi, jasa-jasa legal, real estate, pendidikan, dan kesehatan, dikelompokkan sebagai sektor non-basis. Berdasarkan pengelompokan tersebut, total pendapatan (atau total
38 kesempatan kerja) (T) dalam perekonomian suatu wilayah merupakan penjumlahan pendapatan yang berasal dari sektor basis (B) dan sektor non-basis (N) (Richardson, 1979 dan McCann, 2001), atau: T = B + N .................................................................................................(2.1)
Jadi persamaan ini menunjukkan bahwa pendapatan sektor non-basis semata-mata ditentukan oleh total pendapatan yang tercipta di dalam perekonomian wilayah tersebut (N=nT), sehingga: T = B + nT ................................................................................................(2.2)
dimana n merupakan koefisien yang merepresentasikan sensitivitas penciptaan pendapatan pada sektor non-basis terhadap total pendapatan wilayah. Pendapatan sektor basis terutama ditentukan oleh permintaan ekspor produk industri basis oleh perekonomian wilayah lain atau luar negeri. Peningkatan pendapatan sektor basis akan meningkatkan permintaan terhadap produk non-basis sehingga sekaligus meningkatkan sensitivitas penciptaan pendapatan pada sektor non-basis. Jadi, keterkaitan antara sektor basis dan non basis dapat dipresentasikan sebagai hubungan liner berikut: n = n0 + n1 B ..............................................................................................(2.3)
Substitusi persamaan (2.3) ke persamaan (2.2) dan manipulasi matematis secara sederhana akan menghasilkan besaran pengandaan yang menunjukkan besarnya peningkatan total pendapatan sebagai akibat peningkatan pendapatan dalam sektor basis, sebagai berikut:
⎛ 1 + n1T ⎞ ⎟⎟ ....................................................................................(2.4) ΔT = ΔB⎜⎜ ⎝ 1 − n0 ⎠ Ini berarti bahwa peningkatan total pendapatan bergantung pada kenaikan pendapatan sektor basis dan tingkat total pendapatan wilayah. Implikasinya
39 adalah bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersifat progresif akan semakin sensitif terhadap pertumbuhan sektor basis apabila total pendapatan suatu wilayah semakin besar atau size of the region meningkat. Model basis ekspor dapat memberikan penjelasan dan pemahaman proses pertumbuhan ekonomi regional secara sederhana, namun model ini tidak mempertimbangkan kemungkinan kendala yang muncul bagi keberlanjutan aktivitas industri basis dalam jangka panjang karena keberadaan diseconomies of agglomeration (McCann, 2001). Hal ini sejalan dengan pemikiran Tibout (1956) yang mengemukakan keraguannya terhadap model basis ekonomi. Skala disekonomi dapat terjadi sebagai akibat semakin langkanya sumberdaya, peningkatan sewa tanah, dan upah tenaga kerja. Lebih jauh Tibout mengemukakan keraguannya terhadap peran sektor basis sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi wilayah karena kemungkinan sebagian besar pendapatan ekspor digunakan untuk impor barang-barang mewah, reinvestasi ke ke wilayah bersangkutan yang relatif rendah atau keterbatasan prasarana yang diperlukan. Perkembangan sektor basis dapat juga dibatasi oleh kemajuan teknologi yang merubah komposisi penggunaan input sehingga membatasi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut (Glasson, 1974). Fujita et al. (2001) juga mempertanyakan relevansi teori basis ekonomi baik secara konseptual maupun berdasarkan pengalaman empiris di beberapa wilayah. Secara konseptual, mengikuti Pred (1966), dikemukakan bahwa proporsi pendapatan yang dikeluarkan terhadap produk-produk lokal tidaklah konstan, melainkan bergantung pada ukuran dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Semakin luas zise of the regional economy growth, menjadi lebih menguntungkan untuk menghasilkan produk-produk sektor non basis secara luas, karena pasar menjadi cukup luas untuk mendukung skala pabrik yang efisien. Pengalaman empiris di
40 California misalnya menunjukan bahwa kesempatan kerja pada sektor non-basis mencapai 75 persen dari total kesempatan kerja wilayah. Pada kota-kota kecil keadaannya sedikit lebih berimbang dimana pangsa kesempatan kerja sektor nonbasis mencapai lebih dari separohnya. Ini berarti tidak ditemukan dominasi peran sektor basis pada sebagian perekonomian wilayah. 2.1.4.4. Teori Kutub Pertumbuhan
Teori kutub pertumbuhan (Growth Pole Theory) berbasis pendekatan ekonomi mikro yang diperkenalkan pertama kali oleh ekonom Perancis Francois Perroux pada tahun 1955 dan selanjutnya dikembangkan oleh Jacques Boudeville pada tahun 1964. Ferroux mengemukakan bahwa pembangunan tidak muncul dimana-mana pada waktu yang sama, tetapi terjadi pada titik-titik atau pusat-pusat pembangunan, dengan intensitas yang bervariasi kemudian menyebar melalui jalur yang berbeda dan menghasilkan efek akhir yang beragam terhadap keseluruhan perekonomian. Jadi, Ferroux mempormulasikan teori pembangunan ekonomi lokal dengan mempertimbangkan pertumbuhan secara selektiv pada titik-titik tertentu dalam suatu ruang dimana suatu unit berperan sebagai pendorong (propulsive unit) terjadinya proses pembangunan, berkebalikan dengan konsep pembangunan berimbang Rosentein-Rodan. Perroux mengidentifikasi elemen ini sebagai kejadian tanpa disengaja dalam area suatu perusahaan dominan yang dinamakan industrie motrice. Kapasitas produksi perusahaan ini mempengaruhi tingkat investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lain yang berhubungan dengannya. Disebabkan vigur dan dinamisme teknologinya, respon perusahaan dominan sesuai dengan kebutuhan suatu pasar eksternal yang selanjutnya menciptakan seri efek positif terhadap sektor dan perekonomian secara lebih luas (Capello, 2007). Dengan kata lain, teori ini menyatakan bahwa
41 keputusan yang dibuat oleh perusahaan dominan dalam suatu ruang moneter, mempunyai implikasi finansial bagi perusahaan lain yang terkait dengannya melalui hubungan pengguna-pensuplai antar perusahaan-perusahaan (McCann, 2001). Melalui peran demikian, inovasi teknologi yang dilakukan perusahaan dominan mendorong penurunan harga atau peningkatan kualitas barang dan selanjutnya meningkatkan permintaan eksternal terhadap barang tersebut. Hal ini menstimulasi kenaikan produksi lebih besar yang menciptakan kembali pusat pertumbuhan melalui seri efek positifnya seperti telah diidentifikasi oleh Capello berupa: 1.
Efek penggandaan Keynesian terhadap pendapatan yang secara horizontal mencakup keseluruhan perekonomian. Peningkatan produksi oleh perusahaan dominan memperluas kesempatan kerja pada perusahaan itu sendiri dan perusahaan-perusahaan
koneksinya
yang
selanjutnya
meningkatkan
pendapatan dan konsumsi. 2.
Efek penggandaan ala Leontief yang berhubungan dengan efek keterkaitan input-output antar sektor. Perusahaan-perusahaan dan sektor-sektor utama dari perusahaan dominan memilihara produksinya dan menjadikannya sebagai jalur perluasan pasar. Hubungan diantara perusahaan-perusahaan berperan sebagai jalur transmisi pembangunan yang tanpa keberadaan pusat pertumbuhan, hal ini tidak akan pernah terjadi.
3.
Suatu efek akselerasi ala Harrod-Domar pada investasi perusahaanperusahaan, yang bersumber dari pertumbuhan permintaan terhadap barangbarang
yang
dihasilkan
oleh
perusahaan-perusahaan
dominan
dan
perusahaan-perusahaan koneksi yang menstimulasi investasinya. Peningkatan investasi difasilitasi oleh profit yang lebih tinggi yang menciptakan level
42 investasi kembali (reinvestment) lebih tinggi pada profit yang sama. Efek ini beroperasi secara vertikal melalui perusahaan-perusahaan dominan. Hal ini menghasilkan pembangunan yang bersifat selektiv khususnya pada efek langsungnya sehingga pembangunan terbatas hanya pada sektor-sektor yang dimiliki
perusahaan-perusahaan
dominan
dan
perusahaan-perusahaan
koneksinya. 4.
