8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Transmisi Moneter Transmisi moneter adalah mekanisme bekerjanya kebijakan moneter sampai
memengaruhi sektor riil. Mishkin (2004) menjelaskan bahwa jalur mekanisme transmisi moneter dapat terjadi melalui beberapa jalur, yaitu jalur efek suku bunga tradisional (traditional interest rate effect), jalur efek harga asset lain (other asset price effect) dan jalur kredit (credit view). Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa jalur transmisi moneter : 1. Jalur Efek Suku Bunga Tradisional (Traditional Interest Rate Effect) Ketika terjadi ekspansi kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga yang mana akan menurunkan harga dari modal (cost of capital) maka akan meningkatkan investasi dan memicu agregate demand sehingga meningkatkan output. 2. Jalur Efek Harga Asset Lain (Other Asset Price Effect) Transmisi moneter melalui jalur harga aset lain (other asset price effect) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu efek nilai tukar terhadap ekspor bersih (Exchange Rate Effect on Net Export), Teori Q Tobin (Tobin’s Q Theory) dan Efek Kesejahteraan (Wealth Effect). a.
Exchange Rate Effect on Net Export Ketika terjadi ekspansi kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga
maka akan menyebabkan aset dalam mata uang asing lebih menarik dibandingkan dengan aset domestik dalam Rupiah. Pada akhirnya nilai dari
9
aset rupiah akan menurun sehingga rupiah terdepresiasi. Nilai rupiah yang lebih rendah dibandingkan mata uang asing akan menyebabkan harga barang domestik
menjadi lebih murah dibandingkan harga barang asing sehingga
meningkatkan ekspor dan agregate output. b.
Tobin’s Q Theory Teori ini dikembangkan oleh James Tobin yang menjelaskan pengaruh
kebijakan moneter terhadap penilaian ekuitas.
Tobin mendefinisikan ‘q’
sebagai harga pasar untuk perusahaan yang dibagi dengan penggantian harga modal. Ketika nilai q tinggi maka harga pasar untuk perusahaan akan relatif tinggi dibandingkan dengan harga modalnya. Untuk itu perluasan usaha dan harga dari peralatan relatif murah sehingga dapat meningkatkan investasi. Hal ini terjadi karena perusahaan dapat mengeluarkan sedikit saham, tetapi dapat dijual dengan harga yang tinggi. Ketika terjadi ekspansi moneter maka masyarakat akan dihadapkan pada kondisi dimana terjadi kelebihan uang dibandingkan kebutuhan yang ada sehingga masyarakat akan menyalurkan dananya ke pasar saham. Permintaan saham akan meningkat dan harga saham akan naik. Harga saham yang naik akan menyebabkan q naik sehingga meningkatkan investasi dan output. c.
Wealth Effect Asumsi yang mendasari proses transmisi moneter pada jalur ini bahwa
pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh sumber daya seumur hidup (lifetime resources), bukan hanya didasari pada pendapatan yang didapat hari ini. Komponen utama sumber daya seumur hidup (lifetime resources) adalah kesejahteraan finansial, salah satunya adalah saham. Saat terjadi kontraksi
10
moneter maka harga saham akan naik, sehingga menaikan kesejahteraan dan juga menaikan konsumsi. Konsumsi yang naik akan meningkatkan ouput. 3. Jalur Kredit (Credit View) Transmisi moneter melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu penyaluran bank (bank lending channel), jalur neraca (balance sheet channel), jalur arus kas (cash flow channel), jalur tingkat harga yang tidak diantisipasi (unanticipated price level channel), dan jalur efek likuiditas rumah tangga (household liquidity effect). Mekanisme transmisi moneter melalui pinjaman bank (credit view) muncul untuk menangani masalah asimetri informasi pada pasar keuangan. Pada jalur kredit, transmisi moneter memengaruhi penyaluran dana pada perbankan serta neraca perusahaan dan rumah tangga. Pada jalur pertama, yaitu penyaluran dana dari perbankan (bank lending channel)
berangkat dari analisis bahwa bank
memiliki peran penting dalam sistem keuangan karena dapat menangani masalah informasi asimetrik pada pasar kredit. Karena peran bank yang sangat penting maka peminjam hanya dapat mengakses pasar kredit melalui bank. Dengan asumsi tidak ada substitusi sempurna diantara bank dengan sumber dana lain maka saat terjadi ekspansi moneter yang meningkatkan cadangan perbankan dan deposit bank maka akan meningkatkan ketersediaan dan kuantitas pinjaman perbankan yang tersedia.
