II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENYIMPANAN BIJI-BIJIAN Menurut Syarief dan Halid (1993), biji-bijian adalah sekelompok padipadian atau serealia seperti padi, jagung, gandum, sorgum, dan barley; kacangkacangan seperti kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang tanah; dan hasil pertanian lain yang diperdagangkan seperti kopi, lada, biji kapuk, dan biji jarak. Penyimpanan biji-bijian untuk keperluan konsumsi manusia dan hewan ternak bertujuan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan sehingga mutunya masih baik dan prima serta terhindar dari berbagai kerusakan. Kadar air merupakan parameter terpenting dalam penyimpanan biji-bijian. Kadar air biji-bijian yang aman untuk disimpan umumnya sekitar 13.5 – 14 %, sedangkan kadar air yang aman dari gangguan kerusakan adalah 11 – 12 % (Syarief dan Halid, 1993). Hubungan antara kadar air dengan perubahan bijibijian selama penyimpanan secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan antara kadar air dengan perubahan bji-bijian selama penyimpanan Kadar Air >45 % 18 – 20 % 12 – 18 %
Perubahan Biji-bijian Terjadi proses perkecambahan biji di tempat penyimpanan. Kondisi ruang yang gelap akan memacu proses perkecambahan. Di dalam ruang penyimpanan akan timbul uap. Biji dapat berkecambah, kapang dan bakteri tumbuh subur. Mikroba dan serangga akan merusak
bebijian selama
penyimpanan.
8–9%
Kehidupan serangga dan patogen gudang dapat dihambat.
4–8%
Keadaan paling aman untuk penyimpanan
Sumber : Neegard (1977) diacu dalam Ekayani (2001)
Penyimpanan biji-bijian secara komersial untuk jangka waktu lama, umumnya menggunakan sistem karung goni dan sistem curah, yang kemudian disimpan di gudang. Penggudangan bertujuan untuk mengurangi kehilangan
bahan secara kualitas maupun kuantitas. Dalam gudang perlu dilakukan pengontrolan terhadap serangan serangga hama gudang dan tikus. Sistem penyimpanan yang kurang baik dapat menimbulkan kerusakan bahan pangan, baik kerusakan kualitas maupun kuantitas bahan pangan selama penyimpanan (Ekayani, 2001).
B. KERUSAKAN BAHAN PANGAN AKIBAT SERANGAN SERANGGA Serangga adalah penyebab utama kehilangan bahan selama penyimpanan, khususnya di daerah tropis (Barre dan Sammet, 1963). Pernyataan ini diperkuat oleh Christensen dan Kauffmann (1969) yang mengemukakan bahwa dari total angka perkiraan kehilangan biji-bijian di seluruh dunia paling sedikit 50 persen disebabkan oleh serangga. Bagi serangga, komoditas pangan yang disimpan di gudang merupakan sumber makanan sekaligus habitat untuk berkembang biak dan selanjutnya menghancurkan lingkungan tersebut. Perpindahan komoditi pangan antar gudang penyimpanan dapat menyebabkan hama gudang tersebar dengan cepat (Syarief dan Halid, 1993). Menurut Halid dan Yudawinata (1983), serangga merupakan hama gudang penyebab kerusakan terbesar. Kerusakan yang terjadi dapat mengakibatkan penurunan kualitas maupun kuantitas dari bahan yang disimpan. Hal ini disebabkan serangga hama gudang mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, mudah menyebar dan dapat mengundang pertumbuhan kapang. Kegiatan insek memakan bagian dari biji-bijian dapat menyebabkan meningkatnya kandungan air serta suhu secara lokal. Kegiatan bersama serangga dan jamur dapat berakibat penurunan mutu yang disebabkan karena adanya sisasisa insek, penimbunan ”uric acid”, dan penyimpangan warna. Bila kerusakan sebutir saja telah dapat nampak oleh mata, paling sedikit lima butir lagi telah mengalami kerusakan bagi setiap butir yang rusak. Butir-butir demikian rendah gizinya serta mempunyai potensi sebagai bahan beracun (Winarno et al., 1981). Kerusakan oleh serangga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu kerusakan langsung dan kerusakan tidak langsung. Kerusakan langsung terdiri dari konsumsi bahan yang disimpan oleh serangga, kontaminasi oleh serangga dewasa, pupa,
