13
building)melalui optimasi pelaksanaan green construction konstruksi merupakan novelty dari penelitian ini.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Berkelanjutan Dalam hal hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan
ini
jelas
bahwa
pengelolaan
sumberdaya
alam
harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Soemarwoto (2006) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial masyarakat. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilita politiknya tergantung
pada
dukungan
penuh
masyarakat
melalui
pemerintahnya,
kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Djajadiningrat (2001) dan Arsyad (2005) mengemukakan bahwa berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk mendapatkan kesempatan hidup. Menurut Siagian (2005) konsep
berkelanjutan
(sustainable)
menawarkan
penyeimbangan
antara
14
pemeliharaan kelestarian alam dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang semakin berkembang di masa depan. Konsep keberlanjutan juga merupakan sebuah sistem yang ditandai dengan kestabilan, dimana perubahan-perubahan terus dibatasi untuk menjaga keseimbangan dari sistem pada masa depan. Ada tiga hal yang menjadi tujuan dari konsep yang ingin dicapai yaitu : a) meminimalkan konsumsi bahan dan energi, b) mencegah efek negatif pada daya dukung lingkungan dan lingkungan itu sendiri, 3) memenuhi kebutuhan manusia. Tujuan pembangunan berkelanjutan secara ideal membutuhkan pencapaian hal-hal sebagai berikut : (i) Keberkelanjutan ekologis; (ii) Keberkelanjutan ekonomi dan keberkelanjutan sosial budaya; (iii) Keberkelanjutan politik; dan (iv) Keberkelanjutan pertahanan keamanan (Djajadiningrat, 2001). Menciptakan lingkungan perkotaan berkelanjutan sangat krusial karena aktivitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan memegang peranan penting dalam perbaikan kesejahteraan manusia dengan memfasilitasi pembangunan sosial, kultural dan ekonomi (urban and regional development Institute, URDI, 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan perpaduan antara aspek teknis, ekonomis, sosial dan ekologis yang dituangkan dalam perumusan kebijakan nasional (Arsyad, 2002). International Labour Organization (ILO) mengemukakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah membuat semua anggota masyarakat mendapatkan semua elemen-elemen kunci bagi kehidupan, seperti pangan yang cukup, sandang, permukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya mengkombinasikan kebutuhan mendesak dengan pentingnya melindungi lingkungan (Sarosa, 2002). Karakteristik kota berkelanjutan adalah: (i) tata guna lahan terintegrasi dengan rencana transportasi; (ii) pola tata guna lahan; (iii) pola tata guna lahan membantu melindungi sumberdaya air; (iv) control penggunaan lahan untuk setiap orang; (v) kota yang manusiawi, ruang hijau, pasar petani, dan daerah pedestrian; (vi) mendukung kota lebih kompak (Sarosa, 2002). Keberkelanjutan (sustainability) adalah menyeimbangkan upaya untuk memenuhi kebutuhan saat ini dengan keharusan untuk menyisakan warisan positif
15
kepada generasi masa yang akan datang. Semua komponen ekonomi, lingkungan dan sosial sebenarnya saling berkaitan dan tidak dapat digarap sendiri – sendiri. Oleh karena itu perlu dikembangkan pendekatan kemitraan terhadap semua permasalahan (Timmer dan Kate, 2006). Pembangunan
berkelanjutan
sektor
perumahan
diartikan
sebagai
pembangunan perumahan termasuk di dalamnya pembangunan kota berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti pembangunan perumahan berkelanjutan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan (Kirmanto, 2005). Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan dan permukiman akan mendominasi penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang, untuk itu, perlu dipertimbangkan empat hal utama, yaitu : (i) pembangunan yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung- jawabkan (sociality and culturally suitable and accountable); (ii) pembangunan yang secara politis dapat diterima (politically acceptable); (iii) pembangunan yang layak secara ekonomis (economically feasible); dan (iv) pembangunan yang bisa dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan (environmentally sound and sustainable). Hanya dengan jalan mengintegrasikan keempat hal tersebut secara konsisten dan konsekuen, pembangunan perumahan dan permukiman bisa berjalan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Soenarno, 2004). Dalam rangka keberkelanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri. Peran pemerintah kota semakin lama semakin bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya, sistem pelaku majemuk akan menggantikan sistem pelaku-tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah. Di masa depan, akan terdapat titik majemuk kewenangan dan pengaruh, dan tantangannya adalah bagaimana memberdayakan mereka agar dapat bekerja sama. Manfaatnya adalah adanya kepercayaan dan koneksi sosial (modal sosial) yang terus terakumulasi, yang pada gilirannya akan mencapai tiga sasaran yaitu menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak korup; menurunkan
16
sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non-pemerintah (Alexander,., 2006).
2.2 Perkotaan dan Lingkungan Richadson (1978) menyatakan bahwa kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah; kepadatan penduduknya tinggi; sebagian besar wilayah merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu lintas dan transportasi; merupakan kegiatan perekonomian non pertanian. Kota merupakan konsentrasi masnusia dalam suatu wilayah geografis tertentu dengan mengadakan kegiatan
ekonomi
(Galion
1986).
Dickinson
dalam
Jayadinata
(1992)
mengungkapkan bahwa kota adalah suatu permukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan dari hasil pertanian. Budihardjo dan Hardjohubodjo (1993) menyatakan kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek. Royal Swedish Academy of Science (1995) menyatakan bahwa suatu kKota berkelanjutan adalah: (i) mencakup aspek kultural, sosial dan ekonomi dari seluruh lingkungan urban-pedesaan; (ii) memberikan manfaat bagi pelaku individual dalam masyarakat; (iii) kriteria tersebut harus didefinisikan dalam kaitannya dengan kondisi lokal dan dibangun dengan partisipasi publik; (iv) konservasi sumberdaya, menjaga keragaman hayati dan ekosistem; (v) mendukung kapasitas manusia untuk meningkatkan kondisinya; (vi) menyediakan akses yang sama terhadap layanan untuk semua warga; (vii) memprioritaskan opsi yang mensinergikan sosio-ekonomi dan lingkungan; (viii) mendukung proses pembuatan keputusan yang demokratis; dan (ix) menghormati ilmu pengetahuan dan kreativitas penduduk lokal. Berkaitan dengan tata guna lahan perkotaan, Almeida (1998) melakukan penelitian mengenai pemahaman dan permodelan dinamik tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Eksperimen dilakukan dengan membangun sebuah
17
panduan metodologis untuk pemodelan perubahan tata guna lahan perkotaan melalui metode statistik ”pembobotan bukti”. Variabel-variabel yang menjelaskan dapat bersifat endogen (melekat di dalam sistem transformasi tata guna lahan) atau eksogen (di luar sistem). Variabel-variabel endogen berkaitan dengan ciri-ciri lingkungan alam dan buatan manusia maupun berbagai aspek sosial ekonomi dari sebuah kota, seperti legislasi peruntukan dan legislasi perkotaan; prasarana teknik dan sosial; topografi; kawasan lindung/konservasi; pasar real estate; kesempatan kerja; adanya pusatpusat kegiatan yang terpolarisasi seperti mall, taman-taman tematik, tempat peristirahatan, dan seterusnya (Almeida,1998). Djajadiningrat (2001) mengungkapkan pada abad kedua puluh satu keseimbangan lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap awal krisis lingkungan akibat manusia saebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, dewasa ini dapat dilihat dari aras (level) yang paling ringan hingga yang paling berat. Sebagai contoh, jeleknya fasilitas transportasi, kurangnya berbagai macam fasilitas, kurang lancarnya telekomunikasi,serta kurang memadainya air bersih dan prasarana umum lainnya. Kebijakan lahan perkotaan termasuk perencanaannya merupakan salah satu faktor eksogen yang mempengaruhi keputusan para pengembang. Tujuan kebijakan lahan perkotaan adalah untuk mempengaruhi kepemilikan lahan, harga dan tatagunanya, dan memanfaatkan nilai lahan sebagai salah satu dasar untuk memperoleh
dana
masyarakat.
