II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Reforestasi pada Kawasan Pertambangan Menurut Barrow (1991), pada kawasan pertambangan deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan mengakibatkan beberapa gangguan. Hutan primer yang hilang dapat menyebabkan perubahan pada iklim mikro. Hutan hujan tropis dapat menyimpan air hujan yang cukup besar sehingga dapat menjaga iklim di sekitarnya menjadi nyaman, mengurangi fluktuasi temperatur antara siang dan malam, menjaga kelembaban udara, dan mengurangi kecepatan angin. Hutan yang rusak juga dapat menyebabkan kehilangan spesies, dampak negatif terhadap hidrologi dan tanah, gangguan kesehatan, kehilangan hasil hutan, dampak negatif terhadap ekonomi, dan kehilangan estetika terhadap hutan. Fungsi hutan hujan tropis sangat penting bagi kehidupan sehingga pada degraded land harus dilakukan reforestasi untuk mempercepat mengembalikan fungsi hutan pada kondisi mendekati seperti semula. Menurut Setiadi (2005), proses reforestasi yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan biodiversity, meningkatkan tutupan dan stratifikasi tajuk, meningkatkan kesuburan tanah, terjadinya kolonisasi dan masuknya kehidupan satwa, serta meningkatkan kondisi lingkungan hutan. Reforestasi agar berhasil harus menguasai pengetahuan tentang ekologi hutan khususnya pengetahuan tentang suksesi hutan untuk memberikan pola penanganan dalam revegetasi hutan. Pengetahuan tentang tempat tumbuh spesies dan interaksi spesies satu dengan spesies yang lain juga penting, misalnya adanya spesies yang dapat menghambat atau spesies yang toleran untuk tumbuhnya spesies yang lain atau spesies-spesies yang mempunyai sifat sebagai fasilitator bagi tumbuhnya spesies lain. Jenis pohon yang ditanam sebaiknya tidak monokultur tetapi jenis-jenis campuran dari spesies-spesies asli yang ada di hutan primer di sekitarnya (Setiadi 2005). Pola penanganan yang diberikan harus ditujukan pada terjadinya percepatan pemulihan hutan dengan mempercepat terjadinya proses suksesi. Proses reforestasi
yang
dilakukan
ditujukan
untuk
meningkatkan
biodiversity,
meningkatkan tutupan dan stratifikasi tajuk, kesuburan tanah, terjadinya
12
kolonisasi dan masuknya kehidupan satwa, serta meningkatkan kondisi lingkungan hutan (Setiadi 2005). Evaluasi proses-proses reforestasi yang sudah pernah dilakukan penting dipelajari dan dikembangkan. Sebagai contoh, berdasarkan hasil penelitian, penanaman hutan yang sudah lama dapat memberikan dampak positif yaitu memperbaiki iklim mikro, meningkatkan struktur vegetasi, meningkatkan serasah dan humus, munculnya kehidupan satwa seperti burung dan kelelawar dapat memperkaya jenis-jenis pohon yang ada karena dibawa burung dan kelelawar dari hutan primer yang ada di sekitarnya, serta adanya bayangan pohon-pohon yang tinggi dapat mematikan rumput dan mempercepat tumbuhnya anakan (Setiadi 2005). Proses suksesi yang dipercepat dengan penanaman pohon monokultur selama ini memberikan dampak negatif seperti hutan menjadi tidak stabil, yaitu rawan terhadap gangguan hama dan penyakit, biodiversity yang rendah, spesiesspesies asli hilang dan masuknya jenis-jenis exotic, dan menurunkan kualitas lahan khususnya tanah dan air. Tetapi apabila proses penanaman dilakukan dengan baik dan benar melalui penyiapan lahan yang baik, penanaman dan pemeliharaan yang benar, maka penanaman pohon monokultur dalam jangka waktu yang lama dapat memberikan dampak positif yaitu, memperbaiki iklim mikro (meningkatkan kelembaban dan menurunkan suhu), meningkatkan kesuburan tanah, memunculkan kehidupan satwa, dan mempercepat tumbuhnya anakan (Setiadi 2005). Penelitian tentang metode reforestasi pada kawasan pertambangan dengan tujuan untuk mempercepat keberhasilan reforestasi sudah banyak dilakukan. Beberapa contoh teknik reforestasi adalah: 1) penanaman dengan spesies yang toleran untuk tumbuhnya spesies yang lain atau spesies-spesies yang mempunyai sifat sebagai fasilitator bagi tumbuhnya spesies lain. Sejak tahun 1995, sistem ini banyak diterapkan di Amerika Latin, Afrika, dan kawasan Asia Pasifik (Parrotta 1997), 2) penanaman pohon monokultur untuk mempercepat proses suksesi di Puerto Rico (Lugo 1997), dan 3) pemakaian kompos aktif untuk meningkatkan kesuburan tanah dan penanaman dengan spesies pionir yang cepat tumbuh, produksi serasah banyak dan cepat terdekomposisi, serta mudah beradaptasi pada
13
tanah yang kurang subur. Semua ini bertujuan mempercepat proses suksesi dan regenerasi spesies asli. Teknik ini sudah banyak dilakukan di areal pasca tambang di Indonesia (Setiadi 2005).