larva, telur, kulit telur, dan bagian tubuhnya, serta kerusakan wadah bahan yang disimpan. Kerusakan tidak langsung antara lain adalah timbulnya panas akibat metabolisme serta berkembangnya kapang dan mikroba-mikroba lainnya (Cotton dan Wilbur, 1974). Menurut Grist dan Lever (1969), setiap spesies serangga mempunyai kesukaan terhadap makanan tertentu. Beberapa spesies menyukai embrio, dan yang lain menyukai endosperma. Embrio adalah bagian yang paling kaya akan zat gizi. Komponen lemak, protein, mineral, dan vitamin terkonsentrasi pada bagian tersebut sehingga serangan serangga akan menyebabkan penurunan nilai gizi (Pranata, 1982). Menurut Pranata (1982), akibat dari serangan hama, maka akan terjadi susut kuantitatif, susut kualitatif dan susut daya tumbuh. Susut kuantitatif adalah turunnya bobot atau volume bahan karena sebagian atau seluruhnya dimakan oleh hama. Susut kualitatif adalah turunnya mutu secara langsung akibat dari adanya serangan hama, misalnya bahan yang tercampur oleh bangkai, kotoran serangga atau bulu tikus dan peningkatan jumlah butir gabah yang rusak. Susut daya tumbuh adalah susut yang terjadi karena bagian lembaga yang sangat kaya nutrisi dimakan oleh hama yang menyebabkan biji tidak mampu berkecambah. Secara ekonomi, kerugian akibat serangan hama adalah turunnya harga jual komoditas bahan pangan (biji-bijian). Kerugian akibat serangan hama dari segi ekologi atau lingkungan adalah adanya ledakan populasi serangga yang tidak terkontrol (Syarief dan Halid, 1993).
C. PENGENDALIAN HAMA Menurut Pranata (1979), pengendalian hama adalah konsep pengendalian populasi hama berdasarkan faktor biologi dan ekologi hama dengan memadukan beberapa cara pemberantasan. Dalam pengendalian hama telah terjadi pergeseran falsafah dasar yaitu dari usaha untuk membasmi hama sampai habis menjadi usaha untuk menekan populasi sampai di bawah ambang ekonomi. Suatu tindakan pemberantasan hanya dilakukan jika tingkat kerugian secara potensial jauh lebih besar bila dibandingkan dengan biaya pemberantasan.
Dalam praktek sehari-hari dikenal dua upaya pengendalian yaitu upaya preventif dan upaya kuratif. Metode preventif (pencegahan)
adalah tindakan
untuk mencegah datangnya serangan hama pasca panen dengan mengatur lingkungan atau dengan menggunakan cara lain seperti penggunaan bahan kimia yang dapat
menangkal terjadinya serangan (repellent). Metode kuratif
(pembasmian hama) adalah tindakan yang dilakukan untuk membasmi serangan serangga hama pasca panen. Tindakan kuratif dilakukan jika secara nyata telah terlihat adanya serangan, atau berdasarkan deteksi sudah diketahui adanya serangan, atau ruang kontrol (pada sistem penyimpanan canggih) telah memberikan warning. Berbagai teknik metode pengendalian dapat diterapkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap sistem penyimpanan. Namun demikian patut diingat bahwa tindakan preventif jauh lebih baik dan lebih murah dibanding tindakan kuratif. Konsep pengendalian serangga hama pasca panen dewasa ini lebih diarahkan pada konsep pengendalian hama secara terpadu (PHT). Suharno (1987) diacu dalam Ekayani (2001) melaporkan bahwa teknologi penyimpanan yang dikembangkan oleh BULOG dalam rangka penyimpanan beras pecah kulit adalah dengan menggunakan bahan CO2, phostoxin dan silosan. Bahan tersebut secara teknis dapat digunakan untuk pemberantasan serangga hama, dan dapat dipakai untuk mempertahankan kualitas beras selama kurang lebih satu tahun dalam penyimpanan jangka panjang. Menurut Rejesus (1986) yang dikutip oleh Kardinan dan Wikardi (1994) sampai saat ini pengendalian masih bertumpu kepada pestisida sintetis. Penggunaan pestisida sintetis, walaupun
