II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Definisi Kemiskinan Definisi kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin
kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: a)
Kemiskinan absolut Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya.
b)
Kemiskinan relatif Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Sayogyo (1978) menguraikan konsep kemiskinan dengan membedakan
antara daerah perdesaan dan perkotaan. Mereka disebut miskin apabila mempunyai pendapatan per kapita kurang dari 320 kg beras di desa dan kurang dari 480 kg beras di kota. Kelemahan dari konsep ini kurang mempertimbangkan adanya peningkatan kebutuhan pokok yang lain, yang tentunya ikut berubah dengan meningkatnya pendapatan. Selain itu, uraian konsep kemiskinan di atas hanya mencakup kebutuhan makan, belum terhitung kebutuhan nonmakanan seperti sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya.
Pada tahun 1979, Friedman mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya kesempatan untuk mengakumulasikan aset-aset produktif, organisasi sosial dan politik yang mampu mewujudkan kepentingan umum, sosialisasi yang dapat memberikan kesempatan untuk bekerja, informasi dan pendidikan serta teknologi yang menjadi tuntutan hidup. Pada waktu yang sama, Scott mengartikan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri. Scott mengemukakan tiga definisi kemiskinan. Pertama, kemiskinan merupakan buruknya kondisi seseorang karena kurangnya pendidikan, kesehatan dan transportasi. Hal ini mengakibatkan kemampuan dan produktivitas kerja menurun sehingga pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, definisi miskin yang disebabkan karena kurangnya aset produktif seseorang, seperti uang, tanah, rumah dan fasilitas lainnya. Ketiga, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kehidupan seseorang atau masyarakat yang tidak dipenuhi kebutuhan nonmaterinya, seperti hak kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk merdeka dan kebutuhan nonmateri lainnya. Kesimpulannya, kemiskinan bisa dipandang sebagai suatu keadaan yang kompleks, tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin yaitu penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kilo kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Pada penelitian ini, konsep kemiskinan mengacu pada konsep yang telah dibuat oleh BPS. Selain BPS, ada beberapa instansi juga menetapkan kriteria kemiskinan, antara lain: BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), World Bank dan UNDP (United Nations for Development Programs). BKKBN menetapkan kemiskinan berdasarkan kriteria keluarga pra sejahtera (pra KS) dan
keluarga sejahtera I (KS I). World Bank menetapkan kemiskinan berdasarkan pada pendapatan per orang per hari. Biasanya ukuran yang digunakan US$ 1 atau US$ 2. Penduduk dengan penghasilan dibawah nilai nominal tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin.
2.2
Indikator Kemiskinan Penghitungan kemiskinan yang dilakukan BPS didasarkan pada garis
kemiskinan (GK). GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan non makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) atau penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas perkiraan awal GK. Perkiraan awal GK ini dihitung berdasarkan GK periode sebelumnya yang diinflate/dideflate dengan inflasi/deflasi. GK dibagi ke dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). BPS setiap tahun menetapkan garis kemiskinan berdasarkan susenas panel/modul konsumsi dengan informasi tambahan hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. Pada tahun 1995 BPS telah melaksanakaan SPKKD untuk penghitungan jumlah penduduk miskin tahun 1995-2004. Karena hasil SPKKD tahun 1995 sudah tidak relevan lagi maka pada tahun 2004 BPS kembali melaksanakan SPKKD untuk menghitung jumlah penduduk miskin tahun 2004 sampai sekarang. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan. Sementara itu sejak tahun 1996 terdiri dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di perdesaan. Penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin provinsi dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan berdasarkan GK (GKM + GKNM) yang juga dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan. Penghitungan indikator kemiskinan didasarkan pada formula yang di sarankan oleh Foster-Greer-Thorbecke (1984) sebagai berikut:
P
z yi z i 1 q
1 n
keterangan: = 0, 1, 2 z
= garis kemiskinan
yi
= rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan ( i=1, 2, 3, …, q), yi < q
q
= banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n
= jumlah penduduk
Jika =0 maka diperoleh Head Count Index (P0); =1 adalah Poverty Gap Index (P1); dan =2 merupakan ukuran Poverty Severity Index (P2). (1)
The incident of poverty atau Head count index (HCI) adalah ukuran kemiskinan jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai samadengan nol, sehingga:
P0
q n
Penghitungan ini menunjukkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis kemiskinan. (2)
The depth of poverty atau poverty gap merupakan kedalaman/jurang kemiskinan jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai samadengan satu, sehingga:
P1
1 n
q
z yi z
i 1
Ukuran ini menggambarkan dalamnya kemiskinan, yakni perbedaan jarak rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan. Poverty gap index berguna untuk mengetahui seberapa banyak sumberdaya (uang) yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan melalui transfer uang (cash transfer) yang ditujukan kepada orang miskin dengan sempurna. Misalkan poverty gap = 0,3 maka cash transfer yang diperlukan untuk menghapus kemiskinan adalah sebesar 30 persen dari garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks
menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk (3)
Squared poverty gap atau poverty severity index adalah ukuran yang menggambarkan keparahan kemiskinan. Jika pada formula Foster-GreerThorbecke nilai samadengan dua, sehingga:
P2
1 n
z yi z i 1 q
2
Indeks ini menggambarkan ketimpangan diantara orang miskin. Sampai batas tertentu squared poverty gap dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
2.3
Penyebab Kemiskinan Jhingan (2004), mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang
menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian. Mawardi (2004) menyebutkan ada enam kategori yang menyebabkan kemiskinan, antara lain: 1.
Ketidakberdayaan Faktor ketidakberdayaan merupakan faktor di luar kendali masyarakat miskin, yang mencakup aspek ketersediaan lapangan pekerjaan, tingkat biaya/harga (baik barang konsumsi, sarana produksi, maupun harga jual produksi), kebijakan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, keamanan, dan takdir/kodrat. Aspek takdir ini merupakan bentuk kepasrahan dari masyarakat miskin karena kondisi kemiskinan yang mereka alami sudah sedemikian rupa sehingga timbullah sikap apatis dan mereka menganggap bahwa hanya mukjizat Tuhan yang bisa mengubah keadaan.
2.
Kekurangan materi Yang termasuk dalam kategori kekurangan materi adalah kepemilikan atau tidak memiliki berbagai macam aset, seperti rumah, tanah, modal kerja, warisan, serta rendahnya penghasilan karena upah atau hasil panen yang rendah. Faktor kekurangan materi merupakan faktor penyebab kemiskinan yang dominan selain faktor ketidakberdayaan.
3.
Keterkucilan Faktor keterkucilan terkait dengan hambatan fisik dan nonfisik dalam mengakses kesempatan meningkatkan kesejahteraan, antara lain karena lokasi yang terpencil, prasarana transportasi yang buruk, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, akses terhadap kredit, pendidikan, kesehatan, irigasi dan air bersih tidak ada/kurang memadai.
4.
Kelemahan fisik Yang termasuk dalam faktor kelemahan fisik antara lain: kondisi kesehatan, kemampuan kerja, kurang makan dan gizi, dan masalah sanitasi. Pada umumnya kondisi kesehatan yang buruk dianggap lebih penting sebagai penyebab kemiskinan dibandingkan faktor ketidakmampuan bekerja.
5.
Kerentanan Faktor kerentanan mencerminkan kondisi ketidakstabilan atau guncangan yang dapat menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan. Didalamnya mencakup aspek pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerjaan tidak tetap, masalah dalam produksi, bencana alam dan musibah dalam keluarga.
6.
