13
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Pembangunan Ekonomi Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah ini sebagai pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi seperti mempercepat pertumbuhan ekonomi dan masalah pemerataan pendapatan. Hal ini dikenal sebagai economic development is growth plus change-yaitu pembangunan ekonomi (Sukirno, 2001). Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian, yang kondisi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto. Produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara (Todaro, 2003). Selanjutnya pembangunan ekonomi menurut Jhingan (2008) diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, yaitu: a. Pembangunan sebagai suatu proses. Pembangunan sebagai suatu proses, artinya bahwa pembangunan merupakan suatu tahap yang harus dijalani oleh setiap masyarakat atau bangsa. Setiap bangsa harus menjalani tahap-tahap perkembangan untuk menuju kondisi yang adil, makmur, dan sejahtera.
14
b. Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita. Sebagai suatu usaha, pembangunan merupakan tindakan aktif yang harus dilakukan oleh suatu negara dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita. Dengan demikian, sangat dibutuhkan peran serta masyarakat, pemerintah, dan semua elemen untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Hal ini dilakukan karena kenaikan pendapatan per kapita mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat. c. Peningkatan pendapatan per kapita harus berlangsung dalam jangka panjang. Suatu perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan per kapita dalam jangka panjang cenderung meningkat. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa pendapatan per kapita harus mengalami kenaikan terus-menerus. Besarnya Gross National Product (GNP) per kapita, pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan lapangan kerja serta inflasi yang terkendali, merupakan prestasi-prestasi pembangunan yang menjadi tolok ukur utama pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh percepatan pertumbuhan ekonomi tetapi lebih pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih utuh (Kuncoro, 1997). Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan daerah diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik secara keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan menetes dengan sendiri sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai kondisi yang diperlukan demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan sosial secara lebih merata.
15
Pembangunan saat ini tidak lebih diukur dari suatu prestasi kuantitatif semata. Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata, namun memiliki perspektif yang luas. Dalam proses pembangunan dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik (Kuncoro, 1997). 2.1.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2000). Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian serta kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh pertambahan faktor-faktor produksi baik dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal dan teknologi yang digunakan juga makin berkembang. Di samping itu tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring dengan meningkatnya pendidikan dan keterampilan mereka. Salah satu sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga konstan. Laju pertumbuhan PDRB akan memperlihatkan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada ”proses”, karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena itu pemahaman indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya tahunan. Aspek tersebut relevan untuk dianalisa sehingga
16
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong aktivitas perekonomian domestik dapat dinilai efektifitasnya (Rustiono, 2008). 2.1.2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Menurut ekonom Klasik, Smith, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan stok modal. Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik, pertumbuhan ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi (Sukirno, 2001). Persamaannya adalah : Δ Y = f (ΔK, ΔL) Δ Y = tingkat pertumbuhan ekonomi Δ K = tingkat pertambahan barang modal Δ L = tingkat pertambahan tenaga kerja 2.1.3. Indeks Pembangunan Manusia Ukuran pembangunan yang digunakan selama ini, yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) dalam konteks nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam konteks regional, hanya mampu memotret pembangunan ekonomi saja. Untuk itu dibutuhkan suatu indikator yang lebih komprehensif, yang mampu menangkap tidak hanya perkembangan ekonomi akan tetapi juga perkembangan aspek sosial dan kesejahteraan manusia. Pembangunan manusia memiliki banyak dimensi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran agregat dari dimensi dasar pembangunan manusia dengan melihat perkembangannya.
17
Probowoningtyas (2011) menyebutkan penghitungan IPM sebagai indikator pembangunan manusia memiliki tujuan penting, diantaranya: 1. Membangun indikator yang mengukur dimensi dasar pembangunan manusia dan perluasan kebebasan memilih. 2. Memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran tersebut sederhana. 3. Membentuk satu indeks komposit daripada menggunakan sejumlah indeks dasar. 4. Menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan ekonomi. Indeks tersebut merupakan indeks dasar yang tersusun dari dimensi berikut ini: 1. Umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan indikator angka harapan hidup; 2. Pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; dan 3. Standar hidup yang layak, dengan indikator PDRB per kapita dalam bentuk Purchasing Power Parity (PPP). Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0 – 100,0 dengan katagori sebagai berikut : 1. Tinggi : IPM lebih dari 80,0 2. Menengah Atas : IPM antara 66,0 – 79,9 3. Menengah Bawah : IPM antara 50,0 – 65,9 4. Rendah : IPM kurang dari 50,0.