Dengan asumsi peminjam tergantung pada pinjaman
perbankan untuk membiayai aktifitasnya, maka peningkatan pinjaman pada perbankan akan meningkatkan investasi. Secara skematik, transmisi kebijakan moneter melaui jalur pembiayaan perbankan adalah sebagai berikut,
11
Ekspansi kebijakan moneter : cadangan dan deposit bank Jika dilihat dari bagan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ketersediaan pinjaman dari bank Investasi(I) Output (Y) kebijakan moneter melalui jalur kredit bertujuan untuk mendorong investasi dari sisi supply yang direpresentasikan oleh bank sebagai lembaga intermediasi. Implikasi yang penting transmisi moneter melalui jalur kredit bahwa dengan adanya kebijakan moneter maka efek yang lebih besar akan dirasakan oleh perusahaan kecil yang mana sangat bergantung oleh pinjaman bank. Sedangkan perusahaan besar dapat mengantisipasinya dengan mencari sumber modal lain selain perbankan, yaitu melalui saham atau obligasi (Miskhin, 2009). Penyaluran dana untuk sektor UMKM dari perbankan dapat diklasifikasikan ke jalur bank lending channel karena bank memiliki peran yang penting dalam sistem keuangan, yaitu sebagai lembaga intermediasi sekaligus penyalur kredit dan pembiayaan terhadap masyarakat, termasuk kepada sektor UMKM. Dalam proses transmisinya, Bank Indonesia dapat melakukan kontraksi dan ekspansi moneter dengan menaikan atau menurunkan suku bunga kebijakan (BI Rate). Kebijakan ini akan mempengaruhi sisi liabilitas (kewajiban) bank yang di dominasi oleh dana pihak ketiga (DPK) yaitu dana masyarakat yang disimpan di perbankan. Ketika ekonomi memanas, Bank Indonesia melakukan kontraksi moneter dengan menaikan BI Rate. Kebijakan ini akan menyebabkan jumlah uang beredar di masyarakat akan turun sehingga mengakibatkan jumlah DPK juga ikut menurun. Penurunan DPK akan mengakibatkan penurunan ketersediaan dana yang siap disalurkan oleh perbankan, salah satunya dalam bentuk kredit. Untuk
12
meningkatkan DPK perbankan akan cenderung menaikan suku bunga dana seperti tabungan dan deposito sehingga berakibat pada kenaikan suku bunga kredit. Permintaan terhadap kredit baru cenderung turun karena suku bunga kredit yang meningkat dan menyebabkan investasi turun dan pertumbuhan ekonomi melambat. Bank Indonesia juga dapat melakukan kontraksi moneter dengan peningkatan Giro
Wajib
Minimum (GWM).
