II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Gambut
Gambut secara harfiah didefinisikan sebagai sisa tanaman yang tertimbun dalam masa dari ratusan sampai ribuan tahun. Menurut epistemologi, gambut adalah material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sebagian yang mengalami perombakan (decomposed). Menurut konsep pedologi, gambut adalah bentuk hamparan daratan yang morfologi dan sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya. Menurut konsep ekologi, gambut adalah sumber dan rosot (sink) karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global (Noor, 2001). Menurut Radjagukguk (2000), akumulasi gambut yang membentuk lahan gambut berlangsung pada lingkungan yang jenuh atau tergenang air, kadang-kadang disertai oleh kondisi-kondisi lain yang menghambat aktivitas mikroba. Vegetasi yang menghasilkan akumulasi gambut adalah yang sangat adaptif pada kondisi jenuh atau tergenang air seperti bakau (mangrove) semak rumput rawa (reed swamp), dan hutan air tawar Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang berdrainase buruk (Agus dan Subiksa, 2008) 2.2 Genesis dan Proses Pembentukan Gambut Gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan berlapis-lapis seiring dengan kejadian lingkungan alamnya. Profil gambut juga tampak diselingi lapisan mineral yang menunjukkan terjadinya gejala alam banjir dan sedimentasi dari waktu ke waktu pada lingkungan rawa, khususnya pada rawa pedalaman. Pembentukan
4 gambut terjadi pada periode Holosine antara 5000-10.000 tahun, kemudian dalam ribuan tahun lambat laun terbentuk lapisan gambut yang semakin tebal sehingga membentuk kubah gambut (peat dome) (Noor, 2001). Hipotesis lain menyatakan pembentukan rawa gambut diawali oleh pengendapan dan pertumbuhan vegetasi bakau yang kemudian menjadi hutan padang, khususnya pada dataran pantai (Noor, 2009). Menurut Radjagukguk (2000), di dataran rendah dan daerah pantai, proses akumulasi bahan organik tersebut menghasilkan pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen, yang hamaparannya berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun. Gambut ini terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya bergantung pada masukan hara dari air hujan dan bukan lagi dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air tanah, sehingga miskin hara dan bersifat masam. 2.3 Sifat dan Ciri Tanah Gambut Gambut merupakan salah satu pilihan dalam pengembangan dan peningkatan lahan untuk budidaya pertanian di Indonesia dewasa ini. Pengelolaan gambut tidak mudah karena mempunyai permasalahan yang rumit baik dari segi fisik, kimia, biologi, dan hidrologi. Gambut mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar dari bahan mineral, namun gambut hanya menyediakan lebih sedikit air untuk tumbuhan dibandingkan tanah mineral (Utami et al., 2009). Permasalahan utama di lahan gambut adalah kesuburan tanah rendah yang disebabkan oleh kandungan bahan organik yang sangat tinggi, miskin mineral dengan kejenuhan basa yang rendah, kadar P, K, Ca, Mg, Cu, Zn, dan Mn yang rendah (Salampak 1999), mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tumbuhan (Suriadikarta, 2009). Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah gambut yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara (Agus dan Subiksa, 2008). Selain meracuni tanaman, asam-asam organik juga mengakibatkan pH gambut sangat rendah (Widyati dan Rostiwati, 2010).
5 Pada umumnya tanah gambut Indonesia mempunyai pH berkisar antara 2.8-4.5 dan kemasaman potensial mencapai >50 cmol/kg. Ketersediaan unsur-unsur makro N, P, K serta sejumlah unsur mikro pada umumnya berharkat rendah (Maas et al., 2000). Karaktristik kimia tanah gambut bersifat spesifik, menjadikan tanah gambut berbeda dengan tanah mineral bahkan dengan tanah organik lainnya. Gambut adalah timbunan bahan organik yang mempunyai laju perombakan lambat. Lambatnya perombakan tanah gambut akibat rendahnya aktivitas mikroorganisme. Hal tersebut dipengaruhi antara lain oleh potensial redoks, nisbah C/N, pH, suhu, dan kelembaban. Karakteristik
kimia utama pada tanah gambut antara lain kemasaman tanah,
ketersediaan hara tanah, KTK, kadar abu, kadar asam organik tanah, dan kadar pirit atau sulfur (Noor, 2001). Kapasitas Tukar Kation (KTK) gambut tergolong tinggi, tetapi kejenuhan basa (KB) sangat rendah. Muatan negatif pada tanah gambut seluruhnya merupakan muatan tergantung pH (pH dependent charge) (Widyati dan Rostiwati, 2010). Menurut Soepardi (1983), muatan negatif tergantung pH adalah muatannya bersifat tidak permanen tetapi langsung berhubungan dengan pH tanah. Muatan ini diduga berasal dari berbagai sumber. Pada tanah gambut sumber utama adalah kelompok karboksilat (COOH) dan fenol (fenil-OH) pada koloid humus. Tiap kelompok itu mempunyai hidrogen terikat secara kovalen yang tidak didesosiasikan pada pH rendah, akan tetapi dengan menaiknya pH, hidrogen berdesosiasi sambil meninggalkan muatan negatif pada koloid. Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya (Agus dan Subiksa, 2008).