18
2.1.4. Pengeluaran Pemerintah 2.1.4.1. Pengeluaran Pemerintah Keynes Identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C + I + G merupakan pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian tertutup. Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional. Y merupakan pendapatan nasional, C merupakan pengeluaran konsumsi, dan G merupakan Pengeluaran Pemerintah. Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran
pemerintah
dalam
pembentukan
pendapatan
nasional
(Dumairy,1997). Inti dari kebijakan makro Keynes adalah bagaimana pemerintah bisa memengaruhi permintaan agregat. Dengan demikian, akan memengaruhi situasi makro agar mendekati posisi “Full Employment”-nya. Menurut Keynes untuk menghindari timbulnya stagnasi dalam perekonomian, pemerintah berupaya untuk meningkatkan jumlah pengeluaran pemerintah (G) dengan tingkat yang lebih tinggi dari pendapatan nasional sehingga dapat mengimbangi kecenderungan mengkonsumsi (C) dalam perekonomian. 2.1.4.2. Teori Wagner Wagner menyatakan dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah akan meningkat. Terutama disebabkan karena Pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya.
19
Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut organic theory of state yaitu teori yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dengan masyarakat yang lain. Menurut Wagner, ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu : 1. Tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan 2. Kenaikan tingkat pendapatan masyarakat 3. Urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi 4. Perkembangan demografi 5. Ketidakefisienan birokrasi Pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan hubungan antarindustri dan hubungan antarindustri dengan masyarakat akan semakin kompleks sehingga potensi terjadinya kegagalan eksternalitas negatif menjadi semakin besar. Namun teori Wagner memiliki kelemahan yaitu tidak didasari pada teori pemilihan barang-barang publik (Dumairy,1997). 2.1.5. Otonomi Daerah Pengertian desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah menurut Undang-undang tersebut adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
20
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini meletakkan prinsip-prinsip baru agar penyelenggaraan otonomi daerah lebih sesuai dengan prinsip demokrasi, adanya peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan berdasarkan potensi dan keanekaragaman daerah. Undang-undang tersebut memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Alasan penerapan kebijakan desentralisasi di berbagai negara umumnya adalah dalam rangka memperbaiki kinerja sektor publik demi mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan perencanaan. Selain itu, alasan desentralisasi lainnya adalah memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Alasan yang terakhir adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi daerah, dengan menyerahkan
sejumlah
kewenangan
pengelolaan
pembangunan
kepada
pemerintah daerah secara otonom (Murwito, 2008). Menurut Rasyid (2005), tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah di satu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik serta pemerintah pusat diharapkan lebih mau berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka daerah akan mengalami proses pemeberdayaan yang signifikan.
21
Kemampuan prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Di bidang politik, otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Hal ini memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif. Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan lebih tinggi dari waktu ke waktu.
22
Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin. Pengelolaan otonomi yang baik ini demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial. Selain itu, tujuan lain di bidang sosial budaya adalah memelihara nilainilai lokal yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan sekitarnya. Dalam
era
otonomi
daerah,
dengan
Undang-Undang
tentang
Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang di antaranya meliputi : a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang c. Pengendalian lingkungan hidup. 2.1.6. Tata Kelola Pemerintahan 2.1.6.1. Pengertian Good Governance Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok
masyarakat
mengutarakan
kepentingan
mereka,
menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaanperbedaan diantara mereka. Good Governance menurut Bank Dunia adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah
23
alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework
bagi
tumbuhnya
aktivitas
usaha.