Peningkatan
GWM
akan
mempengaruhi sisi liabilitas perbankan secara langsung sehingga dana yang siap disalurkan juga akan cenderung menurun. Hal ini juga akan meningkatkan suku bunga kredit dan menurunkan permintaan terhadap kredit baru sehingga investasi juga menurun. Investasi yang menurun akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
2.2. Instrumen Moneter Dalam menjalankan kebijakan moneter Bank Indonesia memiliki beberapa instrumen moneter yaitu Operasi Pasar Terbuka atau Open Market Operation (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM), Fasilitas Diskonto, dan Intervensi Mata Uang Asing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa instrumen moneter yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam menjalankan operasi moneternya: a. Operasi Pasar terbuka adalah kegiatan jual beli surat berharga oleh bank sentral yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Operasi ini memiliki dua aktivitas didalamnya, yaitu jual dan beli suratsurat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Kedua instrumen ini digunakan sebagai
13
instrumen utama dalam kebijakan moneter antara lain karena Bank Indonesia memiliki SBI dalam jumlah yang memadai untuk mengeksekusi keputusan kontraksi atau ekspansi moneter yang diambil setelah mempertimbangkan tekanan terhadap inflasi. Selain itu SBI memenuhi tiga syarat utama likuiditas surat berharga yang dapat diperjualbelikan dalam operasi pasar terbuka dan diterbitkan secara kontinyu serta tersedia setiap saat (Sugiyono, 2003). b. Giro Wajib Minimum (Reserve Requirement) Giro Wajib Minimum adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat likuid sebesar presentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil presentase tersebut maka semakin besar kemampuan bank memanfaatkan cadangannya untuk diberikan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman dan begitu juga sebaliknya. c. Fasilitas Diskonto Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter bank sentral untuk memengaruhi jumlah uang beredar melalui penetapan diskonto pinjaman bank sentral kepada bank-bank. Dengan penetapan diskonto yang tinggi diharapkan bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral yang akibatnya akan mengurangi jumlah uang beredar. d. Intervensi Mata Uang Asing Intervensi mata uang asing adalah kebijakan bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui jual beli valuta asing atau cadangan devisa. Apabila bank sentral ingin
14
mengetatkan likuiditas rupiah di pasar uang, bank sentral akan menjual cadangan devisanya. Peraturan Bank Indonesia nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menyatakan bahwa SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. SBI ditebitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu piranti dalam Operasi Pasar Terbuka (OPT). Sedangkan Peraturan Bank Indonesia nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah menyatakan bahwa SBIS adalah surat berharga bedasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan Akad Jua’lah. SBIS dibuat oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan efektifitas mekanisme moneter dengan prinsip syariah. Kedua instrumen ini memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai instrumen Operasi Pasar Terbuka dalam rangka pengendalian moneter dengan tujuan akhir kestabilan nilai rupiah dan tingkat inflasi. Penggunaan akad Jua’alah pada Sertifikat Bank Indonesia Syariah berarti suatu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberi imbalan tertentu (ju’ul) atas hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu
pekerjaan. Dalam hal ini Bank
Indonesia bertindak sebagai pemberi pekerjaan (Ja’il), bank syariah bertindak sebagai penerima perkerjaan (Maj’ullah) dan objek/ underlying Ju’alah (mahall al-‘aqd) adalah partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan waktu tertentu. Di dalam prakteknya yaitu saat Bank Indonesia akan melakukan transaksi lelang SBIS maka
15
Bank Indonesia akan mengumumkan bahwa Bank Indonesia akan melakukan kebijakan moneternya yaitu akan menyerap likuiditas yang beredar di masyarakat. Maka bank syariah akan membeli SBIS tersebut dan mendapatkan imbalan tertentu. Jumlah nominal Ju’ul atau imbalannya harus dibayarkan oleh Ja’il yang ditetapkan saat terjadinya akad dan harus disepakati oleh kedua belah pihak. Tingkat suku bunga pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) nantinya akan digunakan sebagai proksi bagi kebijakan moneter, oleh karenanya perubahan pada tingkat suku bunga SBI diharapkan mampu memberi pengaruh pada tingkat suku bunga kredit. Dengan kata lain tingkat suku bunga SBI dijadikan barometer untuk menentukan tingkat suku bunga deposito, kemudian suku bunga pinjaman akan merespon perubahan tersebut (Muslim, 2008).
Sumber: Ascarya (2011) Gambar 2.1. Alur Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia Dengan semakin berkembangnya perbankan syariah, transmisi kebijakan moneter tidak hanya mempengaruhi perbankan konvensional saja, namun juga memengaruhi perbankan syariah karena mekanisme transmisi juga dapat melewati
16
jalur syariah. Instrumen kebijakan moneter ganda juga tidak terbatas hanya menggunakan suku bunga saja, tetapi dapat pula menggunakan bagi hasil atau margin. Dengan demikian, dalam sistem moneter ganda, interest rate passthrough lebih tepat disebut policy rate pass-through, dimana policy rate untuk konvensional menggunakan suku bunga, sedangkan policy rate untuk syariah dapat menggunakan bagi hasil atau margin (Ascarya, 2012). Dalam sistem perbankan syariah di Indonesia terdapat hubungan antara sistem moneter yang ada di Indonesia dengan sistem perbankan syariah, yaitu dengan keikutsertaan perbankan syariah di dalam kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter utama. Bank Indonesia menyatakan bahwa cara-cara pengendalian moneter di Indonesia bisa dilakukan berdasarkan prinsip Syariah yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Triandaru, 2006).
