II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Padi (Oryza sativa) Padi adalah tanaman pangan berupa rumput berumpun, yang digunakan sebagai sumber makanan pokok masyarakat Asia. Terdapat 25 spesies Oryza, dan yang paling dikenal adalah Oryza sativa dengan dua sub spesies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi yang ditanam di dataran tinggi atau disebut gogo serta padi yang ditanam di dataran rendah yang memerlukan penggenangan (Prihatman, 2000). Kingdom: Plantae Division: Spermatophyta Subdivision: Angiospermae Class: Monocotyledoneae Family: Gramineae Genus: Oryza Spesies: Oryza sativa L. Gambar 1. Tanaman padi (Sumber: from. http://id.wikipedia.org/wiki/Padi. 2014). Gabah adalah hasil tanaman padi yang telah dilepas dari tangkainya dengan cara perontokkan, pengeringan, dan pembersihan. Sesuai dengan penanganan pasca panennya, gabah dibedakan menjadi gabah kering panen dan gabah kering giling. Gabah Kering Panen (GKP) adalah hasil tanaman padi yang telah dilepas dari tangkainya yang memiliki kadar air maksimum 25%, butir hampa/kotoran maksimum 10%, butir kuning/rusak maksimum 3%, butir hijau/mengapur maksimum 10% dan butir merah maksimum 3%. Gabah Kering Giling (GKG) adalah hasil tanaman padi yang telah dilepas dari tangkainya dan
7
8
mengalami proses pengeringan sehingga kadar airnya menjadi 14%, dengan butir hampa/kotoran maksimum 3%, butir kuning/rusak maksimum 3%, butir hijau/mengapur maksimum 5%, dan butir merah maksimum 3%. Sedangkan beras adalah hasil utama dari proses penggilingan gabah hasil tanaman padi yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas atau sebagian lembaga dan katul telah dipisahkan (Anonim, 2010). Pertumbuhan tanaman padi dapat dibagi dalam tiga fase: (1) fase vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial); (2) fase reproduktif (primordial sampai pembungaan); dan (3) fase pematangan (pembungaan sampai gabah matang). Lama fase pertumbuhan tanaman padi berkisar antara 110 sampai 130 hari tergantung dari jenis dan varietas padi. Perbedaan pertumbuhan tanaman padi sangat terlihat pada fase vegetatif, sedangkan fase reproduktif dan fase pematangan relatif sama (Makarim dan Suhartatik, 2009). Tanaman padi memiliki beberapa bagian utama diantaranya; gabah, akar, daun, batang, bunga, dan malai. Gabah sendiri merupakan bagian terpenting yang diharapkan dari tanaman padi. Mengingat gabah terdiri atas biji yang terbungkus oleh sekam, yang mana biji tersebut adalah beras. Penentuan waktu panen merupakan tahap awal dan tahap yang paling penting, karena pemanenan padi harus dilakukan pada waktu yang tepat. Ketidaktepatan dalam penentuan waktu panen dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang tinggi dan mutu gabah/beras yang rendah. Penentuan waktu panen dapat dilakukan berdasarkan pengamatan visual dan pengamatan teoritis. 1) Pengamatan visual dilakukan dengan cara melihat kenampakan padi pada hamparan lahan sawah. Berdasarkan kenampakan visual, umur panen
9
optimal padi dicapai apabila 90% sampai 95% butir gabah pada malai padi sudah berwarna kuning atau kuning keemasan. Padi yang dipanen pada kondisi tersebut akan menghasilkan gabah berkualitas baik sehingga menghasilkan rendemen giling yang tinggi. 2) Pengamatan teoritis dilakukan dengan melihat deskripsi varietas padi dan mengukur kadar air dengan moisture tester. Berdasarkan deskripsi varietas padi, umur panen padi yang tepat adalah 33 sampai 36 hari setelah berbunga merata atau antara 110 sampai 130 hari setelah tanam. Berdasarkan kadar air, umur panen optimum dicapai setelah kadar air gabah mencapai 22-23% pada musim kemarau, dan 24-26% pada musim hujan (Pirhatam, 2000). Hasil produksi gabah tertinggi akan dapat dicapai hanya pada kondisi iklim terbaik, dan tanpa adanya faktor pembatas lingkungan sehingga tanaman memperoleh segala hal yang dibutuhkannya. Hasil penelitian menunjukkan untuk daerah tropis hasil panen padi adalah 10-11 ton/hektar, sedangkan di daerah subtropis, seperti Cina, Australia, dan California berkisar antara 13-15 ton/hektar. Berdasarkan penelitian Makarim dan Suhartatik (2009), di Indonesia memiliki potensi hasil padi yang beragam antara 5-11 ton/hektar. Menurut Badan Pusat Statistik, rata-rata hasil panen padi di Bali dari tahun 2009 sampai 2013 adalah 58 ton/hektar. Tingginya potensi hasil padi di daerah subtropis dibandingkan daerah tropis disebabkan oleh lebih rendahnya suhu udara di daerah subtropis, sehingga fase pertumbuhan tanaman padi terutama fase pengisian gabah akan menjadi lebih lama (Makarim dan Suhartatik, 2009).
