II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Kerangka Teori
2.1.1. Konsep Kemiskinan Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif. World Bank (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang dilakukan oleh Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar PPP dari International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis kemiskinan internasional sebesar US$ 1 per hari tidak lagi sesuai dengan nilai PPP tahun 2005,
12 untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis kemiskinan internasional yang lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun 2005 dari ICP adalah sebesar US$ 1,25 per hari. Badan Pusat Statistik (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebesar Rp 204,896/kapita/bulan
untuk daerah perkotaan dan Rp
161,831/kapita /bulan untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah. Perkembangan garis kemiskinan dapat dilihat pada Lampiran 1. Penghitungan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga menghitung rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) dengan menggunakan metode Foster-GreerThorbecke (FGT), yang dirumuskan sebagai:
Pα =
1 q z − yi ∑ N i =1 z
α
(2.1)
dimana: z
= besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan.
N = jumlah penduduk. q
= banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan.
yi = rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, .......q), yi < q. α = 0,1 dan 2. Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P 0 ); jika α = 1 adalah rasio kedalaman kemiskinan (P 1 ); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan kemiskinan (P 2 ). Rasio kedalaman kemiskinan P 1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin
13 tinggi nilai P 1 berarti semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Sedangkan P 2 sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan. Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran kemiskinan tidak hanya berdasarkan P 1 maupun P 2 saja, namun berdasarkan tipe kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty. Kemiskinan kronis (chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu individu yang tergolong miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara (transient poverty) dapat diartikan sebagai kondisi dimana kemiskinan yang terjadi pada suatu waktu hanya merupakan kondisi sementara yang tidak bersifat permanen, yang dikarenakan penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan. Investasi jangka panjang untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kasus chronic poverty, sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi rumahtangga dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan yang penting ketika tipe kemiskinan yang terjadi adalah transient poverty.
14 2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi keduanya merupakan fenomena ekonomi yang saling berhubungan. Sampai dengan Tahun 1960, teori pembangunan ekonomi diperlakukan sebagai perluasan dari teori ekonomi konvensional dan untuk itu pembangunan dapat dikatakan hampir sama dengan pertumbuhan (Reungsri, 2010). Hall (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai peningkatan dalam produksi nasional maupun pendapatan nasional, namun Seers (1969) berargumen bahwa pembangunan tidak hanya berarti pertumbuhan, namun juga harus mengikutsertakan aspek sosial seperti adanya penurunan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran. Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terusmenerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang penting bagi setiap masyarakat adalah: 1. Akumulasi modal, dimana akumulasi modal termasuk di dalamnya semua investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumberdaya manusia melalui perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan keja 2. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja 3. Kemajuan teknologi yang secara luas diartikan sebagai cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan. Sukirno
(2004)
menyatakan
bahwa
pertumbuhan
ekonomi
adalah
perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional atau jumlah seluruh output barang dan jasa ini dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
15 PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007). Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan dalam penghitungan PDB, yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran. Metode penghitungan PDB terbagi menjadi dua jenis, yaitu atas dasar harga berlaku yang menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi dengan mengalikan total nilai tambah dengan harga pada tahun berjalan dan atas dasar harga konstan yang dihitung dengan mengalikan seluruh nilai tambah dari hasil kegiatan ekonomi dengan harga pada tahun dasar. Data PDB yang digunakan untuk mengukur besaran nilai pertumbuhan ekonomi adalah PDB atas dasar harga konstan. Nilai PDB pada dasarnya merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari masing-masing provinsi/kabupaten di suatu negara (BPS, 2005). Pengaruh peningkatan investasi infrastruktur yang akan diteliti dalam studi kali ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Indikator pembangunan ekonomi diukur melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja perekonomian (Sen, 1988).
Teori Pertumbuhan Harrod Domar Teori pertumbuhan pertama kali dikemukakan oleh Harod dan Domar, yang menggunakan model Keynesian untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian tertutup. Teori ini kemudian dikenal lebih luas dengan model pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan Harrod-Domar didasarkan pada tiga asumsi.