6 Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting untuk dipertimbangkan dalam pemanfaatannya untuk pertanian maupun kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008). 2.4. Fungsi Lingkungan Tanah Gambut 2.4.1. Emisi Gas Rumah Kaca Gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, klorofluorokarbon (CFC), metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat memicu meningkatnya panas di permukaan bumi (global warming). Meningkatnya GRK ini dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Sekitar 80-90 % radiasi yang terjebak memberikan kehangatan bagi makhluk hidup di bumi (Kartikawati et al., 2011). Gas rumah kaca dilepaskan (diemisikan) dari lahan gambut dalam bentuk CO2, CH4 (metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut, CO2 merupakan GRK terpenting karena jumlahnya yang relatif besar, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Emisi CH4 cukup besar pada gambut yang berada dalam keadaan alami yang pada umumnya terendam atau jenuh air. Bila gambut didrainase maka emisi CO2 menjadi dominan dan emisi CH4 menjadi sangat berkurang. Jumlah emisi GRK dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan cadangan karbon pada tanah gambut yang terjadi pada selang waktu tersebut (Agus et al., 2011). 2.4.2. Emisi Karbondioksida dari Lahan Gambut Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada tanah gambut itu sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan seterusnya pada tanaman mati (necromass). Masing-masing komponen cadangan karbon (carbon stock)
7 tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang selanjutnya dapat mempercepat emisi CO2 dari tanah gambut. Cara pengelolaan lahan pertanian pada lahan gambut, seperti pembakaran, pembuatan drainase, dan pemupukan mempengaruhi tingkat emisi CO2 Pembakaran/kebakaran lahan gambut dapat menurunkan cadangan karbon di dalam jaringan tanaman dan didalam gambut yang berarti meningkatkan emisi dari kedua sumber tersebut. Pemupukan dapat meningkatkan emisi disebabkan meningkatnya aktivitas mikroba. Sebaliknya, pada lahan gambut yang sudah terlanjur didrainase, penurunan kedalaman muka air tanah, misalnya melalui pemasangan empang pada saluran (canal blocking) dapat memperlambat emisi (Agus et al., 2011). Penggunaan herbisida paraquat dan glifosfat dapat menurunkan emisi gas CH4. Kandungan bahan aktif dalam herbisida tersebut diduga menghambat aktivitas bakteri metanogen namun mekanisme penghambatannya belum diketahui secara jelas. Selain herbisida paraquat dan glifosat, penggunaan organoklorin dan hexakloro-sikloheksan (HCH) juga dapat menekan perkembangan bakteri metanogen. Meskipun herbisida dapat digunakan untuk mereduksi emisi CH4, penggunaannya harus sesuai dengan anjuran sehingga tidak meninggalkan residu dalam tanah yang akan menimbulkan pencemaran lingkungan (Kartikawati et al., 2011). 2.5. Pestisida Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama yaitu serangga, tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran mikroskopis), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. Pestisida juga diartikan sebagai substansi kimia dan bahan lain yang mengatur dan atau menstimulasi pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman. Sesuai konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida ditujukan bukan untuk memberantas atau membunuh hama, namun untuk mengendalikan hama sedemikian
8 rupa hingga berada di bawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali (Anonim, 2010). Menurut Kementrian Pertanian (2012), pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk: a. memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian; b. mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan c. memberantas atau mencegah hama air. d. memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik. e. memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air. Pestisida merupakan salah satu zat yang banyak dijumpai dan digunakan secara luas oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, serta mudah didapatkan mulai dari pedesaan sampai perkotaan. Penggunaan pestisida meliputi bidang pertanian subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan karantina pengawetan hasil pertanian. Berbagai uji coba penggunaan pestisida pada tanaman padi menunjukkan bahwa pestisida dapat melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Selanjutnya tanaman dapat tumbuh dengan baik sehingga mampu memberikan hasil yang lebih tinggi daripada tanaman tanpa aplikasi pestisida (Rahayuningsih, 2009). Menurut Sriyani dan Salam (2008), Paraquat adalah jenis herbisida yang telah lama dan sampai saat ini paling banyak digunakan dalam budidaya tanaman di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Paraquat adalah herbisida kontak pascatumbuh yang diaplikasikan langsung pada gulma yang telah tumbuh dan bersifat tidak selektif. Herbisida ini terdaftar untuk spektrum tanaman yang cukup luas, antara lain pada cengkeh, kakao, kapas, karet, kelapa sawit, kelapa hibrida, kopi, lada, padi pasang surut, tebu, teh, dan ubi kayu.