Sikap dan perilaku Kebiasaan buruk atau sikap yang cenderung menghambat kemajuan masuk dalam kategori ini. Didalamnya mencakup kurangnya upaya untuk bekerja, tidak bisa mengatur uang atau boros, masalah ketidakharmonisan keluarga, serta kebiasaan berjudi/mabuk. Smeru (2001) menyampaikan delapan penyebab dasar kemiskinan, antara
lain: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal, (2) keterbatasan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana, (3) adanya kecenderungan kebijakan yang diambil pemerintah bias perkotaan dan bias sektor, (4) sistem yang kurang mendukung dan perbedaan kesempatan antar masyarakat, (5) perbedaan
sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi (tradisional versus modern), (6) produktivitas dan tingkat pembentukan modal yang rendah, (7) budaya hidup yang cenderung dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, dan (8) tata kelola pemerintahan yang belum baik. Selanjutnya,
Suryawati
(2005)
menyampaikan
beberapa
penyebab
kemiskinan perdesaan, antara lain: (1)
Natural assets, mencakup tanah dan air. Sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang relatif kecil sebagai mata pencahariannya.
(2)
Human assets, yakni kualitas sumberdaya manusia di perdesaan masih rendah dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.
(3)
Physical assets, masih rendahnya akses masyarakat ke infrastruktur dan pelayanan umum antara lain jalan, listrik dan telekomunikasi.
(4)
Financial assets, yakni tabungan yang masih kecil dan keterbatasan akses untuk memperoleh modal usaha.
(5)
Social assets, lebih kepada pengaruh politik. Pada tahun 2006, Papilaya dan Sugihen meneliti tentang akar dan strategi
pengentasan kemiskinan di tiga kabupaten/kota yang terletak di Provinsi Gorontalo. Dari hasil penelitian mereka dinyatakan bahwa akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan yaitu kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin dan kurang normatifnya perilaku elit. Secara kualitatif, kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin terlihat dari perilaku seperti perilaku hedonis, konsumtif, ketergantungan, suka berhutang, apatis dan fatalis. Sementara itu, kurang normatifnya perilaku elit dapat terlihat pada perilaku mencari keuntungan (rent seeking behavior) pelaksana program kemiskinan seperti yang diungkapkan oleh rumahtangga miskin pada waktu diskusi kelompok terfokus (FGD). Disamping itu, perilaku mengutamakan keluarga dekat (nepotisme) dan perilaku pilih kasih (favoritisme).
2.4
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Beberapa variabel yang memengaruhi kemiskinan adalah sebagai berikut:
2.4.1 Jumlah Penduduk Sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja, tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi di negara berkembang. Pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang rendah semakin sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan
jumlah
penduduk. Sekalipun output meningkat sebagai hasil teknologi yang lebih baik dan pembentukan modal, peningkatan ini akan ditelan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak. Alhasil, tidak ada perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata perekonomian. (Jhingan 2003) Pada tahun 2008 Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: 1) ia memperberat beban penduduk pada lahan; 2) ia menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat. Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anakanak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendpatan per kapita menjadi rendah. Siregar dan Wahyuniarti
(2007)
dalam
penelitiannya
“
Dampak
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin” menghasilkan temuan bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk sebesar 1000 orang akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 249 orang. Penemuan yang sama diperoleh Suparno (2010) yang menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk terbukti meningkatkan jumlah kemiskinan di Indonesia.
2.4.2 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang mayoritas tinggal di perdesaan. Dari tahun 2000 hingga 2008, sekitar 40 persen angkatan kerja nasional melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian (BPS 2008). Seiring dengan maraknya isu indudtrialisasi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan menyebabkan lahan pertanian mengalami pengurangan, bahkan semakin banyak pula penduduk yang tidak mempunyai lahan sama sekali. Semakin berkurang lahan pertanian maka produktivitas pertanian turun sehingga output pertanian juga turun, dan dampaknya adalah terjadinya penurunan pendapatan petani. Jika pendapatan petani berkurang maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kemiskinan bertambah. Menurut Arsyad (2010), satu faktor penyebab kemiskinan di sektor pertanian adalah rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan hal ini salah satunya disebabkan oleh distribusi lahan pertanian yang semakin timpang. Ketimpangan penguasaan lahan pertanian terjadi di Indonesia sudah sejak lama. Program land reform dilaksanakan pada pertengahan tahun 1960-an oleh pemerintahan pada masa itu, namun program ini tidak berhasil mengatasi masalah ketimpangan penguasaan lahan ini seiring dengan perubahan sistem politik dan ekonomi pada masa rezim orde baru. Sebuah realita menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh petani kecil (petani gurem). Petani gurem adalah petani dengan luas lahan garapan kurag dari 0,5 ha. Pada tahun 1983, jumlah petani gurem sekitar 46,2 persen dari keseluruhan petani. Duapuluh tahun kemudian, yaitu tahun 2003, jumlah petani gurem meningkat menjadi 56,4 persen. Salah satu sebab rendahnya produktivitas pertanian adalah rendahnya tingkat pendidikan petani dan buruh tani relatif rendah. Menurut teori pertumbuhan endogen, pendidikan merupakan pendorong meningkatnya output melalui peningkatan produktivitas pekerja karena sumberdaya manusia yang berkualitas. Pada tahun 2003, sekitar 31,62 persen petani di Indonesia tidak pernah mengenyam pendidikan formal, dan sebagian besar tinggal di perdesaan.