2.2. Monitoring Reforestasi Karakteristik hutan hujan tropis dijadikan filosofi dalam monitoring reforestasi, indikator tingkat keberhasilan reforestasi harus mengacu pada terbentuknya hutan hujan tropis yang lestari. Menurut Setiadi (2005) indikator yang dipakai dalam monitoring reforestasi adalah biodiversity, tutupan tajuk, kesuburan tanah, rekolonisasi, wildlife, dan landform. Biodiversitas merupakan berbagai macam jenis, jumlah dan pola penyebaran dari suatu organisme atau sumberdaya alam hayati dan ekosistem. Biodiversity terdiri atas dua komponen, yaitu jumlah total jenis per unit area dan kemerataan (kelimpahan, dominasi dan penyebaran spasial individu jenis yang ada). Indeks yang menggabungkan kedua hal tersebut dalam satu nilai tunggal disebut indeks biodiversity. Variabel-variabel yang disatukan ke dalam suatu nilai tunggal menyangkut jumlah jenis, kelimpahan spesies relatif dan homogenitas dan ukuran petak contoh. Untuk itu, indeks biodiversity suatu spesies tergantung pada indeks kekayaan (Richness indices), indeks keanekaragaman (Diversity indices) dan indeks kemerataan (Evenness indices) (Barnes et al. 1997). Indeks tutupan tajuk merupakan fungsi linier dari indeks persentase kerapatan tutupan tajuk dan indeks stratifikasi tajuk. Menurut Setiadi (2005), indeks persentase kerapatan tutupan tajuk dan indeks stratifikasi tajuk merupakan suatu indeks yang paling penting dalam menentukan keberhasilan reforestasi karena persentase kerapatan tutupan tajuk dan stratifikasi tajuk mempunyai fungsi antara lain: 1. Meneruskan sinar matahari masuk ke lantai hutan sehingga dapat mempercepat proses dekomposisi. 2. Mencegah erosi dan pencucian hara. 3. Menangkap dan menyimpan air. 4. Menciptakan habitat mikro bagi berbagai jenis satwa.