2.3.
Teori Preferensi Likuiditas Teori
Preferensi
Likuiditas
menyatakan
bahwa
tingkat
bunga
menyesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan uang. Jika M adalah penawaran uang dan P adalah tingkat harga maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori ini mengasumsikan adanya penawaran uang riil yang tetap dan menegaskan bahwa tingkat bunga adalah sebuah determinan dari berapa banyak uang yang ingin dipegang oleh masyarakat. Alasannya adalah bahwa tingkat bunga adalah biaya peluang (opportunity cost) dari memegang uang, yaitu biaya yang harus ditanggung karena memegang sebagian aset dalam bentuk uang (yang tidak mendapatkan bunga) atau dalam deposito atau obligasi.
17
Ketika tingkat bunga naik, orang-orang ingin memegang uang dalam jumlah yang lebih sedikit. Hal ini menunjukan bahwa fungsi bahwa permintaan uang riil dipengaruhi oleh suku bunga (Mankiw, 2007). Tingkat bunga akan menyesuaikan untuk menyeimbangkan pasar uang, dimana jumlah uang riil yang diminta sama dengan jumlah penawarannya. Penyesuaian terjadi karena ketika terjadi ketidakseimbangan pada pasar uang maka masyarakat akan berusaha menyesuaikan aset mereka dan dalam prosesnya mengubah suku bunga. Misalnya, apabila tingkat bunga diatas keseimbangan maka jumlah uang riil yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Oang-orang yang memegang yang kelebihan penawaran uang berusaha untuk mengubah sebagian diantaranya menjadi deposito atau obligasi. Bank-bank dan penerbit obligasi yang lebih suka membayar tingkat bunga yang lebih rendah merespon kelebihan uang dengan mengurangi tingkat bunga, begitu juga sebaliknya. Hal ini digambarkan dalam kurva berikut: Tingkat bunga, r
Penawaran
Tingkat bunga ekuilibrium Permintaan, L(r)
M/P
Keseimbangan uang riil, M/P
Sumber: Mankiw, 2007 Gambar 2.2. Kurva Permintaan dan Penawaran Uang
18
2.4.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Usaha mikro kecil dan menengah memiliki beberapa definisi dari beberapa
lembaga dan institusi terkait yang mendefinisikannya dengan berbagai kriteria, antara lain: a. Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, pengertian UMKM adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha lain. UMKM dikelompokan menjadi tiga usaha berdasarkan kriteria asset dan omzet yang dimiliki, kriterianya adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Kriteria UMKM Menurut UU Nomor 20 Tahun 2008 Kriteria No
Uraian Asset
Omzet
1
Usaha Mikro
Max 50 juta
Max 300 juta
2
Usaha Kecil
>50juta-500juta
>300juta-2,5 Miliar
3
Usaha Menengah >500 juta-10 Miliar
>2,5 Miliar -50 Miliar
Sumber: UU Nomor 20 Tahun 2008 b. Berdasarkan kriteria Bank Indonesia, UMKM di bagi berdarkan jumlah kredit yang diterima. Usaha mikro adalah usaha yang dapat menerima kredit hingga Rp 50 juta. Sedangkan usaha kecil adalah usaha yang dapat menerima kredit mulai dari Rp 50 juta hingga Rp 500 juta dan usaha
19
menengah adalah usaha yang dapat menerima kredit dari Rp 500 juta sampai Rp 5 Miliar. c. Berdasarkan Badan Pusat Statistik, UMKM dibagi berdasarkan jumlah tenaga
kerja
yang
dipakai.
Usaha
mikro
adalah
usaha
yang
mempekerjakan maksimal lima orang pekerja keluarga. Usaha kecil adalah usaha yang mempekerjakan lima sampai sepuluh orang pekerja. Sedangkan usaha menengah adalah usaha yang mempekerjakan 20 sampai 99 orang.
2.5.
