II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS Mental accounting Konsep utama dari teori utilitas yang diharapkan dalam bidang ekonomi adalah fungibility (kesepadanan), yakni kondisi dimana uang benar-benar saling dipertukarkan secara sepadan (Arkes, 1994). Untuk tujuan pengambilan keputusan, memenangkan $ 1.000 dalam undian, mendapatkan gaji sebesar $ 1.000, atau memiliki peningkatan portofolio saham di nilai dengan $ 1000 semua harus setara. Namun, Thaler [1985] mengamati bahwa individu tidak memperlakukan uang sebagai sepadan. Perhatikan contoh berikut dari Thaler [1985]: Mr dan Mrs J telah menyimpan $ 15.000 untuk memiliki rumah impian mereka. Mereka berharap untuk membeli rumah dalam lima tahun. Uang itu menghasilkan 10% dalam pasar uang. Mereka baru saja membeli mobil baru untuk $ 11.000 yang mereka dibiayai dengan kredit mobil tiga tahun sebesar 15%. Pasangan dalam contoh di atas telah memilih untuk menempatkan uang untuk rumah mereka sebagai hal yang terpisah dari uang yang digunakan untuk membeli mobil baru - perilaku yang merupakan pelanggaran langsung dari konsep kesepadanan. Perilaku ini tidak rasional secara ekonomi karena mereka mendapatkan 10% sementara membayar harus 15%. Tindakan mereka cenderung didorong oleh masalah apresiasi atas pengendalian diri mereka sendiri. Berdasarkan pengamatannya dari jenis-jenis pelanggaran gagasan kesepadanan, Thaler [1985] mengembangkan alternatif untuk teori utilitas yang diharapkan. Secara khusus, ia mengusulkan apa yang disebut mental accounting yang merupakan merupakan deskripsi mengenai cara seseorang melakukan proses akuntansi yang hanya dapat dipelajari dengan melakukan pengamatan mengenai perilaku seseorang atau menyimpulkan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat. Thaller mengembangkan teori mental accounting berdasarkan konsep psychological account yang diperkenalkan oleh Kahneman and Twesksy, (1979) melalui Prospect Theory. Teori tersebut mengintegrasikan variabel psikologi dalam pengambilan keputusan keuangan dengan menggunakan konsep psychological account untuk menggambarkan bagaimana hasil (outcome) dievaluasi secara bersama-sama atau terpisah. Kahneman and Tversky’s (1984) melakukan eksperimen terhadap dua alternatif keputusan : A kehilangan tiket pertandingan senilai $10, sedangkan B kehilangan uangnya senilai $10. Meskipun A dan B kehilangan dua hal yang bernilai sama, ternyata keputusan yang diambil berbeda. 88% orang yang kehilangan uang akan tetap membeli tiket sedangkan yang kehilangan tiket hanya 46% yang akan melakukan hal yang sama. Penjelasannya adalah kehilangan tiket dan membeli tiket yang baru adalah diperlakukan satu rekening, sementara kehilangan uang dan membeli tiket yang baru diperlakukan dalam rekening yang berbeda
5
sehingga dievaluasi secara terpisah. Hal ini juga menunjukan bahwa seseorang secara mental membuat rekening-rekening pengeluaran. Dalam kontek yang umum mental accounting menunjuk pada suatu proses mengkategorikan outcome (Henderson & Peterson, 1992). Kategorisasi melibatkan aktivitas pencatatan ke dalam rekening-rekening tertentu. Secara mental seseorang cenderung memberikan label pendapatan dan pengeluran dan memilahkannya kedalam rekening-rekening tertentu misalnya pendapatan rutin versus hadiah, kebutuhan pokok versus kebutuhan untuk bersenangsenang/rekreasi. Selain itu, ada kemungkinan seseorang akan membelanjakan uang yang berasal dari pendapatan rutin secara berbeda dengan hadiah (Thaler,1990). Pendapatan yang diperoleh dari kerja keras (harian/bulanan) dipersepsikan lebih bernilai dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari hadiah, tunjangan, bonus, atau sejenisnya meskipun jumlah nominalnya sama. Hal ini dapat membawa implikasi ada kemungkinan akan memberlakukan