16 Pertama, bahwa perekonomian menyebabkan terjadi peningkatan tabungan (S) dalam proporsi yang konstan (s) terhadap pendapatan nasional (Y): S=sY
(2.3)
dimana s merupakan rasio tabungan baik marginal mapun rata-rata. Kedua, bahwa perekonomian berada pada keseimbangan, dimana investasi yang direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan: I=S
(2.4)
Ketiga, bahwa investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional (ΔY) dan koefisien teknis tetap v yang dikenal sebagai Incremental Capital Output Ratio (ICOR): I=v ΔY
(2.5)
Model pertumbuhan Harrod-Domar kemudian mendefinisikan pertumbuhan ekonomi (g y ) sebagai perubahan pendapatan tiap satu satuan pendapatan: gy =
(2.6)
Mensubstitusikan hubungan pada persamaan (2.4) dan (2.5) memberikan definisi alternatif untuk pertumbuhan sebagai: gy =
(2.7)
Persamaan (2.7) berimplikasi bahwa jika ketiga asumsi yang mendasari teori ini terpenuhi, maka perekonomian akan tumbuh pada suatu level yang dipengaruhi oleh parameter s dan v. Meskipun demikian, paling tidak dalam prakteknya ada dua asumsi yang tidak mungkin dipegang, yakni bahwa nilai ICOR yang tetap berimplikasi bahwa terdapat hubungan yang tetap antara jumlah stok kapital dan output, kedua bahwa input tenaga kerja tidak dimasukkan dalam model, sehingga hal ini menyebabkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar ini memiliki asumsi yang lemah.
Teori Pertumbuhan Solow Mankiw (2007) menyatakan bahwa model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan angkatan
17 kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan. Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi. Dengan kata lain, output per pekerja (y) merupakan konsumsi per pekerja (c) dan investasi per pekerja (i): y=c+I
(2.8)
Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s dari pendapatan mereka dan mengkonsumsi sebagian (1-s), hubungan ini dapat dinyatakan sebagai: c = (1-s)y
(2.9)
y = (1-s)y + I
(2.10)
Meskipun model Solow telah mampu memasukkan tenaga kerja sebagai faktor yang memengaruhi pertumbuhan, namun model ini gagal menjelaskan bagaimana dan mengapa kemajuan teknologi terjadi. Romer (1986) kemudian menggagas model alternatif dengan memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model, namun demikian tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak akan mencapai tingkat pareto optimal. Model Romer (1986) tersebut kemudian dikenal sebagai teori pertumbuhan endogen.
Teori Pertumbuhan Endogen Kelemahan
dari
teori
pertumbuhan
neoklasik
kemudian
memicu
berkembangnya teori pertumbuhan endogen. Paul Romer merupakan salah satu penggagas teori ini dengan model pertumbuhan endogen yang memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model. Romer dalam Capello (2009) juga menyatakan bahwa selain kemajuan teknologi, salah satu sumber pertumbuhan adalah berasal dari eksternalitas yang terjadi akibat adanya akumulasi stok pengetahuan teknis yang kemudian berkolaborasi dengan modal tetap pada suatu waktu tertentu dalam mencapai tingkat output tertentu.
