II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Akses Kredit Masyarakat Miskin Pada Sektor Keuangan Hambatan utama masyarakat miskin ketika mencoba untuk mendapatkan
pinjaman dari lembaga keuangan formal adalah adanya permintaan jaminan oleh lembaga keuangan. Dalam proses perolehan pinjaman harus melalui birokrasi yang banyak, sehingga untuk bisa mendapatkan pinjaman membutuhkan biaya transaksi yang tidak sedikit. Hambatan-hambatan tersebut harus diatasi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat di pedesaankhususnya kelompok masyarakat miskin terhadap akses pada lembaga keuangan. Secara umum, lembaga keuangan formal menunjukkan preferensi tinggi pada daerah perkotaan daripada perdesaan, dengan transaksi skala besar daripada transaksi skala kecil, dan non-pertanian daripada pertanian (Mehrteab, 2004). Lembaga keuangan formal, memiliki sedikit perhatian kepada orang miskin pedesaandalam hal memberikan pinjaman karena alasan sebagai berikut:
Petani kecil di pedesaanhidup tersebar di daerah, dengan fasilitas komunikasi yang tidak baik, yang berpengaruh dalam administrasi sehingga untuk dapat mengakses kredit akan sulit. Hal ini juga menghambat pencapaian kreditur karena pasar sekitar pedesaanrelatif kecil.
Produksi pertanian tergantung cuaca yang dikaitkan dengan risiko sistemik, seperti kekeringan dan banjir.
12
Tidak adanya informasi yang standar seperti laporan keuangan atau sejarah kredit di daerah perdesaan.
Ada kemungkinan bahwa pembayaran kredit dapat dilakukan hanya sekali, yaitu pada saat musim panen. Di sisi lain, akses pinjaman informal relatif mudah dan tersedia secara
lokal untuk rumah tangga berpendapatan rendah dengan alasan berikut:
Peminjam informal menggunakan kontrak kredit untuk mengurangi risiko default.
Peminjam informal memiliki informasi lokal untuk menilai kelayakan kredit dan kebutuhan rumah tangga (pengetahuan tentang pasar kredit mikro).
Peminjam informal bersedia untuk menangani pinjaman dalam jumlah kecil.
Peminjam informal akan mendapatkan keuntungan dari sanksi sosial. Sanksi-sanksi ini dapat berfungsi sebagai pengganti penegakan hukum.
Peminjam informal menggunakan insentif tertentu untuk melancarkan pembayaran, seperti meminjamkan kembali kepada peminjam yang segera melunasi, sehingga dengan secara bertahap akan meningkatkan besaran pinjaman.
2.2.
Program PUAP Program PUAP dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2007 dan
terlaksana pada tahun 2008. Adapun yang melandasi lahirnya program PUAP oleh kementerian pertanian ini yaitu perlunya upaya yang sistemik dalam mengurangi
13
kemiskinan dan mengurangi pengangguran di Indonesia (PUAP, 2010). Masyarakat miskin Indonesia dominan berada di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani, baik petani pemilik, penggarap, ataupun buruh tani. Permasalahan modal menjadi pokok utama untuk dapat menggerakkan perekonomian di daerah pedesaan. Adapun pada program PUAP ini dapat digunakan untuk usaha on-farm dan off-farm. 2.2.1. Tujuan, Sasaran, Indikator Keberhasilan PUAP Tujuan Program PUAP yaitu untuk: 1)
Mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di pedesaansesuai dengan potensi wilayah.
2)
Meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, Pengurus Gapoktan, Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani.
3)
Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi pedesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis.
4)
Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan.
1)
Sasaran dari Program PUAP yaitu: Berkembangnya usaha agribisnis di 10.000 desa miskin yang terjangkau sesuai dengan potensi pertanian desa.
2)
Berkembangnya 10.000 Gapoktan atau Poktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani.
14
3)
Meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani atau peternak (pemilik dan atau penggarap) skala kecil, buruh tani.