10
2.2 Pengolahan Citra (Image Processing) Image Processing merupakan proses pengolahan dan analisis citra yang banyak melibatkan persepsi visual, dengan ciri utama yaitu data masukan dan informasi keluaran dalam bentuk citra. Istilah image processing didefinisikan secara umum sebagai pengolahan citra dua dimensi dengan komputer. Dalam definisi yang lebih luas, pengolahan citra digital juga mencakup semua data dua dimensi. Citra digital adalah barisan bilangan nyata maupun kompleks yang diwakili oleh bit-bit tertentu (Pramu, 2009). Image Processing atau pengolahan citra adalah kegiatan memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau mesin (komputer). Hasil dari pengolahan citra adalah kualitas citra yang lebih baik dari citra masukan (Astuti, 2010). Umumnya operasi-operasi pada pengolahan citra diterapkan pada citra apabila: 1. perbaikan untuk meningkatkan kualitas penampakan atau menonjolkan beberapa aspek informasi yang terkandung di dalam citra, 2. elemen di dalam citra perlu dikelompokkan, dicocokkan atau diukur, 3. sebagian citra perlu digabung dengan bagian citra lain. Operasi pengolahan citra dilakukan sesuai dengan kebutuhan, yang dapat dibedakan menjadi enam, diantaranya adalah sebagai berikut. 1.
Peningkatan Kualitas Citra (Image Enhancement), adalah menonjolkan ciri-ciri khusus dalam citra, dengan memanipulasi parameter citra.
2.
Restorasi Citra (Image Restoration), bertujuan untuk menghilangkan cacat pada citra. Misalnya untuk menghilangkan kesamaran dan derau.
11
3.
Kompresi Citra (Image Compression), bertujuan untuk membuat citra menjadi lebih kompak sehingga memerlukan memori penyimpanan yang lebih sedikit.
4.
Segmentasi Citra (Image Segmentation), adalah proses pengolahan citra yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang ada dalam citra dengan memisahkan wilayah (region) objek dengan wilayah latar belakang agar objek mudah dianalisis.
5.
Analisis Citra (Image Analysis) bertujuan untuk menghitung besaran kuantitif dari citra untuk selanjutnya dideskripsikan. Analisis citra dilakukan dengan mengekstraksi ciri-ciri tertentu yang membantu dalam identifikasi objek.
6.
Rekonstruksi Citra (Image Reconstruction) bertujuan untuk membentuk ulang objek dari beberapa citra hasil proyeksi (Siahaan, 2009).
2.3 Citra Digital Citra atau image adalah representasi optis dari sebuah obyek yang disinari oleh sebuah sumber radiasi (Muhtadan dan Harsono, 2008). Citra dapat terlihat akibat adanya berkas-berkas cahaya yang dipantulkan oleh benda di sekitarnya. Sehingga fungsi intensitas cahaya adalah untuk menerangi objek dan selanjutnya dipantulkan kembali sehingga dapat terlihat oleh mata (Wijaya dan Prijono, 2007). Arymurthy dan Suryani, (1997) menyatakan bahwa citra merupakan sekumpulan titik-titik dari gambar yang berisi informasi warna. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar pixel sama pada seluruh bagian citra. Titik-titik tersebut
12
menggambarkan posisi koordinat dan menunjukan warna citra. Warna citra diperoleh melalui penjumlahan nilai red, green, blue (RGB). Citra digital (digital image) adalah gambar pada bidang dua dimensi yang dihasilkan dari gambar analog dua dimensi dan kontinus menjadi gambar diskrit. Citra yang memiliki fungsi diskrit inilah yang dapat diolah oleh komputer. Citra digital juga dapat didefinisikan sebagai fungsi dua variabel, f (x,y), dimana x dan y adalah koordinat spasial dan nilai f (x,y) adalah intensitas citra pada koordinat tersebut, hal tersebut diilustrasikan pada Gambar 2 (Gonzalez, 2009).
