9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terhahulu untuk mengetahui dan mengkaji obyektivitas ilmu yang menjadi masalah dalam suatu penelitian. Ada beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dan digunakan peneliti sebagai acuan untuk lebih memahami variabel dalam penelitian ini. 1). Formulasi Strategi Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Produk Crude Palm Oil di PT. Perkebunan Nusantara III dan Minyak Goreng di PT. Astra Agro Lestari, Tbk oleh Girsang (2007) Penelitian tersebut bertujuan untuk membuat formulasi strategi pengendalian mutu berdasarkan Sistem Managemen Mutu dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Metode penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu survei konsumen dengan pembobotan AHP, penilaian penerapan HACCP dengan metode Self Assessment, dan perumusan formulasi strategi pengendalian mutu dengan analisis SWOT. Hasil penelitian diperoleh bahwa strategi yang perlu dilaksanakan oleh pihak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Rambutan adalah: pelaksanaan SOP sortasi dan SMK 3 yang ketat; pembangunan sistem sanitasi/SSOP yang baik; peningkatan kinerja produk terkait dengan mutu spesifik; peningkatan kepercayaan konsumen dengan memberikan jaminan mutu melalaui sertifikat HACCP; serta diversifikasi produk. Strategi yang dapat dilaksanakan Pabrik Minyak Goreng (PMG) Cap Sendok adalah:
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
10
peningkatan komitmen dan budaya kerja yang baik; peningkatan produk dengan memberi jaminan mutu berupa sertifikat ISO dan HACCP; peningkatan teknologi produksi; serta pengembangan produk yang berorientasi ekspor. 2). Evaluasi Implementasi Manajemen Mutu Terpadu Frozen Value Added Surimi Product oleh Swarini (2007) Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengevaluasi
implementasi
manajemen mutu terpadu dalam proses value added surimi product dan mengidentifikasi temuan penyimpangan hasil evaluasi. Metode diskriptif untuk menggambarkan hasil evaluasi dan temuannya untuk perbaikan penerapan jaminan mutu setiap tahapan proses. Hasil penelitian menunjukan bahwa, PT “X” mampu secara madiri melaksanakan pengawasan mutu untuk memberikan jaminan produk yang dihasilkan. Dalam menerapkan manajemen mutu terpadu mendapat dukungan penuh dari pihak manajemen termasuk para eksekutif. Tahapan dalam mengimplementasikan manajemen mutu terpadu (HACCP) adalah pembentukan tim, analisa hazard, identifikasi CCP, penentuan batas kritis, penentuan CCP, tindakan koreksi, prosedur, pencatatan, dan prosedur verifikasi. 3). HAACP Regulatory Model Cooked Shrimp oleh National Seafood Inpection (1989) Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran sebuah model penerapan HACCP pada unit usaha udang dengan perlakukan direbus. Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
11
tahapan proses, menganalisis hazard yang timbul, menentukan GMP dan SSOP serta dilakukan evaluasi terhadap HACCP produk cooked shimp, termasuk upaya pencegahan dan pengendalian pada tahapan proses udang beku. Hasil penelitian ini adalah ternyata bahwa produk cooked shimp mempunyai resiko bahaya lebih besar dari pada raw shrimp. Pengawasan terhadap proses pengolahan cooked shrimp harus lebih ketat, karena produk ini merupakan makanan siap saji dengan hanya dicelupkan air panas dan diberi saus. 4). Disain HACCP pada Perusahaan Krupuk di Sidoarjo oleh Goenawan (2003) Penelitian ini bertujuan untuk membuat disain sistem Manajemen Mutu Terpadu sesuai dengan prinsip-prinsip HACCP pada suatu produk makanan berupa krupuk udang. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan rancangan HACCP yang didalamnya terdapat upaya pencegahan secara dini terhadap hazard yang mungkin terjadi dan pengendalian sepanjang lintasan kritisnya (CCP). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ada 14 tahapan pengolahan krupuk udang yaitu tahap receiving, mixing, extruding, steaming, aging, chilling, cutting, drying, sorting, metal detecting, weighing, packing, storage
dan
stuffing.
Dari
proses
tersebut
terdapat
7
tahapan
teridentifikasi adanya bahaya potensial yaitu pada tahapan penerimaan udang, tepung, gula dan garam, penerimaan telur, breaking, pengeringan, dan penyimpanan di gudang.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
12
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Keamanan Pangan pada Industri Pangan Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan
menetapkan
bahwa
dalam
memproduksi
pangan
untuk
diperdagangkan, setiap industri pangan baik skala besar, menengah, menengah kecil maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dari aspek
penyediaan
fasilitas
produksi,
proses
produksi/pengolahan,
pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gisi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain: PerMenKes No 23/ Men Kes/SK/1978 tentang pedoman
cara
produksi
pangan
yang
baik
(CPPB)
atau
good
manufacturing practice (GMP); Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992; PerMenKes No. 722/MenKes/ IX/1998 tentang bahan tambahan pangan (BTP) dan penggunaannya; Pedoman hygiene makanan Tahun 1996 (Departemen Kesehatan, 1998); Undang-Undang pangan RI No. 7 Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4 sampai dengan pasal 23 (Kantor Menpangan, 1996); dan Peraturan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
13
Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM, 2004). Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya: (1) Setiap industri pangan memberi informasi mengenai pangan yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai dihilirnya baik menyangkut aspek gisi, mutu dan keamanan pangan maupun lingkungannya (Kantor Menteri Nagara Pangan dan Hortikultura, 1999). Sementara itu, di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan yang
dijanjikannya
(Dirjen
Perdagangan
Dalam
Negeri,
1999).
Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap produsen/industri pangan yang diperdagangkan produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala menengah. Berdasarkan laporan selama Pelita V dan VI serta laporan pemberitaan di media massa menunjukan bahwa masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
14
keamanan dan mutu pangan, misalnya adanya cemaran mikroba pada produk pangan; penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan, terutama zat pewarna, pengawet dan pemanis; adanya residu pestisida yang masih tinggi pada produk-produk hortikultura, adanya cemaran logam berat dan lain-lain. Di samping
itu
masih
ditemukan
peredaran
produk
pangan
yang
komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk pangan yang tidak mencatumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al (2001) menunjukkan bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang menggunakan dalam penelitian, pada umumnya industri pangan tersebut banyak yang belum menerapkan prinsip-prinsip atau aspek manajemen keamanan pangan yang baik untuk menjamin keamanan pangan produk pangan yang dihasilkannya. Prosentase industri pangan yang sudah mengerti dan menerapkan/ mengimplementasikan aspek keamanan pangan dapat dilihat pada Tabel 1.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
15
Tabel 1. Persentase Industri Pangan yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan
Aspek Keamanan pangan GMP (Good Manufacturing Practice) SOP (Standard Operating Procedure) Sanitasi dan Higiene
Persentase (%) Industri Pangan Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan Paham dan Paham tapi Paham tapi Paham tapi menerapkan menerapakan menerapkan tidak secara penuh sebagian besar sebagian menerapkan kecil sama sekali 25
40
25
10
25
35
7,5
32,5
30
45
20
5
Sumber: Sudibyo, et al (2001) Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila dirataratakan hasil persentasinya, maka baru 35-40 % industri pangan berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan hygiene serta SOP. Padahal ketiga aspek tersebut dalam program jaminan keamanan pangan merupakan program persyaratan dasar (prerequisite programs) yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh setiap industri pangan termasuk industri pangan berskala menengah sebelum melangkah lebih lanjut dalam menerapkan sistem HACCP (WHO, 1997; NACMCF, 1998). 2.2.2. Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Anonim (2007) mengemukakan bahwa keamanan hasil dan produk perikanan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah hasil dan produk perikanan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
16
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta menjamin bahwa hasil dan produk perikanan tidak akan membahayakan konsumen. Tingkat penerimaan produk pangan, termasuk hasil perikanan yang dikonsumsi, tidak hanya dinilai melalui konsepsi mutu konvensional, tetapi terkait erat dengan jaminan keamanannya, ditinjau dari cemaran fisik, kimia dan biologis. Tingkat penerimaannya tidaklah cukup hanya dari salah satu standar mutu, tetapi harus melalui suatu sistem jaminan mutu yang terintegrasi. Di dunia perdagangan, standar mutu hasil perikanan telah banyak dikeluarkan, meskipun belum semuanya menerapkannya. Beberapa indikator mutu yang digunakan yaitu sifat barang, tolok ukur, dan faktor mutu. Sedangkan, persyaratan konsumen yang menyangkut keamanan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan ditempatkan pada standar terpisah (Anonim, 2008). Di tingkat industri pangan, pengendalian mutu berkaitan dengan pola pengelolaan dalam industri. Citra mutu suatu produk ditegakkan oleh pimpinan perusahaan dan dijaga oleh seluruh bagian atau satuan kerja dalam perusahaan/industri. Dalam industri pangan, pengendalian mutu sama
pentingnya
diperlukan
agar
mengecewakan
dengan mutu
kegiatan
dapat
konsumen.
produksi.
memenuhi
Karena
itu,
Pengawasan
kebutuhan
bagian
mutu
dan
tidak
pemasaran
harus
melaksanakan fungsi pengawasan mutu menurut bidangnya. Kerja sama,
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
17
kesinambungan, dan keterkaitan yang sangat erat antar satuan kerja dalam organisasi perusahaan semuanya menuju satu tujuan, yaitu mutu produk yang terbaik. Diterbitkannya UU No.7 tentang pangan tahun 1996 merupakan langkah maju yang dicapai pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Penjabaran UU tersebut dituangkan pada peraturan pemerintah (PP) tentang keamanan, Mutu dan Gisi Pangan, PP tentang Label dan Iklan Pangan serta PP tentang Standarisasi Nasional (Anonim, 2008). Pemerintah juga memberikan posisi tawar yang kuat bagi konsumen, guna melindungi diri, harkat dan martabatnya dengan penerbitan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (Thaheer, 2005). Karena itu, konsumen berhak mengkomplain produsen pangan apabila produk yang diterima tidak sesuai isinya, rusak ataupun mengkomplain
pemberi
sertifikat
sistem
HACCP
yang
menjamin
keefektifan penerapan sistem HACCP produsen. Masalah-masalah yang dihadapi oleh Indonesia berkaitan dengan mutu hasil perikanan, yaitu : (1) Persyaratan mutu yang dikehendaki negara pengimpor sangat tinggi; (2) Jumlah dengan mutu yang tidak memenuhi kuota; (3) Persaingan Internasional; (4) Perubahan harga yang cepat;
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
18
(5) Pemasaran tidak langsung yang merugikan produsen maupun negara; (6) Adanya proteksi di negara pengimpor dan batas kuota; (7) Adanya penolakan komoditas ekspor atau klaim (claim) oleh negara pengimpor. 2.2.3. Pengendalian Mutu Pengendalian (official control) adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan verifikasi terhadap kesesuaian antara penerapan sistem mutu oleh pelaku usaha dengan peraturan/ketentuan dalam rangka memberi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan (Anonim, 2007). Telah menjadi sangat jelas bahwa produk bermutu tinggi memiliki keunggulan mencolok di pasar, bahwa pangsa pasar (market share) dapat meningkat atau hilang karena masalah mutu. Karenanya mutu menjadi prioritas bersaing. Perusahaan berusaha mengendalikan relibialitas (keandalan) keluaran sistem produksi. Kualitas dan Kuantitas dipantau dengan cara tertentu, dan hasilnya dibandingkan dengan standar. Meskipun pada umumnya tertarik pada ukuran kualitas, perubahan pada kuantitas keluaran mungkin juga merupakan gejala dari masalah reliabilitas. Biaya pengendalian kualitas dan kuantitas merupakan turunan dari reliabilitas. Bila hasilnya diinterpretasikan, dapat disimpulkan bahwa proses perlu disesuaikan kembali atau bahwa ada sesuatu yang secara fundamental
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
19
keliru, dan dengan demikian memerlukan perbaikan mesin atau pelatihan kembali dalam operasi. Jika peralatan mengalami kerusakan, maka fungsi pemeliharaan dibutuhkan. Informasi tentang kualitas dan kuantitas keluaran juga dapat digunakan untuk melakukan program pemeliharaan preventif yang dirancang untuk mengantisipasi kerusakan. Jadi, meskipun interaksi-interaksi penting lain juga berpengaruh, pemastian mutu dipusatkan pada pengendalian mutu dan pemeliharaan peralatan (Buffa dan Rakesh, 1996 ). Pengawasan pada hakekatnya menentukan tolok ukur / standarstandar, melakukan pemeriksaan hasil-hasil dan pembandingan hasil dengan standar, melihat penyimpangan-penyimpangan dan umpan balik sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan (Reksohadiprodjo, 1995). Kualitas adalah ukuran seberapa dekat suatu barang atau jasa sesuai dengan standar tertentu. Standar mungkin bertalian dengan waktu, bahan, kinerja, kehandalan, atau karakteristik (obyektif dan dapat diukur) yang dapat dikuantifikasikan. Menurut Reksohadiprodjo (1995), agar supaya terjamin kualitas maka beberapa organisasi dewasa ini memiliki gugus kendali mutu (quality control circeles), yaitu kelompok kecil karyawan yang bertemu secara sukarela secara teratur bertukar ide dalam usaha mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan soal yang bertalian dengan kualitas atau kerja. Biasanya mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hasilnya
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
20
berkurangnya kerusakan, absensi, dan perbaikan serta peningkatan kepuasan kerja dan produktivitas. Pengawasan kualitas mencakup pengukuran karakteristik ukuran kualitas, umpan balik data, perbandingan dengan standar spesifik dan tindakan perbaikan bila perlu. Bagaimanapun juga kualitas barang berbeda dengan kualitas jasa. Pendekatan pengawasan kualitas adalah (1) sampling penerimaan (acceptance sampling) barang yang masuk dan keluar,
dan
(2)
pengawasan
proses
(process
control)
kegiatan
transformasi riil (Reksohadiprodjo, 1995). Pengendalian mutu produk hasil perikanan disuatu perusahaan dipengaruhi beberapa hal antara lain: a. Sistem Manajemen Mutu ISO
9000
dikeluarkan
oleh
International
Organization
for
Standardization (ISO) yang berpusat di Genewa. ISO 9000 merupakan seri standar internasional untuk sistem mutu yang mengharuskan persyaratan-persyaratan yang spesifik dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen, dengan tujuan menjamin bahwa pemasok (perusahaan) menyerahkan atau memproduksi barang dan atau jasa sesuai persyaratan yang ditetapkan. Standar internasional seri ISO 9000 diterbitkan dalam enam dokumen terpisah dengan nama ISO 8402, ISO 9000, ISO 9001, ISO 9002, ISO 9003 dan ISO 9004 (Hadiwiardjo dan Wibisono, 1996).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
21
Seri ISO 9000 direvisi setiap enam tahun sekali dan pada tahun 2000 dilakukan revisi ISO 9000. Menurut Badan Standarisasi Nasional /BSN (2000) dalam revisi ISO tersebut terdapat empat standar utama, di bawah ini: ISO 9000
: sistem manajemen mutu- konsep dan peristilahan
ISO 9001
: sistem manajemen mutu-persyaratan
ISO 9004
: sistem manajemen mutu-panduan
ISO 10011
: panduan pengauditan sistem mutu
Standar ISO tersebut di atas dilebur menjadi standar tunggal ISO 9001, sehingga dalam ISO 9000 revisi 2000 (ISO 9001:2000) hanya ada satu standar berisi persyaratan, yaitu ISO 9001. Manfaat penerapan ISO 9001:2000 menurut Gaspersz (2001) adalah: (1) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui jaminan mutu yang terorganisasi dan sistematik, (2) meningkatkan citra perusahaan serta daya saing dalam memasuki pasar gobal, (3) menghemat biaya dan mengurangi duplikasi audit sistem mutu oleh pelanggan karena dilaksanakan secara berkala, (4) membuka pasar baru karena nama perusahaan terdaftar pada lembaga registrasi terpercaya, (5) meningkatkan mutu dan produktivitas kerja manajemen melalui kerjasama dan komunikasi yang lebih baik, (6) meningkatkan kesadaran mutu perusahaan, dan (7) mengubah kultur kerja karyawan menjadi kutur mutu.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
22
Suatu organisasi untuk berfungsi efektif harus mengetahui dan mengelola sejumlah kegiatan yang saling berhubungan. Suatu kegiatan yang menggunakan
sumber daya dan dikelola untuk memungkinkan
transformasi masukan menjadi luaran, dapat dianggap sebagai suatu proses. Seringkali keluaran suatu proses merupakan masukan bagi kegiatan berikutnya (Anonim, 2000). Menurut Gaspersz (2001), tahap-tahap penerapan SMM adalah (1) komitmen dari manajemen puncak, (2) membentuk panitia pengarah atau koordinator ISO, (3) mempelajari persyaratan SMM ISO 9001:2000, (4) melakukan pelatihan terhadap semua anggota organisasi, (5) memulai peninjauan ulang manajemen, (6) identifikasi kebijakan mutu, prosedurprosedur yang dibutuhkan dalam dokumen tertulis, (7) implementasi SMM, (8)
memulai
audit
sistem
manajemen
mutu
dan
(9)
memilih
register/lembaga sertifikasi mutu yang terpercaya. Sertifikasi ISO adalah sebagai bukti bahwa perusahaan telah menerapkan sistem standar ISO-9000. Langkah penting yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh sertifikat ISO adalah membenahi berbagai aspek manajemen yang sifatnya kedalam, yaitu membudayakan sistem dokumentasi mutu. Sistem dokumentasi mutu yang harus dipersiapkan antara lain (1) quality manual (manual mutu) (2) operating procedure (prosedur operasi) (3) support document (dokumen pendukung) (Yamit. Z, 2003).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
23
b. Sistem Manajemen Keamanan Pangan 1). Keamanan Pangan Menurut
Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996
tentang Pangan,
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan. Menurut Fardiaz (1996), terdapat empat masalah utama dalam sistem keamanan pangan Indonesia, sebagai berikut : 1. Masih banyak ditemukan produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan peredarannya. 2. Masih banyak kasus penyakit dan keracunan melalui makanan, yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. 3. Masih banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan yang tidak memenuhi
persyaratan, terutama industri kecil atau
industri rumah tangga dan penjual makanan jajanan. 4. Rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen terhadap keamanan pangan. Anonim (2000) mengungkapkan bahwa penyakit karena pangan (foodborne disease) merupakan penyebab 70 persen dari sekitar 1,5 milyar kejadian penyakit diare, dan setiap tahunnya menyebabkan 3 juta kematian anak berusia dibawah 5 tahun. Parameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukkan tingkat keamanan pangan di
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
24
suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan. Data yang diperoleh berdasarkan pelaporan yang diterima mencakup jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan, jumlah orang yang sakit dan jumlah orang yang meninggal. Sesuai dengan Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, konsumen berhak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan dari produk yang digunakan. Oleh karena itu, produsen wajib untuk menjamin mutu barang dan / atau jasa yang diproduksi dan/atau yang diperdagangkan sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Berbagai perangkat diperlukan dalam membangun pendekatan terstruktur dan terintegrasi dalam menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu tinggi. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan mikrobiologis dan mutu pangan dapat dilihat pada Gambar 1.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
25
Manajemen Keamanan Pangan
Persyaratan Umum
GMP/GHP (Selalu diterapkan)
Manajemen Mutu
Penentu Khusus
Strategi Manajerial Janka Panjang
Semua Unsur Mutu
RENCANA JAMINAN KEAMANAN PANGAN (PRODUKPROSES)= RENCANA HACCP
Sistem mutu (ISO 9000)
TQM
Gambar 1. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan mikrobiologis dan mutu pangan (ILSI dalam Jouve, 2000)
Dalam
pendekatan
tersebut,
dokumen
Good
Manufacturing
Practices (GMP) yang berisi tentang cara-cara memproduksi makanan yang baik dan syarat-syarat higienis yang menjelaskan kondisi dasar dalam kegaiatan produksi pangan higienis yang mencakup penggunaan peralatan
pengelolaan
pangan
higienis,
jadwal
perawatan
dan
pembersihan peralatan dan fasilitas, serta pelatihan dan kesehatan karyawan. Sistem HACCP merupakan pendekatan terstruktur terhadap manajemen bahaya yang bertujuan menjaga keamanan pangan produk dari bahaya biologis, kimia, fisik yang dapat terjadi pada produksi, distribusi dan penjualan pangan, serta mengendalikannya pada tingkat yang aman (Jouve, 2000).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
26
2). Good Manufacturing Practice (GMP) Operating Procedure (SSOP)
dan Standard Sanitation
Sistem HACCP sebagai suatu sistem pengendalian keamanan pangan mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didasari oleh faktorfaktor pengendali yang mendasar terhadap resiko bahaya ketidakamanan pangan dan atau mutu (Wiryanti dan Witjaksono 2001). Faktor pengendali yang
menjadi
prasyarat
(pre-requisite
programs–PRP)
efektivitas
penerapan program HACCP sebagai suatu system pengendalian mutu adalah terpenuhinya persyaratan kelayakan dasar unit pengolahan (CAC, 2003 dalam Girsang, 2007), yang meliputi: i). Cara berproduksi yang baik dan benar (Good Manufacturing Practices - GMP) GMP merupakan suatu metode atau cara berproduksi yang baik yang benar dalam rangka menghasilkan produk dengan mutu yang baik sesuai dengan harapan. Selanjutnya GMP menyangkut informasi dan langkah-langkah detil dalam setiap tahapan proses pengolahan. Hal ini dimaksudkan agar setiap penanggung-jawab proses pengolahan dapat memahaminya dengan baik sehingga dia bisa mengimplementasikannya di lapangan bersama para karyawan lainnya. Tahapan proses pengolahan ini tentu saja berbeda antara satu jenis produk dengan jenis produk lainnya atau kemungkinan juga berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Langkah-langkah dalam setiap tahapan ini mengacu kepada tercapainya aspek food safety dan wholesomeness serta menghindari
terjadinya
economic
fraud.
Misalnya
dalam
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
tahap
27
penerimaan bahan baku, perlu dicantumkan dengan detil: Apa saja kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini?. Bagaimana kondisi
tempat
penerimaan bahan baku?. Bagaimana mengantisipasi kemungkinan kesalahan yang muncul?. Bagaimana pengaturan waktu yang digunakan, dan sebagainya. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan faktor teknis pekerjaan atau GMP di unit pengolahan dan juga pelaksanaan dari prosedur pemantauan atau monitoring procedure yang dituangkan dalam sistem pencatatan atau record keeping. Menurut CAC (2003),
Good Manufacturing Practices (GMP)
meliputi delapan persyaratan, meliputi: 1)
Persyaratan bahan baku
2)
Persyaratan bahan pembantu dan tambahan
makanan (food
additives) 3)
Persyaratan produk akhir
4)
Persyaratan penanganan
5)
Persyaratan pengolahan
6)
Persyaratan pengemasan
7)
Persyaratan penyimpanan
8)
Persyaratan pengangkutan dan distribusi. Penerapan HACCP ditingkat produksi dipandang sebagai suatu
alternatif yang menjanjikan dan bukan suatu yang memberatkan sesuai dengan sifat dari konsepsi/sistem HACCP yang ilmiah, sistematis dan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
28
pragmatis / praktis. Keyakinan tersebut harus tertanam baik oleh pengambil keputusan, pembina / penyuluh, petani ataupun kalangan industri hasil perikanan sehingga kesepakatan mudah dicapai, pekerjaan mudah dilaksanakan dan kriteria mutu mudah dipenuhi (Suhartono, 2007). ii). Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP) SSOP merupakan suatu prosedur standar dalam menciptakan sanitasi di ruang proses pengolahan makanan. Pada intinya SSOP memfokuskan pada aspek-aspek yang terkait dengan kondisi fisik dalam ruang pengolahan. SSOP harus mencakup semua aspek sanitasi di unit pengolahan
termasuk
personil
dan
harus
dilakukan
pemantauan
perusahaan setiap hari sebelum, selama dan sesudah proses dilakukan. Penetapan SSOP harus mencakup tujuan dan prosedur untuk setiap aspek sanitasi (Anonim, 1999). Konsepsi HACCP dalam penerapannya ditetapkan dalam delapan kunci pengawasan pelaksanaan SSOP (Darwanto dan Murniyati, 2003). Menurut Food and Drug Administration USA SSOP umumnya meliputi delapan aspek. Delapan (8) kunci SSOP yang terdiri dari: 1) Keamanan air dan es yang digunakan 2) Kondisi dan kebersihan dari permukaan yang kontak dengan bahan pangan. 3) Pencegahan kontaminasi silang. 4) Fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet serta peralatan yang digunakan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
29
5)
Proteksi/perlindungan dari bahan-bahan kontaminan.
6) Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya (toksin) 7)
Kondisi Kesehatan personil/ karyawan.
8) Pencegahan/pengendalian hama / pest dari unit pengolahan. iii). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen (Bogor Agriculture University, 2005).
HACCP
merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap resiko bahaya signifikan
yang
terkait
dengan
ketidakamanan
pangan
(Codex
Alimentarius Commission, 2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian kritis (critical control point) dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan resiko bahaya (Wiryanti dan Witjaksono, 2001 dalam Winarno, 2002). Anonim
(2007)
mengemukakan
bahwa
syarat
Lebih lanjut
HACCP
perlu
mempertimbangkan prinsip yang terkandung dalam Codex Alimentarius. Syarat tersebut harus cukup fleksibel untuk diterapkan di segala situasi, praktek higienis sudah memadai sehingga tidak diperlukan pengawasan di
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
30
titik tersebut. Demikian pula syarat penentuan ‘batas kritis’ tidak bearti bahwa nilai batas tertentu dapat digunakan untuk semua kasus. Keharusan untuk menyimpan dokumen pun perlu cukup fleksibel agar tidak membebani bisnis yang sangat kecil. Konsepsi HACCP pertama kali diperkenalkan oleh National Food Protection dalam suatu konferensi pada tahun 1972. Dengan adanya isu food safety, sejak tahun 1987 sistim HACCP banyak didiskusikan dan berkembang secara internasional, termasuk di Indonesia. c. Kebijakan Pemerintah di Bidang Mutu Hasil Perikanan Negara maju tujuan ekspor seperti Uni Eropa, AS, Kanada, dan Jepang memberlakukan ketentuan HACCP, Menteri Pertanian RI melegalkan program PMMT menjadi Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan pada tahun 1998. Sehingga Indonesia memiliki sistem pengawasan mutu berkekuatan hukum baru, yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 41/Kpts/IK.210/2/98 tentang sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Selanjutnya Dirjen Perikanan menindaklanjuti SK Mentan tersebut dengan mengeluarkan “Petunjuk Pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan”, tertuang dalam Surat Keputusan Dirjen Perikanan Nop. 1428/Kpts/Ik.120/12/98. Perubahan
lembaga
pemerintahan
di
tahun
1998,
yang
menempatkan Ditjen Perikanan di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), maka SK Mentan No.41 tahun 1998 tadi diperbaharui ke dalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
31
01/MEN/2002 tentang “Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan” Keputusan ini mengatur bahwa sistem mutu hasil perikanan dituangkan dalam bentuk Sertifikasi (Mangunsong, 2009). 2.2.4. Bauran Produk ( product mix / produk assortment ) Produk adalah apa saja yang dapat ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Termasuk di dalamnya adalah obyek fisik, jasa, orang, tempat, organisasi, dan gagasan (Kotler, 1991). Pelanggan membeli produk lebih karena nilai yang terkandung di dalam produk tersebut. Setiap produk mengandung beberapa tingkatan, mulai dari core benefit, basic product, expected product, augmented product hingga potential product.
Produk dapat digolongkan berdasarkan wujud dan
ketahanannya, yaitu durability, dan tangibility, serta jenis pendek, yaitu produk konsumer (consumer product) dan produk industri (industrial product). Selain mengembangkan fitur produk, pemasar juga harus berupaya agar
konsumen mampu mengidentifikasi produknya. Ada 3 alat untuk
membuat konsumen mampu mengidentifikasi produk, yaitu branding (mengelola merek), packaging (kemasan), serta labelling (memberikan label). Menurut Kotler (1991), bauran produk (product mix/produk assortment)
ialah kumpulan seluruh lini produk yang ditawarkan oleh
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
32
suatu perusahaan kepada pembeli.
Bauran produk suatu perusahaan
dapat digambarkan dengan lingkup kelebaran tertentu, kepanjangan tertentu, kedalaman tertentu dan konsistensi tertentu. Bauran produk (product assortment) terdiri dari width atau kelebaran suatu bauran produk (seberapa banyak perbedaan lini produk perusahaan); length (jumlah total item produk yang ada dalam bauran); depth (seberapa banyak variasi yang ditawarkan oleh setiap produk dalam satu lini); consistency (seberapa dekat hubungan antara berbagai lini produk). Dengan memahami keempat dimensi di atas, perusahaan akan lebih mudah menetapkan strategi produknya. Perusahaan akan mampu mengembangkan usahanya dengan empat cara. Pertama, perusahaan menambah lini produk baru, sehingga sama saja dengan memperlebar bauran produk. Dengan cara ini lini baru akan memanfaatkan kesempatan dari reputasi perusahaan dalam lini-lini yang lain. Cara kedua menurut Kotler (1991) ialah memperpanjang lini produk yang ada sehingga menjadi satu perusahaan dengan lini produk yang lebih lengkap. Cara ketiga dilakukan dengan menambah ukuran, formula, atau ciri yang lain dari setiap produk, sehingga akan memperdalam bauran produk. Yang terakhir ialah menambah atau mengurangi konsistensi lini produk, tergantung pada apakah perusahaan ingin meraih reputasi kuat pada satu bidang saja atau melibatkan diri di beberapa bidang.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
33
Kotler (1991) menjelaskan perencanaan bauran produk sebagian besar merupakan tanggungjawab para perencana strategi perusahaan. Dengan
informasi
yang
dihimpun
dari
para
tenaga
pemasaran
perusahaan, para perencana strategi ini harus meneliti dan memutuskan lini produk mana yang harus dikembangkan, mana yang harus dipertahankan saja, mana yang tinggal dipetik hasilnya, atau yang harus ditarik dari peredaran. 2.2.5. Ikan Tuna dan Proses Pengalengannya a. Ikan Tuna Tuna adalah ikan yang paling popular untuk dikonsumsi mentah dan sebagai bahan pengolahan ikan yang mahal karena daging ikannya mengandung lemak tidak jenuh dari mulai sedang sampai tinggi, tekstur kuat, unik tapi lembut apalagi karena kelezatannya tuna dikenal hampir di seluruh dunia (Anonim, 2006). Tuna dan cakalang merupakan anggota famili Scombridae. Ada beberapa jenis ikan tuna yang dapat diekspor yang tertangkap dari perairan Indonesia diantaranya adalah Madidihang atau Yellowfin tuna (Thunnus albacores), tuna mata besar atau Bigeye tuna (Thunnus obesus). Albakora atau Albacores (Thunnus allalunga) dan tuna sirip biru atau Bluefin tuna (Thunnus maccoyi). Selain itu ada kelompok tuna yang dapat diekspor yang disebut sebagai Little tuna, diantaranya adalah cakalang atau Skipjack (Katsuwonus pelamis) (Diniah et al. 2001).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
34
Tuna menyebar diseluruh perairan di Indonesia. Hasil penangkapan ikan di Indonesia bagian Barat yang meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai Utara dan Timur Aceh, pantai Barat Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, maupun di perairan Indonesia Timur yang meliputi laut Banda, Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebalah Utara Irian Jaya dan Selat Makasar (Uktolseja et al, 1991). b. Proses Pengalengan Ikan Tuna Proses pengolahan pengalengan ikan tuna pada prinsipnya sama antara industri yang satu dengan yang lainnya. Ikan tuna memiliki dua jenis daging yakni daging putih dan daging merah. Bahan baku ikan tuna kalengan berasal dari jenis daging putih. Jenis ikan yang banyak digunakan di Indonesia dalam industri pengolahan adalah skipjack (Katsuwonus pelamis), dan yellowfin (Neothunnus macroptenus). Pengalengan ikan tuna merupakan salah satu bentuk pengolahan pangan yang sudah umum dilakukan. Proses pengalengan ini dimulai dari awal penerimaan bahan baku berupa ikan tuna beku. Sebelum ikan tuna beku diproses, dilakukan sortasi untuk memisahkan ikan yang layak diproses dan yang tidak layak diproses. Tahap-tahap proses pengalengan tuna berdasarkan Canadian Food Inspection Agency (1997), dapat dilihat pada Gambar 2.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
35
1. Penerimaan kaleng
2.Penyimpanan kaleng
9. Penerimaan tuna segar
11. Penerimaan tuna beku
10. Penyimpanan tuna segar
5.Penerimaan bahan bumbu dan label
12. Penyimpanan tuna beku 13. Thawing
3.Can depalletizing
7. Pencampuran bahan untuk bumbu
14.Butchering 4.Pembersihan kaleng
6.Penyimpanan
15.Grading/sorting 16.Racking 17.Staging 18.Pre-cooking 19.Cooling Pre-Cooked 20.Loin Cleaning 21.Shaper/packer 8. Penambahan bumbu
22. Weighing Machine 23. Can Fill Maonitoring 24.Coding 25.Double seaming 26.Can Washer 27.Basket Loading 28.Retorting 29.Air berklorin
30.Cooling 31.Air cool & dry
Finished product evaluation
32.Warehouse 33.Labelling & Box Up 34.Shipping
Gambar 2. Tahapan pengalengan tuna (Canadian Food Inspection Agency, 1997) Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
36
Berdasarkan SNI 01-2712 2-1992, teknik pengalengan tuna adalah sebagai berikut : 1. Penerimaan bahan baku Setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak secara organoleptik dan ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan hygiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar (harus segera dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu maksimum 5oC. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku, apabila menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es yang bersuhu -25 oC. Bahan baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya harus disimpan pada suhu chilling (0 oC). 2. Persiapan Apabila bahan baku masih dalam keadaan beku maka dilakukan pelelehan (thawing) dalam air
mengalir yang bersuhu
10 o-15oC.
Untuk ikan dalam keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip dan pembuangan isi perut. Sedangkan ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan menjadi bagian yang sesuai dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak precooking.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
37
3.
Pemasakan pendahuluan (pre-cooking) Ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak dimasukkan ke dalam alat pemasak menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1-4 jam (mampu mereduksi 17,5% kadar air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan 100-105oC.
4. Penurunan suhu Ikan yang telah masak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30 oC) dalam waktu maksimum 6 jam. 5. Pembersihan daging Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah menggunakan pisau yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang terbuang ditampung dalam wadah yang terpisah. 6. Pemotongan Daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah, dipotong-potong dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran kaleng.
Pada tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi
terhadap daging yang rusak.
Daging putih yang telah dipotong
secepatnya harus dimasukkan/diisikan ke dalam kaleng.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
38
7. Pengisian Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata daging ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk, flake, standard, grated) a) Solid
: 1-2 potong daging putih, bebas serpihan
b) Standard
: 2-3 potong daging putih, serpihan maksimum 2%
c) Chunk
: serpihan daging putih + satu kali makan, serpihan flake maksimum 40%.
d) Flake
: potongan daging kecil < chunk
e) Grated
: daging kecil (flake, tidak seperti pasta)
8. Penambahan medium Medium (media) ditambahkan sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu medium antara 70-80oC. Pengisian media hingga batas head space atau antara 6-10% dari tinggi kaleng. 9. Penutupan kaleng Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming dan dilakukan pemeriksaan secara periodik. 10. Sterilisasi Sterilisasi dilakukan di dalam retort dengan nilai Fo sesuai dengan jenis dan ukuran kaleng, media dan tipe produk dalam kemasan atau equivalent dengan nilai
Fo >2,8 menit pada suhu 120 oC.
Pada
setiap sterilisasi harus dilakukan pencatatan suhu secara periodik.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
39
Proses sterilisasi difokuskan untuk membunuh bakteri Clostridium botulinum dan mencegah pertumbuhannya. 11. Penurunan suhu dan pencucian Penurunan suhu dan pencucian menggunakan air yang mengandung residu klor 2 ppm. Setelah dikeluarkan dari retort, kaleng dipindahkan ke tempat yang terlindung (restricted area) untuk pendinginan dan pengeringan. 12. Pemeraman /Inkubasi Kaleng yang telah dingin dimasukkan dalam suatu ruang dengan suhu kamar dan diletakkan dengan posisi terbalik, dan kemudian dilakukan pengecekan terhadap kerusakan kaleng. Kaleng yang dianggap rusak adalah kaleng yang menggembung atau bocor. Pemeraman /inkubasi dilakukan minimal salama 7 (tujuh) hari.
2.3. Kerangka Pemikiran Persaingan produk yang semakin terbuka merupakan tantangan bagi industri pangan, khususnya industri perikanan untuk memenuhi harapan dan tuntutan pasar akan produk perikanan yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, setiap perusahaan melakukan berbagai upaya agar produk yang dihasilkan diterima oleh pasar dan dapat mengungguli produk yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengimplementasikan pengendalian mutu dan keamanan pangan dengan menerapkan sistem manajemen
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
40
mutu dan sistem manajemen keamanan pangan yang tersertifikasi seperti ISO 9001: 2000 dan HACCP. Industri yang telah menerapkan sistem manajemen mutu (SMM) standar internasional ISO 9001, dinilai telah menempatkan mutu sebagai syarat mulak bukan hanya pada produk yang dihasilkannya tetapi juga sistem yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Penerapan sistem
manajemen
memberikan
keamanan
jaminan
bahwa
pangan
(SMKP)
sesuai
produk
yang
dihasilkan
HACCP telah
mengedepankan persyaratan keamanan produk dalam semua rantai pengolahan hingga produk tersebut diterima oleh pasar. Kedua sistem tersebut memiliki unsur-unsur yang harus diterapkan dengan baik dan diikuti dengan kegiatan perbaikan terus menerus untuk menjamin efektifitas sistem yang diterapkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian penerapan jaminan mutu dan keaman pangan sesuai dengan sistem manajemen mutu dan sistem manajemen keamanan pangan melalui pengamatan langsung di industri pengolahan untuk mengetahui kondisi objek dalam menghasilkan produk yang bermutu, aman dan memiliki daya saing dengan produk sejenisnya. Penilaian penerapan sistem manajemen mutu (SMM) dan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP) dilakukan dengan menilai kesesuaian sistem yang diterapkan di perusahaan dibandingkan dengan persyaratan ISO 9001 dan HACCP. Adapun diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3, dibawah ini.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
41
Mulai
Identifikasi faktor mutu tuna kaleng
Berdasarkan Sistem Manajemen Mutu (ISO:9001:2000)
Penilaian penerapan sistem manajemen mutu (SMM) Analisis Self Assesment
Berdasarkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Penilaian penerapan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP)
Rekomendasi perbaikan implementasi SMM dan SMKP
Implementasi
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
Dasar pemilihan industri pengolahan tuna kaleng sebagai obyek penelitian dikarenakan saat ini cakupan pemasaran tuna kaleng sangat luas,
baik
pasar
domestik/lokal
maupun
ekspor.
Jain
(2001),
mengemukakan bahwa pasar ekspor menawarkan beberapa peluang. Namun demikian, untuk memperoleh peluang ini perusahaan harus
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
42
mengembangkan suatu fokus ekspor dan melakukan pekerjaan yang menyeluruh dalam mengidentifikasi pasar/produk. Disamping itu produk pengolahan hasil perikanan termasuk tuna kaleng sejak diberlakukan persyaratan regulasi yang mendukung keamanan pangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah; yakni Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.21/MEN/2004 tentang sistem Pengawasan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan Untuk Pasar Uni Eropa. Selanjutnya dua tahun berikutnya yaitu dengan berlakunya
PER.03A/DJ-P2HP/2007
tentang
Operasionalisasi
Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Karenanya sejak awal tahun 2007 peraturan tersebut berlaku, oleh Otoritas Kompeten memberikan tanggung jawab kepada Komisi Approval; yang mana salah satu butir tugas tersebut adalah Pemberian Approval Number (persetujuan)
bagi perusahaan yang akan melakukan ekspor
hasil perikanan ke UE serta pemberlakuan pembekuan dan/atau pencabutan dari daftar (delisting) bagi perusahaan, karena tidak lagi memenuhi persyaratan untuk tujuan tertentu. Berkaitan erat dari uraian ini, khususnya di Propinsi Jawa Timur termasuk Kabupaten Banyuwangi; sejak saat itu hingga sampai saat ini terdapat beberapa industri pengolahan ikan (UPI)
memvakumkan/menghentikan pemasarannya
untuk pasar Eropa (Uni Eropa) sebagai akibat perusahaan/industri belum dapat sepenuhnya menerapkan standar mutu yang dipersyaratkan (sesuai dengan persyaratan/peraturan yang berlaku).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
43
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan, mulai 19 Oktober 2009 sampai 20 Nopember 2009 di industri pengolahan ikan tuna kaleng untuk pasar lokal (dalam negeri) yang ada di Banyuwangi-Jawa Timur, yaitu di perusahaan PT. Blambangan Foodpackers Indonesia.
3.2. Penentuan Sampel Cara pengembilan sampel dari populasi yang sesuai dengan penelitian ini adalah Non Random Sampling, karena peneliti melakukan pengambilan sampel tidak menggunakan teknik random dan tidak didasarkan atas hukum probabilitas. Kemudian pengambilan sampel yang sesuai dengan penelitian ini adalah Purposive Sampling atau Pemilihan Sampel Bertujuan. Kemudian pemilihan responden/sampel berdasarkan pertimbangan atau dilakukan secara judgement sampling, merupakan tipe pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan menggunakan pertimbangan tertentu atau sesuai dengan tujuan/masalah peneliti (Indriantoro dan Supomo, 2002). Pada penelitian ini pemilihan sumber data secara judgement sampling atau dengan sengaja kepada tim sistem manajemen mutu (SMM) dan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP) pada PT. Blambangan Foodpackers Indonesia dengan pertimbangan bahwa para
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
44
responden dapat memberikan data dan informasi yang berhubungan dengan penelitian ini. Tim SMM dan SMKP pada PT. BFPI dimaksud adalah para manajer (manager) pada berbagai level organisasi (puncak, menengah dan operasional), yang terdiri dari General Manager (Manajer Umum), Manajer Personalia dan Umum, Manajer Operasional/Produksi, Manajer
Pemasaran,
Quality
Assurance/Control
(pengawasan/
pengendalian mutu), QC/QA Supervisor, Supervisor Produksi, Manajer Keuangan/ Akunting, PPIC/Internal Sales, Purchasing (Pengadaan dan Pembelian Bahan Baku), Bagian Gudang Barang Jadi serta Bagian Teknik.
3.3. Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data sebagai berikut: 1. Pengumpulan data primer, yaitu dengan mengadakan wawancara (yang dilakukan secara langsung) dengan sumber data dari tim SMM dan SMKP di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia, ahli/pakar yang memiliki pengetahuan tentang SMM dan SMKP untuk perikanan dan instansi pemerintah yang terkait serta mengadakan pengamatan langsung di lapangan pada industri pengolahan hasil perikanan khususnya pengalengan ikan tuna di PT. BFPI. 2. Pengumpulan data sekunder, yaitu dengan penelusuran buku-buku, keadaan umum perusahaan dan penerapan HACCP diperusahaan yang berupa manual HACCP (manual HACCP untuk tuna kaleng),
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
45
hasil-hasil penelitian, jurnal dan sumber lain yang berhubungan. Selain itu, data juga diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi dan Banyuwangi, serta
UPTD TPI / PPI Muncar Kabupaten
Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan
Banyuwangi Jawa Timur.
3.4. Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang benar mengenai suatu obyek dan menguji kebenaran dari suatu pendapat serta membandingan keadaan yang ada di lapangan dengan teori/peraturan yang sesuai literatur atau pedoman yang digunakan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara, isian kuesioner dan pengamatan/tinjauan langsung ke lapangan, dianalisa menggunakan metode self assesment. Analisa data yang diperoleh dari perusahaan mengenai penelitian ini, dibagi menjadi dua, yaitu: a. Analisa data penilaian penerapan sistem manajemen mutu berdasarkan ISO 9001:2000. Data penerapan sistem manajemen mutu (SMM), diperoleh dari hasil
isian
kuesioner
dan
pengamatan
lapangan
yang
dianalisa
menggunakan metode self assesment. Menurut Girsang (2007), tahapan penilaian dari metode self assesment adalah sebagai berikut: 1) Jawaban dari setiap pertanyaan dinilai berdasarkan isian kuesioner. Setiap jawaban mempunyai jangkauan penilaian 0 (untuk jawaban
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
46
tidak) dan 1 (untuk jawaban ya). Bila pertanyaan berulang pada bagian yang berbeda, maka nilainya adalah 0,5. 2) Setiap unsur mempunyai nilai maksium yang merupakan nilai maksimum unsur jika setiap elemen diterapkan. 3) Nilai setiap unsur yang diterapkan dibandingkan dengan nilai maksimum setiap unsur. 4) Dilakukan interpretasi terhadap nilai penerapan yang diperoleh perusahaan, yaitu sebagai berikut:
Nilai penerapan < 50 % nilai maksimum = tidak terpenuhi
Nilai penerapan = 50 % nilai maksimum = dipenuhi sebagian
Nilai penerapan > 50 % nilai maksimum = dipenuhi Interpretasi penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 yang telah
diperoleh kemudian dianalisa. b. Analisa data penilaian penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP. Data penerapan keamanan pangan yang diperoleh lebih ditekankan melalui hasil wawancara dan pengamatan (observasi) di lapangan, pengamatan keadaan nyata perusahaan dan pengamatan langsung penerapan sistem HACCP (proses produksi tuna kaleng), yaitu mulai dari pengadaan bahan baku sampai dengan produk akhir dikemas dan digudangkan sebelum dipasarkan kepada konsumen. Kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi bahaya (hazard) yang sering timbul dalam tahapan proses. Untuk memberi perhatian khusus terhadap tahapan proses yang merupakan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
47
titik kritis, untuk menganalisis sistem pengawasan mutu dalam mencapai standar mutu yang telah ditetapkan dan memberi solusi perbaikan hasil temuan dalam evaluasi keamanan pangan dalam rangka pencapaian jaminan mutu yang telah ditetapkan.
3.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 3.5.1. Definisi Operasional Pengendalian mutu dan keamanan pangan dengan menerapkan sistem manajemen mutu yang disepakati secara internasional dan sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan industri perikanan adalah ISO 9001:2000 dan program HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Program/sistem tersebut telah ditetapkan secara wajib (mandatory) untuk diterapkan pada industri perikanan di beberapa negara industri maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia dan Kanada. Industri perikanan di Indonesia program HACCP diatur melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Penerapan
HACCP
diawali
dengan
suatu
perencanaan,
pelaksanaan perencanaan dan pengendalian (pengawasan) terhadap pelaksanaan perencanaan. Program tersebut meliputi: (1) Food Safety (keamanan pangan), (2) penentuan Critical Control Point (CCP), (3) Standart Operating Procedures (SSOP) (4) Good Manufacturing Practice (GMP), dan (5) prosedur pelacakan. Secara ringkas alur operasional
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
48
penerapan program MMT/ HACCP di suatu unit produksi komoditi perikanan dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini.