18 Robert Lucas juga merupakan ahli ekonomi yang juga merupakan penggagas teori pertumbuhan endogen. Lucas dalam Capello (2009) menyatakan hal yang sama dengan apa yang dikemukakan Romer, bahwa modal yang menentukan tingkat output yang dicapai dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu modal fisik dan modal manusia. Kombinasi keduanya dalam fungsi produksi dapat meningkatkan tingkat output tertentu. Teori pertumbuhan endogen menyatakan bahwa perbaikan dan kemajuan teknologi dihasilkan dari investasi yang secara langsung menyebabkan pertumbuhan, sehingga investasi dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Economic Planning Advisory Commission, 1995). Reungsri (2010) juga menyatakan bahwa investasi merupakan salah satu faktor penting pada model pertumbuhan endogen, investasi dapat menyebabkan perbaikan pada kapasitas produksi dan kenaikan laba yang berimplikasi pada adanya pertumbuhan ekonomi. Pada teori pertumbuhan neoklasik, adanya asumsi “law of diminishing return” membawa pada argumentasi bahwa investasi tidak mampu memengaruhi pertumbuhan. Namun pada teori pertumbuhan endogen, meskipun dibawah asumsi “law of diminishing return” investasi tetap mampu meningkatkan pertumbuhan. Sebagai contoh, adanya kemajuan teknologi yang didanai dari investasi akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, selain itu, tenaga kerja ahli yang didapat dari hasil pendidikan maupun pelatihan juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam penelitian ini peranan investasi terutama investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi didekati dengan menggunakan model pertumbuhan endogen.
2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan Glaeser (2006) menyatakan ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property rights.
19 Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi sehingga membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the poverty-growthinequality triangle untuk melihat hubungan antara ketiga variabel.
Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan
“Strategi Pembangunan” Distribusi dan Perubahan Distribusi pendapatan
Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan
Sumber: Bourguignon (2004) Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle
Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu: 1. Terjadinya inefisiensi ekonomi. 2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.
20 Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan, sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur ketimpangan pendapatan. Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara nol dan satu. Nilai indeks gini nol artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan sempurna) sedangkan nilai satu artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah, sedang atau tinggi. Pengelompokkan yang dilakukan sesuai dengan ukuran ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negaranegara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35 (Todaro dan Smith, 2006). Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada (luas bidang BCD). Rumusan di ilustrasikan pada gambar 2.2. sebagai berikut:
Luas bidang A (2.11)
Indeks gini = Luas bidang BCD
21
Sumber: Todaro dan Smith (2006) Gambar 2.2. Kurva Lorenz
2.1.4. Konsep Infrastruktur Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut pandang kepentingannya, belum terdapat kesamaan pandangan antar lembaga, negara dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi, infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam aktifitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong timbulnya klasifikasi infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial (Torrisi dalam Riadi (2010)). Kodoatie (2003) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka infrastruktur secara lebih jelas merupakan fasilitas-fasilitas dan struktur-struktur fisik yang dibangun guna berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi menunjuk pada suatu keberlangsungan dan keberlanjutan aktivitas masyarakat dimana infrastruktur fisik mewadahi interaksi antara aktivitas manusia dengan lingkungannya.
22 Hudson, et al. (1997) menyatakan bahwa keberhasilan dan kemajuan kelompok masyarakat tergantung pada infrastruktur fisik untuk pendistribusian sumber daya dan
pelayanan
publik.
Kua1itas
dan
efisiensi
infrastruktur
mempengaruhi kualitas hidup kesehatan sistem sosial dan keber1anjutan kegiatan perekonomian dan bisnis. Grigg (1988) menyatakan bahwa infrastruktur adalah semua fasilitas fisik yang sering disebut dengan pekerjaan umum. World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga komponen utama, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang
aktivitas
ekonomi,
meliputi
public
utilities
(tenaga
listrik,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.
2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal Pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius dalam mengembangkan kabupaten tertinggal. Bukti keseriusan pemerintah dalam hal ini adalah, dengan dibentuknya Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal yang memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal, sesuai Peraturan Presiden Nomor. 09 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Tugas pokok dan fungsi ini kemudian disempurnakan melalui Peraturan Presiden Nomor. 90 tahun 2006, dimana Kementrian PDT mempunyai penambahan fungsi operasional kebijakan di bidang: 1. Bantuan infrastruktur pedesaan 2. Pengembangan ekonomi Lokal 3. Pemberdayaan Masyarakat.