Efek polarasi seperti dinamakan Perroux sebagai suatu kutub pertumbuhan. Peningkatan permintaan terhadap barang-barang intermediate dan jasa-jasa yang diciptakan oleh perusahaan dominan mempengaruhi perusahaanperusahaan
lain
untuk
berlokasi
didekatnya,
dengan
maksud:
(a)
meminimumkan biaya transportasinya dalam melayani perusahaan pendorong (propulsive firm), (b) memanfaatkan infrastruktur dan fixed social capital yang diaktivasi oleh pusat (pole), (c) memperbaiki manajerial lokal atau keahlian enterprenur yang dihasilkan oleh aktivitas-aktivitas ekonomi yang diciptakan perusahaan dominan dan (d) mengekploitasi permintaan pada tingkat lebih besar yang dihasilkan oleh kesempatan kerja lebih tinggi. Teori ini memuat sejumlah fitur kunci untuk menginterpretasikan proses pembangunan yang diciptakan oleh dinamisme sebuah perusahaan dan keterkaitannya dengan perusahaan lain dan proses pertumbuhan kumulatif yang dihasilkan dari reaksi prilaku rasional oleh sektor-sektor yang tercakup di dalam aktivitas perusahaan dominan. Perroux merupakan ilmuan regional pertama yang mengembangkan teori yang memungkinkan proses pembangunan dilakukan secara selektif, yakni pembangunan terbatas pada sektor-sektor atau area-area tertentu pada suatu wilayah dengan proses kumulatif yang bekerja bagi keunggulan spesifik sektor-sektor atau wilayah tertentu. Melaui pendekatan ini, pertumbuhan tidak harus dan tidak secara otomatis tersebar melalui seluruh
43 sektor-sektor perekonomian dan melalui teritorial nasional dan regional. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan teori pertumbuhan berimbang antar wilayah dan sektor-sektor pemimpin berbeda dengan sektor-sektor basis ekspor pada teori basis ekonomi. Teori kutub pertumbuhan Perroux dapat membantu menjelaskan pembangunan lokal melalui penyebaran hubungan input-output, tetapi teori ini belum secara konkrit menjelaskan dimensi lokal atau lokasi spasial. Keterbatasan ini mendapat perhatian Boudeville (1964) diacu dalam Capello (2007) dengan menjelaskan batas-batas geografis terhadap efek pembangunan positif yang diciptakan oleh industri pendorong. Setelah melakukan pengembangan sederhana terhadap teori Ferroux, Boudenville berhasil mengidentifikasi tiga jalur untuk mendefenisikan batas-batas geografis terhadap efek-efek polarisasi. Hal ini dilakukan dengan menggunakan tiga hipotesis mengenai lokasi geografis aktoraktor yang tercakup dalam proses pembangunan atau geografi dari proses spillover effects positif, yaitu: (1) industri pendorong dan perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengannya terklaster atau terkelompok secara geografis; (2) perusahaan-perusahaan pendorong berlokasi pada suatu kota, sehingga hubungan input-output yang diciptakan pembangunan dapat dihipotesiskan karena beroperasi dalam area kota yang sama; dan (3) efek positif yang diciptakan oleh perusahaan dominan hanya berdampak pada area lokal yang memungkinkan untuk menghipotesiskan ketiadaan keterkaitan pada efek penggandaan pendapatan seperti yang dijelaskan teori basis ekspor, dan untuk menjelaskan bahwa suatu pusat pertumbuhan terjadi ketika efek positif yang dihasilkan perusahaan dominan terbatas pada area lokal. Ketiga hipotesis tersebut merupakan faktor kunci dalam pembangunan bukan interdependensi sektoral semata-mata. Agar pembangunan ekonomi lokal
44 dapat terlaksana, diperlukan suatu konsentrasi spasial dari aktifitas produksi penentu efek positif akhir yang dipengaruhi oleh perusahaan dominan. Poin terakhir ini mempunyai implikasi penting yaitu konsentrasi spasial aktivitas ekonomi merupakan suatu organisasi teritorial terhadap produksi yang menciptakan pembangunan secara lebih efisien dari pada dispersi sapasial. Teori kutub pertumbuhan karenanya merupakan tahap awal ke arah pemahaman ruang sebagai suatu faktor aktiv dalam proses pembangunan. Aktivitas konsentrasi spasial merupakan sumber increasing return pada pembentukan agglomeration economies, localization economies, technological externalities, dan localization learning process. Kelemahan pertama teori kutub pertumbuhan adalah ketidakmampuannya menjelaskan alasan-alasan keberadaan awal industri pendorong pada suatu area. Teori ini mengasumsikan keberadaan industri tersebut sebagai eksogenus, sehingga tidak dapat membedakan efek kutub pertumbuhan yang terbentuk secara alamiah dari efek kutub yang direncanakan melalui kebijakan pertumbuhan yang diperkenalkan oleh pemerintah untuk mendorong aktivitas ekonomi area tertinggal. Kelemahan kedua adalah mengabaikan efek negatif (backwash effects) yang menyertai formasi suatu kutub, teori ini hanya menekankan efek positifnya (spread effects) dan penekanan pada harapan kesuksesan dari kreasi suatu kutub. Keberadaan awal perusahaan dominan atau industri pendorong pada suatu area meningkatkan harga faktor dan upah pekerja yang menimbulkan inefisiensi lokal dalam jangka pendek dan mendorong efek pendesakan (crowding out) terhadap perusahaan-perusahaan lokal. Resultannya (net spillover effect) akan positif setelah berlangsungnya hubungan antara perusahaan dominan dengan bisnis lokal dalam jangka panjang.
45 Teori kutub pertumbuhan akan menjadi kotradiktif ketika diterapkan pada logika normatif. Jika penciptaan kutub pertumbuhan dimaksudkan untuk mendorong area tertinggal, perusahaan dominan semestinya hanya membutuhkan sedikit input lokal pada awal kehadirannya, tetapi hal ini tidak mendorong terbentuknya keterkaitan input-output yang lebih luas antara perusahaan dominan dengan bisnis lokal dalam jangka panjang sehingga tidak menghasilkan net spillover effect yang lebih besar bagi perekonomian lokal. Teori kutub pertumbuhan kemungkinan akan menjadi lebih relevan bagi perekonomian lokal yang memiliki sumberdaya melimpah dan tingkat pengangguran yang tinggi karena tidak berkembangnya aktivitas ekonomi lokal. Kehadiran perusahaan besar akan meningkatkan harga sumberdaya dan menghasilkan sumber penadapatan bagi pekerja lokal, jika perusahaan tersebut mampu menyerap tenaga kerja lokal dan tenaga kerja lokal dapat memenuhi formasi yang diperlukan perusahaan. Ini berarti bahwa kebijakan lokalisasi perusahaan atau relokasi industri pada suatu area tertentu memerlukan intervensi lain, tidak hanya insentif bagi industri tetapi juga dukungan elemen lainnya yang tidak begitu nyata seperti human capital, pengetahuan dan pembelajaran. 2.1.4.5. Teori Alokasi Faktor Antar Wilayah
Teori alokasi faktor antar wilayah merupakan model pertumbuhan regional sisi suplai yang diturunkan langsung dari pemikiran Neo Klasik berkenaan dengan pola mobilitas kapital antar negara pada tingkat perekonomian nasional. Pada perekonomian suatu negara, faktor-faktor produksi memiliki mobilitas internal yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan mobilitasnya antar negara, sehingga sangat memungkinkan terjadinya realoksi faktor antar wilayah. Alokasi sumber daya antar wilayah pada prinsipnya terkait dengan teori keunggulan
46 komparativ pada tingkat regional. Ohlin (1933) dan Glasson (1974) menyatakan bahwa faktor-faktor produksi, terutama tenaga kerja dan kapital akan mengalir dari wilayah yang tingkat imbalannya lebih rendah ke wilayah yang imbalannya lebih tinggi. Proses ini pada akhirnya akan bermuara pada kesamaan tingkat upah dan keuntungan karena semakin langkanya sumberdaya di wilayah miskin dan munculnya kerugian skala (diseconomic of scale) di wilayah kaya. Intervensi pemerintah tidak begitu diperlukan karena konvergensi akan tercipta dengan sendirinya, kecuali apabila terdapat gangguan mobilitas faktor antar sektor dan antar wilayah. Apabila kesimbangan pembangunan antar wilayah merupakan tujuan yang hendak dicapai, maka kebijakan pemerintah berperan untuk mengurangi masalah ketidakmobilan arus faktor produksi tersebut. Proses realokasi sumberdaya antar wilayah dapat dijelaskan secara sederhana dengan mengambil kasus dua wilayah yang menghasilkan komoditas identik dan dapat saling bersubstitusi (model Neo Klasik satu sektor) atau kasus dua wilayah yang menghasilkan produk berbeda dan fungsi produksi yang berbeda (model Neo Klasik dua sektor). Pada kasus pertama, misalkan terdapat dua wilayah A dan B, menghasilkan produk yang dapat saling bersubstitusi secara sempurna,
tetapi
masing-masing
wilayah
memiliki
perbedaan
proporsi
penggunaan kapital dan tenaga kerja di dalam proses produksinya dimana proporsi penggunaan kapital lebih besar di wilayah A dibanding wilayah B sehingga capital labor ratio di wilayah A lebih tinggi dari wilayah B, atau:
KA KB ................................................................................................(2.4) > LA LB dimana KA dan KB masing-masing adalah kuantitas kapital yang digunakan di wilayah A dan wilayah B, dan LA dan LB kuantitas tenaga kerja yang digunakan di wilayah A dan B.
47 Pada situasi tersebut, produk marginal kapital lebih rendah di wilayah A dari pada produk marginal kapital di wilayah B, sedangkan produk marginal tenaga kerja lebih tinggi di wilayah B dari pada wilayah A. Apabila diasumsikan faktor produksi dibayar mengikuti produktivitas marginalnya, profit marginal akan lebih tinggi di wilayah B, sementara tingkat upah lebih tinggi di wilayah A. Jika faktor produksi memiliki mobilitas yang tinggi (freely mobile) antar wilayah, maka kapital akan mengalir dari wilayah A ke wilayah B, sementara tenaga kerja akan bermigrasi dari wilayah B ke wilayah A. Pergerakan kapital dan tenaga kerja akan terus berlangsung selagi masih terdapat perbedaan rasio kapital-tenaga kerja diantara kedua wilayah tersebut. Proses ini baru akan berakhir ketika rasio kapitaltenaga kerja sama pada kedua wilayah, atau: KA KB ..................................................................................................(2.5) = LA LB
Pada posisi keseimbangan, seperti dikemukakan McCann (2001) profit marginal dan tingkat upah sama pada kedua wilayah. Peningkatan proporsi penggunaan tenaga kerja dan pengurangan proporsi penggunaan kapital di wilayah A, dan sebaliknya peningkatan proporsi penggunaan kapital dan penurunan proporsi penggunaan tenaga kerja di wilayah B, dapat meningkatkan output pada salah satu wilayah tanpa mengurangi output di wilayah lainnya sehingga total output nasional tidak terpengaruh dari perubahan distribusi output antar wilayah. Konvergensi produk marginal kapital dan tenaga kerja pada uraian di atas terjadi melalui proses realokasi kedua faktor produksi dalam gerakan yang berlawanan arah diantara kedua wilayah karena produk yang dihasilkan masingmasing wilayah identik dan dapat saling bersubstitusi secara sempurna. Apabila kedua wilayah menghasilkan produk berbeda dan menggunakan fungsi produksi yang berbeda, kemungkinan akan terjadi pergerakan satu arah dari faktor produksi
48 kapital dan tenaga kerja. Pada kasus ini model satu sektor harus dikembangkan menjadi model Neo Klasik dua sektor. Misalkan wilayah A memproduksi output yang cendrung relatif padat kapital, sementara ouput wilayah B relatif padat karya. Jika permintaan output wilayah A meningkat atau permintaan ekspornya naik, tanpa perubahan yang ekuivalen dalam output wilayah B, maka harga ouput wilayah A akan naik dan selanjutnya produksinya meningkat dengan memanfaatkan stok faktor produksi yang ada secara lebih intensif. Mengingat harga output wilayah B tidak berubah, harga output wilayah A sekarang menjadi lebih mahal relatif terhadap harga output wilayah B. Kenaikan harga output wilayah A relatif terhadap output wilayah B, meningkatkan penerimaan marginal produk atas kapital di wilayah A (marginal revenue product of capital = MPKA ), yaitu hasil kali produk fisik marginal atas
kapital (marginal phisical product of capital = MPPKA ) dengan harga output (PA), atau MPKA = ( MPPKA xPA ) . Peningkatan juga terjadi pada penerimaan marginal produk atas tenaga kerja (marginal revenue product of labor = MPLA ), dimana MPLA = ( MPPLA xPA ) . Ini berarti MPK dan MPL di wilayah A lebih tinggi dari
wilayah B, atau: MPKA > MPKB dan MPLA > MPLB . Konsekuensinya, kapital dan tenaga kerja akan mengalir dari wilayah B ke wilayah A karena hasil yang diperoleh di wilayah A lebih tinggi dibanding wilayah B. Perpindahan kapital dan tenaga kerja ke wilayah A meningkatkan kapasitas produksi dan sekaligus meningkatkan suplai output di wilayah ini. Peningkatan suplai menurunkan harga ouput di wilayah A kembali pada harga semula dan selanjutnya menurunkan penerimanan marginal kedua faktor produksi di wilayah tersebut. Pada sisi lain berkurangnya kapital dan tenaga kerja di wilayah B menurunkan kapasitas produksi dan supplai output di wilayah ini, sehingga harga outputnya meningkat.