memberikan hasil yang nyata dan
bereaksi relatif cepat, namun dampak negatifnya terhadap manusia dan lingkungan cukup besar, sehingga perlu dicari alternatif lain untuk perlindungan biji, salah satunya dengan penggunaan bahan alami. Salah satu tujuan penggunaan bahan alami adalah meningkatkan kemampuan petani untuk berusaha sendiri dalam mengendalikan hama dengan jalan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitarnya, termasuk limbah pertanian. Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida yang digunakan secara khusus untuk meminimalkan pertumbuhan serangga. Telah dilakukan penelitian-
penelitian mengenai insektisida nabati dari beberapa tanaman yang tumbuh di Indonesia. Penelitian ini umumnya dilakukan berdasarkan kandungan komponen aktif yang terdapat pada bahan nabati tersebut. Adapun komponen-komponen tersebut antara lain alkaloid, kumarin, glikosida dan beberapa sterol serta minyak atsiri yang dapat mengeluarkan bau dan aroma khas. Komponen-komponen tersebut dapat mempengaruhi perkembangan serangga (Atmadja, 2003).
D. INSEKTISIDA ALAMI NABATI Bahan nabati hasil tanaman tropis Indonesia merupakan alternatif yang dapat digunakan sebagai insektisida alami. Menurut Sastroutomo (1992), insektisida alami nabati merupakan senyawa beracun bagi serangga yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan sejarah, bahan-bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sudah digunakan jauh sebelum insektisida golongan lainnya. Beberapa bahan tumbuhan seperti tembakau, piretrum, devis, helebor, kasia, kamfer, dan terpentin sudah sangat lama sekali digunakan sebelum insektisida sintetik ditemukan. Beberapa bahan insektisida yang digunakan secara umum berasal dari tetumbuhan. Bunga, daun, atau akar dihancurkan dan kemudian langsung digunakan sebagai insektisida atau bahan beracunnya diekstraksi terlebih dahulu kemudian baru digunakan (Sastroutomo, 1992). Menurut De Luca (1979), ada tiga jenis bahan alami yang dapat digunakan dalam pengendalian hama gudang yaitu bahan mineral, bahan nabati, dan bahan hewani. Bahan nabati merupakan cadangan yang paling besar dan bervariasi. Menurut Kardinan (2002), tumbuhan penghasil insektisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Sedangkan menurut De Luca (1979), bahan nabati yang mempunyai sifat insektisida pada umumnya disebabkan karena adanya daya tolak (repellent) dan daya antifeedant terhadap serangga. Suyatma (1994) melaporkan bahan nabati kencur dalam bentuk tepung sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan populasi serangga turunan pertama S. oryzae. Sementara itu Ekayani (2001) melaporkan bahwa penambahan tepung daun jarak, daun babadotan, dan jinten memberikan pengaruh yang nyata
dalam menghambat populasi F1, memperpanjang periode perkembangan, dan memperkecil nilai indeks perkembangan, laju perkembangan intrinsik, dan kapasitas multiplikasi mingguan. Menurut Sitepu et al. (1999) diacu di dalam Putri (2004), pada umumnya tumbuh-tumbuhan yang tergolong insektisida nabati yang penting peranannya berdasarkan aktivitasnya terhadap serangan hama sasaran dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) insektisida pembunuh seperti pirethrum (Chrysantemum cinerariaefolium), tuba (Derris elliptica), dan mimba (Azadirachta occidentale); (2) insektisida antifertilitas, seperti gadung (Diuscorea compusitae); dan (3) pemikat/penarik yang bekerja menyerupai sex pheromone seperti malaleuka (Malaleuca bracteata).
E. SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais Motsch 1. Sifat-Sifat Umum dan Klasifikasi Sitophilus zeamais ditemukan pada tahun 1885 oleh Motschulsky. Sementara itu Grist dan Lever (1969) menyatakan bahwa Sitophilus oryzae pertama kali dikenal pada tahun 1763 di Suriname. Dahulu S. zeamais disebut sebagai S. oryzae karena kemiripan dan hidupnya yang bersama-sama. Secara umum S. oryzae berukuran lebih kecil dibanding S. zeamais. Menurut Kutchel (1961), Sitophilus oryzae dan Sitophilus zeamais merupakan variasi dari spesies yang sama. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi keduanya dilakukan dengan membuka bagian abdomen dan memeriksa alat genetalia serangga jantan di bawah mikroskop. Pada Sitophilus zeamais permukaannya agak bergelombang sedangkan pada Sitophilus oryzae rata dan licin (Syarief dan Halid, 1993). Serangga Sitophilus zeamais Motsch termasuk ke dalam Ordo Coleoptera, Sub Ordo Polypaga, Kelas Rhyncopphora, Famili Calandrinae, dan Genus Sitophilus (Matheson, 1951). Ciri khasnya adalah bentuk kepala pada ujungnya meruncing dan melengkung agak ke bawah yang disebut rostrum atau snout. Antenanya menyiku (elbowed) dengan bagian ujungnya membesar seperti gada (clubbed) (Grist dan Lever, 1969). Imago panjangnya
2.5 – 4.5 mm. Ukuran ini tergantung pada jenis makanan dimana mereka berkembang biak. Menurut Cotton (1963), serangga Sitophilus sp sangat umum terdapat dalam tempat penyimpanan, dapat berkembang biak dengan cepat dan terdapat dalam jumlah yang besar. Pranata (1979) menyatakan bahwa S. oryzae dan S. zeamais sering ditemukan secara bersamaan, tetapi di Indonesia S. zeamais lebih banyak ditemukan. Kedua serangga ini dapat menyerang beras, gabah maupun jagung. Menurut Dobie et al. (1984) warna tubuh Sitophilus zeamais adalah cokelat merah sampai cokelat gelap. Pada sayap depan (elytra) terdapat empat bintik berwarna kuning kemerah-merahan di dua belahan sayap dan setiap sayap memiliki dua bintik. Serangga jantan dan serangga betina dapat dibedakan dari bentuk moncongnya (rostrum). Jika dilihat dari permukaan dorsal, rostrum jantan lebih kasar, berbintik-bintik kasar sedangkan betinanya memiliki rostrum mulus, berbintik-bintik melebar dan licin. Jika dilihat dari atas, rostrum jantan lebih pendek dan lebar, sedangkan pada betinanya lebih panjang dan sempit. Dilihat dari samping, rostrum jantan lebih pendek, tebal dan agak lurus, sedangkan rostrum betina lebih panjang, kecil dan agak melengkung ke bawah (Haines, 1980 diacu dalam Asriyanti, 2002). Sitophilus zeamais merupakan serangga yang sangat berbahaya, karena luasnya serangan (kosmopolitan) dan banyaknya produk pertanian yang diserang. Serangga ini dapat berkembang biak pada biji-bijian seperti jagung, sorgum, beras, gandum, dan produk serealia seperti makaroni. Serangga ini hanya dapat berkembang biak pada bahan makanan yang tidak dimasak, tetapi tidak dapat tumbuh pada tepung yang kering (Winarno dan Jenie, 1983).
