II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Lidah Buaya Tanaman lidah buaya (Aloe barbadensis Miller) yang ditemukan oleh Phillip Miller, seorang pakar botani yang berasal dari Inggris, pada tahun 1768. Aloe barbadensis Miller mempunyai beberapa keunggulan, di antaranya tahan hama, ukurannya lebih panjang, yakni bisa mencapai 121 cm, berat perbatangnya bisa mencapai 4 kg, dan mengandung 75 nutrisi. Di samping itu, lidah buaya ini aman dikonsumsi, karena mengandung zat polisakarida (terutama glukomannan) yang bekerja sama dengan asam amino esensial dan sekunder serta enzim oksidase, katalase, lipase, dan enzim-enzim pemecah protein (Furnawanthi, 2002). Menurut Furnawanthi (2002) taksonomi Aloe barbadensis Miller sebagai berikut : Dunia : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Liliflorae Suku : Liliaceae Marga : Aloe Spesies : Aloe barbadensis Miller Tanaman lidah buaya dapat tumbuh di daerah kering seperti Afrika, Asia, dan Amerika. Hal ini disebabkan bagian stomata daun lidah buaya dapat tertutup rapat pada musim kemarau karena untuk menghindari hilangnya air daun. Lidah buaya juga dapat tumbuh di daerah yang beriklim dingin. Lidah buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air, karena dari segi fisiologi tumbuhan, tanaman ini termasuk tanaman yang tahan kekeringan (Furnawanthi, 2002).
5
6
Lidah buaya dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai daerah pegunungan. Daya adaptasinya tinggi sehingga tempat tumbuhnya menyebar keseluruh dunia mulai daerah tropika sampai ke daerah sub tropika. Tanah yang dikehendaki lidah buaya adalah tanah subur, kaya bahan organik dan gembur. Kesuburan tanah pada lapisan olah sedalam 30 cm sangat diperlukan, karena akarnya yang pendek tanaman ini tumbuh baik di daerah bertanah gambut yang pHnya rendah (Furnawanthi, 2002). Daun lidah buaya mengandung 96% air dan 4% sisanya terdiri dari 75 macam senyawa fitokimia. Senyawa ini bekerja secara sinergi atau saling melengkapi di tingkat sel tubuh, sehingga terkesan tubuh bisa menyembuhkan diri sendiri (biodefense) menghadapi serangan penyakit (Inggrit, 2000). Wahajo (2002) juga mengungkapkan bahwa daun lidah buaya (aloevera) banyak mengandung senyawa nutrisi seperti asam amino (essensial dan non essensial), enzim, mineral, vitamin, polisakarida, dan komplek antraquinon. Senyawasenyawa tersebut sangat penting dan dibutuhkan untuk kesehatan tubuh.
2.2. Pengolahan Daun Lidah Buaya Pemanfaatan gel daun lidah buaya dalam bidang pangan saat ini mulai beragam, mulai dari makanan, minuman, hingga jelly. Pengolahan daun lidah buaya akan memberikan nilai ekonomis yang lebih tinggi serta penggunaan yang lebih praktis untuk memperpanjang masa simpan. Gel daun lidah buaya dapat diolah menjadi tepung lidah buaya (Anonim, 2000). Mengolah atau mengeringkan gel daun lidah buaya menjadi tepung juga merupakan salah satu upaya untuk memberikan nilai tambah sehingga daun lidah buaya tidak hanya dijual dalam bentuk pelepah segar yang harganya relatif murah (Anonim, 2002). Pada
7
prinsipnya, jenis alat pengering tergantung pada bahan yang dikeringkan dan tujuan pengeringannya. Pengeringan buatan (artificial drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan dapat diawasi (Winarto, 1993). Selama dalam pengeringan pada suhu yang terlalu tinggi dan waktu yang terlalu lama tidak dikehendakin, karena akan menyebabkan terjadinya kerusakankerusakan serta penurunan mutu (Yohanes, 2005). Adapun tepung lidah buaya yang ada di pasaran dan digunakan dalam industri mempunyai standar mutu seperti yang telah ditetapkan oleh Terry Laboratories Amerika Serikat pada Tabel 1. Tabel 1. Standar mutu tepung lidah buaya menurut Terry Laboratories Spesifikasi Penampakan Warna Kadar air (maks.) Kecepatan disperse (25°C) Total padatan Keasaman (pH) Gravity @ 25°C