23 Perhatian pemerintah pada kabupaten tertinggal tidak hanya pada pengentasan kabupaten-kabupaten tertinggal, namun juga berupaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di kabupaten tertinggal. Hal ini sejalan dengan tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009 yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan. Tema RKP tersebut tertuang pada skenario pembangunan daerah tertinggal yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT (Gambar 2.3). Kondisi
• Tahun 2004 199 kabupaten tertinggal • Awal Tahun 2008 28 kabupaten terentaskan (perlu dibina sampai tahun 2009)
Upaya-Upaya
• Kerangka Regulasi Rancangan Inpres PPDT Rancangan UU PPDT Stranas PPDT RAN PPDT RAD PPDT • Kerangka Anggaran Mainstreaming DAK per Bidang DAK SPP-DT
Kondisi yang Diharapkan Tahun 2009 • 40 kabupaten terentaskan • Meningkatnya pendapatan masyarakat • Berkurangnya penduduk miskin • Tercapainya rehabilitasi daerah pasca konflik dan bencana
Kendala Antara lain belum optimalnya koordinasi, sinkronisasi dan sinergitas kegiatan
Tema RKP 2009 Peningkatan Kesejahteeraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan
Sumber: Kementrian PDT (2008) Gambar 2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal
2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal Konsep dan kriteria kabupaten tertinggal tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001/KEP/M-PDT/I/2005. Dalam Keputusan Menteri tersebut kabupaten tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain:
24 a. Geografis Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi. b. Sumberdaya alam Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan. c. Sumberdaya Manusia Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan atau institusi yang belum berkembang. d. Prasarana dan Sarana Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, penddikan dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan utuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi f. Kebijakan Pembangunan Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan.
25 Sebaran daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain: a. Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan yang pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih maju b. Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju c. Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di perbatasan antarnegara baik batas darat maupun laut d. Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor, gunung api, maupun banjir. e. Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.
Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkan 183 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal. Daftar kabupaten tertinggal tersaji pada Lampiran 2.
2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Pembangunan Kabupaten Tertinggal Upaya
pengentasan
kabupaten
tertinggal
dilakukan
dengan
mengimplementasikan kebijakan pembangunan daerah tertinggal secara terpadu dan tepat sasaran serta tepat kegiatan, maka KPDT melaksanakan program prioritas yang diarahkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh semua daerah tertinggal ke dalam bidang-bidang kegiatan, antara lain: a. Bidang Pembangunan Infrastruktur Pedesaan dengan melaksanakan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilakukan dengan melakukan penyediaan sarana dan prasarana transportasi
26 dan komunikasi, pelayanan sosial dasar dan pemberdayaan masyarakat adat terasing. b. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dengan melaksanakan tiga program yaitu: 1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) yang dilakukan
dengan
menyediakan
“block
grant”
untuk
mendukung
pengembangan ekonomi lokal, penyediaan sarana dan prasarana lokal dan pemberdayaan masyarakat serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat. 2. Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) yang dilakukan melalui manajemen marketing dan regional, pengembangan sistem distribusi barang dan jasa, pelayanan informasi, maupun pengembangan jaringan prasarana antar wilayah (transportasi dan komunikasi) 3. Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) yang dilakukan melalui
penyediaan
sarana
dan
prasarana
transportasi/komunikasi,
pengembangan ekonomi lokal, pelayanan sosial dasar dan pelayanan lintas batas c. Bidang Pengembangan Ekonomi Lokal dengan melaksanakan dua program prioritas yaitu: 1. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT) yang dilakukan melalui penyiapan lahan dan investasi dalam kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan rakyat, pariwisata berikut industri pengolahan dan pendukung yang dikelola secara kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat 2. Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan (P4DT) yang dilakukan melalui pembangunan pusat pelayanan jasa dan distribusi/kota penyangga, termasuk kawasan industri terpadu dan kawasan perdagangan bebas atau kawasan ekonomi khusus.