Masyarakat
Transparansi
mendefinisikan Good Governance sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata „baik‟ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) menurut Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (2007) merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif, serta di dalamnya mengatur pola hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia usaha swasta dan masyarakat. Tata kepemerintahan yang baik meliputi tata kepemerintahan untuk sektor publik (good public governance) yang merujuk pada lembaga penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan tata kepemerintahan untuk dunia usaha swasta (good corporate governance), serta adanya partisipasi aktif dari masyarakat (civil society). Para pihak inilah yang sering disebut sebagai tiga pilar penyangga penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
24
Sumber: Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah 2007
Gambar 1 Pola interaksi tiga pilar good governance. Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah.
Pemerintah
berkewajiban
melakukan
investasi
untuk
mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan kesehatan dan infrastruktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya sistem demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme. Good governance sangat terkait dengan dua hal yaitu (1) good governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu (Lalolo Krina, 2003). 2.1.6.2. Prinsip Good Governance UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial),
25
manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum. Masyarakat Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti: transparansi, akuntabilitas, kewajaran dan kesetaraan, kesinambungan, partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum serta efektivitas dan efisiensi. Jelas bahwa terdapat berbagai prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik. Berbagai prinsip ini berbeda dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun ada tiga prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat. 2.1.6.3. Tata Kelola Ekonomi Daerah Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Faktor penggerak produktivitas daerah yang terbentuk pada suatu daerah merupakan sebuah mekanisme dinamika yang terjadi pada sektor swasta. Hal ini terlihat pada Gambar 2. Kompetisi dan inovasi dari adanya kehadiran perusahaan dan tenaga kerja yang berkualitas baik diharapkan dapat menciptakan tingkat
26
investasi tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak produktivitas daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik. Berdasarkan hipotesa ini, keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu menjadi sangat penting (KPPOD, 2007).
Sumber: KPPOD 2007
Gambar 2 Faktor penggerak produktivitas perekonomian daerah. Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah (Perda), diantaranya perda tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan utama, Pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Disamping itu melalui kebijakan pendapatannya, pemda diharapkan mampu mendorong kegiatan berusaha ekonomi sehingga diharapkan tercipta sejumlah pemasukan yang berasal dari pajak dan retribusi daerah yang cukup memadai. Setelah fungsi pelayanan publik mendapatkan perbaikan kualitas maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan berkelanjutan adalah penciptaan
27
keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya. Berbagai bentuk kewenangan telah didesentralisasikan dari pemerintah pusat ke pemda. Dengan demikian, pemda berperan besar dalam hal meningkatkan kompetisi antarperusahaan di daerah bersangkutan dan mendorong berbagai inovasi yang berasal dari perkembangan praktek berusaha yang mendorong
kepada
penggunaan
teknologi.
Gambar
3
menggambarkan
kemungkinan bentuk interaksi antara pihak eksekutif dalam hal ini pemda, pihak legislatif yaitu Dewa Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintah pusat yang mempengaruhi keadaan berusaha di daerah. Konsep tata kelola ekonomi daerah menyoroti sejumlah kebijakan daerah terkait dunia usaha di kabupaten/kota Indonesia. Namun kebijakan terkait dunia usaha yang dihadapi pelaku usaha sehari-hari di daerah tidak hanya dibuat oleh pemda. Didalam interaksinya terdapat kebijakan pusat yang berlaku di daerah, pihak legislatif daerah, dan pihak eksekutif daerah. Interaksi diantara ketiganya sedikit-banyak memengaruhi keadaan berusaha di suatu daerah.
Sumber: KPPOD 2007
Gambar 3 Keadaan lingkungan usaha di daerah.