Tepung lidah buaya (Spray Dried) Butiran halus Krem muda, cokelat keabuabuan (beige) 8%
Tepung lidah buaya (Freeze Dried) Butiran halus Putih, cokelat keabu-abuan (light beige) 8%
5 menit
5 menit
100% 3,5 – 5,0 0,990 – 1,010 < 100 cfu/g tidak ada Mikrobiologi patogen Sumber : Furnawanthi, 2002
50% 3,5 – 5,0 0,990 – 1,010 < 10 cfu/g tidak ada patogen
2.3. Penambahan Bahan Pengisi
2.3.1. Dekstrin Dekstrin merupakan polisakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati yang diatur oleh enzim-enzim tertentu atau hidrolisis oleh asam, berwarna putih sampai kuning. Pada pembuatan dekstrin, rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh
8
enzim atau asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu 6-10 unit glukosa, dengan rumus molekul (C6H10O5)n. Berkurangnya panjang rantai menyebabkan terjadinya perubahan sifat dari pati yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah larut dalam air, memiliki kekentalan lebih rendah dibandingkan pati (Reynold, 1982). (Arief, 1987) mengemukakan bahwa struktur molekul dekstrin berbentuk spiral, sehingga molekul-molekul flavor yang terperangkap di dalam struktur spiral helix dapat menekan kehilangan komponen volatile selama proses pengolahan. Dekstrin mempunyai viskositas yang relatif rendah, sehingga pemakaian dalam jumlah banyak masih diijinkan. Hal ini justru akan menguntungkan jika pemakaian dekstrin ditujukan sebagai bahan pengisi (filler) karena dapat meningkatkan berat produk yang dihasilkan (Warsiki, 1995). Dekstrin dapat digunakan pada proses enkapsulasi, untuk melindungi senyawa volatile, melindungi senyawa yang peka terhadap oksidasi atau panas, karena molekul dari dekstrin stabil terhadap panas dan oksidasi. Dekstrin dapat melindungi stabilitas flavor selama pengeringan dengan menggunakan spray dryer (Suparti, 2000). Warsiki (1995) mengemukakan bahwa kenaikan konsentrasi dekstrin dari 5-15% akan meningkatkan rendemen, densitas kamba, penurunan kadar air, total padatan terlarut serta gula pereduksi tepung instan sari buah nanas. Dekstrin banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi sebagai bahan pengisi pembuatan tablet (Ryan, 2008). Fennema (1985) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit glukosa yang dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat dikurangi, akibatnya proses oksidasi dapat dicegah.
9
2.3.2. Tween 80 Tween 80 (polyoxyethylene sorbitan monooleat) merupakan cairan kental dengan nilai kekentalan 300-500 centistokes, berwarna kuning, bersifat sangat larut dalam air, larut dalam minyak, dan pelarut lain seperti etanol, etil asetat, methanol dan toluene. Tween 80 digunakan sebagai emulsifier dalam produk pangan seperti es krim untuk meningkatkan homogenitas adonan, melembutkan tekstur dan menjaga es krim agar tidak cepat meleleh (Irma Rita 2011). Selain itu, tween 80 juga dapat digunakan sebagai emulsifier dalam produk minuman emulsi. Surfiana (2002) dan Sabariman (2007) menggunakan tween 80 sebagai emulsifier dalam pembuatan produk minuman emulsi dari minyak sawit merah. Tween 80 aman untuk dikonsumsi dan bersifat non karsinogenik. Menurut Sankat dan Castaigne (2004) tween 80 selain sebagai bahan pembusa juga dapat berfungsi sebagai kapsulat, emulsifier dan mempercepat proses pengeringan. Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan. Selain fungsi tersebut, tween 80 juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi.