penggunaan pendapatan secara berbeda tergantung dari mana uang tersebut berasal sehingga bias dalam pengambilan keputusan alokasi pendapatannya. Misalnya seseorang kemungkinan cenderung boros atau berperilaku konsumtif menggunakan pendapatan yang berasal bonus/hadiah karena beranggapan pendapatan tersebut merupakan uang tiban. Fenomena mental accounting yang lain yaitu ada kalanya seseorang merasa sudah berusaha berhemat berbagai jenis pengeluaran dengan cara tidak membeli banyak hal, tetapi disisi lain tidak berhemat untuk jenis pengeluaran tertentu, misalnya untuk kepentingan memuaskan hobinya meskipun mungkin dari frekuensi pembeliannya relatif jarang tetapi dari segi jumlahnya relatif besar. Sebaliknya juga dapat terjadi seseorang melakukan penghematan di pos pengeluran yang besar saja sehingga menganggap pos-pos pengeluaran kecil tidak ada artinya. Padahal ketika melakukan pembayaran-pembayaran kecil dan rutin seringkali jika tidak disadari dan dikelola dengan baik akan mengarah pada akumulasi pengeluaran yang besar sehingga tanpa disadari akan mengeluh bahwa dirinya bukanlah pemboros, tetapi mengapa mengalami kesulitan untuk menabung, meskipun memiliki penghasilan yang cukup besar. Shefrin dan Thaller (1988), melalui teori behavioral life-cyle mengelompokan aset (kekayaan) kedalam tiga mental account yaitu: current income, current asset dan future income. Mereka memprediksi seseorang akan menggunakan lebih banyak rejeki atau bonus yang diperoleh jika dimasukan kedalam rekening current income daripada jika dimasukkan kedalam tabungan (current asset), dan digunakan paling sedikit untuk kegiatan konsumtif jika dimasukan kedalam rekening pendapatan yang akan datang (future income). Selain itu, rejeki yang diterima sekaligus cenderung akan dimasukan sebagai current asset, sementara jika diterima per-bulan sebagai current income. Terkait dengan mental accounting, ia mengatakan bahwa pengkategorian dan evaluasi aktivitas financial diasumsikan dapat membantu menerapkan batasan terhadap uang belanja. Thaler (1990) dan Davis dalam Supramono dan Damayanti (2011) berpendapat mengapa seseorang menggunakan mental accounting ? karena
6
memungkinkan transaksi akan dievaluasi secara terpisah dari transaksi yang lain. Hal ini akan mengurangi beban kognitif pengambil keputusan dan pengambilan keputusan lebih mudah. Chatterjee, Heath dan Min (2009) mengungkapkan mental accounting dapat membawa dampak yang tidak baik dalam pengambilan keputusan. Tetapi Thaler (1999) menyatakan tidak perlu kawatir apakah seseorang yang mengalami mental accounting itu rasional atau tidak. Karlsson (1998) dan Hoch dan Loewenstein (1991) menegaskan bahwa mental accounting dapat digunakan sebagai perangkat self control, dalam artian mencegah pemanfaatan dana untuk kepentingan yang bersifat konsumtif atau overspending karena dana sudah dipilah-pilahkan kedalam rekening tertentu seperti tabungan dan investasi sehingga dana tersebut tidak mudah digunakan untuk kepentingan lain (konsumtif). Mental accounting pada Sektor Publik Fakta bahwa para pelaku ekonomi dapat memperoleh penghasilan dari berbagai sumber tidaklah unik pada aras individu dan rumah tangga. Pemerintah juga bergantung pada beberapa sumber penghasilan. Komponen penting dari mental accounting melibatkan kategorisasi: pendapatan dan pengeluaran dikelompokkan ke dalam kategori yang tidak subtitutes sempurna, sehingga melanggar asumsi kesepadanan (fungibility) yang mendasari teori pilihan rasional. Thaler (1995) menyatakan bahwa mental accounting mempengaruhi pilihan dalam konsumsi. Tergantung pada asal-usulnya, pendapatan dihabiskan dengan lebih mudah atau lebih ketat atas penghasilan yang didapatkan (Bruno and Frank, 1998). Hal ini sejalan dengan fenomena flypaper effect dimana elastisitas