KASUS MUTU HASIL INDUSTRI PERIKANAN
PROGRAM MMT/ HACCP
PENERAPAN MMT/ HACCP
PENGAWASAN PENERAPAN MMT / HACCP
Gambar 4. Alur operasional penerapan MMT/ HACCP
3.5.2. Pengukuran Variabel Pengukuran variabel pada penelitian ini terkait dengan penerapan HACCP pada industri pengolahan hasil perikanan meliputi: 1). Analisis Bahaya serta Penentuan Tindakan Pencegahannya Analisis bahaya (hazard) adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan Critical Control Point
(CCP). Analisis bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap
bahan baku, komposisi (ingredients), setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi hingga tahap penggunaan oleh konsumen.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
49
2). Penentuan/Identifikasi Titik Kendali Kritis (Critical Control Point) Masing–masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji / diidentifikasi dengan menggunakan CCP decision tree atau diagram pohon penentuan CCP yang direkomendasikan oleh Codex Alimentarius Commission dan telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01-4852-1998.
Untuk
menentukan CCP. Decesion tree ini berisi urutan pertanyaan sebagai berikut : P1 : apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap hazard yang telah diidentifikasi ? Ya
: ke P2
Tidak
: apakah pengendalian pada tahap ini sangat penting untuk keamanan. Tidak: Stop bukan CCP.
P2 : apakah tahap ini dapat menghilangkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya hazard sampai tingkat yang diterima? Ya
: CCP
Tidak
: P3
P3 : apakah kontaminasi dari hazard yang telah diidentifikasi melewati tingkat yang diperkenankan atau dapat meningkat sehingga melebihi batas yang diperbolehkan ?
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
50
Ya
: Stop bukan CCP
Tidak
: CCP
P4 : apakah proses selanjutnya akan dapat menghilangkan bahaya atau
mampu
mengurangi
bahaya
sampai
batas
yang
diperbolehkan? Ya
: Stop bukan CCP
Tidak
: CCP
3). Menetapkan Batas kritis (CCP) pada Titik Kendali Kritis Batas-batas kritis adalah batas-batas toleransi yang ditetapkan yang tidak boleh dilampaui (untuk menjamin CCP berada dalam kendali). Batas-batas tersebut dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Pada tahapan ini, tim HACCP menetapkan batas kritis pada titik kendali kritisnya. Setiap tahap yang menjadi titik kendali kritis (CCP) harus ditentukan batas kritisnya. Batas kritis atau Critical Limit ini akan memisahkan antara produk “yang diterima” dan “yang ditolak”, berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ini ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. 4). Menetapkan Prosedur Pemantauan (monitoring) Setiap CCP Tindakan terencana untuk mengamati dan menguji efektifitas pengendalian suatu CCP. Pemantauan dapat memberikan peringatan dini jika terjadi penyimpangan, mencegah/mengurangi kerugian, serta membantu melokalisir dan memecahkan masalah yang timbul.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
51
Prosedur pemantauan ini dapat dilakukan oleh personil yang terampil dengan cara pengamatan (observasi) secara visual yang direkam dalam suatu daftar periksa (checklist) atau pun dengan cara pengujian yang merupakan pengukuran (kimia, fisik) yang direkam ke dalam suatu data sheet. Dalam prosedur pemantauan ini harus mencakup : apa yang akan dipantau (what), dimana akan dilakukan pemantauan (where), siapa yang bertanggung jawab akan melakukan monitoring (who), bagaimana cara memantaunya (how) dan kapan akan dilakukan pemantauan/monitoringnya (when). 5). Menetapan Prosedur Tindakan Koreksi (Corective Action) Pada tahapan ini,
tim HACCP di Perusahaan selanjutnya
menetapkan prosedur tindakan koreksi.Tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus dilakukan jika hasil pemantauan dilakukan jika hasil pemantauan atau monitoring pada suatu titik kendali kritis (CCP) menunjukkan proses tidak terkendali (loss of control) atau terjadi penyimpangan. Tujuan untuk menetapkan tindakan koreksi adalah untuk menjamin eliminasi potensi bahaya, memiliki rencana yang pasti untuk mencegah penyimpangan yang terjadi pada setiap CCP, dan tindakan koreksi diperlukan untuk mengendalikan proses produksi. Tahap identifikasi produk dan disposisinya adalah : Tahap I
: Tentukan apakah produk mengandung hazard keamanan -
Berdasarkan evaluasi tenaga ahli
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
52
-
Berdasarkan
pengujian
secara
fisik,
kimia
dan
mikrobiologi Tahap II
: Jika berdasarkan evaluasi pada tahap I tidak ditemukan hazard, maka produk boleh dikeluarkan (release)
Tahap III : Jika hazard ditemukan berdasarkan evaluasi pada tahap I, tentukan apakah produk dapat :
Tahap IV
-
Diproses kembali
-
Dialihkan untuk penggunaan yang aman : Jika produk mengandung hazard tidak dapat ditangani sebagaimana tahap III, maka produk harus dihanguskan.
6). Menetapan Prosedur Verifikasi Verifikasi adalah metode, prosedur dan pengujian yang digunakan untuk menentukan bahwa pelaksanaan sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan. Dengan verfikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan efektivitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Verifikasi bermanfaat untuk
meningkatkan
perusahaan
akan
kesadaran sistem
dan
HACCP,
pemahaman
tiap
menyediakan
karyawan
dokumentasi
pelaksanaan HACCP, menyisihkan dokumen yang sudah tidak relevan dan menetapkan langkah pengembangan sistem HACCP. Penetapan prosedur verifikasi, meliputi : a. Penetapan jadwal verifikasi b. Pemeriksaan kembali rencana HACCP
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
53
c. Pemeriksaan catatan HACCP d. Pemeriksaan penyimpangan CCP dan prosedur perbaikannya. e. Pengamatan secara visual selama produksi pengendali CCP f. Pengambilan contoh/sampel dan analisa secara acak g. Membuat kesesuaian rencana HACCP 7). Menetapan Prosedur Dokumentasi dan Pencatatan Pada tahap ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan prosedur dokumentasi dan pencatatan (rekaman) dalam sistem HACCP yang dirancang. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP, batas kritis, rekaman hasil pemantauan batas kritis, tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya. Contoh pencatatan dan rekaman : kegiatan pemantauan titik kendali kritis, penyimpangan dan tindakan perbaikan yang terkait, dan perubahan pada sistem HACCP. Oleh karena itu, dokumen ini dapat ditunjukkan kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga digunakan oleh operator. Penetapan Prosedur Dokumentasi dan Pencatatan, meliputi : a. Judul dan tanggal pencatatan b. Keterangan makanan c. Bahan dan peralatan yang digunakan d. Proses pengolahan yang dilakukan e. CCP yang ditemukan f. Batas kritis yang ditetapkan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
54
g. Penyimpangan dari batas kritis yang terjadi h. Tindakan koreksi/perbaikan i.
Identitas tenaga operator peralatan khusus
8). Pergudangan /penyimpanan (warehouse), meliputi kegiatan: a. Penyimpanan sementara bahan baku (raw material) b. Penyimpanan sementara bahan pembantu/tambahan (WIP) c.Penyimpanan hasil olahan (produk akhir) sebelum didistribusi/ dipasarkan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
55
IV. KEADAAN UMUM
4.1. Keadaan Umum Perikanan di Kabupaten Banyuwangi Wilayah perairan di Kabupaten Banyuwangi dibatasi oleh selat Bali di sebelah Timur dan samudra Indonesia sebelah Selatan merupakan salah satu daerah perikanan utama di Jawa Timur. Sesuai dengan potensi sumberdaya perikanan yang tersedia, peningkatan sektor Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Banyuwangi dilaksanakan melalui peningkatan usaha diversifikasi, intensifikasi, ektensifikasi dan rehabilitasi yang meliputi usaha penangkapan ikan di laut, budidaya perikanan air tawar, payau dan laut maupun penangkapan ikan di perairan umum, rehabilitasi mangrove dan terumbu karang. Pengembangan produksi tersebut disamping untuk memenuhi konsumsi dan bahan baku industri perikanan dalam negeri maupun ekspor. Potensi perikanan di selat Bali yang luasnya 960 mil2 memiiliki potensi penangkapan ikan maksimum lestari untuk ikan pelagis dengan hasil ikan yang dominan yakni ikan Lemuru (Sardinella lemuru) sebesar 46.400 ton/tahun. Sedangkan samudera Indonesia yang luasnya 2.000 mil2 (belum termasuk perairan mintakat zone
200 mil) dengan basis
utama di Pancer dan Grajagan memiliki potensi lestari sebesar 212.500 ton/tahun yang terdiri dari ikan domersal besar 103.000 ton/tahun dan ikan permukaan sebesar 109.500 ton/tahun (Anonim, 2009).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
56
Tingkat pengusahaan sumberdaya perikanan dan kelautan di selat Bali sudah dilakukan secara intensif sehingga dinyatakan padat tangkap, sedangkan tingkat pengusahaan di perairan samudera Indonesia masih relative rendah. Upaya pengembangan produksi perikanan dan kelautan setiap tahunnya meningkat dimana pada pelaksanaannya dilakukan secara instansional maupun terpadu. Pengembangan produksi perikanan budidaya, yaitu budidaya air payau dan tawar mengalami kemajuan yang cukup pesat. Pengembangan budidaya air payau (tambak) dilakukan melalui intensifikasi usaha tambak yang sudah ada. Jenis komuditi yang dikembangkan pada budidaya di tambak ini adalah udang Vanname dan ikan Bandeng. Kemudian untuk usaha budidaya air tawar sudah mengalami pergeseran dari usaha yang hanya sampingan, menjadi usaha yang bersifat intensif dengan jenis komuditas ikan Tombro, Tawes, Gurame, Nila, Lele. a. Produksi Perikanan Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan produksi perikanan adalah kualitas
dan jumlah sumberdaya nelayan dan
pembudidaya ikan serta sumberdaya alam yang tersedia. Jumlah nelayan pada tahun 2007 sebanyak 18.839 orang, dan tahun 2008 meningkat menjadi 25.589 orang atau terjadi kenaikan 73,62% (Anomim, 2009). Pada tahun 2008 produksi perikanan dari penangkapan ikan sebesar 40.231.854 kg dengan nilai Rp 123.170.943.320,-. Sedangkan produksi pada tahun 2007 sebesar 61.801.431 kg dengan nilai
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
57
Rp
86.988.832.900,-.
Produksi
perikanan
tahun
2008
mangalami
penurunan sekitar 34%, namun terjadi kenaikan nilai jual sebesar 42 % (lihat Tabel 2). Meningkatnya nilai jual tersebut disebabkan olah peningkatan pemahaman terhadap pentingnya kualitas mutu ikan. Tabel 2. Hasil Produksi dan Nilai dari Perikanan Tangkap di Kabupaten Banyuwangi No
Kecamatan
1. Muncar 2. Pesanggaran 3. Purwoharjo 4. Wongsorejo 5. Kalipuro 6. Banyuwangi 7. Kabat 8. Rogojampi 9. Tegaldlimo Jumlah
Tahun 2007 Produksi Nilai (Rp) (kg) 59.884.951 82.402.032.700 1.171.200 1.705.059.300 260.432 338.910.400 151.229 994.011.000 137.300 418.800.000 8.904 35.032.500 25.739 165.111.000 150.347 853.800.000 11.275 79.085.000 61.801.431 869.988.831.900
Tahun 2008 Produksi Nilai (Rp) (kg) 37.630.389 116.144.074.500 1.288.043 2.195.413.320 459.602 476.602.000 140.602 1.087.588.500 529.900 1.970.700.000 9.535 73.635.000 4.320 31.163.000 152.538 1.077.918.000 16.856 113.849.000 40.321.854 132.170.943.320
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Banyuwangi (2009) Tabel 2 diatas menunjukan bahwa produksi perikanan didominasi dari kecamatan Muncar sebesar 93,5 % dari semua produksi hasil penangkapan ikan di laut. Hal ini disebabkan usaha perikanan di Muncar (selat
Bali)
merupakan
pusat
kegiatan
perikanan
di
Kabupaten
Banyuwangi. Disamping itu kegiatan penangkapan ikan di kecamatan tersebut sudah dilaksanakan secara intensif dengan armada dan alat tangkap perikanan yang cukup memadai yaitu Purse seine, Payang, Gill net, Pancing rawai, dan Bagan. b. Pengolahan Hasil Perikanan Hasil produksi dari penangkapan ikan di laut dan perairan umum serta budidaya diolah dan dipasarkan dalam bentuk berbagai produk olahan dan dengan nilai seperti pada Tabel 3.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
58
Tabel 3. Produksi pengolahan dan nilai hasil olahan ikan di Kabupaten Banyuwangi No
Jenis Olahan
1. Pengalengan 2. Pindang 3. Asinan 4. Tepung ikan 5. Es-esan 6. Lain-lain (*) Jumlah
Tahun 2007 Produksi Nilai (Rp) (kg) 7.682.498 153.649.960.000 2.651.238 14.581.809.000 831.551 4.573.530.500 4.806.038 26.433.209.000 4.383.974 28.495.831.000 250.027 2.250.243.000 20.605.224 229.984.582.500
Tahun 2008 Produksi Nilai (Rp) (kg) 4.739.540 34.621.442.500 1.637.879 11.153.544.000 550.455 2.727.157.000 9.932.597 24.761.733.000 4.748.784 18.291.714.820 10.047.102 51.098.292.300 31.656.357 142.653.883.620
Keterangan: (*) meliputi produk terasi, petis, ubur-ubur dan lain-lain Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Banyuwangi (2009) Dari tabel 3 menunjukkan bahwa produksi hasil pengalengan ikan mengalami penurunan yang sangat tajam atau 61,69% yang dibarengi dengan menurunnya nilai jual yaitu sebesar 225,33 %. Penurunan produksi ikan kaleng lebih disebabkan oleh sebagian dari industri pengalengan ikan tidak dapat memasarkan produknya untuk ekspor mulai pertengahan tahun 2007 karena adanya regulasi untuk pasar Eropa dan Amerika. Kondisi tersebut berlangsung sampai saat ini, sehingga perusahaan (pabrik) memerlukan waktu untuk penyesuaiannya.
4.2. Keadaan Umum Perusahaan PT. BFPI 4.2.1. Sejarah Singkat Perusahaan PT. Blambangan Foodpackers Indonesia (PT. BFPI) adalah perusahaan yang memproduksi ikan kaleng (pengalengan ikan). Jenisjenis produk yang dihasilkan dari pabrik meliputi: produk tuna dalam kaleng, sardine dalam kaleng, bakso, abon, kerupuk ikan, minyak dan tepung ikan (fish meal)
yang merupakan produk sampingan yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
59
digunakan sebagai makanan ternak PT. Blambangan Foodpackers Indonesia
yang
pada
awalnya
bernama
PT.
Blambangan
Raya
merupakan salah satu anak perusahaan PT. Manfrust yang berkedudukan di Jalan Jatinegara Barat No. 124 Jakarta. Sebelum PT. Blambangan Foodpackers
Indonesia
berdiri,telah
diawali
dengan
berdirinya
perusahaan bernama PT. Nafo pada tahun 1967 yang ada di Banyuwangi. Dari tahun ke tahun PT Nafo mengalami suatu perkembangan yang cukup pesat sehingga pada tahun 1969 membuka cabang di daerah Muncar, Banyuwangi. Pada tahun 1971 perusahaan mendapat tanah dekat dengan PT. Nafo cabang muncar. Kemudian PT. Blambangan Foodpackers Indonesia didirikan, yaitu pada tanggal 22 Januari 1972. Perusahaan memperoleh ijin industri pengalengan ikan dari Menteri Perindustrian dengan Nomor: 03/I/30/PER-UU/1972 tanggal 29 Maret 1972, dan Nomor Ijin Usaha 455/DJA/IUT-1/NON
PMA-PMDN/XI/1988.
Dengan
berdirinya
PT.
Blambangan Foodpackers Indonesia maka PT Nafo cabang Muncar ditutup, dan semua peralatan produksi dialihkan ke PT. Blambangan Foodpackers Indonesia. PT. Blambangan Foodpackers Indonesia tergabung dalam usaha Mantrust yaitu perusahaan makanan dan minuman terbesar di Indonesia. Pada bulan Nopember 1988, PT. Mantrus membeli perusahaan tuna di Amerika yaitu Van Camp Sea Food Co, dengan merk Chiken of the Sea. Dengan demikian sebagian besar produksi tuna PT. Blambangan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
60
Foodpackers Indonesia diproyeksikan untuk mengisi pasaran di Amerika dan Eropa. Pada bulan April 1993 PT. Blambangan Foodpackers Indonesia mengalami kevakuman, namun pada April 1994 perusahaan ini mulai merintis kembali dengan memproduksi tuna kaleng untuk pasar ekspor yaitu pasar Eropa diantaranya adalah Jerman dan Belanda, kemudian juga mengisi
pasar Amerika. Namun mulai pertengahan tahun 2007,
pasar ekspor tuna kaleng
dari Indonesia mengalami kendala regulasi
(peraturan) yang mana persyaratan yang dipersyaratkan oleh pihak UE semakin ketat, yang menyebabkan perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan ekspor. Kondisi tersebut berlangsung hingga saat ini, dimana perusahaan memerlukan waktu untuk penyesuaiannya. Dengan demikian sebagian dari pasar tersebut saat ini dialihkan untuk permintaan dalam negeri sambil mempersiapkan kembali persyaratan untuk kebutuhan pasar ekspor. Komoditi hasil pengolahan perikanan yang dikembangkan selain tuna kaleng adalah ikan sarden kaleng, tepung ikan, aneka olahan siap saji dan lain-lain. 4.2.2. Struktur Organisasi Struktur organisasi adalah kerangka yang menunjukan hubungan antara pimpinan, staf dan bidang kerja sehingga jelas kedudukan, wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam bentuk yang teratur.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
61
Sistem organisasi pada PT. Blambangan Foodpackers Indonesia berbentuk garis lini, arus perintah langsung dari atasan disampaikan pada bawahan sehingga setiap bawahan dalam organisasi dapat mengetahui kepada siapa yang harus bertanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukannya. Indonesia
Struktur
terdiri
atas
organisasi seorang
PT.
Direktur
Blambangan dan
Foodpackers
dibantu
oleh
para
manajer.(manager). Berikut struktur organisasi pada PT. Blambangan Foodpackers Indonesia (lihat Gambar 5).
Board of Director
General Manager
Operation Manager
Factory Marketing Manager
Acct & Finance Manager
Procurement Dept
Technic Dept
Production Dept
Human Resc Dept
Accounting Dept
QC & QA Dept
PPIC&Purchasing Dept
EDP Dept
Sales/Trading Dept
Finance Dept
Gambar 5. Struktur Organisasi PT. Blambangan Foodpackers Indonesia Sumber: PT. Blambangan Foodpackers Indonesia (2009)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
62
Gambar
5 struktur organisasi tersebut diatas dapat dijelaskan
tugas dan tanggung jawab masing-masing jabatan dalam perusahaan adalah sebagai berikut: 1. Board Director (Direktur Utama) a. Menetapkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek b. Meninjau secara keseluruhan rencana HACCP setelah Manager Perusahaan/Pabrik ditinjau Tim HACCP c. Mengkoordinasi dan meminta pertanggung jawaban General Manager d. Bertanggung jawab terhadap kebijakan perusahaan yang dipimpin e. Bertanggung jawab kepada pimpinan pusat 2. General Manager (Manajer Umum) a. Membantu Board Manager (direktur utama) dalam merencanakan pengembangan atau kegiatan perusahaan b. Membantu
Board
Manager
dalam
mengawasi
pelaksanaan
kebijakan yang telah ditetapkan c. Memimpin dan mengelola perusahaan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan oleh Board Manager atau sesuai dengan anggaran perusahaan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
63
d. Bertanggung jawab kepada Board Manager dalam mengemban tugas yang dibebankan e. Bertugas mendukung dan mengulas rancangan HACCP bersama kepada semua pihak yang terkait dalam penerapan HACCP. 3. Operation Manager (Manajer Operasional) a. Membantu General Manager dalam merencanakan pengembangan atau kegiatan operasional perusahaan b. Memimpin sistem pelaksanaan operasional perusahaan c. Bertanggung jawab kepada General Manager sesuai dengan bidang tugas yang dibebankan Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Kepala Bagian Pengadaan, Bagian Produksi, Bagian Quality Control dan Bagian Teknik. 4. Factory Marketing Manager (Manajer Pemasaran) a. Membantu General Manager (manajer umum) dalam merencakan pengembangan pemasaran hasil industri b. Memimpin sistem pelaksanaan pemasaran hasil industri c. Bertanggung jawab kepada General Manager sesuai dengan bidang tugas yang dibebankannya Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Kepala Bagian Sales dan Trading.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
64
5. Acct and Finance Manager (Manajer Keuangan dan Akunting) a. Membantu General Manager dalam merencanakan pengelolaan keuangan (anggaran) dan akutansi perusahaan b. Bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengelolaan keuangan perusahaan c. Membuat laporan keuangan dan akutansi perusahaan secara periodik d. Mengawasi arus perbelanjaan dana dan mengupayakan sumber dana e. Bertanggung jawab kepada General Manager sesuai dengan bidang tugasnya Dalam melaksanakan tugasnya manager dibantu oleh Kepala Bagian Keuangan, Bidang Akutansi dan Bidang EDP 6. Kabag Pengadaan (Procurement Dept) a. Mengadakan/mengatur pembelian bahan baku (raw material) baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. b. Memantau harga bahan baku yang berlaku dan mengadakan hubungan dengan para supplier c. Mengadakan pengendalian penggunaan bahan/material
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
65
d. Mengatur persiapan dan pelaksanaan dalam hal pendinginan bahan e. Bertanggung jawab dan memberikan laporan secara terperinci kepada Operation Manager didalam tugas memimpin bagianbagiannya Didalam menjalankan tugasnya dibantu oleh: 1) Kasi Penimbangan, yang bertugas mengadakan pengawasan terhadap ikan yang baru tiba. 2) Kasi Unit Control, yang bertugas memeriksa jenis ikan dan kualitasnya 3) Kasi Pengawasan, yang bertugas mengadakan pengawasan pengesan pada ikan di bak. 7. Kabag Produksi (Production Dept) a. Membuat perencanaan, mengadakan persedian dan pelaksanaan yang berkaitan dibidang produksi b. Mengadakan pengawasan secara menyeluruh didalam perusahaan c. Bertanggung jawab dan memerikan laporan secara berkala kepada Operation Manager didalam tugas memimpin bagian-bagiannya. Guna memudahkan pelaksanaan tugas, bagian produksi dibantu oleh beberapa unit:
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
66
1) Kasi Trimming/Filling (pengguntingan/pengisian), bertugas: a) Mengadakan
pengawasan
terhadap
pekerja
bagian
pengguntingan ikan b) Mengadakan pengawasan terhadap pekerja bagian pengisian ikan. 2) Kasi Exhause (penghampaan), bertugas: a) Mangatur dan mengadakan pengawasan terhadap kualitas dan waktu pengoperasian b) Memeriksa dan memilih jika ada kaleng yang penyok/rusak 3) Kasi Codering Lid, bertugas mengadakan pengawasan terhadap pekerja bagian pengkodean penutup kaleng 4) Kasi Unit Can Washer, bertugas mengadakan pengawasan terhadap kebersihan kaleng dari sisa saus. 5) Kasi Retort (Sterilisasi), bertugas mengadakan pengawasan terhadap kaleng yang akan disterilisasikan 8. Kabag Quality Control (Pengawasan dan Pengendalian Mutu) a. Menentukan standar kualitas dan komposisi pemakaian material yang digunakan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
67
b. Melakukan
inspeksi
membahas/mengulas
produk
akhir.
