7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pupuk Fosfat Alam
Fosfat alam merupakan sumber pupuk P yang efektif dan murah serta dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman, hanya saja kualitas pupuk fosfat alam sangat bervariasi tergantung pada kandungan P2O5 . Oleh karena itu, penggunaan fosfat alam secara langsung perlu memperhatikan kadar P2O5 total dan tersedia serta reaktivitasnya (Hartatik, 2011).
Pupuk fosfat alam berasal dari batuan fosfat yang digiling halus sehingga dapat langsung digunakan sebagai pupuk. Fosfat alam berasal dari proses geokimia yang terjadi secara alami, yang biasa disebut deposit batuan fosfat. Batuan fosfat dapat ditemukan di alam sebagai batuan endapan atau sedimen, batuan beku, batuan metamorfik, dan guano. Fosfat alam yang berasal dari batuan beku umumnya digunakan sebagai bahan baku industri pupuk P. Sedangkan fosfat alam yang berasal dari batuan endapan atau sedimen yang mempunyai reaktivitas tinggi dapat digunakan secara langsung sebagai pupuk (Hartatik, 2011).
Fosfat alam bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam kondisi asam dengan kadar P2O5 dan kelarutannya bervariasi, lambat melepaskan P (slow release), dan mengandung hara Ca dan Mg cukup tinggi dan unsur mikro Mg, Zn, Cu, B, Mn,
8 Al, Fe, serta logam berat Cd, Pb, As, Ni, dan Co (Balai Penelitian Tanah, 2012). Kualitas fosfat alam ditentukan oleh kelarutan dan efektivitasnya. Tingkat kelarutan fosfat alam dapat diketahui melalui pelarutan dalam asam sitrat 2%, amonium sitrat pH 7, dan asam format 2%. Persentase kelarutan P2O5 dalam asam sitrat terhadap kadar P2O5 pada mineral apatit juga dapat diketahui melalui uji efektivitas agronomis. Uji efektivitas agronomis dilakukan untuk mengetahui respons tanaman terhadap pemberian pupuk fosfat alam, yang ditunjukkan oleh nilai relative agronomi effectiveness (RAE).
Kualitas fosfat alam dibedakan menjadi mutu A, B, C, dan D berdasarkan kadar P2O5 total dan kelarutannya dalam asam sitrat, seperti yang tertuang dalam SNI 02-3776-2005. Kualitas fosfat alam yang baik adalah yang mengandung P2O5 total lebih dari 20% dan reaktivitasnya tinggi, dengan kadar P2O5 larut dalam asam sitrat konsentrasi 2% lebih dari 6%. Pengawasan mutu fosfat alam perlu dilakukan untuk menghindari penggunaan fosfat alam yang bermutu rendah atau pemalsuan, agar pupuk yang digunakan efektivitasnya tinggi sehingga mencegah pencemaran lingkungan. Reaktivitas fosfat alam menunjukkan tingkat kemampuannya dalam melepaskan P yang potensial tersedia untuk tanaman. Namun, indikator ini tidak dapat digunakan untuk menduga jumlah P yang tersedia untuk tanaman karena efektivitas agronomi fosfat alam ditentukan oleh banyak faktor. Oleh karena itu, penilaian kualitas fosfat alam, selain dengan cara kimia, juga dapat dilakukan dengan mengetahui respons tanaman terhadap pemupukan fosfat alam, yang ditunjukkan dengan nilai RAE. Nilai RAE fosfat alam merupakan persentase peningkatan hasil di lapangan antara tanaman yang dipupuk fosfat alam dan yang diberi pupuk standar SP-36 atau TSP. Fosfat alam
9 dengan RAE sama atau lebih besar 100% mempunyai efektivitas sama atau lebih tinggi dari pupuk P standar. Selain kualitas, penggunaan fosfat alam secara langsung perlu mempertimbangkan reaktivitas/kelarutannya, sifat tanah, dan jenis tanaman. Faktor sosioekonomi dan kebijakan juga akan menentukan produksi, distribusi, dan adopsi penggunaan fosfat alam oleh petani (Hartatik, 2011).