Gambar 2. Koordinat citra digital (Sumber: Gonzales.C.R , Digital Image Processing Second Edition, 2009). Secara matematis citra digital juga dapat dituliskan dalam bentuk matriks sebagai berikut:
(
)
( (
( (
) )
( ( )
(
) )
( ( )
(
) ) ) )
Citra digital memiliki beberapa karakteristik, diantaranya ukuran citra, resolusi, dan format penyimpanan. Citra digital memiliki ukuran panjang dan lebar tertentu, serta dapat dinyatakan dalam banyaknya titik atau pixel (picture elemen/pixel). Resolusi merupakan ukuran atau banyaknya titik untuk setiap
13
satuan panjang, dengan satuan yang umum digunakan adalah dpi (dot per inch). Semakin besar resolusi, maka semakin banyak titik yang terkandung dalam citra tersebut, sehingga penampakan citra menjadi semakin halus (Gonzalez, 2009). Berdasarkan format penyimpanan warnanya, citra dapat dibedakan menjadi citra biner, citra skala keabuan (grayscale), dan citra warna.
(b)
(a)
(c)
Gambar 3. Citra biner (a), Citra skala keabuan (grayscale) (b), Citra warna (c).
2.3.1 Citra Biner Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai pixel yaitu: bernilai 0 (warna hitam) dan 1 (warna putih) seperti pada Gambar 3a. Sehingga pixel-pixel objek akan bernilai 1 atau berwarna putih dan pixel-pixel latar belakang bernilai 0 atau berwarna hitam (Noor, 2011). Citra biner juga disebut sebagai citra B & W (black and white) atau citra monokrom. Hanya dibutuhkan 1 bit untuk mewakili nilai setiap pixel dari citra biner. Citra biner seringkali muncul sebagai hasil dari proses pengolahan seperti segmentasi, pengambangan (thresholding), ataupun operasi morphologi (Putra, 2010).
2.3.2 Citra Skala Keabuan (Grayscale) Citra grayscale merupakan citra digital yang setiap pixelnya mempunyai kemungkinan warna antara hitam (minimal) dan putih (maksimal) seperti pada
14
Gambar 3b. Citra yang ditampilkan dapat bervariasi pada warna hitam pada bagian dengan intensitas lemah dan warna putih pada intensitas kuat. Untuk melakukan perubahan citra full color (RGB) menjadi citra grayscale, konversi dapat dilakukan dengan: (
)
Dimana : R : Unsur warna merah G : Unsur warna hijau B : Unsur warna biru Nilai yang dihasilkan dari persamaan di atas akan diinput ke masing-masing unsur warna dasar dari citra grayscale (Noor, 2011).
2.3.3 Citra Warna Citra warna telah banyak dikembangkan oleh para ahli seperti model RGB (Red, Green, Blue), model CMYK (Cyan, Magenta, Yellow, Black), YCbCr (Luminasie, dan dua komponen kombinasi Cb dan Cr), dan HSI (Hue, Saturation, Intensity). Model warna RGB merupakan model warna yang umum dan banyak digunakan. Warna RGB adalah model warna aditif yang dibentuk dengan mengkombinasikan energi cahaya dari ketiga warna (Noor, 2011) seperti pada Gambar 3c. Indeks model warna RGB dapat diketahui dengan rumus: a. Indeks Warna Merah (Ired) : b. Indeks Warna Hijau (Igreen) : c. Indeks Warna Biru (Iblue) :
15
Dengan R, G, dan B masing-masing merupakan besaran yang menyatakan nilai intensitas warna merah, hijau, dan biru (Arymurthy dan Suryani, 1997). Citra warna dapat digolongkan kembali menjadi tiga bagian, diantaranya terdapat citra warna 8 bit, 16 bit, dan 24 bit. a.
