BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Bioetanol Bioetanol merupakan etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung komponen gula, pati atau selulosa seperti singkong dan tetes tebu.
Etanol
umumnya digunakan dalam industri sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras seperti sake atau gin, dan bahan baku farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga grade yaitu grade industri dengan kadar alkohol 90-94 %, netral dengan kadar alkohol 96-99,5 %, umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi, dan grade bahan bakar dengan kadar alkohol diatas 99,5 – 100 %. Etanol (etil alkohol) dengan rumus kimia C2H5OH adalah salah satu turunan dari senyawa hidroksil atau gugus OH. Etanol mempunyai sifat tidak berwarna, mudah menguap, mudah larut dalam air, memiliki berat molekul 46,1, titik didih 78,3 oC, membeku pada suhu –117,3 oC, densitas 0,789 pada suhu 20 o
C, nilai kalor 7077 kal/gram, panas laten penguapan 204 kal/gram dan angka
oktan 91–105 (Alico 1982). Etanol dapat diproduksi dari minyak bumi ataupun dari bahan nabati. Etanol dari minyak bumi (dikenal sebagai etanol sintetis) dihasilkan dari hidrasi gas ethylene yang merupakan hasil samping pemurnian minyak bumi menggunakan katalis asam pospat. Sementara etanol dari bahan nabati (dikenal sebagai bioetanol) dihasilkan dari fermentasi bahan mengandung karbohidrat.
4
Industri alkohol berkembang pesat pada masa Perang Dunia I dan II dengan tujuan utama sebagai bahan bakar.
Pemanfaatan etanol tidak hanya
terbatas sebagai bahan bakar namun digunakan pula untuk berbagai keperluan industri seperti industri minuman, industri kosmetika, industri farmasi, industri acetaldehyde dan derivat acetyl dan lainnya. Beberapa negara yang telah memanfaatkan etanol sebagai bahan bakar adalah Brazil, Amerika Serikat, Argentina, Cina, Australia, Kuba, Jepang, Selandia Baru, Afrika Selatan, Swiss, negara Eropa dan lainnya. Etanol dimanfaatkan sebagai bahan bakar setelah dicampurkan dalam bensin (gasoline).
Masing-masing negara menerapkan
komposisi pencampuran yang berbeda tergantung pada kebijakan yang berlaku di negara masing-masing. Setelah Perang Dunia II, terjadi eksplorasi minyak bumi secara besarbesaran yang memungkinkan dilakukannya pembuatan etanol sintetis dengan biaya produksi yang lebih murah dibanding biaya produksi bioetanol, sehingga etanol sintetis menggantikan produksi bioetanol. Produksi bioetanol kembali dilakukan oleh beberapa negara sejak terjadinya kenaikan harga minyak bumi yang disertai ketidakpastian penyediaannya. Pengembangan bioetanol di beberapa negara terutama berdasarkan pada sumber daya alam terbarukan yang dimiliki oleh masing-masing negara. Empat produsen utama bioetanol adalah Brazil, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina. Sumber bahan baku utama untuk bioetanol di masing-masing negara berbeda, tergantung pada ketersediaan dan potensi bahan baku di negara masing-masing. Sekitar 95% dari bahan baku yang digunakan di Brazil adalah 5
tebu.
Di Amerika Serikat penggunaan jagung beberapa kali lebih banyak
dibanding gandum. Kebalikan di Eropa, produksi gandum tiga kali lebih tinggi dibanding jagung (IEA, 2004). Masa depan bioetanol sangat menjanjikan. Pada Tabel 1 disajikan produksi bioetanol dunia pada tahun 2000 hingga 2006. Tabel 1. Produksi bioetanol dunia – produsen utama per negara tahun 20002006 (milyar liter) Negara
2000 0,21 7,6
2001 0,22 8,12
Kanada USA N & C America 8,2 8,75 Brazil 10,61 11,5 Amerika Selatan 11,07 11,95 Perancis 0,81 0,81 Jerman 0,28 0,29 Uni Eropa 2,42 2,58 Cina 2,97 3,05 India 1,72 1,78 Asia 5,79 5,96 Dunia 29,41 31,32 Sumber : Licht (2007).