2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Kelarutan Fosfat Alam dalam Tanah
Kelarutan fosfat alam dalam tanah dipengaruhi oleh sifat fisikokimia fosfat alam itu sendiri, tanah, dan tanaman. Tingkat kelarutan akan menentukan kualitas fosfat alam yang digunakan secara langsung sebagai pupuk. Demikian pula kehalusan atau ukuran butir pupuk, makin halus ukuran butir maka kelarutannya makin tinggi. Namun, beberapa pupuk fosfat alam kelarutannya ditentukan oleh sifat reaktivitas kimianya. Sifat tanah yang menentukan kelarutan fosfat alam yaitu keasaman atau pH. Fosfat alam lebih mudah larut pada tanah yang memiliki pH rendah (masam), sebaliknya pada tanah dengan pH tinggi, kelarutannya menurun. Kadar kalsium (Ca) yang tinggi dalam tanah akan menghambat kelarutan fosfat alam, sedangkan tanah yang mempunyai kadar Ca dan P rendah akan mendorong pelarutan fosfat alam secara terus menerus. Tanah Ultisol/Oxisol umumnya mempunyai kadar Ca dan P rendah sehingga aplikasi fosfat alam efektif meningkatkan ketersediaan Ca dan P tanah bagi tanaman. Fosfat alam yang digunakan secara langsung reaktivitasnya dipengaruhi oleh ukuran butir. Semakin halus ukuran butir fosfat alam maka semakin reaktif, karena semakin tinggi permukaan fosfat alam yang bersentuhan dengan permukaan koloid tanah.
10
Jenis tanaman juga memengaruhi serapan hara P dari tanah. Proses metabolisme perakaran yang mengeluarkan eksudat berupa asam-asam organik menyebabkan daerah sekitar perakaran menjadi masam sehingga akan menstimulasi kelarutan pupuk fosfat alam dalam tanah. Kandungan P dalam bentuk fosfat alam berkisar antara 11 ‒ 17% P (total) dan ketersediannya hanya antara 14% ‒ 65% dari kadar total (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).
2.1.2 Keutamaan Fosfat Alam Keunggulan fosfat alam selain merupakan sumber P, juga dapat menurunkan kemasaman tanah dan meningkatkan kejenuhan basa dalam tanah. Disamping itu pupuk fosfat alam mempunyai pengaruh residu cukup lama yang berpengaruh baik untuk tanaman berikutnya (Sudriatna, 2006). Sedangkan Rulyadi, Nathan, dan Sumaryono (1990) mengemukakan keuntungan penggunaan fosfat alam dari segi agronomis dan industri antara lain : Segi agronomis : 1. Pupuk-pupuk fosfat alam lebih mudah diserap oleh tanaman pada kondisi tanah dan iklim di Indonesia 2. Produksi tanaman akan meningkat terutama dalam waktu panjang 3. Pupuk fosfat alam sudah mengandung sejumlah besar kapur/kalsium yang berfungsi memperbaiki daya serap tanah akan pupuk
11 Segi Industri : 1. Bahan baku murah 2. Tidak banyak menggunakan bahan baku larutan kimia, seperti asam fosfat dan asam sulfat 3. Pupuk berupa tepung halus yang bisa dibuat granul
Keuntungan yang paling menonjol dalam penggunaan fosfat alam menurut Sediyarso (1987) yaitu harga fosfat alam lebih rendah dari pupuk P-buatan karena semua pupuk P-buatan diproduksi dari fosfat alam, sehingga minimal harga pupuk P-buatan bernilai sebesar biaya proses pembuatannya ditambah dengan nilai produksi fosfat alam.
Namun, penggunaan fosfat alam juga mempunyai beberapa kendala, antara lain: 1. Kadar P2O5 total dalam fosfat alam sangat bervariasi sehingga menyulitkan dalam pengadaan, perdagangan, dan penggunaannya. 2. Kadar P2O5 total dan kelarutan yang bervariasi sehingga respon tanaman terhadap pemupukan berbeda-beda. Respon tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat tanah, tanaman, kondisi lingkungan, dan cara pemupukan. 3. Beberapa fosfat alam mengandung logam berat seperti Cd, Pb, As, Ni, dan Co cukup tinggi sehingga dapat mencemari lingkungan (Hartatik, 2011).