Citra Warna (8 Bit) Setiap pixel dari citra warna (8 bit) hanya diwakili oleh 8 bit dengan
jumlah maksimum yang dapat digunakan adalah 256 warna. b.
Citra Warna (16 bit) Citra warna 16 bit (biasanya disebut sebagai citra highcolor) dengan
setiap pixelnya diwakili dengan 2 byte memory (16 bit). Warna 16 bit memiliki 65.536 warna, dalam formasi bitnya nilai merah dan biru mengambil tempat di 5 bit di kanan dan kiri. Komponen hijau memiliki 5 bit ditambah 1 bit ekstra. Pemilihan komponen hijau dengan deret 6 bit dikarenakan penglihatan manusia lebih sensitif terhadap warna hijau. c.
Citra Warna (24 bit) Setiap pixel dari citra warna 24 bit memiliki 16.777.216 variasi warna.
Banyaknya jumlah variasi tersebut cukup untuk memvisualisasikan seluruh warna yang dapat dilihat dengan penglihatan manusia. Penglihatan manusia dipercaya hanya dapat membedakan hingga 10 juta wana saja. Setiap poin informasi pixel (RGB) disimpan ke dalam 1 byte data. Delapan bit pertama menyimpan nilai biru, kemudian diikuti dengnan nilai hijau pada 8 bit kedua dan pada 8 bit terakhir merupakan warna merah (Putra, 2010).
16
2.4 Thresholding Thresholding merupakan teknik sederhana dan efektif untuk melakukan proses segmentasi pada citra digital. Proses thresholding sering disebut dengan proses binerisasi. Setiap pixel dalam citra digital dipetakan menjadi dua nilai yaitu, satu (1) atau nol (0) (Hietania dkk., 2013). Thresholding dilakukan dengan mempertegas citra, dan mengubah citra yang memiliki derajat keabuan 255 (8 bit), menjadi hanya dua warna, yaitu hitam dan putih. Hal yang perlu diperhatikan pada proses thresholding adalah memilih sebuah nilai threshold (T) dimana pixel yang bernilai di bawah nilai thresholding diset menjadi hitam dan pixel yang bernilai di atas nilai thresholding diset menjadi putih. Setiap pixel di dalam citra dipetakan ke dua nilai, 1 atau 0 dengan fungsi pengambangan: (
)
{
( (
) )
}
yang dalam hal ini, f(x,y) adalah citra hitam-putih, g(x,y) adalah citra biner, dan T adalah nilai ambang yang dispesifikasikan. Nilai T dihitung secara otomatis berdasarkan citra masukan, dengan analisis diskriminan, yaitu menentukan satu variabel yang dapat membedakan antara dua atau lebih kelompok yang muncul secara alami. Sehingga nilai T yang diperoleh dapat digunakan untuk memisahkan objek dengan latar belakangnya (Munir, 2004).
17
2.5 Morphologi Citra Digital Kata morphologi (morphology) secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk dan struktur suatu objek. Operasi morphologi menggunakan dua input himpunan yaitu satu citra (umumnya citra biner) dan satu karnel. Khusus dalam morphologi, istilah karnel biasa disebut dengan structuring elements (SE) (elemen pembentuk struktur). Adapun beberapa bentuk structuring elements (SE) yang umum digunakan dalam operasi morphologi citra digital seperti pada Gambar 4.
Arbitrary SE = strel(„arbitrary‟, NHOOD)
Rectangle SE = strel('rectangle',MN)
Pair SE = strel('pair',OFFSET)
Line SE = strel('line',LEN,DEG)
Octagon SE = strel('octagon',R)
Diamond SE = strel('diamond',R)
Square SE = strel('square',W)
Disk SE = strel('disk',R,N)
Priodicline SE = strel('periodicline',P,V) Gambar 4. Bentuk-bentuk structuring elements (Sumber: Prasetyo, 2011)
18
SE merupakan suatu matrik dan pada umumnya berukuran kecil, serta memiliki bentuk-bentuk yang berbeda. Bentuk structuring elements sangat beragam dan penggunaanya disesuaikan dengan kebutuhan (Anwarningsih dkk., 2010). Morphologi dalam dunia pengolahan citra digital diartikan sebagai sebuah cara untuk mendeskripsikan ataupun menganalisa bentuk dari objek citra digital. Terdapat dua operasi dasar morphologi yaitu dilasi dan erosi. Kedua operasi dasar tersebut menjadi basis utama untuk membuat berbagai operasi morphologi lainnya yang sangat berguna dalam pengolahan citra digital, diantaranya seperti opening dan closing (Putra, 2010).