rancangan
Turut
serta
dalam
HACCP dalam penerapan
HACCP. c. Bertanggung-jawab dan memberikan laporan secara periodik kepada Operation Manager di dalam tugas memimpin bagiannya. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh: 1) Kasi Laboratorium, yang berugas mengawasi hasil kerja setiap bagian dan bertanggung jawab atas terlaksananya kegiatan 2) Kasi
Processing
Control,
bertugas
mengadakan
koordinasi
langkah-langkah yang ditempuh oleh karyawan dalam laboratorium 3) Kasi Can Control, bertugas mengontrol bahan pembantu yang akan digunakan 9. Kabag Teknik (Technic Dept) a. Membantu
Operation
menetapkan
kebijakan
Manager teknis
dalam
produksi
merumuskan serta
dan
melaksanakan
kebijakan tersebut b. Mengatur
fasilitas
yang
diperlukan
oleh
karyawan
didalam
melaksanakan tugasnya c. Bertanggung-jawab dan memberikan laporan secara rutin kepada Operation Manager didalam tugasnya memimpin bagian-bagiannya
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
68
Dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh: 1) Kasi Teknik Produksi, berugas mengawasi setiap peralatan yang digunakan
dalam
proses
produksi
dan
memperbaiki
serta
mengganti setiap peralatan/mesin yang rusak 2) Kasi Genset, bertugas mengawasi kerja dan sistem generator dan mengganti jenis generator yang diperlukan 10. Kabag Gudang Bahan dan Barang Jadi (PPIC & Purchasing Dept) a. Mengatur dan melakukan pengawasan terhadap persedian barang digudang
(warehouse)
secara
berkala
dan
membuat
daftar
inveterisasi barang tiap akhir tahun kepada bagian produksi b. Mengadakan pengawasan terhadap kebersihan produk (barang jadi) c. Mengawasi pemasukan kaleng dalam dus karton (box karton) 11. Kabag Personalia dan Umum (Human Resc Dept) a. Mengatur dan mengadakan pengawasan kepegawaian b. Bertanggung jawab atas urusan kepegawaian dan kesejahteraan pegawai/karyawan. Dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh: 1) Kasi Kepegawaian, bertugas: a) Mengatur dan melaksanakan administrasi kepegawaian
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
69
b) Meyeleksi dan mempersiapkan tenaga kerja baru baik dalam jumlah maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan 2) Kasi
Kesejahteraan
Karyawan,
bertugas
menciptakan
dan
memelihara kesehatan di lingkungan perusahaan pada umumnya serta memberikan pelayanan kesehatan dan pengobatan kepada karyawan 12. Kabag Penjualan/Pemasaran (Sales/Trading Dept) a. Membuat rencana penjualan (pemasaran) b. Mengkoordinir bagian pemasaran sehingga tercipta kerjasama yang baik c. Mengatur dan mengawasi pelaksanaan bagian pemasaran Dalam melaksanakan tugasnya, kabag pemasaran bertanggung jawab kepada Factory Marketing Manager serta dibantu oleh: 1) Kasi Pengiriman Barang dan Penagihan, bertugas mengatur dan menetapkan prosedur pengiriman barang dan cara-cara penagihan 2) Kasi
Penjualan
(internal
sales),
bertugas
mengatur
dan
membawahi pelaksanaan bagian penjualan serta mengadakan perencanaan penjualan 13. Kabag Keuangan/Akunting (Sie Accounting) a. Mengatur dan mengawasi pelaksanaan bagian keuangan/akunting
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
70
b. Mengadakan koordinasi masing-masing bagian keuangan sehingga tercipta suatu kerja sama yang baik c. Bertanggung jawab kepada Acct & Finance Manager Dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh: 1) Kasi Akuntansi, yang berugas: a) Mendata dan menyimpan semua kegiatan produksi, penjualan, pembelian dan pengeluaran biaya-biaya yang berkaitan dengan perusahaan b) Membuat laporan keuangan secara periodic dan tahunan yang diketahui oleh Acct & Finance Manager c) Membuat laporan pajak bulanan dan tahunan dari pajak pengahasilan dan pajak pertambahan nilai (PPn) 2) Kasi Financial, bertugas: a) Mengatur keuangan keluar dan masuk b) Membuat daftar kas, bank harian yang disertai dengan buktibukti yang sudah disetujui oleh Acct & Finance Manager dan General Manager c) Membuat daftar utang-piutang secara periode dan mingguan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
71
4.2.3. Produk yang Dihasilkan PT. BFPI Secara umum produk
(produk akhir)
yang dihasilkan oleh PT.
BFPI dapat digolongkan beberapa katagori, yaitu produk ikan kaleng, dan produk olahan pangan/ perikanan lainnya; yang tujuannya untuk memberikan kepuasan pada konsumen/pelanggan disamping untuk memperluas pemasaran produk yang telah dihasilkan oleh perusahaan. Sampai saat ini
PT. BFPI terus melakukan diversifikasi produknya,
disamping yang utama dari produk ikan kaleng (tuna, sardines). Produkproduk yang dihasilkan ini dijual untuk pasar lokal, yang dikemas dalam kemasan kaleng, plastik (kemasan primer) serta dalam bentuk fresh dan frozen. Produk olahan tersebut meliputi : a. Produk kaleng, berupa: Tuna (tuna in brine, tuna in oil, tuna in dressing sauce/tuna sambal goreng.), Sardines (sardines in tomato sauce, sardines in chilli sauce), Jagung (baby corn in brine atau baby corn dalam larutan garam), Escargot (escargot in brine) b. Produk beku, berupa : Bakso ikan (fish ball), Nugget ikan, Sosis ikan dan Sosis sapi c. Diversifikasi produk, berupa : Abon ikan tuna, Kerupuk ikan, Kecap, Saus tomat/sambal, Terasi udang dan lain-lain. d. Minyak ikan (fish oil) dan Tepung ikan (fish meal) e. Gula merah
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
72
4.3.
Proses Produksi
4.3.1. Pra Produksi a. Pengadaan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam produksi ikan tuna kaleng PT. Blambangan Foodpackers Indonesia adalah tuna segar dan tuna bentuk beku
(frozen)
yaitu
jenis
Skipjack
dan
Yellowfin
yang
diperoleh/didatangkan dari Lombok, Malang, Grajagan dan Bali. Ukuran dan jenis ikan tuna yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Standar bahan baku pada PT. Blambangan Foodpackers Indonesia Jenis Ikan Tuna Ukuran Berat Skipjack (pound) Yellowfin (pound) 3,0 4,0-7,5 S 3,0-4,0 7,5-20 M 4,0-7,5 >20 L >7,5 XL Sumber: PT. Blambangan Foodpackers Indonesia (2009) Sebelum bahan baku digunakan dilakukan pengecekan/pengujian mutu terlebih dahulu yang tujuannya untuk mendapatkan bahan baku (raw material) yang berkualitas untuk kegiatan produksi. Pengecekan mutu secara organoleptik dilakukan dengan uji kukus. Kemudian juga lakukan pengujian kimia yang terdiri dari uji kadar histamin, kadar garam dan suhu pusat ikan ( fresh fish 4 – 7 oC ; frozen fish -18 oC). b. Penyimpanan Beku Penyimpanan
beku
bahan
baku
dilakukan
dengan
cara
menampung bahan baku yang akan disimpan dalam box yang terbuat dari
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
73
baja dengan kapasitas 500 kg kemudian ditempatkan di dalam cold storage. Penyusunan dalam box tersebut dilakukan secara acak. c. Pencairan (Thawing) Kegiatan pencairan (Thawing) adalah proses pencairan kembali ikan beku yang berasal dari cold storage,
tahapan ini dilakukan dengan
cara merendam ikan dalam box thawing yang telah diberikan air dan diberikan kucuran air secara terus menerus selama 2 jam. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mempermudah dalam proses precooking. d. Penyiangan (Butchering) Butchering adalah proses pembuangan isi perut ikan yang merupakan sumber kontaminasi terbesar dari ikan. Pembuangan isi perut ini bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba awal dari ikan. 4.3.2. Pelaksanaan Produksi (Manajemen Operasi dan Produksi) a. Pemasakan Pendahuluan (Precooking) Precooking
dilakukan
selama
kurang
lebih
1,5
jam
yang
disesuaikan dengan ukuran dan size ikan. Ikan tuna dibongkar dari galvanes box, kemudian ditata pada rak-rak stainless stell. Apabila ikan yang dimasak berukuran kecil (3 kg) maka waktu yang dibutuhkan kurang lebih 1 jam, tetapi apabila berat ikan lebih besar maka waktu yang dibutuhkan dalam pemasakan lebih lama. Setelah pemasakan, rak-rak yang berisi ikan dikeluarkan dan kemudian didinginkan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
74
Pemasakan pendahuluan ini menggunakan alat kukus (precooker) yang berbentuk persegi panjang yang dilengkapi dengan uap panas (steam), dan suhu yang digunakan adalah 100 oC selama 90 menit. b. Pendinginan (Cooling) Pendinginan dilakukan dengan menggunakan spray (proses spraying) atau penyemprotan dengan air pada suhu 23-250 C. Pendinginan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya over cooking (kegosongan) pada daging ikan. kegiatan cooling dilakukan selama kurang lebih setengah jam sampai suhu dingin mencapai 400C atau dibawahnya. c. Head Off dan Skin Off (Deheading) Head Off dan Skin Off merupakan proses penghilangan atau pembuangan kepala dan kulit ikan tuna dengan cara menarik kepala dengan tangan dan pengulitan ikan dengan menggunakan pisau. Kepala ikan tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku penepungan ikan. d. Pembersihan (Cleaning) Pembersihan dilakukan dengan menggunakan pisau kecil yang terbuat dari bahan stainless stell. Proses ini pada prinsipnya adalah memisahkan daging ikan tuna ( daging putih dan merah), dimana daging putih merupakan bahan baku utama dalam pembuatan tuna in oil, tuna in brine, sedangkan daging merah (red meat) digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan tuna sambal goreng.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
75
e. Pengisian Ikan dalam Kaleng (Filling in Can) Pengisian ikan dalam kaleng dibedakan menjadi
dua macam
tergantung pada ukuran berat isinya. Kaleng pertama berukuran 4 pound atau berat bersih 2.000 gram, dan kaleng kedua dengan ukuran 0,5 pound dengan berat bersih 185 gram. Untuk pengisian daging ikan (loin) ke dalam kaleng 4 pound dilakukan secara manual, dimana
ukuran
potongan loin diperhatikan yaitu susunan daging (serpihan daging putih) dalam bentuk chunk, flake dan loin yaitu dengan ketentuan berat tuntas (drained weight) 1385 gram. Sedangkan untuk pengisian daging ke dalam kaleng, 0,5 pound (can 185 gr) menggunakan mesin pengisian kaleng, berupa mesin otomatis yang dilengkapi dengan lempengan baja yang berfungsi sebagai pisau. Cara kerja mesin otomatis tersebut, daging utuh / serpihan daging masuk dalam mesin dan pisau akan mendorong daging selanjutnya daging masuk ke dalam kaleng sehingga kaleng menjadi padat. f. Penambahan Media (Medium Filing) Kaleng yang telah diisi daging ikan tuna ( dari komposisi loin putih, flake dan chunk) kemudian ditambahkan
media berupa minyak sayur,
yang bertujuan untuk menambah cita rasa dan kenampakan produk. Pada produk tuna in oil (TIO) media yang
ditambahkan/ digunakan berupa
minyak sayur (soya bean oil) yang dilakukan secara manual dan kemudian dilakukan penambahan brine (larutan garam 2 %), sedangkan untuk sambal goreng ikan tuna (tuna sambal goreng) media yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
76
ditambahkan berupa saus sambal /bumbu. Untuk media saus sambal dipanaskan terlebih dahulu sampai suhu mencapai 80
o
C untuk
mempercepat penyerapan oleh daging dan membentuk terbentuknya kondisi vakum dalam kaleng. g. Penutupan Kaleng (Seaming) Kaleng yang telah berisi daging ikan tuna (loin putih, flake dan chunk) dan ditambah minyak sayur dan garam (brine) yang kemudian langsung dilakukan penutupan kaleng. Penutupan kaleng dilakukan dengan menggunakan alat penutup yang disebut seamer yang dilengkapi dengan penghampaan udara dan berfungsi untuk menghisap udara yang berada didalam kaleng sehingga ketika kaleng ditutup diperoleh keadaan vakum dan steril. Proses
selanjutnya
dilakukan
pembersihan
kaleng,
dengan
menggunakan alat mesin pencuci kaleng. Mesin pencuci kaleng yang ada di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia hanya diperuntukkan untuk kaleng ukuran 0,5 pound, sedangkan kaleng ukuran 4 pound (2.000 gr) dilakukan secara manual. Setelah penutupan kaleng selesai, maka kaleng banyak dijumpai sisa-sisa ikan dan sisa minyak diseluruh permukaan kaleng. Kotoran ini dihilangkan terlebih dahulu sebelum disterilisasi. Setelah pembersihan kaleng selesai, kaleng tersebut disimpan pada keranjang besi untuk proses sterilisasi.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
77
h. Sterilisasi (Retorting) Proses strerilisasi dilakukan dengan menggunakan retort. Kalengkaleng dari proses seaming dicuci terlebih dahulu dengan merendam dalam keranjang besi yang dimasukan ke dalam air/water pit, hal ini bertujuan untuk menghilangkan minyak yang ada pada kaleng. Setelah dicuci kaleng-kaleng tersebut diangkut dengan menggunakan kereta dorong / katrol dinamic (ditarik ke atas) menuju tempat sterilisasi. Kemudian
dimasukan
dalam
retort.
Retort
di
PT.
Blambangan
Foodpackers Indonesia terdapat dua tipe yaitu tipe vertical sebanyak 19 buah
dan
tipe
horizontal
sebanyak
6
buah
yang
dalam
pengoperasionalnya dibedakan atas tipe retort otomatic dan manual. i. Post Retort (Wiping) Setelah kegiatan retorting selesai, dilanjutkan dengan kegiatan post retort. Kegiatan ini berupa pendinginan ikan tuna dalam kaleng dan pembersihan kaleng-kaleng dari minyak maupun kotoran yang melekat pada kaleng dengan menggunakan tepung tapioka / kanji. j. Inkubasi (Incubating) Setelah produk didinginkan di post area, kemudian dilakukan proses inkubasi (dalam ruang inkubasi) selama 5-7 hari. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat baik dan tidaknya produk yang dihasilkan. Setelah masa inkubasi maka dilakukan sampling produk selama 8 kardus, apabila terdapat kerusakan kaleng berupa
kaleng
penyok, bocor, karat dan kembung ; untuk kaleng yang kembung berarti
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
78
produk tersebut terkontaminasi dengan bakteri yang dikarenakan dalam penutupan kaleng (seaming) yang tidak sempurna. k. Labeling Proses
ini
bertujuan
untuk
memberikan
informasi
kepada
konsumen mengenai komposisi bahan yang terdapat pada bahan yang dikalengkan dan memberikan informasi
mengenai spesifikasi suatu
produk yang meliputi ; jenis produk, merk dagang, berat bersih, komposisi bahan yang dipakai, dan tentang tanggal kadaluarsanya. 4.3.3. Pasca Produksi Pasca produksi merupakan kegiatan setelah pelabelan (labelling), yang meliputi: a. Bahan pengemas i. Kaleng; sebagai bahan pengemas primer; yang digunakan ada dua macam yaitu two piece cans dan tree piece cans. ii. Karton (master carton) ; merupakan bahan pengemas sekunder yang bertujuan
untuk
mempermudah
pengangkutan
dan
distribusi
sehinggga produk tidak cepat rusak. b. Pengemasan (Packing) Pengemasan
dilakukan
secara
manual,
yaitu
kaleng
yang
berukuran 4 pound (2.000 gr) dalam satu karton/box terdiri dari 6 kaleng dan kaleng yang berukuran 0,5 pound (185 gr) dalam karton terdiri /diisi 48 kaleng.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
79
c. Penyimpanan (Stuffing) Penyimpanan diatur menurut produk dan status periodik yang diberikan oleh pihak laboratorium. Apabila produk memenuhi syarat yang telah ditentukan (siap dikirim), maka diberikan status relese, dan dalam status pengujian diberikan status hold (dimusnahkan), dan produk yang tidak boleh dikirim diberi status reject (tidak diterima/ditolak).
4.4.
Pengawasan/Pengendalian Mutu dan Pemasaran
a. Pengawasan dan Pengendalian Mutu Pengawasan / pengendalian mutu yang dilaksanakan di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia dilakukan terhadap bahan baku dan produk akhir, serta pengendalian mutu selama proses produksi tuna kaleng berlangsung. Kriteria mutu meliputi 3 hal yaitu: -
Safety; yaitu produk harus aman untuk dikonsumsi oleh konsumen, produk tidak boleh bersifat racun.
-
Produk harus higienis dapat diartikan produk harus bergizi, sehat dan berpenampilan baik
-
Produk harus bernilai ekonomis, konsumen tidak boleh dirugikan secara ekonomis. Syarat mutu organoleptik, mikrobiologi, kimia dan fisik ikan tuna
dalam kaleng menurut Dewan Standarisasi Nasional (1992) dapat dilihat pada Tabel 5.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
80
Tabel 5. Syarat mutu ikan tuna dalam kaleng Jenis Uji a) Organoleptik b) Mikrobiologi 1) TPC anaerob 2) TPC aerob c) Kimia 1) Stanium (Sn)*) 2) Plumbum (Pb) *) 3) Arsen (As) *) 4) Mercury (Hg) *) 5) Histamin d) Fisika 1) Fisik kaleng 2) Bobot tuntas
Satuan
Persyaratan Mutu 7
per gram per gram
0 0
ppm ppm ppm ppm mg/100g
250 5 1 0,5 20
%
Baik 70
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1992) *) Bila direkomendasikan b. Pemasaran (Distribusi) PT. Blambangan Foodpackers Indonesia melakukan kegiatan pemasaran atau distribusi hasil produksinya buat pelanggan/konsumen. Untuk produk tuna dalam kaleng meliputi : tuna in oil, tuna in brine dan tuna sambal goreng (SGIT). Untuk produk tuna in brine dan tuna in oil berukuran 4 pound (ukuran 603 x 408), pabrik
selanjutnya
penjualan
yang telah
diproduksi oleh
produk ini dilakukan melalui
pihak
distributor. Pemasaran dilakukan di dalam negeri pada beberapa kota besar di Indonesia. Pemasaran produk tuna kaleng yang beratnya 0,5 pound (ukuran 307 x 111),
saat ini dipasarkan di dalam negeri yaitu
kota-kota yang berada di Pulau Jawa diantaranya Jakarta, Surabaya dan lain-lain, kemudian di kota-kota pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan pada beberapa kota lain di Indonesia Timur.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
81
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) Berdasarkan ISO 9001 : 2000 5.1.1. Manajemen umum Manajemen umum adalah manajemen puncak yang terdiri dari direktur dan wakil manajemen/Quality Management Representative (QMR). Direktur memiliki tanggung jawab untuk menetapkan kebijakan, memberikan
pertimbangan,
pendapat
dan
persetujuan
untuk
perkembangan perusahaan. QMR merupakan wakil manajemen yang menjalankan kebijakan pengendalian mutu dan keamanan pangan, bertanggung jawab terhadap penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM). Adanya dukungan dan komitmen manajemen merupakan hal yang penting dalam penerapan SMM ISO 9001:2000. Tanpa dukungan manajemen puncak, penerapan SMM sangat sulit dan tidak mungkin dilaksanakan. Menurut Tunggal. AW
(1998), aspek dari fungsi manajemen secara
keseluruhan yang menentukan dan
menerapkan kebijakan mutu.
Manajemen mutu termasuk perencanaan strategik, alokasi sumber daya dan aktivitas sistematis lain untuk mutu, seperti perencanaan mutu, operasi dan penilaian. a. Direksi Tanggung jawab tertinggi unit implementasi kebijakan mutu dan pencapaian sasaran mutu terletak pada General Manager yang dibantu oleh Manajer Operasional, Manajer Pemasaran, Manajer Keuangan dan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
82
Akunting
Manajer ini dibantu oleh bagian/sie
Personalia dan Umum,
PPIC dan Gudang barang jadi, Produksi, QC/QA-Laboratorium, Teknik, Pengadaan Bahan Pembantu, Pengadaan/pembelian Bahan Baku dan Kasi Penjualan/ Pemasaran. Penilaian penerapan jaminan mutu sesuai unsur-unsur ISO 9001:2000 oleh Direksi (lihat Lampiran 1), di PT BFPI (Board of Director ) ketahui berdasarkan dokumen ISO dan wawancara dengan general manager/manajer umum, manajer operasi, dan manajer keuangan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Direktur PT. Blambangan Foodpackers Indonesia Unsur-Unsur ISO 4.0. Persyaratan Sistem Manajemen Mutu 4.1. Persyaratan umum 4.2. Persyaratan dokumentasi 4.2.1. Umum 4.2.2. Pedoman manual mutu 4.2.3. Pengendalian dokumen 4.2.4. Pengendalian rekaman 5.0. Tanggung jawab manajemen 5.1. Komitmen manajemen 5.2. Fokus pada pelanggan 5.3. Kebijakan mutu 5.4. Perencanaan 5.5. Tanggung jawab, wewenang, dan komunikasi 5.6. Tinjauan manajemen
Penerapan √ √ X √ √ √ √ √ √ √ X
Keterangan: (√) = dipenuhi; (X) = dipenuhi sebagian; (-) = tidak dipenuhi Sumber: Data Primer (2009)
Tabel 6 menunjukan bahwa, secara umum unsur SMM ISO 9001 : 2000
yang berkaitan dengan direktur telah dipenuhi. Namun terdapat
pada unsur pedoman manual mutu,dan tinjauan manajemen masih
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
83
dipenuhi sebagian. Hal ini dikarenakan pihak Direktur belum sepenuhnya melakukan
pengorganisasian
dengan
baik.
Perusahaan
memiliki
komitmen dan kebijakan mutu yang sudah berfokus kepada pelanggan (konsumen), namun komitmen tersebut tidak termasuk untuk menjalankan SMM ISO 9001 : 2000. Tunggal. AW (1998), mengungkapkan bahwa pencapaian mutu yang dikehendaki membutuhkan komitmen dan partisipasi
dari
semua
anggota
organisasi
dan
tanggung
jawab
manajemen mutu oleh manajemen puncak. b. Wakil Manajemen Wakil manajemen disebut dengan QMR (Quality Management Representative) yang merupakan perwakilan Direktur dalam menjalankan kebijakan jaminan mutu dan bertanggung jawab terhadap penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM).