27 2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) Instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) dilaksanakan di bawah tanggung jawab Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur Kementrian PDT. Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur selain sebagai penanggungjawab instrumen, juga melaksanakan fungsi operasionalisasi kebijakan di bidang infrastruktur pedesaan. P2IPDT dicanangkan dan dilaksanakan di kabupaten tertinggal sebagi solusi mengatasi ketimpangan infrastruktur. Instrumen ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau pendorong dan pemicu pembangunan infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi, dalam membentuk bantuan sosial, dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi lokal. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap sektor terkait dan dengan program daerah yang bersangkutan. Instrumen P2IPDT dilaksanakan pada kabupaten tertinggal, dengan tujuan antara lain: a. Sebagai bahan dari implementasi kebijakan pengembangan infrastruktur pedesaan dalam bidang transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi di daerah tertinggal yang dapat difasilitasi oleh Kementrian PDT. b. Merupakan upaya Kementrian PDT dalam mengurangi keterisolasian daerah tertinggal agar menjadi daerah maju yang setara dengan daerah lainnya. c. Memberikan arah dan panduan teknis terhadap pelaksanaan program P2IPDT di daerah tertinggal. d. Menjamin terlaksananya koordinasi pusat dan kabupaten dalam pelaksanaan bantuan stimulan infrastruktur pedesaan. Ruang lingkup dari instrumen P2IPDT pada dasarnya adalah melaksanakan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan koordinasi, pemantauan, pengawasan, pelaksanaan koordinasi dan pelaporan yang meliputi:
28 a. Bantuan peningkatan infrastruktur transportasi b. Bantuan peningkatan infrastruktur informasi dan telekomunikasi c. Bantuan peningkatan infrastruktur ekonomi d. Bantuan peningkatan infrastruktur energi.
2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan Schiller (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang dapat menjadi penyebab kemiskinan, antara lain: 1. Kurangnya motivasi atau keterampilan individu 2. Adanya hambatan sosial terhadap akses pada kesempatan (society’s barrier to opportunity) 3. Kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan dan partisipasi kerja Hasil penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya mengunakan fixed effect model menyimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang didekati dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), namun besarnya pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruhnya masing-masing relatif kecil. Peningkatan pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri terhadap PDRB juga cukup signifikan mengurangi kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan ialah pendidikan. Iradian (2005), dalam studi mengenai peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan, perubahan ketimpangan pendapatan yang didekati dengan variabel indeks gini dan perubahan pengeluaran pemerintah yang diukur melalui persentasenya terhadap PDB. Iradian (2005) menggunakan dua metode ekonometrik, yakni Ordinary Least Square (OLS) dan Generalized Method of Moment (GMM). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa koefisien regresi dari pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan
29 dan perubahan ketimpangan pendapatan signifikan secara statistik dalam mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan jika dibarengi dengan penurunan ketimpangan sedangkan penurunan kemiskinan akan sulit terjadi jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan adanya peningkatan ketimpangan pendapatan. Hajiji (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun ketimpangan pendapatan tersebut tidak memiliki efek yang signifikan pada tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut menggunakan analisis regresi data panel untuk melihat hubungan antara pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa efek positif dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan mendominasi efek negatif dari adanya ketimpangan pendapatan. Fan, et al. (2002) menganalisis peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah melalui investasi publik di daerah pedesaan Cina dalam mengurang kemiskinan. Fan, et al. mengembangkan model persamaan simultan untuk mengestimasi efek perbedaan jenis pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mendorong investasi yang juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini, tidak hanya berperan dalam meningkatkan pertumbuhan, namun juga mampu mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan Cina. Seetanah, et al. (2009) membandingkan model panel data fixed effect dan GMM dinamis dalam melihat pengaruh investasi publik khususnya investasi infrastruktur dalam mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Hasil penelitian menggunakan kedua model tersebut mendukung pernyataan bahwa infrastruktur transportasi dan komunikasi merupakan alat yang efisien dalam memerangi kemiskinan di pedesaan. Sehingga, kebijakan pemerintah seharusnya memperhatikan pentingnya perbaikan akses penduduk miskin pada infrastruktur transportasi dan komunikasi.
30 2.1.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Stern (1991) mengemukakan adanya postulat penting bahwa terdapat tiga faktor standar yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor tersebut adalah manajemen organisasi, alokasi sumberdaya dan infrastruktur.