pengeluaran terhadap transfer menjadi lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan asli daerahnya (Gorodnichenko dalam Kuncoro ,2007). Artinya, pelaku ekonomi memperlakukan pendapatan secara berbeda tergantung sumbernya. Penerapan konsep mental accounting menunjukkan bahwa sifat sumber mempengaruhi penggunaannya. Maka, kerangka teori mental accounting dapat digunakan untuk menganalisa reaksi pemerintah atas perpindahan pos pendapatan. Lebih spesifik, pemerintah memperlakukan dana transfer, utang, dan PAD dengan berbeda. Hal tersebut dapat terjelaskan melalui gambar 1 berikut ini
Sumber: Bruno adn Frank (1998)
Gambar 1. Mental Accounting: Perpindahan Pos Pendapatan
7
Perubahan otomatis dalam bentuk transfer tak bersyarat terjadi ketika pemerintah mengubah cara perhitungan transfer atau beberapa indikator yang digunakan sebagai dasar perubahan transfer tersebut. Dari perspektif asumsi pilihan rasional, transfer setara dengan perubahan pendapatan asli (PAD) dari populasi. Kedua perubahan menyebabkan pergeseran identik dalam kurva anggaran pemerintah. Ini diilustrasikan pada gambar 1 yang menggambarkan kurva anggaran meringkas pilihan antara rekening publik (X) dan rekening pribadi (G). Mulai dari garis anggaran AB di mana pemerintah daerah memilih titik x, pergeseran ke CD dapat dikaitkan dengan meningkatnya PAD atau pendapatan transfer yang lebih tinggi. Flypaper effect mengacu pada pengamatan empiris itu, datang dari titik seperti x, Pengeluaran pemerintah akan menuju ke titik Y jika pergeseran garis anggaran yang disebabkan oleh transfer, sedangkan bergerak ke Z ketika pergeseran mengikuti dari kenaikan pendapatan dari masyarakat. Penjelasan mental accounting untuk flypaper effect diberikan gambar 1. Ini memberikan presentasi grafis dari analisis di Hines dan Thaler [1995], mereka menerangkan bahwa flypaper effect sebagai konsekuensi dari loss aversion dan kurangnya fungibility. Efek selanjutnya menunjukkan bahwa pendapatan transfer dan PAD dikategorikan dalam rekening yang terpisah. Hal ini mempengaruhi cara di mana proses pengambilan keputusan dibingkai. Lebih tepatnya, mental accounting menentukan titik acuan dari mana keputusan diambil. Ketika yurisdiksi dengan garis anggaran AB menerima tambahan PAD. Dalam gambar 1 ini sesuai dengan pergeseran vertikal ke atas dari titik x ke x'(ditunjukkan oleh panah vertikal polos). Ini menyebabkan pergeseran horisontal dari x ke x". Perlu dicatat bahwa ini adalah pergeseran mental. Mereka menentukan titik acuan (x' atau x") dari yang membuat keputusan tentang berapa banyak untuk dibelanjakan pada barang-barang modal dan operasional. Fakta bahwa pendapatan diklasifikasikan dalam rekening mental yang berbeda tidak cukup untuk menjelaskan perilaku yang berbeda. Perbedaan titik referensi tidak relevan jika agen memperlakukan keuntungan dan kerugian secara simetris. Analisis pilihan rasional tidak hanya menjelaskan sampai pada tahap ini saja. Hal ini menunjukkan bahwa mulai dari x" masyarakat bergerak ke kiri pada garis anggaran jika keuntungan dari melakukannya melebihi kerugian. Keuntungan sesuai dengan utilitas dari tambahan pengeluaran pribadi, kerugian dengan utilitas dari pengeluaran publik yang hilang. Pergeseran ke kiri berlanjut sampai keuntungan marginal sama kerugian marjinal (yang terjadi ketika tingkat substitusi marjinal sama dengan kemiringan kurva anggaran). Dalam gambar 1, diasumsikan belanja mengarah ke titik optimum di E, yang merupakan hasil prediksi keseimbangan dalam analisis perilaku rasional. Hasil dalam analisis tersebut mengikuti logika biayamanfaat yang sama, juga akan memprediksi E sebagai hasil ekuilibrium. Perlakuan simetris keuntungan dan kerugian mencerminkan asumsi fungibilitas yang mendasari pendekatan pilihan rasional.