2.5.1 Dilasi Proses dilasi dilakukan dengan membandingkan setiap pixel citra input dengan nilai pusat SE (Structuring Elemets) dengan melapiskan SE pada citra sehingga pusat SE tepat dengan posisi pixel citra yang diproses. Efek dari dilasi terhadap citra biner adalah memperbesar batas objek yang ada sehingga objek terlihat semakin besar dan lubang-lubang yang terdapat di tengah objek akan mengecil seperti pada Gambar 5.
Gambar 5. Proses dilasi citra biner Jika paling sedikit ada 1 pixel pada SE sama dengan nilai pixel objek (foreground) citra, maka pixel input diset nilainya dengan nilai pixel foreground, dan bila semua pixel yang berhubungan adalah background maka input pixel
19
diberi nilai pixel background. Semakin besar ukuran SE maka semakin besar perubahan yang terjadi (Putra, 2010).
2.5.2 Erosi Proses erosi merupakan kebalikan dari proses dilasi. Jika dalam proses dilasi menghasilkan objek yang lebih luas maka dalam proses erosi akan menghasilkan objek yang menyempit (mengecil) (Putra, 2010). Lubang pada objek juga akan tampak membesar seiring menyempit-nya batas objek tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Proses erosi citra biner 2.5.3 Opening Operasi opening sangat berguna dalam menghilangkan objek-objek kecil yang terdapat dalam citra, namun operasi ini memiliki kelemahan yakni terjadi penurunan ukuran objek yang lainnya. Untuk mengatasi hal ini kita dapat melakukan operasi erosi dan kemudian operasi dilasi menggunakan SE yang sama. Kombinasi tersebut dinamakan operasi opening (Putra, 2010).
2.5.4 Closing Sama seperti opening, operasi Closing merupakan penggabungan antara operasi erosi dan dilasi. Hanya saja operasi dilasi dilakukan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan operasi erosi. Hasil operasi Closing hampir sama
20
seperti operasi dilasi yakni memperbesar batas luar dari objek dan menutup lubang kecil yang terletak di tengah objek, namun hasil operasi Closing tidak sebesar hasil dilasi (Putra, 2010).
2.6 Computer Vision Terminologi lain yang berkaitan erat dengan pengolahan citra digital adalah computer vision atau machine computer. Computer vision pada hakikatnya mencoba meniru cara kerja dari sistem visual manusia (Human Vision). Human vision sesungguhnya adalah sebuah sistem yang sangat kompleks, manusia dapat melihat obyek dengan indera penglihatan (mata) lalu objek citra diteruskan ke otak untuk diinterpretasi sehingga manusia mengerti objek apa yang tampak dalam pandangan matanya. Hasil interpretasi ini selanjutnya digunakan untuk mengambil suatu keputusan terkait tindakan yang akan dilakukan manusia. Computer vision merupakan proses otomatis yang mengintegrasikan sejumlah persepsi visual, seperti akuisisi citra, pengolahan citra, klasifikasi, pengenalan (recognition), dan membuat keputusan. Computer vision terdiri dari teknik-teknik untuk mengestimasi ciri-ciri objek dalam citra, pengukuran ciri yang berkaitan dengan geometri objek, dan menginterpretasi informasi geometri tersebut. Secara ringkas dapat digambarkan dengan persamaan berikut: Vision = Geometry + Measurement + Interpretation Proses-proses dalam computer vision dibagi dalam tiga aktivitas : 1.
Memperoleh atau mengakuisisi citra digital.
2.
Melakukan teknik komputasi untuk memproses atau memodifikasi data citra (operasi-operasi pengolahan citra).
21
3.
