MODEL PENGEMBANGAN RUSUNAWA RAMAH LINGKUNGAN MELALUI OPTIMASI PELAKSANAAN GREEN CONSTRUCTION DI BATAM
HAIRUL SITEPU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Green Construction adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Oktober 2011
Hairul Sitepu NIM P062059324
ABSTRACT HAIRUL SITEPU, Developing Green Building Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Model by Optimazing Green Construction, under the supervision of Bambang Pramudya as a chairman, Aris Munandar, Etty Riani and Rinekso Soekmadi as members respectively The vertical storeyed houses policy has been an important policy since the growth of population and the scarcity of the landed houses in the city. Vertical houses for middle-up class people are known as Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) or Simple Storeyed Owned Houses while vertical houses for lower income class people are called Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa). Rusunawa development utilizes a lot of natural resources as the construction materials which impact to depletion of nature. The objective is to set up the policy of green Rusunawa development utilizing green construction through the identification/research of building materials that are potentially causing negative impacts to the environment, key factors and actors as well as the alternatives in the construction accomplishment to obtain its optimum. A Rusunawa building is built of concrete. There are three alternatives in the construction, system conventional, semi pre-cast, and pre-cast way. This research starts with the calculation of using of building materials for each alternative continued with the analysis of the environmental impact in utilizing natural resources that are produced, utilized and recycled. The tool that is used to analyze is Life Cycle Assessment (LCA) using the SimaPro 5.0 software. The result of the single score of the conventional LCA shows that iron is the largest impacting element (8,19 kPt), followed by cement (4,55 kPt). LCA semi pre-cast, shows that cement is the largest impacting element (4,7 kPt), followed by iron (3,59 kPt) while LCA pre-cast shows concrete iron is the largest contributor of impact (6,81 kPt), followed by cement (3,82 kPt). Almost all of the elements potentially result in 3 dominant impact categories, (1) chronic content of poison in water environment; (2) accute content of poison in water environment and (3) chronic content of poison in land environment. The total impact of the environment in using building materials in conventional construction is 18,6 kPt and could be reduced to 13,8 kPt by using pre-cast and is able to be reduced more to 13,0 kPt by using semi pre-cast. Besides the potential environment impact it caused, this research also found out that the usage of construction energy for the pre-cast concrete system is less, merely 806,981 KWH, in comparison to the conventional system which is 1,253,774 KWH and the pre-cast system is 1,008,199 KWH for each twin-block Rusunawa. The LCA research data and energy are forwarded to the experts to obtain inputs through the Analyses Hierarchy Process (AHP) approach, with the result that the construction accomplishment alternative utilizing semi pre-cast concrete is able to maintain the environment quality through regulating the government policy in respect to the green Rusunawa development. Further more, through the Interpretative Structure Modeling (ISM), it is discovered that with regard to the semi pre-cast concrete development, the dominant actor is the Ministry of Public Housing (Kemenpera) with the potential obstacle of development recognized to be in its socialization and draw backs of Human Resources. The development of semi pre-cast concrete system has the ability to save wood logs of 398,021 M3 or equal to 6,636 Hectares of forest area in 2010, increasing to 1,899,819 M3 of wood logs or equal to 31,496 Hectares of forest area in 2030, merely for the development in Batam. Key words: LCA, AHP, ISM, element, impact, material, pre-cast, energy, AHP, ISM
RINGKASAN
HAIRUL SITEPU, Model Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan melalui Optimasi Pelaksanaan Green Construction di Batam, dibawah bimbingan Bambang Pramudya sebagai ketua, Aris Munandar, Etty Riani dan Rinekso Soekmadi sebagai anggota. Pembangunan yang baik adalah pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu dengan mempertimbangkan aspek lingkungan sejak dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai pemanfaatannya. Peningkatan pertambahan jumlah populasi penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik dari segi kuantitas maupun dari sisi kualitas, sehingga faktor pertambahan penduduk ini mempengaruhi perubahan yang besar dalam lingkungan hidup. Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup manusianya, pemerintah telah melakukan peremajaan kota sebagai upaya penataan kembali bagian kawasan kota dengan cara mengganti sebagian, atau seluruh dari unsur-unsur lama dengan yang lebih baru. Baik itu dalam bentuk rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) ataupun rumah susun sederhana milik (Rusunami) Pemerintah merencanakan pembangunan Rusunawa dalam 5 tahun kedepan sebanyak 650 twin block (TB) yang seluruhnya akan menggunakan konstruksi beton. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis – jenis bahan bangunan utama yang ramah lingkungan dalam beberapa alternatif pelaksanaan konstruksi pengembangan rusunawa, mendapatkan alternatif pelaksanaan konstruksi pembangunan rusunawa yang ramah lingkungan, mengidentifikasi aktor dan kendala dalam pelaksanaan pengembangan Rusunawa, serta mendesain kebijakan pembangunan rusunawa yang ramah lingkungan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi hijau (green construction). Pembangunan rusunawa membutuhkan banyak sumberdaya alam sebagai bahan baku konstruksi. Pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat berdampak terhadap kerusakan pada sumberdaya alam dan lingkungan. Bangunan rusunawa terbuat dari konstruksi beton, yang dalam pengerjaannya dapat dilakukan melalui 3 alternatif pelaksanaan konstruksi, yaitu secara konvensional, semi pracetak dan pracetak. Bahan bangunan yang digunakan antara lain terdiri dari semen, bata merah, batu pecah, pasir, keramik, besi beton, besi biasa, baja ringan, alumunium, kaca, kayu panel pintu, dan air. Bahan baku yang digunakan sebagai bahan pendukung pembangunan terdiri dari baja scafolding, baja cetakan, kayu penyangga, kayu cetakan, dan oli cetakan. Penelitian dimulai dengan menghitung kebutuhan bahan bangunan masing-masing alternatif. Pengolahan data penggunaan bahan bangunan masing-masing alternatif dilaksanakan dengan pendekatan Life Cycle Assesment (LCA) melalui bantuan perangkat lunak SimaPro5. Hasil karakterisasi yang diperoleh menunjukkan bahwa hampir seluruh dampak lingkungan terbesar didominasi oleh kontributor proses pada pembuatan rusunawa menggunakan beton konvensional, kecuali pada dampak pengasaman dan sumberdaya. Penggunaan beton semi pracetak dan pracetak secara umum bisa mengurangi dampak terhadap lingkungan. Hasil skor tunggal secara agregat menunjukkan penggunaan beton semi pracetak memiliki kinerja sedikit lebih baik dibandingkan dengan penggunaan beton pracetak dalam hal dampak lingkungan yang ditimbulkan daur hidup kontributor prosesnya. Dampak lingkungan secara keseluruhan akibat daur hidup kontributor proses penggunaan beton konvensional sebesar 18,6 kPt. Hal ini bisa diturunkan menjadi hanya 13,8 kPt dengan penggunaan beton pracetak dan menjadi hanya 13,0 kPt dengan penggunaan beton semi pracetak. Sementara perbedaan kemampuan antara penggunaan beton pracetak dan beton semi pracetak sekitar 6% (0,8 kPt) dalam menurunkan dampak lingkungan
Besi sebagai bahan baku pembuatan besi beton, merupakan kontributor proses yang memiliki dampak terbesar dalam pembangunan rusunawa terhadap lingkungan. Bahan lain yang memiliki dampak terbesar adalah semen yang terbuat dari copper slag, steel slag, pasir silika dan bahan-bahan ferrite. Pada proses pembuatan semen jika tidak dikelola dengan benar akan menyebabkan global warming akibat emisi dari proses pembakaran bahan bakar fosil. Adapun elemen yang memberikan dampak paling kecil adalah air untuk beton karena tidak melalui pengolahan dan penggunaan truk. Hasil LCA dan ISM menjadi landasan penyusunan strategi kebijakan pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Pelaku utama yang harus berperan dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan di Kota Batam adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat. Kedua institusi ini harus mendorong pengembangan rusunawa terutama melalui sosialisasi untuk meningkatkan kemampuan SDM dan pemahaman semua pihak. Selain itu, perlu dilakukan kebijakan yang bisa mendorong penerapan prioritas bagi konstruksi beton semi pracetak bagi keberhasilan pengembangan rusunawa ramah lingkungan Pelaksanaan konstruksi dengan menggunakan beton semi pracetak dan pracetak mempunyai kelebihan dalam percepatan waktu pelaksanaan dan biaya lebih murah dibanding konvensional, sedangkan semi pracetak adalah yang lebih ramah lingkungan. Kekurangan penggunaan beton semi pracetak adalah penggunaan tenaga kerja secara total lebih sedikit dibandingkan beton konvensional, namun penggunaan tenaga kerja terampil lebih banyak. Besi beton dan semen merupakan kontributor proses yang bisa memberikan dampak paling besar, sementara air untuk beton dan penggunaan truk merupakan elemen dengan dampak terkecil. Hampir seluruh elemen bahan bangunan berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan, yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis; (2) kandungan racun lingkungan perairan akut; (3) kandungan racun lingkungan tanah kronis. Berdasarkan kajian struktur sistem, maka Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat merupakan pelaku kunci (key stakeholders) dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Sementara sosialisasi merupakan kendala utama yang menghambat pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Semua hasil tersebut menjadi bahan penyusunan kebijakan stakeholders kunci guna keberhasilan pengembangan rumah susun ramah lingkungan, khususnya di Kota Batam .
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL PENGEMBANGAN RUSUNAWA RAMAH LINGKUNGAN MELALUI OPTIMASI PELAKSANAAN GREEN CONSTRUCTION DI BATAM
HAIRUL SITEPU
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Ujian tertutup pada 10 September 2011, Penguji luar: 1. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo 2. Dr. Ir. Andi Gunawan
Ijian terbuka pada 11 Oktober 2011, Penguji luar: 1. Dr. Ir. Hazaddin TS 2. Dr. Ir. Siti Nurisjah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Pamah Tambunan, Langkat, Sumatera Utara pada tanggal 15 Mei 1962, merupakan anak ke 5 dari 8 bersaudara dari pasangan B. Sulaiman Sitepu (alm) dan Ayem br. Singarimbun. menyelesaikan pendidikan S1 Teknik Sipil pada tahun 1991, S2 Manajemen pada tahun 2001 di Surabaya. Pada tahun 2005 diterima sebagai mahasiswa S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja di Kanwil Departemen Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Timur sejak 1983 sampai 2002, lalu bekerja Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah di Jakarta sejak 2003 sampai 2004, selanjutnya bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat sejak 2005 sampai sekarang. Pengalaman mengajar di Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya dan Fakultas Teknik Sipil Universitas Bhayangkara Surabaya pada tahun 1998 sampai 2002. Penulis menikah pada 21 April 1991 dengan Sempa Arih Ginting, SE, MSi dikaruniai seorang putra Lazuar Anshar Ramadhan Sitepu dan seorang putri Layasi Andhini Sitepu.
Disertasi ini kupersembahkan kepada istriku, kedua anakku dan orangtuaku serta seluruh seluruh keluarga besarku
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xviii I . PENDAHULUAN.......................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 5 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................... 9 1.5. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 9 1.6. Novelty ................................................................................................. 12 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 2.1. Pembangunan Berkelanjutan ................................................................ 2.2. Perkotaan dan Lingkungan ................................................................... 2.3. Rumah Susun ........................................................................................ 2.4. Green Environment ............................................................................. 2.5. Green Building ..................................................................................... 2.6. Ruang Terbuka Hijau .......................................................................... 2.7. Beton Konvensional ............................................................................. 2.8. Beton Pracetak ..................................................................................... 2.9. Energi Bahan Bangunan ...................................................................... 2.10. Pemanasan Global ...............................................................................
13 13 15 19 21 21 22 28 28 30 32
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 3.2. Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Sumber Data .................. 3.2.1. Data Spasial ................................................................................ 3.2.2. Data Sosial Ekonomi .................................................................. 3.2.3. Data Bahan Bangunan ................................................................ 3.2.4. Data Fisik Konstruksi ................................................................. 3.2.5. Data Sumber Daya Alam dan Lingkungan ................................ 3.3. Teknik Penarikan Sampel ..................................................................... 3.4. Pendekatan Penelitian........................................................................... 3.5. Life Cycle Assassment (LCA) .............................................................. 3.6. Analytical Hierarchy Proccess (AHP) ................................................ 3.7. Interpretative Structural Modelling (ISM) ........................................... 3.8. Pendekatan Sistem................................................................................
36 36 36 37 37 37 38 38 39 40 40 48 51 54
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 4.1. Gambaran Umum Kota Batam ............................................................. 4.1.1. Geografis dan Administrasi ........................................................ 4.1.2. Kependudukan ............................................................................ 4.1.3. Pemanfaatan dan Pengembangan Lahan .................................... 4.2. Pengembangan Permukiman di Kota Batam .......................................
64 64 64 66 67 71
xiii
4.3. Pembangunan Fisik Rusunawa ............................................................. 4.3.1. Metoda Pelaksanaan .................................................................. 4.3.2. Sistem Pracetak Beton yang Digunakan .................................... 4.3.3. Kebutuhan Bahan Bangunan ...................................................... 4.4. Analisis LCA......................................................................................... 4.4.1. Bahan Baku Pembangunan Rusunawa ....................................... 4.4.2. LCA Beton Konvensional ........................................................... 4.4.3. LCA Beton Semi Pracetak (Semi PC) ........................................ 4.4.4. LCA Beton Pracetak (PC) .......................................................... 4.4.5. Perbandingan Alternatif ............................................................. 4.5. AHP ...................................................................................................... 4.6. Struktur Sistem Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan ......... 4.6.1. Elemen Pelaku atau Institusi Sistem Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan ................................................................... 4.6.2. Kendala Utama Terkait Sistem Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan .................................................................. 4.7. Sistem Dinamik Pengelolaan Ramah Lingkungan .............................. 4.7.1. Sub-sistem Sosial Kependudukan .............................................. 4.7.2. Sub-sistem Lingkungan Fisik ..................................................... 4.7.3. Sub-sistem Nilai Ekonomi.......................................................... 4.7.4. Validasi Model .......................................................................... 4.8. Model Konseptual Kebijakan Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan .......................................................................................... 4.8.1. Pendekatan Kebijakan ................................................................ 4.8.2. Kebijakan Prioritas Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan ............................................................................... 4.8.3. Model Kebijakan ........................................................................ 4.8.4. Implikasi Kebijakan ...................................................................
78 78 80 82 84 84 86 98 108 115 122 133 134 141 147 151 153 164 168 169 170 172 174 185
V. SIMPULAN DAN SARAN........................................................................... 186 5.1. Simpulan ............................................................................................... 186 5.2. Saran ..................................................................................................... 188 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 189 LAMPIRAN ....................................................................................................... 197
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Jumlah menara rusuna yang telah dibangun Lima tahun terakhir ............. Rencana pembangunan rusunawa ............................................................. Pengaruh hutan kota terhadap parameter lingkungan .............................. Daftar precaster yang telah mendapat hak paten di Indonesia.................. Kandungan energi bahan bangunan .......................................................... Jenis-jenis peta dan sumber ....................................................................... Jenis data dan sumber data sosial ekonomi ............................................... Jenis data dan sumber data bahan bangunan ............................................. Jenis data dan sumber data fisik konstruksi .............................................. Jenis data dan sumber daya alam dan lingkungan .................................... Pengambilan jumlah responden ................................................................. Katagori life cycle impact assesment......................................................... Skala penilaian perbandingan berpasangan .............................................. Structural sel interaction matrix (SSIM) awal elemen ............................. Hasil reschability matrix (RM) final elemen ............................................ Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2010................................................ Pertumbuhan penduduk Kota Batam tahun 2006-2010............................. Spesialisasi fungsi pusat Kota Batam ........................................................ Pengembangan rusunawa dan rusunami hingga tahun 2009 ..................... Pengembangan rusunawa dan rusunami tahun 2009 ................................. Analisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kota Batam .................. Kebutuhan bahan bangunan masing-masing alternatif.............................. Perbandingan kebutuhan bahan pembangunan rusunawa berdasarkan volume dan harga ...................................................................................... Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional .............................................................................................. Kontributor utama untuk kategori dampak beton konvensional ............... Hasil karakteristik setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional .................................................................................... Hasil normalisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional .................................................................................... Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton semi pracetak ............................................................................................. Kontributor utama untuk kategori dampak beton semi pracetak............... Hasil karakteristik setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton semi pracetak ................................................................................... Hasil normalisasi setiap kontributor terhadap setiap dampak beton semi pracetak...................................................................................................... Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton pracetak...................................................................................................... Kontributor utama untuk kategori dampak penggunaan beton pracetak ... Hasil karakteristik setiap kontributor terhadap setiap dampak beton pracetak......................................................................................................
6 6 24 30 31 37 37 38 38 38 40 44 49 52 52 66 67 69 75 76 78 83 85 91 94 96 97 102 103 106 107 110 111 113
xv
35 Hasil normalisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton pracetak............................................................................................ 36 Perbandingan kontributor utama pada setiap alternatif ............................. 37 Kebutuhan energi setiap alternatif.......................................................... ... 38 Kandungan emisi karbon tiap jenis bahan bakar.................................... ... 39 Matriks interaksi tunggal terstruktur (SSIM) elemen pelaku .................... 40 Hasil reachability matrix (RM) elemen pelaku ......................................... 41 Hasil reachability matrix (RM) revisi elemen pelaku ............................... 42 Matrix interaksi tunggal terstruktur (SSIM) elemen kendala utama ........ 43 Hasil reachability matrix (RM) elemen kendala utama ............................ 44 Hasil reachability matrix revisi elemen kendala utama ............................ 45 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja di Kota Batam .. 46 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman di Kota Batam .... 47 Hasil simulasi kebutuhan lahan rumah di Kota Batam ............................. 48 Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam ................... 49 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam ............... 50 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam ...... 51 Hasil simulasi potensi penyerapan CO2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam ........................................................................ 52 Hasil simulasi biaya pembangunan dan keuntungan pembangunan pemukiman di Kota Batam ........................................................................ 53 Hasil simulasi biaya sewa rumah bagi tenaga kerja di Kota Batam .......... 54 Data validasi model pengembangan rusunawa ramah lingkungan berdasarkan perkembangan jumlah penduduk ..........................................
114 117 118 119 135 136 137 141 142 143 152 154 157 159 160 161 162 166 167 168
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Perbandingan persentase APBN dalam memfasilitasi pembangunan perumahan ................................................................................................ Kerangka pemikiran penelitian.................................................................. Profil penggunaan lahan ............................................................................ Konstruksi beton konvensional ................................................................. Perakitan sistem beton pracetak ................................................................ Tahapan rencana penelitian ....................................................................... Prinsip kerja LCA ...................................................................................... Tahapan penyusunan LCA ........................................................................ Hierarki pengambilan keputusan (AHP) kebijakan pengembangan rumah susun sederhana (rusunawa) ramah lingkungan ............................. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor ................................... Diagram causal loop.................................................................................. Diagram input-output model pengembangan rusunawa ............................ Batas administrasi Kota Batam ................................................................. Peta rencana pemanfaatan lahan berdasarkan RTRW Kota Batam tahun 2004-2014 .................................................................................................. Sistem sambungan konstruksi beton pracetak ........................................... Sistem column, beam and slab .................................................................. Hasil analsis diagram pohon tahapan proses daur hidup beton konvensional .............................................................................................. Hasil analsis diagram pohon tahapan proses daur hidup semen.......................... ............................................................................... Hasil analsis diagram pohon tahapan proses daur hidup besi beton.................... ...................................................................................... Hasil analsis diagram pohon tahapan proses daur hidup kayu penyangga.......... ........................................................................................ Hasil analisis single score beton konvensional ......................................... Besarnya dampak penggunaan besi beton pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt) ................... Besarnya dampak penggunaan semen pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt) ................... Besarnya dampak penggunaan bata merah pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt)... Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton konvensional .............................................................................................. Hasil karakteristik setiap kontributor proses beton konvensional ............. Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak lingkungan menggunakan beton konvensional .................................................................................... Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup bata merah ....... Hasil analisis single score beton semi precetak ......................................... Besarnya dampak penggunaan semen pada pembangunan rusunawa menggunakan beton pracetak untuk setiap kategori (Pt) ...........................
5 12 27 28 29 36 41 42 50 54 57 58 65 68 81 82 87 88 88 89 90 92 92 93 94 95 95 98 99 99
xvii
31 Besarnya dampak penggunaan besi beton pada pembangunan rusunawa menggunakan beton semi pracetak untuk setiap kategori (Pt) .................. 32 Besarnya dampak penggunaan bata merah pada pembangunan rusunawa menggunakan beton pracetak untuk setiap kategori (Pt) .......... 33 Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton semi pracetak ............................................................................................. 34 Hasil karakteristik setiap kontributor proses beton semi pracetak ............ 35 Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak lingkungan menggunakan beton semi pracetak ................................................................................... 36 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup beton pracetak . 37 Hasil analisis single score beton pracetak ................................................. 38 Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton pracetak...................................................................................................... 39 Hasil karakteristik setiap kontributor proses beton pracetak ..................... 40 Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak beton pracetak ..................... 41 Perbandingan hasil karakteristik pada setiap alternatif ............................. 42 Perbandingan hasil normalisasi pada setiap alternatif ............................... 43 Perbandingan hasil pembobotan pada setiap alternatif ............................. 44 Perbandingan hasil skor tunggal pada setiap alternatif ............................. 45 Konsumsi energi di Indonesia tahun 2005................................................ 46 Penyebab utama emisi CO2....................................................................... 47 Hasil analisis AHP pemilihan bahan rusunawa ramah lingkungan ........... 48 Prioritas pendapat pakar dalam pengembangann rusunawa ...................... 49 Faktor-faktor dalam pengembangan rusunawa ......................................... 50 Tujuan dalam pengembangan rusunawa ................................................... 51 Alternatif dalam pengembangan rusunawa ............................................... 52 Klasifikasi elemen pelaku berdasarkan tingkat ketergantungan .............. 53 Level hirarki dan hubungan dalam elemen pelaku .................................... 54 Klasifikasi elemen kendala utama berdasarkan tingkat ketergantungan dan daya pendorongnya ............................................................................. 55 Level hirarki dan hubungan dalam elemen kendala utama ....................... 56 Stock-flow diagram model pengembangan pemukiman di Kota Batam ... 57 Hasil simulasi jumlah penduduk dan tenaga kerja di Kota Batam ............ 58 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman di Kota Batam .... 59 Hasil simulasi kebutuhan lahan rumah di Kota Batam ............................. 60 Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam .................... 61 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam ................ 62 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam ....... 63 Hasil simulasi potensi penghematan CO2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam ........................................................................ 64 Hasil simulasi biaya pembangunan dan keuntungan pembangunan pemukiman di Kota Batam ........................................................................ 65 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi di Kota Batam ........ 66 AVE jumlah penduduk di Kota Batam...................................................... 67 AME jumlah penduduk di Kota Batam..................................................... 68 Model konseptual pengembangan rusunawa ramah lingkungan ...............
100 100 104 105 105 108 109 111 112 112 115 116 116 117 119 121 125 126 127 130 131 138 140 144 146 148 152 154 156 158 159 161 162 165 166 169 169 178
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Diagram pohon alternatif beton semi pracetak .......................................... 197
2.
Diagram pohon alternatif beton pracetak ..................................................
198
3. Persamaan matematik model dinamik pengembangan rusunawa ... .........
199
4. Kuisioner pakar…………………………………………………………..
203
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai Di negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, dengan tingkat kesejahteraan masih rendah, pembangunan menjadi sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan yang dilakukan selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan, apabila pembangunan yang dilakukan tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Pembangunan yang baik adalah pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu dengan memperhatikan mempertimbangkan aspek lingkungan sejak perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, sampai pembongkarannya (demolish). Adanya pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan, dapat dikatakan bahwa pembangunan tersebut sudah merupakan bagian dari pembangunan yang berkelanjutan. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah
upaya sadar dan
terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembagunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Adapun pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) haruslah memiliki konsep dalam melaksanakan kegiatan pembagunannya, yaitu : (a) Konsep pembangunan, (b) Konsep lingkungan, (c) Konsep sosial budaya. Kegiatan pPembangunan yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan manusia. Pertambahan populasi penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi kuantitas maupun dari sisi kualitas, sehingga faktor pertambahan penduduk ini mempengaruhi perubahan yang besar dalam lingkungan hidup (Soemarwoto, 2001). Agar berperan aktif dalam pembangunan, maka sSumberdaya tidak hanya harus berperan aktif dan tidak hanya dikelola secara berkelanjutan (sustainable management), tetapi perlu
2
dikelola menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang berkelanjutan tersebut memerlukan keseimbangan antara ekonomi, sosial dan ekologi. Ketiga aspek tersebut harus dapat diwujudkan melalui trade off yang dapat diterima dan disepakati para pihak (Rossi, 2004). Pertambahan penduduk perkotaan di Indonesia sangat pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari total penduduk nasional pada tahun 2015 (BPS, 20033). Salah satu implikasi tingginya kKepadatan penduduk perkotaan tersebut berimplikasi
padaadalah
mepeningkatanya
kebutuhan
perumahan,
yang
merupakan masalah utama kota-kota besar di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan adanya hubungan kuat antara penyebaran pengembangan perumahan dengan ketersediaan lahan, harga tanah, dan aksesibilitas. Bahkan karena keterbatasan lahan, maka kualitas lingkungan dan perumahan
masuk pada
kategori tidak layak jika ditinjau dari segi kesehatan. Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup manusianya, pemerintah telah melakukan peremajaan kota sebagai upaya penataan kembali bagian kawasan kota dengan cara mengganti sebagian, atau seluruh dari unsurunsur lama dengan yang lebih baru. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan vitalitas serta kualitas lingkungan baik secara fisik, fungsional, maupun visual. Adanya peningkatan vitalitas dan kualitas lingkungan, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih baik bagi kehidupan kota secara keseluruhan. Adapun salah satu cara untuk meningkatkan vitalitas dan kualitas lingkungan tersebut dengan cara melakukan pembangunan rumah susun, . Bbaik
dalam
bentuk rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) ataupun rumah susun sederhana milik (Rusunami). Pembangunan rumah susun sebagai kebijakan pembangunan perumahan telah lama dilaksanakan. Rumah susun yang pertama dibangun pada tahun 1950an adalah berupa flat perumahan instansi pemerintah di Jalan Iskandarsyah, Jakarta Selatan, diperuntukkan bagi perumahan PNS Departemen Luar Negeri.
3
Namun saat ini rumah susun tersebut telah beralih fungsi menjadi kawasan bisnis Pasar Raya. Selain itu juga terdapat rumah susun Flat PTIK di Jl. Tirtayasa, yang hingga saat ini kondisinya masih terawat dengan baik. Rumah susun lainnya adalah Rumah Susun Kebon Kacang yang merupakan pembangunan rumah susun (public housing) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Rusunawa seperti tersebut di atas juga telah dibangun di Tanah Abang, Penjaringan, Cengkareng, Medan, Bandung, Batam dan lain-lain. Menurut para stakeholders, dengan membangun rumah susun di daerah perkotaan, maka kota dapat ditata dengan rapi, efisien, dan kota bercitrakan modern. Hingga saat ini telah dilakukan berbagai penelitian yang mencoba mencari hubungan pengembangan perumahan dengan aspek keberlanjutan, baik ditinjau dari fisik lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Elder dan Zumpano (1991) telah melakukan penelitian kepemilikan lahan, permintaan perumahan dan lokasi perumahan. Penelitian ini mendapatkan hasilHasil penelitian tersebut menyatakan bahwa salah satu aspek yang menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan rumah adalah jarak lokasi perumahan ke tempat kerja. Hal tersebut menjadi pertimbangan pemilihan rumah oleh kepala keluarga yang menggunakan sarana angkutan umum. Penelitian lainnya dilakukan oleh Almeida (1998) yang meneliti model tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Hasil pemodelan ini menunjukkan bahwa dinamika tata guna lahan memberikan estimasi pada perkembangan perkotaan berkelanjutan. Tamin (2001) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa belum ada pemodelan yang menjelaskan penentuan lokasi perumahan berkelanjutan secara komprehensif. Sheiner dan Kaster (2002) melakukan penelitian tentang gaya hidup, pilihan lokasi perumahan dan mobilitas sehari-hari. Hasil penelitian tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa pilihan lokasi perumahan dan mobilitas sehari-hari adalah hal yang saling terkaitberhubungan. Ionnides dan Rossi-Housberg (2004) meneliti struktur dan pertumbuhan kota, dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pola konsentrasi
kegiatan
ekonomi
dan
evolusinya
merupakan
determinan
pertumbuhan ekonomi nasional. Evaluasi distribusi kota memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
4
Freeman
(2004)
meneliti
tentang
trend
lokasi
perumahan,
hasil
penelitiannya menunjukkanhasil penelitiannya menunjukkan bahwa kedekatan dengan lokasi perumahan pemerintah dapat meningkatkan keterjangkauan daya beli rumah murah. Winarso (2004) meneliti tentang kebijakan pertanahan untuk pengembangan lahan perumahan di Indonesia. Hasil, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan lahan perkotaan termasuk faktor eksogen, yang akan yang akan mempengaruhi keputusan para pengembang dalam memilih lokasi perumahan. Dilain pihak pDi lain pihak pembangunan perumahan khususnya rusunawa tentunya membutuhkan banyak sumberdaya alam sebagai bahan baku konstruksinya, seperti: pasir, batu, semen, besi, kayu, dll. Keberadaan bahanbahan bangunan tersebut sangat terbatas secara kuantitas di alam. Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan, saat ini sudah dalam tahap memprihatinkan. Kegagalan pengelolaah hutan produksi secara lestari, telah menyebabkan banjir, longsor, erosi sampai berkurangnya penyerapan CO2 yang berpengaruh pada perubahan iklim global. Hutan Indonesia mencapai 63% dari luas daratan
dan menjadi bagian
penting dari paru-paru kehidupan dunia, sehingga kelestarian hutan Indonesia tidak hanya menjadi kepentingan Bangsa Indonesia tetapi juga menjadi kepentingan bangsa-bangsa di seluruh dunia (Poernama, 2006). Akan tetapi di Indonesia sampai sekarang terus terjadi deforestrasi dan degradasi hutan yang menyebabkan penurunanpenurunan penutupan vegetasi hutan. Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985/1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 19972000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2005-2010 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Demikian juga penggalian pasir dan batu yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan telah menyebabkan bahaya banjir dan longsor yang menelan korban jiwa. Kondisi tersebut di atas mendorong perlunya Demikian juga penggalian pasir dan batu yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan telah menyebabkan bahaya banjir dan longsor serta menelan korban jiwa.
5
penelitian tentang sistem pembangunan rusunawa yang ramah lingkungan, yang
dalam
pelaksanaan
pembangunannya
secara
fisik,
memanfaatkan
sumberdaya alam seminimal mungkin. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu disusun suatu model pengembangan rusunawa yang ramah lingkungan dengan mengoptimalkan pelaksanaan konstruksi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi yang ideal untuk mengefisiensikan pelaksanaan pembangunan rusunawa, sehingga mewujudkan pengembangan Rusunawa yang memperhatikan kelestarian lingkungan (environmental sustainability). 1.2
Perumusan Masalah Tingginya pertumbuhan penduduk di perkotaan dan sangat terbatasnya
lahan mengakibatkan kondisi pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman di perkotaan masih belum terealisir sepenuhnya. Bahkan kondisi ini terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia, karena pertambahan penduduk setiap tahunnya relatif tidak diimbangi dengan ketersediaan perumahan dan permukiman. Selain itu, permasalahan yang menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan perumahan adalah akibat kemampuan ekonomi masyarakat yang terbatas. Sebagai perbandingan, persentase alokasi dana APBN dalam memfasilitasi pembangunan perumahan
di
Indonesia,
dibanding
dengan
negara-negara
lain
adalah
sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
(%) Gambar 1. Perbandingan persentase APBN dalam memfasilitasi pembangunan perumahan, (Menpera, 2009) Kondisi tersebut menyebabkan masalah kekurangan rumah (backlog) di Indonesia masih terus meningkat. Sensus perumahan yang dilaksanakan BPS Tahun 200710 menunjukkan angka backlog sebesar 8,5 juta dan perlunya
6
rekonstruksi rumah akibat bencana alam sebesar 118 ribu unit, adanya rumah tidak layak huni 13 juta unit, permukiman kumuh pada 54 ribu hektar di 10 ribu lokasi dan pertambahan kebutuhan rumah 800.000 unit/tahun. Pada uUmumnya pembangunan perumahan untuk golongan menengah ke atas lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pembangunan rumah sederhana untuk kelompok menengah ke bawah. Padahal, dilihat dari statistik dan komposisi penduduk, jumlah penduduk yang masuk kategori menengah ke bawah jauh lebih banyak dibanding kelas menengah atas. Sementara itu, pembangunan perumahan sederhana maupun Rusunawa dapat dikatakan belum menunjukkan pertumbuhan berarti. Perumahan untuk masyarakat menengah ke bawah dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bahkan hampir tidak ada yang dikembangkan oleh pengembang. Menurut Suwito S. (2004), hantaman kKrisis ekonomi yang membuat harga bahan bangunan menjulang semakin memperpuruk kondisi rakyat kecil terhadap kebutuhan papan. Pada tahun 2006 pemerintah mencanangkan program pembangunan 1.000 menara rumah susun sederhana (Rusuna), baik itu Rusunawa (sewa) yang akan dikembangkan
oleh
pemerintah
maupun
Rusunami
(milik)
yang
akan
dikembangkan oleh swasta. Target ini diharapkan dapat dicapai pada tahun 2011, dengan melibatkan stakeholders, namun realisasi pembangunan Rusuna sampai saat ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah menara Rusuna yang telah dibangun lima tahun terakhir. (Menpera, 2011) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Melihat
Rusunawa 50 67 86 98 55 49 143
lambatnya
perkembangan
Rusunami 7 94
pembangunan
Total 50 67 86 105 149 49 143
Rusunami
oleh
pengembang swasta, maka pemerintah merencanakan pembangunan 650 menara Rusunawa selama lima tahun, sebagaimana rencana pada Tabel 2. Tabel 2. Rencana pembangunan Rusunawa, (Bappenas, RPJMN 2010-2014) Tahun
Rusunawa (menara)
7 2010
170
2011
170
2012
170
2013
70
2014
70
Kalau dilihat dari rencana masa pelaksanaan pembangunan Rusuna, baik Rusunami yang akan dibangun pengembang maupun Rusunawa yang akan dibangun pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum, akan ada pembangunan 200 menara setiap tahun. Hal ini akan menyebabkan penggunaan sumber daya alam untuk bahan bangunan secara besarbesaran, khususnya penggunaan kayu, pasir, batu, semen sampai besi. Bahanbahan bangunan tersebut tentunya akan diambil langsung dari alam, yang dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada saat pelaksanaan konstruksi, kayu dimanfaatkan sebagai bahan bangunan utama berupa kusen, rangka atap, daun pintu dan jendela, maupun untuk bahan bangunan pendukung konstruksi berupa bekesting dan perancah. Biasanya kayu diambil langsung dari hutan, dengan menebang pepohonan yang berfungsi sebagai penyedia O2, penyerap CO2, pencegah erosi dan banjir. Demikian juga dengan bahan bangunan lain seperti pasir dan batu, yang biasanya langsung diambil dari sungai atau pegunungan, yang berfungsi sebagai penahan tanah longsor dan banjir. Dalam penyediaan bahan bangunan yang diambil dari alam, kemudian diolah sampai menjadi bahan siap pakai untuk dipasang dan dirakit sebagai bagian konstruksi, memerlukan banyak energi. Baik itu energi yang dihasilkan oleh bahan bakar yang dapat diperbaharui seperti: nabati, air, angin, sinar matahari, maupun dari bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui seperti dari fosil-fosil. Sebagaimana diketahui, sampai saat ini bahwa mayoritas energi yang dipakai adalah dari bahan bakar fosil, yang dalam penggunaannya mengeluarkan emisi CO2 sebagai salah satu gas rumah kaca. Melihat kondisi tersebut di atas, bahwa penggunaan kayu dalam pembangunan fisik Rusunawa dapat mengurangi persediaan O2 dan mengurangi pula penyerapan CO2 oleh tanaman kayu tersebut. Kondisi yang sama juga terjadi
8
pada pemanfaatan sumber daya alam berupa pasir, batu dan semen yang dapat mengurangi daya dukung lingkungan, ditambah kebutuhan energi untuk membuat bahan bangunan agar siap pakai. Oleh karena itu dirasa perlu melakukan penelitian terhadap cara-cara pelaksanaan konstruksi yang ramah lingkungan dengan mengurangi penggunaan sumber-sumber daya alam yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Adanya pPembangunan rusunawa ini tentu saja tidak serta merta menyelesaikan permasalahan pemenuhan kebutuhan akan rumah, karena dalam pelaksanaan pembangunannya harus mempertimbangkan kesiapan dan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu beberapa fokus permasalahan yang dapat diformulasikan, untuk dicarikan jawabannya adalah: 1. Bahan bangunan apa saja yang termasuk katagori ramah lingkungan, baik dari segi kebutuhan energi pembuatannya, pemasangannya, sampai pengelolaannya, hingga perkiraan dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya ? 2. Jenis pelaksanaan konstruksi seperti apa yang dapat dipilih, agar seminimal mungkin menggunakan bahan-bahan bangunan dari sumber daya alam, yang berdampak pada ketahanan lingkungan ? 3. Bagaimana kesediaan stakeholders dalam mengembangkan Rusunawa dengan metoda pelaksanaan dan penggunaan bahan bangunan yang ramah lingkungan (green building) ? 4. Apa saja kendala yang dihadapi selama ini dalam mengembangkan Rusunawa melalui optimasi pelaksanaan konstruksi
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah membangun model pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan (green building) dengan optimasi pelaksanaan konstruksi. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan berbagai kajian yang akan mendukung tujuan penelitian, yaitu: 1. Menganalisa gidentifikasi jenis–jenis bahan bangunan utama yang berperan penting ramah lingkungan ddalam beberapa alternatif pelaksanaan konstruksi
9
pengembangan
Rrusunawa
yang
berpotensi
menimbulkan
dampak
lingkungan;ramah lingkungan. 2. Mengidentifikasi alternatif pelaksanaan konstruksi pembangunan Rrusunawa yang ramah lingkungan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi bangunan hijau (green building construction).; 3. Mengidentifikasigidentifikasi kendala dalam
pelaksanaan pengembangan
Rrusunawa yang ramah lingkungan;. 4. Mengembangkan model pengembangan Rrusunawa yang ramah lingkungan;. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai : 1. Gambaran umum tentang permasalahan perumahan dan permukiman, khususnya dalam pengembangan pelaksanaan pembangunan Rusunawa yang ramah lingkungan. 2. Informasi tentang bahan-bahan bangunan yang ramah lingkungan, yaitu yang hemat energi dengan tingkat emisi minimal, yang dibutuhkan dalam pembangunan Rusunawa. 3. Alternatif model pelaksanaan konstruksi pengembangan Rusunawa, sebagai salah satu strategi pemenuhan kebutuhan rumah yang ramah lingkungan. 4. Referensi dalam pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan. 5. Informasi ilmiah untuk pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan (green building) melalui optimasi pelaksanaan konstruksi bangunan hijau (green construction). 1.5 Kerangka Pemikiran Pembangunan Rusunawa sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan perumahan di kawasan perkotaan, telah lama dikembangkan pemerintah, khususnya lagi setelah pencanangan pengembangan 1.000 menara Rusuna. Rusunawa yang akan dikembangkan adalah yang direncanakan memenuhi aspek-aspek keberlanjutan, yaitu hemat energi, hemat sumber daya alam, nyaman dan aman serta seminimal mungkin menghasilkan limbah dan sampah (green building). Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2010, yang dimaksud dengan bangunan ramah lingkungan (green
10
building) adalah suatu bangunan yang menerapkan prinsip lingkungan dalam perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaannya dan aspek penting penanganan dampak perubahan iklimMenurut . Iggnes (2008), menyatakan bahwa bangunan yang berkelanjutan haruslah memiliki konsep sebagai berikut: (1) Pemilihan material yang low energy-embody; (2) Orientasi tata letak bangunan; (3) Hemat energi; (4) Hemat penggunaan air; (5) Memiliki recycle air buangan; (6) Penanganan sampah 3R (reuse, reduce, recycle); (7) Low heat dissipation; (8) Memperhatikan unsur iklim lokal; (9) Penggunaan HVAC yang ramah ozon; (10) Memiliki juklak/SOP pengoperasian bangunan dengan spirit penghematan energi dan sumber-sumber yang digunakan. Selain
itu,
menurut
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
No:
05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi diantaranya memberikan acuan untuk pembangunan Rusunawa dengan cara sebagai berikut: 1. Menerapkan rancangan, teknologi konstruksi, mekanikal dan elektrikal, maupun pengelolaan rumah susun hemat energi. 2. Maksimalisasi ventilasi silang secara alami untuk menaikkan tingkat nisbi dan menurunkan suhu ruangan. 3. Minimalisasi pemakaian lampu dengan memaksimalkan pencahayaan alami. 4. Menggunakan peralatan managemen air, udara, tinja dan lain lain yang hemat energi. 5. Menggunakan sistem utilitas daur ulang seperti daur ulang pembuangan air untuk menyiram taman. 6. Mengunakan bahan bangunan maupun teknologi pembangunan yang tidak mengkonsumsi banyak energi. 7. Melaksanakan pembangunan dengan menggunakan seminimal mungkin bahan baku dari alam 8. Menata lingkungan dan lanskap di sekitar bangunan gedung dengan menanam banyak pohon juga merupakan salah satu upaya penghematan energi yang juga dapat mengurangi pemanasan global. Di lain pihak, permasalahan pemanasan global juga sampai saat ini belum menemukan solusi terbaik. Pertemuan para kepala negara dan pemerintahan di
11
Kopenhagen, Denmark beberapa waktu lalu, belum menghasilkan kesepakatan bersama yang mengikat untuk mengurangi emisi CO2, sebagai salah satu gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global sampai perubahan iklim. Indonesia sebagai salah satu peserta, berpartisipasi secara mandiri akan mengurangi emisi CO2 sebesar 26 % pada 2020, melalui pengurangan laju luasan hutan (deforestasi), baik penebangan pohon, maupun akibat kebakaran. Melihat kondisi tersebut dan kaitan dalam mencapai target pembangunan 1.000 menara rusuna, maka diperlukan suatu optimasi atau eksplorasi tata cara pembangunan rumah susun yang ramah lingkungan, dengan seminimal mungkin menggunakan sumber daya alam, khususnya kayu. Salah satu metoda pelaksanaan konstruksi yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan sistem beton pracetak (pre cast) Dengan sistem ini, beton dicetak terlebih dahulu, baik di pabrik atau di lapangan, selanjutnya baru dirakit di lapangan sesuai kebutuhan perencanaan. Cetakan beton (bekisting) biasanya terbuat dari besi yang dapat dipakai berulangulang (Ervianto 2006). Pada pelaksanaan beton biasa (konvensional), beton dicetak di lapangan sesuai bentuk strukturnya, dengan sistem beton biasa dibutuhkan banyak kayu untuk cetakan beton (bekisting) berikut penyangganya, cetakan kayu ini umumnya hanya bisa dipakai 1-2 kali saja, selanjutnya dibuang, karena setelah dipakai akan terjadi perubahan bentuk kayu karena kembang-susut pengaruh akibat air beton. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat bukti potensial akan manfaat teknologi dan sistem beton pracetak ini. Untuk penggunaan beton pracetak bagi pembangunan rusunawa, telah ditemukan beberapa hal seperti di bawah ini (Nurjaman dan Sijabat, 2007): •
Efisiensi biaya bisa mencapai 20 % jika dibandingkan pada rancangan awal dengan sistem konvensional.