49 Peningkatan harga output, meningkatkan penerimaan marginal produk kapital dan tenaga kerja di wilayah B. Penurunan harga ouput di wilayah A dan peningkatan harga output di wilayah B pada akhirnya menciptakan konvergensi produk marginal kapital dan tenaga kerja di kedua wilayah tersebut. Proses perpindahan kapital dan tenaga kerja dari wilayah B ke wilayah A akan terus berlangsung hingga produk marginal kedua faktor produksi di kedua wilayah sama besarnya. Jadi Neo Klasik berkesimpulan bahwa proses pertumbuhan ekonomi pada perekonomian kompetitif akan mengarah pada konvergensi antar wilayah secara otomatis sehingga intervensi pemerintah dalam pengaturan alokasi sumberdaya tidak begitu diperlukan. 2.1.4.6. Model Pertumbuhan Regional Kausasi Kumulatif
Proses pertumbuhan ekonomi pada tingkat wilayah juga telah dijelaskan oleh para pemikir Keynesian. Pada tingkat perekonomian wilayah, penjelasan kelompok Keynesian atau post Keynesian dititikberatkan pada penjabaran mengenai apakah kecendrungan divergensi dari jalur pertumbuhan ekuilibrium pada tingkat perekonomian nasional juga terjadi pada tingkat perekonomian wilayah. Model pertumbuhan ekonomi wilayah yang dikembangkan dari pemikiran Keynesian atau post Keynesia telah dijelaskan dengan baik oleh Capello (2007) dan Djojohadikusumo (1995). Model tersebut diantaranya adalah model pertumbuhan kausasi kumulatif (cummulative causation growth model) atau azas sebab akibat yang bersifat kumulatif, yang dipelopori oleh Myrdal (1957) dan Kaldor (1969). Myrdal memformulasikan model yang berlawanan dengan kepercayaan Neoklasik mengenai keberadaan proses spontan re-ekuilibrium pertumbuhan antar wilayah. Model tersebut selanjutnya diformalisasi oleh Kaldor dalam rumusan matematis. Model cummulative causation atau circular causation yang
50 dikembangkannya dimaksudkan untuk menjelaskan persistensi disekuilibrium antar wilayah berdasarkan penelitian empiris mengenai terjadinya siklus yang menguntungkan (virtous sircle) dan merugikan (vicious circle) dalam proses pertumbuhan ekonomi wilayah. Proses kausasi siklus dan kumulatif menurut Myrdal merupakan pergerakan perkembangan penyimpangan kegiatan ekonomi dari keadaan ekuilibriumnya sebagai akibat interaksi diantara berbagai variabel yang saling kait mengait. Apabila pada suatu waktu perkembangan kegiatan ekonomi meninggalkan posisi ekuilibrumnya, maka hubungan sebab-akibat dari interaksi variabel ekonomi akan terasa secara kumulatif yang akan membawa perekonomian semakin jauh dari posisi ekuilibrium tersebut. Konsekuensinya poerekonoimian wilayah lebih kaya tumbuh menjadi semakin kaya, dan wilayah miskin menjadi semakin miskin, jika kekuatan pasar spontan dibiarkan beroperasi sendiri. Hasil yang diperoleh Myrdal dari model yang dibangunnya bertentangan sama sekali dengan pandangan tradisional neoklasik. Perbedaan pertama adalah keberadaan fungsi investasi yang bergantung pada level permintaan riil dan permintaan ekspektasi (teori akselerasi), selain dari pada tingkat pengembalian kapital seperti diasumsikan oleh neoklasik. Kedua, keberadaan increasing return pada level territorial yakni agglomeration economies diciptakan oleh konsentrasi territorial dari aktivitas-aktivitas produktif dan oleh akumulasi pengetahuan yang tekandung di dalam barang-barang kapital, sesuatu yang berlawanan dengan fungsi produksi constant return to scale ala neoklasik. Asumsi ini merupakan dugaan signifikan (kali pertama dalam sejarah pemikiran ekonomi mengenai pembangunan) bagi peran yang harus diberikan untuk increasing return ketika mendefenisikan jalur pertumbuhan ekonomi lokal. Teori ini melepaskan fungsi produksi tunggal dengan teknologi yang sama antar wilayah, seperti
51 diperkenalkan oleh logika neoklasik, dan malahan menerima asumsi lebih realistik bahwa wilayah lebih kaya diberkahi dengan teknologi superior yang sebagian dapat menjelaskan tingkat produktivitas dan daya kompetisinya yang lebih tinggi. Melalui asumsi tersebut, dua proses siklus menguntungkan (virtous sircle) akan terjadi pada wilayah lebih kaya. Wilayah ini menarik pekerja karena tingkat produksinya yang tinggi dan kuatnya permintaan terhadap tenaga kerja. Tidak seperti teori neoklasik yang mengasumsikan faktor-faktor produksi bersifat homogen, teori ini memperlihatkan proses migrasi selektif yang melibatkan lebih banyak human kapital berkeahlian tinggi dan konsekuensinya mengurangi tenaga kerja berkualitas lebih baik di wilayah lemah. Arus migrasi ke wilayah kaya memperluas pasar lokal, menstimulasi investasi baru dan menarik kapital baru dalam siklus yang menguntungkan pada proses pembangunan. Pada waktu yang sama,
konsentrasi
aktivitas
produksi
pada
area
tertentu
menciptakan
agglomeration economies yang menjadikannya area produktivitas dan berdaya
saing tinggi sehingga mendorong pembangunan. Suplai lebih besar yang diciptakan selanjutnya meningkatkan permintaan tenaga kerja (internal dan eksternal) bagi produksi barang-barang lokal, investasi baru, berkembangnya bisnis baru, konsentrasi yang semakin besar, keuntungan lebih besar dari lokasi yang terkonsentrasi, dan lebih jauh meningkatkan produktivitas, dalam suatu siklus permintaan dan penawaran yang menguntungkan wilayah tersebut. Secara berlawanan, wilayah lebih lemah mengalami proses emigrasi, arus keluar kapital, penurunan permintaan internal, dan penurunan produktivitas yang menyebabkan penurunan agglomeration economies. Mengikuti logika model Myrdal, proses tersebut merupakan loncatan menuju disertifikasi penderitaan dan kemiskinan di wilayah lemah. Model Myrdal menetapkan batas-batas evolusi tak terbatas dari proses
52 siklus kumulatif, yaitu suatu batas yang terutama terdapat pada territorial dan faktor-faktor sisi suplai. Suatu proses pembangunan terkonsentrasi dan konstan menciptakan efek penyebaran (diffusion effects) atau spread effects karena kepadatan fisik, kelangkaan faktor-faktor produksi dan peningkatan biaya produksi. Proses penyebaran ini terjadi sebagai akibat kontinyuitas spasial dan selanjutnya penyebaran akses transportasi dan komunikasi atau dapat terjadi melalui rembesan ke bawah melalui ranting hirarki kota atau wilayah. Model Myrdal juga dapat menjelaskan hubungan aktivitas perekonomian antara negara-negara industri maju dengan negara-negara berkembang pada tataran
perekonomian
global
seperti
dijabarkan
dengan
baik
oleh
Djojohadikusumo (1995). Keunggulan-keunggulan yang dimiliki negara-negara atau wilayah-wilayah maju menjadi semakin menonjol secara kumulatif, sementara negara-negara atau wilayah-wilayah tertinggal perekonomiannya akan tetap berada dalam kemiskinan baik secara relatif maupun absolut. Perluasan perdagangan bebas tidak dengan sendirinya dapat mengurangi ketimpangan dan kesenjangan antara kelompok negara-negara maju dengan kelompok negara-negara berkembang. Perdagangan internasional mungkin dapat meningkatkan produksi komoditas primer negara-negara berkembang, tetapi permintaannya di pasar ekspor bersifat inelastis. Negara-negara berkembang juga sulit mengharapkan lalu lintas modal internasioanal karena profit marginal justru lebih tinggi di negara-negara maju dan resikonya relatif lebih rendah dibanding negara-negara berkembang. Kesenjangan antara negara-negara maju dengan negara berkembang terutama bersumber dari ketimpangan tingkat produktivitas. Perdagangan internasional tidak akan membawa ekualisasi pada produktivitas maginal diantara kedua kelompok negara, tetapi justru mengarah pada disekuilibrium yang
53 berlangsung secara kumulatif. Hubungan perdagangan diantara kedua kelompok negara sesungguhnya memiliki kekuatan spread effect yang akan berdampak positif bagi negara-negara berkembang, namun dalam keadaan disekuilibrium yang bersifat struktural, kekuatan backwash effect yang membawa dampak negatif justru jauh lebih besar. Kondisi ini hanya dapat diatasi melalui kebijakan aktif pemerintah untuk melakukan diversifikasi struktur dan pola produksi baik secara horizontal maupun vertikal. Diversifikasi horizontal dapat dilakukan dengan memperluas aktivitas ekonomi pada sektor produksi primer, sekunder dan tersier, sementara diversifikasi vertikal dapat dilakukan melalui pengembangan industri pengolahan yang akan membawa nilai tambah pada produksi dan ekspor negaranegara berkembang. Penyimpangan
yang
berlangsung
secara
kumulatif
seperti
yang
digambarkan di atas, berawal dari kecendrungan proses aglomerasi ekonomi dan keberadaan economies of scale. Aglomerasi ekonomi berkaitan dengan prilaku penentuan lokasi oleh perusahaan atau industri yang cendrung mengelompok atau terkonsentrasi pada suatu wilayah tertentu. Proses aglomerasi bersumber dari adanya tiga macam eksternalitas ekonomi yaitu: internal return to scale, economies of localization, dan economeis of urbanization (Ohlin, 1933 dan Hover,
1937 dan 1948 diacu dalam McCann, 2001). Skala pengembalian internal (internal return to scale) terkait dengan tingkat efisiensi produksi yang dicapai dari ukuran suatu perusahaan yang bersifat ekonomis. Hal ini dapat terjadi karena adanya investasi yang besar pada lokasi tertentu yang disertai arus migrasi atau berkumpulnya tenaga kerja pada lokasi yang sama. Skala ekonomis, karenanya dapat diasosiasikan dengan konsentrasi spasial yang tinggi dari investasi dan tenaga kerja pada suatu wilayah tertentu. Sumber aglomerasi kedua adalah penghematan lokasi (economies of localization) yang terjadi karena berkumpulnya
54 sekelompok perusahaan dalam sektor industri sejenis pada lokasi yang sama. Perkembangan
aktivitas
industri
di
lokasi
ini
selanjutnya
mendorong
perkembangan kegiatan ekonomi disekitarnya dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Sementara sumber aglomersai ketiga adalah penghematan urbanisasi (economeis of urbanization) yang muncul karena berlokasinya suatu perusahaan atau industri di wilayah perkotaan. Proses produksi industri dicirikan oleh increasing retun of scale yaitu penerimaan imbalan yang meningkat secara relatif terhadap biaya per satuan unit produksi. Hal ini berbeda dengan produksi sektor pertanian yang cendrung bersifat decreasing return of scale. Proses produksi industri yang bersifat increasing return bersumber dari peningkatan produktivitas tenaga kerja sebagai
hasil dari akumulasi modal (yang meningkatkan modal per unit tenaga kerja (capital-labor ratio) dan kemajuan teknologi. Proses akumulasi modal bersumber dari investasi dan peningkatan investasi itu sendiri bersumber dari pertumbuhan produksi. Pertumbuhan produksilah yang memungkinkan terjadinya pengerahan investasi, bukan sebaliknya investasi sebagai penyebab pertumbuhan produksi. Pertumbuhan
produksi,
peningkatan produktivitas.