Faktor yang kurang menguntungkan dari pupuk fosfat alam adalah tidak semua tanah dan tanaman cocok, pupuk fosfat alam berupa tepung halus relatif sulit mengaplikasikannya di lapang dan kualitas fosfat alam menyulitkan dalam standarisasi mutu, pengadaan, perdagangan dan pemakaian (Adiningsih dkk. 1998).
12 2.1.3 Aplikasi Fosfat Alam
Pupuk fosfat alam sangat dianjurkan sebagai pupuk dasar, yaitu digunakan pada saat tanam atau sebelum tanam. Hal ini disebabkan karena pupuk ini merupakan pupuk yang tidak cepat tersedia dan dibutuhkan pada stadia awal pertumbuhan. Pemberiannya sangat baik bila ditempatkan pada daerah perakaran. Pemberian pupuk seawal mungkin dalam pertumbuhan akan mendorong pertumbuhan akar yang akan memberikan tanaman berdaya serap hara lebih baik (Hakim dkk., 1986).
Pupuk fosfat alam sdiberikan dalam larikan setiap barisan tanaman atau ditugal di samping lubang tanam sedalam 5−7 cm. Aplikasi fosfat alam dapat juga dilakukan dengan teknologi rekapitulasi P, yaitu memberikan pupuk fosfat alam yang reaktif dengan dosis tinggi untuk 4−6 musim tanam sebanyak 1 t ha-1 atau setara dengan 300 kg P2O5 ha-1, dengan cara disebar dan diaduk rata dengan tanah. Teknologi rekapitulasi fosfat alam mempunyai keunggulan, yaitu residunya bersifat jangka panjang (4−6 musim), menghemat tenaga kerja aplikasi pupuk, dan meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Aplikasi fosfat alam Chrismast 1 t ha‒1 meningkatkan P potensial dan P tersedia dalam tanah serta hasil palawija dan pendapatan petani. Efisiensi pemupukan P pada lahan kering masam umumnya rendah, hanya15−20%. Sebagian besar P (80−85%) tertinggal sebagai residu dalam tanah, yang terfiksasi oleh aluminium atau besi oksida dalam bentuk senyawa Al-P dan Fe-P dan pada tanah basa dalam bentuk Ca-P sehingga kurang tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu, pemberian fosfat alam yang bersifat slow release dapat meningkatkan efisiensi pemupukan P (Hartatik, 2011).
13 2.2 Unsur Hara Fosfor
2.2.1
Peranan Unsur Hara P Bagi Tanaman Jagung
Di dalam jaringan tanaman P berperan dalam hampir semua proses reaksi biokimia. Peran P yang istimewa adalah proses penangkapan energi cahaya matahari dan kemudian mengubahnya menjadi energi biokimia. P merupakan komponen penyusun membran sel tanaman, penyusun enzim-enzim, penyusun co-enzim, nukleotida (bahan penyusun asam nukleat). P juga berperan dalam sintesis protein, terutama yang terdapat pada jaringan hijau, sintesis karbohidrat, memacu pembentukan bunga dan biji serta menentukan kemampuan berkecambah biji yang dijadikan benih (Novriani, 2010).
Soepardi (1983) mengemukakan bahwa peranan P antara lain penting untuk pertumbuhan sel, pembentukan akar halus dan rambut akar, memperkuat jerami agar tanaman tidak mudah rebah, memperbaiki kualitas tanaman, pembentukan bunga, buah, dan biji, serta memperkuat daya tahan terhadap penyakit. Fosfor juga berperan pada pertumbuhan benih, akar, bunga dan buah. Struktur perakaran yang sempurna memberikan daya serap nutrisi yang lebih baik. Pada proses pembungaan kebutuhan fosfor akan meningkat drastis karena kebutuhan energi meningkat dan fosfor adalah komponen penyusun enzim dan ATP yang berguna dalam proses tranfer energi.