28
KPPOD merumuskan beberapa indikator yang memengaruhi keadaan tata kelola ekonomi daerah. Indikator tersebut dirumuskan menjadi variabelvariabel yang digunakan dalam sembilan aspek sebagai berikut: akses lahan, infrastruktur, perizinan usaha, kualitas peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta (PPUS) serta keamanan dan penyelesaian konflik. Sembilan indikator itu yang dapat menggambarkan tata kelola ekonomi daerah. 2.1.7. Hubungan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan IPM Sumberdaya manusia merupakan faktor terpenting dalam perekonomian. Menurut Jhingan (2008), peningkatan GNP per kapita yang tinggi ternyata berkaitan erat dengan pengembangan faktor manusia sebagaimana terlihat dalam efisiensi atau poduktivitas yang melonjak di kalangan tenaga buruh. Menurut Todaro (2003), sumberdaya manusia dari suatu bangsa, bukan modal fisik atau sumber daya material, merupakan faktor paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa bersangkutan. Laporan tahunan UNDP
secara konsisten
menunjukkan bahwa
pembangunan manusia mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan pembangunan manusia tidak akan bertahan
lama
(sustainable). Agar berjalan positif dan berkelanjutan harus ditunjang oleh kebijakan sosial (social policy) pemerintah yang pro pembangunan manusia (sosial). Suryadi (1994) yang mengkaji lebih dalam mengenai peran pendidikan formal dalam menunjang perekonomian menyatakan bahwa semakin tinggi
29
pendidikan formal yang diperoleh, maka produktivitas tenaga kerja akan semakin tinggi pula. Pendidikan memiliki pengaruh terhadap peningkatan output perekonomian karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Jika setiap orang memiliki penghasilan yang lebih tinggi karena pendidikannya lebih tinggi, maka pertumbuhan ekonomi penduduk dapat ditunjang. Pembangunan sumberdaya manusia secara tepat untuk pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan cara berikut. Pertama, harus ada pengendalian atas perkembangan penduduk. Sumberdaya manusia dapat dimanfaatkan dengan baik apabila jumlah penduduk dapat dikendalikan dan diturunkan. Kedua, harus ada perubahan dalam pandangan tenaga buruh. Hanya tenaga buruh yang terlatih dan terdidik dengan efisiensi tinggi yang akan membawa masyarakat kepada pembangunan ekonomi yang tepat. 2.1.8. Hubungan Pendapatan per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Pemerintah Pengeluaran pemerintah merupakan seperangkat produk yang dihasilkan yang memuat pilihan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Pengeluaran pemerintah ini digunakan untuk menyediakan barang-barang publik dan pelayanan kepada masyarakat. Total pengeluaran pemerintah merupakan penjumlahan keseluruhan dari keputusan anggaran pada masing-masing tingkatan pemerintahan (pusat – provinsi – daerah) (Rustiono 2008). Belanja pemerintah adalah salah satu komponen pengeluaran. Jika belanja pemerintah naik sebesar ∆G, maka kurva pengeluaran yang direncanakan ke atas sebesar ∆G, seperti pada Gambar 4 ekulibrium perekonomian bergerak
30
dari titik A ke titik B, dan pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2. Gambar 4 menunjukkan bahwa kenaikan belanja pemerintah mendorong adanya kenaikan dalam pendapatan yang lebih besar, yaitu ∆Y lebih besar dari ∆G. Rasio ∆Y/∆G disebut pengganda belanja pemerintah (Mankiw 2006). Pengeluaran, E
B
∆G A
∆Y
Pendapatan, output, Y
Sumber: Mankiw (2000)
Gambar 4 Kenaikan belanja pemerintah dalam perpotongan Keynesian. 2.1.9. Hubungan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Tata Kelola Pemerintahan Hubungan tata kelola pemerintahan dengan peningkatan perekonomian hingga kini masih menjadi dilema. Namun, beberapa penelitian membuktikan bahwa ada hubungan kuat antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi. Rodrik et al (2004) meneliti hubungan institusi, integrasi ekonomi (perdagangan internasional) dan geografi terhadap pembangunan ekonomi di beberapa negara dengan menggunakan data cross section. Kualitas institusi ditemukan memiliki dampak yang lebih besar terhadap tingkat akumulasi modal fisik dibandingkan modal manusia. Semakin pentingnya peranan institusi mampu
31
memberikan insentif yang lebih kuat bagi para pelaku ekonomi untuk berinvestasi sehingga akumulasi modal fisik meningkat yang akhirnya akan meningkatkan perekonomian. Studi empiris lainnya dilakukan oleh Abdellatif (2003) menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Fakta menunjukkan ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebebasan politik (tata kelola pemerintahan yang demokratis) terhadap pertumbuhan. Dalam model yang digunakan, tata kelola pemerintahan yang demokratis memengaruhi pertumbuhan dengan menghambat tindakan korupsi dan menghendaki keterbukaan keuangan pemerintah kepada publik sehingga keuangan publik dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, tata kelola pemerintahan yang demokratis berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi hanya jika kualitas institusi meningkat. Jika tidak, tata kelola pemerintahan yang demokratis hanya memberikan dampak yang kecil terhadap pertumbuhan. Kaufmann dan Kraay (2002) memperkuat pemikiran bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi dapat bersifat dua arah. Hasil penelitian tesebut ditemukan hubungan sebab akibat yang positif yang kuat dari tata kelola pemerintahan terhadap pendapatan per kapita. Hubungan positif yang kuat tersebut berasal dari tata kelola pemerintahan yang bagus ke pendapatan per kapita yang lebih tinggi. 2.2. Penelitian Terdahulu Istiandari (2009) menganalisis tata kelola ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia dengan mengunakan metode (Ordinay Least Square (OLS). Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data