Tabel 7 merupakan hasil penilaian
penerapan SMM ISO 9001 : 2000 oleh Wakil Manajemen di PT. BFPI.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
84
Tabel 7. Hasil penilaian penerapan SMM ISO 9001 : 2000 oleh Wakil Manajemen di PT. BFPI Unsur-Unsur ISO 4.0. Persyaratan Sistem Manajemen Mutu 4.1. Persyaratan umum 4.2. Persyaratan dokumentasi 5.0. Penanggung Jawab Manajemen 5.1. Komitmen manajemen 5.2. Fokus pada pelanggan 5.3. Kebijakan mutu 5.4. Perencanaan 5.5. Tanggung jawab, wewenang, dan komunikasi 5.6. Tinjauan manajemen 8.0. Pengukuran, Analisis dan Peningkatan 8.1. Umum 8.2. Pengukuran dan pemantauan 8.2.1. Kepuasan pelanggan 8.2.2. Audit internal 8.2.3. Pengukuran dan pemantauan proses 8.2.4. Pengukuran dan pemantauan produk 8.3. Pengendalian produk yang tidak sesuai 8.4. Analisis data 8.5. Perbaikan Keterangan: (√) = dipenuhi; (X) = dipenuhi sebagian;
Penerapan √ √ √ √ √ √ √ X √ √ X √ √ √ √ √ (-) = tidak dipenuhi
Sumber: Data Primer (2009)
Berdasarkan Tabel 7 di atas, penerapan SMM yang disyaratkan oleh Wakil Manajemen (QMR) sebagian besar telah dipenuhi sesuai dengan yang ditetapkan ISO. Unsur persyaratan umum dan persyaratan dokumen telah terpenuhi dan QMR menetapkan, mendokumentasikan, melaksanakan, memelihara dan secara terus menerus dalam rangka peningkatan SMM. Dokumen-dokumen yang menjadi persyaratan penting dalam penerapan SMM ISO 9001:2000 ditetapkan dan dikelola oleh QMR. Dokumen dimaksud mencakup pernyataan terdokumentasi kebijakan dan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
85
tujuan mutu, manual mutu, prosedur, dokumen untuk mengendalikan proses (instruksi kerja dan form kerja) dan catatan mutu. Unsur tanggung jawab manajemen pada tinjauan manajemen penerapannya terpenuhi sebagian, karena pimpinan belum sepenuhnya mengevaluasi siistem mutu secara berkala pada selang waktu yang cukup untuk dapat menjamin kesesuaian dan keefektifannya dalam memenuhi persyaratan standar ISO serta sesuai dengan kebijakan mutu dan sasaran mutu
yang
telah
ditetapkan
oleh
perusahaan.
Kemudian
unsur
pengukuran dan pemantauan pada audit internal telah dilaksanakan dan dimana sebagiannya terpenuhi, karena kesibukan personil/tim audit yang merangkap sebagai staf operasional. Sementara itu pihak perusahaan belum sepenuhnya menyelenggarakan audit internal dari pihak audit independen. 5.1.2. Manajemen pemasok (supplier) Manajemen pemasok (supplier) terkait dengan unsur pembelian pada SMM ISO 9001 : 2000 yang terdiri dari proses pembelian, informasi pembelian dan verifikasi produk yang dibeli. Sutrisno dan Utomo (2001) menyatakan bahwa dalam proses pembelian, perusahaan melakukan penetapan kriteria pemilihan supplier melakukan seleksi supplier dan evaluasi supplier. Organisasi juga melakukan dokumentasi prosedur pembelian sehingga evaluasi supplier dan peninjauan ulang dapat dilakukan secara berkelanjutan. Tabel 8 menunjukkan hasil penilaian
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
86
penerapan unsur-unsur ISO 9001 : 2000 pada manajemen pemasok (supplier) di PT. BFPI. Tabel 8. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO 9001 : 2000 pada manajemen pemasok (supplier) di PT. BFPI. Unsur-Unsur ISO 7.4. Pembelian 7.4.1. Proses pembelian 7.4.2. Informasi pembelian 7.4.3. Verifikasi produk yang dibeli Keterangan: (√) = dipenuhi; (X) = dipenuhi sebagian;
Penerapan √ √ √ (-) = tidak dipenuhi
Sumber: Data Primer (2009) Tabel 8 menunjukan bahwa pelaksanaan manajemen pemasok secara keseluruhan telah dipenuhi sesuai dengan unsur ISO. Manajemen pemasok di PT. BFPI cukup baik pelaksanaanya, dimana untuk bahan baku yang digunakan dalam produksi tuna kaleng adalah ikan tuna dalam bentuk segar (fresh) dan beku (frozen) dengan jenis cakalang (Skipjack) 38-40 % dan sekitar 40% dari jenis Madidihang (Yellowfin ). Pemasok (supplier) bahan baku berasal dari Malang, Bali, Lombok / Bima, dan juga hasil pembelian dari TPI Muncar dan Grajakan-Banyuwangi. Sedangkan yang bertugas dalam mengadakan bahan baku (pembelian ke supplier) untuk keperluan proses produksi tuna kaleng ini adalah Kepala Bagian Pengadaan Bahan Baku. Dalam hal ini pihak perusahaan telah mengevaluasi dan memeriksa pemasok (para supplier) berdasarkan pada kemampuannya untuk memasok produk/barang
bersesuaian dengan
persyaratan perusahaan yaitu PT. BFPI. Informasi pembelian yang terdiri dari proses pembelian, informasi dan verifikasi produk yang dibeli sudah terurai dan terdokumentasi dengan baik.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
87
5.1.3. Manajemen SDM dan infrastruktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan Infrastruktur adalah penunjang penerapan SMM ISO 9001 : 2000. Tersedianya kedua unsur pendukung tersebut akan meningkatkan efektifitas pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu (SMM). Tabel 9 menunjukkan hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada manajemen SDM dan infrastruktur. Tabel 9. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada manajemen SDM dan infrastruktur di PT. BFPI Unsur-Unsur ISO Penerapan a. Sumberdaya Manusia 6.2. Sumberdaya manusia √ 6.4. Lingkungan kerja √ b. Infrastruktur dan Teknik 6.3. Infrastruktur √ 7.5. Produksi dan Penyediaan Sumberdaya 7.5.1. Pengendalian produksi dan penyediaan jasa √ 8.5. Perbaikan √ Keterangan: (√) = dipenuhi; (X) = dipenuhi sebagian; (-) = tidak dipenuhi
Sumber: Data Primer (2009) a. Sumber Daya Manusia Tabel 9 di atas menunjukan bahwa unsur ISO yang terkait dengan sumber daya manusia (SDM) yaitu ketersediaan dan peningkatan sumberdaya manusia dan lingkungan kerja
telah dipenuhi. SDM
merupakan personal yang bertanggung jawab dalam melaksanakan SMM yang memiliki kompetensi yaitu pendidikan, pelatihan, kemampuan dan pengalaman. Dalam lingkup SMM yang terkait dengan SDM meliputi kompetensi, kesadaran dan pelatihan serta pemeliharaan lingkungan kerja yang mendukung pelaksanaan dan keberhasilan SMM. Hal tersebut sesuai pendapat Sule. E T dan Kurniawan S (2008) kesuksesan dari
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
88
manajemen sumber daya manusia (SDM) ini sangat memegang peranan kunci, karena peran manajemen SDM sangat vital bagi terwujudnya tenaga kerja yang produktif, efektif dan efisien. Di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia saat ini terdapat 672 orang karyawan yaitu meliputi karyawan tetap, harian dan borongan yang mempunyai kualifikasi pendidikan sesuai dengan bagian-bagiannya. Rekapitulasi karyawan bulanan dan harian tetap (HT) diatas dapat dilihat pada Lampiran 9. Pelatihan-pelatihan sebagian telah
didapatkan oleh
karyawan/staf perusahaan,
namun belum secara keseluruhan dapat
mengikuti
karena
pelatihan
ISO,
kebijakan
manajemen
pelatihan
dilakukan bergantian dan bertahap. Menurut Yamit (2003), menjadi tugas dan tanggung jawab para pimpinan untuk memastikan semua karyawan siap menghadapi konsekuensi era mutu ISO-9000. b. Infrastruktur dan Teknik Infrastruktur mencakup kondisi dan kecukupan bagunan, ruang kerja, dan fasilitas yang sesuai, peralatan proses dan pelayanan pendukung seperti transportasi dan komunikasi. Dalam penerapan SMM ISO 9001 : 2000, unsur-unsur yang terkait dengan infrastruktur dan teknik adalah, kondisi dan kelengkapan infrastruktur, pengendalian produksi dan penyediaan jasa serta dan perbaikan. Sebagaimana Tabel 9, ketiga unsur tersebut telah dipenuhi oleh pihak perusahaan/organisasi sesuai dengan yang diatur dalam ISO 9001:2000. Perusahaan telah menetapkan,
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
89
menyediakan, memelihara dan melakukan perbaikan infrastruktur untuk mencapai kesesuaian terhadap persyaratan produk. PT. BFPI memiliki infrastruktur yang cukup lengkap dan sudah mendukung dalam proses produksi, seperti kamar mandi (toilet) dan sarana air bersih untuk sanitasi karyawan sudah mendukung untuk proses produksi
ikan tuna kaleng. Tempat fasilitas sanitasi dan cuci tangan
terutama toilet karyawan yang merupakan fasilitas penting pengolahan hasil perikanan sebagian sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 5.1.4. Manajemen produksi dan operasi Manajemen produksi dan operasi terdiri dari bagian quality control (QC))/quality assurance (QA), bidang produksi, dan production planning and inventory control (PPIC) dan pergudangan (warehouse) a. Quality Control (QC) / Quality Assurance (QA) QC atau pengendalian mutu merupakan keseluruhan kegiatan dan teknik dalam proses untuk menciptakan karakteristik mutu tertentu, sedangkan QA atau jaminan/kepastian mutu adalah keseluruhan kegiatan yang terencana dan resmi yang memberikan kepercayaan bahwa keluaran akan memenuhi tingkat mutu yang diinginkan. Tunggal. AW (1998) mengungkapkan bahwa pengendalian mutu termasuk teknik operasional dan aktivitas yang bertujuan untuk memonitor suatu proses atau mengeliminasi penyebab dari peforma yang tidak memuaskan pada tahap yang relevan dari quality loop/quality spiral agar menghasilkan efektivitas ekonomis, dan kepastian mutu untuk efektivitasnya yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
90
memerlukan suatu penilaian berkesinambungan atas faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian dari desain atau spesifikasi.
Selanjutnya,
Tunggal. AW (1998) menyatakan bahwa dalam suatu organisasi, kepastian mutu berfungsi sebagai suatu alat manajemen. Pada situasi kontraktual,
kepastian
mutu
juga
berfungsi
untuk
memberikan
kepercayaan kepada pemasok (supplier). Unsur SMM ISO 9001 : 2000 yang terkait dengan QC/QA adalah manajemen sumber daya (infrastruktur dan lingkungan kerja), realisasi produk (perencanaan realisasi produk, desain dan pengembangan, proses pembelian, produksi dan penyediaan jasa, serta
pengendalian sarana
pemantauan dan pengukuran) dan pemantauan, analisa dan perbaikan (pemantauan dan pengukuran proses, pemantauan dan pengukuran produk, pengendalian produk yang tidak sesuai, analisis data dan perbaikan). Tabel 10 menunjukkan hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO 9001 : 2000 pada manajemen operasi bagian QC/QA di PT. BFPI.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
91
Tabel 10. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO 9001 : 2000 pada manajemen produksi dan operasi bagian QC/QA di PT. BFPI. Unsur-Unsur ISO Penerapan 6.3. Infrastruktur √ 6.4. Lingkungan kerja √ 7.1. Perencanaan realisasi produk √ 7.3. Disain dan pengembangan √ 7.4. Pembelian 7.4.1. Proses pembelian √ 7.5. Produksi dan penyediaan jasa √ 7.6. Pengendalian sarana pengukuran dan pemantauan √ 8.2. Pengukuran dan pemantauan 8.2.3. Pengukuran dan pemantauan proses √ 8.2.4. Pengukuran dan pemantauan produk √ 8.3. Pengendalian produk yang tidak sesuai √ 8.4. Analisa data √ 8.5. Perbaikan √ Keterangan: (√) = dipenuhi; (X) = dipenuhi sebagian; (-) = tidak dipenuhi
Sumber: Data Primer (2009)
Tabel 10 menujukan bahwa PT. BFPI pada manajemen operasi dan produksi bagian QC/QA telah dipenuhi penerapannya sesuai yang dipersyaratkan
pada
SMM
ISO
9001:2000.
Perusahaan
telah
menyediakan infrastruktur QC/QA yang cukup dan lengkap sesuai dengan analisis kebutuhan yang diperlukan. Kemudian semua operasional
telah
dilakukan
sesuai
dengan
standar.
prosedur Dan
hasil
pengamatan lapangan menunjukkan bahwa semua dokumen terkait dengan QC/QA tercatat dan terdokumentasi dengan baik. Unsur-unsur lain
mengenai
QC/QA
tersebut
juga
sudah
terstandarisasi
dan
terdokumentasi, demikian halnya dengan unsur analisa data juga sudah dipenuhi sesuai standar ISO.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
92
b. Produksi (Production) Perusahaan mengidentifikasi dan merencanakan proses-proses produksi,
instalasi
dan
pelayanan
yang
secara
langsung
dapat
mempengaruhi mutu, dan menjamin agar proses-proses ini dilaksanakan pada kondisi terkendali. Sebagai contoh pada proses produksi tuna kaleng (tuna in oil) ukuran 0,5 pound (can 185 gr) mulai dari pembersihan ikan (cleaning)
sampai
dengan
sterilisasi
(setelah
penutupan
kaleng)
memerlukan waktu kurang lebih 230 menit atau 3 jam 50 menit. Menurut Yamit (2003), bila proses tidak sepenuhnya dapat diverifikasi melalui inspeksi dan pengujian secara berurutan pada produk, misalnya penyimpanan proses hanya dapat diketahui setelah produk dipakai, maka proses dilakukan oleh operator yang memiliki kualifikasi pemantauan secara ketat dan terus menerus, guna menjamin persyaratan yang telah ditentukan dapat dipenuhi.
Pencatatan
(rekaman) data untuk proses,
alat, personil yang berkualitas harus dicatat. Unsur ISO 9001:2000 pada bidang produksi meliputi pengendalian produksi
dan
penyediaan
jasa,
pemeliharaan/penjagaan/pengawetan
identifikasi produk,
dan
mampu
pemantauan
telusur, dan
pengukuran produk, dan pengendalian produk yang tidak sesuai. Tabel 11 menunjukkan hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada bidang produksi di PT. BFPI.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
93
Tabel 11. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada bidang produksi (production) di PT. BFPI. Unsur-Unsur ISO 7.5.1. Pengendalian produksi dan penyediaan jasa 7.5.3. Identifikasi dan mampu telusur 7.5.5. Penjagaan/pemeliharaan/pengawetan produk 8.2.4. Pengukuran dan pemantauan produk 8.3. Pengendalian produk yang tidak sesuai Keterangan: (√) = dipenuhi; (X) = dipenuhi sebagian;
Penerapan √ √ √ X √ (-) = tidak dipenuhi
Sumber: Data Primer (2009) Tabel 11 diatas menunjukan bahwa penerapan unsur ISO pada bidang
produksi
sebagian
besar
telah
terpenuhi
sesuai
yang
dipersyaratkan. Prosedur mengenai unsur-unsur terkait dengan bidang produksi sudah terdokumentasi dengan baik. Namun pada unsur pengukuran dan pemantauan produk dipenuhi sebagian. Hal ini disebakan perusahaan dalam hal memilih metodologi (menurut ISO 9001 : 2000) untuk pengukuran produk hanya sebagiannya yang telah terselenggara pada tahap yang ada dari proses realisasi produk. c. Production Planning and Inventory Control (PPIC) Manajemen produksi bagian PPIC (internal sales) bertugas melakukan penawaran kepada pelanggan/konsumen atau
perusahaan-
perusahaan lain dalam rangka memasarkan produknya, kemudian juga menentukan kebijakan-kebijakan dalam merencanakan produksi dan penjualan.
Unsur-unsur
ISO
yang
terkait
dengan
PPIC
adalah
perencanaan realisasi produk, proses yang berkaitan dengan pelanggan dan
ketentuan
pengendalian
produksi
dan
pelayanan.
Tabel
12
menunjukkan hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada bagian PPIC di PT. BFPI.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
94
Tabel 12. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada PPIC di PT. BFPI. Unsur-Unsur ISO 7.1. Perencanaan realisasi produk 7.2. Proses yang terkait dengan pelanggan 7.5.1. Ketentuan pengendalian produksi dan pelayanan Keterangan: (√) = dipenuhi; (X) = dipenuhi sebagian;
Penerapan √ √ √ (-) = tidak dipenuhi
Sumber: Data Primer (2009) Seperti Tabel 12 di atas menunjukan bahwa penerapan unsur ISO yang terkait dengan bagian PPIC sudah dipenuhi dan telah berjalan dengan baik di perusahaan. Perencanaan realisasi produk disusun untuk 1 tahun berjalan dan dilakukan perbaikan perencaaan setiap diperlukan. Dan untuk proses yang terkait dengan pelanggan/konsumen untuk bahan (material) maupun produk yang ditawarkan dibuat penjanjian. Kemudian pada unsur ketentuan pengendalian produksi dan pelayanan tersusun dan tercatat untuk memudahkan penelusuran. Ketiga unsur tersebut telah terdokumentasikan dengan baik. d. Pergudangan (warehouse) Pergudangan (warehouse) dilakukan untuk mengatur terhadap persediaan penyimpanan bahan yaitu berupa persediaan bahan - bahan, yaitu bahan tambahan makanan, bahan pembantu, dan finish gods / produk akhir. Unsur-unsur yang terkait dengan pergudangan bahan mentah adalah infrastruktur serta produksi dan penyediaan jasa. Kemudian untuk pergudangan produk akhir/barang jadi
meliputi
infrastruktur, pengendalian produksi dan penyediaan jasa, pemeliharaan/ penjagaan/pengawetan produk & pengendalian produk yang tidak sesuai.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
95
Tabel 13 menunjukan hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada manajemen operasi/produksi bagian pergudangan di PT. BFPI. Tabel 13. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada manajemen operasi/produksi bagian pergudangan di PT. BFPI Unsur-Unsur ISO Penerapan Pergudangan Bahan Mentah 6.3. Infrastruktur √ 7.5. Produksi dan penyediaan jasa √ Penggudangan Produk Akhir 6.3. Insfrastruktur √ 7.5.1. Pengendalian produksi dan penyediaan jasa √ 7.5.5. Penjagaan/pemeliharaan produk/pengawetan produk X 8.3. Pengendalian produk yang tidak sesuai X Keterangan: (√) = dipenuhi; (X) = dipenuhi sebagian; (-) = tidak dipenuhi
Sumber: Data Primer (2009) Tabel
13
menunjukan
bahwa
unsur
ISO
terkait
dengan
pergundangan bahan mentah yaitu infrastruktur, produksi dan penyediaan jasa telah dipenuhi. Fasilitas pergudangan bahan mentah tersedia cukup dan sesuai dengan standar yang diperlukan. Demikian halnya dengan produksi dan penyedian jasa pada pergudangan bahan mentah telah tercacat dan terdokumentasi dengan baik pada bagian pergudangan. Kemudian pada unsur pergudangan produk akhir yang telah terpenuhi
adalah
insfrastruktur
dan
pengendalian
produksi
dan
penyediaan jasa. Kedua unsur ini telah memenuhi standar yang dipersyaratkan sebagaimana pada ISO. Sedangkan dua unsur yaitu unsur penjagaan/pemeliharaan/pengawetan produk dan pengendalian produk yang tidak sesuai masih terpenuhi sebagian. Masih terdapat kekurangan penerapan pada unsur penjagaan/pemeliharaan dan pengawetan produk, karena pergudangan produk akhir belum sepenuhnya dilengkapi dengan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
96
bahan atau sarana untuk menghindari/mencegah keberadaan hama seperti tikus, serangga,dan lain-lain. Sedangkan pada unsur pengendalian produk yang tidak sesuai, karena pada bagian pergudangan produk akhir pencatatan (rekaman) dan dokumen terhadap produk yang tidak sesuai masih belum sepenuhnya sesuai dengan yang diinginkan/disyaratkanan.