dengan
demikian
berperan
sebagai
pendorong
Inilah yang disebut dengan Verdoorn Law yang
dikemukakan Verdoorn (1949) diacu dalam McCann (2001) yang menyatakan adanya hubungan positif antara tingkat pertumbuhan output dengan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja. Aglomerasi industri mengakibatkan kawasan lokasi industri berkembang lebih cepat dibanding kawasan lainnya. Keberadaan industri yang dicirikan oleh increasing return karena produktivitas tenaga kerja yang tinggi memperkuat daya
saing perusahaan di kawasan industri maju ini dan memungkinkan terjadi perluasan skala produksi yang disertai peningkatan kualitas produksi. Hal ini
55 selanjutnya memperbaiki keunggulan komparatif dan mendorong peningkatan ekspor hasil-hasil produksi industri kawasan industri maju ini. Pertumbuhan produksi dan peningkatan produktivitas yang disertai pengembangan ekspor hasilhasil produksi menimbulkan ketimpangan antara wilayah industri maju dengan wilayah lainnya. Proses ini berlangsung secara kumulatif yang semakin lama menyebabkan ketimpangan yang semakin melebar. Peran aglomerasi dalam proses pertumbuhan wilayah industri maju yang berada dalam kondisi increasing return, telah dikembangkan lebih lanjut oleh Krugman dan Venables (1990), Krugman (1991), Venables (1996) dan Baldwin (1997) yang kemudian melahirkan New Economic Geography (NEG). Kondisi increasing return cendrung terjadi secara berkelanjutan yang bersumber dari
kemajuan teknologi sehingga suatu lokasi industri berkembang dengan pesat dibanding wilayah lainnya bersamaan dengan pertumbuhan industri dan perluasan pasar dari produk-produknya yang menjangkau pasar internasional. Proses aglomerasi perusahaan dan industri seperti dikemukakan Akerman (2003) menghasilkan tingkat pendapatan yang tinggi di wilayah pusat kegiatan industri maju dan berdampak pada meluasnya ketimpangan antara wilayah ini dengan wilayah lainnya. Penjelasan model kausasi kumulatif dan kesimpulan akhirnya searah dengan core-periphery model yang dikemukakan Friedman (1973), Hirschman (1958) dan Myrdal (1957) yang diacu dalam Rhicardson (1979), Hayter et al. (2003) dan Capello (2007). Model core-periphery menjelaskan adanya pola kolonialis dalam arus perpindahan sumber daya (tenaga kerja, kapital, bahan mentah, dan barang intermediate) dari wilayah pusat (core) ke wilayah pinggiran (periphery). Wilayah pusat merupakan pusat perubahan inovasi dan wilayah ini mampu mengontrol wilayah pinggiran. Selama proses pembangunan, divergensi
56 antar kedua wilayah tidak akan hilang dengan sendirinya, malahan akan terjadi akumulasi di wilayah pusat, sementara wilayah pinggiran tetap dalam keadaan miskin. Kondisi ini dapat terjadi karena, dalam pola hubungan kolonialis, kekuatan spread effect yang akan menuju konvergensi lebih kecil dari kekuatan backwash effect yang mengarah pada divergensi. Proses pertumbuhan ekonomi,
dengan demikian tidak akan secara otomatis dapat menciptakan keseimbangan antar wilayah. Penjelasan model Keynesian memperlihatkan bahwa proses aglomerasi ekonomi telah menimbulkan ketimpangan pembangunan antar wilayah yang semakin lama justru akan semakin melebar (divergency) karena adanya kondisi increasing return dalam proses produksi industri dan lemahnya kekuatan spread effect dari wilayah maju ke wilayah miskin. Tidak ada kekuatan otomatis yang
dapat mengatasi divergensi tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok Neo-Klasik. Pengurangan divergensi tersebut melalui kekuatan pasar hanya mungkin terjadi jika kawasan industri maju dapat berperan sebagai pasar bagi hasil-hasil produksi kawasan-kawasan lainnya. Oleh sebab itu, kelompok Keynesian atau post Keynesian berkesimpulan bahwa untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antar wilayah diperlukan intervensi pemerintah secara aktif dengan melakukan berbagai bentuk terobosan untuk mempercepat proses pembangunan khususnya pada wilayah yang relatif tertinggal dibanding wilayah lain yang lebih maju perekonomiannya. 2.1.4.7. Ketimpangan Antar Wilayah
Keseluruhan teori di atas telah menjelaskan proses pembangunan pada tingkat wilayah dengan penekanan peran yang dimainkan oleh sektor-sektor atau industri tertentu dan pola arus alokasi faktor-faktor peroduksi antar sektor dan
57 antar wilayah. Proses tahapan pembangunan yang berlangsung dapat mendorong ekualisasi atau konvergensi antar wilayah menurut pandangan neoklasik, tetapi keadaan sebaliknya akan terjadi berdasarkan pandangan neo-Keynesian. Williamson (1965) telah menjabarkan lebih jauh proses pertumbuhan dan pola disparitas antar wilayah dalam suatu negara. Menurut pandangan Williamson, pertumbuhan dan tidak selalu terjadi secara merata pada semua wilayah seperti halnya yang dikemukakan oleh Ferroux dengan teori kutub pertumbuhannya. Pada tahap awal, proses pembangunan cenderung terkonsentrasi dan terpolarisasi pada area pusat suatu negara. Penyebarannya ke wilayah pinggiran dan sektor-sektor yang relatif lemah hanya terjadi secara subsequen. Konsekuensi dari keberadaan dua bentuk kecepatan pembangunan yang berbeda tersebut adalah meluasnya jurang antar wilayah pada fase awal pembangunan ekonomi di suatu negara, namun kemudian berkurang ketika pendapatan nasional mencapai tingkat tertentu (gambar 2). Meluasnya ketimpangan antara wilayah kuat dan lemah dalam fase awal pembangunan bersumber dari keberadaan efek crowding-out antara wilayah kuat dan wilayah lemah dalam bentuk: (1) emigrasi tenaga kerja skill dari wilayah yang relatif lebih lemah ke wilayah yang lebih kuat; (2) arus masuk kapital ke wilayah kaya karena permintaan yang lebih tinggi, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik, ketersediaan pelayanan dan potensi pasar, dan kondisi lingkungan yang lerbih baik bagi perusahaan; (3) alokasi investasi publik yang lebih besar ke wilayah kuat dalam merespon permintaan potensial dan aktual; dan (4) keterbatasan perdagangan sumberdaya antar wilayah sehingga pada tahap awal, perkembangan yang terjadi di wilayah kaya tidak menghasilkan efek sepenuhnya terhadap wilayah miskin. Sepanjang waktu, proses tersebut semakin memperburuk disparitas
58 regional pada suatu negara hingga mekanisme kerja mulai beroperasi dalam arah berlawanan, misalnya melalui: (1) penciptaan pekerjaan baru pada wilayah kurang berkembang yang menurunkan atau menghentikan emigrasi ke wilayah lebih kaya; (2) menurunnya daya tarik wilayah lebih maju karena kejenuhan pasar dan kepadatan fisik yang selanjutnya meningkatkan sewa tanah dan menurunkan tingkat profit rata-rata; (3) pertumbuhan investasi publik pada wilayah lemah yang mempunyai efek ganda yaitu lahirnya sistem produksi lokal yang memerlukan lebih banyak investasi dalam kapital sosial dan tumbuhnya investasi privat pada wilayah lemah; dan (4) muculnya efek penuh pengaruh wilayah kuat ke wilayah lemah. Pada penilaian kritisnya, menurut Capello (2007) pengalaman empiris mengkonfirmasikan bahwa peningkatan disparitas regional selama fase awal pembangunan suatu negara tidak membuktikan hipotesis mengenai semakin menurunnya perbedaan pertumbuhan secara subsequensil. Teori ini karenanya terlihat terlalu optimistik dalam interpretasinya terhadap disparitas yang berlangsung secara alamiah, bersifat deterministik dan universal. Kemajuan teknologi, perubahan sosial, dan evolusi pengetahuan adalah faktor-faktor yang dapat memberikan keuntungan bagi wilayah maju dengan kapasitas lebih besar untuk menarik kapital dan tenaga kerja dari wilayah lebih lemah, dan memperoleh investasi publik dalam kapital sosial yang lebih modern dan infrastruktur yang lebih maju. Konsekuensinya, garis pembatas decreasing return investasi tercapai pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi di wilayah lebih kaya seperti ditunjukkan oleh pergeseran titik E pada tingkat pendapatan Y ke titik E’ pada tingkat pendapatan Y’ gambar 2.