14
5. Menciptakan mekanisme ruang yang tinggi bagi berbagai macam spesies atau jumlah dan kepadatan spesies per satuan ruang tinggi. Tanah merupakan faktor fisik sebagai tempat tumbuh tanaman ditunjukkan oleh sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, serta ketebalan serasah pada lantai hutan. Oleh karena itu, indeks tanah merupakan fungsi dari indeks sifat fisik tanah, kimia dan biologi tanah, serta ketebalan serasah pada lantai hutan. Indeks sifat fisik tanah yang berpengaruh pada kehidupan tanaman adalah indeks struktur tanah, tekstur tanah, porositas tanah, dan bulk density, sedangkan indeks tanah yang merupakan indikator kesuburan tanah (simpanan hara) dan berpengaruh bagi kehidupan tanaman ditunjukkan oleh indeks sifat kimia dan biologi tanah, antara lain kandungan N, P, K, Ca, Mg, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kandungan bahan organik, dan pH. Indeks kolonisasi merupakan tumbuhnya vegetasi awal, seperti liana, epifit, semak, dan herba yang merupakan indikator tempat tumbuh yang kondusif bagi proses suksesi hutan (Barnes et al. 1997). Kehidupan satwa merupakan indikator yang penting untuk mengukur tingkat keberhasilan dari reforestasi karena dengan adanya kehidupan satwa dapat membantu dalam proses penyebaran biji dan penyerbukan serta dapat mengontrol terjadinya hama dan penyakit (Barnes et al. 1997). Beberapa metode monitoring keberhasilan reforestasi yang pernah dilakukan diberikan pada Tabel 1.
2.3. Pemodelan Spasial 2.3.1. Model Istilah model yang dipergunakan dalam SIG mempunyai dua pengertian, yaitu sebagai abstraksi dari dunia nyata. Dalam pengertian ini, model adalah suatu cara menggambarkan sesuatu yang tidak dapat diamati secara langsung. Model biasanya terdiri atas serangkaian aturan prosedur untuk menentukan informasi baru yang dapat dipergunakan dalam membantu perencanaan dan pemecahan masalah (problem solving).
15
Tabel 1 Beberapa penelitian metode monitoring rehabilitasi lahan Penelitian Pengelolaan dan pemantauan lingkungan penambangan bijih nikel di Buli dan Gee, Maluku Utara (Yudistira 2003)
Metode pemantauan Pengamatan dan pengukuran tanaman revegetasi dengan parameter yaitu: • Luas, jenis dan jumlah pohon yang ditanam • Jumlah pohon mati dan penyulaman • Analisis kualitas air (pH, TSS, BOD, COD, Nikel, Pb, Co, dan kekeruhan)
Evaluasi keberhasilan revegetasi di lahan bekas tambang nikel di Soroako (Sirait 1997)
Pengamatan dan pengukuran tanaman revegetasi dengan parameter yaitu: • Parameter Pertumbuhan (tinggi tanaman, diameter batang, penutupan tajuk, dan perkembangan akar) • Kondisi tempat tumbuh (Serasah dan keanekaragaman hayati)
Monitoring rehabilitasi lahan di pertambangan Bukit Asam (Widdowson 1990)
Pengamatan dan pengukuran tanaman revegetasi dengan parameter yaitu: • Vegetasi (pertumbuhan tanaman, persen penutupan lahan, dan komposisi spesies) • Fauna asli (serangga, burung, amphibi, reptil, dan mamalia) • Tanah • Kualitas air tanah dan permukaan
Evaluasi metode rehabilitasi dari bekas penebangan hutan di hutan dataran rendah di Negeri Sembilan Malaysia (Maswar 2000)
Pengamatan dan pengukuran tanaman revegetasi dengan parameter yaitu: • Tingkat hidup dari semua anakan yang ditanam • Sifat-sifat tanah (bulk density, kelembaban, bahan organik, pH) sebelum dan sesudah rehabilitasi
Alat analisis dalam SIG digunakan untuk membangun model-model data spasial. Model dapat juga mencakup kombinasi dari ekspresi logis, prosedur matematis, dan kriteria-kriteria yang digunakan untuk mensimulasi proses, memprediksi hasil atau untuk mencirikan suatu fenomena alam. Model dapat juga didefinisikan sebagai representasi penyederhanaan realitas suatu objek atau peristiwa pada dunia nyata. Contoh-contoh model data spasial adalah: arc-node, georelational, raster dan TIN, hasil buffer (buffering), hasil operasi spasial (erase, split, clip, update), dan hasil penggabungan data spasial (spatial joint): identity, union dan intersect (Jaya 2006).