5.2. Penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP) Berdasarkan HACCP Penilaian penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan berdasarkan
HACCP
pada
industri
pengalengan
ikan
tuna
ini
menggunakan beberapa peubah penelitian, yaitu: kebijakan mutu, organisasi, deskripsi produk, persyaratan dasar, diagram alir proses, penerapan prinsip HACCP ( 7 prinsip ), sistem penyimpanan catatan, prosedur verifikasi, prosedur pengaduan konsumen, prosedur recall (penelusuran dan penarikan produk) dan perubahan dokumen/revisi. Hasil penilaian penerapan sistem keamanan pangan HACCP dapat dilihat pada Tabel 14.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
97
Tabel 14. Penilaian Penerapan SMKP HACCP di PT. BFPI Unsur-Unsur HACCP 1. Kebijakan mutu 2. Organisasi 2.1. Tim HACCP 2.2. Struktur Organisasi 2.3. Bidang kegiatan 2.4. Personil dan pelatihan 3. Deskripsi produk: Nama produk, komposisi, cara penyiapan dan penyajian, masa kadaluwarsa, cara penyimpanan, sasaran konsumen, cara distribusi, dll 4. Persyaratan Dasar 4.1. GMP 4.2. SSOP 5. Diagram/Bagan Alir Proses 6. Prinsip HACCP 6.1. Analisis bahaya 6.2. Penentuan CCP (jumlah CCP) 6.3. Penetapan batas kritis (CL) pada CCP 6.4. Penetapan prosedur pemantauan (monitoring) 6.5. Penetapan prosedur tindakan koreksi/perbaikan 6.6. Penetapan prosedur verifikasi 6.7. Penetapan sistem dokumentasi dan pencatatan 7. Sistem penyimpanan cacatan 8. Prosedur verifikasi 9. Prosedur pengaduan konsumen 10. Prosedur penelusuran dan penarikan produk 11. Perubahan dokumen/revisi Keterangan: (√) = dipenuhi; (X) = dipenuhi sebagian;
Penerapan √ √ √ √ √ √
√ X √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ (-) = tidak dipenuhi
Sumber: Data Primer (2009) 5.2.1. Kebijakan mutu Kebijakan mutu merupakan suatu pernyataan atau komitmen dari pimpinan puncak (direktur utama) terhadap penerapan sistem keamanan pangan berdasarkan HACCP. Konsekuensi dari komitmen tersebut merupakan sesuatu yang berkaitan dengan pembiayaan dan investasi terhadap suatu fasilitas yang dianggap penting dalam pelaksanaan sistem HACCP yang merupakan tanggung jawab manajemen puncak. Komitmen
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
98
manajemen puncak ( pimpinan perusahaan) ini tersebut juga menjadi salah satu unsur dalam pedoman penerapan sistem manajemen HACCP. Hal ini sesuai dengan pendapat Mortimore S dan Carol W (2005) mengungkapkan bahwa komitmen nyata untuk HACCP hanya akan dapat dicapai jika tim manajemen benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan HACCP dan alasan penggunaannya. Komitmen manajemen oleh Direktur PT. BFPI telah diitunjukkan dengan pembentukan tim khusus yaitu tim HACCP yang ditugaskan untuk mengoperasikan kegiatan pengelolaan sistem manajemen keamanan pangan. Disamping itu Direktur telah menunjuk wakil manajemen yaitu General Manager (Manajer Umum) yang bertanggung jawab atas penyenggaraan/ penerapan HACCP secara operasional. Hal ini sesuai pendapat Thaheer (2005) bahwa dalam konsep manajemen sebagai suatu sistem, diperlukan adanya seorang wakil manajemen yang bersifat operasional. Wakil manajemen yang mengoperasikan sistem HACCP dari hari ke hari memiliki beberapa fungsi, yakni: 1. menjadi wakil pimpinan perusahaan pada penerapan sistem; 2. mengoordinasikan tim HACCP; 3. menjadi penghubung dengan lembaga sertifikasi. Berdasarkan penjelasan diatas PT. BFPI memiliki kebijakan mutu yang telah memenuhi materi yang dipersyaratkan oleh HACCP. Lebih lanjut kebijakan mutu tertuang dalam Quality Manual diantaranya memuat
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
99
tentang Visi, Misi, dan Motto Perusahaan. Kebijakan mutu ditetapkan secara spesifik tentang kebijakan terhadap keamanan produk yang dihasilkan bagi konsumen. Kebijakan yang ditetapkan manajemen puncak atau pimpinan perusahaan telah sepenuhnya diikuti dengan penyediaan faktor-faktor pendukung penerapan HACCP seperti GMP dan SSOP. Disamping itu komitmen perusahaan dalam menjalankan sistem HACCP tersebut
diimplementasikan
secara
konsisten
setelah
perusahaan
mendapat sertifikat HACCP. 5.2.2. Organisasi a. Tim HACCP Organisasi / Tim HACCP dibentuk dengan latar belakang belakang berbagai disiplin ilmu untuk menjamin bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik tertentu tersedia untuk pengembangan program HACCP efektif. Pemilihan anggota tim didasarkan pada pengetahuan dan keahlian spesifik dimaksud tentang bahan mentah, produk, proses dan hazard. Anggota
tim HACCP memiliki latar belakang pendidikan yang
dapat mendukung tanggungjawabnya yaitu bidang ilmu perikanan, teknologi pangan, kimia, ahli mesin dan akuntansi/akunting. Kompetensi tim ditunjukkan dengan adanya anggota yang memiliki Sertifikat Pengolah Ikan, Sertifikat HACCP, Sertifikat Halal dan Ekspor-Impor. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, organisasi
tim HACCP
PT. BFPI yang terbentuk memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam sistem HACCP. Hal ini sesuai dengan persyaratan SNI 01-4852-
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
100
1998 perlu melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan yang aman, termasuk dari bagian produksi, pengendalian mutu (QC/QA), pembelian, gudang, dan teknik dan pemeliharaan (maintenance). b. Struktur organisasi Organisasi tim HACCP disusun berdasarkan struktur organisasi yang sudah ada pada PT. BFPI (lihat Gambar 5). Hal ini dimaksudkan agar legalitas tim tersebut dapat dipertanggung-jawabkan. Struktur organisasi HACCP terdiri dari ketua tim
yang dijabat oleh manajer
operasional, wakil ketua dijabat oleh kepala bagian QA/QC, sekretaris tim dijabat oleh QC/QA Supervisor
dan anggota tim adalah seluruh
kasi
/kepala bagian lainnya. Struktur organisasi tim HACCP yang dibentuk pada PT. BFPI disesuaikan dengan kebutuhan manajemen pengolahan hasil perikanan dan telah memenuhi syarat sesuai dengan sistem HACCP. c. Bidang kegiatan Kegiatan tim HACCP PT. BFPI diuraikan pada uraian tugas seperti pada Tabel 15 di bawah ini.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
101
Tabel 15. Bidang kegiatan/uraian tugas tim HACCP PT. BFPI Jabatan Ketua Tim HACCP
Wakil Ketua
Sekretaris
Anggota
Uraian tugas tim HACCP - Menyiapkan, membuat dan mengesahkan dokumen manual HACCP - Menjamin dan bertanggungjawab atas penerapan sistem HACCP didalam organisasi secara menyeluruh - Memberikan program pelatihan bagi karyawan - Melakukan verifikasi/audit secara berkala terhadap sistem HACCP serta tindakan perbaikan dan perubahan yang diperlukan - Mengadakan dan memimpin rapat tim HACCP secara berkala - Melakukan dan menjaga hubungan dengan pihak konsultan HACCP - Membantu ketua tim HACCP dalam menjalankan tugas penerapan sistem HACCP - Menjalankan tugas dan fungsi ketua, jika yang bersangkutan berhalangan - Memberikan program pelatihan kepada karyawan harian terhadap penerapan sistem HACCP - Memberikan masukan, usulan perbaikan sistem HACCP kepada Ketua tim sehingga terjadi peningkatan mutu atas sistem HACCP - Membantu Ketua tim HACCP dalam program pelatihan, penerapan dan perbaikan sistem HACCP di dalam perusahaan - Menyiapkan dan membuat dokumen manual HACCP - Mengendalikan, mendistribusikan dokumen HACCP dan menjamin bahwa setiap unit menerima dokumen HACCP yang benar dan baru - Menyimpan semua rekaman dokumen, catatan dan data terhadap semua dokumen HACCP dengan baik dan rapi - Melakukan revisi terhadap dokumen sesuai dengan perubahan yang telah ditetapkan dan mendistribusikan dokumen yang baru serta menerik dokumen yang lama - Menusnahkan dokumen yang salah tidak terpakai atau yang sudah melewati masa simpan dokumen - Membatu persiapan dan pembuatan dokumen manual sistem HACCP - Memberikan masukan, usulan perbaikan sistem HACCP sehingga terjadi peningkatan mutu atas sistem HACCP - Menjadi fungsi sistem dalam pelaksanaan sistem HACCP di dalam lingkungan unit/bagian masing-masing
Sumber: PT. Blambangan Foodpackers Indonesia (2009) Tim HACCP mengadakan rapat harian (senin-jum’at) yang dilakukan pada siang hari (setelah istirahat), untuk membahas temuantemuan, adanya ketidaksesuaian atau masalah yang dihadapi hari sebelumnya dan juga untuk merencanakan kegiatan kedepan. Temuan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
102
masalah dari hasil rapat tim dilaporkan kepada pimpinan puncak atau pimpinan perusahaan secara rutin setiap selesai rapat. Kegiatan atau uraian tugas tim HACCP sebagaimana tertera pada Tabel 15 dan penjelasan tersebut diatas sesuai dengan sistem HACCP. d. Personil dan pelatihan Personil dan pelatihan bagi tim HACCP dan karyawan lainnya yang terlibat dalam proses kegiatan HACCP di PT. BFPI dapat dilihat pada lampiran 10. Secara umum personil yang ditunjuk sebagai tim memiliki kompetensi
yang
cukup
untuk
melaksanakan/menerapkan
sistem
HACCP. Hal ini terlihat dari tim yang terbentuk memiliki pendidikan dasar perikanan, mikrobilogi, teknologi pangan, kimia, teknik dan lain-lain. Kemudian tim secara keseluruhan telah mengikuti pelatihan sistem HACCP, Ekspor-Impor, teknologi pangan dan sertifikat halal, penanganan bahan pangan berbahaya dan lain-lain, serta telah mengikuti berbagai seminar terkait dengan HACCP. Pelatihan personil tersebut dilakukan secara internal mapun ekternal. Berdasarkan penjelasan tersebut personil dan pelatihan bagi tim maupun karyawan yang mendukung HACCP yang dilaksanakan oleh PT. BFPI telah memenuhi syarat sesuai dengan sistem HACCP. 5.2.3. Deskripsi produk Dalam penerapan HACCP,perusahaan menetapkan deskripsi produk dan rencana penggunaan produk. Deskripsi produk dimaksud merupakan perincian informasi lengkap mengenai produk yang berisi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
103
tentang nama produk, merk (brand), nomor lot,
berat bersih, drained
weight, komposisi, tanggal kadaluarsa & kode produksi, approval number, negara
asal,
nama
dan
alamat
perusahaan,
bar
code,
kondisi
penyimpanan dan cara penyajiannya. Ikan Tuna dalam kaleng (finish product)
yang diproduksi oleh
PT. BFPI terdiri dari tuna in oil (TIO), tuna in brine (TIB), tuna in dressing sauce atau tuna sambal kaleng tersebut adalah;
goreng (SGIT).
Komposisi ikan tuna dalam
tuna dalam minyak : ikan tuna,
air, garam,
minyak sayur (soya been oil), tuna dalam larutan garam : ikan tuna, air, garam, tuna sambal goreng : ikan tuna dan bumbu-bumbu. Kemudian kondisi penyimpanan dan cara penggunaan yaitu dapat disimpan di suhu ruang / suhu dingin, serta dapat langsung dikonsumsi / disajikan atau dipanaskan dahulu. Jenis kemasan berupa kaleng (wadah primer) dan sekunder, dimana jenis kemasan primer berupa kemasan TFS (kaleng TFS) ukuran 603 x 408 cm dan 307 x 111 cm. Kemasan luar kotak karton (kemasan sekunder), berisi 6 kaleng setiap kemasan kotak karton (boks) atau 48 kaleng per karton. Lama kadaluarsa (daya simpan) selama 3 (tiga) tahun. Cara distribusi melalui distributor, penjualan /pemasaran melalui agen, dan penjualan sendiri dengan kanvaser, retail, atau konsumen/pelanggan langsung. Tuna kaleng dipasarkan (consumer) di dalam negeri (local). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 11.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
104
Penjelasan diatas tentang deskripsi produk berupa tuna dalam kaleng hasil produksi PT. Blambangan Foodpackers Indonesia dan identifikasi penggunaannya sesuai dengan sistem HACCP. 5.2.4. Persyaratan Dasar Persyaratan dasar (prerequisite programs) merupakan persyaratan teknis yang harus dimiliki dan dipenuhi perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP untuk seluruh proses produksi. Secara teknis penerapan sistem HACCP menyangkut aspek Prosedur Standar Pelaksanaan dan Sanitasi atau Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) dan Praktek Pengolahan yang Baik atau Good Manufacturing Practice (GMP). Penerapan GMP dan SSOP pada PT. BFPI yang merupakan perusahaan pengalengan ikan tuna telah menerapkan suatu standar yang diperlukan.
Sebagai unit pengolahan ikan yang menerapakan sistem
HACCP perusahaan telah mendokumentasikan sistem manajemen keamanan pangan yang mencakup GMP, SSOP dan panduan mutu rencana HACCP yang diterapkan. Hal ini sesuai dengan SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. KEP. 01/MEN/2007 tentang persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan dan distribusi. PT. BFPI telah memelihara dokumen panduan mutu dan rekaman (record) hingga periode waktu tertentu. a. Good Manufacturing Practice (GMP) Secara umum, penerapan GMP terdiri dari desain dan konstruksi higienis untuk pengolahan produk makanan, desain dan konstruksi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
105
higienis untuk peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan, pembersihan dan desinfeksi peralatan, pemilihan bahan baku dan kondisi yang baik, pelatihan dan higienitas pekerja. Cara produksi makanan yang baik terdiri dari beberapa aspek yang saling berkaitan dan berpengaruh langsung terhadap produk yang diolah dan dihasilkan. Sesuai dengan penjelasan di atas PT. Blambangan Foodpackers Indonesia telah menerapkan persyaratan kelayakan dasar–GMP sebagai persyaratan dasar sistem HACCP. Kemudian prinsip-prinsip GMP oleh perusahaan telah sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan standar yang ada (peraturan tentang pengolahan hasil perikanan). Berikut uraian penerapan GMP di PT Blambangan Foodpackers Indonesia: 1). Lokasi dan lingkungan PT.BFPI terletak pada lokasi yang strategis karena berada dekat dengan sumber bahan baku, dekat dan banyak tersedia/sumber tenaga kerja di sekitar lokasi pabrik, sarana transportasi yang memadai, dekat dengan jalan raya serta beberapa pertimbangan ekonomis lainnya. Jalan utama masuk menuju perusahaan dalam kondisi baik (aspal) dan jauh dari sumber pencemaran, pembuangan sampah dan rumah penduduk. Namun disamping pabrik sebagian rusak (belum diaspal), dan saat hari panas (musim kemarau) berdebu. Lokasi pabrik berdekatan/ berbatasan dengan beberapa perusahaan pengolahan/pengawetan hasil perikanan atau dapat dikatakan berada di pusat industri perikanan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
106
Tata letak bangunan (lay out) pabrik diatur sedemikian rupa sehingga masuknya bahan baku dan bahan pembantu, jalannya proses produksi, lalu lintas angkutan dalam pabrik, dan pengiriman barang jadi di atas truk dapat berjalan dengan lancar. Lokasi bangunan dilengkapi oleh sarana penunjang, seperti sarana penyediaan air bersih. Penyimpanan peralatan, penanganan sampah dan limbah (sisa hasil proses), serta sistem pembuangan air/saluran diatur dengan baik sesuai dengan persyaratan dalam GMP berdasarkan KEP. 01/MEN/2007. Area pabrik dinilai telah memadai untuk melakukan kegiatan pengolahan ikan dilihat dari sisi saniter dan higienis. Kawasan pabrik merupakan daerah industri perikanan yang telah disetujui, dan sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam KEP.01/MEN/2007. Demikian dengan pekarangan pabrik terpelihara dengan baik, bersih dan teratur. 2) Bangunan. Disain/konstruksi bangunan merupakan salah satu faktor penting dalam menjalankan suatu kegiatan industri terutama industri pengolahan pangan. Unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam bangunan (ruang penanganan dan pengolahan pada pengalengan tuna) adalah lantai, dinding, langit-langit, pintu, ventilasi, penerangan, dan fasilitas pencucian tangan dan desinfeksi. PT. BFPI memiliki lima unit ruang produksi, yaitu ruang untuk produksi tuna kaleng, sarden kaleng, jagung kaleng, escargot kaleng dan produk sampingan. Untuk ruang produksi tuna kaleng terdiri dari tiga
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
107
ruangan yaitu ruang untuk penimbangan, ruang untuk penyiangan sampai penutupan dan pencucian kaleng (proses pengalengan), dan ruang untuk proses pembuatan medium (saus). Ruang penerimaan bahan baku atau ruang penyimpanan terpisah dari ruang untuk penanganan, pengolahan dan pengemasan produk, sehingga kontaminasi produk akhir dapat dihindarkan. Lantai, dinding, langit-langit terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan. Air untuk kebutuhan pabrik dimana tersedia cukup, air
tersebut sesuai dengan
ketentuan yang dipersyaratkan dalam GMP berdasarkan SK Menkes 907/02.
Ruang penerimaan (bahan baku) bersih dan tertutup dari
lingkungan luar. Gudang (ruang penyimpanan)
yang
merupakan salah satu
fasilitas menunjang proses produksi, terdiri dari 3 bagian, yaitu gudang bahan, gudang post retort dan packing area serta gudang jadi. Gudang penyimpanan barang barang lain terpisah dari gudang penyimpanan bahan untuk pengolahan dan pengemasan produk. 3). Fasilitas sanitasi Fasilitas sanitasi di PT. BFPI terdiri dari sarana penyediaan air, sarana pembuangan (limbah), kamar mandi (toilet) dan sarana cuci tangan. Terkait dengan fasilitas sanitasi tersebut pihak perusahaan telah mengelola dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan kondisi dilapangan, seperti sarana cuci tangan sudah tertera Standart Operating Procedure (SOP) di masing-masing tempat. Kamar mandi (toilet) yang berjumlah 8
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
108
unit terdapat disamping unit/proses pengalengan tuna telah memadai, air dan sabun yang tersedia juga memadai untuk pembersihan sebelum dan sesudah bekerja, hal ini sesuai dengan yang dipersyaratkan pada SSOP menurut KEP.01MEN/2007. Kapasitas dan jumlah fasilitas sanitasi dirancang yang tersedia sebanding dengan jumlah karyawan, sehingga karyawan tidak perlu mengantri dalam menggunakan fasilitas tersebut. Kemudian di dalam ruang ganti pakaian terdapat loker untuk menyimpan barang-barang dan pakaian ganti karyawan. 4). Peralatan produksi Jenis
dan
kapasitas
peralatan
dan
perlengkapan
produksi/pengolahan yang digunakan di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia, telah memadai dan mencukupi untuk proses pengolahan. Khusus peralatan produksi pengolahan tuna kaleng juga sudah sesuai dengan persyaratan teknik. Kemudian prosedur kerja, perawatan mesin, dan ketersediaan peralatan tersebut sudah terdokumentasi dengan baik. 5). Bahan Bahan baku dan bahan pembantu yang digunakan oleh PT. BFPI sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan atau memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan.
Bahan baku untuk pengalengan ikan tuna
berupa ikan tuna segar dan frozen jenis Skipjack (cakalang) dan Yellowfin (Madidihang). Pada saat penerimaan bahan baku dilakukan pengecekan suhu dan organoleptik ikan. Pengujian terhadap kualitas (mutu) ikan tuna
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
109
dilakukan secara organoleptik kemudian uji kadar garam (NaCl) dan uji kukus. Tujuan
uji kukus untuk
ikan tuna
(frozen)
ini adalah untuk
mengetahui layak atau tidak ikan yang akan digunakan dalam proses produksi. Bahan pembantu yang digunakan berupa: air, garam dan minyak / media pengisian (soya been oil) yang pengujiannya dilakukan oleh petugas/staf laboratorium. Air yang digunakan untuk proses produksi pengalengan ikan tuna berasal dari sumur bor/sumur artesis, kemudian dipompa dan ditampung pada receiver untuk ditreatment. Penanganan dan pengelolaan air tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan Permenkes No. 7 Tahun 2001. Demikian halnya dengan pengelolaan baku lainnya yang digunakan untuk proses produksi tuna kaleng telah sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh GMP dalam HACCP. 6). Proses pengolahan (Work in Progress) Proses pengolahan ikan tuna dalam kaleng dilaksanakan sesuai dan memenuhi persyaratan standar mutu (SNI 01-2712.2-1992). Proses pengolahan telah sesuai dengan ketentuan yang khusus menurut jenis pengolahan. Proses pengolahan dilakukan secara saniter dan higienis, sedangkan bentuk dan ukuran produk akhir telah memenuhi GMP. Proses tersebut terdiri dari: a). Penerimaan bahan baku Bahan baku yang digunakan dalam produksi ikan tuna kaleng PT. Blambangan Foodpackers Indonesia adalah tuna segar (fresh) dan tuna
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
110
beku (frozen) dengan jenis Skipjack dan Yellowfin. Bahan baku yang datang (tuna frozen) dilakukan sortasi ukuran dan jenis.
Kemudian
dilakukan pengujian mutu (suhu dan organoleptik ikan) yang berujuan untuk mendapatkan bahan baku yang layak untuk kegiatan produksi. Pengecekan mutu secara organoleptik dilakukan dengan cooking atau uji kukus. Kemudian juga lakukan pengujian kimia terdiri dari uji kadar histamin, kadar garam dan suhu pusat ikan (tuna beku -18oC). b). Penyimpanan beku di dalam cold storage Penyimpanan
beku
bahan
baku
dilakukan
dengan
cara
menampung bahan baku yang akan disimpan dalam box yang terbuat dari baja dengan kapasitas 500 kg kemudian disimpan dalam cold storage. Penyusunan dalam box tersebut dilakukan secara acak atau tidak teratur. c). Pelelehan (Thawing) Proses pencairan kembali ikan beku yang berasal dari cold storage, kegiatan ini dilakukan dengan cara merendam ikan dalam box thawing yang telah diberikan air dan diberikan kucuran/penyiraman air secara terus menerus selama 2 jam. Tujuan kegaiatan ini adalah untuk mutu ikan dan mempermudah dalam proses precooking. d). Pemotongan/penyiangan (Butchering) Proses pemotongan/penyiangan berupa kegiatan pengambilan isi perut ikan (gutting) yang merupakan sumber kontaminasi terbesar dari ikan. Pembuangan isi perut ini bertujuan untuk menghilangkan pusat
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
111
bakteri pada ikan yaitu insang, isi perut dan lendir permukaan tubuh yang dapat memercepat proses penurunan mutu. e). Pemasakan pendahuluan (Precooking) Pemasakan pendahuluan (precooking) dilakukan selama kurang lebih 1,5 jam yang disesuaikan dengan ukuran dan size ikan. Ikan tuna dibongkar dari galvanes box, kemudian ditata pada rak-rak stainless stell. f). Deheading Deheading merupakan proses penghilangan atau pembuangan kepala dan kulit ikan tuna dengan cara menarik kepala dengan tangan dan pengulitan ikan dengan menggunakan pisau. Kepala ikan tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku penepungan ikan. g). Pembersihan loin (Cleaning) Proses ini pada prinsipnya adalah memisahkan daging ikan tuna (daging putih dan merah), dimana daging putih merupakan bahan baku utama dalam pembuatan tuna in oil, tuna in brine, sedangkan daging merah digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan tuna sambal goreng (SGIT). h). Pengisian ikan dalam kaleng (Filling in Can) Pengisian ikan dalam kaleng diberdakan menjadi
dua macam
tergantung pada ukuran berat isinya. Kaleng pertama berukuran 4 pound atau berat bersih 2.000 gram, dan kaleng kedua dengan ukuran 0,5 pound dengan berat bersih 185 gram. Untuk pengisian daging ikan ke dalam kaleng ukuran 4 pound dengan cara manual, dimana ukuran potongan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
112
loin diperhatikan yaitu susunan daging dalam bentuk chunk, flake dan loin dengan ketentuan berat tuntas (drained weight) 1.385 gram. i). Penambahan media (Medium Filing) Kaleng yang telah diisi/berisi ikan tuna (loin putih, flake dan chunk) kemudian ditambahkan
media berupa minyak sayur, yang bertujuan
untuk menambah cita rasa dan kenampakan produk. Pada produk tuna in oil (TIO) media yang ditambahkan/ digunakan berupa minyak sayur (soya bean oil) secara manual dan brine (konsentrasi garam 3%), sedangkan untuk produk sambal goreng ikan tuna (SGIT) media yang ditambahkan berupa saus sambal /bumbu. Untuk media saus sambal dipanaskan terlebih dahulu sampai suhu mencapai 80
o
C untuk mempercepat
penyerapan oleh daging dan membentuk terbentuknya kondisi vakum dalam kaleng. j). Penutupan kaleng (Seaming) Kaleng yang telah berisi daging ikan tuna (loin putih, flake dan chunk), berikut ditambah minyak sayur dan garam kemudian dilakukan penutupan kaleng. Penutupan kaleng dilakukan dengan menggunakan alat penutup yang disebut seamer yang dilengkapi dengan penghampaan udara dan berfungsi untuk menghisap udara yang berada didalam kaleng sehingga ketika kaleng ditutup diperoleh keadaan vakum dan steril. k). Sterilisasi/retorting dan pendinginan kaleng Proses strerilisasi dilakukan dengan menggunakan retort. Kalengkaleng dari proses seaming dicuci terlebih dahulu dengan merendam
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
113
dalam keranjang besi yang dimasukan ke dalam air/water pit, hal ini bertujuan untuk menghilangkan minyak yang ada pada kaleng. l). Post Retort - Pembersihan Kaleng (Wipping) Setelah kegiatan retorting selesai, dilanjutkan dengan kegiatan post retort. Kegiatan ini berupa pendinginan ikan tuna dalam kaleng dan pembersihan kaelng-kaleng dari minyak maupun kotoran yang melekat pada kaleng dengan menggunakan tepung tapioka / kanji. m). Inkubasi (Incubating) Setelah produk didinginkan di post area, kemudian dilakukan proses inkubasi (dalam ruang inkubasi) selama 5-7 hari. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat baik dan tidaknya produk yang dihasilkan. n). Pengemasan (Labelling) Pengemasan
dilakukan
secara
manual,
yaitu
kaleng
yang
berukuran 4 pound (can 2.000 gr) dalam satu karton/box terdiri dari 6 kaleng dan kaleng yang berukuran 0,5 pound (can 185 gr) dalam karton terdiri /diisi 48 kaleng. o). Penyimpanan (Stuffing) Penyimpanan diatur menurut produk dan status periodik yang diberikan oleh pihak laboratorium. Apabila produk memenuhi syarat yang telah ditentukan (siap dikirim), maka diberikan status relese, dan dalam status pengujian diberikan status hold (diterima)
dan produk yang tidak
boleh dikirim diberi status reject (ditolak).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
114
Masing-masing tahapan
proses
pengolahan memiliki formula
dasar dengan menyebutkan jenis bahan yang digunakan, baik bahan baku dan bahan pembantu serta persyaratan mutunya. Untuk setiap satuan pengolahan memiliki instruksi kerja tertulis yang menyebutkan jumlah bahan dan alat yang digunakan, tahap-tahap rincian kerja, langkahlangkah yang perlu diperhatikan selama pengolahan dengan mengingat faktor suhu, pengisian, waktu dan suhu pemanasan dan lain-lain, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan dan kontaminasi pada produk akhir, perlengkapan pakaian kerja karyawan, dan hal-hal emergency yang perlu diperhatikan selama pengolahan, serta hal lain yang dianggap perlu. Setiap proses pengolahan selalu dipantau/dimonitor dan diperiksa, dicatat oleh
penanggung
dimana
hasil
jawab
(petugas) pengolahan di bagian produksi,
pemantauan
(catatan)
yang
telah
dilakukan,
didokumentasikan dan disimpan dengan baik. 7). Produk akhir Produk akhir yang dihasilkan adalah produk ikan tuna dalam kaleng diantaranya yaitu tuna in oil dengan media berupa minyak sayur, tuna in brine dengan media berupa larutan garam dan sambal goreng ikan tuna (SGIT) dengan media berupa saus sambal (bumbu), memiliki persyaratan mutu yang ditetapkan perusahaan, yang sesuai dengan standar mutu ikan tuna dalam kaleng di Indonesia (SNI). Produk ikan tuna dalam kaleng (produk akhir) yang dihasilkan sebelum
dipasarkan/didistribusikan
ke
konsumen
terlebih
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
dahulu
115
dilakukan pengujian-pengujian oleh Quality Control (QC) gudang jadi dan staf laboratorium. Penanganan terhadap produk akhir tersebut telah memenuhi GMP yang dipersyaratkan dalam sistem HACCP. 8). Laboratorium PT. Blambangan Foodpackers Indonesia pengujian mutu,
memiliki laboratorium
laboratorium ini terdiri dari ruangan/ruang QC, R&D,
Laboratorium, dan juga ruang tempat penyimpanan arsip/dokumen perusahaan; ruangan-ruang ini seluruhnya berada dalam satu ruangan besar. Untuk pengujian/analisa (uji coba produk baru) dilakukan diruang laboratorium. Laboratorium milik perusahaan ini sudah memadai untuk skala UPI, Hal ini sesuai dengan SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor Kep. 01/MEN/2007 tentang persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan distribusi
yang mempersyaratkan bahwa setiap unit pengolahan harus
memiliki
laboratorium
yang
dapat
digunakan
untuk
menunjang
pengendalian mutu secara mandiri. Analisa yang dilakukan di laboratorium ini terdiri dari analisa kadar air, kadar abu, kadar histamin, kadar garam dan pengujian fisika (produk ikan dalam kaleng), serta uji organoleptik pada bahan baku dan produk akhir. Disamping itu staf / karyawan pada laboratorium sering melakukan penelitian dan pengembangan terhadap mutu
produk pada proses
produksi dan di lapangan. Hasil analisa/pengujian yang dilakukan dilaboratorium tersebut hasilnya dicatat dalam bentuk formulir yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
116
sewaktu-waktu dapat dikoreksi bila terjadi sesuatu pada produk yang telah di uji, dimana hasil analisa tersebut selanjutnya didokumentasikan dan disimpan oleh staf QC dan staf laboratorium. 9). Higiene karyawan. Semua karyawan/personil yang berhubungan langsung dengan produksi pengalengan ikan tuna menggunakan pakaian kerja yang telah ditetapkan perusahaan seperti baju seragam, apron, sarung tangan, masker, tutup kepala dan sepatu kerja. Setiap karyawan mengenakan pakaian seragam yang sesuai dan bersih setiap hari. Karyawan yang berhubungan langsung dengan proses pengolahan tuna kaleng wajib mengenakan
pakaian
tersebut
disaat
bekerja.