9 2.5.1. Klasifikasi Kimiawi Pestisida Pestisida dikelompokan ke dalam kelas, golongan, atau kelompok kimia berdasarkan persamaaan struktur dasar rumus kimianya. Umumnya, bahan aktif pestisida yang tergabung dalam kelompok kimia yang sama memiliki kemiripan sifat kimiawi. Insektisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan (tidak peresisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Salah satu nama insektisida golongan karbamat adalah fenobukarb, yang di Indonesia lebih dikenal dengan BPMC (buthylphenylmethyl carbamate). BPMC merupakan insektisisda non sistemik dengan kerja mengendalikan wereng, thrips pada tanaman padi. Difenoconazol termasuk dalam golongan fungisida yang bersprektum cukup luas terutama mengendalikan berbagai jenis jamur dari kelas Ascomycetes, Basidiomycetes, dan Deutromycetes. Difenoconazol bersifat sistemik dan diserap lewat daun. Fungisida ini digunakan untuk pengendalian secara kompleks penyakit pada tanaman buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian termasuk padi. Paraquat merupakan golongan herbisida non selektif termasuk dalam golongan garam bipiridilium. Jika ada cahaya matahari, herbisida ini bekerja dengan sangat cepat akan memengaruhi fotosintesis dengan terbentuknya superoksida yang akan menghancurkan membran sel dan sitoplasma (Djojosumarto, 2008). 2.5.2. Penjerapan Pestisida oleh Tanah Tingginya
intensitas
aplikasi
dan
jumlah
pestisida
yang
digunakan
menimbulkan kekhawatiran akan bahaya pencemaran yang berasal dari residu herbisida yang tertinggal di lingkungan, khususnya dalam tanah dan air. Residu herbisida dalam tanah dan air dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia dan hewan serta dapat mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya pada musim berikutnya. Perilaku pestisida selama di tanah dapat dikelompokkan menjadi dua proses, yaitu proses perpindahan massa dan proses peruraian. Proses perpindahan massa terdiri atas perpindahan massa antar fase (fase air dengan fase udara, fase air dengan fase tanah, fase tanah dengan fase udara, dan fase masing-
10 masing dengan makhluk hidup). Fase tanah dapat mengakumulasi pestisida sampai konsentrasi tinggi karena tanah mempunyai daya jerap yang tinggi, disamping itu sebagian besar pestisida bersifat hidrofobik. Peruraian pestisida di fase padatan tanah lebih dominan daripada di fase larutan tanah karena padatan tanah mengandung berbagai senyawa yang berfungsi sebagai katalis dan merupakan tempat mikroorganisme tumbuh (Rahayuningsih, 2009). 2.5.3. Penjerapan pestisida oleh tanah gambut Tanah gambut banyak mengandung asam alifatik dan aromatik. Gambut menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap adsorbsi pestisida paraquat dan memiliki sifat elektrostatis saat bahan organik berinteraksi dengan bahan pestisida tersebut. Dalam kondisi asam muatan pada bahan organik tanah gambut ditentukan oleh ionisasi gugus karboksilat yang akan mendukung terhadap adsorpsi pestisida kationik. Paraquat, dengan kation bipirilidium merupakan pestisida yang dapat teradsorpsi baik pada permukaan tanah, dengan mengganti kation anorganik atau oleh mekanisme interaksi ionik dengan muatan negatif pada permukaan tanah, di mana efek elektrostatik menjadi faktor penentu (Arce et al., 2011). Menurut Hui et al. (2003), erapan pestisida oleh bahan organik dan mineral liat dipengaruhi oleh jenis mineral, rasio substansi humik/mineral, ketersediaan kation dapat ditukar serta koefisien serapan pestisida itu sendiri. Adsorpsi pestisida kationik seperti paraquat yang bermuatan positif melalui protonisasi. Keberadaan muatan negatif sangat berpengaruh terhadap adsorpsi herbisida tersebut. Dalam hal ini KTK tanah sangat berpengaruh terhadap adsorpsi herbisida paraquat. Semakin tinggi luas permukaan adsorben maka semakin tinggi kemungkinan adsorpsi, molekul herbisida paraquat yang berada dalam larutan tanah (Muktamar et al., 2006).