4)
Berkembangnya usaha agribisnis petani yang mempunyai siklus usaha harian, mingguan, maupun musiman.
1)
Indikator keberhasilan output antara lain: Tersalurkannya dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) PUAP kepada petani, buruh tani dan rumah tangga tani miskin anggota Gapoktan sebagai modal untuk melakukan usaha produktif pertanian.
2)
Terlaksananya fasilitasi penguatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia pengelola Gapoktan, Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani.
1)
Indikator keberhasilan outcome antara lain: Meningkatnya kemampuan Gapoktan dalam memfasilitasi dan mengelola bantuan modal usaha untuk petani anggota baik pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani.
2)
Meningkatnya jumlah petani, buruh tani dan rumah tangga tani yang mendapatkan bantuan modal usaha.
3)
Meningkatnya aktivitas kegiatan agribisnis (hulu, budidaya dan hilir) di pedesaan.
4)
Meningkatnya pendapatan petani (pemilik dan atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani dalam berusaha tani sesuai dengan potensi daerah.
15
1)
Indikator benefit dan Impact antara lain: Berkembangnya usaha agribisnis dan usaha ekonomi rumah tangga tani di lokasi desa PUAP.
2)
Berfungsinya Gapoktan sebagai lembaga ekonomi petani di pedesaan yang dimiliki dan dikelola oleh petani.
3)
Berkurangnya jumlah petani miskin dan pengangguran di pedesaan.
2.2.2. Pola Dasar dan Strategi Pelaksanaan Puap
Pola Dasar Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran
dana BLM PUAP
kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif
petani dalam mendukung 4 (empat) sukses Kementerian Pertanian yaitu: 1) Swasembada dan swasembada berkelanjutan, 2) Diversifikasi pangan, 3) Nilai tambah, Daya saing dan Ekspor, dan 4) Peningkatan kesejahteraan petani. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, komponen utama dari pola dasar pengembangan PUAP adalah 1) Keberadaan Gapoktan, 2) Keberadaan Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani sebagai pendamping, 3) Pelatihan bagi petani, pengurus Gapoktan, dan 4) penyaluran dana BLM kepada petani (pemilik dan atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani.
Strategi PUAP Strategi dasar PUAP adalah pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
PUAP, pengoptimalan potensi agribisnis di desa miskin yang terjangkau, penyediaan fasilitas modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah tangga tani miskin dan penguatan kelembagaan Gapoktan.
16
Sedangkan
strategi
Operasional
Pengembangan
Usaha
Agribisnis
Perdesaan (PUAP) adalah: 1)
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan PUAP, dilaksanakan melalui: a) pelatihan bagi petugas pembina dan pendamping PUAP, b) rekrutmen dan pelatihan bagi Penyuluh dan PMT, c) pelatihan bagi pengurus Gapoktan, dan d) pendampingan bagi petani oleh penyuluh dan PMT.
2)
Optimalisasi potensi agribisnis di desa miskin yang terjangkau dilaksanakan melalui: a) identifikasi potensi desa, b) penentuan usaha agribisnis (hulu, budidaya dan hilir) unggulan, dan c) penyusunan dan pelaksanaan RUB berdasarkan usaha agribisnis unggulan.
3)
Fasilitasi modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah tangga tani miskin kepada sumber permodalan dilaksanakan melalui: a) penyaluran BLM PUAP kepada pelaku agribisnis melalui Gapoktan, b) pembinaan teknis usaha agribisnis dan alih teknologi, dan c) fasilitasi pengembangan kemitraan dengan sumber permodalan lainnya.