Petani yang berpendidikan dasar sekitar 44,98 persen, dan hanya sekitar 1,69 persen petani yang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi (BPS 2003). Nurkse (Arsyad 2010) dalam satu konsepnya mengenai lingkaran kemiskinan, menyebutkan bahwa timbulnya lingkaran setan kemiskinan disebabkan kurangnya akses dalam pembentukan modal. Lembaga perbankan yang ada di Indonesia masih kurang menjangkau petani kecil. Petani yang paling sering mendapatkan kredit adalah petani pemilik lahan, misalnya pemilik lahan kelapa sawit. Kurangnya modal menyebabkan petani kecil sulit untuk mengembangkan usahanya, sehingga pendapatan yang diterimanya sulit untuk meningkat. Akibatnya, kemiskinan di sektor pertanian cenderung persistent dan sulit untuk diturunkan.
2.4.3 Tingkat Pendidikan Pendidikan berfungsi sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan.
Pendidikan
membantu menurunan kemiskinan melalui efeknya pada produktivitas tenaga kerja dan melalui jalur manfaat sosial, maka pendidikan merupakan sebuah tujuan pembangunan yang penting bagi bangsa (World Bank 2005). Pendidikan sebagai sarana untuk memperoleh wawasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan agar peluang kerja lebih terbuka dan upah yang didapat juga lebih tinggi. Rahman (2006) menemukan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan upah/gaji yang diterima oleh pekerja. Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Lucas dan Romer (1996), pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang nantinya menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. Tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Andersson et.al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Determinants of Poverty in Lao PDR menyatakan bahwa pendidikan seseorang sebagai salah satu determinan konsumsi per kapita. Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu
menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya.
Peningkatan
produktivitas
akan
meningkatkan
output
perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga akan mengurangi kemiskinan.
2.4.4 Upah Minimum Provinsi (UMP) Kebijakan upah minimum di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu. Dalam rangka mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja, perlu ditetapkan upah minimum dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan perusahaan serta perkembangan perekonomian pada umumnya. Upah minimum merupakan upah terendah yang diterima karyawan/pekerja yang masa kerjanya dibawah satu tahun. Bagi yang bekerja lebih dari satu tahun, maka upah yang diterima diatur oleh peraturan perusahaan dengan sistem pengupahan yang telah disepakati antara pengusaha dan serikat pekerja perusahaan. Penetapan upah minimum kabupaten/kota harus tetap berdasarkan kesepakatan tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Fungsi upah minimum pada dasarnya sebagai jaring pengaman terhadap pekerja atau buruh agar tidak diekspolitasi dalam bekerja sehingga penentuannya tetap melibatkan pemerintah. Tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan juga meningkat dan terbebas dari kemiskinan (Kaufman 2000). Beberapa hal yang menjadi bahan
pertimbangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menafikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya, termasuk juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum.