Namun
menurut
pengamatan dilapangan, masih ditemukan beberapa karyawan yang lalai dan tidak menggunakan alat pelindung diri juga kadang-kadang kurang lengkap seperti sarung tangan dan lain-lain, oleh karena itu diperlukan pengawasan dan ketegasan yang lebih ketat oleh pihak manajemen. Terkait dengan kesehatan karyawan, pihak perusahaan tidak memperbolehkan karyawan yang sedang sakit untuk bekerja. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam GMP agar tidak terjadi kontaminasi antara penyakit yang diderita karyawan dengan produk yang sedang ditangani. Pihak manajemen telah membuat / menerapkan larangan bagi karyawan saat bekerja, seperti merokok, mengunyah makanan dan minuman, meludah serta berbicara / banyak bicara saat bekerja di ruang unit
pengolahan,
dimana
hal
tersebut
dapat
berpengaruh
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
dan
117
menyebabkan kontaminasi terhadap produk. Pengelolaan terhadap kebersihan bagi karyawan yang dilaksanakan oleh pihak manajemen terlah sesuai dengan prosedur GMP. 10). Wadah dan pembungkus Wadah yang digunakan berupa logam untuk pengemasan produk tuna kaleng.
Bentuk kemasan primer yang digunakan adalah bentuk
kaleng (tin plate) dengan beberapa macam ukuran. Pengemasan dilakukan pada kondisi yang higienis untuk menghindarkan kontaminasi. Bahan pengemas yang tidak digunakan disimpan di tempat yang jauh dari area, hal ini telah dilakukan dan sesuai dengan peraturan yang dipersyaratkan dalam GMP menurut KEP.01/MEN/2007. Kaleng yang termasuk dalam bahan pembantu ini, yang digunakan ada dua macam yaitu two piece cans yaitu kaleng yang memiliki dua bagian yang terdiri dari body dan lid, dengan bahan baku Tin Free Steel. Sedangkan tree piece cans adalah kaleng yang mempunyai tiga bagian yaitu body dan 2 lid, terbuat dari bahan baku tin plate. Untuk kaleng two piece cans dengan ukuran 0,5 pound (ukuran 307 x 111) dan 4 pound (ukuran 603 x 408) diperoleh dari PT. Putra Darma Jakarta. Sedangkan untuk kaleng tree piece cans dengan ukuran 0,5 pound
(can 185 gr)
dibuat oleh PT. Mantrus sendiri yaitu PT. NAFO di Banyuwangi dan PT. Commetta. Sedangkan Master Cartoon (MC) merupakan wadah sekunder dalam pengemasan produk berupa CBF (Corrugated Fiber Board) yang pemasoknya (supplier) adalah PT. Kedaung Surabaya.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
118
11). Label (Pelabelan) Pelabelan dilakukan pada produk tuna kaleng yang polos atau belum berlabel, sekaligus dilakukan sortasi terhadap kaleng yang riject (rusak). Pelabelan dilakukan secara manual oleh karyawan dengan cara menempelkan label yang berupa kertas pada kaleng (can polos). Penempelan label pada kaleng
dilakukan dengan
menggunakan lem
ipacol. Pada label tertera brand (merk), jenis produk (solid, chunk, flake), jenis medium/saus, jenis ikan, komposisi, berat bersih/ net content, kode produksi, dikemas oleh, tanggal produksi dan
kadaluarsa, saran
penyajian dan penyimpanan, nama dan alamat perusahaan yang memproduksi dan product of Indonesia. Biasanya
regulasi
dalam
labelling
beranekaragam
seperti
pengaturan asal produk (marke of origin), berat, deskripsi mengenai isi dan kandungan, nama produsen, informasi tambahan khusus dan kandungan kimia atau lemak. Pelabelan yang dilakukan untuk produk ikan tuna kaleng tersebut sudah sesuai dengan standar GMP pada HACCP dan juga sesuai yang dipersyaratkan oleh Menteri Kesehatan RI tentang pengemasan dan pelabelan. 12). Penyimpanan Penyimpanan dilakukan dengan sistem FIFO (First In First Out), yaitu setiap bahan baku, dan bahan penolong yang masuk terlebih dahulu digunakan dan produk akhir didistribusikan terlebih dahulu. Penyimpanan produk yang dilakukan oleh karyawan gudang jadi dengan mengatur
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
119
kaleng-kaleng secara teratur didalam gudang penyimpanan. Box carton yang berisi produk disusun secara horizontal. Penyimpanan produk jadi menggunakan pallet untuk mencegah kontaminasi, hal ini telah sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam GMP. Penyimpanan diatur menurut produk-produk dan status periodik yang diberikan oleh laboratorium. Kondisi ruang penyimpanan untuk produk ikan kaleng yang telah dihasilkan telah sesuai, dan diatur sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya kerusakan produk yaitu suhu dalam gudang sama dengan ruangan, kelembaban tidak tinggi, gudang harus kering, bersih dan cukup sirkulasi udara. 13). Pemeliharaan Kegiatan
pemeliharaan
terdiri
dari
pemeliharaan
sarana
pengolahan, sarana kantor dan lain-lain dan telah dilakukan sesuai prosedur. Pemeliharaan secara khusus yang berkaitan dengan kebersihan (sanitasi) pabrik dan pemeliharaan alat dan mesin. Pemeliharaan alat dan mesin tersebut dilakukan perbaikan yang diperlukan agar diperoleh suatu operasi pengolahan yang baik dan berjalan lancar sesuai dengan yang telah direncanakan. Kegiatan sanitasi pabrik dilakukan setiap hari sebanyak dua (2) kali sehari secara teratur yaitu sebelum dan sesudah proses produksi sehingga proses produksi berjalan baik dan mutu produk yang dihasilkan terjamin.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
tuna kaleng
120
Penerapan GMP oleh pihak perusahaan secara keseluruhan sesuai dengan yang dipersyaratkan pada sistem HACCP. b. Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) SSOP merupakan prosedur atau tata cara yang digunakan oleh industri untuk membantu mencapai tujuan atau sasaran keseluruhan yang diharapkan GMP dalam memproduksi makanan yang bermutu tinggi, aman dan tertib. Ada delapan (8) bagian dalam SSOP yang terdiri dari 1) pasok air dan es,
2) sanitasi ruang produksi dan peralatan, 3)
pencegahan kontaminasi silang, 4) toilet dan fasilitas pencuci tangan, 5) perlindungan dari bahan kontaminan, 6) persyaratan pelabelan dan penyimpanan, 7) kebersihan/kesehatan karyawan, dan 8) pengendalian hama.
Berikut ini diuraikan penerapan SSOP di PT. Blambangan
Foodpackers Indonesia. 1) Pasok air dan es Pasok air bersih yang digunakan oleh perusahaan berasal air sumur bor. Air bersih yang digunakan untuk proses produksi pengalengan tuna yang berasal dari sumur bor tersebut dipompa kemudian ditampung pada receiver tank untuk ditreatment sebelum dipasok ke pabrik. Pengecekan kualitas air secara visual dilakukan oleh staf QC / staf laboratorium, dan dilakukan setiap 1 minggu sekali. Pengecekan kualitas air dilakukan terhadap: berwarna, berbau dan rasa. Sedangkan pemeriksaan kualitas air sesuai dengan standar mutu air pengolahan bahan pangan dilakukan oleh laboratorium eksternal yaitu dari pihak
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
121
BLPMHP (Balai Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan) dan dilakukan setiap tiga (3) bulan sekali. Hasil uji selama ini telah memenuhi persyaratan air portable water, yaitu tidak ditemukannya kontaminasi silang antara saluran air bersih dengan saluran limbah. Pasok es balok untuk proses pengolahan berasal dari supplier tetap (pabrik es: Air Rejeki), yaitu pabrik es bersertifikat air minum yang letaknya kurang lebih 1 km dari PT. BFPI. Kebutuhan es rata-rata per hari 1,5 ton untuk penyimpanan sementara bahan baku (ikan) dan untuk proses pengolahan atau yang lainnya sebanyak 0,5 ton. Kebutuhan es sangat tergantung pada jumlah bahan baku (ikan) atau 1 ton bahan baku membutuhkan 9 balok es. Air yang digunakan untuk memproduksi es berasal dari sumber air atau yang telah mengalami perlakuan yang aman dan saniter. 2) Sanitasi ruang produksi dan peralatan Sanitasi dapat diartikan sebagai suatu usaha terpadu dan pengendalian terhadap komponen produksi (bahan baku, tenaga kerja, mesin, peralatan dan lain-lain). Kegiatan sanitasi ruang produksi dilakukan sebanyak 2 kali/hari secara teratur yaitu sebelum dan sesudah proses produksi. Setelah selesai proses produksi tuna kaleng, karyawan/tim sanitasi segera membersihkan dan melakukan sanitasi seluruh bagian/ruangan serta peralatan, dan fasilitas yang ada yang telah selesai digunakan. Hasil dari
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
122
pengecekan/pemeriksaan tersebut dicatat pada file oleh staf QC dan kemudian disimpan pada catatan harian sanitasi. 3) Pencegahan kontaminasi silang Kontaminasi silang dari obyek yang tidak saniter memungkinkan terjadi apabila terjadi pertemuan yang mengakibatkan pencemaran yaitu antara bahan baku ke produk akhir, ruang kotor ke ruang bersih dan alat yang kotor ke alat yang bersih. Kontaminasi silang akan terjadi apabila GMP tidak diterapkan dengan tepat diantaranya pekerja tidak memakai perlengkapan yang sesuai.
Hal ini sesuai pendapat Soekarto (1990),
pekerja dibagian produksi terutama berhubungan langsung dengan makanan diwajibkan mengenakan penutup rambut, sarung tangan, dan masker. Untuk menghindari kontaminasi
silang bagi karyawan yang
melakukan proses produksi diwajibkan melakukan pencucian tangan, sesuai dengan peraturan/himbauan yang telah dibuat (dipasang) oleh pihak manajemen di depan pintu masuk ruang produksi. Namun dari hasil pengamatan di lapangan masih terdapat karyawan yang tidak mencuci tangan, oleh karena itu diperlukan penerapan peraturan yang tegas dengan disertai pengawasan yang lebih ketat yang dilakukan
oleh
pengawas. Berdasarkan penjelasan diatas pencegahan kontaminasi silang sebagian telah dipenuhi pihak perusahaan sesuai dengan SSOP.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
123
4) Toilet dan fasilitas pencuci tangan Fasilitas sanitasi yang dimiliki perusahaan antara lain adalah toilet dan tempat cuci tangan. Toilet berada di bagian belakang unit pengolahan, sehingga pintu toilet tidak berhubungan langsung dengan ruang penanganan dan pengolahan ikan. Perusahaan menyediakan delapan (8) buah toilet dan dilengkapi dengan sabun serta air yang cukup untuk pekerja di proses pengolahan pengalengan tuna. Jumlah ini telah sebanding/cukup dengan jumlah pekerja yang ada yang berjumlah 54 orang. Kran pencucian
tangan ditempatkan pada lokasi yang mudah
dijangkau, seperti pada pintu masuk ruang unit pengolahan. Fasilitas untuk pencucian dan sanitasi tangan di PT. BFPI di tempatkan di depan ruang penerimaan dimana karyawan disyaratkan untuk mencuci tangan sebelum masuk ke ruang proses/pengolahan. Tempat cuci tangan ini dilengkapi oleh sabun, dan menggunakan air dingin dan hangat. 5) Perlindungan dari bahan kontaminan Bahan/produk pangan, peralatan dan bahan pengemas produk sudah
terlindungi
dari
pencampuran/cemaran
bahan
kimia
dan
kontaminasi secara fisik. Masing-masing bahan pembersih dan bahan sanitasi telah disimpan terpisah dari areal proses (produksi) untuk menghindari kontaminasi. Karyawan diharuskan untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah mempergunakan atau berhubungan dengan bahanbahan pembersih dan sanitasi tersebut.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
124
6) Persyaratan pelabelan dan penyimpanan PT. Blambangan Foodpackers Indonesia menetapkan prosedur penyimpanan yang terdokumentasi dengan baik. Bahan baku, bahan pembantu, produk akhir, bahan pengemas disimpan terpisah dan menggunakan sistem FIFO untuk setiap bahan yang digunakan. Setiap label telah dicek sebelum digunakan. Pelabelan dilakukan untuk setiap bahan yang masuk agar tidak terjadi kontaminasi silang antara bahan dan kekeliruan pada saat akan mempergunakan. 7) Kebersihan/kesehatan karyawan Karyawan yang bekerja wajib menggunakan pakaian bersih menggantinya setiap hari. Persyaratan karyawan tidak sakit, tidak mengidap penyakit menular dan mempunyai luka terbuka atau masalah lain
yang dapat mengkontaminasi produk atau perlengkapan bahan
pengemas lainnya. Berdasarkan kondisi di lapangan menunjukkan bahwa perusahaan belum melakukan pemeriksaan kesehatan karyawan secara periodik untuk menghindari kontaminasi penyakit yang dideritanya. Bagi karyawan
yang
dalam
kondisi/sedang
sakit,
pihak
manajemen
memberikan ijin untuk tidak masuk kerja sampai kondisinya sehat. 8) Pengendalian hama Sesuai yang dipersyaratkan dalam SSOP pada HACCP, bahwa tidak boleh ada hama seperti binatang serangga dan tikus di area pabrik (ruang produksi, gudang dan ruang lain). Pengendalian hama yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
125
dilakukan oleh pihak manajemen dengan cara pengendalian internal dan secara eksternal. Salah satu pengendalian hama yang telah dilakukan berupa pemasangan korden plastik (air curtain) pada pintu masuk ruang penerimaan dari cold storage dan ruang proses. Dan setiap ventilasi diberi pasang screen. Beradasarkan hasil pengamatan di lapangan terdapat pada setiap pintu masuk ruang proses belum dilengkapi dengan lampu pembunuh lalat/serangga (insect killer) dan dipasang umpan pembasmi tikus pada saluran-saluran air seperti yang diisyaratkan pada SSOP dalam sistem HACCP atau sesuai dengan
KEP.01/MEN/ 2007.
Secara umum
penyelenggaraan SSOP pada pelaksanaann produksi tuna kaleng pihak manajemen sebagian telah memenuhi (terpenuhi sebagian) seperti yang dipersyaratkan dalam sistem HACCP. c. Bagan alir proses (diagram alir) Diagram
alir
merupakan
suatu
penyajian
sistematis
dari
serangkaian langkah atau kegiatan operasional yang dilakukan di dalam produksi atau pembuatan jenis makanan tertentu. Kemudian diagram alir yang khusus dibuat untuk sistem HACCP dilengkapi dengan peta produk sisa, produk samping, waste, hingga jalur masuk bahan tambahan. Tahap-tahap
proses
pengalengan
ikan
tuna
kaleng
di
PT. Blambangan Foodpackers Indonesia, terdiri dari tahapan-tahapan proses
adalah
meliputi
:
penerimaan
bahan
baku
(receiving),
penyimpanan beku dalam cold storage (storing in cold storage), pencairan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
126
(thawing), penyiangan (butchering), pemasakan pendahuluan (precooking), pendinginan (cooling), deheading, pembersihan loin (cleaning), checking, pengisian daging ikan dalam kaleng (filling in can), pengisian media (filling in media), penutupan kaleng (seaming), sterilisasi (retorting) dan
pendinginan
kaleng,
pembersihan
kaleng
(wiping),
inkubasi
(incubating), pelabelan (labeling), pengemasan (packing), pengepakan (storing) dan penyimpanan (stuffing). Verifikasi diagram alir proses dilakukan dan hasilnya adalah sesuai dengan digram alir yang ada di dokumen perusahaan. Verifikasi bagan alir ini dapat dilihat pada Lampiran 12. Secara umum rancangan diagram alir untuk pengolahan ikan tuna kaleng yang dibuat dan diterapkan oleh pihak manajemen sesuai dengan SSOP pada sistem HACCP d. Penerapan 7 prinsip HACCP Prinsip sistem HACCP yang diadopsi pada SNI 01-4852-1998 sesuai dengan Codex terdiri dari 7 prinsip HACCP.
Menurut Thaheer
(2005), ketujuh prinsip HACCP harus digambarkan sebagai langkah yang terus berkesinambungan, artinya tidak berhenti setelah satu tahap analisis selesai dilakukan dan bahaya terselesaikan. Tim HACCP telah menerapkan tujuh prinsip HACCP yang menjadi persyaratan utama HACCP. Ketujuh prinsip tersebut, yaitu analisa bahaya (hazard) dan identifikasi tindakan pencegahan, identifikasi titik-titik pengendalian kritis (critical control point), penetapan batas kritis (CCP),
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
127
penetapan prosedur pemantauan, penetapan tindakan koreksi (corective action), penetapan prosedur verifikasi dan penetapan sistem pencatatan (record keeping). Berikut pembahasan tujuh prinsip HACCP dimaksud. 1). Analisis bahaya (hazard) dan penentuan pencegahannya Berdasarkan analisis bahaya yang diperoleh di PT. BFPI dari proses pengolahan ikan tuna kaleng memiliki bahaya potensial, yaitu bahaya
biologis, fisik dan kimiawi. Tahapan produksi yang tergolong
dalam katagori bahaya keamanan pangan (food safety) meliputi tahap penerimaan bahan baku, transportasi dari area pemasakan (precooking) ke area pembersihan loin, penutupan kaleng (seaming), dan retorting (penutupan kaleng). Tabel analisa bahaya dan identifikasi tindakan pencegahan di PT. BFPI dapat dilihat pada Lampiran 13. Analisa bahaya dan identifikasi tindakan pencegahan sebagaimana tertera dalam dokumen dan pengamatan lapangan yang dilakukan oleh tim HACCP dari perusahaan telah sesuai dengan sistem HACCP. 2). Penentuan/identifikasi Titik Kendali Kritis (Critical Control Point /CCP ) Langkah pengendalian suatu titik, tahapan atau prosedur dari suatu proses yang dapat dilakukan dan perlu sekali diterapkan untuk mencegah atau meniadakan bahaya keamanan pangan, atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima disebut sebagai pengendalian titik kritis. Pada proses pengolahan ikan tuna kaleng di PT. BFPI diidentifikasi beberapa titik kendali kritis (CCP), yaitu pada penerimaan bahan baku (receiving), transportasi dari area pemasakan ke pembersihan loin,
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
128
penutupan kaleng (seaming) dan sterilisasi (retorting). Tabel pengawasan dan pengontrolan titik kendali kritis/CCP dapat dilihat pada Lampiran 14. Penentuan/identifikasi titik-titik pengendalian kritis pada proses produksi tuna kaleng sebagaimana tertera dalam dokumen dan pengamatan lapangan yang dilakukan oleh tim HACCP telah sesuai dan memenuhi sistem HACCP yang ditetapkan. 3). Menetapan Batas Kritis (CL) pada Titik Kendali Kritis (CCP) Batasan kritis merupakan batasan keamanan yang harus dipenuhi setiap tindakan pengendalian yang dilakukan di CCP. Tim HACCP PT. BFPI, tindakan pencegahan yang dilakukan dengan menetapkan batas kritis penerimaan bahan baku mengandung histamin makasimum 100 ppm. Batas kritis dari pertumbuhan bakteri (bacterial growth , E.Coli) adalah
tidak ada toleransi (no tolerant) atau tidak diterima. Bahaya
potensial selanjutnya pada tahap ini adalah bahan/benda asing dan logam berat, batas kritis dari tahap ini adalah tidak diterima (no tolerant). Untuk selanjutnya penetapan
batas kritis (CL) dari keseluruhan CCP yang
teridentifikasi dapat dilihat pada Lampiran 14. Penetapan
batas
kritis
dari
keseluruhan
CCP
yang
didokumentasikan dan hasil pengamatan lapangan yang dilakukan oleh tim HACCP telah sesuai dan memenuhi yang dipersyaratkan pada sistem HACCP
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
129
4). Menetapkan prosedur pemantauan (Monitoring) setiap CCP Alasan dilakukannya penyusunan/pemantauan CCP adalah untuk memastikan bahwa CCP tersebut memang bekerja dan makanan yang diproduksi adalah makanan yang aman. Hasil aktivitas pemantauan pada proses pengolahan ikan tuna kaleng di PT. BFPI telah dan selalu dicatat pada buku laporan harian oleh pemantau CCP yaitu staf QC dan staf laboratorium (pada tahap receiving), Can Quality Control (tahap seaming) serta staf retorting/staf QC pada tahap retorting (sterilisasi). pemantauan CCP laporan
harian
Catatan
tersebut telah disimpan sebagai bagian dari buku
produksi
umum.