32
sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari 205 kabupaten dan kota di Indonesia. Data mengenai tata kelola ekonomi daerah tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD, data Pendapatan Asli Daerah tahun 2006 diperoleh dari Departemen Keuangan RI serta Indeks Pebangunan Manusia (IPM) tahun 2005 dari Badan Pusat Statistik. Dari pengujian secara ekonometri terlihat bahwa terdapat indikasi suatu daerah harus mencapai tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah tertentu agar tata kelola ekonomi mampu berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Selain itu, ditemukan indikasi bahwa tata kelola ekonomi daerah lebih cepat dirasakan dampaknya terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional di wilayah kota dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa tata kelola ekonomi daerah kurang lebih memiliki efek yang sama terhadap proporsi penduduk miskin baik di wilayah kota maupun kabupaten. Mengingat masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah yang ditunjukkan oleh masih banyak daerah yang belum mencapai nilai indeks tata kelola ekonomi tertentu, maka khususnya bagi daerah yang masih memiliki tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi yang kurang, perlu ditingkatkan kualitas tata kelola ekonomi di daerah tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dampak positif dari tata kelola ekonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dirasakan di daerah-daerah yang bersangkutan. Januar (2009) menganalisis keterkaitan iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi pada kasus provinsi Jawa Barat
33
dengan mengunakan metode OLS. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD serta data realisasi investasi Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara keseluruhan pelaku usaha menilai iklim usaha di Provinsi Jawa Barat sudah cukup kondusif yang terlihat dari nilai indeks TKED yang berada di atas nilai 50 persen. Lima kabupaten dan kota yang memiliki iklim investasi paling kondusif di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Sumedang. Namun pada kenyataannya, iklim investasi tersebut kurang mampu mendorong realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah investasi tahun 2007 jika dibandingkan dengan jumlah investasi tahun 2006. Jika dilihat berdasarkan distribusi penyebaran investasi di Provinsi Jawa Barat, hanya ada 16 kabupaten dan kota yang mendapatkan realisasi investasi tersebut. Ada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mendapatkan realisasi investasi terbesar, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta. Selain itu, terdapat lima indikator iklim investasi berdasarkan pelaku usaha dalam penelitian ini yang berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Jawa Barat. Kelima indikator tersebut adalah indikator interaksi
34
pemda dan pelaku usaha, indikator program pengembangan usaha swasta, dan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan indikator kapasitas dan integritas kepala daerah dan indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. McCulloch dan Malesky (2010) meneliti pengaruh tata kelola ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan data sekunder yang berasal dari dua sumber utama, yaitu data survei resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah. Pengukuran utama terhadap kinerja perekonomian adalah Produk Domestik Bruto (PDB) di tingkat daerah, baik termasuk minyak dan gas maupun tidak termasuk minyak dan gas. Metode analisis yang digunakan adalah model regresi berganda dan model panel dengan menggunakan
Indeks TKED tahun 2007. Hasil analisis
menunjukkan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan pertumbuhan daerah lebih rumit dari pandangan sekilas. Secara mengejutkan penelitian ini mengemukakan bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada hubungan statistik yang signifikan antara berbagai pengukuran tipikal tata kelola perekonomian daerah dengan kinerja pertumbuhan daerah. Hasil tersebut didorong oleh beberapa kemungkinan, yakni rendahnya kualitas data serta hasil penelitian tersebut ditutupi karena beberapa variabel struktural yang memengaruhi pertumbuhan, juga berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan daerah, tetapi tidak harus ke arah yang sama.