Teori Bank Syariah dan Bank Konvensional Bank adalah salah satu badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Seperti yang dipaparkan dalam undang-undang No.10 Tahun 1998 bahwa fungsi dari perbankan adalah sebagai lembaga intermediasi atau penghubung antara sektor keuangan dan sektor riil. Perbankan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu bank syariah dan konvensional. Perbankan syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari olah larangan dalam agama Islam untuk memungut atau meminjam bunga yang dikenal dengan istilah riba. Perbankan syariah juga hanya melakukan investasi pada usaha yang dikategorikan halal. Selain itu, perbankan syariah menerapkan prinsip bagi hasil yang saling menguntungkan antara pihak bank dan masyarakat
20
dengan menjunjung tinggi asas keadilan, etika, persaudaraan, dan menghindari transaksi spekulatif. Dalam beberapa hal terdapat persamaan antara bank konvensional dan bank syariah antara lain dari teknis penerimaan uang, mekanisme transfer dan pembuatan laporan keuangannya. Tetapi terdapat beberapa perbedaan mendasar yang membedakan kedua perbankan ini. Perbedaan yang ada dapat di rangkum dalam Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2. Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional Pembeda Bank Konvensional Bank Syariah Akad dan Aspek Legalitas
Konsekuensi
Konsekuensi duniawi dan
duniawi
ukhrawi
Lembaga penyelesaian sengketa
Peradilan Negeri
dengan Nasabah
Struktur Organisasi
Komisaris dan Direksi
Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) Terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional (DSN)
Investasi yang halal
Hanya melakukan investasi
dan haram
yang halal
Debitur-Kreditur
Kemitraan
Prinsip
Bunga
Bagi Hasil, Jual Beli dan Sewa
Tujuan
Profit Oriented
Profit dan Falah Oriented
Investasi Hubungan dengan Nasabah
Sumber: Antonio (1999) Salah satu cara yang dilakukan bank konvensional dalam menyalurkan dana terhimpun adalah dengan kredit. Kredit yang diberikan dapat berupa kredit korporasi atau kredit UMKM, dan pihak bank akan mendapatkan bunga atas harga uang yang telah dipinjamkan. Sedangkan pada bank syariah, istilah yang
21
digunakan dalam penyaluran dana adalah pembiayaan dan sistem yang digunakan adalah sistem bagi hasil. Beberapa contoh pembiayaan dan produk yang biasa dilakukan bank syariah adalah: 1. Produk dengan prinsip jual beli antara lain murabahah, salam, dan istisna. 2. Produk dengan prinsip bagi hasil antara lain musyarakah, mudharabah, dan rahn. 3. Produk dengan prinsip sewa antara lain ijarah. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa definisi produk perbankan syariah yang digunakan dalam penelitian ini: a. Al-Musyarakah : Pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. b. Al-Mudharabah : Akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Dana keuntungan usaha bagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. c. Al-Murabahah : menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai laba (Fatwa DSN-MUI). Menurut Wulandari (2010) pada kenyataannya sistem pada bank syariah dan konvensional tidak terpisah karena adanya interaksi antara bank syariah dan konvensional melalui beberapa hal. Interaksi tersebut antara lain dalam hal memperebutkan nasabah, adanya kesamaan pola kredit atau pembiayaan dan
22
persamaan dalam tabungan. Untuk itu piranti kebijakan konvensional seperti SBI, Giro Wajib Minimum dan intervensi rupiah tidak hanya mempengaruhi bank kovensional, tetapi juga mempengaruhi bank syariah. Begitu juga sebaliknya, piranti kebijakan syariah seperti SBIS/SWBI dan Giro Wajib Minimum Syariah juga mempengaruhi bank konvensional.
2.6.
Pembiayaan dan Kredit Perbankan Berdasarkan
Undang-undang
Perbankan
Syariah
No.