Di
Negara–negara
berkembang
yang
pengendaliannya tidak ditegakkan secara keras, ketersediaan lahan bagi perumahan untuk masyarakat miskin menciut, dan harga lahan meroket (Winarso, 2002). Rahardjo (2003) dalam penelitiannya mengenai upaya pengendalian lahan di perkotaan mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah tidak baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan. Dalam rangka
18
mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan lahan maka diperlukan suatu penanganan tepadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif adalah melalui manajemen lahan. Menurut Rahardjo (2003) kesalahan dalam manajemen lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, berakibat tanah berubah menjadi marjinal yang tidak dapat ditanami, dan rusaknya ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong degradasi lahan tersebut antara lain, cepatnya pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang mengekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan dipercepat oleh buruknya manajemen pembangunan kota. Khusus bagi daerah perkotaan terbatasnya pasokan lahan, mengakibatkan lahan menjadi mahal sehingga mendorong para investor yang bergerak dalam sektor properti mengkonversi sawah, situ dan lahan pertanian menjadi lahan perumahan. Siahaan (2004) dalam kajiannya mengenai indeks konversi lahan dalam pembangunan perumahan mengatakan bahwa ada upaya mengambil jalan pintas untuk menguasai pangsa pasar perumahan yang tidak diikuti oleh kesadaran adanya bahaya konservasi lahan dan tidak siapnya aspek pengelolaan kawasan mengakibatkan percepatan kerusakan lingkungan. Permasalahan perkotaan hasil kajian Ionnides dan Rossi-Hausberg (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan perkotaan sebagai salah satu gejala ekonomi berkaitan dengan proses urbanisasi. Urbanisasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Kajian ruang kegiatan ekonomi yang diukur dengan populasi, output dan pendapatan, pada umumnya terkonsentrasi. Pola–pola konsentrasi variabel – variabel ekonomi dan demografi membentuk beberapa gejala ekonomi perkotaan. Perpindahan penduduk secara besar-besaran dari perdesaan ke perkotaan telah memicu berbagai pertumbuhan perkotaan di seluruh dunia. Gejala lain adalah kecenderungan hilangnya ruang hijau akibat kurang jelasnya pengaturan dan pemanfaatan ruang. Selain itu, timbul berbagai macam kasus seperti taman yang merupakan paru-paru kota diubah fungsinya menjadi kawasan komersial seperti pompa bensin, supermarket atau department store, yang mengakibatkan timbulnya berbagai masalah lingkungan. Dampak yang ditimbulkan sangat menyedihkan, mulai dari ketidaknyamanan penduduk akibat
19
kurangnya sarana dan prasarana lingkungan, kesengsaraan masyarakat akibat banjir, sampai masalah sosial, karena benturan berbagai kepentingan pemanfaatan lahan. Degradasi lingkungan tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi degradasi lingkungan yang mengancam perkotaan adalah upaya-upaya penyusunan tata ruang secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Penataan ruang tidak sekedar pengelolaan perubahan lingkungan binaan dan alam saja, melainkan sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai benturan kepentingan yang berbeda. Penelitian mengenai masalah kebijakan pembangunan perkotaan dalam kaitannya dengan lokasi perumahan banyak diarahkan kepada upaya pemerintah kota untuk mengendalikan aktivitas pembangunan perumahan di daerahnya, sehingga dapat menunjang rencana induk pengembangan kota yang berkelanjutan. Kota yang nyaman huni adalah sistem perkotaan terpadu dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Ada enam kendala kelembagaan yang dihadapi setiap pemerintah daerah dalam menciptakan kota nyaman-huni, yaitu : (i) Jurisdiksi yang terpecah-pecah; (ii) kesinambungan politik yang buruk; (iii) kerjasama antar pemerintah yang buruk; (iv) kerjasama lintas sektoral yang buruk; (v) ketidakselarasan budaya dan ideologi; dan (vi) sistem pemerintah daerah yang lemah (Timmer dan Kate, 2006). Pembangunan perkotaan harus memperhatikan konsep berkelanjutan. Berkenaan dengan pembangunan kota berkelanjutan Timmer dan Kate (2006) mengajukan gagasan mengenai inisiatif kawasan berkelanjutan (IKB). 2.3 Rumah Susun Menurut SNI-03-2846-1992, rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai
20
tempat hunian yang mempunyai sarana penghubung ke akses yang sifatnya umum. Beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan rumah susun adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 20111992 tentang Perumahan dan Kawasan Ppermukiman Pasal 3 Ayat (f): Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu dan berkelanjutan. Pasal 5 Ayat (1): Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan
perumahan
dan
kawasan
permukiman
yang
pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah. Pasal 32 Ayat (2): Pembangunan perumahan dilakukan dengan mengembangkan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta mengembangkan industri bahan bangunan lokal yang aman bagi kesehatan. 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Pasal 19 3 Ayat (1), Penjelasan: Pembangunan rumah susun bertujuan untuk : a. memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya; b. meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi,dan seimbang.