Produksi buah yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh ketersediaan unsur fosfor dalam tanaman. Fosfor berperan dalam pemecahan karbohidrat untuk energi,
14 penyimpanan dan peredarannya ke seluruh tanaman dalam bentuk ADP dan ATP (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).
Kekurangan P pada tanaman akan mengakibatkan berbagai hambatan metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein yang menyebabkan terjadinya akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen. Kekurangan P tanaman dapat diamati secara visual, yaitu daun-daun yang tua akan berwarna keunguan atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antosianin. Pigmen ini terbentuk karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terhambatnya sintesis protein. Gejala lain adalah nekrosis (kematian jaringan) pada pinggir atau helai dan tangkai daun, diikuti melemahnya batang dan akar tanaman. Tepi daun cokelat, tulang daun muda berwarna hijau gelap, pertumbuhan daun kecil, kerdil, dan akhirnya rontok. Kekurangan unsur fosfor juga dapat menyebabkan terhalangnya pertumbuhan serta proses biokimia dan fisiologi tanaman.
Poerwanto (2003) menyatakan bahwa fungsi fosfor sebagai penyusun karbohidrat dan penyusun asam amino yang merupakan faktor internal yang mempengaruhi induksi pembungaan. Kekurangan karbohidrat pada tanaman dapat menghambat pembentukan bunga dan buah. Indranada (1986) manyatakan bahwa penyediaan fosfor yang tidak memadai akan menyebabkan laju respirasi menurun. Bila respirasi terhambat, pigmen ungu (antosianin) berkembang dan memberi ciri defisiensi fosfor.
Unsur fosfor (P) dapat memacu pertumbuhan akar. Tanaman yang dipupuk dengan fosfor ternyata mempunyai akar yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman tanpa dipupuk. Hal ini disebabkan karena ketersediaan fosfor akan
15 meningkatkan laju fotosintesis yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan akar. Ekstrak akar yang dipupuk dengan unsur P mempunyai aktivitas auksin yang berfungsi mempergiat pertumbuhan akar (Islami dan Ulama, 1995).
Dijelaskan oleh Hakim (1986) bahwa gejala kekurangan fosfor akan tampak pada pertumbuhan tanaman yang terhambat karena terjadi gangguan pada pembelahan sel. Daun tanaman menjadi berwarna hijau tua yang kemudian berubah menjadi ungu, juga terjadi pada cabang dan batang tanaman muda. Gejala yang umum adalah terhambatnya pertumbuhan, tanaman kerdil serta perakarannya miskin dan produksi merosot.
Pengaruh menguntungkan bagi tanaman bila P tercukupi antara lain pada pembelahan sel, pembentukan bunga, buah dan biji, perkembangan akar halus, dan akar rambut, dan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Soerpardi, 1983)
2.2.2 Ketersediaan Fosfor bagi Tanaman
Sumber fosfor di dalam tanah dapat berasal dari P organik dan P anorganik. Bentuk P anorganik ini sebagian besar berkombinasi dengan Ca, dan juga berikatan dengan liat membentuk komplek fosfat liat tidak larut, sehingga banyak tidak tersedia bagi tanaman. Pupuk P yang banyak digunakan adalah TSP dan SP-36. Bentuk P organik di dalam tanah sekitar 1% terdapat dalam mikroorganisme. P organik ini terdistribusi paling besar di permukaan tanah dibandingkan dengan subsoil, karena sesuai akumulasi bahan organik tanah.
Fosfor (P) termasuk unsur hara makro yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman, namun kandungannya di dalam tanaman lebih rendah dibanding
16 nitrogen (N), dan kalium (K). Tanaman menyerap P dari tanah dalam bentuk ion fosfat, terutama H2PO4- dan HPO42- yang terdapat dalam larutan tanah. Ion H2PO4- lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih masam, sedangkan pada pH yang lebih tinggi (>7) bentuk HPO42- lebih dominan. Sebagian besar tanaman dapat mengambil P yang diberikan dari pupuk sebesar 10 hingga 30% dari total P yang diberikan selama tahun pertama pemupukan, berarti 70‒90% pupuk P tetap berada di dalam tanah. Besarnya kemampuan tanah tanaman memanfaatkan P dipengaruhi oleh pH tanah, tipe liat, temperatur, bahan organik, dan waktu aplikasi.