Disparitas regional
59
E’ E
Y
Y’
Pendapatan perkapita
Gambar 2 Kurva Disparitas Regional Williamson Sumber: Capello (2007) Lebih jauh dikemukakan bahwa seringkali pembangunan pada wilayah lemah terjadi dalam bentuk industri berbasis tradisional yang memerlukan proses produksi non-inovatif dan teknologi standar sebagaimana dinyatakan oleh teori Vernon’s life cycle (Vernon, 1957) diacu dalam Capello (2007). Jurang antara
wilayah pemimpin dan wilayah pengikut, karenanya akan dapat bertahan dalam kurun waktu yang lebih lama baik dalam unsur-unsur kualitatif maupun kuantitatif. 2.1.5. Kebijakan Penyediaan Infrastruktur Antar Wilayah
Teori-teori yang telah dijabarkan di atas memperlihatkan berbagai bentuk proses pembangunan wilayah dan keterkaitan antar wilayah. Salah satu komponen yang berperan penting dalam proses pembangunan tersebut adalah ketersediaan infrastruktur. Arus perpindahan kapital dari wilayah kaya ke wilayah miskin seperti yang dikemukakan Neo-Klasik atau arus sebaliknya berdasarkan paham Keynesian serta proses pembelokan kearah ekualisasi antar wilayah yang dikemukakan Williamson, diantaranya sangat bergantung pada kuantitas dan kualitas ketersediaan infrastruktur pada kedua wilayah tersebut.
60 Semakin baik ketersediaan infrastruktur di suatu wilayah semakin besar daya tarik investasi di daerah tersebut. Oleh sebab itu implementasi kebijakan ekonomi pada tingkat wilayah umumnya lebih banyak ditekankan pada sisi penawaran dalam meningkatkan daya tarik daerah-daerah tertentu sebagai lokasi investasi khususnya wilayah-wilayah yang kurang berkembang atau wilayah tertinggal. Intervensi pemerintah lewat kebijakan wilayah memang cendrung difokuskan pada peningkatan kualitas dan variasi input infrastruktur lokal (McCann, 2001). Azis (1985) mengemukakan bahwa investasi dalam suatu bidang usaha sangat dipengaruhi oleh investasi dalam bidang prasarana dan sarana yang juga menunjang proses industrialisasi di daerah, walaupun perannya terjadi secara tidak langsung. Kondisi infrastruktur pada sebagian besar NSB masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Pada negara NSB sendiri ketimpangan ketersediaan infrastruktur antar wilayah masih sangat menyolok, terutama antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan serta antara pusat ibu kota negara dan sekitarnya dengan wilayah lainnya. Ketimpangan infrastruktur pedesaan dan perkotaan, menurut Shane dan Gale (2004) bahkan menjadi salah satu potensi tekanan ketidakstabilan perekonomian China walaupun negara ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam dua dasawarsa terakhir. Peningkatan
infrastruktur
bahkan
masih
berperan
penting
untuk
mewujudkan keseimbangan pembangunan antar negara di Eropa. Hasil studi Martin (1997) misalnya menunjukkan bahwa penyediaan prasarana transportasi dan telekomunikasi di wilayah yang relatif lebih tertinggal pada perekonomian Eropa bersatu, merupakan peralatan utama untuk mendorong konvergensi pembangunan antar kawasan ini. Pada sebagian besar negara-negara maju kebijakan
wilayah
dimaksudkan
untuk
menciptakan
ekualisasi
tingkat
61 produktivitas antar wilayah. Pada kasus negara Inggris misalnya, dilakukan dengan memperkuat daerah tertekan melalui relokasi industri dari daerah yang lebih maju. Pada kasus Perancis pemerintah melakukan kebijakan ekualisasi dengan mengurangi kecepatan pertumbuhan kota Paris dan mendorong pertumbuhan kota lainnya sebagai wilayah penyeimbang (Healey dan Ilbery, 1990) diacu dalam Takahashi (1998). Disinilah pentingnya peran kebijakan penyediaan infrastruktur dalam suatu negara atau suatu kawasan. Lalu bagaimanakah kebijakan yang harus dilakukan dalam menyediakan infrastruktur baik oleh pemerintah sendiri maupun pihak swasta pada suatu negara? Takahasi (1998) telah melakukan studi dengan memfokuskan kajiannya pada kebijakan optimal dalam penyediaan
infrastruktur antar wilayah untuk
menjawab persoalan tersebut. Studi Takahasi dilakukan dengan mengembangkan model komputasi keseimbangan umum teoritis antar wilayah (interregional computation general equilibrium=IRCGE) untuk kasus dua wilayah yang dicirikan oleh adanya arus
perdagangan dan migrasi diantara kedua wilayah tersebut. Menggunakan pendekatan IRCGE penyediaan infrastruktur pada suatu wilayah tidak hanya akan berdampak terhadap wilayah yang bersangkutan, tetapi juga berdampak terhadap wilayah lainnya melalui suatu mekanisme transmisi yang kompleks. Peningkatan penyediaan infrastruktur pada suatu wilayah akan meningkatkan produktivitas di wilayah tersebut yang selanjutnya meningkatkan produksi dan ekspor wilayah ini ke wilayah lainnya. Peningkatan produksi dan ekspor akan memperbaiki term of trade dan pendapatan rill pekerja pada setiap wilayah. Hal ini akan mendorong
arus migrasi antar wilayah yang selanjutnya berpengaruh terhadap tingkat pendapatan rill serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan pada tingkat nasional.
62 Kebijakan penyediaan infrastruktur secara regional biasanya dimaksudkan untuk mewujudkan ekualisasi tingkat perkembangan kegiatan ekonomi antar wilayah melalui pengalokasian investasi yang lebih besar ke wilayah yang relatif tertinggal. Berlandaskan paham Neo Klasik, seperti telah dikemukakan sebelumnya, kontribusi marginal penyediaan infrastruktur terhadap perbaikan produktivitas lebih kecil di wilayah yang produktivitasnya lebih tinggi, dibanding wilayah yang produktivitasnya lebih rendah. Ini berarti penyediaan infrastruktur di wilayah tertinggal akan menghasilkan tingkat pengembalian investasi (return of public invesment) yang lebih tinggi. Apabila peningkatan produktivitas di wilayah
tertinggal dapat mendorong peningkatan investasi swasta, maka dampak selanjutnya adalah meningkatkan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut yang pada akhirnya akan mengarah pada ekualisasi aktivitas ekonomi antar wilayah. Meskipun demikian, kontribusi marginal yang lebih besar terhadap perbaikan produktivitas di wilayah tertinggal, kemungkinan akan menghasilkan peningkatan pendapatan rill yang lebih kecil pada tingkat nasional daripada yang dapat dicapai jika infrastruktur disediakan lebih besar di wilayah lebih produktif. Inilah tradeoff antara ekualisasi dan pertumbuhan ekonomi yang mungkin terjadi dalam kebijakan penyediaan infrastruktur antar wilayah. Dampak akhirnya sangat tergantung pada mekanisme transmisi perubahan produktivitas pada suatu wilayah ke perubahan kesejahteraan secara keseluruhan. Pada studi yang dilakukannya, Takahasi mempelajari mekanisme transmisi tersebut dan mendiskusikan tingkat dan skema yang optimal dalam penyediaan infrastruktur antar wilayah. Pada model yang dikonstruksinya perekonomian terdiri dari dua wilayah simetri yang memiliki dua jenis barang privat dan satu barang publik yaitu infrastruktur. Pemerintah mengumpulkan pajak terhadap kegiatan produksi sektor privat (yang hanya menggunakanan satu jenis input yaitu
63 tenaga kerja) pada masing-masing wilayah untuk membiayai penyediaan infrastruktur. Penyediaan infrastruktur diasumsikan terdiri dari dua kemungkinan yaitu: (1) skema penyediaan infrastruktur yang didistribusikan secara merata antar wilayah untuk menciptakan ekualisasi tingkat produktivitas atau skema berimbang; dan (2) skema penyediaan infrastruktur yang dikonsentrasikan pada satu wilayah tertentu atau skema polarisasi. Berdasarkan kedua skema tersebut, Takahasi menunjukkan tiga faktor yang menjadi penentu kebijakan penyedian infrastruktur antar wilayah. Faktor pertama adalah derajat substitusi dalam konsumsi. Apabila derajat substitusi konsumsi lebih tinggi, skema berimbang kurang disukai. Penyediaan infrastruktur yang bias ke suatu wilayah tertentu, akan menyebabkan meluasnya perbedaan tingkat harga diantara dua barang. Pekerja dapat mengambil keuntungan dari perbedaan tingkat harga ini dengan mengubah komposisi konsumsinya yaitu mensubstitusi barang yang harganya menjadi relatif lebih mahal dengan barang yang harganya relatif lebih murah. Perilaku konsumsi ini akan membantu menurunkan indeks harga. Semakin tinggi derajat substitusi semakin besar penurunan indeks harga, sehingga penyediaan infrastruktur yang terpolarisasi menghasilkan kerugian yang lebih kecil bagi pekerja dan lebih disukai dalam kebijakan alokasi yang optimal. Faktor kedua adalah derajat increasing return to scale berkenaan dengan input infrastruktur dalam produksi sektor swasta. Apabila derajat increasing return meningkat, skema berimbang kurang disukai dalam kebijakan investasi
optimal. Pada kondisi derajat increasing return yang lebih tinggi, manfaat yang dapat diperoleh dengan menyediakan infrastruktur secara terkonsentrasi juga lebih tinggi. Jadi, wilayah yang berada dalam kondisi derajat incresing return yang lebih tinggi akan memperoleh dana penyediaan infrastruktur yang lebih besar. Faktor ketiga adalah perbedaan keunggulan komparatif wilayah. Apabila
64 infrastruktur disediakan di suatu wilayah secara terpolarisasi, maka pekerja di wilayah tersebut harus menghasilkan sendiri seluruh barang dalam perekonomian. Andaikan wilayah tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan satu barangpun, produksi akan dilakukan dengan menggunakan teknologi inferior. Jika derajat inferioritas teknologi lebih rendah atau perbedaan keunggulan komparatif antar wilayah lebih kecil, skema yang terpolarisasi masih lebih baik dibanding skema berimbang. Semakin besar kesamaan antar wilayah, semakin kurang disukai skema berimbang dalam kebijakan optimal. Gambaran di atas menunjukkan bahwa pilihan kebijakan penyediaan infrastruktur ternyata bukan persoalan yang sederhana. Implementasi setiap kebijakan seringkali sulit dapat mencapai tujuan ganda secara bersamaan yaitu pembangunan yang lebih berimbang antar wilayah dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik secara nasional. Takahasi telah menunjukkan adanya tradeoff antara disparitas dan efisiensi alokasi sumberdaya. Jika kebijakan optmal dimaksudkan untuk mencapai tingkat pendapatan nasional yang lebih tinggi atau kesejahteraan sosial yang lebih baik, maka solusinya adalah skema penyediaan infrastruktur terpolarisasi pada wilayah-wilayah tertentu yang memiliki tingkat produktivitas tinggi. Pilihan ini jelas akan mengakibatkan meluasnya disparitas pembangunan antar wilayah. Kebijakan yang akan dilakukan pemerintah bergantung pada pilihan antara memacu pertumbuhan ekonomi secara nasional atau menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata antar wilayah. 2.1.6. Penyediaan Infrastruktur dan Distribusi Pendapatan
Disparitas pendapatan berkenaan dengan tingkat penerimaan pendapatan individual atau rumah tangga sebagai rasio dari total pendapatan dalam suatu negara. Apabila rumah tangga dikelompokkan menjadi 10 kelompok atau persentil, maka derajat disparitas pendapatan secara ekstrim ditunjukkan oleh
65 rasio antara pendapatan yang diterima oleh 40 persen rumah tangga paling miskin (very poor) dengan pendapatan yang diterima oleh 20 persen rumah tangga paling kaya (very rich). Tingkat disparitas pendapatan dapat diukur dengan menggunakan kurva Lorentz (Loretz curve) dan koefisien Gini (Gini coeficient). Kurva Lorentz merupakan suatu kurva yang menghubungkan persentase kumulatif pendapatan yang diterima oleh individu atau rumah tangga (pada aksis horizontal) dengan pangsa total pendapatan yang diterima oleh setiap persentase penduduk (pada aksis vertikal). Pada Gambar 3, garis diagonal BD menunjukkan keadaan ekualitas sempurna, artinya setiap persen penduduk menerima pendapatan dalam persen yang sama. Kurva Lorentz itu sendiri menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan. Semakin dekat jarak kurva Lorentz ke garis diagonal semakin rendah tingkat ketimpangan pendapatan antar kelompok penduduk, dan sebaliknya. Tingkat ketimpangan tersebut dapat juga dihitung dengan menggunakan koefisien Gini (Gini ratio) yaitu rasio antara bagian luas area A dengan total luas area BCD. Semakin jauh jarak kurva Lorentz ke garis diagonal semakin besar rasio kedua area tersebut sehingga semakin besar nilai koefisien Gininya yang menunjukkan semakin tingginya tingkat ketimpangan pendapatan yang diterima antar kelompok individual atau rumah tangga. Secara teoritis, peningkatan penyediaan infrastruktur akan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro dan pertumbuhan produktivitas sektoral. Akan tetapi proses pertumbuhan ekonomi tidak selalu dapat memperbaiki disparitas pendapatan. Kuznets telah mengemukakan hipotesis mengenai hubungan antara tingkat produk nasional bruto per kapita dengan tingkat disparitas pendapatan yang dicerminkan oleh koefisien gini. Menurut Kuznet hubungan kedua variabel tersebut berbentuk huruf U terbalik seperti ditunjukkan pada gambar 4.