•
Efisiensi waktu pelaksanaan pembangunan (misalnya dengan sistem konvensional waktu pelaksanaan 8 bulan, pada sistem pracetak dapat menjadi 6 bulan).
•
Ketahanan bangunan terhadap gempa lebih besar dibandingkan dengan sistem konvensional.
12
•
Mengurangi pemakaian bahan bangunan, khususnya penggunaan kayu yang bisa dihemat sampai lebih dari 95 %, tergantung metoda yang digunakan. Dengan demikian diharapkan, selain secara perencanaan sudah ramah
lingkungan (green design), secara pelaksanaan konstruksi juga ramah lingkungan (green construction). Berkurangnya pemakaian bahan bangunan pada sistem ini, khususnya kayu, sudah barang tentu akan mengurangi penebangan pohon di hutan (deforestasi), sehingga memberikan kontribusi dalam mempertahankan luasan hutan, yang berfungsi sebagai penyerap CO2. Adapun kerangka pemikiran yang penelitian sebagaimana tertera pada Gambar 2.
UU 1/2011 UU 28/2002
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian
1.6 Novelty Penelitian terkait sebelumnya banyak mengkaji model penentuan lokasi dan model engembangan perumahan yang berkelanjutan dengan rekomendasi pembangunan rusunawa. Namun penelitian yang lebih fokus pada cara pembangunan rusunawa, agar dapat dilaksanakan secara ramah lingkungan, sampai saat ini belum ada. Berdasarkan hal tersebut maka model kebijakan pengembangan
rusunawa
yang
ramah
lingkungan
berkelanjutan
(green
13
building)melalui optimasi pelaksanaan green construction konstruksi merupakan novelty dari penelitian ini.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Berkelanjutan Dalam hal hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan
ini
jelas
bahwa
pengelolaan
sumberdaya
alam
harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Soemarwoto (2006) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial masyarakat. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilita politiknya tergantung
pada
dukungan
penuh
masyarakat
melalui
pemerintahnya,
kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Djajadiningrat (2001) dan Arsyad (2005) mengemukakan bahwa berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk mendapatkan kesempatan hidup. Menurut Siagian (2005) konsep
berkelanjutan
(sustainable)
menawarkan
penyeimbangan
antara
14
pemeliharaan kelestarian alam dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang semakin berkembang di masa depan. Konsep keberlanjutan juga merupakan sebuah sistem yang ditandai dengan kestabilan, dimana perubahan-perubahan terus dibatasi untuk menjaga keseimbangan dari sistem pada masa depan. Ada tiga hal yang menjadi tujuan dari konsep yang ingin dicapai yaitu : a) meminimalkan konsumsi bahan dan energi, b) mencegah efek negatif pada daya dukung lingkungan dan lingkungan itu sendiri, 3) memenuhi kebutuhan manusia. Tujuan pembangunan berkelanjutan secara ideal membutuhkan pencapaian hal-hal sebagai berikut : (i) Keberkelanjutan ekologis; (ii) Keberkelanjutan ekonomi dan keberkelanjutan sosial budaya; (iii) Keberkelanjutan politik; dan (iv) Keberkelanjutan pertahanan keamanan (Djajadiningrat, 2001). Menciptakan lingkungan perkotaan berkelanjutan sangat krusial karena aktivitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan memegang peranan penting dalam perbaikan kesejahteraan manusia dengan memfasilitasi pembangunan sosial, kultural dan ekonomi (urban and regional development Institute, URDI, 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan perpaduan antara aspek teknis, ekonomis, sosial dan ekologis yang dituangkan dalam perumusan kebijakan nasional (Arsyad, 2002). International Labour Organization (ILO) mengemukakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah membuat semua anggota masyarakat mendapatkan semua elemen-elemen kunci bagi kehidupan, seperti pangan yang cukup, sandang, permukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya mengkombinasikan kebutuhan mendesak dengan pentingnya melindungi lingkungan (Sarosa, 2002). Karakteristik kota berkelanjutan adalah: (i) tata guna lahan terintegrasi dengan rencana transportasi; (ii) pola tata guna lahan; (iii) pola tata guna lahan membantu melindungi sumberdaya air; (iv) control penggunaan lahan untuk setiap orang; (v) kota yang manusiawi, ruang hijau, pasar petani, dan daerah pedestrian; (vi) mendukung kota lebih kompak (Sarosa, 2002). Keberkelanjutan (sustainability) adalah menyeimbangkan upaya untuk memenuhi kebutuhan saat ini dengan keharusan untuk menyisakan warisan positif
15
kepada generasi masa yang akan datang. Semua komponen ekonomi, lingkungan dan sosial sebenarnya saling berkaitan dan tidak dapat digarap sendiri – sendiri. Oleh karena itu perlu dikembangkan pendekatan kemitraan terhadap semua permasalahan (Timmer dan Kate, 2006). Pembangunan
berkelanjutan
sektor
perumahan
diartikan
sebagai
pembangunan perumahan termasuk di dalamnya pembangunan kota berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti pembangunan perumahan berkelanjutan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan (Kirmanto, 2005). Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan dan permukiman akan mendominasi penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang, untuk itu, perlu dipertimbangkan empat hal utama, yaitu : (i) pembangunan yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung- jawabkan (sociality and culturally suitable and accountable); (ii) pembangunan yang secara politis dapat diterima (politically acceptable); (iii) pembangunan yang layak secara ekonomis (economically feasible); dan (iv) pembangunan yang bisa dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan (environmentally sound and sustainable). Hanya dengan jalan mengintegrasikan keempat hal tersebut secara konsisten dan konsekuen, pembangunan perumahan dan permukiman bisa berjalan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Soenarno, 2004). Dalam rangka keberkelanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri. Peran pemerintah kota semakin lama semakin bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya, sistem pelaku majemuk akan menggantikan sistem pelaku-tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah. Di masa depan, akan terdapat titik majemuk kewenangan dan pengaruh, dan tantangannya adalah bagaimana memberdayakan mereka agar dapat bekerja sama. Manfaatnya adalah adanya kepercayaan dan koneksi sosial (modal sosial) yang terus terakumulasi, yang pada gilirannya akan mencapai tiga sasaran yaitu menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak korup; menurunkan
16
sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non-pemerintah (Alexander,., 2006).
2.2 Perkotaan dan Lingkungan Richadson (1978) menyatakan bahwa kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah; kepadatan penduduknya tinggi; sebagian besar wilayah merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu lintas dan transportasi; merupakan kegiatan perekonomian non pertanian. Kota merupakan konsentrasi masnusia dalam suatu wilayah geografis tertentu dengan mengadakan kegiatan
ekonomi
(Galion
1986).
Dickinson
dalam
Jayadinata
(1992)
mengungkapkan bahwa kota adalah suatu permukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan dari hasil pertanian. Budihardjo dan Hardjohubodjo (1993) menyatakan kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek. Royal Swedish Academy of Science (1995) menyatakan bahwa suatu kKota berkelanjutan adalah: (i) mencakup aspek kultural, sosial dan ekonomi dari seluruh lingkungan urban-pedesaan; (ii) memberikan manfaat bagi pelaku individual dalam masyarakat; (iii) kriteria tersebut harus didefinisikan dalam kaitannya dengan kondisi lokal dan dibangun dengan partisipasi publik; (iv) konservasi sumberdaya, menjaga keragaman hayati dan ekosistem; (v) mendukung kapasitas manusia untuk meningkatkan kondisinya; (vi) menyediakan akses yang sama terhadap layanan untuk semua warga; (vii) memprioritaskan opsi yang mensinergikan sosio-ekonomi dan lingkungan; (viii) mendukung proses pembuatan keputusan yang demokratis; dan (ix) menghormati ilmu pengetahuan dan kreativitas penduduk lokal. Berkaitan dengan tata guna lahan perkotaan, Almeida (1998) melakukan penelitian mengenai pemahaman dan permodelan dinamik tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Eksperimen dilakukan dengan membangun sebuah
17
panduan metodologis untuk pemodelan perubahan tata guna lahan perkotaan melalui metode statistik ”pembobotan bukti”. Variabel-variabel yang menjelaskan dapat bersifat endogen (melekat di dalam sistem transformasi tata guna lahan) atau eksogen (di luar sistem). Variabel-variabel endogen berkaitan dengan ciri-ciri lingkungan alam dan buatan manusia maupun berbagai aspek sosial ekonomi dari sebuah kota, seperti legislasi peruntukan dan legislasi perkotaan; prasarana teknik dan sosial; topografi; kawasan lindung/konservasi; pasar real estate; kesempatan kerja; adanya pusatpusat kegiatan yang terpolarisasi seperti mall, taman-taman tematik, tempat peristirahatan, dan seterusnya (Almeida,1998). Djajadiningrat (2001) mengungkapkan pada abad kedua puluh satu keseimbangan lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap awal krisis lingkungan akibat manusia saebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, dewasa ini dapat dilihat dari aras (level) yang paling ringan hingga yang paling berat. Sebagai contoh, jeleknya fasilitas transportasi, kurangnya berbagai macam fasilitas, kurang lancarnya telekomunikasi,serta kurang memadainya air bersih dan prasarana umum lainnya. Kebijakan lahan perkotaan termasuk perencanaannya merupakan salah satu faktor eksogen yang mempengaruhi keputusan para pengembang. Tujuan kebijakan lahan perkotaan adalah untuk mempengaruhi kepemilikan lahan, harga dan tatagunanya, dan memanfaatkan nilai lahan sebagai salah satu dasar untuk memperoleh
dana
masyarakat.
Di
Negara–negara
berkembang
yang
pengendaliannya tidak ditegakkan secara keras, ketersediaan lahan bagi perumahan untuk masyarakat miskin menciut, dan harga lahan meroket (Winarso, 2002). Rahardjo (2003) dalam penelitiannya mengenai upaya pengendalian lahan di perkotaan mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah tidak baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan. Dalam rangka
18
mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan lahan maka diperlukan suatu penanganan tepadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif adalah melalui manajemen lahan. Menurut Rahardjo (2003) kesalahan dalam manajemen lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, berakibat tanah berubah menjadi marjinal yang tidak dapat ditanami, dan rusaknya ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong degradasi lahan tersebut antara lain, cepatnya pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang mengekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan dipercepat oleh buruknya manajemen pembangunan kota. Khusus bagi daerah perkotaan terbatasnya pasokan lahan, mengakibatkan lahan menjadi mahal sehingga mendorong para investor yang bergerak dalam sektor properti mengkonversi sawah, situ dan lahan pertanian menjadi lahan perumahan. Siahaan (2004) dalam kajiannya mengenai indeks konversi lahan dalam pembangunan perumahan mengatakan bahwa ada upaya mengambil jalan pintas untuk menguasai pangsa pasar perumahan yang tidak diikuti oleh kesadaran adanya bahaya konservasi lahan dan tidak siapnya aspek pengelolaan kawasan mengakibatkan percepatan kerusakan lingkungan. Permasalahan perkotaan hasil kajian Ionnides dan Rossi-Hausberg (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan perkotaan sebagai salah satu gejala ekonomi berkaitan dengan proses urbanisasi. Urbanisasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Kajian ruang kegiatan ekonomi yang diukur dengan populasi, output dan pendapatan, pada umumnya terkonsentrasi. Pola–pola konsentrasi variabel – variabel ekonomi dan demografi membentuk beberapa gejala ekonomi perkotaan. Perpindahan penduduk secara besar-besaran dari perdesaan ke perkotaan telah memicu berbagai pertumbuhan perkotaan di seluruh dunia. Gejala lain adalah kecenderungan hilangnya ruang hijau akibat kurang jelasnya pengaturan dan pemanfaatan ruang. Selain itu, timbul berbagai macam kasus seperti taman yang merupakan paru-paru kota diubah fungsinya menjadi kawasan komersial seperti pompa bensin, supermarket atau department store, yang mengakibatkan timbulnya berbagai masalah lingkungan. Dampak yang ditimbulkan sangat menyedihkan, mulai dari ketidaknyamanan penduduk akibat
19
kurangnya sarana dan prasarana lingkungan, kesengsaraan masyarakat akibat banjir, sampai masalah sosial, karena benturan berbagai kepentingan pemanfaatan lahan. Degradasi lingkungan tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi degradasi lingkungan yang mengancam perkotaan adalah upaya-upaya penyusunan tata ruang secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Penataan ruang tidak sekedar pengelolaan perubahan lingkungan binaan dan alam saja, melainkan sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai benturan kepentingan yang berbeda. Penelitian mengenai masalah kebijakan pembangunan perkotaan dalam kaitannya dengan lokasi perumahan banyak diarahkan kepada upaya pemerintah kota untuk mengendalikan aktivitas pembangunan perumahan di daerahnya, sehingga dapat menunjang rencana induk pengembangan kota yang berkelanjutan. Kota yang nyaman huni adalah sistem perkotaan terpadu dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Ada enam kendala kelembagaan yang dihadapi setiap pemerintah daerah dalam menciptakan kota nyaman-huni, yaitu : (i) Jurisdiksi yang terpecah-pecah; (ii) kesinambungan politik yang buruk; (iii) kerjasama antar pemerintah yang buruk; (iv) kerjasama lintas sektoral yang buruk; (v) ketidakselarasan budaya dan ideologi; dan (vi) sistem pemerintah daerah yang lemah (Timmer dan Kate, 2006). Pembangunan perkotaan harus memperhatikan konsep berkelanjutan. Berkenaan dengan pembangunan kota berkelanjutan Timmer dan Kate (2006) mengajukan gagasan mengenai inisiatif kawasan berkelanjutan (IKB). 2.3 Rumah Susun Menurut SNI-03-2846-1992, rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai
20
tempat hunian yang mempunyai sarana penghubung ke akses yang sifatnya umum. Beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan rumah susun adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 20111992 tentang Perumahan dan Kawasan Ppermukiman Pasal 3 Ayat (f): Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu dan berkelanjutan. Pasal 5 Ayat (1): Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan
perumahan
dan
kawasan
permukiman
yang
pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah. Pasal 32 Ayat (2): Pembangunan perumahan dilakukan dengan mengembangkan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta mengembangkan industri bahan bangunan lokal yang aman bagi kesehatan. 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Pasal 19 3 Ayat (1), Penjelasan: Pembangunan rumah susun bertujuan untuk : a. memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya; b. meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi,dan seimbang.
21
c. Memenuhi kebutuhan
lainnya yang berguna bagi kehidupan
masyarakat, dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1 huruf a). Penghuni satuan rumah susun tidak dapat menghindarkan diri atau melepaskan kebutuhannya untuk menggunakan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Dalam rangka menjamin ketertiban, kegotong-royongan dan keselarasan sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia dalam mengelola bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, maka dibentuk perhimpunan penghuni yang mengatur dan mengurus kepentingan bersama. 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 14 ayat (4): Persyaratan
penampilan
bangunan
gedung,
tata
ruang
dalam,
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya….dst harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal demi pasal lebih ditegaskan lagi, bahwa ruang luar bangunan gedung diwujudkan untuk sekaligus mendukung pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung, disamping untuk mewadahi kegiatan pendukung fungsi bangunan gedung dan daerah hijau disekitar bangunan. Mengenai lingkungan bangunan gedung, seperti ruang terbuka hijau (RTH) diwujudkan dengan memperhatikan potensi unsur-unsur alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun, tanah serta permukaan tanah, dan dapat berfungsi untuk kepentingan ekologis, sosial, ekonomi, serta estetika. 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun Pasal 20:
22
Bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tangga, lift, selasar, harus mempunyai ukuran yang mempunyai persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat memberikan kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari, baik dalam hubungan sesama penghuni, maupun dengan pihak lain, dengan memperhatikan keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan. Pasal 21: Benda bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas yang memenuhi persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan dan kenikmatan
para
penghuni
maupun
pihak-pihak
lain,
dengan
memperhatikan keselarasan, keseimbangan, dan keterpaduan. 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Pasal 25 ayat (1) : “Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan
gedung
dengan
lingkungannya…..dst
harus
mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungan”. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan: “Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia, serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana di luar bangunan gedung”.
2.4 Green Environment Green environment merupakan sebuah totalitas dari penanganan aspek lingkungan kawasan sehingga menjadi kawasan yang memiliki karakter sebagai sustainable development, yang terdiri dari: (1) Penanganan tata guna lahan; (2) Pola jaringan jalan, perkerasan, pedestrian, transportasi; (3) Penanganan penghijauan kawasan; (4) Penanganan sistem air bersih; (5) Penanganan sistem air limbah; (6) Penanganan drainase kawasan; (7) Penanganan persampahan; (8)
23
Penanganan perilaku melalui pengelolaan kawasan yang mengacu pada konsep green environment (Iggnes, 2008). Salah satu konsep green environment adalah bangunan berkelanjutan atau dikenal dengan istilah green building. Green building merupakan suatu bangunan yang memiliki konstruksi yang dirancang dan dibangun sebagai urban/komunitas/bangunan sehat dengan efisiensi sumber daya berdasarkan prinsip ekologi (Iggnes, 2008).
2.5 Green Building Green building adalah bangunan yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan dengan menggunakan seluruh sistem design approach, dengan tujuan untuk mengoptimalkan
seluruh
kapasitas
dari
bangunan
dan
lingkungannya
(Greendepot, 2009). Menurut Greendepot (2009) gGreen building terdiri dari tiga faktor pendukung, diantaranya adalah efesiensi energi (baik dalam hal pemilihan bahan bangunan dan penggunaan energi aktual); kehidupan yang sehat, termasuk kualitas udara di dalam bangunan; dan manajemen sumber energi secara cermat. Green building tidak memerlukan persyaratan tipe arsitektur yang beraneka ragam, tidak perlu terlihat membumi atau organik, juga tidak perlu memerlukan biaya yang tinggi dalam pembangunannnya, serta tidak perlu terlihat berbeda dari yang lain. Green building dapat dirancang dengan berbagai jenis atau bentuk. Fokus utama dari bangunan green building adalah memberikan keuntungan bagi para penghuninya, yaitu lebih mudah dalam mengkondisikan temperatur ruang, lebih nyaman, lebih sehat terutama untuk anak-anak, lebih tahan lama, dan lebih murah dalam hal pemeliharaannya. Green building memiliki konsep bangunan sebagai berikut: (1) Pemilihan material yang low energy-embody; (2) Orientasi tata letak bangunan; (3) Hemat energy; (4) Hemat penggunaan air; (5) Memiliki recycle air buangan; (6) Penanganan sampah 3 R; (7) Low heat dissipation; (8) Memperhatikan unsur iklim lokal; (9) Penggunaan HVAC yang ramah ozon; (10) Memiliki juklak/SOP
24
pengoperasian bangunan dengan spirit penghematan energi dan sumber-sumber yang digunakan (Ignes, 2008). Green Building Council Indonesia (GBIC, 2010) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bangunan hijau adalah efisiensi dalam penggunaan lahan, energi, air dan material, baik itu dari segi kuantitas maupun jenis material yang ramah lingkungan.
Selain itu juga yang dapat memberikan keamanan dan
kenyamanan penggunaannya, baik dari segi kesehatan dan pemanfaatan ruang. Pengaturan tentang green design sebenarnya telah tertuang secara tidak langsung mulai dari UU No. 283/2002, Peraturan Pemerintah No. 36/2005 termasuk Peraturan Menteri yang menjadi bagian dari Peraturan Pemerintah tersebut yaitu Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung yang memuat SNI dan Pedoman Teknis lain yang perlu diacu.
2.6 Ruang Terbuka Hijau Sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
disebutkan
bahwa
RTH
adalah
area
memanjang/jalur
dan/atau
mengelompok, yang penggunaanya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota; dan proporsi RTH Publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Menurut laboratorium perencanaan lansekap Departemen Arsitektur Lansekap Fakultas Pertanian IPB (2008), RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung yang di hasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, RTH di klasifikasikan menjadi RTH alami dan RTH binaan. Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya, RTH di kategorikan ke dalam RTH kawasan dan RTH jalur. Berdasarkan penggunaan lahan dan kawasan fungsionalnya, RTH di kategorikan ke dalam RTH kawasan perdagangan, RTH kawasan perindustrian, RTH kawasan
25
permukiman, RTH kawasan pertanian, dan RTH kawasan khusus, antara lain untuk pemakaman dan olah raga. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zoer’aini (2005), fungsi hutan kota sebagai bagian dari RTH dapat menyerap hasil negatif dari kota antara lain: suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya habitat burung. Pengelompokan hutan kota menurut sifat pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan sangat terkait dengan perubahan suhu, kelembaban, kebisingan, debu, populasi, distribusi burung dan estetika. Pengelompokan hutan kota berdasarkan hubungan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan antara lain: jalur, menyebar, bergerombol, dua strata dan berstrata banyak. Selanjutnya dikatakan bahwa hHutan kota berpengaruh terhadap beberapa parameter lingkungan antara lain penurunan suhu, peningkatan kelembaban, penurunan kebisingan, dan penurunan kadar debu (Tabel 3). Hutan kota sebagai bagian dari RTH memegang peranan yang sangat penting, karena penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002. Persyaratan minimal untuk menetapkan lahan yang akan digunakan sebagai hutan kota adalah sebagai berikut : berada di wilayah perkotaan, merupakan RTH yang didominasi pepohonan, luas minimum 0,25 ha mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika dan berfungsi sebagai resapan air. Beberapa pakar mengemukakan luas hutan kota harus dibangun berdasarkan jumlah penduduk; luasan hutan kota di Malaysia ditetapkan sebesar 1,9 m2/penduduk, sedangkan di Jepang sebesar 5,0 m2/penduduk.
Tabel 3. Pengaruh hutan kota terhadap parameter lingkungan No Pengaruh terhadap Bentuk hutan kota kualitas lingkungan 1. Penurunan suhu Jalur Menyebar Bergerombol Jalur 2. Peningkatan kelembaban Menyebar
Peningkatan/penurunan (%) 1,43 3,60 3,18 1,77 4,79
26
3.
Penurunan kebisingan
4.
Penurunan kadar debu
Bergerombol Jalur Menyebar Bergerombol Jalur Menyebar Bergerombol
5,54 21,87 16,34 37,62 39,91 51,14
Sumber : Zoer’aini (2005) Dewan kota Lanchasire Inggris menentukan 11,5 m2/penduduk, dan Amerika menetapkan 60 m2/penduduk, sedangkan DKI Jakarta taman untuk bermain dan olahraga diusulkan 1,5 m2/penduduk. (Departemen Kehutanan, 2006). Secara garis besar fungsi hutan kota dapat dikelompokkan menjadi : 1. Fungsi lansekap, yaitu meliput fungsi fisik dan fungsi sosial a. Fungsi fisik, yaitu berfungsi untuk perlindungan terhadap angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan terhadap bau, sebagai pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan pembingkai. b. Fungsi sosialsosial, sebagai tempat interaksi masyarakat, bermanfaat sebagai laboratorium, tanaman obat, tempat rekreasi, dan olah raga. . Penataan tumbuh-tumbuhan dalam hutan kota dengan baik akan memberikan tempat interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Hutan kota dengan aneka ragam tumbuh-tumbuhan mengandung nilai-nilai ilmiah sehingga hutan kota dapat sebagai laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat interaksi sosial lainnya. Fungsi sosial politik ekonomi misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk seperti buahbuahan, kayu, obat-obatan sebagai warung hidup dan apotik hidup. 2. Fungsi pelestarian lingkungan (ekologi) Dalam pengembangan dan pengendalian kualitas lingkungan diutamakan tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi pelestarian lingkungan antara lain adalah : a. Menyegarkan udara atau sebagai paru-paru kota. Fungsi menyegarkan udara dengan mengambil CO2 dalam proses fotosintesis menghasilkan
27
O2 yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernafasan. CO2 diambil dari udara, sedangkan air diambil dari dalam tanah melalui akar tanaman. b. Menurunkan suhu kota dan meningkatkan kelembaban. Suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Uap air di atmosfir bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya dapat menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun gelombang panjang. Hutan kota mempunyai pengaruh besar pada daerah-daerah yang suhunya tinggi, dan sangat bermanfaat khususnya untuk daerah tropis. c. Sebagai ruang hidup satwa. Tumbuh-tumbuhan selain sebagai produsen pertama dalam ekosistem juga dapat menciptakan ruang hidup (habitat) bagi makhluk hidup lainnya, sebagai burung, kupukupu, serangga. Burung sebagai komponen ekosistem mempunyai peranan penting, diantaranya untuk untuk mengontrol populasi serangga, membantu menyuburkan bunga dan pemencaran biji. Hampir pada setiap bentuk kehidupan terkait erat dengan burung, sehingga burung mudah dijumpai. Adanya kondisi tersebut diduga burung dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan, karena apabila terjadi pencemaran lingkungan, burung merupakan komponen alam terdekat yang terkena pencemaran. Burung berperan dalam reaksi alam, adanya taman burung selalu dikunjungi orang, untuk menikmati bunyi, kecantikan ataupun kecakapan burung. Burung mempunyai nilai pendidikan dan penelitian. Keindahan burung dari segala yang dimilikinya akan memberikan suatu kenikmatan tersendiri. Kebiasaan burung-burung
beranekaragam,
ada
kebiasaan berada mulai dari tajuk
burung
yang
mempunyai
samapi ke bawah tajuk. Ini
menunjukkan bahwa bila hutan kota mempunyai komposisi banyak jenis, berlapis-lapis dan berstrata akan memikat banyak burung. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Zoer’aini (2005) menunjukkan bahwa burung lebih banyak dijumpai baik jenis maupun jumlahnya pada hutan kota yang ditanami dengan tanaman produktif (berbunga, berbuah dan berbiji) pada struktur hutan kota yang berstrata banyak.
28
Kehadiran burung pada hutan kota yang berstrata banyak selain karena jumlah tumbuh-tumbuhan yang beranekaragam, juga pohonnya adalah jenis buah-buahan (tanaman produktif). Tanaman produktif dalam hal ini adalah tanaman yang menghasilkan bunga, buah, biji aroma, sehingga memberikan kesempatan lebih besar kepada burung (herbivor) yang menyukainya untuk datang, mencari makan, bercengkrama atau bersarang. d. Penyangga dan perlindungan permukaan tanah dari erosi., sebagai penyangga dan melindungi permukaan tanah dari air hujan dan angin. Sehubungan dengan itu hutan kota dapat membantu penyediaan air tanah dan pencegahan erosi. e. Pengendalian dan mengurangi polusi udara dan limbah., sebagai pengendalian dan atau mengurangi polusi udara dan limbah, serta menyaring debu. Debu atau partikulat terdiri dari beberapa komponen zat pencemar. Dalam sebutir debu terdapat unsur-unsur seperti garam sulfat, sulfuroksida, timah hitam, asbestos, oksida besi, silica, jelaga dan unsure kimia lainnya. Berbagai hasil penelitian lainnya menunjukkan
bahwa
tumbuh-tumbuhan
dapat
mengakumulasi
berbagai jenis polutan (pencemar). Seperti pohon jalar, asam landi, angsana dan mahoni dapat mengakumulasi Pb (timah hitam) yaitu hasil pencemaran oleh kendaraan bermotor, pada daun dan kulit batang. f. Perendaman kebisingan. Kebisingan adalah suara yang berlebihan, tidak diinginkan dan sering disebut polusi tak terlihat yang menyebabkan efek fisik dan psikologis. Efek fisik berhubungan dengan transmisi gelombang suara melalui udara, efek psikologis berhubungan dengan respon manusia terhadap suara. g. Tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator., yaitu sebagai tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator dari timbulnya masalah lingkungan. Karena tumbuhnya tertentu akan memberikan reaksi tertentu akan perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Plasma nutfah sangat diperlukan untuk kehidupan.
29
h. Menyuburkan Tanah. Sisa-sisa tumbuhan akan dibusukkan oleh mikroorganisma dan akhirnya terurai menjadi humus atau materi yang merupakan sumber hara mineral bagi tumbuhan itu kembali. 3. Fungsi estetika. Tumbuh-tumbuhan dapat memberikan keindahan dari garis,
bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang,
cabang, kulit batang, akar,bunga, buah maupun aroma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian hutan kota yang berstrata banyak mempunyai nilai estetika lebih tinggi, daripada hutan kota berstrata dua. Melihat besarnya manfaat RTH terutama taman kota atau hutan kota, maka dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan keberadaan RTH, beberapa hal yang perlu dilakukan (Litbang dan PPSDAL Murbaintoro, 2009)UNPAD 2003) antara lain : 1. Perlu ada kebijakan dan rencana program yang jelas yang disertai dengan petunjuk teknis yang memberikan kejelasan tentang jenis, fungsi atau
peruntukan dan sanksi untuk setiap jenis RTH dalam
rangka menghindari terjadinya penurunan jumlah dan luas RTH. 2. Menanam
vegetasi
yang
berbeda
atau
beranekaragam
untuk
meningkatkan daya tarik terhadap RTH yang ada terutama RTH untuk taman kota dan hutan kota. Penanaman vegetasi seyogyanya bukan untuk tujuan produksi melainkan vegetasi yang memiliki fungsi untuk mereduksi pencemaran udara. 3. Menjalin kerjasama dengan masyarakat dan berbagai stakeholder terutama para pengusaha untuk meningkatkan pemeliharaan RTH (taman kota dan hutan kota). 4. Dalam rangka meningkatkan jumlah dan luas taman serta pelibatan tanggungjawab masyarakat dan stakeholder, perlu dikaji penerapan adanya intensif dan disinsetif yang berupa green tax dalam hal penggunaan lahan terbuka untuk berbagai peruntukkannya. 5. Potensi cukup besar dari jumlah dan luas serta pola penyebaran tamantaman baru yang berasal dari fasilitas umum dan fasilitas sosial pada pemukiman-pemukiman baru perlu ditindaklanjuti secara lebih serius
30
oleh
pemerintahan
kota,
mengingat
kemampuan
untuk
mengembangkan taman baru tidak mudah. Penanganan serius tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan presentase ruang terbuka hijau yang harus disediakan oleh pengembang dalam bentuk fasos dan fasum. 6. Walaupun belum ada data pasti tentang jenis-jenis tumbuhan potensial (jenis tumbuhan di Indonesia) yang dapat mereduksi berbagai gas pencemaran udara, serta sensitif tidaknya terhadap berbagai zat pencemaran udara, namun dapat mempertimbangkan bahwa : a. Pada dasarnya hampir semua tanaman dapat menyerap berbagai gas pencemar. b. Tanaman, khususnya pohon yang akan ditanam di RTH/taman tidak ditujukan untuk kepentingan produksi, maka pada dasarnya jenis tanaman pohon apapun dapat ditanam dan dapat berfungsi sebagai pereduksi gas pencemar. Namun demikian jenis-jenis tanaman pohon yang ditanam, diprioritaskan jenis tanaman yang relatif hijau sepanjang tahun, dan tidak banyak menggugurkan daun. Untuk meningkatkan fungsi tanaman sebagai pemasok oksigen, dapat dilakukan pemangsakasan tajuk yang selain dapat merangsang pertumbuhan daun muda juga sekaligus dapat memperbaiki keindahan arsitektur tajuk. 7. Dalam rangka memperkecil terjadinya pelepasan karbon yang potensial menimbulkan pencemaran gas CO2, seresah serta potongan tajuk dan ranting tanaman tidak dibakar, melainkan dikomposkan untuk dijadikan kembali sebagai pupuk di taman. Kekurangan kebutuhan masyarakat terhadap taman, khususnya pada daerah/wilayah yang jumlah dan luas tamannya terbatas, maka perlu dikaji penggunaan halaman atau industri untuk dapat di akses oleh masyarakat. Moranco (2003) menyatakan bahwa RTH pada hakekatnya mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kondisi lingkungan. Hutan dan tanaman hijau dapat berfungsi untuk menyerap karbon di atmosfir, menjaga kelembaban udara, mengatur curah hujan,
31
membuat suhu lebih nyaman, dan menjaga terjadinya erosi tanah. Pemanfaatan lain yang dapat berfungsi seperti hutan dan tanaman hijau adalah taman kota walaupun dalam skala kecil terutama fungsinya sebagai taman rekreasi. Keberadaan RTH dapat memberikan efek psikologis yang berbeda terhadap manusia yang menghuni suatu kota, dalam hal ini manusia yang menghuni suatu kota yang dilengkapi dengan RTH yang memadai akan menyebabkan berkurangnya efek kekerasan dalam masyarakat dibandingkan dengan kota tanpa RTH yang cenderung akan memicu terjadinya banyak kekerasan dalam masyarakat (APA, 2003). Disamping keberadaan hutan kota yang sangat penting, salah satu komponen RTH yang selama ini mengalami degradasi adalah keberadaan lahan pertanian yang semakin lama samakin berkurang di beberapa wilayah, yang saat ini menunjukkan maraknya perubahan fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri, dan kawasan perumahan dan permukiman.
Apabila hal tersebut tidak
segera diantisipasi, maka akan terjadi kerusakan lingkungan yang sangat besar.Apabila dikaitkan dengan konsep highest and best use yang dikemukakan oleh Barlowe (1986), sumberdaya lahan tersebut memiliki highest and best use apabila penggunaanya memberikan optimum return kepada pengelolanya. Tergantung pada kriteria yang digunakan, return ini dapat diukur di dalam bentuk monetary terms, intangible, dan social value atau dalam bentuk kombinasi dari nilainilai tersebut. Sebagai contoh, real estate akan melakukan analisis highest and best use apabila pembangunan real estate tersebut digunakan sebagai tujuannya atau kombinasi tujuan-tujuan dengan mempertimbangkan keuntungan komparatif tertinggi atau kerugian komparatif terendah dibandigkan penggunaan lainnya. Dalam
masyarakat
modern,
sumberdaya
lahan
biasanya
memberikan return yang lebih tinggi apabila digunakan untuk tujuan komersial atau industri dibandingkan untuk orang tujuan lain. Oleh
32
karena itu penggunaan untuk tujuan tersebut biasanya mengalahkan tujuan penggunaan yang lain. Berikutnya digambarkan profil penggunaan lahan untuk tujuan komersial dan industri, perumahan dan permukiman, diikuti dengan tujuan-tujuan lain seperti pertanian, hutan,
Padang rumput
Hutan
Pertanian
Perumahan dan Permukiman
Komersial dan Industri
Nilai Ekonomi
padang rumput untuk pengembalaan dan lahan gundul (Gambar 3).
Gambar 3. Profil penggunaan lahan
Lahan gundul Penggunaan lahan
(Litbang dan PPSDAL
Murbaintoro, 2009)UNPAD 2003) Profil tersebut mewakili gambaran rata-rata secara umum, tidak pernah tetap atau statis, karena sering terjadi dinamika perubahan akibat perbedaan yang ada pada masing-masing penggunaan. Misalnya, beberapa industri dan komersial akan mencari daerah yang lebih murah (low cost), sedangkan hunian atau apartemen kadangkadang mencari daerah yang biasanya untuk industri atau komersial. Teori lain menyatakan bahwa dalam konteks land economics, land value sangat dipengaruhi oleh hubungan komplementer antara land rent dengan transportation cost (Alonso, 1964). Berdasarkan hal tersebut maka keberadaan RTH menjadi sangat penting bagi suatu kota
33
sehingga diperlukan upaya khusus bagi terselenggaranya pembangunan perumahan yang berkelanjutan (Murbaintoro, 2009).
2.7 Beton Konvensional Beton merupakan fungsi dari bahan penyusunnya, yang terdiri dari bahan semen, agregat (kasar dan halus) beserta air. Beton dapat dibentuk sesuai dengan tuntutan konstruksi sesuai fungsinya. Pada pembentukan beton secara konvensional diperlukan cetakan atau bekesting yang biasanya terbuat dari kayu, untuk penyesuaian bentuk struktur sesuai fungsinya, selain memerlukan bekesting, juga dibutuhkan penyangga dari kayu atau besi. Beton ini dicetak ditempat beton tersebut diperlukan, sehingga apabila fungsinya sebagai pelat lantai, balok ataupun
kolom, maka beton tersebut dikerjakan/dicetak pada lantai tersebut.