2. Biologi Sitophilus zeamais Motsch. Serangga
S.
zeamais
mengalami
metamorfosis
sempurna
(holometabola), yaitu mulai telur, larva, pupa, imago (serangga dewasa). Telurnya berbentuk lonjong dengan satu kutub yang lebih sempit. Telur berwarna bening, agak mengkilap, lunak, dan panjangnya 0.7 mm dengan
lebar 0.3 mm (Grist dan Lever, 1969). Telur diletakkan satu persatu dengan masa peneluran kurang lebih tiga minggu. Telur dapat diletakkan di semua bagian biji tetapi umumnya diletakkan di dekat lembaga. Setelah kira-kira 5 sampai 7 hari telur menetas menjadi larva (Pranata, 1979). Menurut Sukoco (1998), larva berkembang dengan memakan bagian dalam biji. Stadium larva merupakan stadium yang merusak. Larva dewasa berbentuk gemuk dan padat, tidak berkaki, berwarna putih, dan panjangnya sekitar 4 mm. Lama stadium larva adalah sekitar 18 hari. Larva kemudian berubah menjadi pupa. Pupa berkembang di dalam biji, di tempat kosong bekas dimakan larva. Pupa berwarna putih dan panjangnya 3 sampai 4 mm. Lama stadium pupa adalah 3 sampai 9 hari dengan rata-rata 6 hari. Siklus hidup serangga ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Siklus hidup Sitophilus sp. (Fleurat-Lessard, 1982) Menurut Hill (1987), serangga betina selama hidupnya mampu menghasilkan 300 – 400 butir telur dengan masa peneluran kurang lebih 3 minggu. Serangga dewasa keluar dari biji dengan membuat lubang pada lapisan luar biji. Lubang keluarnya membulat tetapi tepinya tidak merata. Serangga dewasa mampu hidup sampai dengan 5 bulan dan memiliki
kemampuan untuk terbang. Menurut Pranata (1985), serangga ini hidup pada suhu 17 – 34oC dengan suhu optimum 28oC, sedangkan syarat kelembaban relatif adalah 45 – 100 %, dengan kelembaban relatif optimal 70 %. Dengan demikian serangga ini dapat hidup di seluruh tempat di Indonesia. Gambar serangga dewasa S. zeamais dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sitophilus zeamais Motsch
Serangga Sitophilus zeamais kurang tertarik pada cahaya tetapi menyukai tempat gelap dan dapat masuk ke dalam biji. Serangga betina membuat lubang untuk meletakkan telur dengan menggunakan moncongnya (Grist dan Lever, 1969). Sayap S. zeamais tidak selalu digunakan, tetapi dapat terbang dengan baik. Pada permukaan licin pun serangga ini dapat berjalan, jika disentuh serangga ini akan melipat kakinya seolah-olah mati (Soekarna, 1977). Pranata
(1979)
membagi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan serangga atas tiga bagian yakni : 1) Faktor umum yang terdiri dari sanitasi gudang, struktur gudang serta ‘stock management’ atau pengaturan pemasukan dan pengeluaran bahan dari dalam gudang ; 2) Faktor lingkungan (fisik) terdiri dari kadar air bahan, suhu, kelembaban, aerasi dan cahaya dalam gudang dan 3) Faktor biotik seperti nilai gizi makanan, adanya parasit, predator, patogen, kompetitor, mikroorganisme dan sebagainya.
F. MEDIA OLIGIDIK Pembiakan serangga di laboratorium adalah salah satu cara yang cepat dan terkendali untuk memperoleh serangga dengan stadia yang diinginkan. Kultur serangga di laboratorium diharapkan dapat membantu melengkapi atau
mengadakan bahan yang akan digunakan untuk penelitian di berbagai bidang khususnya dalam penyimpanan bahan pangan (Syarief dan Halid, 1993). Untuk kebutuhan perkembangannya serangga memerlukan banyak nutrisi. Serangga hama pasca panen membutuhkan asam amino esensial untuk perkembangannya
seperti
arginin,
leusin,
isoleusin,
lisin,
metionin,
fenilalanin, treonin, triftofan, dan valin. Selain asam amino, serangga hama pasca panen juga membutuhkan banyak vitamin B seperti thiamin, riboflavin, piridoksin, asam nikotinat, asam pantotenat, biotin, asam folat, dan kolin. Pembiakan kultur serangga di laboratorium umumnya menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan serangga yang dibiakkan. Menurut Cohen (2000), istilah diet dan medium membutuhkan penjelasan khusus. Diet adalah istilah yang umum digunakan untuk menunjukkan segala sesuatu yang dimakan oleh serangga, dan medium (jamak : media) umumnya menunjukkan diet yang dibuat secara sintetik. Oligidik adalah media yang di dalamnya terkandung bahan-bahan mentah organik yang dapat memenuhi kebutuhan makan serangga (Bellows dan Fisher, 1999). Sementara itu menurut Cohen (2000), diet oligidik mengandung komponen-komponen yang tidak lengkap atau memiliki karakteristik yang tidak cukup baik. Media oligidik adalah media yang terbuat dari bahan yang secara struktur kimia tidak mengalami perubahan tetapi struktur fisik berubah. Menurut Haryadi dan Suyatma (1993), penggunaan media oligidik sangat cocok untuk menguji daya insektisida bahan nabati terhadap perkembangan serangga yang berkembang di dalam biji, yaitu serangga yang mempunyai stadia tersembunyi (hidden stages) seperti Sitophilus zeamais. Dalam pengujian
daya
insektisida,
penggunaan
media
oligidik
dapat
mengintegrasikan suatu bahan yang mempunyai daya insektisida sehingga diperoleh media dengan konsentrasi tertentu.