2.4.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita Pro poor growth menurut Kakwani, et al. (2004) yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih memberikan keuntungan atau manfaat bagi penduduk miskin dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Jika ini terjadi maka akan berdampak semakin banyak penduduk miskin yang mengalami peningkatan pendapatan dan mampu keluar dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang pro poor akan terwujud jika pertumbuhan ekonomi lebih banyak dihasilkan dari partisipasi ekonomi penduduk miskin. Hal ini berdampak pada tingkat kemiskinan yang semakin mengecil. Beberapa pendapat mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan seperti diuraikan Todaro dan Smith (2006). Pendapat pertama, pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin. Hal ini terjadi karena kaum miskin akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Pendapat kedua, di kalangan pembuat kebijakan, pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan. Pendapat ketiga, kebijakan untuk mengurangi kemiskinan bukan memperlambat laju pertumbuhan, dengan argumen sebagai berikut: 1. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan perkapita. 2. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung dan berinvestasi di negara mereka sendiri. 3. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas. 4. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang impor.
5. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan. Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh elemen masyarakat, agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi.
2.4.6 Pengangguran Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Menurut The National Anti-Poverty Strategy (NAPS 1999), berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya di Ireland menyatakan bahwa pengangguran merupakan penyebab terbesar terjadinya kemiskinan. Keterkaitan antara pengangguran dengan kemiskinan sangat kuat. Pada tahun 1994, lebih dari setengah dari total keluarga di Ireland dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan. Sukirno (2004), menyatakan bahwa efek buruk dari pengangguran adalah berkurangnya tingkat pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran/kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat yang turun karena menganggur akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, maka akan timbul kekacauan politik dan sosial dan ini mempunyai efek yang buruk pada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Suparno (2010) menemukan bahwa banyaknya pengangguran akan berdampak pada peningkatan kemiskinan di Indonesia.
2.4.7 Infrastruktur Pertumbuhan ekonomi yang pro poor haruslah terwujud dalam upaya untuk menurunkan kemiskinan. Dalam teori pertumbuhan endogen, salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah kapital. Wujud dari kapital sangat
beragam, dan penyediaan infrastruktur merupakan bentuk kepedulian pemerintah dalam berinvestasi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan. Infrastruktur jalan sangat mendukung aktivitas ekonomi. Infrastruktur jalan yang bagus dapat meningkatkan mobilitas penduduk dan barang yang menghubungkan satu pusat aktivitas dengan pusat aktivitas lain di area yang berbeda. Penemuan Dercon dan Krishnan (1998), menyatakan bahwa faktorfaktor yang menyebabkan perubahan tingkat kemiskinan adalah rumah tangga dengan modal manusia dan fisik yang lebih besar, serta akses jalan yang lebih baik memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Menurut Malmberg et. al (1997), infrastruktur jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi baik di sektor pertanian maupun bukan pertanian, dan menciptakan kesempatan ekonomi bagi penduduk desa secara keseluruhan, termasuk yang miskin. Penelitian Khandker (1989) menemukan bahwa investasi pemerintah di jalan memiliki efek positif atas hasil panen, pekerja bukan pertanian di desa, dan upah petani dan semuanya itu menguntungkan penduduk miskin. Kwon pada tahun 2001 pernah meneliti mengenai peran infrastruktur jalan desa dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitiannya didasari fakta bahwa penduduk miskin pada umumnya terkonsentrasi di pedesaan dan cenderung terisolasi dengan daerah lainnya. Dengan demikian mobilitas mereka terbatas sehingga menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi dari berbagai kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Kurangnya infrastruktur jalan akan meningkatkan biaya produksi pertanian dan akibatnya menurunkan keuntungan mereka. Jika hal ini tidak segera diatasi maka sulit bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan. Infrastruktur jalan mengurangi kemiskinan melalui dua cara, yaitu dampak langsung (its own effect) dan dari dampak pada peningkatan kinerja variabel lainnya (the through-effect). Dampak langsung terlihat ketika pembangunan jalan berlangsung yaitu tambahan lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk, meningkatkan hubungan antara produsen dan konsumen, pencari kerja dengan yang mempekerjakan. Dampak tak langsung dapat dijelaskan bahwa infrastruktur jalan dapat meningkatkan kinerja pasar input dan