Tahun 2003 0,23 12,06
2004 0,23 14,31
2005 0,25 16,21
2006 0,57 19,85
10,22 12,61
12,7 14,73
14,96 14,66
16,86 16,06
20,85 17,82
13,04 0,84 0,27 2,51 3,15 1,8 6,14 34,07
15,18 0,81 0,28 2,47 3,4 1,77 6,47 39,01
15,14 0,83 0,23 2,45 3,5 1,23 5,93 40,71
16,57 0,91 0,35 2,79 3,5 1,1 5,81 44,29
18,59 0,95 0,76 3,44 3,55 1,65 6,43 51,32
2002 0,23 9,59
Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan atau dengan cara mencampurkannya dengan bensin (gasohol). Bioetanol mempunyai tingkat oktan lebih tinggi (104 RON) ketimbang bensin (95 RON).
6
2.2 Jagung Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi.
Jagung merupakan tanaman semusim
(annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1m sampai 3m, ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6m. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan. Meskipun beberapa varietas dapat menghasilkan anakan seperti padi,
pada umumnya jagung tidak memiliki
kemampuan ini. Di Indonesia, jagung merupakan bahan pangan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Jagung juga merupakan bahan baku industri pakan ternak, minyak, makanan, tekstil, farmasi dan industri lainnya. Jagung dibudidayakan pada lingkungan yang beragam. Kini dalam setahun luas areal panen jagung sekitar 3,3 juta ha. Hasil survei yang dilakukan pada tahun 1999, sekitar 80% dari areal pertanaman jagung di Indonesia ditanami varietas unggul yang terdiri atas jagung bersari bebas (komposit) dan hibrida masing-masing 56% dan 24%, sedangkan sisanya 20% varietas lokal (Mejaya et al., 2006). Pada tahun 2000, sekitar 75% dari areal pertanaman jagung di Indonesia telah ditanami varietas unggul terdiri atas 28% jenis hibrida dan 47% jenis komposit, sisanya 25% varietas komposit lokal (Mejaya et al., 2006).
7
Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Tanaman ini berasal dari Amerika yang tersebar ke asia dan afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang Eropa ke Amerika (Mahendradatta dan Abu Bakar, 2008). Berdasarkan bukti genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa daerah asal jagung adalah Amerika Tengah yaitu di Meksiko bagian selatan. Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan (Ekuador) sekitar 7000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru pada 4000 tahun yang lalu. Proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies tumbuhan yang tidak dapat hidup secara liar di alam. Darliah (2008) melakukan studi terhadap pemanfaatan tongkol jagung sebagai bahan baku xilosa dengan menggunakan katalis HCl. Tongkol jagung dengan kandungan hemiselulosa 16.89-41.66%, diperoleh rendemen xilan sebesar 12.24 % bk untuk varietas BISMA dan 7.75% bk untuk varietas P-21. Setelah dihidrolisa dengan HCl pada kondisi suhu hidrolisis 105°C dengan konsentrasi 0.3% (v/v) dalam waktu 4 jam, didapatkan rendemen xilosa sebesar 57.36%. Kelobot jagung didefinisikan sebagai kulit buah jagung yang memiliki permukaan yang kasar dan berwarna hijau muda sampai hijau tua, merupakan limbah dari tanaman jagung yang mudah didapat, murah karena pemanfaatannya yang terbatas serta bersifat biodegradable. Kelobot jagung biasanya dimanfaatkan sebagai pengemas makanan tradisional tertentu,seperti misalnya dodol dan wajik (jawa) atau wajit (sunda) atapun sebagai pembungkus rokok pada industri rokok tradisonal. Banyaknya kelobot jagung dipengaruhi oleh varietas jagungnya,