Pemantauan
CCP
pada
proses
pengolahan ikan tuna kaleng ini dapat dilihat pada Lembar Kerja Control Establishment of CCP di Lampiran 14. Penetapan prosedur pemantauan seperti penjelasan diatas, menunjukan bahwa pihak perusahaan yaitu tim HACCP telah memenuhi penetapan prosedur
tersebut sesuai
dengan pelaksanaan sistem
HACCP. 5). Menetapkan prosedur tindakan koreksi (Corective Action) Jika hasil pemantauan menunjukkan adanya penyimpangan terhadap batasan kritis suatu CCP, tindakan perbaikan harus dilakukan. Karena HACCP didesain untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Proses pengolahan ikan tuna kaleng di PT.BFPI, pada tahap receiving, tindakan koreksi (corective action) yang dilakukan adalah bila terjadi penyimpangan yaitu kandungan histamin melebihi standar operasional
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
130
yang ditentukan yaitu melebihi 100 ppm (if over 100 ppm), maka ikan akan direject (ditolak). Menurut Kimara (1961) histamin pada ikan rusak dapat menimbulkan keracunan jika terdapat sekitar 100 mg dalam 100 gram sampel daging ikan yang diuji. Produksi histamin dipengaruhi oleh suhu dan pH lingkungan. Pada kondisi optimum, jumlah histamin yang dihasilkan melalui autolisis antara 10-15 mg/100 gram daging. Bahaya potensial tahap seaming apabila failure double seam yang dihasilkan tidak memenuhi standar, batas kritis tahap ini berupa ukuran double seam dengan parameter yang diukur antara lain: short OL, droop, false seam, skidder, dan pinhole sesuai yang direkomendasikan oleh pabrik pembuat kaleng. Monitoring dilakukan secara visual dan taer down test. Secara visual dilakukan setiap 15 menit sekali oleh operator mesin penutup kaleng (Can QC). Pengecekan taer down dilakukan setiap satu jam sekali dengan menggunakan micrometer dan jangka sorong yang dilakukan oleh Can QC. Apabila terjadi penyimpangan pada batas kritis maka tindakan koreksinya ditolak dan dicek atau dilakukan investigasi kondisi pada mesin seam. Jika tidak terjadi deviasi produk (ikan tuna kaleng) maka dapat langsung direlease. Hasil monitoring kemudian dicatat dalam form seaming report. Verifikasi (daily verification) dilakukan oleh manajer operasional. Selanjutnya tindakan koreksi ini dapat dilihat pada Lampiran 14 pada Lembar Kerja Control Establishment of CCP.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
131
Berdasarkan penjelasan diatas, tim HACCP dari perusahaan PT. BFPI
telah melakukan penetapan tindakan koreksi sesuai dengan
program HACCP yang ditetapkan. 6). Menetapan prosedur verifikasi Aktivitas penetapan prosedur verifikasi mencakup audit terhadap sistem HACCP telah dijalankan, serta peninjauan dan analisa data. Pada PT. BFPI kegiatan audit internal dilakukan 4 bulan sekali untuk fasilitas produksi, gudang, lingkungan pabrik, cold storage, unit tepung dan umum. Sedangkan audit eksternal, untuk audit SKP dan HACCP dilakukan satu (1) tahun sekali, dan halal dua (2) tahun sekali. Disamping itu dilakukan pencatatan CCP untuk memastikan ketaatan terhadap program, pengambilan sampel dan pengujian produk secara mikrobiologis dan kimiawi, pengkajian laporan keluhan konsumen dan kalibrasi peralatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mortimore dan Carol W (2005), bahwa verifikasi merupakan aktivitas yang berkesinambungan. Disamping itu tim HACCP melakukan validasi secara menyeluruh untuk setiap CCP yang teridentifikasi. Validasi merupakan sebuah pemastian bahwa tindakan pengendalian dan batasan kritis akan mengendalikan
hazard
yang
teridentifikasi,
yaitu
informasi
dalam
rancangan HACCP secara efektif mengatur keamanan pangan. Apabila tim HACCP merasa yakin bahwa semua tindakan pengendalian akan dapat mengendalikan hazard yang teridentifikasi, rancangan HACCP dapat diterapkan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
132
Kemudian tim HACCP melakukan audit yang merupakan kegiatan pokok
verifikasi
mencakup
inspeksi
terhadap
laporan
produksi,
penyimpangan, tindakan yang dilakukan serta pengkajian terhadap pelaksanaan dan prosedur yang digunakan untuk mengendalikan CCP. Audit yang terselanggara dilakukan secara internal dan ekternal. Audit internal dilakukan oleh karyawan yang tidak terlibat dalam kajian HACCP atau tidak terlibat dalam manajemen harian rancangan HACCP sehingga hasilnya lebih objektif. Kemudian audit eksternal dapat dilakukan oleh konsumen dan peninjau dari pemerintah atau pihak ketiga yang dipekerjakan baik oleh konsumen maupun oleh usaha itu sendiri. Audit secara teratur menghasilkan bukti bahwa rancangan HACCP tetap berjalan dengan efektif. Manfaat dilakukannya audit terhadap sistem HACCP antara lain adalah, perbaikan sistem melalui identifikasi area yang lemah serta pemberian bukti terdokumentasi bahwa keamanan makanan telah terkelola. Verifikasi pada proses pengolahan ikan tuna dalam kaleng dilakukan setiap 3 bulan sekali. Apabila terjadi perubahan produk atau proses, temuan saat audit, terjadi deviasi, observasi di lapangan dan distribusi baru atau cara penanganan, maka verifikasi dilakukan oleh Kasie QC, yang merupakan bagian dari tim HACCP. Penetapan verifikasi ini dapat dilihat Lembar Kerja Quality Assurance Work Plan pada Lampiran
15.
Kemudian
internal
audit
yang
dilakukan
meliputi
pengawasan CCP, pengujian suhu, analisa laboratorium, kondisi ruang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
133
pengolahan/ruang proses, peralatan, pasok (suplay) air, proses produksi, pengujian produk akhir, dan pengemasan/pelabelan. Penjelasan diatas menunjukan bahwa tim HACCP atau karyawan perusahaan telah menerapkan prosedur verifikasi sesuai dengan program/ sistem HACCP. 7). Menetapkan prosedur dokumentasi dan pencatatan (Record Keeping) Semua dokumen telah ditandatangani dan diberi tanggal. Catatan tersebut untuk menganalisis tren/keadaan, yang nantinya akan dibutuhkan saat mengkaji dan memperbaiki sistem. Catatan dan dokumen diperlukan untuk memastikan bahwa CCP teridentifikasi dengan benar dan dapat dikendalikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Thaheer (2005), pencatatan dan pembukuan yang efisien serta akurat adalah penting dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumentasikan dengan baik dan dikendalikan secara administratif. Tujuan penerapan sistem dokumentasi dan pencatatan oleh tim tersebut antara lain adalah: bukti keamanan produk berkaitan dengan prosedur dan proses yang ada; kemudahan pelacakan dan peninjauan catatan; merupakan sumber tinjauan data yang diperlukan apabila ada audit HACCP; catatan HACCP memusatkan pada isu keamanan pangan untuk dapat cepat mengidentifikasi masalah; serta dapat membantu mengidentifikasi lot ingredient, bahan pengemas, dan produk akhir apabila masalah keamanan yang timbul memerlukan penarikan dari pasar.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
134
Pencatatan dan dokumentasi disimpan minimal selama umur simpan produk yaitu 2-3 tahun. Penerapan sistem pencatatan (rekaman) dan dokumentasi yang berkaitan dengan proses pengolahan tuna kaleng
ke-6 prinsip tersebut, pada
dan penerapannya, telah dilakukan
sesuai dengan sistem atau prosedur yang telah ditetapkan pada pelaksanaan / sistem HACCP. e. Prosedur pengaduan konsumen Prosedur pengaduan konsumen, merupakan prosedur untuk menangani,
mengalamatkan,
dan
mencatat
pengaduan
konsumen
terhadap produk yang telah beredar. Perusahaan telah menetapkan prosedur untuk menangani keluhan-keluhan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Selain itu, perusahaan juga menetapkan metode untuk mengidentifikasi, menempatkan dan menarik kembali produk yang mengalami kerusakan atau menyalahi standar yang telah ditetapkan. Pengaduan konsumen telah ditangani oleh perusahaan sesuai dengan tahapan/prosedur yang telah telah ditetapkan. Pengaduan konsumen
dilakukan dan dapat dikirim melalui pos, email, fax, atau
telepon. Pengaduan konsumen (complaint) digunakan sebagai evaluasi pada proses produksi. Surat komplain menjadi agenda pertemuan/rapat pada seluruh seksi/bagian. Tindakan yang dilakukan apabila terjadi komplain
antara
lain
investigasi,
evaluasi,
membuat
keputusan,
penerapan, penginformasian. Pengaduan dari konsumen (complaint) yang masuk dituangkan dalam Complaint Report
oleh
Bagian Pemasaran,
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
135
yaitu sebagai tahap/pihak
pertama di perusahaan sebagai penerima
pengaduan dari konsumen, yang selanjutnya complaint report ini disampaikan ke bagian pengendalian mutu (QC). Berdasarkan
penjelasan
diatas
pihak
manajemen
telah
menerapkan pendokementasian dan pencatatan terhadap prosedur pengaduan konsumen sesuai dengan yang disyaratkan sistem HACCP. f. Prosedur penelusuran dan penarikan produk Prosedur recall (penelusuran dan penarikan produk) merupakan persyaratan tambahan yang dibuat oleh tim dalam menerapkan sistem HACCP untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 012712-1992. Untuk menjaga kepuasan pelanggan dan menghindari konsumen
dari
mengkonsumsi
produk
yang
tidak
aman,
maka
perusahaan mempunyai kebijakan untuk melakukan penarikan produk (product recall). Informasi yang menjadi alasan untuk melakukan penarikan produk terutama adalah keluhan atau komplain dari pelanggan dan adanya kesalahan bahan baku atau proses produksi. Prosedur recall yang telah dilakukan oleh pihak perusahaan pada tahap awal adalah, Bagian Pengendalian Mutu (QC) mengidentifikasi produk yang dikeluhkan berdasarkan nama produk, jenis kemasan, nomor batch produksi, tanggal pengiriman, jumlah dan masalah yang dikeluhkan. Selanjutnya
bagian
QC
mengevaluasi
hal-hal
yang
dikeluhkan
berdasarkan penelusuran rekaman produksi dan menginspeksi sampel reference yang ada dibagian QC dan seterusnya. Untuk produk tuna
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
136
dalam
kaleng
yang didistribusikan dicatat dan dokumen pencatatan
tersimpan minimal selama umur simpan produk, atau sampai masa kadaluarsa produk yaitu 2-3 tahun. Penjelasan prosedur recall tersebut diatas menunjukan bahwa pihak perusahaan telah memenuhi yang persyaratkan sistem HACCP. g. Perubahan dokumen/revisi Perubahan dokumen/revisi/ merupakan cara pengendalian dan pemutakhiran dokumen agar selalu tercatat sehingga dapat diketahui perubahannya. Perusahaan menjamin bahwa semua dokumen dan data yang terkait dengan HACCP Plan telah mempunyai identitas, ditinjau dan disahkan untuk menjamin kemutahirannya. Kegiatan perubahan tersebut berada di bawah tanggung jawab sekretaris
Tim HACCP. Dengan
demikian pihak perusahaan dalam hal ini tim HACCP telah menerapkan sistem HACCP khususnya pada unsur perubahan dokumen/revisi. 5.2.5. Kelayakan pengolahan hasil perikanan Sertifikat Kelayakan Perikanan (SKP) merupakan sertifikat yang diberikan kepada Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang telah menerapkan GMP, serta memenuhi persyaratan SSOP dan GHP sesuai dengan standar dan regulasi dari Otoritas Kompeten (competent authority). Hasil evaluasi dari Otoritas Kompeten dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan c/q Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan terhadap PT. BFPI diperoleh tingkat / rating B (baik). Tingkat B yang dimaksud adalah tingkat sertifikat menengah yang menyatakan hasil
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
137
penilaian terhadap Fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT dengan kriteria serius maksimum 2 (dua). Dengan rating B, UPI dapat melakukan ekspor ke Negara yang menerapkan HACCP/PMMT kecuali ke Eropa (Uni Eropa). Hal ini sesuai dengan peraturan yang diberlakukan oleh Ditjen PPHP No. PER.011/DJ-P2HP/2007. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan menunjukan bahwa belum terpenuhinya persyaratan untuk ekspor ke Uni Eropa atau Sertifikat Kelayakan Pengolahan
(SKP)
PT. BFPI dengan rating B (baik), karena Standard Sanitation Operating Procedures (SSOP) yang merupakan salah satu prasyarat kelayakan dasar selain GMP untuk melaksanakan sistem HACCP sebagian belum terpenuhi, yaitu: a.
fasilitas sanitasi berupa tempat pencuci tangan sebahagian belum memenuhi standar yang kemungkinan dapat terjadi kontaminasi,
b.
karyawan selalu memakai seragam tetapi kadang-kadang kurang lengkap,
c.
belum tersedianya poliklinik di lokasi perusahaan,
d.
belum adanya supervisor produksi yang secara khusus mengawasi kebersihan
karyawan
sebelum
dan
selama
proses
berlangsung.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
produksi
138
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. PT. BFPI telah melakukan pengendalian mutu dan keamanan pangan terhadap produk tuna kaleng, dengan menerapkan Sistem Manajemen Mutu berdasarkan ISO 9001:2000 dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan berdasarkan sistem HACCP. 2. Evaluasi terhadap menerapan Sistem Manajemen Mutu berdasarkan ISO 9001:2000; dari 4 manajemen, 2 manajemen terpenuhi dan 2 manajemen yang masih terpenuhi sebagian terhadap unsur ISO, yaitu: manajemen
umum
(unsur:
pedoman
manual
mutu,
tinjauan
manajemen dan audit internal/internal audit); dan manajemen operasional
(unsur:
pengukuran
dan
pemantauan
produk,
penjagaan/pemeliharaan/ pengawetan produk, pengendalian produk yang tidak sesuai). 3. Evaluasi terhadap penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan berdasarkan sistem HACCP; dari 11 langkah, 10 langkah terpenuhi dan hanya 1 langkah yang terpenuhi sebagian yaitu persyaratan kelayakan dasar (prerequisite programs) pada penerapan SSOP (Standard
Sanitation
Operating
Procedures),
khususnya
pencegahan kontaminasi silang dan pengendalian hama.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
unsur
139
6.2. Saran/Rekomendasi Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan kajian yang telah dilakukan terhadap sistem manajemen mutu dan keamanan pangan (sistim HACCP) pengolahan produk ikan tuna kaleng di PT. BFPI, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1. Pihak yang bertanggung jawab atas manajemen umum perlu melengkapi kekurangan unsur ISO 9001:2000 berupa pedoman manual mutu dan mendokumentasikan tinjauan manajemen serta melakukan internal audit dan surveillance audit secara berkala sesuai jadwal yang ditetapkan. 2. Manajemen produksi dan operasi perlu melakukan pengukuran dan pemantauan produk, penjagaan/pemeliharaan/pengawetan produk, pengendalian produk yang tidak sesuai dan mendokumentasikan sesuai dengan ketentuan pada sistem ISO 9001:2000. 3. Tim HACCP perlu
memperbaiki dan melengkapi sarana untuk
mencegah terjadinya kontaminasi silang dan pengendalian hama pada gudang produk akhir, serta melakukan sosialisasi kepada seluruh
karyawan
tentang
pentingnya
penerapan
SSOP
khususnya pencegahan kontaminasi silang. 4. Penyempurnaan kelayakan
dasar
dan
perbaikan
(prerequisite
untuk
standar
programs)
persyaratan
pengolahan
hasil
perikanan melalui SSOP masih perlu dilakukan, dalam rangka peningkatan rating B menjadi A.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
140
5. Perusahaan perlu memilih standar manajemen mutu (sistem ISO) yang sesuai berdasarkan kondisi operasional perusahaan. Dengan demikian dapat diperoleh beberapa manfaat : a. Perusahaan dapat segera memasuki kembali untuk memenuhi permintaan pasar ekspor produk tuna kaleng ke Uni Eropa, Amerika dan pasar dunia secara global yang semakin kompetitif, baik jangka pendek maupun jangka panjang dan isu keamanan pangan yang semakin kompleks serta bahaya keamanan pangannya. b. Menaikkan tingkat kompetitif perusahaan (sesama industri sejenis pengalengan tuna kaleng) terhadap para pesaingnya. 6. Perlu
penelitian
formulasi
strategi
pengendalian
keamanan pangan produk tuna kaleng.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
mutu
dan
141
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-9001-2001. Sistem Manajemen Mutu Persyaratan. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional ______2005. HACCP Plan Model. IPB. http://www.ipb.ac.id (12 Oktober 2008) ______2006. Nama Tuna : Internasional dan Latin. Direktorat Pemasaran dalam Negeri. Warta Pasar Ikan. Edisi Nopember. ______2007. Higien Bahan Pangan. Regulasi (EC) No.852/2004 dari Dewan dan Parlemen Eropa, 29 April 2004 tentang Higien Bahan Pangan. EU-Indonesia Trade Support Programme. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Bogor : CV. Biografika. ______ 2008. Indonesia Fish Product go Qualisafe. Craby dan Starky. Buletin Pengolahan dan Pemasaran Perikanan. September 2008. ______ 2009. Pasar Terbuka dapat Menghindari Dampak Krisis Global. Buletin WPI Edisi Februari 2009. No. 66 Anggrahini, S. 1997. Aspek Keamanan Pangan Bahan Kimia Pada Pabrik Pangan. Agritech. Vol. 17 No. 4 : 1-8 Badan POM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). 2004. Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan. Buffa. E dan Rakesh K. 1996. Manajemen Operasi dan Produksi Modern. Jilid 1. Edisi Kedelapan. Binarupa Aksara Jakarta [CAC] Codex Allimentarius Comission. 2003. Recommended International Code Of Practice General Principles of Food Hygiene. Rev. 4. Food and Agriculture Organization/World Health Organization. Rome, Italy. Canadian Food Infection Agency. 1997. Example QMP Plan Canned Tuna Processing. Canada. Canadian Canned Tuna Company. Darwanto dan Murniyati. 2003. Program Managemen Mutu Terpadu. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
142
David, Fred R. 2006. Strategic Management (Manajemen Strategis)Konsep. Edisi 10. Buku 1. Penerbit Salemba Empat Diniah, M. Ali. Y. Sri P., Parwinia, S. Effendy, M. Hatta, M. Sabri, Rusyadi, Ahmad F. 2001. Pemanfaatan Sumber Daya Tuna-Cakalang Secara Terpadu. http//rudyct.tripod.com/ sem 1 012/ke 2-012.html. [8 Des 2001]. Fardiaz, S. 1996. Evaluasi dan Proyeksi Permasalahan Keamanan Pangan. Temu Pakar dalam Rangka Studi Kaji Ulang Repelita VI Pangan dan Identifikasi Repelita VII. Kantor Menteri Urusan Pangan RI dan Pusat Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB. Bogor. Gaspersz V. 2001. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvevement. Jakarta: Garamedia Pustaka Utama. Girsang, C.I. 2007. Formulasi Strategi Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Produk Crude Palm Oil Di PT Perkebunan Nusantara III dan Minyak Goreng di PT. Astra Agro Lestari, Tbk. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB (Tidak dipublikasikan). Goenawan, C. 2003. Disain HACCP pada Perusahaan Krupuk di Sidoarjo. Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen Agribisnis. UPN ”Veteran” Surabaya (tidak dipublikasikan) Hadiwirdjo BH, Wibisono S. 1996. Memasuki Pasar Internasional dengan ISO 9000 Sistem Manajemen Mutu. Jakarta. PT. Ghalia. Hendrati, I.M. 2005. Pemasaran Internasional Agribisnis. Modul Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Agribisnis. UPN “Veteran’ Jawa Timur (tidak dipublikasikan). Indriantoro.N dan B.Supomo, 2002. Metode Penelitian Bisnis untuk Akuntasi dan Manajemen. Edisi Pertama. BPFE Yogjakarta. Jain, SC. 2001. Manajemen Pemasaran Internasional. The University of Connecticut. PT. Gelora Aksara Pratama. Penerbit Erlangga. Jakarta. Jouve JL. 2000. Good Manufacturing Practice, HACCP and Quality System. Di dalam: Hund BM, TC Baird-Parker and GW Gould. The Microbiological Safety and Quality Control of Food. Volume I. Maryland: Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg. Kotler. P. 1991. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, dan Pengendalian. Jilid 2. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
143
Kusumastanto. T. 2007. Kebijakan dan Strategi Peningkatan Produktivitas Perikanan Nasional. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor. Makalah Disampaikan pada Agrinex Conference and Expo, Jakarta 17 Maret 2007. Mangunsong. S. 2003. Roadmap Manajemen Mutu Hasil Perikanan. Direktur Standarisasi dan Akreditasi. Departemen Kelautan dan Perikanan Montgomery DC. 1996. Introduction to Statistical Quality Control. Departement of Mechanical Engineering. Washington: University of Washington Mortimore dan Carol W. 2005. HACCP Sekilas Pandang. Kedokteran EGC. Jakarta. Reksohadiprodjo. S. 1995. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Pertama. BPFE Yogyakarta Sudibyo, A, Rahayu, SE, Rohaman, MM, Ridwan, IN, Sirait, SD, Apriianita, N, dan Sutrisniati, D. 2001. Pengembangan dan Penerapan Sistem HACCP (Hazar Analysis Critical Control Point) pada Industri Pangan di Indonesia. Warta IHP Vol. 18 No. 12 : 7 – 18. Suhartono, 2007. Sistem Pembinaan Mutu Pangan Berdasarkan HACCP. http://www.lily.staff.ugm.ac.id/dl/index.php?file=HACCP.ppt [ 2 September 2007 ] Sule. ET. Dan Kurniawan. S. 2008. Pengantar Manajemen. Edisi Pertama. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Surono dan Winarno FG. 2004. GMP Cara Pengolahan Pangan Yang Baik. Jakarta: PT. MBRIO Biotekindo. Swarini. J. 2007. Evaluasi Implementasi Manajemen Mutu Terpadu Frozen Value Added Surimi Product. Studi Kasus di PT ”X” Jawa Timur. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Agribisnis. UPN ” Veteran” Surabaya (tidak dipublikasikan). Thaheer. H. 2005. Sistem Managemen HACCP. Bumi Aksara. Jakarta Tunggal. AW. 1998. Manajemen Mutu Terpadu. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
144
Trilaksani W, Riyanto B. 2004. Sistem pengendalian mutu produk perikanan di Indonesia: Keadaan sekarang dan problematikanya dalam Seminar for promotion of sustainable development of fisheries in Indonesia, with special emphasis on promotion of domestic fish consumption and development of local fishing industry. 16-19 Maret 2004. Jakarta. Uktolseja, J.C.B., Rubiana P., Kusno S dan Agus B.S. 1998. Sumber daya Ikan Pelagis Besar Dalam potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Yamit Z. 2003. Manajemen Produksi dan Operasi. Fakultas Ekonomi UII. Edisi kedua. Ekonisia. Yogyakarta. Winarno, FG. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor. M-Brio Press.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.