pH tanah sangat berpengaruh terhadap ketersedian P tanah. Pada tanah masam P bersenyawa dalam bentuk-bentuk Al-P dan Fe-P, sedangkan pada tanah bereaksi basa umumnya P bersenyawa sebagai Ca-P. Adanya pengikatan-pengikatan P tersebut menyebabkan pupuk P yang diberikan menjadi tidak efisien, sehingga perlu diberikan dalam takaran tinggi. Tipe liat akan menentukan jumlah P yang terfiksasi dalam liat, P akan kuat terfiksasi pada tipe liat 1:1 dari pada liat 2:1. Tanah yang banyak mengandung kaolinit, seperti pada daerah yang curah hujan tinggi lebih banyak mengikat P. Disamping itu hidrus dari Al dan Fe yang terdapat pada tanah tropika juga menjerap P, dimana tanah ini banyak dijumpai pada tanah tipe liat 1:1. Jadi dapat diketahui makin tinggi jumlah liat pada tanah maka P akan semakin tinggi terfiksasi.
Temperatur biasanya berpengaruh pada kecepatan reaksi tanah, kecepatan reaksi kimia akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Pada tanah panas umumnya lebih banyak mengikat P jika dibandingkan dengan tanah pada iklim sedang.
17 Iklim panas dapat menyebabkan kadar oksida hidrus Al dan Fe dalam tanah cukup tinggi, sehingga P juga banyak terikat pada logam ini.
Bahan organik dapat dikatakan mampu memperbesar ketersedian P melalui hasil pelapukannya membentuk P humik yang mudah diserap oleh tanaman, dapat menyelimuti seskuioksida dan dapat menyangga pengikatan P oleh tanah, dan meningkatkan pertukaran ion P dangan ion humat.
Makin lama antara P dan tanah bersentuhan, semakin banyak P terfiksasi. Hal ini juga berhubungan dengan terbentuknya Al-P dan Fe-P pada tanah yang mempunyai daya fiksasi tinggi maka masa penggunaan P akan lebih pedek. Sehubungan dengan itu maka cara dan waktu pemberian pupuk posfat harus dipertimbangkan (Novriani, 2010).
2.3 Limbah Cair Tahu
Tahu merupakan makanan yang telah lama dikenal masyarakat Indonesia dan merupakan sumber protein yang relatif murah serta proses pembuatannya mudah. Pada dasarnya tahu adalah endapan protein dari sari kedelai panas yang menggunakan bahan penggumpal (Hermana, 1985). Pada waktu pengendapan tidak semua mengendap, dengan demikian sisa protein yang tidak tergumpal dan zat-zat lain yang larut dalam air akan terdapat dalam limbah cair tahu yang dihasilkan. Tahu merupakan salah satu sumber makanan yang berasal dari kedelai yang mengandung protein tinggi, dimana dalam 100 g tahu mengandung 68 g kalori, protein 7,8 g, lemak 4,6 g, hidrat arang 1,6 g, kalsium 124 g, fosfor 63 mg, besi 0,8 mg, vitamin B 0,06 mg, air 84,8 g (Partoatmojo, 1991).
18 Limbah cair pada proses produksi tahu berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, pencucian peralatan proses produksi tahu, penyaringan dan pengepresan/pencetakan tahu (Kaswinarni, 2007). Berdasarkan penelitianpenelitian terdahulu, limbah cair tahu mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman. Menurut Handajani (2006), limbah cair tahu tersebut dapat dijadikan alternatif baru yang digunakan sebagai pupuk sebab di dalam limbah cair tahu tersebut memiliki ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman.