21
c. Memenuhi kebutuhan
lainnya yang berguna bagi kehidupan
masyarakat, dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1 huruf a). Penghuni satuan rumah susun tidak dapat menghindarkan diri atau melepaskan kebutuhannya untuk menggunakan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Dalam rangka menjamin ketertiban, kegotong-royongan dan keselarasan sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia dalam mengelola bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, maka dibentuk perhimpunan penghuni yang mengatur dan mengurus kepentingan bersama. 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 14 ayat (4): Persyaratan
penampilan
bangunan
gedung,
tata
ruang
dalam,
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya….dst harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal demi pasal lebih ditegaskan lagi, bahwa ruang luar bangunan gedung diwujudkan untuk sekaligus mendukung pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung, disamping untuk mewadahi kegiatan pendukung fungsi bangunan gedung dan daerah hijau disekitar bangunan. Mengenai lingkungan bangunan gedung, seperti ruang terbuka hijau (RTH) diwujudkan dengan memperhatikan potensi unsur-unsur alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun, tanah serta permukaan tanah, dan dapat berfungsi untuk kepentingan ekologis, sosial, ekonomi, serta estetika. 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun Pasal 20:
22
Bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tangga, lift, selasar, harus mempunyai ukuran yang mempunyai persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat memberikan kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari, baik dalam hubungan sesama penghuni, maupun dengan pihak lain, dengan memperhatikan keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan. Pasal 21: Benda bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas yang memenuhi persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan dan kenikmatan
para
penghuni
maupun
pihak-pihak
lain,
dengan
memperhatikan keselarasan, keseimbangan, dan keterpaduan. 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Pasal 25 ayat (1) : “Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan
gedung
dengan
lingkungannya…..dst
harus
mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungan”. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan: “Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia, serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana di luar bangunan gedung”.
2.4 Green Environment Green environment merupakan sebuah totalitas dari penanganan aspek lingkungan kawasan sehingga menjadi kawasan yang memiliki karakter sebagai sustainable development, yang terdiri dari: (1) Penanganan tata guna lahan; (2) Pola jaringan jalan, perkerasan, pedestrian, transportasi; (3) Penanganan penghijauan kawasan; (4) Penanganan sistem air bersih; (5) Penanganan sistem air limbah; (6) Penanganan drainase kawasan; (7) Penanganan persampahan; (8)
23
Penanganan perilaku melalui pengelolaan kawasan yang mengacu pada konsep green environment (Iggnes, 2008). Salah satu konsep green environment adalah bangunan berkelanjutan atau dikenal dengan istilah green building. Green building merupakan suatu bangunan yang memiliki konstruksi yang dirancang dan dibangun sebagai urban/komunitas/bangunan sehat dengan efisiensi sumber daya berdasarkan prinsip ekologi (Iggnes, 2008).
2.5 Green Building Green building adalah bangunan yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan dengan menggunakan seluruh sistem design approach, dengan tujuan untuk mengoptimalkan
seluruh
kapasitas
dari
bangunan
dan
lingkungannya
(Greendepot, 2009). Menurut Greendepot (2009) gGreen building terdiri dari tiga faktor pendukung, diantaranya adalah efesiensi energi (baik dalam hal pemilihan bahan bangunan dan penggunaan energi aktual); kehidupan yang sehat, termasuk kualitas udara di dalam bangunan; dan manajemen sumber energi secara cermat. Green building tidak memerlukan persyaratan tipe arsitektur yang beraneka ragam, tidak perlu terlihat membumi atau organik, juga tidak perlu memerlukan biaya yang tinggi dalam pembangunannnya, serta tidak perlu terlihat berbeda dari yang lain. Green building dapat dirancang dengan berbagai jenis atau bentuk. Fokus utama dari bangunan green building adalah memberikan keuntungan bagi para penghuninya, yaitu lebih mudah dalam mengkondisikan temperatur ruang, lebih nyaman, lebih sehat terutama untuk anak-anak, lebih tahan lama, dan lebih murah dalam hal pemeliharaannya. Green building memiliki konsep bangunan sebagai berikut: (1) Pemilihan material yang low energy-embody; (2) Orientasi tata letak bangunan; (3) Hemat energy; (4) Hemat penggunaan air; (5) Memiliki recycle air buangan; (6) Penanganan sampah 3 R; (7) Low heat dissipation; (8) Memperhatikan unsur iklim lokal; (9) Penggunaan HVAC yang ramah ozon; (10) Memiliki juklak/SOP
24
pengoperasian bangunan dengan spirit penghematan energi dan sumber-sumber yang digunakan (Ignes, 2008). Green Building Council Indonesia (GBIC, 2010) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bangunan hijau adalah efisiensi dalam penggunaan lahan, energi, air dan material, baik itu dari segi kuantitas maupun jenis material yang ramah lingkungan.
Selain itu juga yang dapat memberikan keamanan dan
kenyamanan penggunaannya, baik dari segi kesehatan dan pemanfaatan ruang. Pengaturan tentang green design sebenarnya telah tertuang secara tidak langsung mulai dari UU No. 283/2002, Peraturan Pemerintah No. 36/2005 termasuk Peraturan Menteri yang menjadi bagian dari Peraturan Pemerintah tersebut yaitu Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung yang memuat SNI dan Pedoman Teknis lain yang perlu diacu.
2.6 Ruang Terbuka Hijau Sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
disebutkan
bahwa
RTH
adalah
area
memanjang/jalur
dan/atau
mengelompok, yang penggunaanya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota; dan proporsi RTH Publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Menurut laboratorium perencanaan lansekap Departemen Arsitektur Lansekap Fakultas Pertanian IPB (2008), RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung yang di hasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, RTH di klasifikasikan menjadi RTH alami dan RTH binaan. Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya, RTH di kategorikan ke dalam RTH kawasan dan RTH jalur. Berdasarkan penggunaan lahan dan kawasan fungsionalnya, RTH di kategorikan ke dalam RTH kawasan perdagangan, RTH kawasan perindustrian, RTH kawasan
25
permukiman, RTH kawasan pertanian, dan RTH kawasan khusus, antara lain untuk pemakaman dan olah raga. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zoer’aini (2005), fungsi hutan kota sebagai bagian dari RTH dapat menyerap hasil negatif dari kota antara lain: suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya habitat burung. Pengelompokan hutan kota menurut sifat pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan sangat terkait dengan perubahan suhu, kelembaban, kebisingan, debu, populasi, distribusi burung dan estetika. Pengelompokan hutan kota berdasarkan hubungan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan antara lain: jalur, menyebar, bergerombol, dua strata dan berstrata banyak. Selanjutnya dikatakan bahwa hHutan kota berpengaruh terhadap beberapa parameter lingkungan antara lain penurunan suhu, peningkatan kelembaban, penurunan kebisingan, dan penurunan kadar debu (Tabel 3). Hutan kota sebagai bagian dari RTH memegang peranan yang sangat penting, karena penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002. Persyaratan minimal untuk menetapkan lahan yang akan digunakan sebagai hutan kota adalah sebagai berikut : berada di wilayah perkotaan, merupakan RTH yang didominasi pepohonan, luas minimum 0,25 ha mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika dan berfungsi sebagai resapan air. Beberapa pakar mengemukakan luas hutan kota harus dibangun berdasarkan jumlah penduduk; luasan hutan kota di Malaysia ditetapkan sebesar 1,9 m2/penduduk, sedangkan di Jepang sebesar 5,0 m2/penduduk.