Dalam
pelaksanaan
pembuatan
cetakan/bekesting dan penyangga.
beton
tersebut
dibutuhkan
banyak
Konstruksi cetakan dan penyangga pada
sistem beton konvensional dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Konstruksi beton konvensional (sumber: foto penelitian).
2.8 Beton Pracetak Beton pracetak adalah teknologi konstruksi struktur beton dengan komponen-komponen penyusun yang dicetak terlebih dahulu pada suatu tempat khusus (off-site fabrication), terkadang komponen-komponen tersebut disusun dan disatukan terlebih dahulu (pre-assembly), dan selanjutnya dipasang di lokasi (installation). Berdasarkan hal tersebut maka sistem pracetak ini akan berbeda dengan konstruksi beton monolit pada aspek perencanaan yang tergantung atau
34
ditentukan
oleh
metoda
pelaksanaan
dari
fabrikasi,
penyatuan
dan
pemasangannya, serta ditentukan pula oleh teknis perilaku syistem pracetak dalam hal cara penyambungan antar komponen (joint). Beberapa prinsip beton pracetak tersebut dipercaya dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan beton konvensional antara lain terkait dengan pengurangan waktu dan biaya, serta peningkatan jaminan kualitas, predictability, keandalan, produktivitas, kesehatan, keselamatan, lingkungan, koordinasi, inovasi, reusability, serta relocatability (Gibb, 1999). Aplikasi beton pracetak di Indonesia telah dilaksanakan mulai tahun 1979 pada pembangunan Rusunawa Sarijadi, Bandung yang menggunakan brecast system dari Inggris. Penggunaan sistem pracetak sampai saat ini umumnya masih pada pembangunan Rusunawa yang dibiayai pemerintah, dalam rangka mendorong
pengembangan
inovasi
dan
efisiensi
pembangunan
yang
berkelanjutan. Pembangunan gedung bertingkat oleh dunia usaha, umumnya masih menggunakan gabungan sistem konvensional dengan sistem pracetak (Nurjaman dan Sijabat, 2007). Pelaksanaan konstruksi dengan beton pracetak dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perakitan sistem beton pracetak (sumber: foto penelitian). Pada awalnya beton precast masih mengadopsi teknologi dari luar negeri, namun saat ini sudah banyak tenaga ahli Indonesia yang berhasil menciptakan teknologi precast sendiri dan sudah mendapat hak paten dari Kementerian Hukum
35
dan HAM. Seluruh sistem sudah diuji di Laboratorium Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan dinyatakan layak digunakan untuk pembangunan rumah susun. Sampai saat ini sudah ada 46 precaster yang mendapat hak paten (Tabel 4)
Tabel 4. Daftar precaster yang telah mendapat hak paten di Indonesia No.
Nama Sisem
Pemilik Paten
No
Nama Sistem
Pemilik Paten
1
Waffle Crete
Waffle Crete USA
24
HK Precast
PT.HK
2
Column Slab
JH Simanjuntak
25
Java Perkasa/Diamond
PT.Java Perkasa cs
3
Beam Column Slab
JH Simanjuntak
26
BCS-JHS
PT.JHS PCI
4
Beam Column Slab
PT. Adhi Karya
27
Kotapari
PT.Buana Construction, cs
5
Bresphaka
Syafei Amri cs
28
Well-Conn
PT.Borneo Sakti cs
6
Jasubakim
Syafei Amri cs
29
Platcon Precast 07
PT. Ruang Pratama
7
T-Cap
Arief Sabarudin cs
30
Precon HBS
Sugeng Wijanto cs
8
U Shell
PT. P.Perumahan
31
Virtu
PT. Total Boanerges Ind. PT. Tata Bumu Raya, cs
9
LMC
Syafei Amri cs
32
TBR-J
10
WR
PT. WK Realty
33
Couple Comb Plate
PT. Victory Sena Utama
11
Wasppiko
PT.PPI
34
KW
PT. Kumala Wandira
12
Spircon
Lufti Faisal
35
DPI
PT. Dania Pratama Int.
13
PSA
Prijasambada
36
MRP
PT. Margusta BP
14
PSA-Paesa
Prijasambada
37
BI-Plate
PT. Widya Satria
15
Priska
Prijasambada
38
Fibra Murni
PT. Fibra Murni
16
Kolom Multi Lantai
Edenta Sinuraya
39
W-Plus
PT. Cipta Jaya Fadilah
17
C-Plus
Sutadji Yuwasdiki
40
Kencana
PT. Kencana Precast
18
Jedds System
David Manariur
41
RB-Con
PT.Prima Jaya Persada
19
PSA VI-Mextron
Prijasambada
42
Trinity
PT.Prima Usaha Trinity
20
PPI System
PT.PPI
43
Rigid Joint Precast
PT. Hiper Concrete Precast
21
PSA VII
Prijasambada
44
MPS
PT. Meitama Abadi
22
Tricon Lio
Bisuk Simanjuntak
45
Sakori
Dedi Prana Putra
23
Waskita Precast 07
PT. WK cs
46
Manara
Haris Mardian cs
2.9 Energi Bahan Bangunan Semua bahan bangunan berasal dari tanah. Bangunan yang terbuat dari tanah cukup ramah lingkungan karena dibangun dekat dengan tempat asalnya dan tidak menghabiskan biaya perpindahan energi yang besar. Selain itu, jika tidak lagi dibutuhkan, bangunan tersebut dapat didaur ulang secara alamiah sehingga tidak menimbulkan polusi dan hanya mengembalikannya ke tempat asalnya.
36
Dalam memilih bahan bangunan, yang harus dipertimbangkan pertama kali adalah energi yang terkuras dalam proses pembangunan tersebut. Besarnya energi yang digunakan akan berpengaruh pada tingkat ramah lingkungan suatu bangunan (Moughtin, 2005). Berdasarkan kandungan energinya, bahan bangunan terbagi ke dalam tiga kelompok; rendah, sedang, dan tinggi. Kandungan energi bahan bangunan diukur dalam kilowatt-jam per kilogram, sebagaimana Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan energi bahan bangunan (Moughtin, 2005) Bahan
Kandungan Energi KWh/Kg
Bahan Berenergi Rendah Pasir, agregat Kayu Beton Batako Beton Ringan Bahan Berenergi Sedang Eternit Batu Bata Kapur Semen Mineral Fibre Kaca Porselain ( Perlengkapan Sanitasi ) Bahan Berenergi Tinggi Plastik Baja Timbal Besi Tembaga Alumunium
0.01 0.1 0.2 0.4 0.5 1.0 1.2 1.5 2.2 3.9 6.0 6.1 10.0 10.0 14.0 15.0 16.0 56.0
Kandungan energi suatu bahan bangunan berkaitan dengan dampaknya terhadap lingkungan. Misalnya, energi yang terkandung pada tanah, lumpur, atau tanah liat adalah nol, namun ketika dibakar menjadi batu bata akan menjadi 0,4 – 1,2 kWh/kg. Umumnya, semakin kecil kandungan energinya, maka semakin kecil pula polusi yang dihasilkan. Pertimbangan lain dalam pemilihan bahan bangunan ramah lingkungan adalah energi yang dihabiskan untuk memindahkan bahan tersebut dari tempat pengolahan ke tempat pembangunan. Misalnya, kayu, energi yang dihabiskan untuk mengangkut kayu dari hutan mungkin akan lebih besar dari energi yang terkandung dalam kayu itu sendiri. Dengan demikian pembuatan bangunan ramah lingkungan dapat melibatkan bahan-bahan lokal, satu-satunya kendala adalah ketersediaannya (Amourgis, 1991).
37
Bangunan-bangunan tersebut dapat menghemat energi selama masa pemakaiannya. Pohon merupakan unsur penyerap karbon yang juga banyak digunakan dalam dalam suatu bangunan, maka pelestarian pohon merupakan hal yang sangat penting. Dengan menyeimbangkan penanaman pohon dan emisi karbon yang digunakan saat membuat suatu bangunan, maka pengembangan bangunan dapat berjalan dengan sehat dan lancar. Misalnya, rumah biasa dengan tiga kamar tidur menghabiskan energi sebesar 20 ton karbondioksida dan membutuhkan 20 pohon selama periode 40 tahun (Moughtin, 2005). Perencanaan penanaman pohon dapat menghasilkan suatu gerakan baru bagi ketahanan lingkungan. Namun, pemakaian energi adalah satu-satunya dampak dari suatu pembangunan. Proses alami yang seimbang ditandai dengan adanya siklus alam yang menghasilkan sedikit limbah dan sampah. Analogi siklus dan proses alam telah menjadi pemicu bagi pengembangan teknik penilaian siklus kehidupan (LCA-life cycle assessment). LCA atau tolak ukur polusi dan kehijauan merupakan desain pembangunan yang memiliki metode yang paling sesuai dengan desain ekologis. Energi dibutuhkan mulai dari pengambilan material bahan bangunan tersebut di alam, proses pembuatan, pengangkutan, pemasangan, pemeliharaan sampai pembongkarannya. Dalam proses menghasilkan energi tersebut akan mengeluarkan emisi CO2 yang berpotensi mempengaruhi perubahan iklim globlal. Oleh karena itu perlu dipikirkan media penyimpan CO2 tersebut baik di tanaman, tanah sampai air. Proses pemanfaatan energi, pelepasan emisi CO2 sampai penyimpanannya dinamakan tolak ukur energi ( energy footprint ). Sabbarudin
(2011) menyatakan bahwa kebutuhan energi konstruksi yang
dianggap wajar untuk bangunan perumahan adalah 240 kWh/m2.
2.10
Pemanasan Global
Pemanasan global pada hakekatnya adalah perubahan variabel iklim global, khususnya suhu dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu antara 50-100 tahun (Soedjito, 2002). Meningkatnya kegiatan perekonomian, dan pola konsumsi manusia yang berlebihan terhadap penggunaan energi dan peningkatan pembangunan lainnya, mengakibatkan
38
penggunaan bahan bakar fosil seperti, minyak, batubara, dan gas, sebagai sumber energi, meningkat dengan tajam. Peningkatan penggunaan bahan bakar fosil ini mengakibatkan meningkatnya gas buangan seperti CO2, CH4, H2S yang disebut gas-gas rumah kaca (GRK). Keberadaan gas-gas tersebut telah mencapai kadar yang berlebihan, sehingga menahan panas akibat radiasi balik dari bumi, yang disebut efek rumah kaca (ERK). Meningkatnya ERK ini mengakibatkan kenaikan dari suhu bumi. Faktor lain yang menyebabkan kenaikan suhu bumi adalah akibat menipisnya lapisan ozon di atmosfer terutama di wilayah kutub (Bratasida, 2002). Lapisan ozon berfungsi sebagai pelindung radiasi langsung dari sinar matahari ke bumi sehingga kehidupan di bumi dapat berlangsung. Keberadaan bahan-bahan kimia khususnya yang dibuat oleh manusia seperti chloro fluoro carbon (CFC), Halon, dll ternyata merupakan penyebab rusaknya lapisan ozon di atmosfer. Terjadinya penipisan lapisan ozon, mengakibatkan radiasi gelombang pendek matahari akan lolos ke lapisan atmosfir bumi, sehingga mengakibatkan meningkatnya suhu bumi. Gejala meningkatnya suhu bumi akibat peningkatan intensitas ERK dan menipisnya lapisan ozon di atmosfer, disebut pemanasan global. Beberapa pengamatan yang dilakukan di beberapa belahan dunia, menunjukkan bahwa indikasi terjadinya pemanasan global sudah semakin signifikan, antara lain dengan menipisnya ketebalan es di kutub utara dan selatan, naiknya permukaan air laut, dan meningkatnya suhu di kota-kota besar. Iklim merupakan salah satu dari komponen ekosistem, dengan variabel suhu, angin, dan curah hujan. Perubahan iklim terjadi karena terjadinya perubahan pada variabel dari iklim tersebut (Gie, 2002), sehingga meningkatnya suhu bumi atau terjadinya pemanasan secara global akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim secara global. Dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir sesungguhnya “masih menjadi debat dalam dunia riset”, tiga skenario yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1990 digunakan sebagai pijakan beberapa studi yang dilakukan di Indonesia dengan menggunakan skenario moderat IPCC, skenario A yakni kenaikan kira-kira
39
sebesar 60 cm hingga akhir abad 21 (Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002). Pemanasan global merupakan fenomena alam yang diakibatkan oleh meningkatnya GRK, walaupun para ahli masih memperdebatkan penyebab sesungguhnya pemanasan globa, karena selain pengaruh GRK di atmosfir, juga dipengaruhi oleh faktor geologi seperti meningkatnya intensitas radiasi, perubahan sumbu bumi dan berkurangnya ketinggian daratan. Walaupun kaitan langsung antara ERK dengan kenaikan muka air laut masih dalam perdebatan, tetapi pemanasan global mempengaruhi kerusakan kawasan pantai telah menjadi isu dunia, sehingga perlu kerjasama seluruh dunia dengan peran yang seimbang supaya di masa depan manusia dapat hidup dengan sehat dan aman. (Sampurno, 2001). Selama 100 tahun terakhir telah diakui secara luas telah terjadi kenaikan temperatur global bumi rata-rata 0,3-0,6 °C, juga adanya tercatat pengurangan salju yang menutupi permukaan bumi, yang ditandai dengan kenaikan tinggi permukaan air laut global sekitar 1-2mm pertahun. Adanya variasi yang besar pada perubahan temperatur yang pernah terjadi sebelumnya (1550-1850) maka hingga saat ini ada indikasi belum dapat diyakini apakah pemanasan global "terjadi secara alamiah atau akibat ulah manusia" karena sebelum revolusi industri (1750) konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir berada dalam keadaan relatif konstan dan setelah periode tersebut konsentrasi gas CO2 bertambah hampir 26%, gas metana menjadi 2 kali dan konsentrasi nitrogen (N2O) bertambah mendekati 8%. Perubahan konsentrasi tersebut disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, minyak, dan gas bumi; Penggundulan
hutan
yang
mengubah
daya
pantul
dan
mengurangi
penyerapan; pengkonservasian CO2, penambahan hasil pertanian, peningkatan peternakan, pembakaran biomasa, dan CFC (UNEP 1992). Peningkatan CO2 di atmosfir disebabkan oleh anthropogenetic yaitu: dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang memperlihatkan keadaan komposisi kandungan karbon di atmosfir terdapat sedikit konsentrasi konsentrasi
13
14
C dan banyaknya
C sesuai dengan karakteristik isotop C dari hasil pembakaran
40
bahan bakar fosil. Demikian pula, peningkatan CO2 dibelahan bumi sebelah utara lebih cepat karena pembakaran bahan bakar fosil terjadi paling tinggi (June, 2004). Presiden Bush di AS memandang perubahan cuaca global akan berlangsung tanpa dapat dielakkan dan mengedepankan strategi adaptasi sebagai langkah utama guna menghadapinya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa AS meragukan ketentuan Kyoto Protokol yang jika diberlakukanpun hanya akan menimbulkan pengaruh positif yang tidak cukup berarti terhadap efek pemanasan global (SI-IPTEKnet 27/06/02). Sikap dan pernyataan Presiden Bush di AS sangat tidak menguntungkan bagi usaha mengurangi green house gasses (gas rumah kaca), secara ilmiah pernyataan tersebut berarti kurang respek terhadap hasil dunia scientific, yang jelas menyatakan dan membuktikan bahwa green house gases menjadi penyebab utama pemanasan global, sikap seperti ini yang berarti kurang profesional Sekalipun penyebab pemanasan global belum diketahui dengan pasti namun kecenderungan naiknya muka air laut telah terjadi di beberapa kawasan pantai Indonesia. Hasil pengamatan beberapa peneliti pada tahun 1990 dan 1991 di beberapa wilayah menunjukkan adanya variasi kenaikan muka air laut di Belawan setinggi 7,38 mm, Jakarta 4,38 mm, Semarang 9,27 mm, Surabaya 5,47 mm, di Panjang Lampung 4,15 mm (Kurdi, 2002). Perubahan iklim global dapat ditanggulangi dengan menyimpan karbon sebesar besarnya tetapi hutan tropis rusak jauh lebih cepat dengan hutan di wilayah iklim sedang (Riyanto 2004). Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi laju tersebut karena memiliki hutan tropis terbesar di dunia dan kelestarian hutan tropis harus terjaga. Sumberdaya alam ini menjadi potensial untuk meningkatkan daya saing bangsa. Maria (2004) menyatakan presentasi cadangan karbon yang tersebar di hutan tropis sebesar 53,1% ada di Indonesia. Hutan memiliki tegakan pohon, jumlah karbon yang diserap oleh sebuah pohon yang sedang tumbuh tergantung dari spesies, iklim, dan tanah serta umur pohon, hutan yang sedang tumbuh membentuk sekitar 10 ton karbon per hektar per tahun (Foley, 1993). Dalam melangsungkan hidupnya, pohon melakukan proses fotosintesis di siang hari untuk memperoleh cadangan makanan. Melalui proses
41
tersebut, pohon menyerap CO2 di udara sehingga jumlah CO2 di udara berkurang dan berubah menjadi penambahan O2 (oksigen). Penyerapan CO2 dalam proses fotosintesis menyebabkan pengurangan emisi CO2 sebagai gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Daya serap pohon terhadap CO2 1.559,10 kg/ha.hari dan 129,92 kg/ha.jam (www.repository.ipb.ac.id, 22 November 2010).
36
III.
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan pembangunan Rusunawa Tanjung Uncang, Kota Batam. Pertimbangan terhadap pemilihan lokasi penelitian ini diantaranya adalah : (i) Sebagai kota yang cepat tumbuh di Indonesia ; (ii) Tingkat kepadatan dan pertumbuhan penduduknya tinggi; (iii) Pengembangan Rusuna sedang digiatkan; (iv) Pusat kegiatan nasional yang berbatasan langsung dengan Singapura. Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2010 sampai dengan bulan Maret 2011. 3.2 Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data Alur tahapan dalam penelitian dapat terlihat seperti pada Gambar 6 berikut
Mulai
Alternatif pelaksanaan konstruksi Jenis dan volume bahan bangunan tiap alternatif
Tools
Worksheet/ SimaPro
Biaya pembangunan tiap alternatif
Daur hidup tiap bahan bangunan (LCA) Pemilihan alAternatif pelaksanaan konstruksi yang optimal
AHP
Permasalahan pengembangan rusunawa ramah lingkungan
ISM
Model pengembangan rusunawa ramah lingkungan Kebijakan pengembangan rusunawa ramah lingkungan
PwrSim Skenario (AHP/ISM/Pwrsim)
37
Gambar 6 Tahapan rencana penelitian. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil survai lapangan, hasil pengamatan dan hasil wawancara dengan para stakeholder terkait. Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber, yaitu dari studi literatur, dinas atau departemen terkait, BPS. Adapun data-data tersebut adalah sebagai berikut.
3.2.1 Data Spasial Data spasial yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data grafis berupa peta-peta yang tertera pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis-jenis peta dan sumber No 1 2
Jenis Data RTRW Kota Batam Peta topografi Batam
Skala 1 : 100.000 1 : 50.000
Sumber Dinas Tata Kota Bakosurtanal
Tahun 2009 2005
3.2.2 Data Sosial Ekonomi Data sosial ekonomi terdiri dari data primer dan data sekunder. Data dan sumber data sosial ekonomi secara rinci tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis data dan sumber data sosial ekonomi No
Jenis Data
1 2 3 4 5 6 7
Kondisi penduduk Fasilitas pendidikan Fasilitas kesehatan Fasilitas perekonomian Kebutuhan rumah Sewa rumah Perkembangan perumahan
Teknik Pengumpulan Data Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey
3.2.3 Data Bahan Bangunan
Sumber
Tahun
BPS / Dinas Kependudukan BPS / Dinas Pendidikan BPS / Dinas Kesehatan BPS / Dinas Perdagangan BPS / BPN/Tata Kota Dinas Tata Kota / REI
2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009
38
Data ketersediaan bahan bangunan terkait pembangunan Rusunawa yang terkait fisik lingkungan secara rinci tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Jenis data dan sumber data bahan bangunan No
Jenis Data
1 2 3 4 5 6 67
Pasir, batu,agregat Kayu Besi beton Aluminium Bata merah Batako Semen
Teknik Pengumpulan Data Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey Dokumentasi/Survey
Sumber
Tahun
Dinas ESDM / Pasar DinasKehutanan/ Pasar Dinas Perdagangan/PU / Pasar Dinas Perdagangan/PU / Pasar Dinas Perdagangan/PU / Pasar Dinas Perdagangan/PU / Pasar Dinas Perdagangan/PU / Pasar
2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009
3.2.4.Data Fisik Konstruksi Data fisik konstruksi terdiri dari data primer dan data sekunder pada Tabel 9. Tabel 9 Jenis data dan sumber data fisik konstruksi No
Jenis Data
1 2 3 4 5 6
Site Plan Master Plan (Denah) Konstruksi Arsitektur Kebutuhan bahan Analisa biaya
Teknik Pengumpulan Data Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi
Sumber
Tahun
Departemen PU/ Kemenpera/Pemkot Departemen PU/ Kemenpera/Pemkot Departemen PU/ Kemenpera/Pemkot Departemen PU/ Kemenpera/Pemkot Departemen PU/ Kemenpera/Pemkot Departemen PU/ Kemenpera/Pemkot
2009 2009 2009 2009 2009 2009
39
3.2.5 Data Sumber Daya Alam dan Lingkungan Data sumber daya alam yang terkait dengan bahan bangunan yang berpengaruh terhadap lingkungan sebagaimana Tabel 10. Tabel 10. Jenis data dan sumber daya alam dan lingkungan No 1 2 3 4 5 6
Jenis Data Galian pasir Penambangan batu Pertanian Perkebunan Kehutanan Taman kota
Teknik Pengumpulan Data Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi/survey Dokumentasi/survey
Sumber
Tahun
Pemkot (Dinas Pertambangan) Pemkot (Dinas Pertambangan Pemkot (Dinas Pertanian) Pemkot (Dinas Perkebunan) Pemkot (Dinas Kehutanan) Pemkot (Dinas PJU & Taman)
2009 2009 2009 2009 2009 2009
3.3. Teknik Penarikan Sampel Setelah dijelaskan di atas, pada pPenelitian ini dilakukan melalui wawancara terhadap para stakeholder terkait, dengan. Adapun cara menggali informasi dan
pengetahuan atau pendapat pakar melalui pada penelitian ini
digunakan metode expert judgment. Untuk keperluan ini pakar ditentukan secara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan tertentu. Persyaratan penarikan sampel dengan purposive sampling menurut Arikunto (1996) adalah : (i) penarikan sampel harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi; (ii) subyek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key subject); dan (iii) penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan. Pertimbangan penentuan sampel dalam penelitian ini adalah : (i) Kepadatan penduduk; (ii) Fungsi wilayah; (iii) Administrasi wilayah. Pakar yang dijadikan responden pada penelitian ini terutama pakar yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli dalam sistem tata ruang pengembangan
40
perumahan, penataan ruang, konstruksi rumah susun dan keserasian lingkungan di lokasi penelitian, serta pakar dalam sistem dan manajemen konstruksi. Dasar pertimbangan dalam penentuan atau pemilihan pakar untuk dijadikan sebagai responden menggunakan kriteria sebagai berikut: 1. Keterjangkauan terhadap lokasi pakar tersebut 2. Kesediaannya untuk dijadikan responden; 3. Memiliki
reputasi,
kedudukan/jabatan
dan
telah
menunjukan
kredibilitasnya sebagai ahli atau pakar pada bidang yang diteliti; 4. Memiliki latar belakang pendidikan tinggi terhadap bidang yang sedang dikaji 5. Telah memiliki pengalaman dalam bidangnya minimal 2 tahun. Adapun stakeholders dalam pengembangan rumah susun adalah pakar terpilih yang diharapkan dapat mewakili unsur birokrasi, akademisi, pelaku usaha, dan organisasi yang peduli terhadap lingkungan. Jumlah stakeholder yang diambil dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Pengambilan jumlah responden No 1.
Pemerintah
Sampel
Jumlah 6 orang
2.
Pengelola
2 orang
3.
Pelaku Usaha
4 orang
4.
Akademisi
4 orang
5.
Masyarakat
4 orang
3.4 Pendekatan Penelitian
41
Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem, yang merupakan metoda pengkajian masalah yang dimulai dari analisis atau identifikasi kebutuhan yang menghasilkan suatu sistem operasional yang efektif.
Penelitian ini dimulai
dengan melihat kondisi eksisting penelitian dengan melakukan pengamatan, survai dan mengambil data sekunder seperti yang tertera pada Tabel 36, 47, 58, 69 dan 710. Selanjutnya akan dilihat kebutuhan para stakeholder yang berkaitan dengan pengembangan rumah susun (analisa kebutuhan), formulasi masalah dan identifikasi sistem. Adapun analisis-analisis yang akan dilakukan pada penelitian ini diantaranya adalah analisis deskriptif yang akan digunakan untuk menganalisis beberapa kondisi pada kondisi eksisting. Analisis lainnya yang akan digunakan pada penelitian ini adalah life cycle assessment (LCA), analytical hierarchy process (AHP), interpretative structural modeling (ISM) dan dilanjutkan dengan pembuatan model dinamik.
3.5 Life Cycle Assessment (LCA) Pada penelitian ini menggunakan LCA digunakan untuk meneliti dan untuk menganalisis aspek lingkungan yang berhubungan dengan suatu produk dan siklus hidupnya. LCA merupakan sebuah metode yang digunakan pada tahap daur hidup mulai dari tahap pengambilan material sampai dengan produk itu selesai digunakan oleh konsumen. Hasil dari pendekatan LCA melalui bantuan software Simapro 5.0, dapat diketahui bahwa suatu bahan atau proses tertentu dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan (misalnya global warming) lebih besar dibandingkan dengan bahan atau proses lain tertentu dalam mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Alternatif yang dimunculkan didukung beberapa kriteria, sehingga dalam pengambilan keputusan akan diperoleh alternatif model kebijakan yang optimal. Prinsip kerja LCA adalah dimulai dari input berupa bahan baku dan energi dan energi, dilanjutkan dengan pengambilan material dari alam, diproses menjadi bahan jadi, digunakan, dipelihara, dibongkar sampai digunakan kembali atau dibuang. Pada saat pengambilan bahan baku di alam, pengangkutan ke pabrik, proses pengolahan di pabrik sampai menjadi bahan jadi, pengangkutan ke tempat pemasangan akhir sampai pemanfaatannya, semuanya dilakukan dengan mekanisasi yang membutuhkan bahan bakar sebagai
42
sumber energi. Keseluruhan proses ini berpotensi mencemari lingkungan berupa polusi udara, air, tanah dan pencemaran lainnya (Gambar 7)
Gambar 7.
Prinsip kerja LCA (EPA, 1993)
Penelitian potensi dampak dimulai dengan penentuan lingkup dan tujuan, selanjutnya dilakukan inventarisasi input dan output untuk dapat memperkirakan potensi dampak daur hidup suatu bahan bangunan, sebagaimana Gambar 8.
Gambar 8. Tahapan penyusunan LCA (EPA, 2001)
1. Goal & Scope Definition
43
Merupakan petunjuk yang dapat membantu konsistensi dari penelitian Life Cycle Asessment. Tujuan harus menunjukkan alasan dilakukannya penelitian dan untuk apa penelitian tersebut. Ruang lingkup berupa penjelasan penelitian, metode yang dipakai, asumsi dan batasan. Idealnya, fase ini akan menghasilkan definisi dari prinsip alokasi, batasan sistem, asumsi sistem, unit fungsional dan kualitas data. Batasan sistem seperti alam, area geografis, jangka waktu, capital goods dan life cycle product lain yang terkait dengan proses. Unit fungsional mendefinisikan dasar perbandingan. Hal ini penting apabila perbandingan produk memiliki karakteristik performansi yang berbeda. Batasan sistem mengatur batasan proses yang dimasukkan pada penelitian. Asumsi sistem mendeskripsikan bagaimana perhitungan dilakukan. Prinsip alokasi pertimbangan output beberapa produk dari sistem produksi yang sama. Parameter mengacu pada deskripsi indikator terukur apa yang dipakai untuk menggambarkan performansi lingkungan. Kualitas data yang diperlukan tergantung pada tujuan dari penelitian itu sendiri.
2. Life Cycle Inventory (LCI) Tujuan dari life cycle inventory adalah untuk menunjukkan pengaruh lingkungan (bahasa umum untuk emisi dan semua input dan output dari dan ke lingkungan) per bagian life cycle. Dengan kata lain, life cycle inventory digunakan dalam pencarian area yang memiliki kesempatan besar untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan melalui konservasi sumber daya dan pengurangan emisi. Nilai utama dari produk akan berdampak pada life cycle lain. Pada fase inventory, model terbuat dari sistem teknik yang kompleks terdiri dari produksi,
transportasi,
penggunaan
dan
pembuangan
produk.
Fase
ini
menghasilkan flow sheet atau process tree dengan semua proses yang relevan. Proses pada semua inflow dan outflow yang relevan dikumpulkan. Kerja keras yang sebenarnya dalam life cycle inventory adalah pengumpulan dan pengolahan data itu sendiri. Ada beberapa sumber data yaitu dari data base komersial, data base industri, data base universitas dan penelitian, proyek data base nasional
44
seperti yang sudah dibangun beberapa negara, data literature umum (khususnya data gambaran proses) dan data dari situs internet (Goedkoop & Oek, 2001). Format data pada tahap ini terdiri dari 3 kategori yaitu berisi deskripsi proses, inventori dari perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh proses penggolongan informasi. Data-data tersebut kemudian dikumpulkan dalam suatu inventori produk untuk menjumlahkan tiap perubahan lingkungan yang terjadi disepanjang siklus hidup produk. Pada data yang sudah terkumpul tersebut, selanjutnya dilakukan perhitungan inventory per unit fungsional.
3. Life Cycle Impact Assessment Pada tahapan ini akan dilakukan pengelompokkan dan penilaian mengenai efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan berdasarkan data-data yang diperoleh pada tahapan life cycle inventory (LCI). Tahap ini sendiri terdiri atas 3 tiga langkah utama yaitu (1) classification, (2) characterization, (3) valuation (Curran, 1996). Classification merupakan tahapan dimana keseluruhan input dan output akan dinilai kontribusinya sesuai dengan kategori impact yang sesuai. Kategori impact ini misalnya resource depletion (penggunaan sumber daya baik biotic maupun abiotik), polusi (global warming, ozone depletion, human toxicity, ecotoxicity, photochemical oxidant formation, acidification, eutrophication), penurunan ekosistem tanah (land use). Pemilihan kategori impact yang sesuai sangat dipengaruhi oleh tujuan dari penelitian yang telah ditentukan sebelumnya (Curran, 1996). Characterization merupakan tahapan dimana keseluruhan input dan output akan dinilai kontribusinya sesuai dengan kategori dampak yang telah ditentukan pada tahap sebelumnya. Hasil dari tahap ini adalah suatu profil dampak lingkungan dari sistem yang diamati (Curran, 1996). Tabel 12. Katagori life cycle impact assesment (LCIA, EPA 2001) Impact Category
Scale
Relevan LCI Data (Le Clasification)
Global warming
Global
Carbondioxida (CO2) Nitrogen Dioxida (NO2) Methane (CH4 2) Hydroporoflu erocarbon
Common Characterion Factor
Ozone Depleting
Description of Characterization Factor Converts LCI data to Carbon Dioxida Equivalent Notes global warming potential can be 50,100, or year potentials
45
Starto shperic Ozone Depleting
Global
Acidification
Regional local
Eutropication
Local
(NCC) Marthly Bromida (CH3Br) Chlorofilecarbon (CFC5) Hydropohleflocarbon (HCFC5) Halons Marthly Bromida (CH3Br) Sulfur Oxida (So) Nitrogen Dioxida (NO2) Hydrocholic Acid (HCL) Hydroflorie Acid (HF) Ammonia (NH4) Eutropication Nitrogen Dioxida (NO2) Nitrates Ammonia (NH4)
Potential
Ozone Depleting Potential
Converts LCI data to Tricbloreflourment (CFC-11) equirements
Acidification Potential
Converts LCI data to hydrografication equirements
Eutropication Potential
Converts LCI data to Phospote (PO4) equirements
Valuation merupakan tahapan dimana keseluruhan dampak yang telah dinilai dan akan dibandingkan dan disederhanakan dibuat dalam suatu basis ukuran yang sama (Curran, 1996). Tujuan dilakukannya valuation adalah untuk mendapat nilai perbandingan yang sama untuk setiap kategori dampak yang ada sehingga memudahkan interpretasi selanjutnya.
4. Life Cycle Interpretation Tahapan ini merupakan tahap interpretasi dari keseluruhan tahap sebelumnya. Interpretasi ini nantinya akan mengarah pada perbaikan untuk menurunkan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari sistem, produk, atau proses yang diamati. 5. Software Simapro 5.0 Simapro 5.0 adalah software generasi ke 5 dari interpretasi penggunaan metode life cycle assessment, yang bertujuan untuk menganalisa dan membandingkan aspek-aspek
lingkungan dari suatu produk. Software ini
mengkalkulasi inputan seperti kuantitas-kuantitas bahan baku suatu proses industri dan menghasilkan outputan suatu nilai grafik, dimana grafik ini menunjukkan material-material yang berdampak besar terhadap lingkungan, sehingga kita bisa melakukan perbaikan proses dan dampak yang lebih aman ke lingkungan.
46
Struktur dari sofeware simapro 5.0 didasarkan atas beberapa tahapan berikut: a. Penentuan Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian perlu menjelaskan bagaimana kita akan menampilkan suatu modelling task dalam suatu life cycle assessment. Penentuan tujuan dan ruang lingkup dapat dilakukan dengan beberapa cara : 1. Text fields, dimana kita menginput data, pemilik, komentar, alasan dan tujuan kita melakukan penelitian life cycleassessment sebagai dokumentasi terhadap interpretasi life cycle assessment. 2. Pemilihan libraries, dimana kita dapat memilih metode-metode apa yang paling sesuai dengan penelitian. 3. Mengatur data quality indicator (DQI), dimana kita dapat menetapkan karakteristik-karakteristik data yang sesuai dengan tujuan dan rung lingkup kita. Data yang diinput berupa waktu periode kita melakukan penelitian, tempat, teknologi, alokasi, dan batasan sistem dalam penelitian
b. Penginventarisasian Pada tahap inventarisasi, semua data mengenai emisi yang berpotensi timbul dan juga konsumsi bahan baku dikumpulkan. Siklus hidup suatu produk, melibatkan berbagaimacam proses dalam siklusnya. Membuat suatu model life cycle dibutuhkan suatu pengumpulan data dari semua proses yang terjadi. Proses tersebut dapat dibuat sebagai diagram pohon proses. Membuat satu diagram pohon proses untuk seluruh siklus hidup, maka kita dapat melakukan perhitungan dari hasil inventarisasi. Pada tahap inventarisasi terbagi atas beberapa fase, yaitu : 1. Process, menunjukkan hal-hal yang termasuk dalam proses produksi suatu produk, dimana terdapat beberapa katagori yang memerlukan penginputan data yang digunakan seperti material-material, energi, transport, produk yang telah diproses, waste treatment.
47
2. Product stages, mendeskripsikan bagaimana suatu produk diproduksi, digunakan dan dibuang. Product stage terbagi atas 5 perbedaan yaitu, assembly yang didefinisikan sebagai produk amatan dan berkaitan denagn material-material dan proses yang digunakan dalam proses produksi. Kedua adalah life cycle yang didefinisikan sebagai total siklus hidup produk. Product stages selalu berlkaitan dengan satu assembly, dan bisa juga terkait dengan disposal scenarios dan life cycle tambahan. Ketiga adalah disposal scenarios, dideskripsikan sebagian bagian akhir dari skenario hidup dari suatu produk yang digunakan. Keempat adalah diasassembley scenario, yang mendeskripsikan sebagai bagian mana dari suatu proses produksi yang perlu dibongkar dan akan dibawa kemana bagian-bagian produksi tersebut akan dibawa. Kelima adalah reuse, dideskripsikan sebagai suatu proses yang perlu dilakukan untuk digunakan kembali. 3. System discription, bagian ini merupakan rekaman terpisah yang digunakan untuk mendeskripsikan struktur dari suatu sistem. 4. Waste types, simapro 5.0 membedakan antara waste scenario dengan disposal scenarios. Waste scenario didefenisikan sebagai material yang akan dibuang atau didaur ulang, sedangkan disposal scenarios didefinisikan sebagai produk yang akan dibongkar atau digunakan kembali. Pada tahap ini dapat mengatur/membuat suatu perencanaan dari pengolahan limbah. c. Penilaian Terhadap Cemaran Struktur dasar penilaian terhadap cemaran terdiri atas : 1. Caracterisation Senyawa-senyawa kimia yang mempunyai kontribusi pada impact category
akan
dikalikan
dengan
characterisation
factor
yang
menunjukkan kontribusi relatif dari senyawa-senyawa kimia tersebut. hal ini bisa juga disebut dengan
nilai ekuivalensi. Sebagai contoh
characterisation factor untuk CO2 dalam impact category setara dengan 1, sementara characterisation factor dari methane adalah 21. Hal ini dapat
48
diartikan bahwa pelepasan 1 kg methane setara dengan 21 kg CO2 pada alam.. 2. Demage assessment (optimal) Beberapa metode mempunyai tahap demage assessmenti, pada tahap ini impact category indicator yang mempunyai satuan umum dapat ditambahkan. Sebagai contoh, dalam metode eco indicatory 99, semua impact category yang berpengaruh pada kesehatan manusia dapat ditunjukkan sebagai DALY (disability adjusted life years). Dalam metode ini diperbolehkan untuk
menambahkan DALY
mempunyai efek
karsinogenik yang disebabkan oleh perubahan alam. 3. Normalization (optimal) Banyak metode memperbolehkan hasil dari impact category untuk dibandingkan dengan buku acuan atau nilai normal. Hal ini berarti bahwa impact category dibagi dengan acuan. Pemilihan acuan boleh secara bebas, tetapi sering digunakan jumlah penduduk dari suatu negara atau benua sebagai bahan acuan. Setelah tahap normalisasi, semua hasil dari impact category indicator akan menghasilkan satuan yang sama (per tahun), yang memudahkan dalam membandingkannya. Normalisasi dapat diaplikasikan pada hasil dari tahap characterization dan damage assessment, tergantung dari struktur yang telah dipilih sebagai metode acuan.
Weighting (optimal) 4. Beberapa metode memperbolehkan tahapan pembobotan dalam impact categories. Hasil dari impact categories indicator akan dikalikan dengan weighting factor dan akan diakumulasikan sebagai total score. d. Interpretasi Data Interpretasi data didefenisikan sebagai suatu bagian yang utuh dari life cycle assessment. Tujuan interpretasi data adalah untuk mengevaluasi dimana suatu kesimpulan dapat digambarkan dan bagaimana mempertanggung jawabkannya. e. Hasil Perhitungan
49
1. Characterisation Hasil characterisation akan dimunculkan pertama kali. Hasil yang disajikan dalam batas 0-100% 2. Normalization Normalisasi bertujuan untuk menyeragamkan satuan dari segala impact catagories dan untuk menunjukkan kontribusi dari impact catagories tersebut terhadap masalah-masalah lingkungan dalam suatu wilayah 3. Weighting Impact category indicator hasil dari tahap normalisasi tidak semuanya dianggap penting, sehingga tidak semua ditunjukkan dalam single score. Hal ini tergantung dari weighting factor. 4. Single score Single score memperlihatkan tiap-tiap proses produksi yang mempunyai dampak terhadap lingkungan.