G. BIOLOGI TANAMAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN 1. Daun Pepaya Muda Pepaya termasuk famili Caricaceae spesies Carica papaya. Tanaman ini dibudidayakan terutama untuk diambil buahnya, sedangkan daunnya merupakan hasil samping yang dapat dimanfaatkan pula. Daun pepaya berbelah agak dalam seperti jari tangan. Jumlah belahan helai daun pada satu tangkai antara 3-5 buah. Daun pepaya berukuran lebar serta mempunyai tangkai daun seperti pipa dan panjang. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua dan bagian bawahnya berwarna hijau muda (Anonim, 1980). Gambar daun pepaya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Daun pepaya muda
Menurut Tjitrosoepomo (1994), getah buah pepaya yang dikeringkan dan dimurnikan merupakan suatu bahan enzim preparat. Bahan tersebut mengandung enzim proteolitik yaitu papainase atau papain, lipase, pektose, amilase, dan enzim yang menyerupai renin, kyanopapain dan sedikit alkaloid, karpaid. Bahan tersebut digunakan untuk membantu memudahkan pencernaan makanan, dan untuk melunakkan daging. Rasa pahit daun pepaya disebabkan karena alkaloid carpain (C14H25NO2). Kandungan yang terdapat dalam 100 g daun pepaya diantaranya yaitu energi = 79 kalori, air = 75.4 g, protein = 8 g, lemak = 2 g, karbohidrat = 11.9 g, vitamin A = 18.250 Iu, vitamin B = 0.15 mg, vitamin C = 140 mg, kalsium = 353 mg, besi = 0.8 mg, dan fosfor = 63 mg. Selain itu, daun pepaya juga mengandung pseudo karpaina, glukosid, karposid, saponin, sakarosa, dekstrosa dan levulosa (Kalie, 2000).
2. Daun Belimbing Wuluh Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) tumbuh baik di daerah tropis. Tumbuhan ini termasuk famili Oxalidaceae. Belimbing wuluh mempunyai batang kasar berbenjol-benjol, percabangan sedikit, arahnya condong ke atas. Cabang muda berambut halus seperti beludru, warnanya coklat muda. Daun berupa daun majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Anak daun bertangkai pendek, bentuknya bulat telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal membundar, tepi rata, panjang 2-10 cm, lebar 1-3 cm, warnanya hijau, permukaan bawah hijau muda (Arland, 2006). Gambar daun belimbing wuluh dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Daun belimbing wuluh
Perbungaan berupa malai, berkelompok, keluar dari batang atau percabangan yang besar, bunga kecil-kecil berbentuk bintang warnanya ungu kemerahan. Buahnya buah buni, bentuknya bulat lonjong bersegi, panjang 46.5 cm, warnanya hijau kekuningan, bila masak berair banyak, rasanya asam. Biji bentuknya bulat telur, gepeng. Rasa buahnya asam, digunakan sebagai sirop penyegar, bahan penyedap masakan, membersihkan noda pada kain, mengkilapkan barang-barang yang terbuat dari kuningan, membersihkan tangan yang kotor atau sebagai bahan obat tradisional. Perbanyakan dengan biji dan cangkok. Belimbing wuluh memiliki sifat kimiawi dan efek farmakologis, yaitu rasa
asam,
sejuk,
menghilangkan
sakit
(analgetik),
memperbanyak
pengeluaran empedu, anti radang, peluruh kencing, dan astringent. Kandungan kimia dari batang belimbing wuluh yaitu saponin, tanin, glukosida, kalsium oksalat, sulfur, asam format, dan peroksidase.