Tabel 3. Pengaruh hutan kota terhadap parameter lingkungan No Pengaruh terhadap Bentuk hutan kota kualitas lingkungan 1. Penurunan suhu Jalur Menyebar Bergerombol Jalur 2. Peningkatan kelembaban Menyebar
Peningkatan/penurunan (%) 1,43 3,60 3,18 1,77 4,79
26
3.
Penurunan kebisingan
4.
Penurunan kadar debu
Bergerombol Jalur Menyebar Bergerombol Jalur Menyebar Bergerombol
5,54 21,87 16,34 37,62 39,91 51,14
Sumber : Zoer’aini (2005) Dewan kota Lanchasire Inggris menentukan 11,5 m2/penduduk, dan Amerika menetapkan 60 m2/penduduk, sedangkan DKI Jakarta taman untuk bermain dan olahraga diusulkan 1,5 m2/penduduk. (Departemen Kehutanan, 2006). Secara garis besar fungsi hutan kota dapat dikelompokkan menjadi : 1. Fungsi lansekap, yaitu meliput fungsi fisik dan fungsi sosial a. Fungsi fisik, yaitu berfungsi untuk perlindungan terhadap angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan terhadap bau, sebagai pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan pembingkai. b. Fungsi sosialsosial, sebagai tempat interaksi masyarakat, bermanfaat sebagai laboratorium, tanaman obat, tempat rekreasi, dan olah raga. . Penataan tumbuh-tumbuhan dalam hutan kota dengan baik akan memberikan tempat interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Hutan kota dengan aneka ragam tumbuh-tumbuhan mengandung nilai-nilai ilmiah sehingga hutan kota dapat sebagai laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat interaksi sosial lainnya. Fungsi sosial politik ekonomi misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk seperti buahbuahan, kayu, obat-obatan sebagai warung hidup dan apotik hidup. 2. Fungsi pelestarian lingkungan (ekologi) Dalam pengembangan dan pengendalian kualitas lingkungan diutamakan tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi pelestarian lingkungan antara lain adalah : a. Menyegarkan udara atau sebagai paru-paru kota. Fungsi menyegarkan udara dengan mengambil CO2 dalam proses fotosintesis menghasilkan
27
O2 yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernafasan. CO2 diambil dari udara, sedangkan air diambil dari dalam tanah melalui akar tanaman. b. Menurunkan suhu kota dan meningkatkan kelembaban. Suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Uap air di atmosfir bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya dapat menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun gelombang panjang. Hutan kota mempunyai pengaruh besar pada daerah-daerah yang suhunya tinggi, dan sangat bermanfaat khususnya untuk daerah tropis. c. Sebagai ruang hidup satwa. Tumbuh-tumbuhan selain sebagai produsen pertama dalam ekosistem juga dapat menciptakan ruang hidup (habitat) bagi makhluk hidup lainnya, sebagai burung, kupukupu, serangga. Burung sebagai komponen ekosistem mempunyai peranan penting, diantaranya untuk untuk mengontrol populasi serangga, membantu menyuburkan bunga dan pemencaran biji. Hampir pada setiap bentuk kehidupan terkait erat dengan burung, sehingga burung mudah dijumpai. Adanya kondisi tersebut diduga burung dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan, karena apabila terjadi pencemaran lingkungan, burung merupakan komponen alam terdekat yang terkena pencemaran. Burung berperan dalam reaksi alam, adanya taman burung selalu dikunjungi orang, untuk menikmati bunyi, kecantikan ataupun kecakapan burung. Burung mempunyai nilai pendidikan dan penelitian. Keindahan burung dari segala yang dimilikinya akan memberikan suatu kenikmatan tersendiri. Kebiasaan burung-burung
beranekaragam,
ada
kebiasaan berada mulai dari tajuk
burung
yang
mempunyai
samapi ke bawah tajuk. Ini
menunjukkan bahwa bila hutan kota mempunyai komposisi banyak jenis, berlapis-lapis dan berstrata akan memikat banyak burung. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Zoer’aini (2005) menunjukkan bahwa burung lebih banyak dijumpai baik jenis maupun jumlahnya pada hutan kota yang ditanami dengan tanaman produktif (berbunga, berbuah dan berbiji) pada struktur hutan kota yang berstrata banyak.
28
Kehadiran burung pada hutan kota yang berstrata banyak selain karena jumlah tumbuh-tumbuhan yang beranekaragam, juga pohonnya adalah jenis buah-buahan (tanaman produktif). Tanaman produktif dalam hal ini adalah tanaman yang menghasilkan bunga, buah, biji aroma, sehingga memberikan kesempatan lebih besar kepada burung (herbivor) yang menyukainya untuk datang, mencari makan, bercengkrama atau bersarang. d. Penyangga dan perlindungan permukaan tanah dari erosi., sebagai penyangga dan melindungi permukaan tanah dari air hujan dan angin. Sehubungan dengan itu hutan kota dapat membantu penyediaan air tanah dan pencegahan erosi. e. Pengendalian dan mengurangi polusi udara dan limbah., sebagai pengendalian dan atau mengurangi polusi udara dan limbah, serta menyaring debu. Debu atau partikulat terdiri dari beberapa komponen zat pencemar. Dalam sebutir debu terdapat unsur-unsur seperti garam sulfat, sulfuroksida, timah hitam, asbestos, oksida besi, silica, jelaga dan unsure kimia lainnya. Berbagai hasil penelitian lainnya menunjukkan
bahwa
tumbuh-tumbuhan
dapat
mengakumulasi
berbagai jenis polutan (pencemar). Seperti pohon jalar, asam landi, angsana dan mahoni dapat mengakumulasi Pb (timah hitam) yaitu hasil pencemaran oleh kendaraan bermotor, pada daun dan kulit batang. f. Perendaman kebisingan. Kebisingan adalah suara yang berlebihan, tidak diinginkan dan sering disebut polusi tak terlihat yang menyebabkan efek fisik dan psikologis. Efek fisik berhubungan dengan transmisi gelombang suara melalui udara, efek psikologis berhubungan dengan respon manusia terhadap suara. g. Tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator., yaitu sebagai tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator dari timbulnya masalah lingkungan. Karena tumbuhnya tertentu akan memberikan reaksi tertentu akan perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Plasma nutfah sangat diperlukan untuk kehidupan.