3.6. Analytical Hierarchy Process (AHP) Pada penelitian ini digunakan AHP untuk menentukan alternatif kebijakan pengembangan rumah susun yang ramah lingkungan. Analisis ini didasarkan pada pendapat pakar (expert judgment) untuk mendapatkan dan menjaring berbagai informasi dari beberapa elemen-elemen yang berpengaruh dalam penyusunan strategi kebijakan pengembangan rumah susun. Penilaian oleh pakar didasarkan pada skala nilai Saaty (1993) yang berkisar antara nilai 1 – 9, seperti pada Tabel 13.
Tahapan analisa data dengan AHP adalah sebagai berikut (Saaty, 1994): 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah; 2. Membuat struktur hierarki, dimulai dengan membuat tujuan umum, sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam dengan pakar yang mengetahui persoalan yang sedang dikaji.
50
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya 4. Melakukan pengolahan perbandingan berpasangan. 5. Menghitung konsistensi judgment stakeholder dilihat dari nilai consistency ratio sehingga dapat memeriksa apakah perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak (Marimin, 2004). Jika nilai konsistensi < 0,1 dianggap konsisten, namun jika nilainya > 0,1, berarti ada ketidak konsistenan, sehingga harus diulangi atau dikoreksi. Tabel 13 Skala penilaian perbandingan berpasangan Tingkat Kepentingan 1 3 5 7 9
2,4,6,8
Keterangan
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama pentingnya
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Elemen yang satu sedikit lebih cukup daripada elemen lainnya Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas lainnya Satu elemen yang kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan jika ada dua kompromi diantara dua pilihan
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Sumber: Saaty, 1993 Susunan tingkatan hirarki yang terdiri dari fokus, aktor, faktor, tujuan dan alternatif dapat dilihat pada Gambar 9.
51
Fokus
Aktor
Faktor
Kebijakan pengembangan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang ramah lingkungan (green building)
Pemerintah
Sumberdaya manusia
Pengelola
Sumberdaya alam
Pelaku usaha
Kebutuhan perumahan
Masyarakat
Akademisi
Teknologi kontruksi
Perekonomian masyarakat
Kebijakan pemerintah
Green Construction Terpeliharanya kualitas lingkungan
Tujuan
Alternatif
Melaksanakan dengan beton konvensional
Kebijakan
Gambar 9.
Menurunnya penggunaan SDA (bahan bangunan)
Hematnya penggunaan energi (fosil)
Melaksanakan dengan beton semi pracetak
Terpenuhinya koefisien2 dasar bangunan
Melaksanakan dengan beton pracetak penuh
Hierarki pengambilan keputusan (AHP) model pengembangan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang ramah lingkungan (green building) melalui optimasi pelaksanaan konstruksi (green construction) 50
52
3.7.
Interpretative Structural Modeling (ISM) Setelah didapat hierarki dan alternatif kebijakannya, selanjutnya dibuat teknik
permodelan interpretasi struktural (interpretative structural modelling) sehingga dari sini akan dirumuskan parameter kunci untuk pengembangan rusun yang berwawasan lingkungan. Tahapan ISM akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi subelemen (Eriyatno, 2003) sebagai berikut: 1. Penyusunan hierarki (a) Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen, dan setiap elemen akan diuraikan menjadi sejumlah subelemen. (b) Menetapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar lebih dari satu maka dilakukan perataan.
Penilaian hubungan kontekstual pada matriks
perbandingan berpasangan menggunakan simbol VAXO dimana : ¾ V jika eij = 1 dan eji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j ¾ A jika eij = 0 dan eji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i ¾ X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama ¾ O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang ditangani Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j. (c) Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix (SSIM). SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0 (Tabel 14).
53
Tabel 14. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen 12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Setelah structural self interaction matrix (SSIM) terisi sesuai pendapat responden, maka simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan simbol (1 dan 0) sesuai dengan ketentuan sehingga dari situ akan dapat diketahui nilai dari hasil reachability matrix (RM) final elemen. Bentuk pengisian hasil reachability matrix (RM) final elemen disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil reachability matrix (RM) final elemen 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 D L Keterangan : DP = driver power ; R = rangking; D = dependence; L = level/hierarki
10
11
12
DP R
54
Berdasarkan
Tabel
15
dapat
diketahui
nilai
driver
power,
dengan
menjumlahkan nilai subelemen secara horizontal; untuk nilai rangking ditentukan berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil; nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai subelemen secara vertikal; untuk nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. 2. Klasifikasi sub-elemen Secara garis besar klasifikasi sub-elemen digolongkan dalam 4 sektor yaitu: (a)
Sektor 1, weak driver-weak dependent variabels (autonomous). Sub-elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sub-elemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah sub-elemen.
(b)
Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (dependent). Umumnya sub-elemen yang masuk dalam sektor ini adalah sub-elemen yang tidak bebas. Sub-elemen yang masuk pada sektor 2 jika : Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah sub-elemen.
(c)
Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels (lingkage). Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub-elemen akan memberikan dampak terhadap sub-elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Sub-elemen yang masuk pada sektor 3 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.
(d)
Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (independent).
Sub-
elemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Sub-elemen yang masuk pada sektor 4 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah sub-elemen.
55
Hasil analisa matrik dari klasifikasi sub-elemen tersebut dapat dilihat pada Gambar 10. Independent Variable Sektor IV
Lingkage Variablel Sektor III
Autonomous Variable Sektor I
Dependent Variable Sektor II
Daya Dorong (Drive Power)
Ketergantungan (Dependence)
Gambar 10 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor (Marimin, 2004). 3.8 Pendekatan Sistem a. Analisis kebutuhan Model kebijakan pengembangan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang ramah lingkungan (green building) dalam operasionalisasinya harus dapat memenuhi kebutuhan stakeholders secara optimal, oleh karenanya maka pada penelitian ini akan dilakukan analisis kebutuhan terhadap stakeholders terkait. Pelaku/stakeholders yang terlibat dalam pengembangaan rumah susun yang berwawasan lingkungan adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah, baik pusat maupun daerah yang akan diwakili oleh, Departemen Pekerjaan Umum, Kementerian Negara Perumahan Rakyat, dan Pemerintah Kota Batam 2. Pengelola Rusunawa: Pemkot Batam, Jamsostek, industri 3. Pelaku usaha: kontraktor, konsultan, supplier 4. Akademisi, profesional Ikatan Ahli Beton Pracetak & Prategang Indonesia (IAPPI) 5. Masyarakat: penghuni dan penduduk sekitar lokasi Rusunawa
56
b. Formulasi Masalah Identifikasi permasalahan yang ada merupakan tahapan awal dalam melakukan pendekatan sistem sehingga dengan mengidentifikasi masalah-masalah awal dan mendasar maka diharapkan diperoleh alternatif penyelesaian masalah sesuai dengan tingkat permasalahan yang diangkat. Adapun permasalahan yang dapat muncul dari pengembangan rumah susun melalui optimasi pelaksanaan konstruksi di lokasi penelitian diformulasikan dalam berbagai keterbatasan sebagai berikut : 1. Sumberdaya manusia
dalam melaksanakan teknologi kontruksi yang hemat
sumberdaya alam, sehingga berdampak pada rendahnya inovasi dan kreativitas , akhirnya berakibat pada semakin hebatnya tekanan terhadap lingkungan. 2. Kemampuan kontraktor
dalam menciptakan dan menerapkan teknologi
berwawasan lingkungan pada setiap proses produksi, pelaksanaan, sampai yang masih tetap berakibat pada tingginya tingkat pencemaran. 3. Peralatan yang dipakai untuk melakukan perakitan konstruksi 4. Bahan bangunan bermutu tinggi yang ramah lingkungan. 5. Keraguan masyarakat menghuni Rusunawa yang dilaksanakan dengan sistem pracetak 6. Infrastruktur usaha seperti: energi listrik, perijinan, komunikasi, perpajakan, retribusi berdampak kurang kondusifnya iklim usaha. c. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem pada dasarnya merupakan hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyatan khusus dari masalah yang akan diselesaikan dalam rangka mencukupi kebutuhan dan digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat untuk perancangan model dari sistem yang dikaji. Identifikasi pengembangan rusun yang berwawasan lingkungan direpresentasikan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) dan kotak hitam (black box).
Adapun tujuan dari
57
identifikasi sistem ini adalah untuk memberikan gambaran terhadap sistem yang dikaji dan selanjutnya digambarkan dalam diagram masukan-keluaran (black-bock). d.
Diagram lingkar sebab akibat Diagram lingkar sebab akibat adalah bahasa gambar yang mengungkapkan
kejadian hubungan sebab akibat, yang dibuat dalam bentuk garis panah yang saling mengait, sehingga membentuk sebuah diagram lingkar sebab akibat. Dalam hal ini pangkal panah yang terdapat pada diagram ini menyatakan sebabnya sedangkan ujung panahnya menyatakan akibatnya. Hubungan sebab akibat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan sebab akibat yang makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor akibat, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan sebab akibat yang semakin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai dari faktor akibat. Dampak atau akibat dari suatu sebab dapat mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain. Dalam hal ini terbentuk suatu umpan balik tertutup, yang sering kali disebut sebagai loop. Loop adalah suatu akibat yang dibalikkan ke penyebabnya, sehingga terbentuk apa yang dinamakan umpan balik atau feed back loop (Aminullah,, 2001). Umpan balik dibedakan menjadi dua macam yaitu umpan balik positif bila perkalian tanda dari hubungan sebab akibat yang membentuknya adalah positif, namun jika hasilnya negatif disebut umpan balik negatif. Umpan balik positif memberikan penguatan terhadap perubahan yang terjadi, yakni nilai perubahannya semakin lama semakin besar. Umpan balik negatif memberikan pelemahan terhadap perubahan yang terjadi, yakni makin lama makin kecil dan akhirnya hilang (Gambar 11).
58
-/+ +
-
Kelahiran
Kematian
Penduduk +
+ -
Emigrasi
-/+
+ +
+
-
Imigrasi
Penggunaan Lahan
Pemukiman -
Kualitas Lingkungan
+
-
+
+
Tenaga Kerja +
+
-
Teknologi Nilai Ekonomi
Gambar 11 Diagram causal loop. Berdasarkan diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), diketahui bahwa kegiatan rusunawa akan berdampak positif terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja terampil, efisiensi penggunaan ruang, terutama terjadinya degradasi kawasan hutan dalam penyediaan permukiman baru bagi masyarakat, dapat menurunkan jumlah limbah kegiatan konstruksi pembangunan permukiman baru akibat dilakukannya efisiensi pengelolaan dalam pemanfaatan kayu, sehingga kualitas lingkungan menjadi baik atau dapat minimalisasi laju penurunan kualitas lingkungan. Kegiatan rusunawa yang menekankan pada penggunaan teknologi akan berdampak
positif
terhadap
peningkatan
efisiensi
pengelolaan
dan
akan
meningkatkan nilai ekonomi dalam kegiatan pembangunan permukiman baru. Penggunaan teknologi dalam kegiatan pembangunan permukiman baru juga tidak terlepas dari kegiatan penyerapan tenaga kerja terampil dan aktivitas pasokan terhadap barang dan jasa.
59
e. Diagram Input-Output Diagram input-output menggambarkan hubungan antara peubah masukan dan keluaran melalui proses transformasi yang digambarkan sebagai kotak hitam. Pada diagram ini terdapat dua macam input yakni input yang terkendali dan input yang tidak terkendali. Selain input juga terdapat output yang juga terdiri dari dua macam output atau keluaran yang dikehendaki dan keluaran yang tidak dikehendaki (Gambar 12).
1. 2.
Input Lingkungan : Peraturan/perundangan Kebijakan-kebijakan terkait
Input Tak Terkendali : 1. Perubahan iklim global 2. Menurunnya SDA bahan bangunan 3. Menurunnya sumber energi 4. Tingginya urbanisasi 5. Menurunnya kualitas lingkungan 6. Menurunnya SDM
Output Yang Dikehendaki : 1. Adanya kebijakan pembangunan rusun ideal 2. Minimnya penggunaan SDA bhn bangunan 3. Minimnya konsumsi energi listrik&energi lain 3. Terpeliharanya kualitas lingkungan 4. Meningkatnya fungsi RTH penyerap CO2 5.Terpenuhinya kebutuhan akan tempat tinggal
Model Pengembangan Rusunawa yang Ramah Lingkungan (Green Building)
1. 2. 3. 4. 6.
Input Terkendali :
Konstruksi ramah lingkungan Teknologi pelaksanaan konstruksi Model pengembangan rusun Managemen & pengawasan pelaksanaan Teknologi pembuatan bahan bangunan ramah lingkungan 7. Kapasitas unit produksi bahan bangunan 8. Sarana dan prasarana /infrastruktur
Output Yang Tidak Dikehendaki : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
SDA bahan bangunan berkurang Lingkungan tercemar Boros energi Konflik pada pengguna rusun Konflik antar stakeholder Gagal konstruksi Inefisiensi infrastruktur Inefisiensi konstruksi
Manajemen pengendalian (feed back)
Gambar 12. Diagram input - output model pengembangan rusunawa
60
f. Simulasi Model Menurut Siswosudarmo et al.(2001) sSimulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Menurut Purnomo (2005) terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan pada saat kita melakukan analisis simulasi model, yakni: 1. Identifikasi indikator/isu/masalah, tujuan dan batasan Identifikasi indikator/isu atau masalah dan batasan dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menentukan indikator hipotetikal sebanyak 10 indikator. Setelah isu ditentukan, selanjutnya menentukan tujuan pemodelan yang meliputi metode pemodelan, ketelitian model dan jenis model yang dinyatakan secara eksplisit. Setelah itu dilakukan penentuan batasan terhadap permodelan yang dilakukan. 2. Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab-akibat, diagram stok (stock) dan aliran (flow) atau diagram klas dan diagram sekuens. Tahapan ini dimulai dengan mengidentifikasi semua komponen yang terlibat atau dimasukan dalam pemodelan. Jika komponen-komponen tersebut sangat banyak maka dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, dan selanjutnya dicari hubungannya satu sama lain dengan menggunakan diagram kotak dan panah. Untuk tujuan tersebut, maka hal yang perlu diperhatikan adalah adanya kenyataan bahwa komponen-komponen yang membentuk sistem harus dinamis, sensitif terhadap perubahan serta keterkaitannya dalam sistem membentuk hubungan sebab-akibat. Identifikasi keterkaitan komponen tersebut didasarkan pada keadaan nyata agar hasil yang digambarkan model tersebut mendekati keadaan sebenarnya. 3. Spesifikasi model dengan merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen indikator yang diperlukan
61
Spesifikasi model kuantitatif, bertujuan untuk membentuk model kuantitatif dari konsep model yang telah ditetapkan dengan memberikan nilai kuantitatif terhadap masing-masing variabel/indikator dan menterjemahkan hubungan atau keterkaitan antar 10 variabel/indikator dan komponen penyusunan model sistem tersebut kedalam persamaan matematika. Persamaan tersebut dapat diperoleh dari hasil regresi terhadap data yang ada, hasil rujukan atau berdasarkan rekaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara rinci tahapan dalam spesifikasi model kuantitatif terdiri dari : ¾ Memilih dan menentukan struktur kuantitas model ¾ Menentukan satuan waktu dalam simulasi ¾ Identifikasi bentuk-bentuk fungsional dan persamaan model 4. Evaluasi model yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model yang serupa jika ada dan diperlukan Evaluasi model ditujukan untuk mengetahui kehandalan model dalam mendikripsikan keadaan sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika ada. Setelah setiap dari model diamati selanjutnya diperhatikan, apakah relasi-relasi yang ada logis atau tidak, maka selanjutnya diamati utuh tidaknya keterkaitan antar bagian sebagai model. Adapun yang dimaksud dengan logis di sini adalah semua persamaan sesuai dengan apa yang dipercayai orang atau sesuai dengan paradigma yang ada. Tahapan kedua dari evaluasi model ini adalah mengamati apakah perilaku model sesuai dengan harapan atau perkiraan yang digambarkan pada tahapan konseptualisasi model. Model dijalankan atau dieksekusi pada sebuah komputer, dan diamati hasilnya apakah beberapa komponen yang diamati atau menjadi fokus perhatian sesuai dengan pola perilaku perilaku yang diharapkan. Tahapan ketiga adalah membandingkan periaku model dengan data yang diperoleh dari sistem atau dunia nyata. Jika dalam model terdapat fungsi-fungsi bilangan acak, maka model harus dieksekusi sebanyak 30 kali untuk mengamati keragaman hasil pemodelan tersebut.
62
g. Validasi Model Validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-empirical). g.1. Uji validitas struktur Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model dengan konsep teori empirik. Secara empirik, perkembangan permukiman dipengaruhi oleh jumlah penduduk, sarana dan prasarana, interaksi sosial budaya, perkembangan ekonomi dan aktivitas dan mobititas masyarakat. g.2. Uji validitas kinerja Uji validitas kinerja ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dikembangkan dapat diterima secara akademik atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara memvalidasi output model, yaitu dengan membandingkan output model dengan data empirik. Ada beberpa teknik uji statistik yang dapat digunakan antara lain AME (absoulte mean error) dan AVE (absolut variation error), dengan batas penyimpangan 5 - 10%. g.3. Uji Sensivitas Model Uji sensivitas model merupakan respon model terhadap suatu stimulus. Respon ini ditunjukkan dengan perubahan perulaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model. Langkah-langkah pada uji sensitivitas ada lima yaitu : -
Identifikasi alternatif intervensi, yaitu melihat intervensi apa perlu dilakukan untuk mencapai kinerja model yang diinginkan pada waktu mendatang.
-
Uji sensitivitas intervensi terhadap penggunaan paramater input dan intervensi struktur model sehingga menghasilkan output dengan intervensi atau normal.
-
Analisis dampak intervensi, yaitu melihat secara kuantitatif berapa besar dan kapan dampak intervensi menunjukkan hasil.
63
-
Hasil uji parameter/indikator kemudian dievaluasi dengan maksud memilih tiga diantara yang paling sensitif dari sepuluh indikator pada langkah identifikasi indikator/masalah maupun atau isu-isu.
-
Mensimulasikan dan mengamati hasil dan dampak pada keseluruhan kinerja unsur sistem. Perubahan sifat dampak bersifat dinamis yang dinyatakan dalam prosentase fungsi waktu dan pola kecanderungan hasil dan dampak intervensi adalah bersifat non-linier. Hal tersebut akan di uji dengan fasilitas uji sensitivitas variabel/indikator dengan menggunakan perangkat lunak powersim constructor 2,5, hal ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam dunia nyata.
-
Menentukan dua sampai tiga indikator/variabel yang paling sensitif terhadap respon intervensi.
-
Menguji hasil model yang telah dikembangkan (mensimulasikan) di lapangan dengan mengukur nilai normal indikator dan melakukan intervensi serta mengamati perbahan nilai indikator. Penggunaan model yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau alternatif
kebijakan kemudian mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda ke depan. Selanjutnya menganalisis hasil simulasi skenario, dan hasil analisis smulasi tiap skenario ini dipakai untuk membuat peringkat skenario-skenario tersebut yang mencerminkan urutan skenario yang lebih cocok untuk diterapkan sesuai dengan model yang dikembangkan. Tahapan terakhir adalah merumuskan skenario tersebut menjadi opsi atau pilihan kebijakan. h. Skenario Kebijakan Pengembangan Rusunawa Setelah dibuat pengklasifikasian dari sub-elemen dan desain kebijakan selanjutnya dilakukan analisis skenario kebijakan yang sesuai keadaan lapangan, dengan memperhatikan beberapa hal dibawah ini: 1. Menentukan keadaan (state) suatu faktor •
Keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi (bukan khayalan) dalam suatu waktu di masa datang.
64
•
Keadaan bukan suatu tingkatan atau ukuran suatu faktor (seperti besar/sedang/kecil atau baik/buruk) tetapi deskripsi situasi sebuah faktor.
•
Setiap keadaan harus diidentifikasikan dengan jelas.
•
Bila keadaan dari suatu faktor lebih dari satu makna keadaan maka keadaan-keadaan tersebut harus dibuat secara kontras.
•
Selanjutnya mengidentifikasi keadaan yang peluangnya sangat kecil untuk terjadi atau berjalan bersamaan (mutual incompatible).
2.
Membangun skenario yang mungkin terjadi. Langkah-langkah dalam membangun skenario terhadap tahapan faktor-faktor yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut : •
Skenario yang mempunyai peluang besar untuk terjadi di masa datang disusun terlebih dahulu.
•
Skenario merupakan kombinasi dari faktor-faktor. Oleh sebab itu, sebuah skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu tahapan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang mutual incompatible (saling bertolak belakang).
•
Setiap skenario (mulai dari alternatif paling optimis sampai alternatif paling pesimis) diberi nama.
•
Langkah selanjutnya memilih skenario yang paling mungkin terjadi.
3. Implikasi skenario Merupakan kegiatan terakhir yang meliputi : •
Skenario yang terpilih pada tahap sebelumnya dibahas konstribusinya terhadap tujuan studi.
•
Skenario tersebut didiskusikan implikasinya.
•
Tahap selanjutnya menyusun rekomendasi kebijakan dari implikasi yang sudah disusun.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kota Batam 4.1.1 Geografis dan Administrasi Kota Batam sebelum menjadi daerah otonom, merupakan kotamadya kedua di Provinsi Riau setelah Kotamadya Pekanbaru. Kotamadya Batam awalnya merupakan suatu wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Batam yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tingkat II Kepulauan Riau. Batam adalah nama sebuah pulau terbesar di daerah ini. Kota ini berkembang sangat pesat hingga ditetapkannya kawasan SIJORI (Singapore, Johor, Riau). Sebelum dimekarkan dan ditingkatkan statusnya secara definitif menjadi "Kota", Batam berstatus sebagai Kotamadya Administratif yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 dan diresmikan pada tanggal 24 Desember 1983.
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999, maka
Kotamadya Administratif Batam berubah menjadi daerah otonom Kota Batam terdiri dari 4 pulau besar, yaitu Pulau Batam, Rempang, Galang dan beberapa gugus pulau-pulau kecil di sekitarnya. Secara geografis Kota Batam terletak pada posisi 0o25’29” LU – 1o15’00” LU dan 103o34’35” BT – 104o26’04” BT. Posisi Kota Batam ini sangat strategis karena berada di jalur pelayaran dunia internasional. Luas keseluruhan wilayah kota ini mencapai 3.990,00 km2, terdiri dari luas wilayah darat 1.040 km2 dan luas wilayah laut 2.950 km2.
Kota Batam meliputi lebih dari 400 pulau, 329 di
antaranya telah bernama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara. Kota yang membawahi 8 kecamatan dan 35 kelurahan serta 16 desa (BPS Kota Batam, 2009) ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Selat Singapura; sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Teluk Bintan, Kab. Kepulauan Riau; sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Senayang, Kabupaten Kepulauan Riau; serta sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Moro dan Kecamatan Karimun, Kabupaten Karimun. Batas administrasi Kota Batam disajikan pada Gambar 13.
65
Gambar 13 Batas administrasi Kota Batam (Bappeda Kota Batam, 2004 dalam Dicky, 2008). Pulau Batam memiliki kekayaan alam yang sangat menawan sehingga disamping menjadi kota industri juga menjadi kota tujuan wisata. Wilayah Kota Batam seperti halnya kecamatan-kecamatan di daerah kabupaten di Kepulauan Riau, juga merupakan bagian dari paparan kontinental. Pulau-pulau yang tersebar di daerah ini merupakan sisa-sisa erosi atau penyusutan dari daratan pra tersier yang membentang dari semenanjung Malaysia/Singapore di bagian utara sampai dengan pulau-pulau Moro dan Kundur serta Karimun di bagian selatan. Wilayah Kota Batam yang terdiri dari 329 buah pulau besar dan kecil, relatif datar dengan variasi berbukit-bukit di tengah pulau, ketinggian antara 7 hingga 160 mdpl. Wilayah yang memiliki elevasi 0 hingga 7 mdpl terdapat di pantai utara dan pantai selatan Pulau Batam dan sebelah timur Pulau Rempang serta sebelah utara, timur dan selatan Pulau Galang. Pulau-pulau kecil lainnya sebagian besar merupakan kawasan hutan mangrove. Kota Batam mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum berkisar antara 18,2°C - 23,0°C dan suhu maksimum berkisar antara 31,0°C - 33,2°C, sedangkan
66
suhu rata-rata adalah 26,3°C - 27,3°C. Keadaan tekanan udara rata-rata minimum 1007,0 MBS dan maksimum 1011,5 MBS. Selanjutnya mengenai kelembaban udara di wilayah Kota Batam rata-rata berkisar antara 82% - 87% dan kecepatan angin maksimum 14-30 knot atau rata-rata kecepatan angin sebesar 4 knot. Hari hujan di Kota Batam rata-rata perbulan 20 hari dengan rata-rata curah hujan pertahunnya 2616 mm. Hal inilah yang menjadi keuntungan bagi Kota Batam dalam penyediaan air bersih.
4.1.2 Kependudukan Penduduk Kota Batam berdasarkan data BPS pada tahun 2010 tercatat sebesar 992.095 jiwa terdiri atas 988.555 jiwa WNI dan 3.540 jiwa WNA. Dari jumlah penduduk tersebut tersebar di 12 kecamatan dan 64 kelurahan. Namun demikian penyebarannya tidak merata, sehingga mengakibatkan kepadatan penduduk per km2 di daerah ini bervariasi. Jumlah penduduk di Kota Batam disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2010 WNI Wilayah I. Belakang Padang II. Bulang III. Galang IV. Sei Beduk V. Nongsa VI. Sekupang VII. Batu Ampar IX. Bengkong X. Batam Kota XI. Sugulung XII. Batu Aji Batam
Lakilaki 12.445 6.183 10.507 49.800 26.715 62.298 48.811 50.032 62.322 75.831 52.475 506.758
Perempuan 12.082 5.738 9.373 59.249 23.430 57.628 42.808 48.182 58.987 66.695 49.467 481.797
WNA Jumlah 24.527 11.921 19.880 109.046 50.145 119.926 91.619 98.214 121.309 142.526 101.942 988.555
Lakilaki 455 67 148 497 117 812 111 2.842
perempuan 88 12 74 87 63 192 5 698
Jumlah
Jumlah Total
543 79 222 584 180 1.004 116 3.540
24.527 11.921 19.880 109.589 50.224 120.148 92.203 98.394 122.313 142.526 102.058 992.095
Sumber : Batam dalam angka, 2010.
Pulau Batam dan beberapa pulau disekitarnya dikembangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia manjadi daerah industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Sejak terbentuknya Kotamadya Batam tanggal 24 Desember 1983, laju pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan, dan dari hasil sensus penduduk rata-rata per tahunnya selama periode 2006-2010 laju pertumbuhan penduduk Batam rata-rata sebesar 8,1 persen. Pertumbuhan penduduk di Kota Batam Tahun 2006 sampai 2010 disajikan pada Tabel 17.
67
Tabel 17 Pertumbuhan penduduk Kota Batam tahun 2006-2010 No
Tahun
1 2 3 4 5
2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk (jiwa) 713.960 724.315 892.469 932.892 992.095
Pertumbuhan (%) 1,45 23,22 4,53 8,10
Sumber : Batam dalam angka, 2010.
Secara umum, sebagian besar penduduk di Kota Batam bekerja pada sektor industri. Pada tahun 2008, jumlah tenaga kerja di sektor industri sekitar 170.702 orang atau sekitar 65 % dari total tenaga kerja yang ada di Kota Batam. Jumlah perusahaan yang ada di Kota Batam juga memberi gambaran bahwa sektor industri mendominasi dengan jumlah 1.548 perusahaan. 4.1.3 Pemanfaatan dan Pengembangan Lahan Rencana pemanfaatan lahan di Kota Batam dapat dilihat pada Gambar 14 berikut ini. Berdasarkan RTRW Kota Batam Tahun 2004-2014, luas Kota Batam sekitar 103.885 Ha. Luas kawasan lindung Kota Batam sebesar 47.325,27 Ha atau 45,57 % dan luas kawasan budidaya sebesar 56.559,73 Ha atau 54,43 %. Pemanfaatan lahan di Kota Batam masih terkonsentrasi pada wilayah Pulau Batam dan belum banyak menyentuh wilayah di luar Pulau Batam. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan sektor ekonomi seperti industri, perdagangan dan jasa, pariwisata yang selama ini berlangsung di Pulau Batam. Perumusan strategi pengembangan Kota Batam di masa depan berlandaskan pada 3 (tiga) kebijaksanaan pokok, yaitu: (1) pengembangan berorientasi ke luar (outward looking); (2) pengembangan berorientasi ke wilayah belakang (inward looking); dan pengembangan berorientasi ke dalam (internal looking).
68
Gambar 14 Peta rencana pemanfaatan lahan berdasarkan RTRW Kota Batam tahun 2004-2014 (sumber: RTRW Kota Batam tahun 2004-2014).
69
Bagian Pulau Batam yang paling berkembang yaitu bagian utara (Sub Wilayah Batu Ampar dan Batam Centre) akan berfungsi sebagai Pusat Kota. Spesialisasi fungsi pusat kota disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Spesialisasi fungsi pusat Kota Batam SWP I
II
Lokasi
Luas (ha)
Batu Ampar Pusat Nagoya
3.608,66
Batam CenterPusat Batam Center Core
2.567,34
Fungsi (P: Primer; S: Sekunder) 8,67 P: pusat kegiatan jasa, komersial serta industri menengah S: jasa dengan skala lokal, fasum, fasos, transportasi & perumahan berkepadatan sedang %
6,17 P: pusat pemerintahan (civic center), Central Business District (pusat bisnis), perumahan berkepadatan tinggi S: fasilitas umum, fasilitas sosial, perdagangan dan jasa, perumahan berkepadatan sedang
III
Nongsa Pusat Batu Besar I
3.705,34
Kabil Pusat Kabil Tengah
5.165,04 12,42 P: pelabuhan udara, industri dan perumahan S: jasa, perumahan, fasum dan pelabuhan laut
V
Duriangkang Tg Piayu Pusat Tg. Piayu Utara
8.269,40 19,88 P: konservasi (paru - paru kota) S: pelabuhan penumpang local
VI
Tanjung Uncang - Sagulung Pusat - Batu Aji
6.788,88 16,32 P: industri dan perumahan S: perdagangan, jasa, fasum, fasos, transportasi dan rekreasi
Sekupang Pusat Batam Selatan
4.563,27 10.97 P: industri ringan dan pelabuhan internasional, regional dan domestic S: perumahan, jasa, fasus, fasos, transportasi
Muka KuningPusat Muka Kuning
6.931,21 16,66 P: industry S: perumahan, dan jasa
IV
VII
VIII
Sumber: RTRW Kota Batam tahun 2004-2014
8,91 P: pusat pariwisata, perumahan (resort) S: fasus, fasos, jasa perkotaan dan transportasi
70
Pulau Batam merupakan kawasan industri, sehingga memerlukan alokasi penggunaan lahan terbesar untuk kategori lahan budidaya. Bagian tengah Pulau Batam yaitu meliputi Sub Wilayah Muka Kuning, Sub Wilayah Sekupang, Sub Wilayah Kabil, dan Sub Wilayah Tanjung Uncang akan berfungsi sebagai kawasan industri dan kawasan perumahan berkepadatan sedang. Kegiatan Pariwisata di Pulau Batam diarahkan pada wisata alam yang memanfaatkan kondisi alamiah bentang alam. Bagian Pulau Batam yang diarahkan untuk pengembangan kegiatan tersebut adalah Sub Wilayah Nongsa dan Sub Wilayah Duriangkang. Sub Wilayah Nongsa memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Sub Wilayah Duriangkang karena kondisi geologinya lebih sesuai untuk kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai paru-paru kota. Selain sebagai kawasan wisata, sebagian Sub Wilayah Nongsa juga sudah dikembangkan sebagai kawasan industri ramah lingkungan Kebijakan struktur tata ruang Kota Batam tahun 2014 merupakan penjabaran dari struktur tata ruang yang telah dirumuskan dalam RTRW. RTRW tentang kebijakan struktur ruang Kota Batam 2014 telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), dengan fungsi utama sebagai: pusat pemerintahan kota, perdagangan dan jasa, kegiatan pariwisata, permukiman dan simpul transportasi internasional. Selain pembentukan pusat pelayanan utama tersebut, pembentukan struktur kegiatan Kota Batam ini masih dilanjutkan dengan penentuan pusat-pusat yang lebih rendah hirarkinya dan dialokasikan tersebar keseluruh wilayah dan membentuk pola multiple nuclei, sehingga memudahkan dalam melayani kebutuhan seluruh penduduk kota. Orientasi kegiatan penduduk diharapkan tidak terkonsentrasi lagi di pusat kota, tetapi sudah terlayani di masing-masing lingkungan/kawasan. Kebijakan pengembangan penggunaan lahan Kota Batam dimaksudkan untuk menciptakan pola pemanfaatan ruang yang mampu menjadi wadah bagi berlangsungnya berbagai kegiatan penduduk serta keterkaitan fungsional antar kegiatan, sehingga tercipta keserasian antara satu kegiatan dengan kegiatan lain. Kelestarian lingkungan tetap terjaga. Kebijakan pemanfaatan ruang kota dikembangkan sesuai dengan potensi dan permasalahan yang ada dengan tetap
71
mempertimbangkan : • Keserasian rencana tata ruang Kota Batam dengan rencana tata ruang wilayah yang lebih luas; • Peran dan fungsi Kota Batam sesuai struktur tata ruang kotanya; • Pola penggunaan lahan eksisting dan kecenderungan perkembangannya, baik fisik, sosial, maupun ekonomi ke dalam Kebijakan pemanfaatan ruang yang mudah dilaksanakan (realistis); • Potensi dan kendala fisik alam; • Mengamankan kawasan lindung, terutama perbukitan dengan lereng curam, disekitar waduk sebagai tangkapan air hujan serta pada hutan bakau.
4.2. Pengembangan Permukiman di Kota Batam RTRW Kota Batam 2004-2014 memuat tentang pengembangan kegiatan permukiman di Kota Batam dengan menggunakan konsep neighborhood unit yaitu permukiman yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pelayanan umum yang memadai untuk melayani kebutuhan pokok penduduk yang tinggal di sekitarnya. Konsep neighborhood unit diintegrasikan oleh sistem jaringan jalan sehingga membentuk satu kesatuan yang saling mendukung dan terintegrasi antara permukiman sederhana, menengah dan mewah, serta diharapkan dapat terjalin interaksi dan sosialiasai diantara penghuninya. Penggunaan lahan untuk perumahan pada tahun 2000 adalah 6,14%, yang merupakan penggunaan lahan terbesar untuk lahan terbangun, yang diikuti lahan untuk industri sebesar 1,33% sedangkan untuk lahan belum terbangun yang meliputi rawa, semak dan tanah kosong sebesar 91,87%. Empat tahun kemudian, pada tahun 2004 penggunaan lahan untuk perumahan meningkat menjadi 9,45% dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 14,65%, hal ini terus mengalami peningkatan seiiring dengan pertambahan penduduk di Pulau Batam, hingga pada tahun 2008 mencapai 15,47%, sedangkan lahan yang belum dibangun menurun menjadi 78,25%. Hanya dalam jangka waktu kurang dari delapan tahun penggunaan lahan permukiman telah meningkat sebesar kurang lebih 250%.
72
Perkembangan pemanfaatan lahan melalui proses konversi dari kawasan tidak terbangun menjadi kawasan perumahan, sebenarnya adalah lahan resapan air seperti rawa dan hutan kota akibat adanya interaksi dan permintaan perumahan yang meningkat. Konversi lahan sedikit demi sedikit akan menyebabkan semakin meluasnya lahan dengan pemanfaatan ke arah pemukiman dan komersial. Guna memenuhi kebutuhan permukiman sekaligus mengelola perubahan penggunaan lahan secara terkendali, maka Pemerintah Kota Batam memiliki kebijakan untuk mengembangkan permukiman, termasuk rusunawa (rumah susun sewa) dan rusunami (rumah susun milik) sesuai struktur ruang kota. Kebijakan tersebut tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Batam tahun 2006-2011 terdiri dari: (1) program pengembangan sarana prasarana perumahan permukiman; dan (2) program pengembangan infrastruktur hinterland. Pengembangan tersebut melibatkan berbagai sektor terkait di Kota Batam, terutama dinas-dinas pemerintahan kota yang memiliki peran sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Dinas-dinas terkait tersebut antara lain: 1. Dinas Tata Kota, yang memiliki fungsi melakukan pembangunan dan penataan sarana prasarana perumahan permukiman; 2. Dinas Pekerjaan Umum, yang memiliki fungsi melakukan dukungan penyiapan prasarana sarana menuju permukiman; 3. Dinas Sosial dan Pemakaman, yang memiliki fungsi bantuan teknis dalam rangka pelaksanaan penataan perumahan permukiman melalui dana bantuan; 4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Batam, yang memiliki fungsi dukungan kesesuaian tata ruang terhadap perumahan permukiman; 5. Dinas Perindustrian dan Perdagangan, yang memiliki fungsi memberikan dukungan pelatihan dan pembinaan usaha dalam rangka meningkatkan perekonomian MBR(masyarakat berpenghasilan rendah); 6. Dinas PMP-KUKM, yang memiliki fungsi memberikan bimbingan teknis pemberdayaan ekonomi masyarakat.