35
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini menganalisis setiap variabel tata kelola ekonomi daerah. Sementara semua penelitian terdahulu menganalisis indeks dan sub-indeks tata kelola ekonomi daerah yang telah dibuat oleh KPPOD. Ada 90 variabel yang diuji korelasi dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya diambil variabelvariabel yang berhubungan signifikan yang akan dimasukan ke dalam model. 2.3. Kerangka Pemikiran Peningkatan
pendapatan
per
kapita
dan
pertumbuhan
ekonomi
merupakan syarat perlu bagi pembangunan daerah. Meskipun bukan satu-satunya syarat bagi pembangunan, pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi dapat menjadi indikator yang cukup representatif. Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat besar dalam hal meningkatkan kompetisi antarperusahaan di daerah bersangkutan dan mendorong berbagai inovasi yang berasal dari perkembangan praktek berusaha yang mendorong kepada penggunaan teknologi. Dei era otonomi daerah, untuk melaksanakan pembangunan diperlukan kemandirian dan kemampuan dari pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan dana pembangunan. Dengan berbagai kewenangan yang telah didesentralisasikan,
36
pemerintah daerah seharusnya mampu optimal dalam mengelola potensi daerahnya masing-masing. Hal ini dapat diwujudkan melalui tata kelola ekonomi yang baik oleh pemerintah daerah. Selain
pemerintah
daerah,
sektor
swasta
sangat
menentukan
perekonomian daerah. Sektor swasta berperan besar dalam menggerakkan kegiatan produksi barang dan jasa di daerah dengan cara menanamkan modal di daerah tersebut guna menghimpun sumber dana untuk membiayai kegiatan produksi tersebut. Investasi diyakini mampu menggerakan perekonomian di suatu daerah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan masyarakat serta mengurangi kemiskinan. Untuk meneliti variabel-variabel tata kelola ekonomi daerah yang berhubungan secara signifikan dengan dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi, penelitian ini menggunakan analisis korelasi. Selanjutnya dilihat pengaruh variabel-variabel yang berhubungan secara signifikan terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi serta faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi PDRB per kapita. Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan rekomendasi
implementasi
kebijakan
yang
dapat
dipertimbangkan
oleh
pemerintah provinsi untuk memperbaiki kinerja perekonomian agar menjadi lebih kondusif dalam dapat mendorong PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah pada masa yang akan datang.
37
Peningkatan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi merupakan syarat perlu pembangunanan ekonomi
Perlu upaya pemerintah daerah dalam mendorong pembangunan ekonomi
Faktor-faktor yang memengaruhi PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi
Tata Kelola Ekonomi Daerah Sembilan indikator: 1. Akses Lahan 2. Infrastruktur 3. Perizinan Usaha 4. Peraturan Daerah 5. Biaya Transaksi 6. Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota 7. Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha 8. Program Pengembangan Usaha Swasta 9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik
Faktor-faktor lain (Belanja, IPM)
Implementasi Kebijakan
PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi
Gambar 5 Bagan kerangka pemikiran.
38
2.4. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diduga seluruh variabel dalam sembilan indikator tata kelola ekonomi daerah berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 2. Diduga belanja pemerintah berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 3. Diduga IPM berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.