2.4. Pengeringan dengan Cabinet Dryer Pengeringan merupakan suatu metode untuk menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan bantuan energi matahari atau energi panas lainnya. Pengeringan merupakan metode tertua untuk mengawetkan bahan pangan. Hal ini terjadi karena dalam keadaan kering mikroba pembusuk tidak dapat tumbuh dan enzim-enzim yang menyebabkan kerusakan
10
kimia yang tidak diinginkan tidak akan berfungsi secara normal tanpa adanya air (Earle, 1969). Pengeringan juga merupakan proses pemindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas. (Taib, G. et al., 1988) menyatakan proses pengeringan adalah proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan biji-bijian akibat aktivitas biologi dan
kimia
sebelum
bahan
diolah/digunakan.
Bakker
Arkema
(1992)
mengemukakan pengeringan bahan hasil pertanian menggunakan aliran udara pengering yang baik adalah antara 45°C sampai 75°C. Pengeringan pada suhu dibawah 45°C mikroba dan jamur yang merusak produk masih hidup, sehingga daya awet dan mutu produk rendah. Namun pada suhu udara pengering di atas 75°C menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak, karena perpindahan panas dan massa air yang berdampak perubahan struktur sel (Setiyo, 2003). Alat cabinet dryer merupakan salah satu alat pengering bahan pangan. Prinsip dari alat tersebut adalah menghilangkan kelembaban menjadi bahan kering. Alat ini menguapkan kadar air dalam bahan sehingga berat bahan berkurang. Kadar air yang menguap inilah yang membuat bahan menjadi kering (Sumarni, 2010). Cabinet dryer terdiri dari satu ruang atau cabinet yang di dalamnya tersusun atas rak-rak yang digunakan untuk tempat meletakkan bahan yang akan dikeringkan. Udara kering disirkulasikan dan mengalir paralel atau sejajar dengan permukaan rak (Denni, 2011). Pengeringan kabinet (cabinet dying)
11
merupakan
pengeringan
yang
paling
murah
pembuatannya,
mudah
pemeliharaannya, dan penggunaannya pun lebih mudah (Mutiara, 2012).
2.5. Laju Pengeringan Proses pengeringan mempunyai 2 (dua) periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap dan periode dengan laju pengeringan menurun. Kedua periode utama ini dibatasi oleh kadar air kritis (critical moisture content) (Taib, G. et al., 1988). Brooker, D.B, et al. (1992) menyatakan bahwa kadar air kritis adalah kadar air terendah saat dimana laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan sama dengan laju pengambilan uap air maksimum dari bahan. Pada biji-bijian umumnya kadar air ketika pengeringan dimulai lebih kecil dari kadar air kritis. Dengan demikian pengeringan yang terjadi adalah pengeringan dengan laju pengeringan menurun. Perubahan dari laju pengeringan tetap ke laju pengeringan menurun terjadi pada berbagai tingkatan kadar air yang berbeda untuk setiap bahan. Henderson dan Perry (1955) menyatakan bahwa pada periode pengeringan dengan laju tetap, bahan mengandung air yang cukup banyak, dimana pada permukaan bahan berlangsung penguapan yang lajunya dapat disamakan dengan laju penguapan pada permukaan air bebas. Laju penguapan sebagian besar tergantung pada keadaan sekeliling bahan, sedangkan pengaruh bahannya sendiri relatif kecil. (Taib, G. et al., 1988). Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air selama pengeringan. Jumlah air terikat makin lama semakin berkurang. Perubahan dari laju pengeringan tetap menjadi laju pengeringan menurun untuk bahan yang berbeda akan terjadi pada kadar air yang
12
berbeda pula. Pada periode laju pengeringan menurun permukaan partikel bahan yang dikeringkan tidak lagi ditutupi oleh lapisan air. Selama periode laju pengeringan menurun, energi panas yang diperoleh bahan digunakan untuk menguapkan sisa air bebas yang sedikit sekali jumlahnya. Laju pengeringan menurun terjadi setelah laju pengeringan konstan dimana kadar air bahan lebih kecil dari pada kadar air kritis (Gambar 1.). Periode laju pengeringan menurun meliputi dua proses yaitu : perpindahan dari dalam ke permukaan dan perpindahan uap air dari permukaan bahan ke udara sekitarnya.
Gambar 1. Grafik hubungan kadar air dengan waktu. Keterangan : AB = periode pemanasan BC = periode laju pengeringan konstan CD = periode laju pengeringan menurun pertama DE = periode laju pengeringan menurun kedua