29
h. Menyuburkan Tanah. Sisa-sisa tumbuhan akan dibusukkan oleh mikroorganisma dan akhirnya terurai menjadi humus atau materi yang merupakan sumber hara mineral bagi tumbuhan itu kembali. 3. Fungsi estetika. Tumbuh-tumbuhan dapat memberikan keindahan dari garis,
bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang,
cabang, kulit batang, akar,bunga, buah maupun aroma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian hutan kota yang berstrata banyak mempunyai nilai estetika lebih tinggi, daripada hutan kota berstrata dua. Melihat besarnya manfaat RTH terutama taman kota atau hutan kota, maka dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan keberadaan RTH, beberapa hal yang perlu dilakukan (Litbang dan PPSDAL Murbaintoro, 2009)UNPAD 2003) antara lain : 1. Perlu ada kebijakan dan rencana program yang jelas yang disertai dengan petunjuk teknis yang memberikan kejelasan tentang jenis, fungsi atau
peruntukan dan sanksi untuk setiap jenis RTH dalam
rangka menghindari terjadinya penurunan jumlah dan luas RTH. 2. Menanam
vegetasi
yang
berbeda
atau
beranekaragam
untuk
meningkatkan daya tarik terhadap RTH yang ada terutama RTH untuk taman kota dan hutan kota. Penanaman vegetasi seyogyanya bukan untuk tujuan produksi melainkan vegetasi yang memiliki fungsi untuk mereduksi pencemaran udara. 3. Menjalin kerjasama dengan masyarakat dan berbagai stakeholder terutama para pengusaha untuk meningkatkan pemeliharaan RTH (taman kota dan hutan kota). 4. Dalam rangka meningkatkan jumlah dan luas taman serta pelibatan tanggungjawab masyarakat dan stakeholder, perlu dikaji penerapan adanya intensif dan disinsetif yang berupa green tax dalam hal penggunaan lahan terbuka untuk berbagai peruntukkannya. 5. Potensi cukup besar dari jumlah dan luas serta pola penyebaran tamantaman baru yang berasal dari fasilitas umum dan fasilitas sosial pada pemukiman-pemukiman baru perlu ditindaklanjuti secara lebih serius
30
oleh
pemerintahan
kota,
mengingat
kemampuan
untuk
mengembangkan taman baru tidak mudah. Penanganan serius tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan presentase ruang terbuka hijau yang harus disediakan oleh pengembang dalam bentuk fasos dan fasum. 6. Walaupun belum ada data pasti tentang jenis-jenis tumbuhan potensial (jenis tumbuhan di Indonesia) yang dapat mereduksi berbagai gas pencemaran udara, serta sensitif tidaknya terhadap berbagai zat pencemaran udara, namun dapat mempertimbangkan bahwa : a. Pada dasarnya hampir semua tanaman dapat menyerap berbagai gas pencemar. b. Tanaman, khususnya pohon yang akan ditanam di RTH/taman tidak ditujukan untuk kepentingan produksi, maka pada dasarnya jenis tanaman pohon apapun dapat ditanam dan dapat berfungsi sebagai pereduksi gas pencemar. Namun demikian jenis-jenis tanaman pohon yang ditanam, diprioritaskan jenis tanaman yang relatif hijau sepanjang tahun, dan tidak banyak menggugurkan daun. Untuk meningkatkan fungsi tanaman sebagai pemasok oksigen, dapat dilakukan pemangsakasan tajuk yang selain dapat merangsang pertumbuhan daun muda juga sekaligus dapat memperbaiki keindahan arsitektur tajuk. 7. Dalam rangka memperkecil terjadinya pelepasan karbon yang potensial menimbulkan pencemaran gas CO2, seresah serta potongan tajuk dan ranting tanaman tidak dibakar, melainkan dikomposkan untuk dijadikan kembali sebagai pupuk di taman. Kekurangan kebutuhan masyarakat terhadap taman, khususnya pada daerah/wilayah yang jumlah dan luas tamannya terbatas, maka perlu dikaji penggunaan halaman atau industri untuk dapat di akses oleh masyarakat. Moranco (2003) menyatakan bahwa RTH pada hakekatnya mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kondisi lingkungan. Hutan dan tanaman hijau dapat berfungsi untuk menyerap karbon di atmosfir, menjaga kelembaban udara, mengatur curah hujan,
31
membuat suhu lebih nyaman, dan menjaga terjadinya erosi tanah. Pemanfaatan lain yang dapat berfungsi seperti hutan dan tanaman hijau adalah taman kota walaupun dalam skala kecil terutama fungsinya sebagai taman rekreasi. Keberadaan RTH dapat memberikan efek psikologis yang berbeda terhadap manusia yang menghuni suatu kota, dalam hal ini manusia yang menghuni suatu kota yang dilengkapi dengan RTH yang memadai akan menyebabkan berkurangnya efek kekerasan dalam masyarakat dibandingkan dengan kota tanpa RTH yang cenderung akan memicu terjadinya banyak kekerasan dalam masyarakat (APA, 2003). Disamping keberadaan hutan kota yang sangat penting, salah satu komponen RTH yang selama ini mengalami degradasi adalah keberadaan lahan pertanian yang semakin lama samakin berkurang di beberapa wilayah, yang saat ini menunjukkan maraknya perubahan fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri, dan kawasan perumahan dan permukiman.
Apabila hal tersebut tidak
segera diantisipasi, maka akan terjadi kerusakan lingkungan yang sangat besar.Apabila dikaitkan dengan konsep highest and best use yang dikemukakan oleh Barlowe (1986), sumberdaya lahan tersebut memiliki highest and best use apabila penggunaanya memberikan optimum return kepada pengelolanya. Tergantung pada kriteria yang digunakan, return ini dapat diukur di dalam bentuk monetary terms, intangible, dan social value atau dalam bentuk kombinasi dari nilainilai tersebut. Sebagai contoh, real estate akan melakukan analisis highest and best use apabila pembangunan real estate tersebut digunakan sebagai tujuannya atau kombinasi tujuan-tujuan dengan mempertimbangkan keuntungan komparatif tertinggi atau kerugian komparatif terendah dibandigkan penggunaan lainnya. Dalam
masyarakat
modern,
sumberdaya
lahan
biasanya
memberikan return yang lebih tinggi apabila digunakan untuk tujuan komersial atau industri dibandingkan untuk orang tujuan lain. Oleh
32
karena itu penggunaan untuk tujuan tersebut biasanya mengalahkan tujuan penggunaan yang lain. Berikutnya digambarkan profil penggunaan lahan untuk tujuan komersial dan industri, perumahan dan permukiman, diikuti dengan tujuan-tujuan lain seperti pertanian, hutan,
Padang rumput
Hutan
Pertanian
Perumahan dan Permukiman
Komersial dan Industri
Nilai Ekonomi
padang rumput untuk pengembalaan dan lahan gundul (Gambar 3).