73
Permasalahan yang terjadi seiring dengan meningkatnya populasi penduduk di Kota Batam adalah : • masih maraknya rumah liar/rumah bermasalah terkonsentrasi di daerah sekitar kawasan industri akibat dampak dari pengembangan Batam menjadi kota industri dan relatif tingginya harga rumah; • kekurang siapan dalam mengantisipasi kecepatan dan pertumbuhan fisik dan dan fungsional kawasan sehingga kawasan kumuh tumbuh sejalan dengan bertambahnya pusat-pusat kegiatan ekonomi. Daerah hinterland sebagai penyangga Kota Batam, juga memiliki beberapa permasalahan perumahan permukiman antara lain: (a) lokasi umumnya terpencil dan jauh dari pusat kegiatan; (b) aksesibilitas sulit; (c) mahalnya biaya pembangunan sarana dan prasarana; (d) sulit dalam pengawasan dan pengamanannya; (e) cenderung menjadi tempat kegiatan penyelundupan, pembuangan limbah dan penambangan pasir serta penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan; dan (f) kerusakan lingkungan cenderung meningkat. Mengatasi permasalahan permukiman tersebut, Pemerintah Kota Batam menetapkan kebijakan pengembangan rusunawa sesuai dengan arahan kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan-kebijakan tersebut, antara lain: • pengembangan permukiman pada kawasan industri dan ruli dengan pola rusunawa (Permenpera No. 14/Permen/M/2006 tentang Penyelenggaraan Kawasan Khusus); • pengembangan kawasan permukiman perbatasan (hinterland) dengan upaya peningkatan
kualitas
lingkungan
perumahan
(Permenpera
Nomor
17/Permen/M/2006 tentang Juklak Pengembangan Kawasan Perbatasan). Latar belakang kebijakan tersebut disebabkan Kota Batam sebagai pusat pertumbuhan industri yang cukup pesat, menyebabkan sebagian masyarakat yang bekerja baik di sektor formal maupun informal membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal. Badan Pusat Statistik tahun 2007 memuat tentang jumlah tenaga kerja sektor industri sekitar 36% dari jumlah penduduk Kota Batam, sementara lahan yang tersedia untuk perumahan dan permukiman terbatas. Kelangkaan ini
74
menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di pusat kota, sehingga mendorong masyarakat menengah bawah tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Masyarakat sebagian besar tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat aktivitas ekonomi, sehingga menyebabkan ketidakteraturan tata ruang kota dan menumbuhkan kawasan kumuh baru atau kawasan rumah bermasalah/ruli. Masyarakat berpenghasilan menengah kebawah dapat dekat dengan pusat aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di pusat kota batam, maka direncanakan suatu pembangunan hunian secara vertikal berupa rumah susun (rusun). Pembangunan rusun di pusat aktivitas ekonomi tepatnya kegiatan industri yang tersebar di berbagai wilayah Kota Batam, dengan intensitas bangunan tinggi, diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan dan penyediaan PSU yang lebih efisien dan efektif. Peningkatan kualitas lingkungan perumahan perbatasan dan hinterland dilakukan untuk mengatasi: (a) kondisi lingkungan tidak tertata, kumuh dan tidak dikelola dengan baik; (b) aksesibilitas rendah ke kawasan permukiman atau terisolir karena terletak di perbatasan dan pulau kecil terluar; (c) masyarakatnya miskin dan belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri; (d) rawannya penyelundupan dan pencurian (illegal fishing). Tujuan pembangunan rusunawa sendiri adalah untuk: (a) mempercepat upaya penyediaan rumah layak dan terjangkau bagi MBR; (b) dalam lingkungan yang lebih sehat dan tertata dengan baik; (c) meningkatkan kualitas perumahan permukiman; (d) mengefisienkan pemanfaatan tanah dengan menciptakan lebih banyak ruang terbuka hijau (faktor ekologis dlm meningkatkan keserasian kawasan); (e) mengentaskan kawasan kumuh/ruli di perkotaan (Batam) yang merupakan salah satu upaya mewujudkan millenium developments goals yang menargetkan berkurangnya 50% kawasan kumuh pada tahun 2015 di seluruh dunia (bagian dari RPJM Nasional); dan (f) menawarkan lokasi yang tetap dekat dengan sumber pekerjaan (mengurai kemacetan). Pengembangan rumah susun sederhana di Batam hingga akhir tahun 2009 berada pada beberapa kawasan industri, seperti: Muka Kuning, Tanjung Uncang,
75
Sekupang, Batu Ampar, Batam Center, Tanjung Piayu dan Kabil. Lokasi yang telah dan dalam pelaksanaan pembangunan rumah susun sesuai Laporan Kegiatan Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa / Milik Tahun 2009 (Dinas Tata Kota, 2009). Pengembangan rusunawa dan rusunami hingga tahun 2009 disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Pengembangan rusunawa dan rusunami hingga tahun 2009
Lokasi
Sumber Dana
Jml Twin Blok
Tipe Hunian
Tahun
Tanjung Piayu
Perumnas
4
Tipe 21
2001 s/d 2002
Batu Ampar
Jamsostek
6
Tipe 21
2001 s/d 2003
Batu Ampar
OB
4
Tipe 21
2003 s/d 2004
Sekupang
OB
4
Tipe 21 Tipe 36
2004 s/d 2006
OB
9
Tipe 21
2004 s/d 2004
Muka Kuning
Kimpraswil/Pemko
2
Tipe 27
2004 s/d 2005
Muka Kuning
Menpera
3
Tipe 27
2007 s/d 2009
Tanjung Piayu
Menpera
1
Tipe 21
2007 s/d 2009
Muka Kuning
Dept. PU
2
Tipe 24
2008 s/d 2009
Muka Kuning
Jamsostek
1
Tipe 24
2008 s/d 2009
Sekupang
Dept. PU
4
Tipe 24
2008 s/d 2009
Batam Centre
REI
2
2008 s/d 2009
Tg. Uncang
Pemko
2
Tipe 21 Tipe 36 Tipe 27
Tg. Uncang
Menpera
2
Tipe 27
2009
Kabil
Menpera
2
Tipe 27
2009
Muka Kuning
2009
76
Pengembangan rusunawa dan rusunami pada tahun 2009 ditampilkan pada Tabel 20 Tabel 20 Pengembangan rusunawa dan rusunami tahun 2009 No
1
Sekupang I
2
Sekupang Ii
3
Muka Kuning
4
Muka Kuning
5
Muka Kuning
6
7
8
Pengembang / Pelaksana
Lokasi
Kabil
PT. Persada Rumata Kreasindo JO (Dirjen Cipta Karya DPU) PT. Lima Jabat Victory (Dirjen Cipta Karya DPU) PT. Lima Jabat (Dirjen Cipta Karya Dept. PU) PT. Mextron Eka Persada (Kemenpera) PT. Jonathan Hasiolan Simanjuntak (Jamsostek) Jamsostek Otorita Batam PT. Mextron Eka Persada (Menpera RI) PT. Lima Jabat (Menpera)
Tanjung Uncang
PT. Jonathan Hasiolan Simanjuntak (Pemko Batam)
Batam Centre Park (Rusunami)
PT. Dimas Pratama Indah (Tower A dan Tower C)
Luas Lahan (m2)
Twinblok Ren Real cana isasi
Typ e
Lt
Jml Unit
6.180,43
2
2
5
24
192
6.239,91
2
2
5
24
192
6.051,31
2
2
5
24
192
3.025,66
2
2
5
27
160
2.984,79
2
1
4
27
96
100.000
20 2
7 1
5 4
24
800 160
2
2
5
27
160
2
5
27
160
2
5
27
160
2
5
21 & 30
5.0 04
21.590
36.000
140.000
9
34
Sumber: Dinas Tata Kota Batam, 2009
Langkah lain yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam adalah dengan melakukan pengembangan perumahan kawasan perbatasan (hiterland). Kebijakan ini bertujuan untuk:
77
• meningkatkan perbaikan perumahan dan permukiman dengan program perbaikan kawasan permukiman perdesaan/pesisir; • mengembangkan kawasan dan lingkungan permukiman pedesaan dan hinterland; • meningkatkan pembangunan infrastruktur wilayah hinterland/pesisir. • meningkatkan pembinaan terhadap masyarakat di lingkungan permukiman nelayan. Dukungan Pemerintah Kota Batam dalam pembangunan kawasan pesisir/hinterland
dilakukan
dengan
melaksanakan
berbagai
program
pembangunan, antara lain: • melakukan program perbaikan perumahan dan permukiman rumah suku laut; • melakukan program pembangunan dan peningkatkan pelantar; • melakukan program perbaikan lingkungan desa pantai dengan pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya di lingkungan perumahan permukiman kawasan hinterland; • melakukan pemberdayaan masyarakat dengan program percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan Pemerintah Kota Batam juga memberikan bantuan stimulan pengembangan perumahan swadaya (BSP2S) dan peningkatan kualitas perumahan (PKP) dalam pelaksanaan tahun anggaran 2009, yaitu: • BSP2S Lokasi kegiatan di Kecamatan Nongsa dan Kecamatan Sekupang sebanyak 50 unit MBR; • PKP Lokasi kegiatan di Pulau Temoyong 50 MBR, Pulau Selat Nenek 30 MBR, Pulau Aweng 20 MBR. Analisis kebutuhan tempat tinggal bagi tenaga kerja lokal, baik yang belum berkeluarga, maupun yang sudah berkeluarga, dapat dihitung jumlah twinblok yang harus tersedia. Hasil analisis kebutuhan ini dilakukan dengan berbagai asumsi, sehingga diperoleh kebutuhan pengembangan rusunawa di Kota Batam sebanyak 756 unit. Analisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kota Batam disajikan pada Tabel 21.
78
Tabel 21 Analisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kota Batam (Dinas Tata Kota Batam, 2009) Asumsi
Jumlah
Satuan
Jumlah tenaga kerja lokal (WNI) di batam tahun 2000
155.591
orang
Jumlah tenaga kerja lokal (WNI) di batam tahun 2006
252.667
orang
Prosentase pertumbuhan tenaga kerja lokal (WNI) di Batam
155.591
orang
Diperkirakan jumlah tenaga kerja lokal (WNI) th. 2011
384.036
orang
Yang belum memiliki tempat tinggal sendiri termasuk penghuni rumah liar (ruli) (diperkirakan 30 %)
115.211
orang
Asumsi 40 % TKI sudah berkeluarga
46.084
orang
Jumlah unit rusunawa yang dibutuhkan (1 kk untuk 1 unit sasaran)
46.084
unit
576
unit
Asumsi 60% tki belum berkeluarga
69.126
unit
Jumlah unit rusunawa yang dibutuhkan (4 orang untuk 1 unit sasaran)
17.282
unit
Sehingga jumlah unit twinblok rusunawa T21 yang dibutuhkan
180
unit
Jadi jumlah unit twinblok yang dibutuhkan dibutuhkan
756
unit
Sehingga jumlah unit twinblok rusunawa T27 yang dibutuhkan
4.3. Pembangunan Fisik Rusunawa 4.3.1 Metoda Pelaksanaan Pembangunan fisik rusunawa di Indonesia pada umumnya dilakukan menggunakan konstruksi beton, karena selain dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknologi sederhana, sumber daya manusia juga tersedia, bahanbahan pembuat beton juga mudah didapat. Beton merupakan fungsi dari bahan penyusunnya, yang terdiri dari bahan semen, agregat (kasar dan halus) beserta air. Beton dapat dibentuk sesuai dengan tuntutan konstruksi sesuai fungsinya. Komponen konstruksi utama pembangunan rusunawa adalah pondasi, kolom, balok, lantai, dinding dan atap. Pelaksanaan fisik pembangunan rusunawa dapat dilakukan melalui beberapa metoda pelaksanaan konstruksi beton, yaitu: (a) beton konvensional; (b) beton pracetak sebagian atau semi precast; dan (c) beton pracetak seluruhnya atau full precast.
79
a. Beton Konvensional Pada pembentukan beton secara konvensional diperlukan cetakan atau bekesting yang biasanya terbuat dari kayu, untuk penyesuaian bentuk struktur sesuai fungsinya. Beton ini dicetak di tempat beton tersebut diperlukan, sehingga apabila fungsinya sebagai pelat lantai, balok ataupun kolom, maka beton tersebut dikerjakan/dicetak pada lantai, balok atau kolom
tersebut sesuai dengan
peruntukannya (on site assembly). Misalnya apabila hendak membuat pelat lantai 5, maka beton untuk pelat tersebut harus dicetak/dicor di lantai 5 juga dengan menggunakan cetakan atau bekisting. Selain itu oleh karena saat beton dicetak tidak bisa langsung mengeras dan berfungsi memikul bebannya sendiri, maka dibutuhkan konstruksi penyangga beton tersebut sampai betul-betul mengeras dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bekisting dan penyangga
biasanya
terbuat dari kayu dan sebagian dari besi. Mengingat pelaksanaan pembuatan beton ini pada ketinggian tertentu, maka akan berakibat kesempurnaan kualitas beton sangat tergantung dari kondisi para tukang yang bekerja pada ketinggian. Namun demikian kualitas beton yang didesain dengan sistem ini, sudah menggunakan tingkat keamanan maksimal sesuai ketentuan. Hal ini berakibat penambahan dimensi beton dan atau besi beton yang pada gilirannya menambah kebutuhan bahan bangunan. Pada alternatif ini komponen utama pembangunan rusunawa yang menggunakan beton konvensional adalah pondasi, kolom, balok dan lantai, sedangkan dinding menggunakan pasangan bata. b. Beton Pracetak Sebagian (Semi Precast) Beton pracetak adalah teknologi konstruksi struktur beton dengan komponen-komponen penyusun yang dicetak terlebih dahulu pada suatu tempat khusus (off-site fabrication), terkadang komponen-komponen tersebut disusun dan disatukan terlebih dahulu (pre-assembly), dan selanjutnya dipasang di lokasi (installation) (Ervianto, 2006). Konstruksi beton berupa kolom, balok dan lantai dicetak terlebih dahulu di bawah, selanjutnya dirangkai di tempat yang sesuai dengan kebutuhan perencanaan. Misalnya balok dan kolom tersebut dibutuhkan di lantai 4, maka dengan bantuan alat berat (crane), balok dan kolom tersebut
80
dirangkai dan disambung di lantai 4. Pada aspek perencanaan tergantung atau ditentukan
oleh
metoda
pelaksanaan
dari
fabrikasi,
penyatuan
dan
pemasangannya, serta ditentukan pula oleh teknis perilaku sistem pracetak dalam hal cara penyambungan antar komponen (joint). Beberapa prinsip beton pracetak tersebut dipercaya dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan beton konvensional antara lain terkait dengan pengurangan waktu dan biaya, serta peningkatan jaminan kualitas, predictability, keandalan, produktivitas, kesehatan, keselamatan, lingkungan, koordinasi, inovasi, reusability, serta relocatability (Gibb, 1999). Karena beton ini dicetak di bawah, maka pengawasan dapat dilaksanakan secara maksimal, sehingga mutu beton yang dihasilkan juga meningkat. Peningkatan mutu beton untuk suatu konstruksi, dapat mengurangi dimensi beton dan atau besi beton, bila dibandingkan dengan mutu beton yang lebih rendah pada cara konvensional. Hal ini akan mengurangi volume bahan beton, seperti semen, pasir, kerikil sampai besi. Pada alternatif ini, komponen utama konstruksi yang menggunakan beton pracetak meliputi pondasi, kolom, balok dan lantai, sedangkan dinding masih menggunakan pasangan bata yang diplester, sehingga disebut semi precast. c. Beton Pracetak Seluruhnya (Precast) Dalam metoda ini, semua komponen utama konstruksi menggunakan beton pracetak, mulai dari pondasi, kolom, balok, lantai sampai dinding.
4.3.2
Sistem Pracetak Beton yang Digunakan Pembangunan Rusunawa di Kota Batam yang menjadi objek penelitian
menggunakan sistem pracetak dari JHS. PT. JHS Precast Concrete Indonesia (JHS-PCI) adalah perusahaan kontraktor beton pracetak nasional yang didirikan pada tahun 1996 berkedudukan di Jakarta. Struktur beton pracetak sistem JHS ditemukan oleh Johan Hasiholan Simanjuntak pada tahun 1982, dan terus dikembangkan sampai saat ini. Beliau memiliki minat yang tinggi serta upaya yang gigih dalam penelitian dan pengembangan beton di Indonesia. Beberapa temuannya telah dipatenkan di Inggris dan Amerika. Salah satu yang temuan
81
beliau telah mendapat pengakuan dari United State Patent adalah sistem sambungan konstruksi beton pracetak dengan nama: System For Joining Precast Concrete Columns And Slabs, dengan patent number 5,809,712, date of patent: Sep. 22, (Gambar 15).
Gambar 15 Sistem sambungan konstruksi beton pracetak.
Sistem ini berupa panel-panel lantai (slab) dengan tiang (column) dengan menggunakan tulangan seminimal mungkin sesuai perhitungan struktur yang disambungkan dengan pipa quarter baja yang di angker vertikal dan horizontal dengan baja prategang. Beberapa keunggulan sistem ini adalah: a. Efisiensi struktural terbaik (+/- 30%) • Sistem lantai grid prategang satu arah yang efisien • Tanpa balok b. Kecepatan pelaksanaan struktur tercepat (+/- 40%) • Pengecoran di tempat sangat sedikit • Hanya ada dua komponen c. Fleksibel dalam tata ruang : • Sistem rangka terbuka : dinding fleksibel • Dimensi komponen mudah untuk dimodifikasi • Mudah mengikuti desain konvensional, termasuk balok-balok anak
82
Dalam
penelitian
dan
perkembangannya,
sistem
sudah
berhasil
dimodifikasi menjadi lebih baik dengan menggabungkan unsur balok (beam), sehingga menjadi sistem column, beam and slab (Gambar 16).
Gambar 16 Sistem column, beam and slab.
4.3.3
Kebutuhan Bahan Bangunan Pembangunan rusunawa membutuhkan banyak sumberdaya alam sebagai
bahan baku konstruksi. Pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat berdampak terhadap kerusakan alam. Bangunan rusunawa terbuat dari konstruksi beton, yang dalam pengerjaannya dapat dilakukan melalui 3 alternatif pelaksanaan konstruksi, yaitu secara konvensional, semi pracetak dan pracetak. Gambar utama pelaksanaan pembangunan rusunawa dalam penelitian ini sama,
sehingga
walaupun dilaksanakan dengan metoda berbeda, luasan lantai, ketinggian dan bentuk bangunan sama. Bahan bangunan yang digunakan antara lain terdiri dari semen, bata merah, batu pecah, pasir, keramik, besi beton, besi biasa, baja ringan, alumunium, kaca, kayu panel pintu, dan air. Bahan baku yang digunakan sebagai bahan pendukung pembangunan terdiri dari kayu penyangga, kayu cetakan, besi cetakan, besi penyangga (scaffolding) dan oli cetakan. Penelitian dimulai dengan menghitung kebutuhan bahan bangunan masing-masing alternatif (Tabel 22).
83
Metoda konvensional mempunyai kualitas beton lebih rendah, sehingga membutuhkan dimensi komponen konstruksi lebih besar untuk memikul beban yang sama bila dibandingkan dengan beton pracetak. Karena dimensi lebih besar maka volume kebutuhan bahan bangunan juga lebih banyak. Kebutuhan bahan bangunan untuk metoda konvensional dihitung berdasarkan gambar dan volume yang ada dalam dokumen tender yang menggunakan metoda konvensional. Para kontraktor mengajukan penawaran sesuai dengan metoda beton pracetak masingmasing yang diusulkan. Tabel 22 Kebutuhan bahan bangunan masing-masing alternatif, dengan luas lantai, ketinggian dan bentuk bangunan sama Komponen Utama
No 1
Semen
2
Pasir
3
Konvensional
Semi Pracetak
Pracetak
488 ton
499 ton
617 ton
3.483 m3
3.354 m3
687 m3
Batu pecah
339 m3
398 m3
642 m3
4
Besi tulangan beton
180 ton
77 ton
122 ton
5
Cetakan
kayu 41 m3
baja 7,9 ton
baja 9,2 ton
6
Perancah
kayu 562 m3
baja 7,8 ton
baja 7,8 ton
7
Bata merah
413.216 buah
413.216 buah
8
Tenaga terampil
20 org
30 org
40 org
9
Tenaga tdk terampil
80 org
45 org
15 0rg
10
Biaya (Rp x 1 milyar)
13,657
11,500
11,434
11
Ketinggian bangunan /luas lantai
4 lt/4.600 m2
4 lt/4.600 m2
4 lt/4.600 m2
12
Jangka waktu pelaksanaan (bln)
8
6
5
13
Kebutuhan energi (KWh)
1.253.774
806.981
1.008.199
-
*) Teknologi Pracetak yang digunakan adalah JHS System
Metoda semi pracetak mempunyai mutu beton lebih tinggi dari metoda konvensional, sehingga dimensi dan kebutuhan bahan beton bisa diperkecil untuk memikul beban yang sama, khususnya kebutuhan besi tulangan dan kayu berkurang secara signifikan. Biaya pembangunan rusunawa dengan metoda precast lebih murah bila dibandingkan dengan metoda konvensional, karena selain berkurangnya penggunaan bahan bangunan, juga dalam pelaksanaan dilakukan dengan semi mekanisasi melalui penggunaan crane, untuk mengangkat bagian-bagian konstruksi ke semua lantai sesuai peruntukan. Penggunaan tenaga
84
kerja terlatih dalam metoda precast lebih banyak bila dibandingkan dengan metoda konvensional, namun sebaliknya penggunaan tenaga kerja secara keseluruhan lebih banyak dalam metoda konvensional. Selain penggunan bahan bangunan lebih efisien, kelebihan lain dari penggunaan beton semi pracetak dan pracetak adalah dalam pembiayaan yang berkurang secara cukup signifikan dan kecepatan pelaksanaan pembangunan. (Sijabat & Nurjaman, 2007). Hal ini sesuai dengan pernyataan Gibb (1999) yang mengemukakan bahwa beberapa prinsip beton pracetak tersebut dipercaya dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan beton monolit antara lain terkait dengan pengurangan waktu dan biaya, serta peningkatan jaminan kualitas, predicability, serta relocability.
4.4. Analisis LCA 4.4.1 Bahan Baku Pembangunan Rusunawa Kebutuhan bahan baku pembangunan fisik rusunawa untuk masing-masing alternatif disajikan dalam Tabel 22. Satuan bahan bangunan bermacam-macam, kalau semen biasa dalam zak, seng dan multipleks dalam lembar, bahan galian alam seperti pasir, kerikil dan batu pecah dalam m3. Selain itu kayu panel pintu, kaca dan keramik biasa di ukur dalam satuan m2, sedangkan besi beton dan besi cetakan diukur dalam satuan berat. Beraneka ragam satuan tersebut perlu diseragamkan dalam bentuk satuan berat sebagaimana disajikan dalam Tabel 23. Diagram pohon (tree diagram) dari masing alternatif dibuat terlebih dahulu, yang memuat jenis-jenis bahan bangunan yang diperlukan dalam suatu alternatif yang diusulkan. Diagram pohon beton konvensional terdiri dari hampir keseluruhan material bahan bangunan yang tertera dalam Tabel 22. Diagram pohon beton semi pracetak memuat jenis bahan bangunan lebih sedikit, khususnya penggunaan kayu,
dan diagram pohon beton pracetak memuat jenis bahan
bangunan lebih sedikit dengan tanpa menggunakan batu bata. Berat masingmasing bahan bangunan sesuai alternatif diolah dengan software simaPro 5, untuk menganalisa faktor pembentuk dan penyusun masing-masing bahan bangunan.
85
Tabel 23 Perbandingan kebutuhan bahan pembangunan rusunawa berdasarkan volume dan harga Kebutuhan Bahan Bangunan No. 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Uraian Semen (PC) Batu pecah Pasir Air Besi beton Besi biasa Baja ringan (atap) Baja scafolding Baja cetakan Oli Cetakan Aluminium Kaca tebal 5 mm Kayu penyangga Kayu cetakan Multiplex ukuran 1,22 x 2,44 x 0,009 m Kayu panel pintu tebal 10 mm Bata merah 1,096 kg/buah Keramik & Sanitair (14,8 kg/m2) Biaya (Rp x 1 jt) Tenaga Kerja (OH) : Terampil Kurang terampil
Satuan
Berat Jenis
Volume Konvensional Isi Berat (kg) 9.764 488.220 339 491.819 3.483 4.875.983 188.814 188.814 180.234 92 16.163
Volume Semi Precast Isi (Berat Kg) 9.982 499.106 398 576.464 3.354 4.695.333 174.447 174.447 77.771 92 16.163 7.836 7.900
zak m3 m3 ltr kg kg kg kg kg ltr kg m2 m3 Lembar
1,289 1,02 1,10
339 562 1.547
2.316 2.186 573.219 45.579
339 10 81
2.316 2.186 10.574 2.395
m2 buah
1,10 1,096
536 413.216
5.896 452.884
536 413.216
m2
14,80
4.337
64.186
4.337
1,45 1,40 1,00
13.657 org org
100 20 80
Volume Precast Isi (Berat Kg) 12.352 617.599 642 931.511 687 961.505 233.784 233.784 122.753 92 16.163 7.836 9.200
339 10 81
2.316 2.186 10.574 2.395
5.896 452.884
536
5.896
64.186
4.337
64.186
11.500 75 30 45
11.434 55 40 15
86
4.4.2 LCA Beton Konvensional Diagram pohon menggambarkan berbagai bahan yang digunakan dan bahan pendukung dalam membangun rumah susun yang menggunakan beton konvensional (Gambar 17). Selain itu digambarkan juga berbagai bahan penyusun turunannya beserta proses pembentukannya (daur hidup atau life cycle) yang bisa berdampak terhadap lingkungan. Secara umum, terlihat bahwa pada layer pertama bahan dasar penyusun rusun dengan beton konvensional yang berdampak pada lingkungan adalah batu pecah, pasir, semen, bata merah, keramik dan sanitari, besi beton, besi biasa, baja ringan, alumunium, kaca, kayu penyangga, kayu cetakan, kayu panel pintu, oli bekisting, dan penggunaan truk. Diagram pohon menunjukkan bahwa baja ringan merupakan bahan yang memiliki tahapan proses daur hidup (life cycle) paling panjang. Bahan yang memiliki tahapan proses daur hidup paling pendek adalah pasir dan bata merah. Diagram ini juga menunjukkan bahwa besi beton (Gambar 18) semen (Gambar 19) dan kayu penyangga (Gambar 20) merupakan elemen terbesar yang berdampak terhadap lingkungan.
Hal ini disebabkan proses
pembuatan ketiganya memerlukan energi yang cukup tinggi dalam berbagai tahapan proses. Analisis single score (skor tunggal) menunjukkan secara lebih rinci kontribusi setiap elemen terhadap dampak lingkungan yang diakibatkannya.
Dampak
terhadap lingkungan yang dikaji adalah: (1) pemanasan global (global warming); (2) deplesi ozon (ozone depletion); (3) pengasaman (acidification); (4) etrofikasi (eutrophication); (5) kabut fotokimia (photochemical smog); (6) kandungan racun lingkungan perairan kronis (ecotoxicity water chronic); (7) kandungan racun lingkungan perairan akut (ecotoxicity water acute); (8) kandungan racun lingkungan tanah kronis (ecotoxicity soil chronic); (9) kandungan racun udara bagi manusia (human toxicity air); (10) kandungan racun perairan bagi manusia (human toxicity water); (11) kandungan racun tanah bagi manusia (human toxicity soil); (12) limbah terbuang (bulk waste); (13) limbah berbahaya (hazardous waste); (14) limbah radioaktif (radioactive waste); (15) sisa ampas/abu (slag/ashes); (16) sumber daya (resources, all).
87
PR Konvensional
Batu Pecah
Gravel I
Electricity Netherlands ETH I
Semen
Electricity UCPTE High Voltage
Barge I
Cement Portland
Besi Beton
Electricity UCPTE High Voltage
Portland clinker
Electricity Holland B
Electricity Holland B
Scrap (iron) I
Trailer I
GG35 I
Pasir
Electricity UCPTE High Voltage
Sand ETH T
Crude iron I
Energy Australia I
Bulk carrier I
Bulk carrier I
Bulk carrier I
Electricity UCPTE High Voltage
Scrap (iron) I
Train I
Bulk carrier I
Bulk carrier I
Train I
Train I
Trailer I
Barge I
Baja Ringan
Manganese I
Barge I
Sinter, pellet
Crude coal B
Silicon I
Iron
Steel bj
Lime stone bj
Lime stone bj
Oxygen bj
Crude coal bj
Coke S
Electricity UCPTE High Voltage
Diesel engine truck B
Iron ore
Diesel engine truck B
Steel sheet 20% rec. bj
Electricity UCPTE High Voltage
Besi Biasa
Electricity UCPTE High Voltage
Iron
Electricity UCPTE High Voltage
Sinter, pellet
Oxygen bj
Furnace coal B
Iron ore
Electricity UCPTE High Voltage
Crude coal B
Diesel engine truck B
Crude coal B
Aluminium
Electricity UCPTE High Voltage
Aluminium 0% recycled ETH T
Lime stone bj
Oxygen bj
Crude coal bj
Coke S
Electricity UCPTE High Voltage
Diesel engine truck B
Electricity UCPTE High Voltage
Kaca
Electricity UCPTE High Voltage
Glass (virgin)
Glass (white) B250
Kayu Penyangga
Electricity UCPTE High Voltage
Glass (green) B250
Meranti I
Chain sawing I
Petrol I
Crude oil I
Energy oil I
Electricity Netherlands ETH I
Kayu Cetakan
Electricity UCPTE High Voltage
Powerplant oil I
Mahogani, African I
Trailer I
Bulk carrier I
Chain sawing I
Petrol I
Energy oil I
Electricity Netherlands ETH I
Kayu Panel Pintu
Electricity UCPTE High Voltage
Powerplant oil I
Mengkulang I
Trailer I
Bulk carrier I
Crude oil I
Furnace gas B
Natural gas B
Furnace gas B
Natural gas B
Besi Beton
Semen
Cement Portland
Electricity UCPTE High Voltage
GG35 I
Electricity UCPTE High Voltage
Gambar 17 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup beton konvensional.
Energy Asia I
Energy Asia I
Energy oil I
Chain sawing I
Petrol I
Bata Merah
Electricity UCPTE High Voltage
Crude oil I
Gravel from pit ETH T
Trailer I
Keramik & Sanitair
Electricity UCPTE High Voltage
Bulk carrier I
Natural gas I
Ceramics I
Electricity UCPTE High Voltage
Bulk carrier I
Truck I
Oil Bekesting
Air untuk Beton
Truck 16t B250
Residual oil stock CH T
Water for PUR A
Heat diesel B250
Gambar 18 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup semen.
Gambar 19 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup besi beton
89
Gambar 20 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup kayu penyangga.
Hasil analisis diagram pohon menunjukkan besi beton dan semen sebagai elemen yang paling banyak memberikan dampak terhadap lingkungan, sebagaimana dalam hasil analisis skor tunggal (Gambar 21). Hasil analisis skor tunggal menunjukkan bahwa besi beton merupakan elemen yang bisa memberikan dampak paling besar (8,19 kPt), disusul oleh semen (4.55 kPt). Elemen yang memberikan dampak paling kecil adalah air untuk beton (3,93 x 10-7 kPt) dan penggunaan truk (1,66 x 10-5 kPt).
Hampir seluruh elemen berpotensi
menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan (impact categories), yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis; (2) kandungan racun lingkungan perairan akut; (3) kandungan racun lingkungan tanah kronis.
90
Gambar 21 Hasil analisis single score beton konvensional.
Adanya kandungan racun di lingkungan perairan dan tanah akibat penggunaan
bahan
bangunan,
sangat
mungkin
terjadi
karena
menurut
Soemarwoto (1990); Davis dan Cornwell (1991) serta Connell dan Miller (1995) bahwa pada saat bahan pencemar yang dihasilkan dari aktivitas manusia dibuang ke lingkungan, akan menyebabkan perubahan yang buruk terhadap ekosistem penerimanya, apabila laju produksi suatu zat melebihi laju pembuangan atau penggunaan zat tersebut. Dalam kondisi tersebut bahan-bahan pencemar akan menjadi racun bagi mahluk hidup yang ada di dalamnya (Klaassen et al. 1986). Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang memperlihatkan bahwa hampir seluruh elemen berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan yakni kandungan racun lingkungan perairan kronis; kandungan racun lingkungan perairan akut; dan kandungan racun lingkungan tanah kronis. Hasil rincian single score ini disajikan dalam Tabel 24 yang menunjukkan besarnya skor setiap komponen terhadap setiap jenis dampak. Kontributor proses yang memberikan dampak paling besar terhadap setiap kategori adalah penggunaan besi beton, semen, dan bata merah.
91
Tabel 24 Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional No 1
2
Kategori Dampak Global Warming (GWP 100) Ozone Depletion
Satuan
Batu Pecah
Pt
Semen
Besi Beton
1,420
210,000
224,000
Pt
0,063
8,380
Keramik & Sanitari
Oli Bekesting
Air untuk Beton
Truk
Total
42,500
32,600
0,195
0,000
0,001
683,344
0,010
3,090
2,200
0,626
0,000
35,524
Baja Ringan
Baja Biasa
Alumu nium
Kaca
Kayu Penyangga
5,170
17,300
0,089
14,800
1,350
124,000
9,070
0,849
15,200
2,000
1,050
0,005
1,840
0,157
0,743
0,159
Pasir
Kayu Cetak
Kayu Panel
Bata Merah
3
Acidification
Pt
0,825
74,100
100,000
1,970
7,220
0,037
6,180
0,588
137,000
8,440
0,723
18,400
13,800
0,087
0,001
369,370
4
Eutrophication
Pt
0,340
21,100
20,700
0,723
1,510
0,008
1,140
0,107
43,000
2,540
0,240
3,550
2,760
0,031
0,000
97,749
5
Photochemical Smog Ecotoxicity Water Chronic Ecotoxicity Water Acute Ecotoxicity Soil Chronic Human Toxicity Air Human Toxicity Water Human Toxicity Soil
Pt
0,029
2,110
5,210
0,138
1,080
0,004
0,191
0,020
6,690
0,478
0,047
0,548
0,477
0,017
0,000
17,039
Pt
11,400
1.400,000
2.540,000
109,000
174,000
0,862
188,000
12,600
179,000
30,500
1,790
510,000
366,000
28,100
0,000
5.551,252
Pt
10,600
1.300,000
2.370,000
104,000
163,000
0,806
176,000
11,600
157,000
27,900
1,610
477,000
342,000
27,300
0,000
5.168,816
Pt
7,920
1.060,000
1.940,000
23,500
133,000
0,658
122,000
9,370
139,000
22,900
1,710
389,000
280,000
0,423
0,000
4.129,481
Pt
0,230
22,300
57,700
1,620
4,780
0,027
2,910
3,940
32,100
2,320
0,232
8,100
6,150
0,140
0,001
142,549
Pt
1,100
127,000
254,000
3,690
16,300
0,081
18,700
1,510
24,600
3,270
0,192
46,500
33,400
0,124
0,000
530,467
Pt
2,570
260,000
518,000
21,900
48,700
0,269
37,900
2,950
454,000
32,000
3,560
95,300
68,400
5,850
0,014
1.551,413
Pt
0,589
61,700
112,000
0,932
7,700
0,038
5,370
0,682
11,100
1,590
0,078
22,500
17,100
6 7 8 9 10
11 12
Bulk Waste
13
Hazardous Waste Radioactive Waste
14 15
0,000
241,379
Pt
-
Pt
-
Slag/Ashes
Pt
0,006
Total
Pt
37,092
44,600 4.546,690
8.201,410
0,218 274,643
575,640
2,883
575,031
44,874
1.308,451
0,002 141,167
11,041
1.616,488
1.164,889
44,826 62,894
0,000
0,017
18.563,210
Gambar 22 Besarnya dampak penggunaan besi beton pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt).
Gambar 23 Besarnya dampak penggunaan semen pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt).
93
Gambar 24 Besarnya dampak penggunaan bata merah pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt). Tabel 25 menunjukkan bahwa kandungan racun lingkungan perairan dan tanah kronis berasal dari proses pembuatan besi beton dan semen. Sementara kandungan racun lingkungan perairan akut berasal dari kontributor proses besi beton dan almunium.
Dampak terbesar pada kandungan racun lingkungan
perairan kronis disebabkan kontributor proses besi beton (2.540 pt) dan semen (1.400 pt). Adanya racun lingkungan perairan dan tanah kronis diduga karena dari proses pembuatan besi beton dihasilkan logam berat. Menurut Bryan (1976) ada 18 unsur logam yang dipertimbangkan ada kaitannya dengan masalah pencemaran air dan tanah yakni aluminium, antimon, arsen, kadmium, krom, kobalt, tembaga, besi, timbal, mangan, merkuri, molibdenum, nikel, selenium, perak, timah putih, vanadium dan seng. Namun beberapa di antara unsur-unsur logam tersebut, ada unsure logam yang merupakan unsur yang esensial bagi kehidupan organisme. Sebagai contoh Cu yang merupakan unsur-unsur esensial bagi kehidupan organisme, dalam jumlah berlebih akan bersifat racun dan biasanya akan menghambat kerja enzim karena logam tersebut akan berikatan dengan kelompok sulfhidril yang bertanggung jawab pada aktivitas katalitik (Horng, 2009).
94
Tabel 25 Kontributor utama untuk kategori dampak beton konvensional No 1 2 3
Kategori Dampak Lingkungan Kandungan racun lingkungan perairan kronis Kandungan racun lingkungan perairan akut Kandungan racun lingkungan tanah kronis
Kontributor Proses besi beton Semen besi beton Aluminium besi beton Semen
Skor(Pt) 2.540 1.400 2.370 188 1.940 1.060
Hasil pembobotan (weighting) menunjukkan bahwa dampak terbesar berupa kandungan racun lingkungan perairan kronis sebesar 5,55 kPt, disusul oleh kandungan racun lingkungan perairan akut sebesar 5,17 kPt, dan kandungan racun lingkungan tanah kronis sebesar 4,13 kPt (Gambar 25). Dampak yang cukup menonjol lainnya adalah kandungan racun tanah bagi manusia (1,56 kPt) dan pemanasan global (0,683 kPt). Selain besi beton dan semen, kontributor proses yang cukup menonjol lainnya adalah bata merah, serta keramik dan sanitari.
Gambar 25 Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton konvensional. Selain analisis di atas, bisa juga dilakukan karakterisasi (Gambar 26) dan normalisasi (Gambar 27) terhadap semua jenis dampak. Hasilnya menunjukkan hal yang sejalan dan mendukung hasil analisis sebelumnya. Hasil yang cukup menarik dari hasil karakterisasi adalah munculnya kayu penyangga sebagai salah satu kontributor proses yang cukup berpengaruh terhadap dampak lingkungan,
95
setelah besi beton dan semen.
Hasil karakterisasi juga menunjukkan bahwa
semua kontributor proses tidak berpotensi menimbulkan limbah radioaktif. Hal ini diduga karena pada semua bahan baku kontributor tidak terdapat unsur radioaktif di dalamnya.
Gambar 26 Hasil karakterisasi setiap kontributor proses beton konvensional. Hasil rincian karakterisasi ini disajikan dalam Tabel 25 yang menunjukkan besarnya hasil karakterisasi setiap komponen terhadap setiap jenis kategori dampak.
Gambar 27 Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak lingkungan menggunakan beton konvensional. Hasil rincian normalisasi ini disajikan dalam Tabel 26 yang menunjukkan besarnya hasil normalisasi setiap komponen terhadap setiap jenis kategori dampak.