Sedangkan daunnya
mengandung tanin, sulfur, asam format, peroksidase, kalsium oksalat, dan kalium sitrat (Arland, 2006).
3.Daun Cente Nama lain tumbuhan ini yaitu tahi ayam, dan nama daerah misalnya cente (Sunda), tembelek ayam (Jawa), dan krasi, lempuyak (Bali). Menurut Bulan et al. (2003), tembelekan (Lantana camara L.) adalah tumbuhan perdu dari suku Verbenaceae yang berasal dari Amerika dan terdapat di Indonesia. Tumbuhan tersebut telah lama digunakan sebagai salah satu bahan ramuan obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit antara lain untuk pengobatan penyakit kulit, batuk, keracunan dan reumatik. Daun L. camara L. mengandung senyawa lantaden, yaitu lantaden A, lantaden B, lantaden C, lantaden D, lantaden A yang tereduksi dan lantaden B yang tereduksi. Sedangkan menurut Djauhariya dan Hernani (2004), pada daun terdapat minyak atsiri, lantaden A, lantaden B, asam lantanolat, dan asam lantat. Pada akar dan kulit terdapat lantanin. Gambar tumbuhan ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Lantana camara L Menurut Djauhariya dan Hernani (2004), tumbuhan ini merupakan herba menahun, batang semak, berkayu, tegak, bercabang, batang berduri. Tinggi batang mencapai 4 m. Daun berhadapan, warna hijau, bundar telur, permukaan atas daun berambut banyak dan permukaan bawah berambut jarang. Pinggir daun bergerigi dan berbulu kasar dengan panjang 5 – 8 cm dan lebar 3 – 5 cm. Perbungaan mengelompok, tersusun dalam bulir yang padat pada ketiak daun. Warna bunga beragam seperti putih, kuning, merah, merah muda, dan jingga. Buah bergerombol di ujung tangkai, kecil, bulat, warna
hijau ketika mentah, hitam kebiruan dan mengkilap ketika matang. Di dalam satu buah terdapat satu biji. Tumbuhan ini berkembang biak dengan biji. Tumbuhan ini ditemukan di daerah tropis pada lahan terbuka sebagai tanaman liar atau tanaman untuk pagar. Tumbuh dari dataran rendah sampai ketinggian 1.700 m dpl.