4)
Penguatan kelembagaan Gapoktan dilaksanakan melalui: a) pendampingan Gapoktan oleh Penyuluh Pendamping, b) pendampingan oleh PMT di setiap kabupaten atau kota,
dan c) fasilitasi peningkatan kapasitas
Gapoktan menjadi lembaga ekonomi yang dimilki dan dikelola petani. 2.2.3. Ruang Lingkup dan Prosedur Penyaluran Dana Kegiatan PUAP
Ruang Lingkup Kegiatan PUAP Ruang lingkup kegiatan PUAP meliputi: 1) Identifikasi dan verifikasi
17
Desa calon lokasi serta Gapoktan penerima BLM PUAP, 2) Identifikasi, verifikasi dan penetapan Desa dan Gapoktan penerima BLM PUAP, 3) Pelatihan bagi fasilitator, penyuluh pendamping, pengurus Gapoktan, 4) Rekrutmen dan pelatihan bagi PMT, 5) Sosialisasi dan
Koordinasi Kegiatan PUAP, 6)
Pendampingan, 7) Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat, 8) Pembinaan dan Pengendalian, 9) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan. 1.
Prosedur Penyaluran BLM PUAP Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Pusat Pembiayaan Pertanian melakukan proses penyaluran dana BLM PUAP kepada Gapoktan sesuai dengan persyaratan dan kelengkapan dokumen yang telah ditetapkan.
2.
Penyaluran dana BLM – PUAP dilakukan dengan mekanisme Pembayaran Langsung (LS) ke Rekening Gapoktan.
3.
Surat Perintah Membayar (SPM-LS) diajukan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta V dengan lampiran : i.
Ringkasan
Keputusan
MENTERI
PERTANIAN
tentang
penetapan desa dan Gapoktan. ii.
Rekapitulasi dokumen dari Tim Pembina PUAP Provinsi.
iii.
Kwitansi yang sudah ditandatangani Ketua Gapoktan dan diketahui/disetujui oleh Tim Teknis Kabupaten/Kota
dengan
meterai Rp 6.000 (enam ribu rupiah). 4.
Penyaluran dana BLM PUAP dari KPPN Jakarta V ke rekening Gapoktan melalui penerbitan SP2 diatur lebih lanjut oleh Kementerian Keuangan.
18
Sumber: Pedoman PUAP, 2010
Gambar 2.1 Prosedur Penyaluran Dana PUAP
Untuk menjamin pelaksanaan PUAP dapat berjalan sesuai dengan sasaran dan tujuan, Tim PUAP Pusat membentuk Tim Pengaduan masyarakat untuk menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat tersebut kepada pihak yang berwenang, Tim Pembina PUAP Provinsi dan Tim Teknis Kabupaten atau Kota diharapkan dapat bekerja sama dengan anggota tim untuk melakukan fungsi pengendalian. 2.2.4. Gabungan Kelompok Tani Menurut
Departemen
Pertanian
(2010) mendefinisikan Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi
19
wilayah. Gapoktan terdiri dari atas kelompok tani yang ada dalam wilayah administrasi desa. 2.2.4. Kelompok Tani Menurut Departemen Pertanian (2008), kelompok tani diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani yang terdiri dari petani dewasa (pria atau wanita) maupun petani taruna (pemuda atau pemudi), yang terikat secara informal dalam suatu wilayah atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama, kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. 2.2.5. Agribisnis Menurut Departemen Pertanian (2010), Agribisnis
adalah
rangkaian
kegiatan usaha pertanian yang terdiri atas 4 (empat) subsistem, yaitu (a) subsistem hulu yaitu
kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi (input)
pertanian, (b) subsistem pertanian primer yaitu kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan subsistem hulu, (c) subsistem agribisnis hilir yaitu yang mengolah dan memasarkan komoditas pertanian, dan (d) subsistem penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa penunjang antara lain permodalan, teknologi dan lain-lain. Banyak masalah dan kendala yang dihadapi para petani sebagai pelaku agribisnis. Masalah paling strategis yang dihadapi oleh petani Indonesia yaitu akses terhadap modal atau kapital. Dengan akses pemodalan, perluasan aset, diiringi dengan usaha peningkatan produktivitas, maka pendapatan petani akan cepat mengingkat, ekonomi pedesaanakan maju sehingga Indonesia akan menjadi