66
Persentase pendapatan
D
B
Koefisien Gini
luas A luas BCD A Kurva Lorentz
Persentase penduduk
C
Gambar 3. Kurva Lorentz
Koefisien Gini
Sumber: Sundrum and Routledge (1990)
0
PNB Perkapita
Gambar 4 Kurva U terbalik Kuznets Sumber: Todaro (2003) Kuznets sebagaimana diacu Williamson (1965), Todaro (2003) dan Gillis et al. (1992), mengemukakan bahwa pada tahap awal proses pembangunan,
pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh meluasnya ketimpangan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Pengurangan disparitas pendapatan baru akan terjadi pada tahap pembangunan selanjutnya dari proses pertumbuhan ekonomi setelah melewati titik tertentu dimana tingkat ketimpangan pendapatan berada pada puncak kurva U terbalik. Apabila pola pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan Kuznets terjadi
67 selama proses pembangunan, maka peningkatan penyediaan infrastruktur dan selanjutnya peningkatan investasi swasta di Negara-negara Berkembang yang sedang melaksanakan proses pembangunan akan diikuti oleh ketimpangan pendapatan yang semakin luas. Oleh karena itu sebagai bagian inti dari intervensi pemerintah dalam mengkonstruksi landasan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka yang lebih penting lagi menurut World Bank (2005) adalah bagaimana menyediakan infrastruktur agar dapat memperbaiki kehidupan sebagian besar masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan atau hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar per hari atau bahkan kurang dari 1 dolar per hari. Selain itu, kebijakan penyediaan infrastruktur juga harus mampu mengurangi kemiskinan secara relatif yaitu memperkecil disparitas pendapatan antara kelompok mayarakat yang berpenghasilan paling tinggi dan masyarakat berpenghasilan paling rendah atau antara penduduk yang bermukim di wilayah perkotaan dengan penduduk yang berada di wilayah perdesaan serta disparitas pendapatan antar wilayah. World Bank (2005) lebih jauh mengemukakan bahwa peningkatan
pendapatan masyarakat miskin dapat terjadi melalui dua cara. Pertama, pendapatan rata-rata meningkat tanpa diikuti oleh perubahan distribusi pendapatan. Kedua, peningkatan pendapatan rata-rata diikuti oleh bergesernya distribusi pendapatan ke arah kelompok masyarakat miskin (pro-poor). Dampak terbesar akan diperoleh apabila pertumbuhan ekonomi disertai dengan distribusi pendapatan yang lebih merata. Apabila umpan balik dari distribusi pendapatan yang lebih baik dapat memperkuat proses pertumbuhan, maka dinamika yang terjadi akan dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan. Semakin besar
68 proporsi pendapatan kelompok miskin terhadap total pendapatan, semakin besar bagian pertumbuhan yang dapat ditransformasikan ke masyarakat miskin. Proses pertumbuhan ekonomi, akan dapat mengurangi kemiskinan absolut, jika pertumbuhan tersebut memiliki basis yang lebih luas. Hasil studi Bank dunia menunjukkan hampir tidak ada negara yang mengalami pertumbuhan signifikan tanpa diikuti oleh pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis lebih luas dapat menurunkan tingkat kemiskinan bahkan mencapai 90 persen. Perbaikan iklim investasi di Cina dan India misalnya, mampu mengurangi kemiskinan secara sangat signifikan. Proses pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara berkelanjutan di Cina, mampu mengangkat 400 juta penduduk ke luar dari kemiskinan. Pembangunan infrastruktur tidak memiliki kaitan langsung dengan kemiskinan dan disparitas pendapatan. Akan tetapi penyediaan infrastruktur menurut World Bank (2004) memiliki kaitan yang berganda terhadap penurunan kemiskinan dan pengurangan disparitas pendapatan. Ketersediaan infrastruktur akan memperluas kesempatan berusaha baik perusahaan besar maupun mikro. Perusahaan-perusahaan yang memiliki akses terhadap jasa telekomunikasi modern, pasokan tenaga listrik yang handal, serta jaringan transportasi yang efisien akan lebih unggul dibanding perusahaan-perusahaan lain yang tidak memilikinya. Perusahaan-perusahaan tersebut akan melakukan investasi yang lebih besar dan lebih produktif sehingga memperluas dan menciptakan kesempatan kerja yang berkelanjutan. Sektor swasta yang bergairah akan memberikan kontribusi pada tingkat upah yang lebih tinggi. Peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan swasta dan usaha mikro, juga akan menurunkan harga berbagai komoditi yang dikonsumsi oleh rakyat miskin. Hal ini akan
69 meningkatkan kemampuan daya beli dan secara langsung memperbaiki tingkat penghidupan sebagian besar masyarakat miskin. Penyediaan infrastruktur yang lebih memadai khsusnya jaringan transportasi yang efisien juga akan meningkatkan akses terhadap berbagai output infrastruktur sosial seperti jasa pelayanan pendidikan dan kesehatan. Selain itu, peningkatan aktivitas produksi dan konsumsi sebagai hasil dari peningkatan investasi pada aktivitas ekonomi yang telah ada dan berkembangnya aktivitas ekonomi yang baru memungkinkan terjadinya perluasan basis pajak. Peningkatan penerimaan pajak melalui perluasan basis, tanpa peningkatan tarif akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar sehingga memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan investasi dalam infrastruktur sosial berupa kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan rakyat. Secara simultan, ini berarti bahwa hal tersebut merupakan jalan keluar dari kemiskinan bagi sebagian besar rakyat kecil. Peran penyediaan infrastruktur dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan juga dikemukakan oleh Timmer (2004). Berdasarkan studinya untuk perekonomian Indonesia, Timmer berhasil merumuskan model pertumbuhan pro kelompok miskin. Studi ini mengemukakan ada tiga tingkatan yang menjadi fokus kebijakan pembangunan dalam jangka panjang untuk mengurangi kemiskinan yaitu: (1) peningkatan kemampuan kelompok masyarakat miskin; (2) penurunan biaya transaksi dalam perekonomian khususnya antara perdesaan dan perkotaan; dan (3) peningkatan permintaan barang-barang dan jasajasa yang dihasilkan kelompok miskin. Ketiga kebijakan ini terkait secara langsung atau tidak langsung dengan investasi dan kualitas infrastruktur ekonomi. Dilihat dari tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan antara
70 masyarakat
perdesaan
dan
perkotaan,
pembangunan
Infrastruktur
dapat
memainkan perannya melalui peningkatan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Menurut Fan (2004), perusahaan-perusahaan di perdesaan cendrung berlokasi di wilayah yang memiliki akses terhadap jaringan transportasi, tenaga listrik, dan telekomunikasi. Jadi, penyediaan infrastruktur memungkinkan pergeseran yang lebih cepat dalam lapangan pekerjaan dari aktivitas pertanian ke non pertanian, membantu menciptakan lapangan pekerjaan baru, dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja di perdesaan. Peningkatan jumlah dan kinerja usaha-usaha mikro akan meningkatkan pangsa pendapatan non pertanian
terhadap
pendapatan
masyarakat
perdesaan,
sehingga
dapat
mempercepat penurunan kemiskinan dan pengurangan disparitas desa-kota. Penyediaan infrastruktur di perdesaan khususnya transportasi jalan raya akan menghemat biaya dan waktu tempuh pengangkutan berbagai komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi masyarakat perdesaan serta meningkatkan mobilitas penduduk yang mempermudah masyarakat desa bermigrasi ke wilayah perkotaan. Infrastruktur perdesaan dapat memperbaiki derajat kesehatan melalui penurunan polusi udara dan emisi, tersedianya sumber air bersih serta peningkatan akses terhadap sekolah, komputer dan penerangan. 2.2.