Menganalisis pemrosesan
dan untuk
menginterpretasi
citra
tujuan
misalnya
tertentu,
menggunakan memandu
hasil robot,
mengontrol peralatan, memantau manufaktur dan lain-lain. Pengolahan citra merupakan proses awal (pre-processing) pada computer vision, sedangkan pengenalan pola merupakan proses untuk menginterpretasi citra. Teknik-teknik di dalam pengenalan pola memainkan peranan penting dalam computer vision untuk mengenali objek (Nahla, 2000). Citra digital mengandung sejumlah elemen dasar yang dapat dieksploitasi lebih lanjut dalam computer vision, diantaranya adalah sebagai berikut. 1.
Kecerahan adalah intensitas cahaya. Kecerahan pada sebuah titik (pixel) dalam citra bukanlah intensitas yang sebenarnya, melainkan intensitas rata-rata dari suatu area yang melingkupinya.
2.
Kontras menyatakan terang (lightness) dan gelap (darkness) dari citra.
3.
Kontur (countour) adalah keadaan yang ditimbulkan oleh perubahan intensitas pada pixel-pixel yang bertetangga, sehingga tepi (edge) objek dapat dideteksi.
4.
Warna adalah persepsi yang dirasakan oleh sistem visual manusia terhadap panjang gelombang cahaya yang dipantulkan oleh objek. Kombinasi warna yang memiliki rentang warna yang paling lebar adalah red, green, dan blue.
5.
Bentuk (Shape) adalah properti intrinsik dari objek tiga dimensi, sehingga bentuk merupakan properti intrinsik dalam sistem visual.
6.
Tekstur dicirikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan pixel-pixel yang bertetangga (Munir, 2004).
22
2.7
Matlab (Matrix Laboratory) Matlab adalah sebuah bahasa pemprograman dengan cara kerja tinggi (high
performance) untuk teknik komputasi, mengintegrasikan komputasi, visualisasi, dan pemrograman. Matlab dikembangkan oleh MathWorks, yang awalnya dibuat untuk memberikan kemudahan mengakses data matriks, selanjutnya menjadi sebuah aplikasi untuk komputasi matriks hingga sekarang. Matlab banyak digunakan dalam berbagai bidang meliputi: matematika dan komputasi, pembentukan algoritma, akusisi data, pemodelan, simulasi, pembuatan prototype, analisa data, explorasi, visualisasi, grafik keilmuan, bidang rekayasa, termasuk pembuatan graphical user interface, pengembangan aplikasi (Wijaya dan Prijono, 2007). Matlab terdiri dari lima bagian utama, diantaranya adalah sebagai berikut. 1.
Development Environment, merupakan sekumpulan perangkat dan fasilitas yang digunakan untuk menjalankan fungsi-fungsi dan file-file matlab. Termasuk di dalamnya adalah matlab desktop, command window, command history, serta peralatan yang disediakan untuk pengembangan, pengelolaan, proses debugging, dan pembuatan M-files.
2.
Matlab Mathematical Function Library, merupakan sekumpulan algoritma komputasi mulai dari fungsi-fungsi dasar seperti: sum, sin, cos, dan aritmatika bilangan kompleks.
3.
Matlab Language adalah bahasa (pemrograman) tingkat tinggi yang menggunakan matrix/array language. Hal ini memungkinkan untuk melakukan pemrograman dalam lingkup sederhana dengan hasil yang cepat, dan pemrograman dalam lingkup yang lebih besar dengan hasilhasil dan aplikasi yang komplek.
23
4.
Graphics. MATLAB memiliki fasilitas untuk menampilkan vector dan matrices sebagai suatu grafik. Di dalamnya menggunakan perintahperintah tingkat tinggi untuk visualisasi data dua dimensi atau tiga dimensi, pengolahan citra, animasi, dan presentasi grafik.
5.
Matlab Application Program Interface (API), merupakan suatu pustaka untuk menuliskan progam dalam bahasa C dan Fortran yang berinterakasi dengan matlab, termasuk fasilitas untuk memanggil matlab sebagai sebuah computational engine, dan untuk membaca serta menuliskan MAT-files (Santoso dkk., 2007).