Gambar 3. Profil penggunaan lahan
Lahan gundul Penggunaan lahan
(Litbang dan PPSDAL
Murbaintoro, 2009)UNPAD 2003) Profil tersebut mewakili gambaran rata-rata secara umum, tidak pernah tetap atau statis, karena sering terjadi dinamika perubahan akibat perbedaan yang ada pada masing-masing penggunaan. Misalnya, beberapa industri dan komersial akan mencari daerah yang lebih murah (low cost), sedangkan hunian atau apartemen kadangkadang mencari daerah yang biasanya untuk industri atau komersial. Teori lain menyatakan bahwa dalam konteks land economics, land value sangat dipengaruhi oleh hubungan komplementer antara land rent dengan transportation cost (Alonso, 1964). Berdasarkan hal tersebut maka keberadaan RTH menjadi sangat penting bagi suatu kota
33
sehingga diperlukan upaya khusus bagi terselenggaranya pembangunan perumahan yang berkelanjutan (Murbaintoro, 2009).
2.7 Beton Konvensional Beton merupakan fungsi dari bahan penyusunnya, yang terdiri dari bahan semen, agregat (kasar dan halus) beserta air. Beton dapat dibentuk sesuai dengan tuntutan konstruksi sesuai fungsinya. Pada pembentukan beton secara konvensional diperlukan cetakan atau bekesting yang biasanya terbuat dari kayu, untuk penyesuaian bentuk struktur sesuai fungsinya, selain memerlukan bekesting, juga dibutuhkan penyangga dari kayu atau besi. Beton ini dicetak ditempat beton tersebut diperlukan, sehingga apabila fungsinya sebagai pelat lantai, balok ataupun
kolom, maka beton tersebut dikerjakan/dicetak pada lantai tersebut.
Dalam
pelaksanaan
pembuatan
cetakan/bekesting dan penyangga.
beton
tersebut
dibutuhkan
banyak
Konstruksi cetakan dan penyangga pada
sistem beton konvensional dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Konstruksi beton konvensional (sumber: foto penelitian).
2.8 Beton Pracetak Beton pracetak adalah teknologi konstruksi struktur beton dengan komponen-komponen penyusun yang dicetak terlebih dahulu pada suatu tempat khusus (off-site fabrication), terkadang komponen-komponen tersebut disusun dan disatukan terlebih dahulu (pre-assembly), dan selanjutnya dipasang di lokasi (installation). Berdasarkan hal tersebut maka sistem pracetak ini akan berbeda dengan konstruksi beton monolit pada aspek perencanaan yang tergantung atau
34
ditentukan
oleh
metoda
pelaksanaan
dari
fabrikasi,
penyatuan
dan
pemasangannya, serta ditentukan pula oleh teknis perilaku syistem pracetak dalam hal cara penyambungan antar komponen (joint). Beberapa prinsip beton pracetak tersebut dipercaya dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan beton konvensional antara lain terkait dengan pengurangan waktu dan biaya, serta peningkatan jaminan kualitas, predictability, keandalan, produktivitas, kesehatan, keselamatan, lingkungan, koordinasi, inovasi, reusability, serta relocatability (Gibb, 1999). Aplikasi beton pracetak di Indonesia telah dilaksanakan mulai tahun 1979 pada pembangunan Rusunawa Sarijadi, Bandung yang menggunakan brecast system dari Inggris. Penggunaan sistem pracetak sampai saat ini umumnya masih pada pembangunan Rusunawa yang dibiayai pemerintah, dalam rangka mendorong
pengembangan
inovasi
dan
efisiensi
pembangunan
yang
berkelanjutan. Pembangunan gedung bertingkat oleh dunia usaha, umumnya masih menggunakan gabungan sistem konvensional dengan sistem pracetak (Nurjaman dan Sijabat, 2007). Pelaksanaan konstruksi dengan beton pracetak dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perakitan sistem beton pracetak (sumber: foto penelitian). Pada awalnya beton precast masih mengadopsi teknologi dari luar negeri, namun saat ini sudah banyak tenaga ahli Indonesia yang berhasil menciptakan teknologi precast sendiri dan sudah mendapat hak paten dari Kementerian Hukum
35
dan HAM. Seluruh sistem sudah diuji di Laboratorium Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan dinyatakan layak digunakan untuk pembangunan rumah susun. Sampai saat ini sudah ada 46 precaster yang mendapat hak paten (Tabel 4)
Tabel 4. Daftar precaster yang telah mendapat hak paten di Indonesia No.
Nama Sisem
Pemilik Paten
No
Nama Sistem
Pemilik Paten
1
Waffle Crete
Waffle Crete USA
24
HK Precast
PT.HK
2
Column Slab
JH Simanjuntak
25
Java Perkasa/Diamond
PT.Java Perkasa cs
3
Beam Column Slab
JH Simanjuntak
26
BCS-JHS
PT.JHS PCI
4
Beam Column Slab
PT. Adhi Karya
27
Kotapari
PT.Buana Construction, cs
5
Bresphaka
Syafei Amri cs
28
Well-Conn
PT.Borneo Sakti cs
6
Jasubakim
Syafei Amri cs
29
Platcon Precast 07
PT. Ruang Pratama
7
T-Cap
Arief Sabarudin cs
30
Precon HBS
Sugeng Wijanto cs
8
U Shell
PT. P.Perumahan
31
Virtu
PT. Total Boanerges Ind. PT. Tata Bumu Raya, cs
9
LMC
Syafei Amri cs
32
TBR-J
10
WR
PT. WK Realty
33
Couple Comb Plate
PT. Victory Sena Utama
11
Wasppiko
PT.PPI
34
KW
PT. Kumala Wandira
12
Spircon
Lufti Faisal
35
DPI
PT. Dania Pratama Int.