16
Menurut Burrough et al. (1996), model-model simulasi untuk analisis lingkungan mempunyai beberapa manfaat, yaitu: 1) variabel yang banyak dan interaksi antar variabel dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, 2) penyimpanan data dapat distandardisasi, 3) antar disiplin ilmu dapat saling berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa program, 4) model dapat digunakan untuk
memprediksi kejadian-kejadian beberapa tahun ke depan dalam waktu yang singkat, dan 5) model dapat diterapkan di tempat-tempat yang berbeda. Manfaat lain dari model adalah: 1) secara kontinyu dapat dengan mudah dan cepat di-update dan dimodifikasi untuk meningkatkan informasi, 2) dapat memberikan kunci-kunci variabel yang penting, 3) model dapat melakukan ekstrapolasi dan eksperimental hasil, dan 4) dapat merefleksikan suatu kejadian berdasarkan ruang dan waktu (De Roo et al. 1989). 2.3.2. Pemodelan Menurut Jaya (2006), pemodelan mempunyai makna yang sama dengan SIG, perbedaannya adalah bahwa pemodelan mempunyai ruang lingkup yang lebih sempit dibandingkan dengan analisis. Pemodelan merupakan suatu proses yang dapat berupa simulasi, prediksi maupun deskripsi. Tahap-tahap pemodelan mencakup: 1. Menentukan atau identifikasi permasalahan. 2. Mengelompokkan masalah untuk menentukan tujuan yang ingin dipecahkan. 3. Menetapkan nilai kesesuaian dengan tujuan. 4. Memecahkan masalah. Pemodelan spasial adalah suatu proses untuk melihat karakteristik dari sejumlah layer untuk setiap lokasi dalam rangka memecahkan masalah. Nilai dari masing-masing grid atau mesh saling tumpang tindih dengan nilai dari cover lainnya yang menggambarkan atribut dari masing-masing lokasi. Pemodelan sering diartikan sama dengan analisis. Model-model data spasial pada umumnya diturunkan dari hasil analisis spasial (Jaya 2006).
Jaya (2006) mengelompokkan pemodelan berdasarkan proses atau teknik analisisnya menjadi tiga pemodelan, yaitu :
17
1. Pemodelan kartografi (cartographic modelling). Pada pemodelan ini disarankan untuk membuat diagram alir (flow chart) yang detail dan perencanaan yang teliti untuk memutuskan hal yang penting dan cara menggunakannya. 2. Pemodelan simulasi. Dalam hal ini pemakai mencoba untuk melakukan simulasi terhadap fenomena yang kompleks menggunakan kombinasi informasi spasial dan nonspasial. Aspek ini memerlukan ahli khusus tentang cara suatu model dibangun. Sebagai contoh adalah evaluasi kesesuaian habitat satwa liar. Para ahli dapat menggunakan layer spasial yang mencakup informasi tentang vegetasi, elevasi, aspek, slope, kepemilikan, jalan dan aliran sungai. Selanjutnya, model akan mengombinasikan informasi tersebut dengan suatu pembobotan (prioritas layer). Jarak dari jalan atau sungai juga dapat ditambahkan dalam pembentukan model. Kemudian, model tersebut dapat digunakan untuk menentukan areal yang baik untuk habitat atau areal yang perlu diperbaiki. 3. Pemodelan prediktif (Predictive modeling). Pada pemodelan ini biasanya menggunakan teknik statistik, umumnya adalah analisis regresi untuk menyusun suatu model. Tahap pertama adalah mengumpulkan informasi tentang fenomena yang diamati, selanjutnya satu set informasi tersebut digunakan untuk membangun suatu model dengan melihat masing-masing layer dari informasi spasial dan masing-masing komponen dari informasi nonspasial.