8
Kurangnya kesepadanan dalam kerangka mental accounting mengikuti dari fakta bahwa hasil yang dibingkai dalam hal account topikal (Kahneman dan Tversky, 1984) dan dari pencegahan terjadinya loss aversion. Account topikal mereka berhubungan dengan konsekuensi dari adanya kemungkinan pilihan-pilihan pada tingkat referensi yang tergantung pada konteks [Thaler, 1998]. Pengaruh titik referensi pada keputusan ekonomi secara resmi dianalisis dalam teori prospek [Kahneman dan Tversky, 1979]. Terlepas dari peran penting diberikan pada reference poin, karakteristik utama dari analisis teoritis prospek adalah dengan mengasumsikan pencegahan loss aversion. kehilangan jumlah tertentu lebih menyakitkan daripada keuntungan dalam jumlah yang sama. Keengganan mengalami kehilangan/kerugian adalah karakteristik penting yang menjelaskan kurangnya fungibility. Keengganan mengalami kehilangan/kerugian bahwa orang lebih sensitif terhadap penurunan kesejahteraan dari pada peningkatan kesejahteraan mereka. Pengaruh loss aversion adalah untuk menurunkan jumlah kerugian yang dapat dialami. Selanjutnya beranjak ke kiri pada garis anggaran sesuai dengan "mendapatkan" pada X dan "kehilangan" pada G. Mulai dari x" pada gambar 1 dan dengan asumsi untuk kemudahan eksposisi yang didapatkan terkait dengan pengeluaran pribadi adalah tidak terpengaruh - kerugian yang sama keuntungan "lebih cepat" saat bergerak dalam CD daripada dalam analisis pilihan rasional. Sehingga masyarakat akan memilih titik seperti Y yang terletak di sebelah kanan E. Dengan kata lain, loss aversion memperkenalkan semacam inersia psikologis dalam proses pengambilan keputusan. Ini menjelaskan mengapa "money sticks where it hits." Secara umum, loss aversion memperkenalkan bias dalam tradeoff mendukung titik referensi. Dalam kaitannya dengan pajak, Bruno dan Frank (1998) memaparkan bahwa transfer pajak hanya menginduksi pergeseran sepanjang garis anggaran awal. Dalam gambar 1, ini berarti bahwa peningkatan penerimaan pajak yang berasal dari transfer menyebabkan pergeseran dari x ke titik sebelah kanan x di sepanjang Garis AB, atau bergeser dari rekening pribadi ke rekening publik. Transfer pajak menginduksi pergeseran mental ke titik yang baru. Dari sana, masyarakat akan memutuskan berapa banyak untuk belanja operasional dan belanja modal. Sekali lagi, loss aversion akan menyebabkan bias terhadap titik referensi: meskipun kurva anggaran masyarakat tidak terpengaruh, alokasi “optimal” anggaran untuk belanja modal dan belanja operasional berubah. Di Indonesia, berdasarkan UU 28 Tahun 2009 kewenangan pengelolaan PBB-P2 menjadi milik Pemda. Hal ini tidak serta merta membuat pendapatan total daerah naik secara signifikan dikarenakan PBB-P2 yang semula merupakan Dana Transfer (Dana Bagi Hasil) berubah menjadi PAD. Ini membawa konsekuensi bagi daerah untuk menanggung sendiri biaya pengelolaannya, sehingga yang terjadi hanyalah perpindahan pos pendapatan. Secara teori, perubahan pos pendapatan tersebut tidak akan menyebabkan budget line bergeser, tetapi mengakibatkan pergeseran dari x ke titik W di sepanjang garis AB.