21/2008,
pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil, sewa menyewa, jual beli atau pinjam meminjam berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana tersebut untuk mengembalikan dana tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil. Antonio (2001) menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok dari bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan di bagi menjadi dua hal: a. Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan. b. Pembiayaan Produktif,
yaitu pembiayaan yang
ditunjukan untuk
memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut
23
keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi. Pada pembiayaan modal kerja, terdapat perbedaan antara sistem yang dipakai pada bank syariah dan konvensional. Bank konvensonal memberikan kredit modal kerja tersebut dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponenkomponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan dalam waktu tertentu. Sedangkan pada bank syariah, dalam memenuhi seluruh kebutuhan untuk mendanai modal kerja bukan dengan meminjamkan uang, tetapi dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal) dan nasabah sebagai (mudharib) atau biasa dikenal dengan istilah mudharabah atau trust financing. Berdasarkan
Undang-undang
No.7
Tahun
1992
tentang
perbankan
menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak pinjam meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Kredit perbankan dapat diklasifikasikan berdasarkan berdasarkan beberapa kriteria yaitu: a. Berdasarkan jangka waktunya, yaitu kredit jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. b. Berdasarkan tujuan penggunaan dananya, yaitu kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi.
24
c. Berdasarkan golongan atau segmentasinya, yaitu kredit di sektor UMKM dan non-UMKM
2.7.
Konsep Bunga dan Profit Loss Sharing Suku bunga adalah salah satu komponen utama dalam kebijakan ekonomi
konvensional yang berarti biaya yang harus dibayarkan oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Sedangkan bagi hasil adalah komponen terpenting dalam sistem moneter syariah dan merupakan cerminan dari kinerja sektor riil. Dengan adanya sistem bagi hasil makan distribusi kekayaan dan pendapatan akan semakin merata sehingga sektor riil akan tumbuh (Ayuniyyah, 2010). Terdapat beberapa perbedaan yang sangat mendasar antara suku bunga dan bagi hasil, perbedaanya antara lain adalah sebagai berikut: Tabel 2.3 Perbedaan Sistem Bunga dan Bagi Hasil Bunga
Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada akad
Penentuan besarnya rasio atau nisbah
dengan asumsi selalu untung
bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada keadaan untung dan rugi
Besarnya presentase berdasarkan
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
jumlah modal yang dipinjamkan
pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap walaupun
Bagi hasil tergantung pada keuntungan,
proyek yang dijalankan nasabah
jika rugi maka akan di tanggung
mengalami kerugian
bersama
Sumber: Antonio(1999)
25
Pada bank syariah terdapat dua jenis keuntungan yang didapat dari pembiayaan yang diberikan, yaitu margin keuntungan dan bagi hasil. Margin keuntungan adalah persentase tertentu yang ditetapkan oleh perbankan syariah terhadap produk pembiayaan yang berbasis Natural Certainty Contract atau akad bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu seperti murabahah, ijarah, salam dan istisna. Sedangkan bagi hasil adalah nisbah yang ditetapkan terhadap produk-produk pembiayaan yang berbasis Natural Uncertainty Contract atau akad bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah maupun waktunya seperti musyarakah dan mudharabah (Karim, 2010).
2.8. Teori Keuangan Syariah Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, uang bukanlah capital dan uang merupakan sesuatu yang bersifat flow concept. Hal ini sejalan dengan konsep yang diajukan oleh Fisher, yaitu: MV=PT dengan M adalah jumlah uang beredar, V adalah tingkat perputaran uang, P adalah tingkat harga barang dan T adalah jumlah uang yang diperdagangkan. Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa semakin cepat perputaran uang maka semakin besar pendapatan yang akan diperoleh. Fungsi permintaan uang dalam Islam pada dasarnya hanya memiliki dua motif yaitu motif transaksi dan berjaga-jaga. Perbuatan yang mengarah kepada motif spekulasi dilarang oleh Islam sehingga instrumen moneter Islam yang ada
26
diarahkan penggunaannya terhadap uang yang memiliki tujuan yang bersifat penting dan mendesak serta investasi yang produktif dan efisien (Karim, 2008). Sistem keuangan Islam hadir untuk memberikan berbagai jasa keuangan yang berkontribusi secara pantas kepada pencapaian tujuan sosio-ekonomi yang utama
yaitu kesejahteraan ekonomi, kesempatan kerja, keadilan, distribusi
pendapatan yang wajar, dan stabilitas nilai uang (Algaoud, 2001). Dari segi perspektif Islam tujuan utama perbankan dan keuangan Islam adalah: 1. Penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaharuan semua aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip Islam. 2. Pencapaian distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar serta pembangunan ekonomi yang menguntungkan semua pihak yang terlibat
2.9. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai mekanisme transmisi moneter melalui jalur kredit atau pinjaman sudah cukup banyak dilakukan. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Rusydiana (2009), yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi SWBI yang ditetapkan bank Indonesia maka akan semakin rendah pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah. Selain itu terdapat hubungan yang negatif antara pembiayaan syariah dan SBI. Semakin tinggi SBI akan menyebabkan penurunan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan jika bank sentral menaikan suku bunga maka akan memicu perbankan konvensional untuk menaikan suku bunganya, baik pinjaman maupun deposito. Oleh karena itu, daya saing perbankan syariah akan turun dan menjadi kurang kompetitif.