20
bangsa mandiri (Nainggolan, 2005). Sebagai negara agraris, keunggulan komparatif Indonesia adalah agribisnis. Keunggulan komparatif merupakan fundamental perekonomian yang perlu didayagunakan melalui pembangunan ekonomi sehingga menjadi keunggulan pesaing. Usaha pertanian Indonesia merupakan sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat. 2.2.6. Konsep Usaha Pertanian Budidaya (on-farm) dan Non-Budaya (offfarm) 1)
Konsep Usaha Pertanian Budidaya (On-Farm) Salah satu subsistem dalam agribisnis yaitu budidaya (on-farm) atau yang
dikenal dengan proses produksi atau budidaya tanaman yang merupakan proses usaha bercocok tanam atau budidaya di lahan untuk menghasilkan bahan mentah (raw material). Bahan segar tersebut dijadikan bahan baku untuk menghasilkan bahan setengah jadi (work in process) atau barang jadi (finished product) di industri-industri pertanian atau dikenal dengan nama agroindustri. Di dalam program PUAP yang menjadi bagian off-farm yaitu budidaya pangan, budidaya hortikultura, perkebunan, dan peternakan. 2)
Konsep Usaha Pertanian Non-Budidaya (Off-Farm) Agribisnis juga mengedepankan aspek bisnis dan pelaku bisnisnya. Dilihat
dari sudut pandang ini, agribisnis dapat diartikan sebagai kegiatan yang terkait dengan pertanian yang pengelolaan organisasinya dilakukan secara rasional dan dirancang untuk mendapatkan nilai tambah komersial yang menghasilkan barang dan jasa. Oleh karena itu, dalam agribisnis proses transformasi material yang
21
diselenggarakan tidak terbatas pada budidaya, tetapi juga proses pra usahatani, pascapanen, pengolahan, dan niaga yang secara struktural diperlukan untuk memperkuat bargaining position dalam interaksi dengan mitra transaksi di pasar. Kegiatan-kegiatan tersebut disebut sebagai kegiatan off-farm, dalam program PUAP yaitu Industri Rumah Tangga Pertanian, Pemasaran Hasil Pertanian Skala Mikro (Bakulan dan lain-lain) dan Usaha Lain Berbasis Pertanian. 2.3.
Kredit Pertanian Menurut Undang-Undang perbankan No.7 tahun 1992 tentang pokok-
pokok perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan berdasarkan persetujuan atau kesapakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Peningkatan produksi salah satunya dapat dicapai dengan adanya penambahan input yang diikuti dengan penambahan modal, sedangkan modal dapat bersumber dari modal sendiri atau dari modal pinjaman (kredit). Berdasarkan kepentingan, jenis kredit dapat dibagi menjadi dua yaitu kredit konsumsi dan kredit produksi. Kredit konsumsi diberikan kepada peminjam yang kekurangan dana untuk membiayai konsumsi keluarga. Sedangkan kredit produksi yaitu kredit yang diberikan kepada peminjam untuk membiayai kegiatan usaha yang bersifat produktif. Sektor pertanian pada dasarnya memerlukan empat unsur pokok yang harus selalu ada, dikenal dengan faktor-faktor produksi yaitu tanah, tenaga kerja,
22
modal, dan pengelolaan manajemen. Tujuan dari kredit pertanian, khususnya kredit program yaitu untuk melindungi golongan ekonomi lemah. Kredit program mempunyai tujuan ganda, yaitu selain untuk meningkatkan produksi melalui introduksi teknologi dalam rangka swasembada pangan juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi kemiskinan (Ashari, 2006). 2.4.