Tinjauan Studi Dampak Ketersediaan Infrastruktur
Tinjauan teori yang telah dikemukakan di atas memperlihatkan peran penyediaan infrastruktur dalam proses pertumbuhan ekonomi nasional dan wilayah serta pengurangan disparitas pendapatan antar wilayah dan antar kelompok masyarakat. Penjelasan teoritis tersebut telah didukung oleh sebagian besar studi empiris, walaupun sebagian studi lainnya tidak selaras dengan
71 pemikiran teoritis tersebut. Studi mengenai pengaruh akumulasi kapital infrastruktur terhadap kinerja aktivitas perekonomian khususnya terhadap tingkat produktivitas telah banyak dilakukan peneliti sejak akhir tahun 1980-an. Munnell (1992) telah merangkum dengan baik berbagai studi yang telah dilakukan selama periode 1973-1992 pada berbagai tingkatan wilayah perencanaan yaitu nasional (federal), negara (state) dan wilayah metropolitan (metropolitan area). Hasil estimasi koefisien elastisitas output cendrung menurun dari tingkat federal ke tingkat negara dan area metropolitan. Secara umum studi di atas menunjukkan bahwa investasi dan kapital sektor publik berdampak positif terhadap aktivitas perekonomian pada keseluruhan tingkatan perekonomian yaitu federal, negara dan area metropolitan. Penilaian dampak infrastruktur terhadap kinerja perekonomian juga telah dilakukan oleh Morrizon dan Schwartz (1996) yang menerapakan pendekatan fungsi biaya terhadap sektor industri manufaktur pada 48 negara bagian di Amerika Serikat periode 1970-1987. Perekonomian Amerika Serikat diagregasi ke dalam empat wilayah yaitu wilayah utara dan timur (Snowbelt) dan wilayah selatan dan barat (Sunbelt). Berdasarkan nilai bayangannya, studi ini menunjukkan, secara rata-rata dampak langsung investasi infrastruktur terhadap produktivitas bernilai positif yaitu berkisar antara 0.192 persen (bagian utara) sampai dengan 0.622 persen (bagian selatan). Perlambatan pertumbuhan produktivitas di kedua wilayah tersebut, sebagian memang disebabkan oleh terjadinya penurunan investasi infrastruktur relatif terhadap pertumbuhan output. Studi lainnya untuk perekonomian Amerika Serikat dilakukan oleh HoltzEakin dan Schwarrtz (1995) menggunakan pendekatan fungsi produksi neo klasik
72 untuk data panel tingkat lokal-negara periode 1971-1986. Studi ini menemukan dampak yang relatif kecil investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan produktivitas dengan koefisien elastisitas ouput hanya sebesar 0.10. Angka ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan koefisien elastisitas ouput terhadap penggunaan input tenaga kerja. Baffes dan Shah (1998) melakukan studi terhadap produktivitas pengeluaran pemerintah, pilihan alokasi sektoral dan pertumbuhan ekonomi. Studi ini
menggunakan
pendekatan
fungsi
produksi
Cobb-Douglas
yang
dispesifikasikan sebagai fungsi produksi translog. Akumulasi kapital sektor publik dalam studi ini didisagregasi menjadi tiga komponen yaitu infrastruktur, investasi pengembangan sumberdaya manusia, dan stok kapital militer. Analisis data runtun waktu periode 1965-1984 untuk 21 negara-negara berkembang di Afrika, Asia, Eropa dan Timur Tengah, dan Amerika Latin, menunjukkan bahwa investasi sektor publik dalam pengembangan sumberdaya manusia memberikan stimulus yang paling penting terhadap pertumbuhan ekonomi diikuti oleh investasi swasta dan tenaga kerja. Pengeluaran investasi infrastruktur, walaupun berpengaruh positif tetapi koefisien elastisitas outputnya paling kecil pada hampir semua negara. Jadi hasil studi ini selaras dengan temuan Holtz-Eakin dan Schwarrtz untuk kasus perekonomian Amerika Serikat. Wangs (2002) telah menganalisis interrelasi antara ekspansi infrastruktur publik dan pertumbuhan produksi sektor swasta serta mengidentifikasi efek eksternalitasnya untuk tujuh perekonomian negara Asia (Jepang, Hongkong, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand dan Taiwan) periode 1979-1998. Studi ini menunjukkan bahwa infrastruktur publik memiliki hubungan kausalitas yang
73 signifikan dengan ouput sektor swasta, walaupun pengaruh ouput sektor swasta terhadap permintaan infrastruktur publik relatif lebih besar dibanding hubungan sebaliknya. Menurut Wangs, hal ini mengindikasikan perlunya memilihara keseimbangan antara ekspansi infrastruktur publik dengan pertumbuhan sektor swasta untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Isyu yang sangat penting disini adalah bagaimana pemerintah seharusnya mengelola stok infrastruktur yang telah ada. Tidak jauh berbeda dengan studi yang dilakukan Wang, Hulten et al. (2003) secara lebih spesifik melakukan studi dampak infrastruktur jalan raya dan listrik terhadap industri manufaktur di berbagai wilayah di India. Studi ini menemukan bahwa biaya transportasi yang lebih rendah mendorong terciptanya economies of scale dan aglomerasi serta manajemen persediaan yang lebih baik,
sementara itu peningkatan kapasitas tenaga dan distribusi listrik menjamin kelangsungan supplai tenaga listrik dan voltase yang lebih stabil sehingga mesinmesin dalam industri manufaktur dapat bekerja lebih lama. Disamping itu, ketersediaan tenaga listrik akan menurunkan penyediaan tenaga listrik oleh industri manufaktur itu sendiri. Efek yang kedua ini disebut sebagai nonmarket mediated yang diukur sebagai pergeseran unsur efisiensi Hicksian atau perubahan
tingkat produktivitas total dalam fungsi produksi. Studi ini mengukur dampak produktivitas dari kedua efek tersebut dengan menggunakan pendekatan model pertumbuhan ekonomi Solow. Hasil estimasi fungsi produksi industri manufaktur menunjukkan bahwa infrastruktur jalan raya dan tenaga listrik memiliki eksternalitas atau spillover effect dan merupakan bagian yang penting dari pertumbuhan produktivitas industri manufaktur modern pada berbagai wilayah di India.
74 Masih dalam lingkup sektor pertanian, Mamatzakist (2003) memfokuskan studinya pada dampak infrastruktur publik terhadap produktivitas sektor pertanian di Yunani. Studi ini mengkonstruksi model prilaku dan teknologi pertanian Yunani berdasarkan kerangka kerja fungsi biaya dualistik. Model ini mendekomposisi pertumbuhan produktivitas ke dalam komponen perubahan teknis, skala pengembalian dan infrastruktur publik. Hasil estimasi empiris menunjukkan
bahwa
investasi
infrastruktur
publik
menyediakan
suatu
pengembalian hasil dan perkembangan pertumbuhan produktivitas yang signifikan dalam sektor pertanian Yunani. Hasil ini menyarankan bahwa penurunan dalam investasi infrastruktur publik dapat sebagian menjelaskan penurunan pertumbuhan produktivitas dalam sektor pertanian Yunani pada tahun 1980-an. Fan dan Zang (2004) melakukan studi dampak infrastruktur terhadap pembangunan ekonomi regional di pedesaan China. Pada spesifikasi fungsi produksinya, studi ini membedakan sektor ekonomi atas produksi sektor pertanian dan produksi sektor non pertanian. Pada fungsi produksi sektor pertanian variabel yang mempresentasikan infrastruktur adalah luas area irigasi, jumlah staff penelitian dan pengembangan, densitas jalan raya, jumlah pengguna telepon perdesaan per seribu penduduk, dan jumlah tahun mengikuti sekolah untuk penduduk berumur tujuh tahun ke atas. Ketiga variabel yang disebut terakhir juga dimasukkan ke fungsi produksi sektor non pertanian, disamping variabel konsumsi listrik. Menggunakan data tingkat kabupaten, hasil studi ini menunjukkan bahwa infrastruktur perdesaan memainkan peran yang penting dalam menjelaskan perbedaan produktivitas non pertanian perdesaan dibanding produktivitas pertanian. Aktivitas ekonomi non pertanian perdesaan merupakan
75 penentu utama pendapatan perdesaan, karena itu investasi infrastruktur yang lebih besar di perdesaan merupakan kunci untuk meningkatkan pendapatan keseluruhan penduduk perdesaan. Dilihat dari dimensi spasial, tingkat produktivitas yang lebih rendah di wilayah barat dapat dijelaskan oleh rendahnya tingkat infrastruktur perdesaan, pendidikan, dan sain dan teknologi. Hauhgwout (2002) mengkritisi pendekatan fungsi produksi dan fungsi biaya agregat yang digunakan sebagian besar peneliti dalam menjelaskan dampak investasi infrastruktur terhadap produktivitas sektor swasta. Berdasarkan model yang diturunkan dan pengalaman empiris yang dipresentasikan, studi ini menekankan pentingnya investasi infrastruktur dalam mempengaruhi daya tarik relatif suatu tempat untuk lokasi investasi. Infrastruktur memiliki potensi untuk mengarahkan kembali proses pertumbuhan dan mengubah distribusi aktivitas ekonomi antar wilayah. Burman dan Rietveld (1999) melakukan studi dampak penyediaan infrastruktur terhadap perkonomian wilayah dengan memfokuskan perhatiannya pada infrastruktur transportasi dan dampaknya terhadap lokasi industri di Thailand. Berdasarkan tiga jenis infrastruktur transportasi yang di teliti yaitu jalan raya, rel kereta api dan pelabuhan, studi ini menunjukkan bahwa infrastruktur jalan raya dan pelabuhan mempunyai dampak positif terhadap lokasi industri, namun efeknya tidak begitu besar. Supplai tenaga kerja ternyata justru merupakan faktor lokasi yang lebih penting di Thailan dibanding penyediaan infrastruktur. Hal ini tercermin dari pentingnya peran penghematan urbanisasi dan ketersediaan tenaga kerja terampil. Masih dalam lingkup infrastruktur transportasi, Chandra dan Thompson
76 (2000) memfokuskan studinya pada infrastruktur jalan raya antar negara di perdesaan dan melihat efeknya terhadap aktivitas ekonomi di Amerika Serikat. Menggunakan data panel antar negara bagian, hasil studi ini menunjukkan bahwa jalan raya antar negara memiliki dampak yang berbeda antar industri. Jenis-jenis industri tertentu tumbuh sebagai hasil dari penurunan biaya transportasi, tetapi dampaknya mendua untuk jenis industri lainnya. Selain itu, infrastruktur jalan raya mempengaruhi alokasi spasial aktivitas ekonomi regional. Infrastruktur jalan raya meningkatkan aktivitas ekonomi pada negara-negara yang dilalui secara langsung, tetapi aktivitas ekonomi di area yang lebih jauh dari jalan raya terutama wilayah-wilayah non metropolitan tidak banyak mengalami perubahan. Investasi infrastruktur jalan raya mendorong relokasi aktivitas ekonomi ke wilayah-wilayah yang lebih berorientasi pada pengembangan industri manufaktur. Pembangunan jalan raya baru, tidak akan meningkatkan aktivitas ekonomi di wilayah non metropolitan karena aktivitas ekonomi cenderung bergerak menjauhi wilayah perbatasan ke wilayah yang dilalui jalan raya, dan realokasi di suatu negara bagian hanya mengatur kembali struktur industri, tetapi tidak meningkatkan aktivitas ekonomi di wilayah non metropolitan ini. Berbeda dengan kedua studi di atas, Dings dan Haynes (2004) mempelajari peran infrastruktur telekomunikasi terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang untuk 29 provinsi di China periode 1986-2002. Hasil studi ini mendukung hipotesis konvergensi yang menyarankan bahwa wilayah dengan tingkat GDP perkapita lebih tinggi cendrung mengalami pertumbuhan yang lebih lambat. Studi ini juga menemukan adanya korelasi postif infrastruktur telekomunikasi terhadap pertumbuhan GDP perkapita rill regional di China.