27
Selain itu, penelitian yang dilakukan Ayyuniah (2010) bahwa instrumen moneter konvensional memberikan guncangan yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor riil dibandingkan dengan instrumen moneter syariah karena proporsi instrumen konvensional yang masih mendominasi sampai dengan 97 persen dari share perbankan nasional Indonesia. Akan tetapi, instrumen moneter syariah memiliki karakteristik yang lebih stabil dibandingkan dengan variabel moneter
konvensional
karena
lebih
cepat
menemukan titik
kestabilan
dibandingkan dengan instrumen moneter konvensional. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter baik ekspansif maupun kontraktif dengan instrumen suku bunga SBI, tidak mampu mempengaruhi jumlah penawaran kredit investasi perbankan umum, hal ini menjadi bukti bahwa kebijakan moneter melalui jalur bank lending tidak berlangsung di Indonesia selama periode 20012007. Penelitian lain dilakukan oleh Muslim (2008), dari hasil pengujian VAR/VECM terdapat hubungan negatif antara SBI terhadap penawaran kredit investasi, selain itu suku bunga kredit berpengaruh positif terhadap penawaran kredit. Disamping itu, penawaran kredit investasi oleh perbankan secara positif dipengaruhi oleh tingkat permodalan. Akan tetapi, dalam jangka panjang kredit investasi secara signifikan dipengaruhi oleh struktur keuangan perbankan itu sendiri yang mana jika perbankan diberikan penawaran kredit sebesar satu miliar maka penawaran kredit investasi akan meningkat sebesar 0,77 Miliar Rupiah. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Wulandari (2008) yang
menyatakan bahwa penawaran kredit perbankan dipengaruhi secara signifikan dan negatif oleh SBI sebagai instrumen moneter.
28
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Oliver Wurzbug (2003) dengan studi kasus di negara Jerman menyatakan bahwa pinjaman yang diberikan bank memiliki hubungan yang positif terhadap suku bunga pinjaman dan modal, tetapi memiliki hubungan yang negatif dengan instrumen moneter. Dengan metode IRF, guncangan pada kebijakan moneter akan dengan cepat menurunkan pinjaman dari perbankan karena bank akan mengalami penurunan keuntungan dan modal.
2.10.
Kerangka Pemikiran Konseptual Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia
Instrumen Moneter Konvensional
Bunga Bank Konvensional Kredit
Instrumen Moneter Syariah
Profit dan Loss Sharing Bank Syariah
Pembiayaan
Kredit UMKM
Pembiayaan UMKM
Instrumen mana yang lebih berpengaruh dalam peyaluran dana ke sektor UMKM
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual
Hubungan antara permasalahan dan tujuan penelitian digambarkan dalam diagram kerangka pemikiran konseptual pada Gambar 2.3. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional
29
terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM di Indonesia. Instrumen moneter yang dimaksud adalah SBI dan SBIS. Sedangkan penyaluran dana digambarkan dengan pembiayaan dari perbankan syariah dan kredit dari perbankan konvensional. Sebagai saluran transmisinya digunakan besarnya bagi hasil dan suku bunga kredit.
2.11. Hipotesis Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. SBI dan SBIS berpengaruh negatif terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM. 2. Pembiayaan UMKM dari perbankan syariah lebih cepat stabil ketika terjadi guncangan moneter dibandingkan dengan kredit UMKM dari perbankan konvensional.