Manajemen Organisasi Organisasi yang diatur dengan baik, menurut Stern dapat meningkatkan output melalui minimalisasi pemborosan sumberdaya dan perbaikan efisiensi, sedangkan manajemen yang buruk dapat menyebabkan terjadinya
penuruanan
produktifitas. Sebagai contoh selama tahun 1960 hingga 1970, India berhasil meningkatkan tingkat tabungannya, namun karena adanya manajemen yang buruk, kondisi ini gagal meningkatkan pertumbuhan ekonominya (Ahluwalia 1985).
Alokasi Sumberdaya Faktor kedua yang dapat memengaruhi pertumbuhan menurut Stern adalah alokasi sumberdaya. Stern menemukan bahwa pengaturan alokasi sumberdaya oleh institusi di negara-negara berkembang sangat bervariasi. Hal ini menyebabkan terjadinya distorsi ekonomi yang menyebabkan distribusi sumberdaya menjadi optimal. Distribusi sumberdaya yang optimal ini mengakibatkan tumbuhnya perekonomian dan berdampak pada pemerataan sosial.
Infrastruktur Infrastruktur menjadi faktor ketiga yang menurut Stern dapat memengaruhi pertumbuhan. Infrastruktur sangat penting untuk produktifitas dan pertumbuhan. Kwik dalam Haris (2009) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur memengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro,
31 ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.
2.1.11. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan Distribusi pendapatan dan kaitannya terhadap pertumbuhan dan kemiskinan telah menjadi perhatian utama bagi para ekonom. Banyak penelitian telah mengkaji hubungan triangular antara ketiga variabel ini, termasuk Bourguignon (2004) yang menggagas konsep The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Iradian (2004), pada penelitiannya di Armenia menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memiliki dampak pada ketimpangan, namun ketimpangan dapat memberikan efek negatif pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan apabila pertumbuhan tersebut memiliki dampak yang kecil pada ketimpangan pendapatan. Gelaw (2010) menggunakan estimasi model fixed effect
dalam meneliti
hubungan triangular antara pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemiskinan dapat terus menjadi tinggi jika suatu negara gagal mencapai pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan, yang dalam hal ini haruslah didukung dengan adanya penurunan pada ketimpangan pendapatan. Lopez (2003), meskipun tidak menganalisis dampak pada kemiskinan, mendukung pernyataan bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Penelitian ini mengkaji dampak kebijakan pro growth yaitu perbaikan pada sektor pendidikan dan infrastruktur pada pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan di sektor pendidikan dan infrastruktur serta tingkat inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan dan pemerataan pendapatan yang progresif. Selain itu, pembangunan di sektor keuangan, keterbukaan dalam perdagangan dan penurunan government size dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan peningkatan pada ketimpangan pendapatan. Laabas dan Limam (2004) menggunakan sistem persamaan simultan dalam melihat hubungan antara investasi publik, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan
32 ketimpangan pendapatan. Penelitian tersebut menggunakan tiga variabel endogen yaitu pertumbuhan, ketimpangan dan pendapatan. Hasil estimasi menyimpulkan bahwa investasi diketahui memiliki hubungan yang erat dengan tingginya pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu wilayah. Faktor penting yang lain dalam penelitian tersebut adalah faktor kelembagaan yang merupakan salah satu sumber pertumbuhan yang penting karena dapat berdampak pada kontribusi pelaku ekonomi dalam memberikan insentif pada pertumbuhan.
2.1.12. Pengaruh Investasi Infrastruktur Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi (Stern, 1991). Infrastruktur merupakan roda penggerak perekonomian, sedangkan dari sudut pandang alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Reungsri (2010) menyatakan bahwa infrastruktur sebagai representasi dari investasi publik memiliki pengaruh pada dua aspek, yaitu aspek ekonomi dan sosial.