Sifat limbah cair dari pengolahan tahu antara lain sebagai berikut: 1. Limbah cair mengandung zat-zat organik terlarut yang cenderung membusuk jika dibiarkan tergenang sampai beberapa hari di tempat terbuka. o
2. Suhu air tahu rata-rata berkisar antara 40−60 C, suhu ini lebih tinggi dibandingkan suhu rata-rata air lingkungan. Pembuangan secara langsung tanpa proses, dapat membahayakan kelestarian lingkungan hidup. 3. Air limbah tahu bersifat asam karena proses penggumpalan sari kedelai membutuhkan bahan penolong yang bersifat asam. Kemasaman limbah dapat membunuh mikroba (Sarwono dkk. 2003).
Menurut penelitian Setyowati (2001), limbah tahu selain mengandung N dalam bentuk anorganik juga mengandung N dalam bentuk organik. N organik tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan, sehingga memerlukan waktu lama untuk dimanfaatkan. Hal ini disebabkan harus mengalami proses demineralisasi. Selain itu, jumlah unsur hara yang diberikan wajib sedikit lebih tinggi atau lebih banyak dari yang dibutuhkan, N (Nitrogen) berperan dalam merangsang pembentukan anakan. Penyerapan tanaman terhadap limbah lebih
19 cepat jika dibandingkan dengan penyerapan tanah terhadap pupuk. Limbah cair dalam bentuk larutan lebih cepat diserap oleh tanaman.
2.4
Jagung ( Zea Mays)
Klasifikasi tanaman jagung menurut Warisno (2003) diklasifikasi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Classis
: Monocotyledone
Ordo
: Gramineae
Famili
: Graminaeceae
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays
Sistem perakaran pada tanaman jagung bervariasi terdiri atas akar primer (pertama muncul pada kecambah), akar lateral (memanjang ke samping) dan akar udara atau akar yang tumbuh dari bulu-bulu (Danarti dan Najiyati, 1996). Batang jagung berwarna hijau sampai keunguan berbentuk bulat dengan penampang melintang 2,25 cm, tinggi tanaman bervariasi antara 125‒250 cm, batang berbuku-buku dibatasi oleh ruas-ruas. Daun jagung terdiri atas pelepah daun dan helaian daun. Helaian daun memanjang dengan ujung daun meruncing. Antara pelepah daun dan helaian daun dibatasi oleh spikula yang berfungsi untuk menghalangi masuknya air hujan atau embun di dalam pelepah daun (Suprapto, 2004). Jagung termasuk tanaman berumah satu dengan bunga jantan berwarna putih krem. Bunga tanaman ini bersifat monocius dan bungan jantannya mengandung banyak bunga kecil pada ujung batangnya yang disebut tassel.
20 Bunga betina juga mengandung banyak bunga kecil yang ujungnya pendek dan datar, pada saat masak disebut tongkol (Warisno, 2003).
Tanaman jagung tidak memerlukan persyaratan yang khusus. Hampir berbagai macam tanah dapat diusahakan untuk tanaman jagung. Namun demikian tanaman jagung akan tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.000−1.800 mdpl, kemiringan lereng di bawah 8%, memiliki pH tanah berkisar antara 5,5−6,5 dan temperatur optimal bagi pertumbuhan berkisar antara 23−25˚C. Secara umum kebutuhan hara tanaman jagung adalah 180−240 ppm N, 60−90 ppm P2O5, dan 50 ppm K2O atau setara dengan 200−300 kg Urea ha-1, 40−80 kg TSP ha-1 dan 50 KCl ha-1 (Suprapto, 2004).
Tanaman jagung mengambil P selama pertumbuhannya tetapi 15% dari kebutuhan P diambil sebelum jagung berbunga, setelah berbunga dan selama periode masak tanaman jagung membutuhkan P banyak sekali. Pada waktu masak ¾ bagian dari seluruh P dalam tanaman terdapat dalam biji (Sudjana dkk. 1991).
Kekurangan unsur hara fosfor akan menimbulkan hambatan pada pertumbuhan pada sistem, daun dan batangnya pada tanaman jagung, gejala ini dapat ditunjukkan dengan daun-daun yang berwarna hijau tua/keabu-abuan, mengkilat, dan tangkai daun lancip, pembentukan buah akan terhambat (Sutedjo, 1992).