Tabel 26 Hasil karakterisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional No
1 2
Kategori Dampak Global Warming (GWP 100) Ozone Depletion
Satuan
Batu Pecah
Semen
Besi Beton
Pasir
Baja Ringan
Besi Biasa
Aluminium
Kaca
Kayu Penyangga
Kayu Cetak
Kayu Panel
Bata Merah
Keramik & Sanitari
Oil Bekestin
Air Untuk Besi
Truck 16t B
g CO2
9.48E+06
1.40E+09
1.50E+09
3.46E+07
1.16E+08
5.94E+05
9.89E+07
9.00E+06
8.27E+08
6.06E+07
5.68E+06
2.84E+08
2.18E+08
1.30E+06
1.76E+03
3.65E+03
g CFC
5.55E-01
7.36E+01
1.34E+02
1.75E+01
9.20E+00
4.55E-02
1.62E+01
1.38E+00
6.53E+00
1.40E+00
9.00E-02
2.72E+01
1.93E+01
5.50E+00
x
1.74E-03
3
Acidification
g SO2
7.88E+04
7.07E+06
9.59E+06
1.88E+05
6.89E+05
3.48E+03
5.90E+05
5.61E+04
1.30E+07
8.05E+05
6.90E+04
1.76E+06
1.32E+06
8.33E+03
x
4.82E+01
4
Eutrophication
g NO3
8.43E+04
5.24E+06
5.12E+06
1.79E+05
3.74E+05
1.92E+03
2.82E+05
2.65E+04
1.07E+07
6.31E+05
5.94E+04
8.79E+05
6.85E+05
7.78E+03
x
8.42E+01
g ether
4.83E+02
3.51E+04
8.69E+04
2.30E+03
1.79E+04
6.53E+01
3.19E+03
3.32E+02
1.11E+05
7.97E+03
7.83E+02
9.13E+03
7.95E+03
2.81E+02
x
6.32E-01
m3/g
2.33E+06
3.84E+07
5.18E+08
2.23E+07
3.56E+07
1.76E+05
3.84E+07
2.58E+06
3.65E+07
6.23E+06
3.66E+05
1.04E+08
7.48E+07
5.73E+06
x
2.85E+01
m3/g
2.22E+05
2.70E+07
4.95E+07
2.17E+06
3.40E+06
1.68E+04
3.68E+06
2.42E+05
3.28E+06
5.83E+05
3.37E+04
9.97E+06
7.16E+06
5.71E+05
x
2.69E+00
m3/g
1.03E+05
1.39E+07
2.53E+07
3.06E+05
1.74E+06
8.59E+03
1.59E+06
1.22E+05
1.81E+06
2.99E+05
2.23E+04
5.07E+06
3.65E+06
5.52E+03
x
4.50E-01
m3/g
7.54E+08
7.30E+10
1.89E+11
5.32E+09
1.57E+10
8.76E+07
9.54E+09
1.29E+10
1.05E+11
7.59E+09
7.61E+08
2.65E+10
2.01E+10
4.60E+08
x
1.80E+06
m3/g
2.60E+04
3.01E+06
6.00E+06
8.73E+04
3.86E+05
1.92E+03
4.43E+05
3.58E+04
5.82E+05
7.74E+04
4.53E+03
1.10E+06
7.91E+05
2.94E+03
x
3.79E+00
m3/g
3.19E+02
3.22E+04
6.41E+04
2.71E+03
6.03E+03
3.33E+01
4.70E+03
3.65E+02
5.62E+04
3.96E+03
4.41E+02
1.18E+04
8.47E+03
7.24E+02
x
1.73E+00
kg
7.22E+02
7.57E+04
1.38E+05
1.14E+03
9.45E+03
4.67E+01
6.58E+03
8.36E+02
1.36E+04
1.95E+03
9.61E+02
2.76E+04
2.10E+04
x
1.60E-01
x
kg
x
x
x
x
x
x
X
x
x
x
x
x
x
x
x
x
kg
x
x
x
x
x
x
X
x
x
x
x
x
x
x
x
x
kg
1.77E+00
x
1.42E+04
x
x
x
X
x
6.92E+01
4.11E+00
5.03E-01
x
6.72E-01
x
x
x
kg
1.13E-01
9.62E+00
37.100
6.06E-01
1.53E+00
8.17E-03
1.24E+00
1.01E-01
9.82E+00
7.11E-01
6.76E-02
3.37E+00
2.71E+00
1.38E-01
x
4.29E+05
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Photochemical Smog Ecotoxicity Water Chronic Ecotoxicity Water Acute Ecotoxicity Soil Chronic Human Toxicity Air Human Toxicity Water Human Toxicity Soil Bulk Waste Hazardous Waste Radioactive Waste Slag/Ashes Total
96
97
Tabel 27 Hasil normalisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional No
1 2
Kategori Dampak Global Warming (GWP 100) Ozone Depletion
Satuan
Batu Pecah
Semen
Besi Beton
Pasir
Baja Ringan
Besi Biasa
Aluminium
Kaca
Kayu Penyangga
Kayu Cetak
Kayu Panel
Bata Merah
Keramik &9
Oil Bekestin
Air untuk Besi
g CO2
1.09E+00
1.61E+02
1.72E+02
3.98E+00
1.33E+01
6.83E-02
1.14E+01
1.04E+00
9.51E+01
6.97E+00
6.53E-01
3.27E+01
2.51E+01
1.50E-01
2.02E4.20E-04 04
g CFC
2.75E-03
3.65E-01
6.62E-01
8.68E-02
4.55E-02
2.25E-04
8.02E-02
6.83E-03
3.23E-02
6.93E-03
4.46E-04
1.34E-01
9.57E-02
2.72E-02
x
8.61E-06
Truck 16t B
3
Acidification
g SO2
6.35E-01
5.70E+01
7.73E+01
1.51E+00
5.55E+00
2.80E-02
4.76E+00
4.53E-01
1.05E+02
6.49E+00
5.56E-01
1.42E+01
1.06E+01
6.71E-02
x
3.88E-04
4
Eutrophication
g NO3
2.83E-01
1.76E+01
1.72E+01
6.02E-01
1.26E+00
6.44E-03
9.46E-01
8.91E-02
3.59E+01
2.12E+00
2.00E-01
2.95E+00
2.30E+00
2.61E-02
x
2.83E-04
g ether
2.41E-02
1.75E+00
4.34E+00
1.15E-01
8.97E-01
3.26E-03
1.59E-01
1.66E-02
5.57E+00
3.99E-01
3.91E-02
4.56E-01
3.97E-01
1.41E-02
x
3.16E-05
m3/g
4.97E+00
6.07E+02
1.10E+03
4.74E+01
7.58E+01
3.75E-01
8.17E+01
5.49E+00
7.77E+01
1.33E+01
7.80E-01
2.22E+02
1.59E+02
1.22E+01
x
6.08E-05
m3/g
4.63E+00
5.67E+02
1.03E+03
4.51E+01
7.08E+01
3.50E-01
7.66E+01
5.03E+00
6.82E+01
1.21E+01
7.00E-01
2.07E+02
1.49E+02
1.19E+01
x
5.60E-05
m3/g
3.44E+00
4.63E+02
8.42E+02
1.02E+01
5.78E+01
2.86E-01
5.30E+01
4.08E+00
6.04E+01
9.97E+00
7.42E-01
1.69E+02
1.22E+02
1.84E-01
x
1.50E-05
m3/g
8.22E-02
7.95E+00
2.06E+01
5.80E-01
1.71E+00
9.54E-03
1.04E+00
1.41E+00
1.15E+01
8.27E-01
8.29E-02
2.89E+00
2.20E+00
5.01E-02
x
1.97E-04
m3/g
4.39E-01
5.09E+01
1.01E+02
1.47E+00
6.52E+00
3.25E-02
7.49E+00
6.06E-01
9,83
1.31E+00
7.66E-02
1.86E+01
1.34E+01
4.97E-02
x
6.40E-05
m3/g
1.03E+00
1.04E+02
2.07E+02
8.75E+00
1.95E+01
1.08E-01
1.52E+01
1.18E+00
1.82E+02
1.28E+01
1.42E+00
3.81E+01
2.73E+01
2.34E+00
x
5.57E-03
kg
5.35E-01
5.61E+01
1.02E+02
8.47E-01
7.00E+00
3.46E-02
4.88E+00
6.20E-01
1.01E+01
1.45E+00
7.12E-02
2.04E+01
1.56E+01
x
1.18E04
X
kg
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
X
kg
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
X
Slag/Ashes
kg
5.06E-03
x
4.05E+01
x
x
x
x
x
1.98E-01
1.18E-02
1.44E-03
x
1.92E-03
x
x
X
Total
kg
1.72E+01
2.09E+03
3.71E+03
1.21E+02
2.60E+02
1.30E+00
6.52E+02
6.78E+01
5.32E+00
7.28E+02
5.27E+02
2.70E+01
3.20E04
7.09E-03
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Photochemical Smog Ecotoxicity Water Chronic Ecotoxicity Water Acute Ecotoxicity Soil Chronic Human Toxicity Air Human Toxicity Water Human Toxicity Soil Bulk Waste Hazardous Waste Radioactive Waste
2.57E+02
2.00E+01
4.4.3
LCA Beton Semi Pracetak (Semi PC) Diagram pohon (tree diagram) bahan bangunan penyusun rusunawa dengan
beton semi pracetak (Lampiran 1) pada dasarnya hampir sama dengan tree diagram pada beton konvensional (Gambar 17). Seperti halnya dengan diagram pohon pada beton konvensional, selain semen dan besi beton, bata merah juga merupakan kontributor proses terbesar yang berdampak terhadap lingkungan (Gambar 28). Hal ini juga disebabkan proses pembuatan memerlukan energi yang cukup tinggi, baik energi listrik (electricity UCPTE high volta) yang banyak digunakan di negara-negara maju, maupun energi dari hasil pembakaran kayu di negara-negara berkembang.
Gambar 28 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup bata merah Analisis single score penggunaan beton semi pracetak menunjukkan secara lebih rinci dampak lingkungan yang diakibatkan setiap kontributor proses. Sama halnya dengan penggunaan beton konvensional, dampak lingkungan yang dikaji berjumlah 16 buah dengan subtansi item yang sama (Gambar 29).
Berbeda
terbalik dengan hasil pada penggunaan beton konvensional, hasil analisis skor tunggal penggunaan beton semi pracetak menunjukkan bahwa semen merupakan elemen yang bisa memberikan dampak paling besar (4,7 kPt), disusul oleh besi beton (3,59 kPt). Kontributor proses yang memberikan dampak paling kecil adalah air untuk beton (3,57 x 10-7 kPt) dan penggunaan truk (1,66 x 10-5 kPt). Hampir seluruh kontributor proses juga berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan (impact categories), yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis; (2) kandungan racun lingkungan perairan akut; (3) kandungan racun lingkungan tanah kronis.
99
Gambar 29 Hasil analisis single score beton semi pracetak.
Hasil rincian single score ini disajikan dalam Tabel 27 yang menunjukkan besarnya skor setiap komponen terhadap setiap jenis dampak. Kontributor proses yang memberikan dampak paling besar terhadap setiap kategori adalah penggunaan semen (Gambar 30), besi beton (Gambar 31), dan bata merah (Gambar 32)
Gambar 30 Besarnya dampak penggunaan semen pada pembangunan rusunawa menggunakan beton semi pracetak untuk setiap kategori (Pt).
100
Gambar 31 Besarnya dampak penggunaan besi beton pada pembangunan rusunawa menggunakan beton semi pracetak untuk setiap kategori (Pt).
Gambar 32 Besarnya dampak penggunaan bata merah pada pembangunan rusunawa menggunakan beton semi pracetak untuk setiap kategori (Pt).
101
Pada Tabel 27 terlihat bahwa, semen, baja ringan, alumunium, baja scaffolding, bata merah dan keramik merupakan kontributor yang dapat menimbulkan pemanasan global cukup berarti.
Hal ini terjadi karena pada
produksi contributor- contributor tersebut diperlukan panas yang cukup tinggi, sehingga untuk memproduksinya dilakukan pembakaran sumberdaya alam terutama dari BBM. Di lain pihak hingga saat ini bahan bakar yang digunakan untuk tujuan tersebut adalah bahan bakar yang berasal fosil seperti batu bara, solar dan bensin. Proses pembakaran ini akan menghasilkan emisi CO2 sebagai penyumbang terjadinya pemanasan global, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan berbagai bencana. Di lain pihak adanya pembakaran BBM pun juga akan menghasilkan dioksin dan furan (Suminar, 2003). Selain dioksin dan furan dari pembakaran BBM fosil, juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb (Volesky, 2000). Terdapatnya dioksin, furan dan logam berat Pb di atmosfir ini dapat berdampak negatif pada manusia. Oleh karenanya maka sangat wajar jika pencemaran akan berimplikasi terhadap masalah kesehatan, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya pendapatan. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang tertera pada Tabel 28 bahwa kontributor-kontributor yang digunakan untuk konstruksi rusunawa menyebabkan berbagai dampak lingkungan yang mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan pada manusia baik melalui air, tanah maupun udara
102
Tabel 28 Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton semi pracetak No
Kategori Dampak
Satuan
Batu Pecah
Semen
Besi Beton
Pasir
Baja Ringan
Baja Biasa
Alumu nium
Kaca
Baja Cetakan
Baja Scafolding
Kayu Panel
Bata Merah
Keramik & Sanitari
Oli Bekesting
Air untuk Beton
Truk
Total
1
Global Warming (GWP 100)
Pt
1,660
215,000
97,900
4,780
17,300
0,089
14,800
2,720
3,280
7,370
0,849
42,500
32,600
0,100
0,0002
0,001
440,949
2
Ozone Depletion
Pt
0,074
8,660
6,680
1,840
1,050
0,005
1,840
0,317
0,198
0,443
0,010
3,090
2,200
0,322
x
0,000
26,730
0,001
175,682
0,000
42,220
0,000
7,758
0,000
4.055,852
0,000
3.786,216
0,000
3.004,965
0,001
87,571
0,000
388,767
0,014
811,653
3 4 5 6 7 8 9 10 11
Acidification Eutrophication Photochemical Smog Ecotoxicity Water Chronic Ecotoxicity Water Acute Ecotoxicity Soil Chronic Human Toxicity Air Human Toxicity Water Human Toxicity Soil
Pt
0,967
76,200
44,100
1,820
7,220
0,037
6,180
1,190
1,540
3,460
0,723
18,400
13,800
0,045
Pt
0,399
21,600
9,020
0,667
1,510
0,008
1,140
0,216
0,336
0,758
0,240
3,550
2,760
0,016
Pt
0,034
2,170
2,270
0,127
1,080
0,004
0,191
0,040
0,232
0,529
0,047
0,548
0,477
0,009
Pt
13,400
1.440,000
1.110,000
101,000
174,000
0,862
188,000
25,600
34,200
76,600
1,790
510,000
366,000
14,400
Pt
12,500
1.340,000
1.040,000
95,700
163,000
0,806
176,000
23,500
30,900
69,200
1,610
477,000
342,000
14,000
Pt
9,280
1.100,000
847,000
21,800
133,000
0,658
122,000
19,000
25,100
56,200
1,710
389,000
280,000
0,217
Pt
0,270
24,200
26,100
1,510
4,780
0,027
2,910
7,910
1,620
3,690
0,232
8,100
6,150
0,072
Pt
1,290
131,000
111,000
3,420
16,300
0,081
18,700
3,060
7,260
16,500
0,192
46,500
33,400
0,064
Pt
3,020
272,000
229,000
20,200
48,700
0,269
37,900
6,020
7,470
16,800
3,560
95,300
68,400
64,500
49,800
0,881
7,700
0,038
5,370
1,390
1,470
3,300
0,078
22,500
17,100
3,000 x
x x x x x x x x x
Bulk Waste
Pt
0,690
13
Hazardous Waste
Pt
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
14
Radioactive Waste
Pt
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
15
Slag/Ashes
Pt
0,007
x
19,200
x
x
x
x
x
0,000
0,001
0,002
0,002
x
x
x
19,211
Total
Pt
43,591
4.695,330
3.592,070
253,745
575,640
2,883
575,031
90,963
113,606
254,851
11,043
0,0004
0,017
13.022,392
1.616,488
1.164,889
32,245
0,0001
x
12
174,818
Tabel 29 menunjukkan bahwa kandungan racun lingkungan perairan dan tanah kronis berasal dari proses pembuatan semen dan besi beton. Sementara kandungan racun lingkungan perairan akut berasal dari kontributor proses semen dan bata merah. Dampak terbesar pada kandungan racun lingkungan perairan kronis disebabkan kontributor proses semen (1.440 pt) dan besi beton (1.110 pt). Tabel 29 Kontributor utama untuk kategori dampak beton semi pracetak No 1 2 3
Kategori Dampak Lingkungan Kandungan racun lingkungan perairan kronis Kandungan racun lingkungan perairan akut Kandungan racun lingkungan tanah kronis
Kontributor Proses semen besi beton semen bata merah semen besi beton
Skor (pt) 1.440 1.110 1.340 477 1.100 847
Hasil pembobotan menunjukkan bahwa dampak terbesar berupa kandungan racun lingkungan perairan kronis sebesar 4,06 kPt, disusul oleh kandungan racun lingkungan perairan akut sebesar 3,79 kPt, dan kandungan racun lingkungan tanah kronis sebesar 3,00 kPt (Gambar 33).
Dampak yang cukup menonjol
lainnya adalah kandungan racun tanah bagi manusia (0,811 kPt) dan pemanasan global (0,441 kPt). Selain semen dan besi beton, kontributor proses yang cukup menonjol lainnya adalah bata merah, serta keramik dan sanitari. Adanya racun kronis tersebut dapat difahami karena selain dari racun yang berasal dari bahan yang terkandung di dalam bahan tersebut, kandungan racun juga berasal dari pembakaran yang suhu pembakarannya kurang dari 8000C, karena berpotensi untuk menghasilkan senyawa dioksin dan furan (Bramono 2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Widyatmoko (1999) yang mengatakan bahwa emisi dioksin dan furan juga malah terjadi pada pembuangan akhir sampah atau TPA serta Connell dan Miller (1995) yang mengatakan bahwa dioksin dan furan tidak diproduksi secara sengaja, tapi dihasilkan sebagai produk samping pada proses pembakaran dan beberapa proses industri.
Pernyataan tersebut
diperkuat oleh pernyataan Smit (2004) yang menyatakan bahwa senyawa dioksin dan furan akan terbentuk bila terdapat kondisi suhu pembakaran antara 200–800
104 o
C, namun suhu pembakaran paling ideal untuk menghasilkan dioksin dan furan
adalah 200– 400 oC. Adapun yang dimaksud dengan senyawa dioksin dan furan adalah senyawa organoklor yang terdiri atas klor dan
fenil (gugus cincin
benzena). Senyawa ini mempunyai daya urai baik di tanah, udara, dan air yang sangat lambat (Gorman dan Tynan, 2003). Racun yang cukup menonjol dari semen dan besi beton, bata merah, serta keramik dan sanitari diduga karena selain dari bahan yang terkandung pada bahan bakunya juga karena pada produksi bahan-bahan tersebut dilakukan dengan pembakaran yang sangat intensif. Selain itu dari bahan bakar sendiri akan dihasilkan bahan pencemar logam berat terutama Pb (Volesky, 2000).
Gambar 33 Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton semi pracetak. Hasil karakterisasi dan normalisasi menunjukkan hal yang sejalan dan mendukung hasil analisis sebelumnya.
Hasil karakterisasi (Gambar 34)
menunjukkan bahwa penggunaan beton semi pracetak memerlukan tambahan baja cetakan dan baja scafolding, tetapi di sisi lain mereduksi secara signifikan penggunaan kayu. Penggunaan kayu hanya dibutuhkan untuk pemasangan panel pintu saja. Hasil ini juga menunjukkan bahwa semua kontributor proses tidak berpotensi menimbulkan limbah berbahaya dan limbah radioaktif.
105
Gambar 34 Hasil karakterisasi setiap kontributor proses beton semi pracetak.
Hasil rincian karakterisasi ini disajikan dalam Tabel 29 yang menunjukkan besarnya hasil karakterisasi setiap komponen terhadap setiap jenis kategori dampak. Hasil normalisasi tidak jauh berbeda dengan hasil skor tunggal dan hasil pembobotan.
Hasil normalisasi menunjukkan kandungan racun lingkungan
perairan kronis, kandungan racun lingkungan perairan akut, dan kandungan racun lingkungan tanah kronis sebagai dampak lingkungan terbesar akibat penggunaan beton semi pracetak (Gambar 35).
Gambar 35 Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak lingkungan penggunaan beton semi pracetak. Hasil rincian normalisasi ini disajikan dalam Tabel 31 yang menunjukkan besarnya hasil normalisasi setiap komponen terhadap setiap jenis kategori dampak.
Tabel 30 Hasil karakterisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton semi pracetak Kategori Dampak
Satuan
Air untuk Besi
Aluminium S
Baja Cetakan
Baja Ringan
Baja Scafolo
Bata Merah
Batu Pecah
Besi Beton
Besi Biasa 9
Kaca SPC
Kayu Panel
Keramik dan Sanitari
Oli Bekesting
Pasir SPC
Semen SPC
Truck 16t B
1
Global Warming (GWP 100)
g CO2
1.60E+03
9.89E+07
2.20E+07
1.16E+08
4.93E+07
2.84E+08
1.11E+07
6.55E+08
5.94E+05
1.82E+07
5.68E+06
2.18E+08
6.69E+05
3.20E+07
1.44E+09
3.65E+03
2
Ozone Depletion
g CFC
x
1.62E+01
1.74E+00
9.20E+00
3.89E+00
2.72E+01
6.51E-01
5.86E+01
4.55E-02
2.78E+00
9.00E-02
1.93E+01
2.83E+00
1.61E+01
7.61E+01
1.74E-03
3
Acidification
g SO2
x
5.90E+05
1.47E+05
6.89E+05
3.30E+05
1.76E+06
9.23E+04
4.20E+06
3.48E+03
1.14E+05
6.90E+04
1.32E+06
4.28E+03
1.74E+04
7.27E+06
4.82E+01
4
Eutrophication
g NO3
x
2.82E+05
8.34E+04
3.74E+05
1.88E+05
8.79E+05
9.88E+04
2.24E+06
1.92E+03
5.37E+04
5.94E+04
6.85E+05
4.00E+03
1.65E+05
5.36E+06
8.42E+01
5
Photochemical Smog
g ether
x
3.19E+03
3.86E+03
1.79E+04
8.81E+03
9.13E+03
5.66E+02
3.78E+04
6.53E+01
6.73E+02
7.83E+02
7.95E+03
1.44E+02
2.12E+03
3.61E+04
6.32E-01
6
Ecotoxicity Water Chronic
m3/g
x
3.84E+07
6.97E+06
3.56E+07
1.56E+07
1.04E+08
2.74E+06
2.27E+08
1.76E+05
5.23E+06
3.66E+05
7.48E+07
2.94E+06
2.05E+07
2.94E+08
2.85E+01
7
Ecotoxicity Water Acute
m3/g
x
3.68E+06
6.46E+05
3.40E+06
1.45E+06
9.97E+06
2.61E+05
2.17E+07
1.68E+04
4.91E+05
3.37E+04
7.16E+06
2.93E+05
2.00E+06
2.81E+07
2.69E+00
8
Ecotoxicity Soil Chronic
m3/g
x
1.59E+06
3.28E+05
1.74E+06
7.34E+06
5.07E+06
1.21E+05
1.11E+07
8.59E+03
2.48E+05
3.23E+04
3.65E+06
2.83E+03
2.84E+05
1.43E+07
4.50E-01
9
Human Toxicity Air
m3/g
x
9.54E+09
5.32E+09
1.57E+10
1.21E+10
2.65E+10
8.84E+08
8.55E+10
8.76E+07
2.59E+10
7.61E+08
2.01E+10
2.36E+08
4.96E+09
7.93E+10
1.80E+06
10
Human Toxicity Water
m3/g
x
4.43E+05
1.72E+05
3.86E+05
3.90E+05
1.10E+06
3.05E+04
2.63E+06
1.92E+03
7.25E+04
4.53E+03
7.91E+05
1.51E+03
8.09E+04
3.10E+06
3.79E+00
11
Human Toxicity Soil
m3/g
x
4.70E+03
9.25E+02
6.03E+03
2.08E+03
1.18E+04
3.74E+02
2.83E+04
3.33E+01
7.46E+02
4.41E+02
8.47E+03
3.71E+02
2.50E+03
3.36E+04
1.73E+00
12
Bulk Waste
kg
1.45E-01
6.58E+03
1.81E+03
9.45E+03
4.05E+03
2.76E+04
8.46E+02
6.12E+04
4.67E+01
1.71E+03
9.61E+01
2.10E+04
x
1.08E+03
7.91E+04
x
13
Hazardous Waste
kg
x
x
x
x
x
X
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
14
Radioactive Waste
kg
x
x
x
x
x
X
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
15
Slag/Ashes
kg
x
x
9.27E-02
x
2.09E-01
X
2.08E+00
6.11E+03
x
x
5.03E-01
6.72E-01
x
x
x
X
Total
kg
x
1.24E+00
0.673
1.53E+00
1.46E+00
3.37E+00
1.32E-01
1.87E+01
8.17E-03
2.62E-01
6.76E-02
2.71E+00
7.08E-02
6.05E-01
1.32E+01
4.29E-05
No
106
107
Tabel 31 Hasil normalisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton semi pracetak Air untuk Besi
Aluminium S
Baja Cetakan
Baja Ringan
Baja Scafolo
Bata Merah
Batu Pecah
Besi Beton
Besi Biasa 9
Kaca SPC
Kayu Panel
Keramik dan Sanitari
Oli Bekesting
Pasir SPC
Semen SPC
Truck 16t B
1.14E+01
2.53E+00
1.33E+01
5.67E+00
3.27E+01
1.28E+00
7.53E+01
6.83E-02
2.09E+00
6.53E-01
2.51E+01
7.70E-02
3.68E+00
1.65E+02
4.20E-04
x
8.02E-02
8.59E-03
4.55E-02
1.92E-02
1.34E-01
3.22E-03
2.90E-01
2.25E-04
1.38E-02
4.46E-04
9.57E-02
1.40E-02
7.99E-02
3.77E-01
8.61E-06
g SO2
x
4.76E+00
1.18E+00
5.55E+00
2.66E+00
1.42E+01
7.44E-01
3.39E+01
2.80E-02
9.17E-01
5.56E-01
1.06E+01
3.45E-02
1.40E+00
5.86E+01
3.88E-04
Eutrophication
g NO3
x
9.46E-01
2.80E-01
1.26E+00
6.31E-01
2.95E+00
3.32E-01
7.52E+00
6.44E-03
1.80E-01
2.00E-01
2.30E+00
1.34E-02
5.55E-01
1.80E+01
2.83E-04
5
Photochemical Smog
g ether
x
1.59E-01
1.93E-01
8.97E-01
4.41E-01
4.56E-01
2.83E-02
1.89E+00
3.26E-03
3.36E-02
3.91E-02
3.97E-01
7.22E-03
1.06E-01
1.80E+00
3.16E-05
6
Ecotoxicity Water Chronic
m3/g
x
8.17E+01
1.49E+01
7.58E+01
3.33E+01
2.22E+02
5.83E+00
4.83E+02
3.75E-01
1.11E+01
7.80E-01
1.59E+02
6.27E+00
4.37E+01
6.26E+02
6.08E-05
7
Ecotoxicity Water Acute
m3/g
x
7.66E+01
1.34E+01
7.08E+01
3.01E+01
2.07E+02
5.42E+00
4.51E+02
3.50E-01
1.02E+01
7.00E-01
1.49E+02
6.10E+00
4.16E+01
5.85E+02
5.60E-05
8
Ecotoxicity Soil Chronic
m3/g
x
5.30E+01
1.09E+01
5.78E+01
2.44E+01
1.69E+02
4.03E+00
3.68E+02
2.86E-01
8.26E+00
7.42E-01
1.22E+02
9.44E-02
9.47E+00
4.77E+02
1.50E-05
9
Human Toxicity Air
m3/g
x
1.04E+00
5.80E-01
1.71E+00
1.32E+00
2.89E+00
9.63E-02
9.32E+00
9.54E-03
2.82E+00
8.29E-02
2.20E+00
2.57E-02
5.41E-01
8.64E+00
1.97E-04
10
Human Toxicity Water
m3/g
x
7.49E+00
2.90E+00
6.52E+00
6.59E+00
1.86E+01
5.15E-01
4.44E+01
3.25E-02
1.22E+00
7.66E-02
1.34E+01
2.56E-02
1.37E+00
5.35E+01
6.40E-04
11
Human Toxicity Soil
m3/g
1.08E04
1.52E+01
2.99E+00
1.95E+01
6.71E+00
3.81E+01
1.21E+00
9.16E+01
1.08E-01
2.41E+00
1.42E+00
2.73E+01
1.20E+00
8.09E+00
1.09E+02
5.57E-03
12
Bulk Waste
kg
x
4.88E+00
1.34E+00
7.00E+00
3.00E+00
2.04E+01
6.27E-01
4.53E+01
3.46E-02
1.27E+00
7.12E-02
1.56E+01
x
8.01E-01
5.86E+01
X
13
Hazardous Waste
kg
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
X
14
Radioactive Waste
kg
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
X
15
Slag/Ashes
kg
x
x
2.65E-04
x
5.98E-04
x
5.94E-03
1.75E+01
x
x
1.44E-03
1.92E-03
x
x
x
X
Total
kg
x
0.00E+00
-
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
Kategori Dampak
Satuan
1
Global Warming (GWP 100)
g CO2
2
Ozone Depletion
g CFC
3
Acidification
4
No
1.84E-04
108
4.4.4
LCA Beton Pracetak (PC) Diagram pohon (tree diagram) bahan bangunan penyusun rusunawa dengan
beton pracetak (Lampiran 2) pada dasarnya hampir sama dengan tree diagram beton konvensional (Gambar 17) dan beton semi pracetak (Lampiran 1). Hal yang membedakan material yang digunakan dalam pembuatan rusunawa menggunakan beton pracetak dengan semi pracetak adalah pengurangan penggunaan bahan baku bagi pembuatan dinding dan plesterannya, seperti semen, pasir dan bata merah. Pengurangan bahan baku dinding ini disubtitusi seluruhnya oleh beton pracetak, sehingga dampak lingkungan akibat penggunaan bata merah berkurang secara signifikan, tetapi di sisi lain meningkatkan volume penggunaan beton pracetak yang mengakibatkan peningkatan penggunaan semen dan besi beton. Seperti halnya diagram pohon dalam penggunaan beton konvensional dan beton semi pracetak, selain semen, besi beton, kayu penyangga dan bata merah, bahan bangunan lain berupa keramik dan saniter juga merupakan kontributor proses terbesar yang berdampak terhadap lingkungan (Gambar 36).
Gambar 36 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup keramik dan sanitari Hasil analisis skor tunggal menunjukkan besi beton dan semen sebagai kontributor proses yang paling banyak memberikan dampak terhadap lingkungan
109
(Gambar 37).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa besi beton merupakan
kontributor proses yang bisa memberikan dampak paling besar (6,81 kPt), disusul oleh semen (3,82 kPt). Elemen yang memberikan dampak paling kecil adalah air untuk beton (5,75 x 10-7 kPt) dan penggunaan truk (1,12 x 10-5 kPt). Pada penggunaan beton pracetak, hampir seluruh elemen berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan (impact categories), yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis; (2) kandungan racun lingkungan perairan akut; (3) kandungan racun lingkungan tanah kronis.
Gambar 37 Hasil analisis single score beton pracetak.
Hasil rincian single score ini disajikan dalam Tabel 32 yang menunjukkan besarnya skor setiap komponen terhadap setiap jenis dampak. Berupa kandungan racun lingkungan perairan kronis dan tanah akut berasal dari proses pembuatan besi beton dan semen.
Sementara kandungan racun lingkungan tanah kronis
berasal dari kontributor proses semen, serta keramik dan sanitari.
Dampak
terbesar pada kandungan racun lingkungan perairan kronis disebabkan kontributor proses besi beton (2.010) dan semen (1.170)
110
110
Tabel 32 Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton pracetak Kategori Dampak
Satuan
Batu Pecah
Semen
Besi Beton
Pasir
Baja Ringan
Baja Biasa
Alumu nium
Kaca
Baja Cetakan
Baja Scafolding
Kayu Panel
Bata Merah
Keramik & Sanitari
Oli Bekesting
Air untuk Beton
Truk 40t
Total
1
Global Warming (GWP 100)
Pt
2,680
176,000
222,000
2,470
17,900
0,089
12,800
2,560
13,800
10,300
1,280
-
32,600
0,089
0,0004
0,0004
494,568
2
Ozone Depletion
Pt
0,120
7,040
12,200
0,952
1,580
0,005
0,742
0,299
0,452
0,435
0,014
-
2,200
0,314
0,0001
26,353
3
Acidification
Pt
1,560
62,200
292,000
0,939
6,870
0,037
6,990
1,090
19,800
14,300
1,360
-
13,800
0,038
0,0003
420,984
4
Eutrophication
Pt
0,644
17,800
19,000
0,344
1,380
0,008
1,170
0,230
1,150
0,886
0,422
-
2,760
0,013
0,0002
45,807
Pt
0,055
1,770
3,440
0,066
1,280
0,004
0,184
0,035
0,373
0,349
0,066
-
0,477
0,007
0,0000
8,105
Pt
21,700
1.170,000
2.010,000
52,000
254,000
0,862
124,000
25,100
72,900
74,600
2,850
-
366,000
14,100
0,0001
4.188,112
Pt
20,200
1.100,000
1.880,000
49,500
236,000
0,806
116,000
23,100
66,600
68,300
2,560
-
342,000
13,700
0,0001
3.918,766
Pt
15,000
895,000
1.510,000
11,200
126,000
0,658
93,900
18,700
54,000
55,300
2,200
-
280,000
0,194
0,0000
3.062,152
Pt
0,436
18,700
59,800
0,774
8,340
0,027
2,200
6,400
3,520
3,100
0,327
-
6,150
0,061
0,0004
109,835
Pt
2,080
107,000
194,000
1,760
35,700
0,081
11,300
2,900
12,500
12,300
0,339
-
33,400
0,050
0,0001
413,411
Pt
4,870
219,000
469,000
10,400
59,700
0,269
23,800
5,760
25,900
19,100
4,580
-
68,400
2,830
0,0094
913,618
1,090
51,800
121,000
0,444
6,590
0,038
5,520
1,210
3,190
3,270
0,157
-
17,100
No
5 6 7 8 9 10 11
Photochemical Smog Ecotoxicity Water Chronic Ecotoxicity Water Acute Ecotoxicity Soil Chronic Human Toxicity Air Human Toxicity Water Human Toxicity Soil
12
Bulk Waste
Pt
13
Hazardous Waste
Pt
-
-
14
Radioactive Waste
Pt
-
-
15
Slag/Ashes
Pt
Total
0,011 Pt
70,445
20,200 3.826,310
6.812,640
0,017 130,849
755,340
2,883
398,606
87,384
274,202
0,002
0,002
262,242
16,157
-
0,0002
211,409
0,002 -
1.164,889
20,233 31,396
0,0006
0,0112
13.833,355
111
Tabel 33 Kontributor utama untuk kategori dampak penggunaan beton pracetak No 1 2 3
Kategori Dampak Lingkungan Kandungan racun lingkungan perairan kronis Kandungan racun lingkungan perairan akut Kandungan racun lingkungan tanah kronis
Kontributor Proses besi beton semen besi beton semen semen keramik & sanitari
Skor (Pt) 2.010 1.170 1.880 1.100 895 280
Hasil pembobotan menunjukkan bahwa dampak terbesar berupa kandungan racun lingkungan perairan kronis sebesar 4,19 kPt, disusul oleh kandungan racun lingkungan perairan akut sebesar 3,91 kPt, dan kandungan racun lingkungan tanah kronis sebesar 3,06 kPt (Gambar 38). Selain besi beton dan semen, kontributor proses yang cukup menonjol lainnya adalah alumunium, baja ringan, serta keramik dan sanitari.
Gambar 38 Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton pracetak. Hasil karakterisasi (Gambar 39) menunjukkan bahwa penggunaan beton pracetak mereduksi penggunaan bata merah dan bahan plesteran, tetapi di sisi lain meningkatkan penggunaan bahan beton pracetak, seperti besi beton dan semen. Seperti halnya pada penggunaan beton semi pracetak, pada beton pracetak juga penggunaan kayu hanya dibutuhkan untuk pemasangan panel pintu saja. Hasil ini juga menunjukkan bahwa semua kontributor proses tidak berpotensi menimbulkan limbah berbahaya dan limbah radioaktif.
112
Gambar 39 Hasil karakterisasi setiap kontributor proses beton pracetak. Hasil rincian karakterisasi ini disajikan dalam Tabel 35,menunjukkan besarnya hasil karakterisasi tiap komponen terhadap setiap jenis kategori dampak. Sementara secara urutan, hasil normalisasi pada penggunaan beton pracetak tidak jauh berbeda dengan hasil skor tunggal dan hasil pembobotan pada penggunaan beton semi pracetak.
Hasil normalisasi menunjukkan kandungan racun
lingkungan perairan kronis, kandungan racun lingkungan perairan akut, dan kandungan racun lingkungan tanah kronis sebagai dampak lingkungan terbesar akibat penggunaan beton pracetak (Gambar 40).
Gambar 40 Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak lingkungan penggunaan beton pracetak. Hasil rincian normalisasi ini disajikan dalam Tabel 34 yang menunjukkan besarnya hasil normalisasi setiap komponen terhadap setiap jenis kategori dampak.
113
113
Tabel 34 Hasil karakterisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton pracetak No 1
Kategori Dampak
3
Global Warming (GWP 100) Ozone Depletion Acidification
4
Eutrophication
5
Photochemical Smog Ecotoxicity Water Chronic Ecotoxicity Water Acute Ecotoxicity Soil Chronic Human Toxicity Air Human Toxicity Water Human Toxicity Soil Bulk Waste
2
6 7 8 9 10
11 12 13 14 15
Hazardous Waste Radioactive Waste Slag/Ashes Total
Satuan
Air untuk Besi
g CO2
Aluminium S
Baja Cetakan
Baja Ringan
Baja Scafolo
Bata Merah
Batu Pecah
Besi Beton
Besi Biasa 9
Kaca PC
Kayu Panel
Keramik dan Sanitari
Oli Bekesting
Pasir PC
Semen PC
Truck 40t B
2.57E+03
8.55E+07
9.24E+07
1.20E+08
6.88E+07
0.00E+00
1.79E+07
1.48E+09
5.94E+05
1.71E+07
8.59E+06
2.18E+08
5.94E+05
1.65E+07
1.18E+09
2.47E+03
g CFC
x
6.51E+00
3.74E+00
1.39E+01
3.82E+00
0.00E+00
1.05E+00
1.07E+02
4.55E-02
2.63E+00
1.22E-01
1.93E+01
2.76E+00
8.36E+00
6.19E+01
1.18E-03
g SO2
x
6.67E+05
1.89E+06
6.56E+05
1.37E+06
0.00E+00
1.49E+05
2.70E+07
3.48E+03
1.04E+05
1.29E+05
1.32E+06
3.66E+03
8.96E+04
5.94E+06
3.26E+01
g NO3
x
2.90E+05
2.85E+05
3.43E+05
2.20E+05
0.00E+00
1.60E+05
4.71E+06
1.92E+03
5.72E+04
1.05E+05
6.85E+05
3.15E+03
8.54E+04
4.41E+06
5.70E+01
g ether
x
3.07E+03
6.22E+03
2.13E+04
5.82E+03
0.00E+00
9.14E+02
5.74E+04
6.53E+01
5.80E+02
1.09E+03
7.95E+03
1.17E+02
1.10E+03
2.95E+04
4.28E-01
m3/g
x
2.53E+07
1.49E+07
5.18E+07
1.52E+07
0.00E+00
4.42E+06
4.11E+08
1.76E+05
5.13E+06
5.81E+05
7.48E+07
2.87E+06
1.06E+06
2.39E+08
1.93E+01
m3/g
x
2.42E+06
1.39E+06
4.94E+06
1.43E+06
0.00E+00
4.21E+05
3.92E+07
1.68E+04
4.83E+05
5.36E+04
7.16E+06
2.86E+05
1.03E+06
2.29E+07
1.82E+00
m3/g
x
1.23E+06
7.06E+05
1.64E+06
7.22E+05
0.00E+00
1.96E+05
1.97E+07
8.59E+03
2.45E+05
2.87E+04
3.65E+06
2.53E+03
1.46E+05
1.17E+07
3.05E-01
m3/g
x
7.21E+09
1.15E+10
2.73E+10
1.02E+10
0.00E+00
1.43E+09
1.96E+11
8.76E+07
2.10E+10
1.07E+09
2.01E+10
2.00E+08
2.54E+09
6.13E+10
1.22E+06
m3/g
x
2.67E+05
2.96E+05
8.45E+05
2.92E+05
0.00E+00
4.92E+04
4.60E+06
1.92E+03
6.86E+04
8.03E+03
7.91E+05
1.19E+03
4.16E+04
2.53E+06
2.56E+00
m3/g
x
2.94E+03
3.20E+03
7.39E+03
2.37E+03
0.00E+00
6.04E+02
5.81E+04
3.33E+01
7.14E+02
5.67E+02
8.47E+03
3.51E+02
1.29E+03
2.71E+04
1.17E+00
kg
2.34E-01
6.77E+03
3.92E+03
8.09E+03
4.01E+03
0.00E+00
1.34E+03
1.48E+05
4.67E+01
1.49E+03
1.93E+02
2.10E+04
x
5.45E+02
6.36E+04
X
kg
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
X
kg
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
X
kg
x
x
5.28E+00
x
6.30E-01
x
3.35E+00
6.44E+03
x
x
6.66E-01
6.72E-01
x
x
x
X
kg
x
1.18E+00
114.000
4.61E+00
8.63E+01
0.00E+00
2.13E-01
1.44E+03
8.17E-03
1.99E-01
1.02E-01
2.71E+00
6.47E-02
2.89E-01
8.08E+00
2.90E-05
114
114
Tabel 35 Hasil normalisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton pracetak No 1
2
Kategori Dampak Global Warming (GWP 100) Ozone Depletion
Satuan
Air untuk Besi
g CO2
2.96E04
g CFC
Baja Cetakan
Baja Ringan
Baja Scafolo
Bata Merah
Batu Pecah
Besi Beton
Besi Biasa 9
Kaca PC
Kayu Panel
Keramik dan Sanitari
Oli Bekesting
Pasir PC
Semen SPC
Truck 40t B
9.83E+00
1.06E+01
1.38E+01
7.91E+00
0.00E+00
2.06E+00
1.70E+02
6.83E-02
1.97E+00
9.88E-01
2.51E+01
6.83E-02
1.90E+00
1.36E+02
2.84E-04
x
3.22E-02
1.85E-02
6.87E-02
1.89E-02
0.00E+00
5.20E-03
5.30E-01
2.25E-04
1.30E-02
6.06E-03
9.57E-02
1.37E-02
4.14E-02
3.06E-01
5.83E-06
g SO2
x
5.38E+00
1.52E+01
5.28E+00
1.10E+01
0.00E+00
1.20E+00
2.24E+02
2.80E-02
8.40E-01
1.04E+00
1.06E+01
2.95E-02
7.22E-01
4.79E+01
2.63E-04
Aluminiu mS
3
Acidification
4
Eutrophication
g NO3
x
9.73E-01
9.58E-01
1.15E+00
7.38E-01
0.00E+00
5.37E-01
1.58E+01
6.44E-03
1.92E-01
3.52E-01
2.30E+00
1.06E-02
2.87E-01
1.48E+01
1.91E-04
5
Photochemical Smog
g ether
x
1.53E-01
3.11E-01
1.06E+00
2.91E-01
0.00E+00
0,0457
2.87E+00
3.26E-03
2.90E-02
5.46E-02
3.97E-01
5.84E-03
5.48E-02
1.47E+00
2.14E-05
6
Ecotoxicity Water Chronic
m3/g
x
5.40E+01
3.17E+01
1.10E+02
3.24E+01
0.00E+00
9.41E+00
8.75E+02
3.75E-01
1.09E+01
1.24E+00
1.59E+02
6.11E+00
2.26E+01
5.10E+02
4.12E-05
7
Ecotoxicity Water Acute
m3/g
x
5.04E+01
2.90E+01
1.03E+02
2.97E+01
0.00E+00
8,76
8.16E+02
3.50E-01
1.01E+01
1.12E+00
1.49E+02
5.95E+00
2.15E+01
4.76E+02
3.79E-05
8
Ecotoxicity Soil Chronic
m3/g
x
4.08E+01
2.35E+01
5.47E+01
2.40E+01
0.00E+00
6.52E+00
6.55E+02
2.86E-01
8.15E+00
9.56E-01
1.22E+02
8.43E-02
4.86E+00
3.89E+02
1.01E-05
9
Human Toxicity Air
m3/g
x
7.86E-01
1.26E+00
2.98E+00
1.11E+00
0.00E+00
1.56E-01
2.13E+01
9.54E-03
2.29E+00
1.17E-01
2.20E+00
2.18E-02
2.76E-01
6.68E+00
1.33E-04
10
Human Toxicity Water Human Toxicity Soil
m3/g
x
4.52E+00
5.00E+00
1.43E+01
4.93E+00
0.00E+00
8.32E-01
7.78E+01
3.25E-02
1.16E+00
1.36E-01
1.34E+01
2.02E-02
7.03E-01
4.27E+01
4.33E-05
m3/g
1.73E04
9.51E+00
1.03E+01
2.39E+01
7.64E+00
0.00E+00
1.95E+00
1.88E+02
1.08E-01
2.30E+00
1.83E+00
2.73E+01
1.13E+00
4.17E+00
8.75E+01
3.77E-03
5.02E+01
2.90E+00
5.99E+00
2.97E+00
0.00E+00
9.90E-01
1.10E+02
3.46E-02
1.10E+00
1.43E-01
1.56E+01
x
4.04E-01
4.71E+01
x
11 12
Bulk Waste
kg
x
13
Hazardous Waste
kg
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
14
Radioactive Waste
kg
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
15
Slag/Ashes
kg
x
x
1.51E-02
x
1.80E-03
x
9.59E-03
1.84E+01
x
x
1.91E-03
1.92E-03
x
x
x
x
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
0.00E+00
Total
kg
x
0.00E+00
-
115
4.4.5
Perbandingan Alternatif Perbandingan alternatif berdasarkan analisis daur hidupnya (life cycle
analysis, LCA) dilakukan terhadap tiga pilihan, yaitu pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional, beton semi pracetak, dan beton pracetak. Hasil karakterisasi (Gambar 41) menunjukkan bahwa hampir seluruh dampak lingkungan terbesar didominasi oleh kontributor proses pada pembuatan rusunawa menggunakan beton konvensional, kecuali pada dampak pengasaman dan sumberdaya. Penggunaan beton semi pracetak dan pracetak secara umum bisa mengurangi dampak terhadap lingkungan.