Asimetrik informasi Teori informasi asimetris terjadi dalam setiap proses transaksi seperti di
pasar tenaga kerja, keuangan dan asuransi. Pasar-pasar ini tidak seperti pasar dimana pembeli dan penjual bertemu dan memutuskan harga pada saat itu. Sebaliknya di pasar kredit, ada periode waktu pada saat pengambilan dan pembayaran pinjamannya. Menurut Stiglitz (1989) dalam Mehrteab (2004) kontrak keuangan mencakup unsur-unsur yang menyebabkan masalah mendasar adverse selection dan moral hazard. Sedangkan menurut Simtowe et.al (2006), informasi yang tidak sempurna setidaknya menyebabkan empat masalah dalam pasar kredit, yaitu adverse selection, moral hazard, kurangnya asuransi, dan kurangnya penegakan hukum. Berbagai usaha pasar keuangan untuk mencoba mengatasi masalah informasi asimetris cenderung berbeda-beda. Menurut Floro dan Yotopoulos, (1991) dalam Mehrteab (2004) lembaga keuangan formal cenderung untuk menangani masalah pemilihan dan insentif dengan memberlakukan persyaratan agunan atau pembatasan ketat, atau dengan meminta peminjam untuk memberikan bukti yang terdokumentasi dengan baik, yang menunjukkan keinginan mereka dan kemampuan untuk membayar. Lembaga keuangan formal biasanya memberikan
23
kredit kepada perusahaan-perusahaan dan lembaga yang aktif di sektor usaha formal yang memiliki agunan, sejarah kredit dan menggunakan sistem akuntansi. Sedangkan untuk masyarakat miskin pedesaantidak bisa memberikan jaminan, tidak memiliki sejarah kredit, dan administrasi yang kurang sehingga tidak dapat mengakases pasar kredit formal (Ross dan Savanti, 2005). Sehingga akses terhadap kredit dari MFI (Micro Finance Institution) menggunakan mekanisme yang memungkinkan perjanjian kredit dengan menggunakan mekanisme seperti jaringan sosial, ikatan sosial dan sanksi sosial oleh LKM dalam mengurangi masalah seleksi, insentif dalam transaksi kredit, yang mungkin tidak efektif digunakan di lembaga-lembaga keuangan formal. 2.5.
Teori Group Lending Kredit berbasis kelompok atau dikenal dengan group lending diberikan
kepada individu-individu yang tergabung dalam sebuah kelompok sehingga dapat memiliki akses terhadap layanan keuangan dalam sebuah program. Biasanya program yang dilakukan ditujukan untuk masyarakat miskin yang tidak memiliki agunan untuk mendapatkan kredit. Menurut Mehrteab (2004), kredit berbasis kelompok ini dibuat untuk individu tetapi semua anggota kelompok bertanggungjawab untuk pembayaran utang (prinsip tanggung renteng), diberlakukan jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), pembayaran dilakukan mingguan atau bulanan. Hal ini dilakukan dalam pertemuan kelompok atau langsung ke lembaga keuangan mikro. Saat ini, banyak program di seluruh dunia menggunakan pinjaman berbasis kelompok untuk melanjutkan pinjaman kepada orang miskin.
24
Ukuran keberhasilan program pinjaman kelompok dapat dilihat dari tingkat pengembalian. Diantara
program yang berhasil adalah program yang
dilaksanakan oleh Grameen bank (Bangladesh) dan Bancosol (Banco Solidario) Bolivia, yang menunjukkan tingkat pengembalian yang tinggi dan dapat menjangkau jutaan masyarakat miskin. Adapun beberapa contoh lain yaitu: a) Bank Desa, model Keuangan Mikro dari Amerika Latin pada tahun 1980, b) koperasi kredit atau credit unions dimana kredit koperasi sebagai lembaga keuangan berasal dari Jerman di abad kesembilan belas. Ada beberapa kontribusi positif yang didapat jika menggunakan sistem group lending yaitu: 1) mengurangi masalah adverse selection, bahwa ketika dalam pembentukan anggota kelompok ada beberapa yang harus diperhatikan yaitu mengenai kelayakan kredit dengan bantuan jaringan sosial, sehingga mencegah kredit yang tidak bertanggungjawab serta yang berisiko. 2) mengurangi masalah moral hazard, dimana setelah anggota telah menerima pinjaman maka masing-masing anggota harus saling memantau satu sama lain untuk memastikan bahwa anggota menggunakan dana kredit untuk proyek yang aman, sehingga akan menjamin pembayaran kredit. 3) tekanan antar anggota kelompok, yang dihasilkan mekanisme kelompok sehingga masing-masing anggota dapat mengurangi moral hazard dan melakukan pembayaran tepat waktu. Anggota diwajibkan untuk saling memantau untuk menjamin akses kredit di masa yang akan datang jika ada anggota yang tidak bersedia membayar maka anggota lain dapat menggunakan tekanan sesama anggota dan sanksi sosial (Mehrteab, 2004).