pasar barang, sehingga hal ini akan mengurangi ongkos produksi. Ongkos produksi yang murah akan menjadikan harga barang lebih murah, sehingga daya beli masyarakat meningkat dan kemiskinan akan berkurang. Selain jalan, ketersediaan infrastruktur listrik akan berpengaruh pada perekonomian dan pendapatan penduduk. Pengaruh infrastruktur listrik terhadap pendapatan penduduk miskin pernah di teliti oleh Balisacan, et al (2002) di Philipina dan Songco (2002) di Bangladesh. Hasil penelitian mereka adalah listrik secara positif memengaruhi pendapatan penduduk miskin melalui transmisi tidak langsung (pertumbuhan ekonomi) dan transmisi langsung (produktivitas dan upah). Fan. et al (2002) menghasilkan temuan bahwa listrik secara signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sektor non pertanian di perdesaan di China yang mengarah pada penurunan kemiskinan dengan elatisitas sebesar 0,42. Listrik memiliki peranan yang besar pada upaya pengurangan kemiskinan, setiap 10.000 Yuan yang digunakan untuk pembangunan listrik, maka mampu mengangkat orang miskin keluar dari kemiskinannya sebesar 2,3 orang. Menurut Baliscanan, et al. (2002) bahwa listrik merefleksikan akses terhadap teknologi yang berkontribusi secara langsung terhadap kemiskinan dengan meningkatnya lapangan kerja dan pendapatan dari penduduk miskin di Indonesia. Namun, dalam laporan evaluasi Bank Dunia, banyak rumah tangga dengan tingkat kemiskinan ekstrim yang memilih untuk tidak menggunakan jaringan listrik yang tersedia (Ali dan Pernia 2003).
2.5
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Meski mayoritas penduduk Indonesia pada tahun 1960-an dan 1970-an
tergolong miskin, upaya penanggulangan kemiskinan tidak secara eksplisit dicantumkan dalam tujuan pembangunan lima tahunan (Pelita I hingga V), antara tahun 1969 dan 1994. Baru pada tahun 1994, pada permulaan Pelita VI, pemerintah secara tegas mengidentifikasi sasaran upaya penanggulangan dan penghapusan kemiskinan. Dalam upaya ini, pemerintah menggunakan pendekatan langsung dan tidak langsung. Terdapat empat program utama yang dilakukan dengan pendekatan
langsung, yakni: (i) Inpres Desa Tertinggal (IDT); (ii) Program Pembangunan Kesejahteraan Keluarga (Takesra/Kukesra); (iii) Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K); (iv) Program kembar, yaitu Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Lebih lanjut, upaya dan program penanggulangan kemiskinan dilakukan pemerintah pusat dan daerah, seperti yang dituangkan dalam lima pilar penanggulangan kemiskinan antara lain (1) perluasan kesempatan, ditujukan menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial, (2) pemberdayaan masyarakat, dilakukan untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, (3) peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha, (4) perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan dan masyarakat miskin, dan (5) kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan kerjasama lokal, regional, nasional dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke -4 strategi di atas. Keseriusan pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 yang menyebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan ekonomi nasional adalah mempercepat penurunan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen pada akhir 2014. Untuk mencapainya, serangkaian kebijakan dan berbagai macam program aksi anti kemiskinan dirancang dan diimplementasikan sebagai upaya untuk membantu meringankan beban ekonomi rakyat miskin . Pada
tahun
Penanggulangan
2005
pemerintah
Kemiskinan
dengan
meluncurkan membentuk
Strategi Tim
Nasional Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang terdiri dari TKPK Nasional, TKPK Provinsi, dan TKPK Kabupaten/Kota. Tugas TKPK yaitu melakukan koordinasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan serta koordinasi pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan antar departemen. Langkah selanjutnya, pada tanggal 25 Februari 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Untuk
melaksanakan percepatan penanggulangan kemiskinan dibentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai oleh Wakil Presiden. Pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi yang diwujudkan dalam 3 paket bantuan program untuk penduduk miskin dan hampir miskin, Paket bantuan program tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Paket Bantuan Program I: Bantuan dan Perlindungan Sosial. Paket bantuan ini ditujukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, sanitasi dan air bersih. Paket ini diwujudkan dalam bentuk beras miskin (raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas yang dulunya disebut Askeskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), PKH (Program Keluarga Harapan) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
2.