Gambar 41 Perbandingan hasil karakterisasi pada setiap alternatif. Setelah dilakukan normalisasi (Gambar 42), terlihat bahwa dampak terhadap lingkungan didominasi oleh dampak kandungan racun lingkungan perairan kronis, kandungan racun lingkungan perairan akut, dan kandungan racun lingkungan tanah kronis. Penggunaan beton semi pracetak dan pracetak mampu mengurangi dampak tersebut secara signifikan. Penggunaan beton semi pracetak dan pracetak tersebut menurunkan tingkat dampak pada tingkatan yang hampir sama. Penggunaan beton semi pracetak sedikit lebih baik dibandingkan dengan penggunaan beton pracetak dilihat dari sisi dampaknya terhadap lingkungan berdasarkan daur hidup kontributor proses penyusunnya.
116
Gambar 42 Perbandingan hasil normalisasi pada setiap alternatif. Hasil pembobotan menunjukkan bahwa dampak kandungan racun lingkungan perairan kronis akibat penggunaan beton konvensional sebesar 5,55 kPt bisa diturunkan menjadi 4,15 kPt jika menggunakan beton pracetak dan menjadi 4,06 kPt jika menggunakan beton semi pracetak.
Hampir semua
kontributor proses penggunaan beton semi pracetak dan beton pracetak bisa menurunkan dampak lingkungan antara 20% hingga 30% dibandingkan dengan penggunaan beton konvensional (Gambar 43). Hal yang sedikit berbeda terjadi pada dampak pengasaman, di mana penggunaan beton pracetak memiliki dampak terbesar (1,42 kPt) dibandingkan penggunaan beton konvensional (0,32 kPt) dan penggunaan beton semi pracetak (0,17 kPt).
Gambar 43 Perbandingan hasil pembobotan pada setiap alternatif. Secara agregat, hasil skor tunggal juga menunjukkan penggunaan beton semi pracetak memiliki kinerja sedikit lebih baik dibandingkan dengan penggunaan beton pracetak dalam hal dampak lingkungan yang ditimbulkan.
117
Dampak lingkungan secara keseluruhan yang ditimbulkan akibat daur hidup kontributor proses penggunaan beton konvensional sebesar 18,6 kPt. Hal ini bisa diturunkan menjadi hanya 13,8 kPt dengan penggunaan beton pracetak dan menjadi hanya 13,0 kPt dengan penggunaan beton semi pracetak (Gambar 44) dan Tabel 36.
Gambar 44 Perbandingan hasil skor tunggal pada setiap alternatif. Tabel 36 Perbandingan kontributor utama pada setiap alternatif
Alternatif Pelaksanaan dan Bahan Bangunan Utama
Katagori Dampak Lingkungan (Pt) Racun Racun Racun perairan perairan tanah kronis akut kronis
Konvensional: -besi beton -semen -aluminium
2.540 1.400 188
2.370 1.300 176
1.940 1.060 122
Semi Pracetak: -semen -besi beton -bata merah
1.440 1.110 510
1.340 1.040 477
1.100 847 389
Pracetak: -besi beton -semen -keramik & sanitari
2.010 1.170 366
1.880 1.100 342
1.510 895 280
118
Kebutuhan Energi dan Pemanasan Global Bahan bangunan diambil dari alam, diangkut ke pabrik, diolah menjadi bahan bangunan siap pakai, dipasang sebagai konstruksi, dipakai, dipelihara sampai dibuang kembali ke alam pada saat habis masa pakai sesuai siklus daur hidupnya, memerlukan sumber daya energi. Energi yang dibutuhkan dalam satu siklus tersebut untuk
masing-masing alternatif adalah sebagaimana Tabel 37
(Moughtin, 2005)
Tabel 37 Kebutuhan energi setiap alternatif (KWh) Beton Konvensional 1.253.774
Beton Semi Pracetak
Beton Pracetak
806.981
1.008.199
Konsumsi energi dengan menggunakan metoda beton semi pracetak lebih efisien bila dibanding dengan metoda beton pracetak dan metoda konvensional. Jika luas bangunan masing-masing alternative pembangunan rusunawa tersebut 4.600 m2, maka kebutuhan energi pembangunan sistem konvensional merupakan yang terboros dengan 272 KWh/m2, disusul sistem pracetak penuh 219 KWh/m2, dan yang paling hemat adalah sistem pracetak sebagian yaitu 175 KWh/m2. Kebutuhan energi konstruksi yang dianggap wajar untuk bangunan perumahan adalah 240 KWh/m2 (Sabbarudin 2011), sehingga pembangunan rusunawa dengan semi precast dapat dianggap memenuhi kriteria ramah lingkungan. Energi tersebut dibutuhkan pada pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi, pengangkutan dari sumber pengambilan ke pabrik, dari pabrik ke distributor sampai ke lokasi kegiatan untuk pelaksanaan pembangunan konstruksi. Energi tersebut ada yang sudah berupa listrik untuk kebutuhan pabrikasi, maupun masih berupa bahan bakar fosil yang memerlukan pengolahan menjadi energi. Sumber energi primer Indonesia tahun 2005 adalah seperti Gambar 45.
119
Gambar 45 Konsumsi energi di Indonesia tahun 2005 (ESDM, 2006) Energi yang dikonsumsi sebagagian besar berasal dari minyak bumi, yang menghasilkan polutan utama khususnya CO2 dan timbal. Kegiatan pembangunan konstruksi rusunawa tidak terlepas dari konsumsi energi yang berasal dari bahan bakar fosil. Tingginya konsumsi energi, disebabkan oleh adanya pemahaman keliru yang menyatakan bahwa Indonesia sangat kaya akan minyak, gas dan batubara, dimana cadangannya tidak akan pernah habis. Kita seringkali lupa bahwa untuk mendapatkan bahan bakar fosil kita harus menunggu ribuan hingga jutaan tahun. Sementara cadangan bahan bakar fosil yang ada saat ini di Indonesia (dan juga di dunia) sudah mulai menipis. Dengan cadangan terbukti sekitar 5 milyar barel dan tingkat produksi sekitar 500 juta barel, maka minyak bumi Indonesia akan habis kurang dari 10 tahun mendatang. Untuk gas alam dengan kapasitas produksi sekitar 3 TSCF, maka cadangan terbuktinya yang hanya 90 TSCF akan habis dalam 3 dekade (30 tahun) mendatang. Sementara, batubara dengan cadangan terbukti sebesar 50 ton hanya mampu bertahan selama 50 tahun, jika produksi tetap dipertahanan seperti sekarang yaitu sebesar 100 juta ton/tahun. Namun, seperti yang telah diuraikan di atas, pemanfaatan batubara akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan, karena menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi dibanding minyak maupun gas bumi (Meivina, 2004) sebagaimana Tabel 38 Tabel 38 Kandungan emisi karbon tiap jenis bahan bakar Jenis Bahan Bakar
Emisi CO2/KWh (gr CO2)
Batubara
940
Minyak bumi
798
Gas alam cair
581
120
Pemanfaatan energi secara berlebihan, terutama energi fosil, merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim secara global. Hutan yang semakin terdegradasi akibat deforestisi, baik karena kejadian alam maupun penebangan liar, juga berakibat menambah jumlah gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer. Padahal di lain pihak, fungsi hutan juga sebagai penyerap emisi GRK yang utama. Selain itu pertanian dan peternakan serta sampah berperan sebagai penyumbang GRK berupa gas metana (CH4) yang ternyata memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida (CO2). Dapat dikatakan kehidupan manusia saat ini tak bisa lepas dari energi listrik dan bahan bakar fosil. Ketergantungan itu ternyata membawa dampak yang buruk bagi kehidupan umat manusia. Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam dalam berbagai kegiatan, misalnya pada pembangkit-an listrik, transportasi dan industri, akan memicu bertambahnya jumlah emisi GRK di atmosfer. Gas-gas rumah kaca (GRK) utama ini antara lain karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitroksida (N2O) dan CFC (Chlorofluorcarbon). Gas-gas ini akan menghalangi dan menyerap sebagian gelombang (panas) yang dipantulkan bumi ke luar angkasa akibat radiasi matahari. Radiasi matahari yang terperangkap dalam atmosfer bumi secara berulang kali ini akan terakumulasi dan menyebabkan peningkatan suhu bumi. Kejadian ini dikenal dengan istilah efek rumah kaca (green house effect). Berdasarkan pengamatan, CO2 merupakan GRK yang paling banyak berkeliaran di atmosfer. GRK sendiri banyak dihasilkan dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara). Selain itu, GRK juga dihasilkan dari pembakaran, penggundulan hutan, perubahan tata guna lahan, aktivitas pertanian dan peternakan, serta penggunaan alat-alat yang memakai CFC sebagai mana Gambar 46
121
Gambar 46. Penyebab utama emisi CO2 (Jatro 2010)
Secara glogal pelepasan GRK akibat konsumsi energi tersebut akan mendorong pemanasan global (global warming). Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim (Climate Change).
Perubahan temperatur permukaan bumi selama 3 abad terakhir
menunjukkan adanya peningkatan yang relatif drastis setelah adanya revolusi industri. Hal ini memiliki korelasi dengan dilepaskannya gas-gas rumah kaca ke atmosfer akibat kegiatan manusia sejak jaman revolusi industri hingga saat ini. Perubahan iklim maupun pemanasan global merupakan proses yang berlangsung secara perlahan, dalam jangka waktu puluhan hingga ratusan tahun. Proses ini tidak terjadi dalam seketika, tetapi melalui proses sebab akibat yang cukup panjang. Berbagai kejadian bencana alam yang dipicu perubahan iklim dan kerusakan alam juga merupakan sebuah proses sebab dan akibat. Jika proses ini dibiarkan, maka bencana akan terus menerpa kita dengan intensitas dan magnitude yang makin besar. Mereduksi bahkan kalau mungkin menghilangkan penyebab pemanasan global adalah salah satu cara memperbaiki kondisi iklim yang tidak beraturan.
Hal ini diharapkan akan mereduksi bencana alam yang dipicu
ketidakteraturan iklim tersebut. Di sisi lain, memperbaiki sistem kesetimbangan lingkungan juga hal yang perlu dilakukan.
122
Berhemat dalam menggunakan bahan bakar dan energi, memerangi penggundulan hutan, serta tidak mendukung penggunaan peralatan yang menggunakan CFC merupakan contoh-contoh aktifitas dalam menghambat pemanasan global. Mempersiapkan diri dan masyarakat akan datangnya bencana juga dapat mereduksi korban jiwa yang bisa ditimbulkan.
Sesungguhnya
kebijakan tentang hal tersebut sudah banyak dituangkan dalam berbagai bentuk konvensi PBB. Bahkan pemerintah Indonesia telah banyak meratifikasinya dan membuat berbagai strategi pembangunan yang berkaitan dengan hal tersebut. Hal ini tidak akan serta merta memperbaiki kondisi iklim dan lingkungan, serta menghentikan bencana secara seketika. Diperlukan proses dan keteguhan dalam melaksanakannya.
Saat ini yang diperlukan adalah pelaksanaan dari semua
peraturan tersebut, serta niat baik seluruh kalangan masyarakat untuk mendukung pelaksanaannya. Mulai berhemat dalam penggunaan listrik dan kendaraan akan membantu mengurangi emisi GRK. Bahkan sebatang pohon yang ditanam dan dirawat di halaman rumah kita, mungkin saja suatu saat akan menyelamatkan kita dan anak cucu kita dari bencana yang akan datang. Hasil penelitian tentang potensi dampak yang ditimbulkan berdasarkan LCA dan kebutuhan energi masing-masing alternatif, terlihat bahwa pembangunan rusunawa dengan metoda beton semi pracetak lebih ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan pemakaian bahan bangunan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan kebutuhan energi pada alternatif beton semi pracetak lebih sedikit bila dibandingkan dengan metoda beton konvensional dan pracetak.
4.5. AHP Penelitian ini bertujuan menentukan alternatif pelaksanaan pembangunan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan berdasarkan preferensi pakar. Preferensi pakar ini dikaji menggunakan AHP untuk menentukan alternatif prioritas kebijakannya (Saaty, 1991; Muhammadi et al., 2001; Marimin, 2005; Eriyatno & Sofyar, 2007). AHP salah satu teknik analisis yang merupakan bagian dari pendekatan sistem (Eriyatno, 1999; Jackson, 2000). Struktur hirarki yang dihasilkan dalam FGD, dianalisis dengan metode AHP menurut Saaty (1993). Menurut Marimin (2005) dan Latifah (2005), prinsip kerja
123
AHP terdiri dari penyusunan hirarki (decomposition), penilaian kriteria dan alternatif (comparative judgement), penentuan prioritas (synthesis of priority), serta konsistensi logis (local consistency). Hal ini akan dilakukan terhadap semua preferensi menggunakan bantuan perangkat lunak Criterium Decision Plus v3.04. Pada analisis AHP, responden ditentukan berdasarkan keahlian dan pengetahuan mereka tentang pemilihan jenis pemukiman dan teknologi pembangunannya, khususnya penggunaan teknologi beton. Pakar yang dipilih sebagai responden sebanyak 20 orang pakar yang mewakili pihak pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat, dan dunia usaha. Semua hal tersebut dijadikan bahan untuk merumuskan arahan kebijakan model pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hasilnya akan menggambarkan struktur kriteria dan alternatif, serta pembobotan dari strategi pengembangan rusunawa ramah lingkungan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi. Hal ini akan membantu pemilihan alternatif prioritas, serta penyusunan strategi secara sistemik guna dijadikan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pengembangan rusunama saat ini dan di masa mendatang. Pembangunan rusunawa sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan perumahan di kawasan perkotaan, telah lama dikembangkan pemerintah, khususnya lagi setelah pencanangan pengembangan 1.000 menara rusuna. Rusunawa yang akan dikembangkan adalah yang direncanakan memenuhi aspek-aspek keberlanjutan, yaitu hemat energi, hemat sumber daya alam, nyaman dan aman serta seminimal mungkin menghasilkan limbah dan sampah (green building). Menurut Ignes (2008), bangunan yang berkelanjutan haruslah memiliki konsep sebagai berikut: (1) Pemilihan material yang low energi embody; (2) Orientasi tata letak bangunan; (3) Hemat energi; (4) Hemat penggunaan air; (5) Memiliki recycle air buangan; (6) Penanganan sampah 3 R; (7) Low heat dissipation; (8) Memperhatikan unsur iklim lokal; (9) Penggunaan HVAC yang ramah ozon; (10) Memiliki juklak/SOP pengoperasian bangunan dengan spirit penghematan energi dan sumber-sumber yang digunakan. Di lain pihak, permasalahan pemanasan global juga sampai saat ini belum menemukan solusi terbaik. Pertemuan para kepala negara dan pemerintahan di Kopenhagen, Denmark beberapa waktu lalu, belum menghasilkan kesepakatan
124
bersama yang mengikat untuk mengurangi emisi CO2, sebagai salah satu gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global sampai perubahan iklim. Indonesia sebagai salah satu peserta, berpartisipasi secara mandiri akan mengurangi emisi CO2 sebesar 26% pada 2020, melalui pengurangan laju luasan hutan (deforestasi), baik dengan penebangan pohon, maupun akibat kebakaran. Melihat kondisi tersebut dan kaitan dalam mencapai target pembangunan 1.000 menara rusuna, maka diperlukan suatu optimasi atau eksplorasi tata cara pembangunan yang ramah lingkungan, seminimal mungkin menggunakan sumberdaya alam, khususnya kayu dan besi. Salah satu metoda pelaksanaan konstruksi yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan sistem beton pracetak (pre cast). Dengan sistem beton konvensional dibutuhkan lebih banyak kayu untuk cetakan beton berikut penyangganya, biasanya cetakan kayu ini hanya bisa dipakai 1-2 kali saja, selanjutnya dibuang, karena setelah dipakai akan terjadi perubahan bentuk dan sifat akibat air beton. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat bukti potensial akan manfaat teknologi dan sistem beton pracetak ini (Nurjaman dan Sijabat, 2007). Dengan demikian diharapkan, selain secara perencanaan sudah ramah lingkungan (green design), secara pelaksanaan konstruksi juga ramah lingkungan (green construction). Berkurangnya pemakaian bahan bangunan pada sistem ini, khususnya kayu, sudah barang tentu akan mengurangi penebangan pohon di hutan (deforestasi), sehingga memberikan kontribusi dalam mempertahankan luasan hutan, yang berfungsi sebagai penyerap CO2. Berbagai kajian dijadikan dasar dalam menyusun struktur hirarki penentuan alternatif kebijakan yang selanjutnya dianalisis menggunakan teknik AHP. Hasil proses hirarki analisis (AHP) menunjukan penilaian gabungan kriteria dan alternatif memiliki tingkat konsistensi yang baik, dengan nilai rasio konsistensi (CR) berkisar antara 0,00 hingga 0,089 pada semua elemennya. Penilaian ini menghasilkan nilai pembobotan pada setiap elemen, sekaligus memberikan gambaran prioritas pada setiap elemen tersebut. Hasil analisis AHP pemilihan bahan rusunawa ramah lingkungan disajikan pada Gambar 47.
125
125
Gambar 47
Hasil analisis AHP pemilihan bahan rusunawa ramah lingkungan.
126
Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut pendapat para pakar, dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan, aktor yang paling berpengaruh adalah pemerintah (0,473). Stakeholders lain yang cukup berperan adalah pelaku usaha (0,153). Pihak akademisi (0,154), pengelola (0,129), dan masyarakat (0,091) memiliki peran yang lebih kecil dalam pengelolaan. Prioritas pendapat pakar dalam pengembangan rusunawa disajikan pada Gambar 48.
Gambar 48 Prioritas pendapat pakar dalam pengembangan rusunawa.
Pemerintah menjadi prioritas utama. Hal ini disebabkan pemerintah mempunyai peran dalam pembuatan peraturan dan kebijakan yang terkait dengan penyelenggaraan perumahan. Kewajiban pemerintah dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat adalah mengadakan menyelenggarakan pembangunan secara adil untuk peningkatan kehidupan masyarakat dengan mengacu kepada UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sugandhy dan Hakim (2009) mengemukakan bahwa pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya pemberdayaan bagi berlangsungnya seluruh rangkaian proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Peran pemerintah sangat besar karena penyediaan material yang ramah lingkungan (ecoproperty) butuh biaya yang besar sehingga sulit dilakukan tanpa adanya dukungan pemerintah. Pemerintah perlu memberikan intensif bagi pengembangan untuk menekan biaya produksi.
127
Pelaku usaha juga merupakan stakeholder yang berperan penting dalam pembangunan fisik rusunawa, dalam pembangunan rusunawa diharapkan menggunakan material yang ramah lingkungan, desaian bangunan yang hemat energi, sehingga kelestarian lingkungan akan tetap terjaga. Stakeholder yang berpengaruh selanjutnya akademisi, hal ini disebabkan oleh karena adanya penelitian tentang pengembangan tekhnologi bahan bangunan yang ramah terhadap lingkungan. Mantera (2003) menyatakan bahwa dalam upaya menjaga perubahan lingkungan hidup, perkembangan teknologi yang merupakan hasil temuan ilmu pengetahuan memerlukan suatu penetapan prioritas riset dan mengusulkan penyelesaian bagi masalah jenis konstruksi dan bahan bangunan serta peran konstruksi dan bahan bangunan yang berwawasan lingkungan. Pengelola juga merupakan stakeholder yang mempunyai peran sebagai pengelola rusunawa. Masyarakat mempunyai peran yang sangat kecil diantara kelima stakeholder tersebut. Hal ini disebabkan masyarakatlah yang akan menghuni bangunan tersebut. Masyarakat mengharapakan mendapat tempat tinggal yang sehat, nyaman dan asri dilingkungan yang sehat. Hasil analisis AHP terhadap faktor-faktor dalam pengembangan rusunawa yang menjadi prioritas utama adalah kebijakan pemerintah, sumberdaya manusia, ekonomi masyarakat, sumberdaya alam, kebutuhan perumahan dan terakhir teknologi konstruksi.
Faktor-faktor dalam pengembangan rusunawa disajikan
pada Gambar 49.
Gambar 49 Faktor-faktor dalam pengembangan rusunawa.
128
Pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan berdasarkan faktor-faktornya harus memperhatikan aspek kebijakan pemerintah sebagai faktor dominan. Hal ini terlihat dari pembobotan setiap elemen yang menunjukkan elemen kebijakan pemerintah memiliki bobot paling besar yaitu 0,220. Kebijakan pemerintah menjadi faktor dominan guna mencapai keberhasilan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantera (2003) yang menyatakan bahwa sasaran jangka panjang dan menengah kebijaksanaan perumahan dicapai melalui pelaksanaan umum, strategi dan program kegiatan. Prinsip arah kebijaksanaan dan strategi bidang perumahan didasarkan pada Rencana Pembanguan Jangka Menengan Nasional 2014 yang melandasi pembangunan sektor perumahan dan permukiman serta terpadu. Sumber daya manusia perumahan mepunyai bobot nilai sebesar 0,157. Hal ini disebabkan sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor dalam pembangunan rusunawa. Dalam rangka mencapai hal tersebut sangat diperlukan sumber daya manusia yang handal untuk mewujudkan pembangunan rusunawa. Menurut Ervianto (2006) mengemukakan penggunaan metode yang baru dalam pembangunan rusunawa membutuhkan sumberdaya yang mampu merancang dan melaksanakannya. Kemampuan ini dapat diperoleh dengan ikut serta secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan/pelaksanaan tekhnologi baru. Kota Batam merupakan salah satu kota yang berkembang pesat saat ini. Pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan, sehingga kebutuhan akan perumahan menjadi salah satu prioritas bagi masyarakat di Kota Batam. Ekonomi masyarakat mempunyai bobot nilai sebesar 0,155. Dalam pembangunan rusunawa harus memperhatikan kemampuan masyarakat yang berpenghasilan menengah kebawah dan berpenghasilan rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wiwik dan Isnawati (2003) bahwa dalam pembangunan rusunawa, teknologi yang digunakan harus murah, terjangkau dan disesuaikan dengan kebutuhan golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Selanjutnya faktor sumber daya alam sebesar 0,154. Pembangunan rusunawa diharapkan secara teknis menggunakan pedoman teknis dengan standar industri indonesia, dimana perlu melakukan penyesuaian dengan perkembangan
129
tekhnologi, jenis konstruksi dan bahan bangunan. Sumber daya alam yang digunakan berasal dari lokal yang banyak didapat dari alam atau bahan organik dengan mudah didaur ulang sehingga tidak merusak lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantera (2003) jasa konstruksi yang tepat bagi masyarakat berdasarkan lokasi, waktu, keadaan dan tepat berdasarkan sumber daya yang ada. Demikian juga terhadap bahan baku/bahan bangunan dipergunakan disesuaikan dengan potensi lokal untuk dapat membantu pembangunan agar dapat menjadi berkelanjutan. Terakhir adalah faktor teknologi konstruksi sebesar 0,150. Salim (1979) menyatakan dari sisi teknologi pemilihan bahan sebaiknya menghindari adanya toksin atau racun dan diproduksi tidak bertentangan dengan alam. Penekanan peran sains dan teknologi dalam pembangunan permukiman adalah mencapai perlindungan
lingkungan
dan
perkembangan
manusia
terutama
dalam
pengembangan teknologi tepat guna. Selanjutnya pembangunan diarahkan kepada upaya menekan biaya serendah-rendahnya dengan mutu bangunan yang memadai serta mengurangi dampak lingkungan yang merugikan. Sementara itu faktor teknologi dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan mempunyai pengaruh tersendiri. .Hasil analisis AHP terhadap tujuan dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan adalah pemeliharaan kualitas lingkungan mendapat prioritas utama 0,386), selanjutnya penggunaan SDA (0,262), hemat energi (0,219) dan prioritas terakhir pemenuhan koefisien dasar bangunan (0,133). Tujuan dalam pengembangan dalam pengembangan rusunawa disajikan pada Gambar 50.
130
Gambar 50 Tujuan dalam pengembangan rusunawa. Berdasarkan aspek tujuan, maka pengembangan rusunawa melalui konstruksi
ramah
lingkungan
harus
memperhatikan
terjaganya
kualitas
lingkungan. Hal ini sangat penting dilakukan, agar terjadi keseimbangan dan kelestarian alam. Pemilihan material yang ramah lingkungan sebagai bahan baku sebaiknya menghindari adanya toksin atau racun dan diproduksi tidak bertentangan dengan alam (Salim 1979). Sebagai contoh, minimalkan penggunaan bahan bangunan yang berpotensi menimbulkan limbah besar seperti semen, besi beton dan aluminium. Memperbanyak taman hijau dan taman yang memang di butuhkan untuk mengatur keseimbang lingkungan sekitar. Tujuan selanjutnya adalah efisiensi penggunaan sumber daya alam (0,262). Pembangunan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan harus hemat dalam penggunaan sumber daya alam, dengan desain bangunan yang efisien dan seminimal mungkin menggunakan sumberdaya alam. Desain harus bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya seluruh siklus hidup bahan bangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan sampai pembongkaran. Penggunaan material bangunan, akan berkaitan dengan dua katagori lainnya, yaitu penggunaan material lokal dan meminimalisi penggunaan kayu baru. Penggunaan material lokal dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak, untuk transportasi yang pada akhirnya menghemat biaya. Hal ini disebabkan oleh penggunaan material lokal
131
akan memperpendek jarak tempuh kendaraan yang digunakan dalam proses pengiriman. Mengurangi penggunaan material kayu berkaitan dengan konservasi hutan. Aspek penggunaan energi yang hemat (0,219). Desain bangunan rusunawa yang hemat energi dapat dilakukan melalui membatasi lahan bangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisien bahan dan material ramah lingkungan. Atap-atap bangunan dikembangkan menjadi atap (roof garden, green roof) yang memiliki nilai ekologis tinggi (suhu udara turun, pencemaran berkurang, ruang hijau bertambah). Mengurangi penggunaan lampu dan memaksimalkan cahaya matahari untuk penerangan rumah di siang hari. Pemenuhan koefisien dasar bangunan (0,133) saat ini tidak terlalu menjadi permasalahan. Hal ini disebabkan koefisien dasar bangunan pada lantai dasar sudah diatas maksimal 20% dari daerah perencanaan. Kebijakan pembangunan perumahan secara vertikal diterapkan untuk perencanaan perumahan di sekitar kawasan inti pusat kota yang saat ini merupakan kawasan sangat padat yang sebagian besar merupakan kawasan kumuh dengan koefisien dasar bangunan (KDB) yang mendekati 80-90%. Hasil analisis AHP terhadap alternatif menunjukkan prioritas utama adalah pemanfaatan beton semi pracetak, pemanfaatan beton pracetak dan terakhir beton konvensional.
Hasil
selengkapnya
mengenai
hasil
pengembangan rusunawa disajikan pada Gambar 51.
Gambar 51 Alternatif dalam pengembangan rusunawa.
alternatif
terhadap
132
Alternatif terbaik bagi pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan adalah dengan pemanfaatan beton semi pracetak (0,453). Hal ini dianggap lebih baik daripada dengan pemanfaatan beton pracetak (0,446) dan beton konvensional (0,101). Pengembangan beton semi percetak menurut para pakar lebih lebih ramah terhadap lingkungan, murah dan lebih cepat pelaksanaan pembangunannya. Pendapat para pakar terhadap alternatif beton semi pracetak dengan pracetak berbeda tipis (0,008). Hal ini disebabkan perbedaan latar belakang ilmu masing-masing pakar. Para pakar yang berlatar belakang teknik konstruksi, lebih menginginkan pelaksanaan dengan beton pracetak saja, karena seluruh bagian konstruksi dilaksanakan dengan pracetak. Biaya pembangunan dengan sistem pracetak sedikit lebih murah bila dibandingkan dengan semi pracetak. Para pakar yang berlatar belakang sosial, lebih mengutamakan sistem beton semi pracetak, karena memberikan potensi dampak lingkungan lebih sedikit dari sistem beton pracetak (6 %). Selain itu, para pakar ini juga menginginkan adanya masa transisi dari penggunaan beton konvensional menjadi pracetak, dengan terlebih dahulu dilakukan dengan beton semi pracetak. Menurut Ervianto (2006) biaya konstruksi cendrung terus meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah tingginya upah tenaga kerja dan proses konstruksi yang dilakukan secara tradisional. Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, maka kemudian dikembangkan tekhnologi pracetak yang mengarah pada industrilisasi, dimana produk dihasilkan dengan produksi massal dan bersifat pengulangan. Menurut Gibb (1999) tekhnologi beton percetak telah lama diketahui dapat menggantikan operasi pembetonan tradisional yang dilakukan di lokasi proyek pada beberapa jenis konstruksi karena beberapa potensi manfaatnya. Beberapa prinsip yang dipercaya dapat memberikan manfaat lebih dari tekhnologi beton percetak ini antara lain terkait dengan waktu, biaya, kualitas, precability, keandalan, produktivitas, kesehatan, keselamatan, lingkungan, koordinasi, inovasi, reusability. Di Indonesia, hingga saat ini, telah banyak aplikasi tekhnologi beton percetak pada banyak jenis konstruksi dengan didukung oleh sekitar 46 perusahaan spesialisasi beton percetak, atau lebih dikenal dengan sebutan precaster (Sijabat dan Nurjaman, 2007). Abduh (2007) mengemukakan
133
bahwa precaster tersebut memiliki beragam tekhnologi beton percetak yang ditawarkan kebanyakan berupa beton percetak non-volumetrik atau komponen struktur pracetak yang tidak membentuk suatu volume struktur. Ikatan Ahli Percetakan dan Prategang Indonesia (IAPPI), sebagai asosiasi yang terkait dengan bidang percetak, beserta pihak lain telah menetapkan dan mengusahakan standar produk, sertifikasi produk, dan sertifikasi keahlian, untuk menjadikan tekhnologi sistim pracetak ini handal. Di Indonesia, atas kerjasama para anggota IAPPI dengan berbagai instansi, sejak tahun 1979 telah banyak penggunaan beton pracetak beserta transfer teknologi dan inovasi. Penerapan yang banyak dilakukan antara lain adalah pada bangunan rusunawa dengan jumlah mencapai 12.996 unit (kurang lebih 40% dari seluruh rusunawa yang dibangun di Indonesia). Dari penelitian yang telah dilakukan, terdapat potensi akan manfaat teknologi dan sistem beton pracetak untuk pembangunan rusunawa, maka telah ditemukan beberapa hal seperti di bawah ini (Sijabat dan Nurjaman, 2007): 1. Efisiensi biaya bisa mencapai 20% jika dibndingkan pada rancangan awal dengan sistem konvensional. 2. Kecepatan pelaksanaan dapat dirasakan, misalnya dari 4 bulan bisa menjadi 2,5 bulan pada suatu proyek. 3. Diperlukan sumberdaya manusia yang lebih terampil dibandingkan dengan sistem konvensional
4.6. Struktur Sistem Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Penggunaan beton semi pracetak dan beton pracetak dalam pembangunan rusunawa pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan bahan bakunya dari berbagai aspek, baik aspek teknis maupun non teknis dibandingkan dengan penggunaan beton konvensional.
Pengembangan
rusunawa yang didorong penuh oleh pemerintah juga harus merupakan bagian dari upaya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dalam sektor penyediaan permukiman.
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan tercapainya tujuan
pembangunan dari aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya.
134
Pengembangan permukiman dengan pola rusunawa ramah lingkungan sendiri melibatkan banyak pihak terkait dalam pelaksanaannya.
Para pihak
(stakeholders) tersebut terdiri dari institusi pemerintah, pihak swasta, masyarakat, hingga akademisi yang terkait dengan permasalahan pengembangan permukiman, khususnya rusunawa ramah lingkungan. Selain aktor pelaksana, pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan juga memiliki berbagai kendala yang harus dipecahkan dan diselesaikan secara tuntas dan terpadu.
Guna
menggambarkan keadaan dan memecahkan berbagai permasalahan tersebut, diperlukan suatu proses pengkajian sistem pengembangan rusunawa yang dapat menghasilkan model struktural yang memotret kompleksitas sistem yang dikaji. Teknik interpretive structural modelling (ISM) dapat digunakan untuk keperluan pengkajian tersebut.
Teknik ini menganalisis elemen sistem dan
menyajikannya dalam bentuk grafikal setiap hubungan langsung dari elemen sistem dan hierarkinya. Elemen sistem dapat berupa objek kebijakan, tujuan program, dan lain-lain tergantung dari tujuan pemodelannya.
Sedangkan
hubungan langsung dapat bervariasi dalam suatu konteks yang mengacu pada hubungan kontekstual antar elemen yang dianalisis. Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan melalui survai pakar menggunakan teknik ISM, diperoleh 2 (dua) elemen untuk penyusunan model pengembangan rusunawa yang terdiri dari: 1. Pelaku yang terlibat dalam pelaksanaan pengembangan rusunawa ramah lingkungan; 2. Kendala utama dalam pencapaian pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Kedua elemen tersebut masing-masing selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen. Pada setiap elemen dilakukan pembagian menjadi sejumlah sub-elemen sampai memadai. Identifikasi hubungan kontekstual antar sub-elemen dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan responden pakar. Struktur subelemen dalam suatu elemen akan diuraikan sebagai berikut di bawah ini. 4.6.1
Elemen Pelaku atau Institusi Terkait Sistem Pengembangan Rusunawa Melalui Konstruksi Ramah Lingkungan Komponen
sub-elemen
pelaku
yang
terlibat
dalam
pelaksanaan
pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan terdiri dari: (1)
135
Pemerintah Pusat; (2) Pemerintah Provinsi; (3) Pemerintah Kota Batam; (4) Kementerian Pekerjaan Umum; (5) Kementerian Perumahan Rakyat; (6) Dinas Pekerjaan Umum; (7) pengelola rusunawa; (8) pelaku usaha; (9) akademisi; (10) praktisi; (11) masyarakat; (12) Lembaga Swadaya Masyarakat.