13
PSA
Prijasambada
36
MRP
PT. Margusta BP
14
PSA-Paesa
Prijasambada
37
BI-Plate
PT. Widya Satria
15
Priska
Prijasambada
38
Fibra Murni
PT. Fibra Murni
16
Kolom Multi Lantai
Edenta Sinuraya
39
W-Plus
PT. Cipta Jaya Fadilah
17
C-Plus
Sutadji Yuwasdiki
40
Kencana
PT. Kencana Precast
18
Jedds System
David Manariur
41
RB-Con
PT.Prima Jaya Persada
19
PSA VI-Mextron
Prijasambada
42
Trinity
PT.Prima Usaha Trinity
20
PPI System
PT.PPI
43
Rigid Joint Precast
PT. Hiper Concrete Precast
21
PSA VII
Prijasambada
44
MPS
PT. Meitama Abadi
22
Tricon Lio
Bisuk Simanjuntak
45
Sakori
Dedi Prana Putra
23
Waskita Precast 07
PT. WK cs
46
Manara
Haris Mardian cs
2.9 Energi Bahan Bangunan Semua bahan bangunan berasal dari tanah. Bangunan yang terbuat dari tanah cukup ramah lingkungan karena dibangun dekat dengan tempat asalnya dan tidak menghabiskan biaya perpindahan energi yang besar. Selain itu, jika tidak lagi dibutuhkan, bangunan tersebut dapat didaur ulang secara alamiah sehingga tidak menimbulkan polusi dan hanya mengembalikannya ke tempat asalnya.
36
Dalam memilih bahan bangunan, yang harus dipertimbangkan pertama kali adalah energi yang terkuras dalam proses pembangunan tersebut. Besarnya energi yang digunakan akan berpengaruh pada tingkat ramah lingkungan suatu bangunan (Moughtin, 2005). Berdasarkan kandungan energinya, bahan bangunan terbagi ke dalam tiga kelompok; rendah, sedang, dan tinggi. Kandungan energi bahan bangunan diukur dalam kilowatt-jam per kilogram, sebagaimana Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan energi bahan bangunan (Moughtin, 2005) Bahan
Kandungan Energi KWh/Kg
Bahan Berenergi Rendah Pasir, agregat Kayu Beton Batako Beton Ringan Bahan Berenergi Sedang Eternit Batu Bata Kapur Semen Mineral Fibre Kaca Porselain ( Perlengkapan Sanitasi ) Bahan Berenergi Tinggi Plastik Baja Timbal Besi Tembaga Alumunium
0.01 0.1 0.2 0.4 0.5 1.0 1.2 1.5 2.2 3.9 6.0 6.1 10.0 10.0 14.0 15.0 16.0 56.0
Kandungan energi suatu bahan bangunan berkaitan dengan dampaknya terhadap lingkungan. Misalnya, energi yang terkandung pada tanah, lumpur, atau tanah liat adalah nol, namun ketika dibakar menjadi batu bata akan menjadi 0,4 – 1,2 kWh/kg. Umumnya, semakin kecil kandungan energinya, maka semakin kecil pula polusi yang dihasilkan. Pertimbangan lain dalam pemilihan bahan bangunan ramah lingkungan adalah energi yang dihabiskan untuk memindahkan bahan tersebut dari tempat pengolahan ke tempat pembangunan. Misalnya, kayu, energi yang dihabiskan untuk mengangkut kayu dari hutan mungkin akan lebih besar dari energi yang terkandung dalam kayu itu sendiri. Dengan demikian pembuatan bangunan ramah lingkungan dapat melibatkan bahan-bahan lokal, satu-satunya kendala adalah ketersediaannya (Amourgis, 1991).
37
Bangunan-bangunan tersebut dapat menghemat energi selama masa pemakaiannya. Pohon merupakan unsur penyerap karbon yang juga banyak digunakan dalam dalam suatu bangunan, maka pelestarian pohon merupakan hal yang sangat penting. Dengan menyeimbangkan penanaman pohon dan emisi karbon yang digunakan saat membuat suatu bangunan, maka pengembangan bangunan dapat berjalan dengan sehat dan lancar. Misalnya, rumah biasa dengan tiga kamar tidur menghabiskan energi sebesar 20 ton karbondioksida dan membutuhkan 20 pohon selama periode 40 tahun (Moughtin, 2005). Perencanaan penanaman pohon dapat menghasilkan suatu gerakan baru bagi ketahanan lingkungan. Namun, pemakaian energi adalah satu-satunya dampak dari suatu pembangunan. Proses alami yang seimbang ditandai dengan adanya siklus alam yang menghasilkan sedikit limbah dan sampah. Analogi siklus dan proses alam telah menjadi pemicu bagi pengembangan teknik penilaian siklus kehidupan (LCA-life cycle assessment). LCA atau tolak ukur polusi dan kehijauan merupakan desain pembangunan yang memiliki metode yang paling sesuai dengan desain ekologis. Energi dibutuhkan mulai dari pengambilan material bahan bangunan tersebut di alam, proses pembuatan, pengangkutan, pemasangan, pemeliharaan sampai pembongkarannya. Dalam proses menghasilkan energi tersebut akan mengeluarkan emisi CO2 yang berpotensi mempengaruhi perubahan iklim globlal. Oleh karena itu perlu dipikirkan media penyimpan CO2 tersebut baik di tanaman, tanah sampai air. Proses pemanfaatan energi, pelepasan emisi CO2 sampai penyimpanannya dinamakan tolak ukur energi ( energy footprint ). Sabbarudin
(2011) menyatakan bahwa kebutuhan energi konstruksi yang
dianggap wajar untuk bangunan perumahan adalah 240 kWh/m2.