77 Dilihat dari persfektif kebijakan publik studi ini menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur telekomunikasi secara efisien dan tepat sangat signifikan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi disparitas regional di China. Feltenstein dan Ha (1999) melihat dimensi lain dari penyediaan infrastruktur publik yaitu menganalisis tingkat penyediaan infrastruktur publik yang optimal untuk perekonomian Meksiko. Studi ini mempertimbangkan tiga jenis infrastruktur fisik yaitu tenaga listrik, jaringan transportasi dan komunikasi. Aktifitas produksi dipisahkan menjadi 16 sektor. Output masing-masing sektor tergantung pada input kapital dan tenaga kerja serta ketiga jenis input infrastruktur tersebut. Hasil estimasi fungsi produksi sektoral memperlihatkan bahwa elastisitas output berkenaan dengan infrastruktur publik relatif tinggi, namun peningkatan pengeluaran untuk infrastruktur yang terlalu cepat ternyata menurunkan manfaat yang dihasilkannya. Manfaat maksimal dari penyediaan infrastruktur justru diperoleh melalui peningkatan pengeluaran kapital publik bersifat modes, walaupun pada tingkat inflasi (inflation cost) dan tingkat bunga yang lebih tinggi. 2.3.
Tinjauan Studi Dampak Infrastruktur di Indonesia
Studi peran kapital infrastruktur di Indonesia belum banyak menarik perhatian peneliti bila dibandingkan studi bidang ekonomi lainnya. Pada tingkat perekonomian
agregat
Yudhoyono
(2004)
telah
memasukkan
variabel
pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ke dalam model persamaan simultan pada studinya mengenai analisis ekonomi politik kebijakan publik pada perekonomian Indonesia. Hasil estimasinya menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran
pemerintah untuk infrastruktur berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja terutama di sektor non pertanian. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur juga dapat mengurangi
78 kemiskinan, namun kurang efektif jika dibandingkan dengan kemampuannya mengurangi pengangguran. Masih pada tingkat ekonomi agregat, Hambali (2007) telah memasukkan tiga variabel kapital infrastruktur dalam studinya mengenai dampak iklim usaha terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yaitu panjang jalan beraspal, daya terpasang listrik dan saluran sambungan telepon. Ketiga variabel ini dimasukkan dalam spesifikasi model ekonometri dengan pendekatan sistem persamaan simultan. Hasil estimasinya menunjukkan bahwa panjang jalan beraspal dan daya terpasang listrik berpengaruh cukup besar terhadap pendapatan nasional, investasi nasional dan investasi asing dengan koefisien elastisitas lebih besar dari satu. Jumlah saluran telepon masih berpengaruh positif, tetapi relatif kecil dengan koefisien elastisitas kurang dari satu. Pada tingkat perekonomian agregat dan antar wilayah, Yanuar (2005) menggunakan GLS fixed effect Model (GLS-FEM) untuk mengestimasi persamaan regresi dalam studinya mengenai kaitan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi output serta dampaknya terhadap kesenjangan di Indonesia. Studi ini menduga fungsi produksi sektor pertanian dan industri untuk perekonomian nasional dan wilayah kepulauan. Pada spesfikasi fungsi produksinya, studi telah memperkenalkan tiga variabel infrastruktur fisik dan dua variabel infrastruktur sosial. Variabel infrastruktur fisik terdiri dari persentase rumah tangga yang mendapat penerangan listrik sebagai proksi infrastruktur listri, panjang jalan beraspal, dan jumlah sambungan telepon. Variabel infrastruktur sosial terdiri atas jumlah tempat tidur di rumah sakit sebagai proksi infrstruktur kesehatan dan jumlah lulusan dan sekolah menengah sebagai proksi infrastruktur pendidikan.
79 Hasil studi Yanuar, menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur fisik dan infrastruktur sosial berpengaruh signifikan terhadap terhadap output. Infrastruktur jalan, telepon, kesehatan dan pendidikan berpengaruh positif terhadap output nasional dan wilayah kepulauan serta KBI dan KTI, namun infrastruktur listrik justeru berpengaruh negatif. Bila dilihat fungsi produksi persektor ekonomi, infarstruktur listrik berpengaruh negatif terhadap kedua sektor pertanian dan industri, namun nilai koefien elstisitasnya lebih kecil di sektor pertanian apabila dibandingkan dengan sektor industri. Infrastruktur jalan beraspal berpengaruh lebih besar terhadap sektor industri dari pada sektor pertanian. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh pengaruh positif infarstruktur telepon yang lebih besar terhadap sektor industri dibanding sektor pertanian. Infrastruktur sosial kesehatan dan pendidikan ternyata berpengaruh lebih besar terhadap output sektor pertanian daripada pengaruhnya terhadap sektor industri. Studi ini menyimpulkan bahwa ketimpangan antar wilayah dapat dijelaskan oleh perbedaan tingkat ketersediaan infrastruktur fisik dan sosial antar wilayah kepulauan yang berada di KBI dan KTI. Masih berkaitan dengan ketimpangan antar wilayah, Firdaus (2006) telah memuat variabel suplai listrik dan tingkat pedidikan ke dalam spesifikasi model empiris dalam studinya mengenai dampak arus investasi terhadap disparitas wilayah di Indonesia. Hasil studi ini menunjukkan bahwa suplai tenaga listrik dan infrastruktur sosial yang diproksi dari tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap daya tarik investasi asing pada suatu wilayah di Indonesia. Suatu wilayah yang memiliki suplai listrik yang lebih memadai akan memiliki daya tarik yang lebih tinggi bagi investor asing, sehingga ketesediaannya secara lebih memadai akan dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah.
80 Secara lebih spesifik, dalam konteks pembangunan pertanian dan perdesaan, Hartoyo (1995) telah melakukan studi mengenai pengaruh infrastruktur terhadap penawaran tanaman pangan di Pulau Jawa menggunakan pendekatan multi input multi output. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pengurangan pengeluaran untuk irigasi sebesar 10 persen hanya akan mengurangi jumlah padi yang ditawarkan sekitar 0.42 persen, tetapi diikuti oleh kenaikan penawaran kacang tanah sekitar 1.09 persen. Hal ini berarti bahwa besarnya tambahan biaya yang digunakan untuk irigasi tidak diikuti oleh kenaikan produksi yang sebanding. Pengaruh pengurangan pengeluaran irigasi terhadap permintaan input juga relative kecil, yaitu kurang dari 1.5 persen. Dengan kenyataan ini maka pengurangan investasi irigasi, terutama untuk pembangunan jaringan irigasi baru di Jawa, tidak banyak berpengaruh terhadap penawaran tanaman pangan. Khusus infrastruktur jalan raya, studi ini menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran sebesar 10 persen akan menyebabkan penawaran jumlah padi, jagung, kedele, kacang tanah, dan ubi kayu meningkat berturut-turut sekitar 3.23 persen, 9.82 persen, 9.34 persen, dan 2.99 persen. Peningkatan ini juga diikuti oleh peningkatan permintaan pupuk urea dan TSP berturut-turut sekitar 4.92 persen dan 5.3 persen. Studi ini menyimpulkan bahwa pembangunan jalan raya mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan produksi pertanian dan perekonomian perdesaan dibanding pembangunan prasarana irigasi. Sebagian besar studi-studi di atas menyimpulkan bahwa infrastruktur publik memiliki peran cukup besar terhadap peningkatan dan perluasan aktivitas ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan produktivitas, penurunan disparitas antar wilayah, dan peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan. Analisis dampak
81 peningkatan investasi infrastruktur hanya dilakukan untuk melihat dampaknya pada tingkat aktivitas ekonomi makro atau sektor-sektor ekonomi serta implikasinya terhadap keseimbangan spasial aktifitas ekonomi dan lokasi industri. Hal ini disebabkan studi-studi tersebut dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi, fungsi biaya atau pendekatan model keseimbangan parsial lainnya. Melalui pendekatan keseimbangan parsial, dampak infrastruktur terhadap keseluruhan aktivitas ekonomi yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya mulai dari tingkat ekonomi sektoral dan rumah tangga hingga kinerja ekonomi makro dan ekonomi regional tidak dapat diketahui secara serentak. Padahal infrastruktur memiliki peran yang sangat sentral dalam setiap perekonomian sehingga ketersediaannya mempengaruhi aktivitas ekonomi secara luas. Melalui analisis keterkaitan antar sektor dalam sebuah model ekonomi keseimbangan umum yang berbasis model Input-Output, dampak infrastruktur terhadap aktivitas ekonomi yang saling terkait akan dapat ditangkap secara lebih baik apabila dibandingkan dengan pendekatan keseimbangan parsial. Keterbatasan studi-studi tersebut akan diatasi dengan mengaplikasikan model ekonomi keseimbangan umum. Analisis dilakukan secara terpadu antara ekonomi sektoral dan dimensi spasial yang ditekankan pada peran infrastruktur sebagi pendorong aktivitas ekonomi yang berbasis sektor pertanian.