18
Pemodelan spasial dilihat dari prosedur analisisnya, ada tiga kategori fungsi pemodelan spasial yang diterapkan pada objek-objek data geografis dalam SIG, yaitu: 1. Model geometrik (geometric model): membuat, menghitung luas (area) dan keliling (perimeter) dan jarak euclidean dari objek. 2. Model koinsidensi (coincidence model): overlay poligon. Operasi overlay poligon mencakup: clip, erase, identity, union, intersect, merge, update. 3. Model kedekatan (adjacently model): pathfinding dan location redistricting. Ketiga model ini mendukung operasi-operasi objek data geografis seperti titik, garis, poligon, TIN dan grid. Teknologi komputerisasi (software ataupun hardware), Sistem Informasi Geografis (SIG), dan teknologi penginderaan jauh dewasa ini sangat berkembang dengan cepat. Oleh karena itu, monitoring lingkungan bisa dilakukan atau dikembangkan secara semi otomatis dalam bentuk pemodelan khususnya pemodelan spasial (Jaya 2006). SIG khususnya dalam bentuk pemodelan spasial mempunyai beberapa kelebihan, sebagai contoh SIG dalam sistem monitoring aliran sungai digunakan sebagai alat untuk mengetahui posisi atau lokasi dari setiap kejadian dalam seluruh kawasan DAS. Penggunaan SIG akan dapat menjawab pertanyaan seperti mengapa, bagaimana, dan dimana terjadinya banjir (Risdiyanto 2009). Kelembaban tanah yang dihasilkan dengan pemodelan spasial dapat menjelaskan karakteristik kekeringan berdasarkan kekurangan kelembaban tanah dengan skala waktu yang fleksibel. Pemodelan spasial juga dapat menyediakan informasi tentang dimana, kapan, dan berapa banyak kekurangan air yang terjadi pada setiap waktu (Narendra 2008). Beberapa penelitian pemodelan spasial dengan scoring dan pembobotan diberikan pada Tabel 2.
19
Tabel 2 Beberapa penelitian pemodelan spasial dengan skoring dan pembobotan Penelitian
Metode pemodelan
Variabel
Hasil
Validasi
Kerusakan hutan mangrove di P. Lombok (Budhiman et al. 2001)
• Scoring • Pembobotan
• Jumlah pohon per ha • Permudaan per ha • Lebar jalur hijau mangrove • Tingkat abrasi • Kandungan dan kedalaman pirit • Pencemaran air
Terdapat 3 kelas tingkat kerusakan, yaitu: tidak rusak, rusak, dan rusak berat
-
Pemetaan rawan kebakaran di Portugal, Spanyol, Perancis Selatan, Italia, dan Yunani (Chuvieco et al. 1999
• Regresi Logistic • Pembobotan
• Geografis (elevasi, iklim, land cover) • Pertanian • Demografi (pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, dan struktur umur)
Terdapat 6 peluang terjadinya kebakaran, yaitu: 1−5 kali 6−10 kali 10−20 kali 21−40 kali > 40 kali
Validasi:
Penilaian kelestarian hutan (Mendoza dan Prabhu 2002)
• Scoring • Pembobotan
• • • •
Nilai kelestarian hutan yang dihasilkan adalah: 0,6096− 0,7839, dimana nilai semakin mendekati 1 semakin lestari
-
Distribusi tipe vegetasi di DAS Liebana Spanyol (Felicisimo et al. 2000)
• Regresi Logistic • Pembobotan
• Litologi (tipe batuan) • Topografi (Ketinggian, kemiringan, arah sinar, jarak dari laut) • Vegetasi (tipe vegetasi)
Terdapat peluang tumbuhnya tipe vegetasi, dari peluang rendah = 0 s.d. sangat tinggi = 1, yaitu: 0,00−0,25 0,26−0,50 0,51−0,75 0,76−1,00
-
Penggunaan ruang habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (Harini 2002)
• Scoring • Pembobotan
• • • •
Terdapat 4 jenis habitat Badak Jawa, yaitu ruang habitat sangat sesuai, sesuai, kurang sesuai dan tidak sesuai
Validasi pemodelan untuk habitat sesuai- sangat sesuai 95,89−98,84%
Pola landscape Diversitas habitat Kelimpahan benih Dekomposisi serasah
Jumlah pakan Jumlah jenis Tempat berteduh Jarak dari sumber air, jalan. • Slope, elevasi • Persen jumlah pesaing terhadap jumlah populasi
78,26% Benar