2.10
Pemanasan Global
Pemanasan global pada hakekatnya adalah perubahan variabel iklim global, khususnya suhu dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu antara 50-100 tahun (Soedjito, 2002). Meningkatnya kegiatan perekonomian, dan pola konsumsi manusia yang berlebihan terhadap penggunaan energi dan peningkatan pembangunan lainnya, mengakibatkan
38
penggunaan bahan bakar fosil seperti, minyak, batubara, dan gas, sebagai sumber energi, meningkat dengan tajam. Peningkatan penggunaan bahan bakar fosil ini mengakibatkan meningkatnya gas buangan seperti CO2, CH4, H2S yang disebut gas-gas rumah kaca (GRK). Keberadaan gas-gas tersebut telah mencapai kadar yang berlebihan, sehingga menahan panas akibat radiasi balik dari bumi, yang disebut efek rumah kaca (ERK). Meningkatnya ERK ini mengakibatkan kenaikan dari suhu bumi. Faktor lain yang menyebabkan kenaikan suhu bumi adalah akibat menipisnya lapisan ozon di atmosfer terutama di wilayah kutub (Bratasida, 2002). Lapisan ozon berfungsi sebagai pelindung radiasi langsung dari sinar matahari ke bumi sehingga kehidupan di bumi dapat berlangsung. Keberadaan bahan-bahan kimia khususnya yang dibuat oleh manusia seperti chloro fluoro carbon (CFC), Halon, dll ternyata merupakan penyebab rusaknya lapisan ozon di atmosfer. Terjadinya penipisan lapisan ozon, mengakibatkan radiasi gelombang pendek matahari akan lolos ke lapisan atmosfir bumi, sehingga mengakibatkan meningkatnya suhu bumi. Gejala meningkatnya suhu bumi akibat peningkatan intensitas ERK dan menipisnya lapisan ozon di atmosfer, disebut pemanasan global. Beberapa pengamatan yang dilakukan di beberapa belahan dunia, menunjukkan bahwa indikasi terjadinya pemanasan global sudah semakin signifikan, antara lain dengan menipisnya ketebalan es di kutub utara dan selatan, naiknya permukaan air laut, dan meningkatnya suhu di kota-kota besar. Iklim merupakan salah satu dari komponen ekosistem, dengan variabel suhu, angin, dan curah hujan. Perubahan iklim terjadi karena terjadinya perubahan pada variabel dari iklim tersebut (Gie, 2002), sehingga meningkatnya suhu bumi atau terjadinya pemanasan secara global akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim secara global. Dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir sesungguhnya “masih menjadi debat dalam dunia riset”, tiga skenario yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1990 digunakan sebagai pijakan beberapa studi yang dilakukan di Indonesia dengan menggunakan skenario moderat IPCC, skenario A yakni kenaikan kira-kira
39
sebesar 60 cm hingga akhir abad 21 (Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002). Pemanasan global merupakan fenomena alam yang diakibatkan oleh meningkatnya GRK, walaupun para ahli masih memperdebatkan penyebab sesungguhnya pemanasan globa, karena selain pengaruh GRK di atmosfir, juga dipengaruhi oleh faktor geologi seperti meningkatnya intensitas radiasi, perubahan sumbu bumi dan berkurangnya ketinggian daratan. Walaupun kaitan langsung antara ERK dengan kenaikan muka air laut masih dalam perdebatan, tetapi pemanasan global mempengaruhi kerusakan kawasan pantai telah menjadi isu dunia, sehingga perlu kerjasama seluruh dunia dengan peran yang seimbang supaya di masa depan manusia dapat hidup dengan sehat dan aman. (Sampurno, 2001). Selama 100 tahun terakhir telah diakui secara luas telah terjadi kenaikan temperatur global bumi rata-rata 0,3-0,6 °C, juga adanya tercatat pengurangan salju yang menutupi permukaan bumi, yang ditandai dengan kenaikan tinggi permukaan air laut global sekitar 1-2mm pertahun. Adanya variasi yang besar pada perubahan temperatur yang pernah terjadi sebelumnya (1550-1850) maka hingga saat ini ada indikasi belum dapat diyakini apakah pemanasan global "terjadi secara alamiah atau akibat ulah manusia" karena sebelum revolusi industri (1750) konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir berada dalam keadaan relatif konstan dan setelah periode tersebut konsentrasi gas CO2 bertambah hampir 26%, gas metana menjadi 2 kali dan konsentrasi nitrogen (N2O) bertambah mendekati 8%. Perubahan konsentrasi tersebut disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, minyak, dan gas bumi; Penggundulan
hutan
yang
mengubah
daya
pantul
dan
mengurangi
penyerapan; pengkonservasian CO2, penambahan hasil pertanian, peningkatan peternakan, pembakaran biomasa, dan CFC (UNEP 1992). Peningkatan CO2 di atmosfir disebabkan oleh anthropogenetic yaitu: dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang memperlihatkan keadaan komposisi kandungan karbon di atmosfir terdapat sedikit konsentrasi konsentrasi
13
14
C dan banyaknya
C sesuai dengan karakteristik isotop C dari hasil pembakaran
40
bahan bakar fosil. Demikian pula, peningkatan CO2 dibelahan bumi sebelah utara lebih cepat karena pembakaran bahan bakar fosil terjadi paling tinggi (June, 2004). Presiden Bush di AS memandang perubahan cuaca global akan berlangsung tanpa dapat dielakkan dan mengedepankan strategi adaptasi sebagai langkah utama guna menghadapinya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa AS meragukan ketentuan Kyoto Protokol yang jika diberlakukanpun hanya akan menimbulkan pengaruh positif yang tidak cukup berarti terhadap efek pemanasan global (SI-IPTEKnet 27/06/02). Sikap dan pernyataan Presiden Bush di AS sangat tidak menguntungkan bagi usaha mengurangi green house gasses (gas rumah kaca), secara ilmiah pernyataan tersebut berarti kurang respek terhadap hasil dunia scientific, yang jelas menyatakan dan membuktikan bahwa green house gases menjadi penyebab utama pemanasan global, sikap seperti ini yang berarti kurang profesional Sekalipun penyebab pemanasan global belum diketahui dengan pasti namun kecenderungan naiknya muka air laut telah terjadi di beberapa kawasan pantai Indonesia. Hasil pengamatan beberapa peneliti pada tahun 1990 dan 1991 di beberapa wilayah menunjukkan adanya variasi kenaikan muka air laut di Belawan setinggi 7,38 mm, Jakarta 4,38 mm, Semarang 9,27 mm, Surabaya 5,47 mm, di Panjang Lampung 4,15 mm (Kurdi, 2002). Perubahan iklim global dapat ditanggulangi dengan menyimpan karbon sebesar besarnya tetapi hutan tropis rusak jauh lebih cepat dengan hutan di wilayah iklim sedang (Riyanto 2004). Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi laju tersebut karena memiliki hutan tropis terbesar di dunia dan kelestarian hutan tropis harus terjaga. Sumberdaya alam ini menjadi potensial untuk meningkatkan daya saing bangsa. Maria (2004) menyatakan presentasi cadangan karbon yang tersebar di hutan tropis sebesar 53,1% ada di Indonesia. Hutan memiliki tegakan pohon, jumlah karbon yang diserap oleh sebuah pohon yang sedang tumbuh tergantung dari spesies, iklim, dan tanah serta umur pohon, hutan yang sedang tumbuh membentuk sekitar 10 ton karbon per hektar per tahun (Foley, 1993). Dalam melangsungkan hidupnya, pohon melakukan proses fotosintesis di siang hari untuk memperoleh cadangan makanan. Melalui proses
41
tersebut, pohon menyerap CO2 di udara sehingga jumlah CO2 di udara berkurang dan berubah menjadi penambahan O2 (oksigen). Penyerapan CO2 dalam proses fotosintesis menyebabkan pengurangan emisi CO2 sebagai gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Daya serap pohon terhadap CO2 1.559,10 kg/ha.hari dan 129,92 kg/ha.jam (www.repository.ipb.ac.id, 22 November 2010).