9
Pramuka (2010) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari DAU dan PAD yang cenderung menyebabkan peningkatan jumlah Belanja Operasi maupun Belanja Modal. Lebih lanjut, Kuncoro (2007) menyatakan bahwa peningkatan alokasi transfer juga diikuti dengan pertumbuhan belanja yang lebih tinggi dimana peningkatan belanja yang tinggi tersebut disebabkan karena inefisiensi belanja pemerintah daerah terutama belanja operasional. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Bruno dan Frank (1998) bahwa flypaper effect menunjukkan bahwa belanja operasional (G) lebih responsif terhadap perubahan dalam bentuk transfer daripada PAD. Analisis mereka menyediakan bukti empiris tanggapan asimetris pengeluaran pemerintah terhadap sumber pendapatannya. Migrasi Pajak Bumi Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan UU No. 12 Tahun 1985. Kemudian UU ini diubah dengan UU No. 12 Tahun 1998 dan mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995. Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada Daerah, karena PBB termasuk jenis pajak yang penerimaannya dibagi-bagikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan (revenue sharing). Imbangan pembagian penerimaan PBB diatur dalam pasal 18 UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta melalui PP nomor 16 Tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 82/KMK.0412000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu untuk Pemerintah Pusat sebesar 10 % (dikembalikan lagi ke daerah) dan untuk Daerah sebesar 90%. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan Bagi Hasil Pajak. Wacana desentralisasi fiskal kemudian muncul dengan mulai diberlakukannya kebijakan pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001. Kebijakan tersebut diwujudkan dalam 2 (dua) Undang-undang, yaitu UU Nomor 22 tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Banyak hal yang justru sudah menggejala pada awal implementasi Otonomi Daerah, seperti tarik menarik kewenangan antara pusat-daerah, bermunculannya perda dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya, daerahisme dan profesionalisme pegawai, sampai kepada wacana untuk menjadikan PBB sebagai Pajak Daerah. Masalah keuangan daerah juga selalu mendapat tempat yang penting dalam setiap kebijaksanaan pemerintahan daerah. Otonomi daerah pada awalnya dianggap sebagai suatu jawaban atas masalah yang ditimbulkan dari kecenderungan sentralisasi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan yang terbukti selama ini ternyata tidak mendorong adanya pengembangan potensi
10
sumberdaya manusia dari sisi prakarsa, sumberdaya ekonomi setempat dan partisipasi masyarakat. Salah satu soal yang selalu muncul ialah soal ketergantungan pemerintah daerah pada bantuan dari pemerintah pusat. Meskipun telah diambil berbagai upaya selama bertahun-tahun yang lalu untuk menyerahkan wewenang memungut pajak kepada Pemerintah Daerah, sumberdaya Pemerintah Daerah tetap saja pada umumnya pada tingkat yang rendah. Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kewenangannya akan dilimpahkan ke Pemda paling lambat 31 Desember 2013. Hal ini merupakan salah satu bentuk desentralisasi keuangan, turunan dari otonomi daerah. Dari 492 pemerintah kabupaten dan kota, 1 daerah telah mengelola PBB P2 sejak tahun 2011, yakni Kota Surabaya. Sebanyak 17 daerah lain menyusul sejak tahun 2012. Tahun 2013, 105 kabupaten dan kota juga sudah mulai memungut PBB P2.