25
Menurut Nuryartono (2011), group lending tidak dapat dihindarkan dari permasalahan asymetric information yang dapat menyebabkan adanya moral hazard dan adverse selection. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat digunakan skema pembiayaan tanggung jawab terbatas (joint liabilities) yang ditunjukkan oleh Gambar 2.2.
Sumber Simtowe et.al (2006) dalam Nuryartono (2011)
Gambar 2.2 Skema Pembiayaan dengan Model Joint Liabilities
Skema pada gambar 2.2, ini menjelaskan hubungan antara permasalahan yang timbul pada setiap kredit yang disalurkan dengan solusi teoritis yang diajukan dalam periode waktu tertentu. Pada tanggung jawab bersama, tahap pertama adalah tahapan yang dilalui sebelum pengadaan kontrak. Tahapan tersebut menyakup seleksi anggota. Masalah yang timbul pada tahapan ini adalah adverse selection. Masalah tersebut dapat diatasi dengan mengadakan seleksi secara ketat terhadap pemilihan anggota dalam kelompok. Tahap kedua yaitu pada
26
periode investasi, para peminjam dihadapkan pada masalah ex-ante moral hazard. Hal ini terjadi ketika peminjam memutuskan untuk berinvestasi dalam proyek yang berisiko atau menyalahgunakan dana. Sehingga yang harus dilakukan menurut solusi teoritis yaitu dengan pengawasan yang dilakukan antara anggota dan petugas dari lembaga keuangan mikro. Tahap ketiga mengenai hasil investasi dari dana yang telah diberikan, investasi ini mungkin gagal karena beberapa alasan atau diakibatkan oleh hal-hal yang diluar kendali peminjam. Masalah yang dihadapi pada tahap ini adalah tanggungjawab terbatas. Berdasarkan kewajiban dan tanggung jawab pinjaman bersama maka setiap anggota yang tidak mengalami kesulitan dapat membantu membayar anggota lain yang mengalami kegagalan bayar (intra-group asuransi). Masalah terakhir adalah berkaitan dengan ex-post moral hazard. Hal ini terjadi ketika usaha telah dilakukan dan keuntungan hasil investasi telah terwujud, bila peminjam menemukan jalan untuk menyimpangkan dana yang seharusnya untuk pembayaran pinjaman tetapi ditujukan untuk tujuan lain. Dalam kewajiban pinjaman bersama, untuk menerapkan tekanan sesama dan sanksi sosial dapat memecahkan masalah ex-post moral hazard. 2.6.