2.8 Kajian Tentang Penggunaan Image Processing Wahyunto dan Heryanto (2006), dalam penelitiannya yang berjudul “Prediction on Low-Land Rice Productivity Using Satellite Remote Sensing Analysis”, menjelaskan tentang pendugaan produktivitas padi menggunakan citra satelit. Pengamatan dilakukan dengan citra satelit, dengan mengamati siklus pemanfaatan lahan sawah untuk bercocok tanam padi. Padi mempunyai karakteristik yang khas sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk membedakan dari jenis tanaman lainnya. Pada awal pertumbuhan tanaman padi (transplanting), areal sawah selalu digenangi air dan kenampakan yang dominan adalah kenampakan air (fase air). Sejalan dengan pertumbuhannya kondisi lahan sawah akan berubah didominasi oleh daun-daun padi. Pada saat puncak pertumbuhan vegetatif terjadi tingkat kehijauan yang tinggi disebabkan oleh tingginya kandungan klorofil. Setelah masa tersebut, tingkat kehijauan akan menurun, timbul bunga-bunga padi sampai menguning. Fase pertumbuhan akan diakhiri dengan masa panen dan lahan dibiarkan kosong selama jangka waktu
24
tertentu (tergantung pola tanamnya). Dengan mempelajari setiap perubahan tersebut, yang kemudian dijadikan sebagai kunci interpretasi dalam mengenali tanaman padi, perubahan-perubahan tersebut diamati dengan menggunakan citra satelit. Tingkat kehijauan tanaman padi yang dapat diukur melalui analisis citra satelit disebut dengan “Nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)”. Nilai NDVI antara –1 hingga +1, jika nilai (-) menunjukkan objek air atau lahan bera atau basah, dan nilai (+) menunjukan objek vegetasi. Melalui analisis citra satelit dapat diestimasi umur tanaman padi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan waktu panen padi dan luas arealnya. Pada kondisi normal, tingkat kehijauan tanaman padi (nilai NDVI) mempunyai korelasi positif dengan produktivitas, artinya semakin tinggi nilai NDVI akan diikuti dengan naiknya produktivitas tanaman padi. Penyimpangan hasil pendugaan berdasarkan permodelan dibanding dengan kondisi aktual berkisar 1% sampai 10%, dengan simpangan rata-rata 0,27 - 0,31 ton atau 4,3 – 5,3% per hektar. Sofyan (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengenalan Pola Beras dan Gabah Berdasarkan Ciri Warna Menggunakan Matlab” bertujuan untuk memisahkan antara beras dan gabah dari sebuah citra. Penelitian tersebut menjelaskan tentang tahapan pemilahan antara beras dan gabah, hingga dapat menemukan jumlah beras dan gabah dalam satu citra. Tahapan dimulai dengan proses masukan yang menggunakan piranti masukan berupa kamera digital. Selanjutnya dilakukan tahapan pre-processing untuk lebih menajamkan kualitas gambar. Kemudian dilakukan proses segmentasi, yang hasilnya berupa gambar gabah yang telah terpisah dengan beras. Terakhir dilakukan proses perhitungan beras dan gabah.
25
Witeti (2004) melakukan penelitian yang berjudul “Identifikasi Sel Kanker Prostat Menggunakan Metode Segmentasi Berdasar Ukuran Objek pada Citra” dengan menggunakan sejumlah algoritma image processing. Program yang dikembangkan memiliki kemampuan untuk mengenali citra kanker sehingga dapat dihitung jumlah pixel citra sel prostat yang sakit dan citra sel prostat yang sehat. Program ini menggunakan beberapa algoritma pengolahan citra, diantaranya deteksi tepi, segmentasi dengan thresholding, operasi morphologi citra, dan terakhir identifikasi citra. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa jumlah pixel minimum untuk sel prostat sakit sebelum penebalan tepi adalah 425 pixel dan jumlah pixel maksimumnya adalah 703 pixel. Sedangkan jumlah pixel minimum untuk sel prostat sakit setelah penebalan tepi adalah 497 pixel dan jumlah pixel maksimumnya adalah 808 pixel. Untuk sel prostat yang sehat, jumlah pixel minimum sebelum penebalan tepi adalah 778 pixel dan jumlah pixel maksimumnya adalah 2427 pixel. Sedangkan untuk sel prostat sehat setelah penebalan tepi, jumlah pixel minimumnya adalah 920 pixel dan jumlah pixel maksimumnya adalah 2599 pixel. Toleransi untuk sel prostat sakit adalah 15,73% dan toleransi untuk sel prostat sehat adalah 11,74%. Saputra (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Pemetaan Kepadatan Serangan Gulma pada Lahan Terbuka” yang menggunakan aplikasi image processing untuk mengidentifikasi warna hijau daun. Penelitian tersebut menggunakan kamera sebagai sensor warna untuk mengetahui kepadatan populasi gulma. Sensor warna yang dikembangkan terdiri dari beberapa perangkat utama, yaitu roda becak, besi holow, kamera CCD (Change Coupled Device) di bagian depan dan komputer jinjing serta perangkat