Alokasi Pendapatan Pemda di Indonesia Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat pemerintah daerah secara politis menerapkan prinsip “anggaran berimbang”. Apabila terjadi ketidakseimbangan anggaran, misalkan penerimaan lebih kecil daripada belanjanya, maka defisit anggaran akan ditutup dengan pinjaman daerah dan/atau mengajukan tambahan transfer kepada pusat. Dalam kasus penerimaan lebih besar daripada belanja, pemerintah daerah mempunyai sisa lebih yang akan digunakan untuk membiayai belanja pada tahun berikutnya. Oleh karena itu, identitas antara total penerimaan (TP) dan belanja (TB) akan terpenuhi: ΔTB = ΔTP UU No.33 Tahun 2004 menyebutkan sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD), dana transfer (TR), dan lain-lain pendapatan yang sah (PPb). Klasifikasi pengeluaran pemerintah yang digunakan baik pemerintah pusat maupun daerah terdiri dari dua pengeluaran: 1) Belanja operasional (BO) adalah belanja untuk pemeliharaan atau penyelanggaraan pemerintah sehari-hari. Belanja Operasional ini merupakan perkembangan istilah yang bersumber pada ICW (Indische Comptabiliteit-Wet Staatsblad 1923 Nomor 448) belanja rutin ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan dan belanja perjalanan. 2) Belanja Modal (BM) adalah pengeluaran untuk pembangunan baik pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, gedung, maupun pembangunan non fisik spiritual termasuk penataran, training dan lain-lain, sehingga: ΔBO + ΔBM = ΔTR + ΔPAD + ΔPPb Setiap sumber pendapatan Pemda telah memiliki pos-pos belanja Pemda tersendiri. Penelitian-penelitian terdahulu memberikan indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi oleh dana transfer. Dalam penelitiannya Holtz-Eakin (1994) menyatakan terhadap keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja
11
modal. Pada studi yang dilakukan oleh legrenzi & Milas (2001) dalam Abdullah dan Halim (2003) menemukan bukti empiris bawasanya dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal. Prakosa (2004) memperoleh temuan empiris yang sama yang menunjukkan bahwa jumlah belanja modal dipengaruhi oleh dana alokasi umum yang diterima dari pemerintah pusat. Hasil penelitian Susilo dan Adi (2007) semakin memperkuat kecenderungan ini. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin tinggi. Tujuan umum dari dana perimbangan adalah untuk membentuk dan pembangun sistem publik yang dapat menyediakan barang dan jasa publik lokal yang semakin efektif dan efisien, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi (Irham, 2012). Selain itu, Mulyana et. al. (2006) menyatakan bahwa transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sangat diperlukan menjaga/menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri. Dana transfer merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Transfer selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar Daerah. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah. Dalam UU No. 33 tahun 2004 pasal 11, DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Alokasi Umum (DAU) secara implisit berfungsi sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. DAU dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar, dimana dijelaskan dalam UU No.33 Tahun 2004 pasal 27 ayat 4 bahwa Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan pasal 28 Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Sehingga dapat dirumuskan bahwa DAU = (Gaji dan Tunjangan PNSD) + (Belanja Modal – [PAD + DBH]). Lebih lanjut, DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatankegiatan khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah. Adapun teknis perhitungan DAK dipaparkan dalam penjelasan atas UU No.33 Tahun 2004 pasal 40 ayat 2 sebagai berikut, DAK = (PAD + DAU + DBHDR) – Belanja PNSD. Berdasarkan tujuan yang telah diamanatkan oleh UU dan dasar perhitungannya, dapat diasumsikan bahwa dana transfer dialokasikan untuk kepentingan pendanaan belanja modal dan belanja pegawai.
12
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 18 Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang‐undangan. UU No 33 Tahun 2004 pasal 3 menyebutkan, PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan desentralisasi. PAD merupakan salah satu sumber pembiayaan pemerintahan daerah yang peranannya sangat tergantung kemampuan dan kemauan daerah dalam menggali potensi yang ada di daerah. Data menunjukkan (Kuncoro, 2007) proporsi PAD hanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20 persen. Sedangkan Faisal (2009) menyatakan bahwa idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah, terutama belanja operasional dapat dicukupi atau setara dengan jumlah pendapatan melalui PAD. Hal ini mengindikasikan bahwa saat ini PAD baru dapat mengakomodir belanja operasional Pemda diluar belanja pegawai yang terdiri dari belanja : barang dan jasa, bunga subsidi, hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan.
13