4. Daun Jeruk Purut Jeruk purut merupakan tanaman yang termasuk dalam salah satu anggota suku jeruk-jerukan (Rutaceae), sub famili Aurantioidae, genus Citrus, sub genus Papeda, dan spesies Citrus hystrix (Sarwono, 1986). Jenis tanaman jeruk anggota Papeda, buahnya tak enak dimakan langsung karena daging buahnya terlalu banyak mengandung asam dan berbau wangi agak keras. Tanaman jeruk purut berpohon rendah, tingginya antara 2-12 meter. Batangnya bengkok atau bersudut, agak kecil, dan bercabang rendah. Tajuknya tidak beraturan. Cabang-cabangnya rapat, ranting-rantingnya kecil dan bersudut tajam. Batang yang telah tua bentuknya bulat, warnanya hijau tua polos atau berbintik-bintik. Ketiak daun berduri, durinya pendek halus, warnanya hitam dengan ujung kecoklatan. Panjang duri antara 0.2 – 1 cm. Letak daun berpencaran dan silih berganti. Daun berbentuk bulat telur, ujungnya tumpul, dan bertangkai satu. Warna daun hijau kuning, baunya beraroma sedap. Daun tanaman jeruk ini banyak dipakai untuk bumbu macam-macam masakan. Gambar daun jeruk purut dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Daun jeruk purut
Tanaman jeruk purut berbunga majemuk. Bunga keluar pada ketiak daun. Ada juga yang keluar pada ujung tangkai. Warna bunga putih kekuning-
kuningan, baunya sedap. Tajuk bunga ada 4-5 lembar, bentuknya bulat panjang dengan benagsari antara 24-30. Kaki benangsari bentuknya membesar, tapi ujungnya runcing (Sarwono, 1986). Buahnya lebih kecil dari kepalan tangan, berbentuk buah pir, banyak tonjolan dan bintil-bintil, sehingga bentuknya susah dipertahankan. Kulit buahnya tebal dan berwarna hijau, hanya buah yang masak benar menjadi kuning sedikit. Daging buah warnanya hijau kekuning-kuningan, rasanya sangat masam dan kadang-kadang agak pahit. Kulit buah yang diparut dan dicampurkan sedikit air dipakai untuk bahan pencuci rambut. Juga digunakan dalam masakan dan pembuatan kue, dapat juga dibuat manisan (Heyne, 1987). Daun jeruk purut berkhasiat stimulan dan penyegar. Kulit buah berkhasiat stimultan, berbau khas aromatik, rasanya agak asin, kesat, dan lama-kelamaan agak pahit. Daun mengandung tanin 1.8%, steroid triterpenoid, dan minyak asiri 1 – 1.5% v/b. Sedangkan kulit buah mengandung saponin, tanin I%, steroid triterpenoid, dan minyak asiri yang mengandung sitrat 2 – 2.5% v/b.
5. Bunga Kecombrang Kecombrang termasuk dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae,
kelas
Monocotyledone,
bangsa
Zingiberales,
suku
Zingiberaceae, marga Nicolaia, dan jenis Nicolaia speciosa Horan. Setiap daerah mempunyai nama khusus untuk kecombrang, misalnya Kala (Gayo), Puwar Kijung (Minangkabau), Kecombrang (Jawa Tengah), Honje (Sunda), Katimbang (Makasar), Salahawa (Seram), Petikala (Ternate dan Tidore). Menurut Sudarsono (1994), kecombrang secara umum juga disebut sebagai Kantan di wilayah Malaya. Gambar bunga kecombrang dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Bunga kecombrang
Tanaman kecombrang merupakan tanaman tahunan yang berbentuk semak dengan tinggi 1-3 m. Tanaman ini mempunyai batang semu, tegak, berpelepah, membentuk rimpang, dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing tetapi rata, panjang daun sekitar 20-30 cm dan lebar 5-15 cm,pertulangan daun menyirip, dan berwarna hijau. Bunga kecombrang merupakan bunga majemuk yang berbentuk bongkol dengan panjang tangkai 40-80 cm. Panjang benang sari ± 7.5 cm dan berwarna kuning. Putiknya kecil dan putih. Mahkota bunganya bertaju, berbulu jarang dan warnanya merah jambu. Biji kecombrang berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna putih atau merah jambu. Buahnya kecil dan berwarna coklat. Akarnya berbentuk serabut dan berwarna kuning gelap (Syamsuhidayat, 1991). Pada dasarnya yang disebut bunga kecombrang adalah suatu karangan bunga yang terdiri atas bagian bunga, daun pelindung, daun gagang, daun gantilan, kelopak, mahkota, putik, dan buah (Sudarsono, 1994). Bunga kecombrang adalah bunga majemuk yang terdiri atas bunga-bunga kecil di dalam karangan bunga dan muncul pada saat bunga sudah tua. Zat aktif yang terkandung didalamnya adalah saponin, flavonoida dan polifenol. Menurut Tampubolon et al. (1983), komponen bunga kecombrang telah diketahui terdiri atas alkaloid, flavonoid, polifenol, steroid, saponin, dan minyak atsiri.