Model Probit Model probit adalah jenis regresi yang digunakan untuk menganalisis
variabel binominal. Menurut Juanda (2008), model probit ialah model yang prediksi nilai Y (dependen) berada dalam selang (0;1) untuk semua nilai peubah bebas X. Adapun fungsi peluang kumulatif (cumulative probability function), F2. Sebaran peluangnya dapat direpsentasikan dalam bentuk
27
Pi = F (a + β Xi) = F (Zi)……………………………………………. (persamaan 1) Model peluang probit berkaitan dengan penggunaan transformasi fungsi peluang kumulatif, diasumsikan bahwa ada suatu indeks Zi yang bernilai kontinu secara teoritis, yang ditentukan oleh nilai peubah penjelas X sehingga dapat ditulis: Zi = a + β Xi……………………………………………………….....(persamaan 2) Model probit mengasumsikan bahwa Z merupakan peubah acak yang menyebar normal sehingga peluang bahwa Z lebih kecil (atau sama dengan) Zi dapat dihitung dari fungsi peluang normal kumulatif. Fungsi peluang normal baku kumulatif dapat dituliskan dalam rumus:
Pi = F (Zi) =
ds………………………………………(persamaan 3)
dimana s adalah suatu peubah acak menyebar normal dengan nilai tengah 0 dan ragam 1. Dengan rumus transformasi di atas, peubah Pi akan bernilai dalam selang (0:1). Pi menggambarkan peluang individu berkarakteristik Xi memilih pilihan-1. Karena nilai peluang diukur berdasarkan luas daerah dibawah kurva normal baku dari -~ sampai Zi, maka peluang pilihan-1 makin tinggi jika nilai indeks Zi makin tinggi. Untuk menduga indeks Zi, kita menggunakan kebalikan (inverse) dari fungsi normal baku kumulatif. Zi = F-1 (Pi) = a + β Xi ………………………………………………(persamaan 4)
28
2.7.
Penelitian Terlebih dahulu Simtowe dan Zeller (2006) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang memengaruhi moral hazard dalam group lending programs di Malawi menunjukkan bahwa mesikpun group lending dengan joint liability telah dipraktekkan untuk lebih dari empat dekade, ketidakinginan untuk membayar cicilan kredit tetap saja menjadi alasan utama terjadinya gagal bayar di Malawi. Beberapa faktor yang diduga menjadi sumber terjadinya perilaku moral hazard diantaranya adalah peer-selection, peer-monitoring, social ties, peer-presure, dynamic incentives dan pencocokan masalah. Pada screening khususnya dalam peer selection signifikan dan berpengaruh negatif terhadap indikasi terjadinya moral hazard. Peer monitoring, pada anggota sudah bergabung dengan perusahaan signifikan dan berpengaruh negatif, faktor anggota kelompok yang tidak mengetahui susunan kelompok signifikan dan bepengaruh positif pada indikasi moral hazard. Pada social ties, jumlah desa asal anggota berpengaruh signifikan dan bersifat positif terhadap indikasi moral hazard. Pada peer-presurre, adanya desakan sebelum jatuh tempo berpengaruh signifikan dan bersifat negatif terhadap indikasi moral hazard. Hermes, Lensink dan Teki (2003) dalam Nuryartono (2011), melakukan studi mengenai dampak pengawasan serta ikatan sosial terhadap perilaku moral hazard di dalam group lending programs di Eritrea, Afrika. Temuan empiris menyatakan bahwa peer monitoring yang dilakukan oleh pemimpin kelompok dan ikatan sosial dari pemimpin kelompok membantu mengurangi perilaku moral hazard dari suatu kelompok. Sebaliknya, peer monitoring dan ikatan sosial yang
29
dilakukan oleh anggota kelompok lain tidak berkaitan dalam mengurangi terjadinya perilaku moral hazard di dalam kelompok tersebut. Adapun salah satu alasan penting yang mendukung temuan diatas adalah karena keteraturan dalam hubungan dan jarak yang pendek antara pemimpin kelompok dan anggota kelompok membantu mengurangi penyalahgunaan kredit oleh anggota individu suatu kelompok. Selain itu, rupanya anggota kelompok hanya merasa tertekan untuk berperilaku secara bijaksana ketika pemimpin kelompoknya melakukan pemantauan. Hal ini terjadi karena pemimpin kelompok tersebut