26
sensor jarak yang terletak di roda. Sensor jarak berfungsi sebagai pemicu untuk mengirim data ke komputer jinjing yang akan memerintahkan kamera untuk menangkap gambar, kemudian hasil tangkapan gambar di-threshold untuk setiap image yang ditangkap. Gambar yang di-threshold dicari nilai warna hijaunya dan hasil thresholding dikelompokan ke dalam kategori berdasarkan jumlah pixel berwarna putih. Kategori tersebut yaitu 0-5% kosong, 5,1-20% sedikit, 20,1-50% sedang, dan 50,1-100% padat. Dari hasil uji kinerja didapat tingkat keberhasilan penangkapan gambar sebesar 90,00%, waktu tangkap dan penyimpanan gambar sebesar 0,74 detik/gambar. Permadi dkk. (2006), dalam penelitiannya yang berjudul “Aplikasi Image Processing dalam Penggunaan Kamera Sebagai Sensor Api”, menggunakan kamera sebagai sensor pada robot pencari api. Robot dengan sensor berupa kamera sebagai penangkap gambar, serta memerlukan aplikasi image processing untuk melakukan pengolahan gambar dan selanjutnya memberikan perintah. Posisi api dapat diketahui berdasarkan perbedaan warna api dengan warna latar belakang atau warna lainnya. Unsur api yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah citra berwarna kuning. Dengan intensitas Red sebesar >200, Green >200, dan Blue >170 atau Red >120, Green >120, dan Blue<90. Hasil dari uji coba yang dilakukan, diketahui bahwa jenis dari kamera yang digunakan tidak berpengaruh terhadap sistem image processing. Penentuan sudut cukup layak dengan error maksimum terjadi sebesar 2,7486%. Tingkat kepresisian dari image processing cukup layak karena error sudut masih < 2%. Intensitas cahaya dari gambar kurang berpengaruh terhadap image processing. Sehingga dapat direalisasikan dengan berbagai kondisi hari (siang atau malam hari). Tinggi rendahnya sumber api tidak
27
berpengaruh terhadap penentuan sudut oleh image processor. Karena penentuan sudut didasarkan pada perhitungan koordinat secara horisontal. Untuk sumber api yang berupa lilin, image processor masih dapat mendeteksi sampai dengan jarak 400 cm. Semakin besar sumber api, maka semakin jauh jarak yang dapat terdeteksi. Waktu yang dibutuhkan untuk mengolah gambar hingga memadamkan api sebesar 19 sampai dengan 21 detik untuk jarak 75cm. Hal ini ditentukan oleh ukuran (pixel) gambar, kecepatan prosesor komputer melakukan image processing, kecepatan motor pada perangkat model, lamanya blower diputar untuk memadamkan api, jarak, dan sudut dari posisi api tersebut berada. Suhandy (2001) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Algoritma Image Processing untuk Menduga Kemasakan Buah Manggis Segar”, menggunakan sejumlah algoritma untuk mengolah citra buah manggis. Penelitian tersebut menggunakan kamera CCD untuk menangkap citra buah manggis dengan teknik pencahayaan dan pengambilan citra yang sesuai sehingga mendapatkan citra buah manggis yang baik. Citra buah manggis tersebut selanjutnya dianalisis dengan aplikasi image processing dengan menggunakan Microsoft Visual C++ Ver. 5.0. Dari aplikasi yang dikembangkan tersebut kemudian akan diperoleh data indeks RGB, diameter buah manggis, luas proyeksi dan nilai koefisien harmonis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa pendugaan kemasakan atau umur petik buah manggis dapat diketahui dari variabel berat buah manggis, dan indeks warna biru citra buah manggis. Sedangkan analisis kadar gula tidak dapat digunakan untuk menduga kemasakan buah manggis. Serta koefisien fourier yang diperoleh tidak dapat membedakan bentuk manggis untuk setiap tingkat kemasakan yang diuji.