8
jagung manis memiliki jumlah lembar kelobot lebih banyak dibandingkan dengan jagung pioneer. Adnan (2006) menyatakan bahwa untuk ukuran daya tarik tertinggi adalah pada kelobot lapisan luar varietas pioneer yaitu 344.49 kgf/cm2 pada arah pengukuran sejajar serat. Sedangkan nilai laju transmisi uap air jenis manis lapisan luar sebesar 665.49 g/m2/24 jam sedangkan kelobot jagung pioneer lapisan luar adalah 570.80 g/m2/24 jam. Ekstraksi tongkol jagung menjadi xilan akan menghasilkan hasil samping berupa fraksi selulosa. Fraksi selulosa sebagai komponen terbesar dari tongkol jagung dan merupakan hasil samping ekstraksi hemiselulosa belum dimanfaatkan lebih lanjut. Padahal dengan pengolahan lanjut menggunakan hidrolisa baik secara enzimatis maupun asam dapat menghasilkan gula-gula sederhana terutama heksosa (glukosa dan manosa) dan difermentasi lanjut dengan mikroorganisme akan menghasilkan etanol. Pada umumnya kesulitan produksi alcohol dari bahan lignoselulosik seperti tongkol jagung adalah adanya perlakuan awal yang mahal seperti penghilangan lignin, pemisahan komponen dan hidrolisis sebelum fermentasi. (Tsao et al.,1978). Subekti (2006) menyatakan bahwa fermentasi dengan substrat enzim dari kulivasi trichoderma viride menghasilkan parameter biomassa, kadar etanol, dan total asam masing-masing sebesar 1,2 g/lt, 14.22 g/ltd an 0,3% setelah fermentasi selama 60 jam dengan konsentrasi substrat sebesar kurang lebih 10%. Sedangkan fermentasi dengan substrat hidrolisa asam akan menghasilkan kadar etanol dan total asam paling kecil yaitu 2,42 g/lt dan 0,14% dan fermentasi menggunakan substrat glukosa akan menghasilkan parameter biomassa, kadar etanol, dan total
9
asam masing-masing sebesar 0,3 g/lt; 8,52 g/lt dan 0,17%. Rendemen biomassa terbesar adalah dengan hidrolisa asam dengan nilai 0.017 sedangkan hidrolisat enzim sebesar 0,013 dan yang terkecil adalah dengan hidrolisat glukosa sebesar 0,008.
Rendemen produk terbesar adalah hidrolisat dengan substrat glukosa
sebesar 0,224; hidrolisat enzim akan menghasilkan rendemen sebesar 0,154 dan yang terkecil dengan hidrolisat asam sebesar 0,042. Salah satu kelebihan pembuatan etanol dari jagung yaitu jagung memiliki efisiensi tertinggi dibandingkan komoditas lain (tetes tebu, ubi kayu, sagu, dan ubi jalar) dalam proses pembuatan bioetanol, hal ini didukung oleh kandungan pati jagung yang mencapai 60-70% , dan jumlah rendemen ethanol yang dapat diperoleh sekitar 40% dari berat biomassa. Prinsip pembuatan ethanol yang berasal dari biji jagung sama dengan pembuatan etanol dari bahan berbahan baku pati lainnya. Ada dua tahapan penting yang terjadi selama proses pembuatan etanol berbahan dasar pati, yaitu proses hydrolisis dan proses fermentasi. Awalnya biji jagung dihancurkan untuk mendapatkan ukuran yang lebih kecil, kemudian dilakukan proses liquifikasi dan pemasakan, pada tahap ini ditambahkan enzim Alfa-Amilase
kemudian dilanjutkan dengan
proses
sakarafikasi
dengan
penambahan enzim beta glukosidase. Proses selanjutnya yaitu proses fermentasi yang dilakukan oleh Saccaromyces Cerevisiae pada ph 5. Hasil fermentasi tersebut kemudian di destilasi untuk memisahkan antara kandungan air dan etanol yang terbentuk. (Prihandana., dkk, 2007)
10