Aspek Ekonomi (Pertumbuhan) Investasi infrastruktur yang merupakan investasi publik berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat menggunakan investasi infrastruktur ini sebagai alat untuk menaikkan investasi swasta atau untuk menurunkan permintaan. Paradigma ekonomi Keynesian, investasi dapat menstimulus pengeluaran pemerintah yang kemudian berdampak pada terjadinya crowding out dan crowding in investasi swasta (Gambar 2.1). Infrastruktur bukanlah merupakan faktor yang dapat secara langsung
memengaruhi
pertumbuhan
ekonomi.
Infrastruktur
memengaruhi
pertumbuhan dengan memfasilitasi produktifitas melalui penyediaan sarana dan prasarana yang memadai.
33 Aspek Sosial (Pemerataan) Infrastruktur, selain memiliki pengaruh pada aspek ekonomi, juga memiliki dampak pada aspek sosial, antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan adanya penurunan kemiskinan, pemerataan dan redistribusi pendapatan dan mitigasi dalam memerangi degradasi lingkungan.
Investasi Publik
Suku Bunga Riil
PDB
Return to Capital
Investasi Swasta
Investasi Swasta
Investasi Swasta
PDB Crowding Out
PDB Crowding In
Sumber: Aromdee, et al. (2005) Gambar 2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik
Aschauer (1989) menyatakan bahwa investasi publik pada infrastruktur sangat penting sebagai salah satu sumber pendukung pertumbuhan ekonomi. Aschauer meneliti hubungan antara output agregat dengan stok dan aliran pengeluaran pemerintah dan menyimpulkan bahwa infrastruktur inti seperti jalan, jalan tol, bandara dan sistem transportasi massal merupakan peranan pemerintah yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan perbakan produktifitas. Munnel (1992) juga menganalisis kebijakan pemerintah dalam hal investasi infrastruktur dan kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan stimulus ekonomi yang cepat, investasi
34 publik pada infrastruktur memiliki efek positif yang signifikan terhada pertumbuhan ekonomi. Canning dan Pedroni (1999) menyimpulkan bahwa telefon dan jalan sebagai pendukung infrastruktur mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Canning menggunakan metode error correction model dalam menganalisis pengaruh jangka panjang antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Perkins, et al. (2005) meneliti hubungan antara investasi infrastruktur ekonomi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan. Penelitian ini menggunakan metode F-tests yang dikembangkan oleh Pesaran, Shin dan Smith. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infrastruktur ekonomi dan pertumbuhan memiliki hubungan dua arah. Investasi yang tidak memadai pada infrastruktur dapat menciptakan bottlenecks dan hilangnya kesempatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
2.2.
Kerangka Pemikiran Dalam upaya memberikan masukan untuk perbaikan strategi dan kebijakan
yang diambil oleh KPDT dalam mengefektifkan program yang dilaksanakan, maka kiranya diperlukan suatu studi mengenai pengaruh program peningkatan infrastruktur Kementrian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Untuk memberikan gambaran mengenai alur pemikiran dalam penelitian ini, berikut digambarkan kerangka pemikiran penelitian, seperti tergambar di bawah ini.
35
Kabupaten Tertiggal
Investasi Infrastruktur (P2IPDT) Transportasi
Ekonomi
Informasi dan telekomunikasi
Sosial
Transmisi tidak langsung (sisi makro)
Energi
Peningkatan Produktifitas
Transmisi langsung (sisi mikro)
Pendapatan Nasional dan Pertumbuhan Ekonomi
Tenaga Kerja
Peningkatan Pendapatan Riil/Konsumsi Masyarakat
Ketimpangan Pendapatan
Aspek Pertumbuhan
Penurunan Kemiskinan
Strategi Pembangunan Ekonomi untuk Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
Aspek Pemerataan
36 2.3.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:
1. Terjadi perbaikan pada dinamika kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal. 2. Investasi infrastruktur dalam hal ini adalah instrumen P2IPDT Kementrian PDT, sebagai representasi dari investasi publik pemerintah memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan perekonomian. 3. Peningkatan
kinerja
perekonomian
di
kabupaten
tertinggal
mampu
menurunkan ketimpangan pendapatan. 4. Peningkatan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal dapat menurunkan tingkat kemiskinan.