Paket Bantuan Program II: Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas berpartisipasi, kesempatan kerja dan berusaha, tanah, SDA dan LH, dan perumahan.
3.
Paket Bantuan Program III: Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMKUR) yang bertujuan untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas kesempatan berusaha dan bekerja, dan SDA dan LH. Beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah diaplikasikan
mencakup beberapa bidang. Kebijakan dibidang usaha misalnya PNPM Mandiri dan Kredit Usaha Rakyat bertujuan agar pendapatan rakyat miskin meningkat. Bantuan dibidang kesehatan berupa pemberian kartu Jamkesmas tujuannya agar rakyat miskin bisa mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak tanpa harus membayar mahal. Selanjutnya program dana BOS dan beasiswa bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diberikan kepada rumah tangga miskin bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat kenaikan harga-harga barang setelah subsisdi BBM dikurangi. Program raskin bertujuan agar penduduk miskin tetap dapat mengkonsumsi beras dengan harga yang terjangkau. Kemudian kebijakan konversi bahan bakar
minyak tanah ke gas dengan memberikan kompor beserta tabung gas kepada rumah tangga miskin karena pemerintah akan mengurangi subsidi minyak tanah untuk dialihkan pada bantuan lainnya seperti dana BOS.
2.6
Kerangka Pemikiran Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia merupakan dua
kawasan yang memiliki perbedaan kondisi sosial eknomi. Kondisi sosial ekonomi yang berbeda menyebabkan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan kedua kawasan tersebut juga berbeda. Pertanyaannya adalah: (1) bagaimana kondisi sosial ekonomi di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia?; (2) faktorfaktor apa saja yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia?; (3) kebijakan seperti apa yang dibutuhkan untuk menanngialngi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama dilakukan analisis deskriptif yang menggambarkan kondisi umum di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di kedua kawasan. Lebih lanjut, memberikan uraian penyebab perbedaan kemiskinan di kedua kawasan dan merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menanggulangi kemiskinan di setiap kawasan. Secara sederhana, kerangka pemikiran dalam penelitian ini sajikan dalam Gambar 2.
Permasalahan: 1) Kemiskinan beragam di setiap kawasan; 2) Program penanggulangan kemiskinan homogen di setiap kawasan
Kemiskinan di KBI dan KTI
Deskripsi wilayah dan kondisi kemiskinan KBI dan KTI
Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di KBI dan KTI
Regresi data panel Analisis perbedaan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di KBI dan KTI
Rumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan di KBI dan KTI
Gambar 2 Kerangka pemikiran.
2.7
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan diduga berbeda antara kawasan Barat dan Timur Indonesia sehingga program kebijakan penanggulangan kemiskinan yang homogen tidak efektif menurunkan kemiskinan. 2. Jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja sektor pertanian, jumlah penduduk lulusan setingkat SMP dan pengangguran diduga akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia. Jumlah penduduk lulusan setingkat SMU, jumlah penduduk lulusan setingkat perguruan tinggi (PT), UMP, PDRB perkapita, infrastruktur jalan dan listrik diduga akan mempunyai
pengaruh negatif pada peningkatan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia. 3. Jumlah penduduk lulusan setingkat SMP, jumlah penduduk lulusan setingkat perguruan tinggi dan pengangguran diduga akan mempunyai pengaruh positif pada peningkatan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia. Jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, jumlah penduduk lulusan setingkat SMU, UMP, PDRB perkapita, infrastruktur jalan dan listrik diduga akan berpengaruh negatif pada peningkatan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia. 4. Kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia diduga
akan
lebih
difokuskan
pada
pemindahan
penduduk
(transmigrasi) dari Pulau Jawa-Bali ke Pulau Sumatera atau Kawasan Timur Indonesia. Kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia diduga akan lebih diperhatikan dari sisi ketersediaan infrastruktur dan tempat layanan publik yang memadai.