dianggap lebih memiliki peran terhadap sanksi moral hazard atas perilaku anggota kelompoknya. Hal yang sama juga ditemukan oleh Nuryartono, Effendi dan Wawan (2009) dalam Nuryartono (2011) terhadap salah satu lembaga keuangan mikro yang mengindikasikan bahwa adanya ikatan sosial (modal sosial) yang kuat melalui penyaluran kelompok mampu mengurangi gagal bayar baik secara individu maupun kelompok itu sendiri. Kugler dan Opples (2005) dalam Nuryartono (2011) secara empiris menggali serta memeriksa profil resiko dari peminjam individu dan menghasilkan heterogenitas kelompok untuk mengidentifikasi peran kontribusi perorangan terhadap proyek investasi di Cotonou. Bukti empiris menunjukkan bahwa sementara diversifikasi di dalam kelompok memudahkan pengelompokkan resiko, hal ini juga meningkatkan ekspektasi gagal bayar untuk peminjam dengan resiko rendah. Agunan akan membantu meniadakan dan mengurangi potensi negatif spillovers dari gagal bayar kelompok, hal ini disebabkan oleh anggota kelompok yang memiliki proyek dengan resiko lebih tinggi. Kugler dan Opples (2005)
30
dalam Nuryartono (2011) juga menemukan bahwa joint liability merupakan salah satu mekanisme untuk pembagian resiko (risk sharing) bagi rumah tangga miskin yang sulit untuk menyediakan agunan dan tidak memiliki asuransi. Sehingga mekanisme joint liability di dalam group lending programs adalah kondusif terhadap ketentuan asuransi selama terdapat mekanisme bagi investor (anggota) yang memiliki resiko tinggi untuk mengkompensasi anggota yang memiliki resiko rendah. 2.8.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan permasalahan dan tujuan, maka secara garis besar kerangka
pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.3. Kerangka pemikiran penelitian ini berawal dari program pemerintah yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian Indonesia yaitu Program PUAP. Program ini dijalankan pada tahun 2008 ditujukan untuk petani (pemilik, penggarap, buruh dan rumah tangga) miskin yang memiliki keunggulan komoditi dengan tujuan mengurangi kemiskinan dan pengangguran di pedesaan. Program PUAP terdiri dari tiga fasilitas yaitu modal usaha, penyuluhan dan pelatihan, serta teknologi. Penelitian ini berfokus pada pemberian dana program PUAP. Program ini menggunakan sistem kredit kelompok untuk menyalurkan dana PUAP. Kabupaten Cianjur dipilih sebagai lokasi penelitian, karena paling banyak mendapatkan dana Program PUAP tahun 2009. Kabupaten Cianjur memberikan kebijakan skema pemberdayaan dana PUAP sepenuhnya kepada masing-masing Gapoktan yang ada setiap desa, sehingga kemungkinan besar setiap Gapoktan memiliki mekanisme kredit yang berbeda-beda. Setelah itu, menganalisis
31
penyebab indikasi moral hazard pada pelaksanaan program PUAP di Wilayah Utara Kabupaten Cianjur.
Mengurangi kemiskinan dan pengangguran di
PROGRAM PUAP
perdesaan
Modal / Dana PUAP
Teknologi
Pelatihan atau Penyuluhan dan Pendampingan
Gapoktan Kabupaten Cianjur PUAP 2009
Indikator penyebab
Mekanisme Sistem kredit kelompok
adanya insiden Moral hazard: - Peer monitoring
Penyebab Moral hazard
- Peer selection - Sosial Ekonomi Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian
Hipotesis
2.9.
1. Peer selection (seleksi anggota) atau mengenal calon anggota sebelum bergabung dalam kelompok signifikan dan berpengaruh negatif terhadap indikasi moral hazard.
32
2. Peer monitoring, ketua kelompok memantau atau bertanggungjawab untuk mengunjungi masing-masing anggota signifikan dan berpengaruh negatif pada indikasi moral hazard. 3. Peer monitoring, saling mengunjungi atau memantau diantara anggota kelompok berpengaruh signifikan dan berpengaruh negatif terhadap indikasi moral hazard. 4. Sosial ekonomi, pekerjaan utama sebagai petani berpengaruh signifikan dan berpengaruh positif terhadap indikasi moral hazard.