Secara
operasional, pemerintah pusat diwakili oleh sektor yang paling terkait dengan pengembangan rusunawa ramah lingkungan, yaitu Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Kementerian Keuangan. Kedua lembaga ini sebagai wakil
pemerintah
pusat,
sangat
berperan
dalam
merencanakan
dan
menganggarkan pengembangan rusunawa ramah lingkungan di tingkat pusat. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen komponen pelaku yang terlibat dalam pelaksanaan pengembangan rusunawa. memperlihatkan
bahwa
sub-elemen
Kementerian
Pekerjaan
Tabel 39
Umum dan
Kementerian Perumahan Rakyat menjadi sub-elemen kunci dari elemen pelaku karena mempunyai daya pendorong paling besar dan tingkat ketergantungan paling rendah. Hal ini memberikan makna bahwa dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan, pelaku yang paling menentukan adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat. Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa untuk mendorong pengembangan rusunawa ramah lingkungan harus diberikan perhatian yang lebih fokus kepada kedua sub-elemen ini sedemikian rupa sehingga pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan menjadi fokus program kedua kementerian tersebut. Tabel 39 Matriks interaksi tunggal terstruktur (SSIM) elemen pelaku No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1
2 V
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
V
A
A
V
V
V
V
V
V
V
O
O
O
O
V
O
V
O
V
V
A
A
O
V
V
O
A
V
V
O
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
O
X
V
V
O
V
O
X
X
O
X
V
V
O
V
V
V
V X
136
Keterangan: No. 1 sampai dengan 12 adalah sub-elemen 1 sampai dengan sub-elemen 12 V = jika sub-elemen ke-i (baris) lebih penting dari sub-elemen ke-j (kolom) A = jika sub-elemen ke-j lebih penting dari sub-elemen ke-i X = jika sub-elemen ke-i sama penting dengan sub-elemen ke-j O = jika sub-elemen ke-i sama-sama tidak penting dengan sub-elemen ke-j
Matriks interaksi tunggal terstruktur atau structural self interaction matrix (SSIM) elemen pelaku tersebut menjadi dasar pembuatan matrik RM atau reachability matrix. Matrik RM dibuat berdasarkan notasi-notasi V (1,0), A (0,1), X (1,1), dan O (0,0). Hasil matrik RM elemen pelaku disajikan dalam Tabel 40. Tabel 40 Hasil reachability matrix (RM) elemen pelaku No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
2
0
1
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
3
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
1
1
4
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
5
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
6
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
1
7
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
8
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
9
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
10
0
0
1
0
0
1
0
1
0
1
1
1
11
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
12
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
Keterangan: No. 1 sampai dengan 12 adalah sub-elemen 1 sampai dengan sub-elemen 12
Selanjutnya matrik RM ini diperiksa transitivity rule-nya dan dikoreksi hingga membentuk matriks yang tertutup. Hasil perbaikan ini ditampilkan dalam Tabel 39 sebagai matriks RM revisi. Matriks ini juga menunjukkan ranking setiap sub-elemen pelaku berdasarkan daya pendorong (driver power) yang dimilikinya. Sub-elemen (4) Kementerian Pekerjaan Umum dan (5) Kementerian Perumahan Rakyat merupakan urutan teratas, diikuti oleh (1) Pemerintah Pusat (Bappenas dan Kemenkeu) pada urutan kedua. Urutan ketiga ditempati oleh 4 sub-elemen, terdiri dari: (3) Pemerintah Kota Batam; (6) Dinas Pekerjaan Umum; (8) pelaku usaha; dan (10) praktisi. Urutan terakhir ditempati oleh: (7) pengelola rusunawa; (9) akademisi; (11) masyarakat; (12) Lembaga Swadaya Masyarakat.
137
Hal ini juga menunjukan tingkatan hirarki (level) struktur pelaku terkait pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
Tabel 41 Hasil reachability matrix (RM) revisi elemen pelaku No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Drv
R
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
10
2
2
0
1
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
5
-
3
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
8
3
4
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
11
1
5
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
11
1
6
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
8
3
7
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
4
4
8
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
8
3
9
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
4
4
10
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
8
3
11
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
4
4
12
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
4
4
Dep
3
4
7
1
1
7
12
7
12
7
12
12
L
3
-
2
4
4
2
1
2
1
2
1
1
Keterangan: No. 1 sampai dengan 12 adalah sub-elemen 1 sampai dengan sub-elemen 12 Drv = daya pendorong R = peringkat Dep = ketergantungan L = level atau hierarki
Gambaran klasifikasi setiap sub-elemen pelaku berdasarkan daya pendorong dan tingkat ketergantungan disajikan secara lebih jelas pada Gambar 52. Pengelompokan ini menghasilkan 5 kelompok sub-elemen yang menempati 4 kuadran yang tersedia. Kelompok pertama terdiri dari (4) Kementerian Pekerjaan Umum dan (5) Kementerian Perumahan Rakyat, serta kelompok kedua yang hanya terdiri dari (1) Pemerintah Pusat menempati kuadran IV atau kuadran independent. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok ini memiliki kekuatan pendorong yang besar terhadap keberhasilan pengembangan rusunawa ramah lingkungan.
Meskipun berada pada kuadran yang sama, berdasarkan
independensi dan daya pendorongnya (4) Kementerian Pekerjaan Umum dan (5) Kementerian Perumahan Rakyat sebagai sektor paling terkait, masih memiliki
138
daya pendorong yang lebih baik dibandingkan (1) Pemerintah Pusat (Bappenas dan Kemenkeu). Kuadran III atau kuadran linkage ditempati oleh 4 sub-elemen, terdiri dari: (3) Pemerintah Kota Batam; (6) Dinas Pekerjaan Umum; (8) pelaku usaha; dan (10) praktisi. Hal ini menunjukkan bahwa keempat sub-elemen ini merupakan kelompok penghubung yang bisa mendorong keberhasilan pengembangan konstruksi ramah lingkungan. Kelompok linkage ini memiliki karakteristik daya pendorong yang tinggi, tetapi sekaligus memiliki tingkat kebergantungan (dependensi) yang tinggi juga. Setiap sub-elemen dalam kelompok ini saling bergantung, serta bergantung juga kepada kelompok independent (Pemerintah Pusat, Kementerian PU, dan Kementerian Pera) pada kuadran IV. Hal ini juga mengindikasikan bahwa bagi siapa saja yang berkaitan dengan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan harus menelaah secara berhatihati karena hubungannya antar sub-elemen pada kelompok ini tidak stabil. Ketidak stabilan hubungan antar elemen ini disebabkan karena keempat subelemen tersebut memiliki daya dorong yang tinggi dan sekaligus memiliki tingkat ketergantungan satu sama lain yang tinggi.
[III] LINKAGE [IV] INDEPENDENT
[I] AUTONOMOUS
[II] DEPENDENT
Gambar 52 Klasifikasi elemen pelaku berdasarkan tingkat ketergantungan dan daya pendorongnya
139
Kuadran II atau kuadran dependent ditempati oleh: (7) pengelola rusunawa; (9) akademisi; (11) masyarakat; (12) Lembaga Swadaya Masyarakat. Kelompok ini memiliki daya pendorong yang relatif kecil dan tingkat ketergantungan tinggi baik antar sub-elemen, maupun terhadap kelompok lain. Hal ini bisa menunjukan bahwa kelompok ini tidak memiliki kemampuan dan kapabilitas dalam mendorong keberhasilan pengembangan rusunawa ramah lingkungan, atau sesungguhnya mereka memiliki kemampuan dan kapabilitas, tetapi belum diberi peran secara signifikan dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan ini. Selain semua pelaku di atas, masih ada sub-elemen (2) Pemerintah Provinsi yang menempati kuadran I atau kuadran autonomous. Kelompok pelaku pada kuadran ini umumnya tidak terlalu terkait dengan keberhasilan pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Meskipun Pemerintah Provinsi masih terkait dan bisa dipengaruhi oleh kelompok pada kuadran IV (Pemerintah Pusat, Kementerian PU, dan Kementerian Perumahan Rakyat). Selain itu, Pemerintah Provinsi juga terkait dan mampu mempengaruhi kelompok pada kuadran II (pengelola rusunawa, akademisi, masyarakat, dan LSM). Hubungan kontekstual dan level hierarki elemen pelaku pengembangan rusunawa ramah lingkungan disajikan pada Gambar 53. Struktur hierarki tersebut menunjukkan bahwa sub-elemen Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat berada pada posisi tertinggi yaitu pada level 4.
Hal ini
menunjukkan bahwa sub-elemen tersebut merupakan sub-elemen yang memiliki kekuatan penggerak dan pengaruh terbesar terhadap sub-elemen lain yang berada di level yang lebih rendah. Hal yang menarik pada level ini adalah meskipun menjadi penggerak utama keberhasilan pengembangan rusunawa ramah lingkungan, tetapi kedua sub-elemen dalam level ini tidak saling terkait. Ketidakterkaitan antar Kementerian PU dan Kementerian Perumahan Rakyat ini bisa mengindikasikan bahwa masih adanya ego sektor yang mengakibatkan lemahnya komunikasi dan koordinasi antar kedua kementerian ini Kelemahan ini masih bisa ditutupi dengan keberadaan Pemerintah Pusat (Bappenas dan Kemenkeu) pada level kedua tertinggi (level 3) yang terkait terhadap keduanya. Pemerintah Pusat harus bisa mendorong komunikasi dan koordinasi antar kedua kementerian ini. Selain itu, Pemerintah Pusat harus bisa
140
mendorong kedua kementerian ini untuk saling membuka diri dan menghilangkan ego sektor. Sehingga di masa mendatang permasalahan ini bisa teratasi guna keberhasilan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Pemerintah Kota Batam, Dinas Pekerjaan Umum, pelaku usaha dan praktisi yang berada pada level 2 merupakan kelompok penghubung yang bisa mendorong keberhasilan. Sementara level terakhir (level 1) ditempati pengelola rusunawa, akademisi, masyarakat dan LSM. Semua sub-elemen dalam kedua level ini saling terkait dan memiliki peranan saling mendukung dalam mencapai keberhasilan pengembangan rusunawa dengan konstruksi ramah lingkungan.
Gambar 53 Level hirarki dan hubungan dalam elemen pelaku.
141
4.6.2 Kendala Utama Terkait Sistem Pengembangan Rusunawa Melalui Konstruksi Ramah Lingkungan Komponen sub-elemen kendala utama yang menghambat pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan terdiri dari: (1) kurangnya sosialisasi; (2) terbatasnya kualitas sumber daya manusia; (3) kurang tersedianya sumber daya alam; (4) lemahnya pengawasan; (5) terbatasnya bahan bangunan ramah lingkungan; (6) rendahnya inovasi; (7) terbatasnya teknologi; (8) belum semua kontraktor paham; (9) keterbatasan peralatan; (10) belum semua daerah ada beton mutu tinggi; (11) keraguan masyarakat; (12) sulitnya mengurus perizinan; (13) kurangnya bantuan perbankan; (14) belum adanya sop (standart operating procedure) pelaksanaan; (15) belum adanya sop (standart operating procedure) pemeliharaan; (16) gagal konstruksi; dan (17) pekerjaan terlambat. Tabel 42 Matriks interaksi tunggal terstruktur (SSIM) elemen kendala utama No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
V
O
V
V
V
V
V
V
O
V
V
V
V
V
V
V
O
V
O
V
V
X
V
V
V
O
V
V
V
V
V
A
X
X
A
A
O
X
A
V
V
V
V
A
X
V
V
V
A
V
V
X
O
V
V
V
V
V
X
A
A
A
X
A
O
V
V
V
A
X
A
A
A
X
A
V
V
V
V
A
X
A
A
V
A
V
V
V
V
X
V
V
O
V
V
V
V
V
V
V
V
A
V
V
V
V
X
V
A
V
V
V
V
A
X
O
O
O
O
O
O
X
X
X
A
A
X
X
A
A
X
A
A
A
16 17
Keterangan: No. 1 sampai dengan 12 adalah sub-elemen 1 sampai dengan sub-elemen 12 V = jika sub-elemen ke-i (baris) lebih penting dari sub-elemen ke-j (kolom) A = jika sub-elemen ke-j lebih penting dari sub-elemen ke-i X = jika sub-elemen ke-i sama penting dengan sub-elemen ke-j O = jika sub-elemen ke-i sama-sama tidak penting dengan sub-elemen ke-j
A V
142
Tabel 42 memperlihatkan penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen komponen kendala utama yang menghambat pelaksanaan pengembangan rusunawa. Hubungan kontekstual antar kendala tersebut disusun dalam matriks interaksi tunggal terstruktur atau structural self interaction matrix (SSIM) elemen pelaku.
Tabel 43 Hasil reachability matrix (RM) elemen kendala utama No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1
1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0
1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1
1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0
1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0
0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1
1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0
1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1
1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1
Keterangan:No. 1 sampai dengan 12 adalah sub-elemen 1 sampai dengan sub-elemen 12
Matriks interaksi tunggal terstruktur atau structural self interaction matrix (SSIM) elemen kendala utama tersebut menjadi dasar pembuatan matrik RM atau reachability matrix. Matrik RM dibuat berdasarkan notasi-notasi V (1,0), A (0,1), X (1,1), dan O (0,0). Hasil matrik RM elemen pelaku disajikan dalam Tabel 43. Selanjutnya matrik RM ini diperiksa transitivity rule-nya dan dikoreksi hingga membentuk matriks yang tertutup. Hasil perbaikan ini ditampilkan dalam Tabel 40 sebagai matriks RM revisi. Matriks ini juga menunjukkan ranking setiap
143
sub-elemen kendala utamanya berdasarkan daya pendorong (driver power) yang dimilikinya.
Tabel 44 Hasil reachability matrix revisi elemen kendala utama No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Drv
R
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
17
1
2
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
16
2
3
0
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
1
1
1
1
0
1
9
5
4
0
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
14
3
5
0
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
1
1
1
1
0
1
9
5
6
0
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
1
1
1
1
0
1
9
5
7
0
0
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
12
4
8
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
16
2
9
0
0
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
12
4
10
0
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
1
1
1
1
0
1
9
5
11
0
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
14
3
12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
4
6
13
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
4
6
14
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
4
6
15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
4
6
16
0
0
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
12
4
17
0
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
1
1
1
1
0
1
9
5
Dep
1
3
13
5
13
13
8
3
8
13
5
17
17
17
17
8
13
L
6
5
2
4
2
2
3
5
3
2
4
1
1
1
1
3
2
Keterangan: No. 1 sampai dengan 12 adalah sub-elemen 1 sampai dengan sub-elemen 12 Drv = daya pendorong R = peringkat Dep = ketergantungan L = level atau hierarki
Sub-elemen (1) kurangnya sosialisasi merupakan urutan teratas, diikuti oleh (2) terbatasnya kualitas sumber daya manusia dan (8) belum semua kontraktor paham. Urutan ketiga ditempati oleh 2 sub-elemen, terdiri dari: (4) lemahnya pengawasan; dan (11) keraguan masyarakat. Urutan keempat ditempati oleh: (7) terbatasnya teknologi; (9) keterbatasan peralatan; dan (16) gagal konstruksi. Urutan kelima ditempati oleh 5 sub-elemen, yaitu: (3) kurang tersedianya sumber
144
daya alam; (5) terbatasnya bahan bangunan ramah lingkungan; (6) rendahnya inovasi; (10) belum semua daerah ada beton mutu tinggi; dan (17) pekerjaan terlambat. Urutan terakhir ditempati oleh: (12) sulitnya mengurus perizinan; (13) kurangnya bantuan perbankan; (14) belum adanya sop (standart operating procedure) pelaksanaan; (15) belum adanya sop (standart operating procedure) pemeliharaan. Hal ini juga menunjukan tingkatan hirarki (level) struktur kendala utama terkait pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
[IV] INDEPENDENT
[I] AUTONOMOUS
[III] LINKAGE
[II] DEPENDENT
Gambar 54 Klasifikasi elemen kendala utama berdasarkan tingkat ketergantungan dan daya pendorongnya. Gambaran klasifikasi setiap sub-elemen kendala utama berdasarkan daya pendorong dan tingkat ketergantungan disajikan secara lebih jelas pada Gambar 54. Pengelompokan ini menghasilkan 6 kelompok sub-elemen yang menempati 4 kuadran yang tersedia. Kelompok pertama terdiri dari 4 level tertinggi (ranking teratas) menempati kuadran IV atau kuadran independent. Kelompok di kuadran IV terdiri dari sub-elemen: (1) kurangnya sosialisasi; (2) terbatasnya kualitas
145
sumber daya manusia; (8) belum semua kontraktor paham; (4) lemahnya pengawasan;
dan (11) keraguan masyarakat; (7) terbatasnya teknologi; (9)
keterbatasan peralatan; dan (16) gagal konstruksi. Kelompok pada kuadran IV menunjukkan bahwa setiap sub-elemen dalam kelompok ini memiliki independensi yang tinggi atau tidak terlalu tergantung dari sub-elemen dari kelompok lainnya.
Selain itu, posisi setiap sub-elemen
menunjukkan besarnya daya pendorong terhadap penyelesaian kendala lainnya dalam mencapai keberhasilan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Dalam kelompok ini, sub elemen (1) kurangnya sosialisasi menjadi elemen kunci yang memiliki indepedensi dan daya pendorong tertinggi. Elemen kunci ini, menjadi pendorong semua sub-elemen di semua kelompok dalam mengatasi kendala utama yang ada.
Dalam kuadran ini masih terdapat 3
kelompok lainnya yang didorong oleh elemen kunci, sekaligus mendorong kelompok sub-elemen pada tingkat berikutnya yang menempati kuadran III dan IV. Kelompok kedua menempati kuadran III atau kuadran linkage, terdiri dari level 5, yaitu sub-elemen: (3) kurang tersedianya sumber daya alam; (5) terbatasnya bahan bangunan ramah lingkungan; (6) rendahnya inovasi; (10) belum semua daerah ada beton mutu tinggi; dan (17) pekerjaan terlambat. Setiap subelemen pada kelompok ini menjadi penghubung (linkage) keberhasilan pengembangan rusunawa ramah lingkungan.
Kelompok linkage ini memiliki
karakteristik daya pendorong yang tinggi, tetapi sekaligus memiliki tingkat kebergantungan (dependensi) yang tinggi juga.
Setiap sub-elemen dalam
kelompok ini saling bergantung, serta bergantung juga kepada kelompok independent.
146
Gambar 55 Level hirarki dan hubungan dalam elemen kendala utama
Kelompok terakhir menempati kuadran II atau kuadran dependent yang juga merupakan level terendah (rangking terakhir), terdiri dari sub-elemen: (12) sulitnya mengurus perizinan; (13) kurangnya bantuan perbankan; (14) belum adanya sop (standart operating procedure) pelaksanaan; (15) belum adanya sop (standart operating procedure) pemeliharaan. Sub-elemen dalam kelompok ini
147
menjadi kendala terakhir yang harus dipecahkan dengan cara menyelesaikan kendala yang lebih esensial pada level di atasnya. Semua kendala yang ada harus dipecahkan secara menyeluruh, karena setiap elemen saling berkait dan saling bergantung.
Semua sub-elemen tidak ada yang masuk ke dalam kuadran I
(autonomous) yang menunjukkan bahwa semua kendala utama yang ada memiliki keterkaitan satu sama lain, baik dari sisi kebergantungan maupun dari sisi daya pendorongnya. 4.7
Sistem Dinamik Pengelolaan Rusunawa Melalui Konstruksi Ramah Lingkungan Pemukiman sebagai salah satu kebutuhan pokok penduduk, khususnya di
Pulau Batam memiliki keterkaitan dengan berbagai sektor kehidupan lainnya. Perkembangan pemukiman terutama didorong oleh pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
Kota Batam sendiri menurut data statistik memiliki
pertumbuhan penduduk sebesar 8,1% pada tahun 2010 dan rata-rata 9,32% pada kurun 5 tahun terakhir , yang didorong oleh pertumbuhan alami dan pertumbuhan tenaga kerja yang masuk dari luar Pulau Batam. Fenomena masuknya para tenaga kerja migran ini, telah mendorong tumbuhnya pemukiman bermasalah (perumahan liar - ruli, perumahan kumuh) di berbagai wilayah Kota Batam. Keberadaan Kota Batam sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tentu saja akan menarik berbagai kalangan untuk terlibat dan mendapatkan manfaat dari sisi ekonomi. Para pendatang, terutama tenaga kerja telah mendorong pertumbuhan penduduk Kota Batam, sekaligus meningkatkan kebutuhan pemukiman sebagai sarana tempat tinggalnya.
Keberadaan tenaga kerja ini akan mendorong
pertumbuhan ekonomi di Kota Batam, tetapi juga bisa menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Hal ini disebabkan sebagian besar (65%) penduduk di Kota Batam bekerja pada sektor industri yang tersebar di 1.548 perusahaan. Keberadaan tenaga kerja yang mendorong lonjakan pertumbuhan penduduk ini juga mengakibatkan berbagai masalah sosial dan lingkungan.
Kebutuhan
pemukiman bagi para tenaga kerja mendorong tumbuhnya perumahan bermasalah. Hal ini menjadi masalah sosial, sekaligus masalah lingkungan karena lahan yang digunakan banyak yang berasal lahan hijau di Kota Batam.
148
Guna menunjang infrastruktur pemukiman bagi penduduk yang terus berkembang dan menghilangkan pertumbuhan rumah bermasalah tersebut, pemerintah daerah bersama pemerintah pusat terus mengembangkan pemukiman yang bersifat vertikal, seperti rusunawa dan rusunami.
Hal ini untuk
mengantisipasi terbatasnya lahan yang ada di Pulau Batam. Pengembangan rusunawa dan rusunami merupakan salah satu solusi memecahkan permasalahan sosial akibat tumbuhnya perumahan bermasalah (ruli). Kondisi ruli yang kumuh, padat, kurang terjaga sanitasi dan kenyamanannya, sering menimbulkan permasalahan sosial.
Kertidakteraturan ruli juga bisa
mengganggu penataan ruang yang dilakukan pemerintah kota, serta menimbulkan permasalahan lingkungan, seperti kesalahan penggunaan lahan dan timbulan limbah domestik. Pembangunan rusunawa sebagai salah satu alternatif teknologi bisa memecahkan berbagai hal, antara lain keterbatasan lahan, efisiensi penggunaan bahan ramah lingkungan, dan pemanfaatan tenaga kerja terampil. Diagram sebab akibat dalam (causal loop) pengembangan kawasan permukiman Kota Batam, khususnya pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan disajikan pada bab sebelumnya (Bab III). Secara umum diagram sebab akibat tersebut menggambarkan berbagai parameter terkait sistem pengembangan pemukiman. Sistem ini sendiri terdiri dari beberapa sub-sistem yang dapat dikelompokkan berdasarkan isu terkait pembangunan berkelanjutan. Sub-sistem tersebut terdiri dari sub-sistem sosial-kependudukan, sub-sistem lingkungan
fisik,
dan
sub-sistem
perekonomian
daerah.
Ketiganya
menggambarkan tiga pilar pembangunan berupa aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan (ekologi) dalam pengembangan pemukiman secara berkelanjutan di Kota Batam. Guna melakukan simulasi terhadap model yang dibangun, diagram sebab akibat tersebut menjadi dasar perancangan stock-flow diagram (SFD). Diagram SFD ini disusun dengan bantuan perangkat lunak Powersim Studio 5.0. Diagram yang disajikan dalam Gambar 56 ini menggambarkan aliran energi, materi, dan informasi terkait pengembangan pemukiman di Kota Batam.
149
Gambar 56
Stock-flow diagram model pengembangan pemukiman di Kota Batam. 149
150
150
Gambar 56 (lanjutan)
151
4.7.1
Sub-sistem Sosial Kependudukan Sub-sistem sosial kependudukan terdiri dari parameter utama berupa jumlah
penduduk dan tenaga kerja.
Selain itu terdapat parameter turunan berupa
pertambahan jumlah penduduk yang terdiri dari kelahiran dan imigrasi, serta pengurangan jumlah penduduk yang terdiri dari kematian dan emigrasi. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2010 sampai 2030.
Hal ini disebabkan secara kumulatif laju
tingkat pertumbuhan penduduk lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengurangan penduduk. Laju pertambahan penduduk ini terdiri dari jumlah penduduk eksisiting ditambah dengan jumlah kelahiran dan jumlah imigrasi yang masuk ke Kota Batam.
Jumlah kelahiran dipengaruhi oleh fraksi kelahiran
sebesar 1,7%. Sementara jumlah imigrasi secara signifikan dipengaruhi fraksi imigrasi sebesar 9,1%. Laju pertambahan penduduk secara positif ini diimbangi dengan laju pengurangan penduduk yang bersifat negatif (negative growth). pengurangan penduduk
Laju
ini terdiri dari jumlah penduduk eksisiting dikurangi
dengan jumlah kematian dan jumlah emigrasi yang keluar dari Kota Batam. Jumlah kematian dipengaruhi oleh fraksi kematian sebesar 0,7%.
Sementara
jumlah imigrasi secara signifikan dipengaruhi fraksi emigrasi sebesar 2%. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk disajikan pada Gambar 57 dan Tabel 44. Grafik jumlah penduduk memperlihatkan prediksi peningkatan yang signifikan mulai tahun 2010 sebanyak 992.095 jiwa sampai menjadi 4.710.501 jiwa pada tahun 2030.
Jumlah Penduduk (jiwa)
152
4.000.000
3.000.000
Jumlah Penduduk
2.000.000
Tenaga Kerja
1.000.000
0 2010
2015
2020
2025
2030
Tahun
Gambar 57 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja di Kota Batam. Tabel 45 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja di Kota Batam Tahun
Jumlah Penduduk (jiwa)
2010 2015 2020 2025 2030
992.095 1.464.474 2.161.774 3.191.087 4.710.501
Tenaga Kerja (jiwa) 384.04 566.898 836.823 1.235.270 1.823.435
Jumlah tenaga kerja yang terserap di Kota Batam dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan fraksi tenaga kerja. Grafik jumlah tenaga kerja terserap memperlihatkan prediksi peningkatan yang signifikan mulai tahun 2010 sampai tahun 2030. Hal ini didorong oleh laju pertumbuhan penduduk yang sebagian besar disebabkan emigrasi penduduk yang mencari kerja di Kota Batam. Tenaga kerja yang bisa terserap sebesar 384.040 jiwa pada tahun 2010 dan akan terus meningkat hingga mencapai 1.823.435 jiwa pada tahun 2030. Penyerapan yang terjadi relatif tinggi berkisar 38,71% dari jumlah penduduk setiap tahunnya.
Hal ini dimungkinkan dengan banyaknya perusahaan yang
beroperasi di Kota Batam, sehingga alternatif lapangan kerja baru di bidang industri, yang bisa menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja.
153
4.7.2
Sub-sistem Lingkungan Fisik Sub-sistem lingkungan fisik terdiri dari parameter utama berupa
meningkatnya kebutuhan pemukiman yang berdampak pada lingkungan, seperti penggunaan lahan dan bahan bangunan, serta dampaknya terhadap penyerapan karbon dioksida (CO2). Pertumbuhan penduduk yang mendorong pertumbuhan tenaga kerja, pada akhirnya juga mendorong kebutuhan penyediaan pemukiman bagi penduduk termasuk para tenaga kerja tersebut. Penyediaan pemukiman tentu saja membutuhkan lahan bagi pembangunannya. Kebutuhan pemukiman bagi tenaga kerja bisa melalui pembangunan rumah tapak (landed house) atau rumah susun (rusun). Pilihan pembangunan jenis rumah ini berimplikasi pada kebutuhan lahan yang akan digunakan. Selain kebutuhan lahan, pembangunan pemukiman juga akan mendorong pemanfaatan sumber daya alam sebagai bahan bangunan. Salah satunya adalah pemanfaatan kayu sebagai bahan bangunan. Pemanfaatan kayu sebagai bahan bangunan juga akan sangat bervariasi, tergantung pilihan jenis rumah dan teknologi yang digunakan.
Rumah tapak memerlukan kayu lebih banyak
dibandingkan dengan rusun. Rusun dengan beton konvensional juga memerlukan kayu lebih banyak dibandingkan rusun dengan beton semi pracetak. Ditinjau dari aspek lingkungan, penghematan penggunaan kayu ini akan berdampak pada berkurangnya penebangan pohon atau penggundulan hutan. Keuntungan ini akan berlanjut dengan terjaganya fungsi pohon sebagai penyerap CO2 di alam. • Pemukiman Hasil simulasi terhadap kebutuhan dan pemenuhan pemukiman bagi penduduk di Kota Batam disajikan pada Gambar 58. Kebutuhan pemukiman direpresentasikan dalam bentuk unit rusun/rumah tapak berdasarkan jumlah pertumbuhan penduduk yang diperkirakan belum memiliki rumah (tenaga kerja dan non tenaga kerja). Secara umum, hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk mendorong kebutuhan pemukiman, termasuk pemukiman bermasalah (rumah liar, ruli).
154
Jumlah Rumah (unit)
300.000
Kebutuhan Unit Rusun TK Pemenuhan Unit Rusun TK Kebutuhan Rumah Non TK Unit Rusun TK Belum Terpenuhi
200.000
Rumah Bermasalah TK Pengurangan Rumah Bermasalah TK
100.000
0
2010
2015
2020
2025
2030
Tahun
Gambar 58 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman tenaga kerja di Kota Batam. Berdasarkan asumsi 30% dari jumlah tenaga kerja di Kota Batam belum memiliki rumah, maka bisa disimulasikan kebutuhan unit rumah setiap tahunnya. Kebutuhan unit rumah hasil simulasi diperkirakan mencapai 63.367 unit (rumah tapak atau rusun) pada tahun 2010 untuk semua tenaga kerja yang belum memiliki rumah.
Jika tidak dilakukan pemenuhan terhadap kebutuhan pemukiman,
diperkirakan kebutuhan pemukiman tersebut akan meningkat menjadi 300.867 unit rumah pada tahun 2030. Hal ini juga akan berdampak pada bertambahnya rumah bermasalah di Kota Batam. Tabel 46 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman tenaga kerja di Kota Batam. Tahun
Kebutuhan Unit Rusun TK (unit)
Rumah Bermasalah TK (unit)
Pengurangan Rumah Bermasalah TK (unit)
Pemenuhan Unit Rusun (unit)
Unit Rusun Belum Terpenuhi (unit)
2010 2015 2020 2025
63.366,60 93.538,17 138.075,72 203.819,53
12.673,32 18.707,63 27.615,14 40.763,91
9.793,32 9.918,57 793,05 0
2.880,00 8.789,06 26.822,09 81.854,52
60.486,60 84.749,10 111.253,63 121.965,00
2030
300.866,79
60.173,36
0
249.800,18
51.066,61
155
Kebijakan pemenuhan kebutuhan pemukiman tenaga kerja di Kota Batam akan diakomodasi dengan pembangunan twin block (TB) rusun. Setiap rusun diasumsikan memiliki 96 unit rumah tinggal beserta fasilitas umumnya. Saat ini terdapat 30 TB rusun eksisting yang terdiri dari 2.880 unit rumah tinggal dan bisa menampung 11.520 jiwa tenaga kerja.
Jika dilakukan pengembangan rusun
secara bertahap, maka akan ada pengurangan kebutuhan pemukiman setiap tahunnya. Hal ini bisa terjadi, jika prosentase peningkatan pembangunan rusun lebih besar dari prosentase peningkatan jumlah penduduk di Kota Batam. Menurut Dinas Tata Kota Batam (2009) diperlukan sedikitnya 756 unit TB untuk memenuhi kebutuhan pemukiman tenaga kerja pada tahun 2011.
Jika
kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dalam waktu 20 tahun, maka setidaknya pemerintah harus membangun rata-rata 38 unit TB rusun atau rata-rata 3.629 unit rumah tinggal setiap tahunnya. Hal ini sebanding dengan pembangunan TB rusun sebanyak 127% per tahun dari kondisi eksisting yang ada (30 unit). Kondisi ini belum termasuk pertumbuhan kebutuhan pemukiman akibat peningkatan jumlah tenaga kerja setiap tahunnya. Keterbatasan pemerintah dalam membangun pemukiman yang hanya mencapai 25% unit TB rusun dari kondisi eksisting yang ada akan menghasilkan 8.789 unit rumah tinggal atau setara 92 unit TB rusun pada tahun 2015. Jika hal ini terus dilakukan maka pada tahun 2030 akan dicapai pembangunan sekitar 249.800 unit rusun atau setara 2.602 unit TB rusun.
Hal ini setara dengan
pemenuhan 83% kebutuhan rusun pada tahun 2030. Pemenuhan kebutuhan tersebut bisa menekan angka kebutuhan pemukiman dari tahun ke tahun. Hal ini juga akan mengurangi keberadaan rumah bermasalah yang jika dibiarkan diperkirakan akan berkembang hingga sekitar 60.173 unit pada tahun 2030. Penerapan kebijakan pembangunan pemukiman sebanyak 25% setiap tahun tersebut diharapkan mampu mengurangi hingga menghapuskan keberadaan rumah bermasalah pada tahun 2020. • Penggunaan Lahan Kebutuhan akan pemukiman juga akan mendorong kebutuhan terhadap luas lahan pemukiman. RTRW 2004-2014 Kota Batam telah mengalokasikan lahan
156
pemukiman sebesar 14.136,14 ha (141.361.400 m2) dari 47.325,27 ha lahan kawasan budidaya. Luas alokasi lahan pemukiman ini setara dengan 13,61% dari luas keseluruhan wilayah Kota Batam (103.843,22 ha) atau setara 25% dari luas kawasan budidaya (56.517,95 ha). Kebutuhan lahan pemukiman yang disimulasikan sebelumnya akan mengurangi alokasi lahan pemukiman yang tersedia di Kota Batam. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam Tahun 2004-2014 (Perda Kota Batam Nomor 2 tahun 2004). Menurut RTRW Kota Batam, alokasi lahan pemukiman seluas 14.136,14 ha atau sekitar 13,61% dari luas keseluruhan Kota Batam. Hasil simulasi menunjukkan alokasi luas lahan pemukiman akan segera habis digunakan sekitar tahun 2023 jika pemenuhan kebutuhan pemukiman dipenuhi menggunakan rumah tapak (Gambar 59).
Hal ini bisa diantisipasi
dengan menerapkan pemenuhan melalui rusun yang hingga tahun 2030 baru mencapai 12.970,05 ha, atau masih menyisakan sekitar 1.166,09 ha alokasi lahan pemukiman (Tabel 44).
Luas Lahan (ha)
15.000
10.000
Kebutuhan Lahan Pemukiman dgn Rumah Tapak Luas Alokasi Lahan Pemukiman Lahan Permukiman Eksisting Luas Lahan Rusun Kebutuhan Lahan rusun & Rumah Tapak
5.000
0
2010
2015
2020 Tahun
2025
2030
Gambar 59 Hasil simulasi kebutuhan lahan pemukiman di Kota Batam. Setiap TB rusunawa yang terdiri dari 96 unit membutuhkan lahan 3.000 m2, dibandingkan dengan kebutuhan rumah tapak dengan 96 unit tersebut dibutuhkan lahan 14.400 m2 dengan asumsi setiap rumah tapak membutuhkan lahan 150 m2. Dengan demikian pada tahun 2015 akan diperoleh penghematan luas lahan sebanyak 860 ha selanjutnya pada tahun
157
2030 menjadi 5.409 ha. Penghematan penggunaan lahan tersebut dapat digunakan untuk menambah ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Batam yang berfungsi untuk hutan kota. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
disebutkan
bahwa
RTH
adalah
area
memanjang/jalur
dan/atau
mengelompok, yang penggunaanya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman,baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota; dan proporsi RTH Publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Hutan kota sebagai bagian dari RTH dapat menyerap hasil negatif dari kota antara lain: suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya habitat burung. Pengelompokan hutan kota menurut sifat pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan sangat terkait dengan perubahan suhu, kelembaban, kebisingan, debu, populasi, distribusi burung dan estetika. Pengelompokan hutan kota berdasarkan hubungan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan antara lain: jalur, menyebar, bergerombol, dua strata dan berstrata banyak. Selanjutnya dikatakan bahwa hutan kota berpengaruh terhadap beberapa parameter lingkungan antara lain penurunan suhu, peningkatan kelembaban, penurunan kebisingan, dan penurunan kadar debu (Zoer’aini, 2005), Tabel 47 Hasil simulasi kebutuhan lahan pemukiman di Kota Batam. Tahun
Kebutuhan Lahan Pemukiman dgn Rumah Tapak (ha)
Lahan Pemukiman Eksisting (ha)
Luas Lahan Rusun (ha)
Kebutuhan Lahan Rusun & Rumah Tapak (ha)
2010
9.363,52
6.544,76
9,00
9.363,52
2015
10.797,26
7.120,30
27,47
9.937,01
2020
12.647,68
7.746,45
83,82
10.677,18
2025
15.089,78
8.427,67
255,80
11.654,02
2030
18.379,85
9.168,80
780,63
12.970,05
• Penggunaan Kayu Parameter luas lahan pemukiman juga mendorong penggunaan sumberdaya alam sebagai bahan bakunya. Salah satu sumberdaya alam yang kritis untuk digunakan adalah penggunaan kayu untuk bahan baku rumah.
Simulasi
penggunaan kayu untuk rumah tapak dan rumah susun tersebut disajikan dalam
158
Gambar 60.
Penggunaan kayu untuk rumah tapak memiliki perbedaan yang
cukup signifikan dibandingkan dengan penggunaan kayu untuk rumah susun. Teknologi pembangunan rumah susun sendiri cukup mempengaruhi pemakaian kayu. Hal ini terlihat dalam penggunaan kayu untuk rumah susun dengan beton konvensional, beton semi pracetak, dan beton pracetak penuh. Hal ini disajikan dalam Tabel 48. Hasil simulasi menunjukkan kebutuhan kayu untuk rumah tapak berkisar 240.793 m3 pada tahun 2010 dan terus meningkat hingga 1.143.293 m3 pada tahun 2030. Kebutuhan kayu untuk rumah tapak ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan kayu untuk pembangunan rusun dengan beton konvensional. Pembangunan rusun konvensional memerlukan kayu hampir dua kali lebih banyak dibandingkan pembangunan rumah tapak, karena masih banyak menggunakan cetakan beton dari bahan kayu. Rusun konvensional diproyeksikan membutuhkan kayu sebanyak 401.559 m3 kayu pada tahun 2010 dan meningkat hingga 1.906.617 m3 kayu pada tahun 2030.
Volume Kayu (m3)
2.000.000
1.500.000
1.000.000
Kebutuhan Kayu Rusun Konvensional TK Kebutuhan Kayu Rumah Tapak TK Kebutuhan Kayu Rusun Semi-PC TK
500.000
0
2010
2015
2020
2025
2030
Tahun
Gambar 60 Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam. Kebutuhan kayu akan sangat dihemat jika penyediaan pemukiman melalui pembangunan rusun menggunakan beton semi pracetak. Rusun semi pracetak hanya membutuhkan kayu sekitar 3.537 m3 kayu pada tahun 2010 dan hanya meningkat menjadi 16.798 m3 kayu pada tahun 2030. Kebutuhan kayu untuk pembangunan rusun konvensional pada tahun 2010 hanya berjumlah sekitar 1,47% dibandingkan kebutuhan kayu untuk pembangunan rumah tapak dan hanya
159
berjumlah sekitar 0,88% dibandingkan kebutuhan kayu untuk pembangunan rusun konvensional. Hal ini akan semakin signifikan perbedaannya jika diproyeksikan pada tahun 2030. Tabel 48 Tahun
Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam. Kebutuhan Kayu Rusun Konvensional TK (m3)
Kebutuhan Kayu Rumah Tapak TK (m3)
Kebutuhan Kayu Rusun Semi -PC TK (m3)
2010
240.793,06
401.559,40
3.537,97
2015
355.445,03
592.759,15
5.222,55
2020
524.687,74
874.997,34
7.709,23
2025
774.514,20
1.291.621,32
11.379,92
2030
1.143.293,81
1.906.617,93
16.798,40
Hasil simulasi penggunaan kayu ini berimplikasi pada penghematan penggunaan kayu berdasarkan pilihan jenis dan teknologi penyediaan pemukiman (Gambar 61).
Pemilihan jenis pemukiman (rumah tapak vs rusun) akan
memberikan penghematan sebesar 237.255 m3 pada tahun 2010. Hal ini akan semakin besar jika diproyeksikan pada tahun 2030 yang menunjukkan
Volume Kayu (m3)
penghematan penggunaan kayu sebesar 1.126.495 m3.
1.500.000
1.000.000 Penghematan Kayu Rusun SPC TK & Rusun Konv Penghematan Kayu Rusun SPC TK vs Rumah Tapak
500.000
0
2010
2015
2020
2025
2030
Tahun
Gambar 61 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam.
160
Teknologi pembangunan pemukiman (rusun konvensional vs rusun semi pracetak) akan memberikan penghematan sebesar 398.021 m3 pada tahun 2010. Hal ini juga akan semakin besar jika diproyeksikan pada tahun 2030 yang menunjukkan penghematan penggunaan kayu sebesar 1.889.819 m3 (Tabel 49). Tabel 49 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam Tahun
Penghematan Kayu Rusun SPC TK vs Rumah Tapak (m3)
Penghematan Kayu Rusun SPC TK vs Rusun Konv.(m3)
2010
237.255,10
398.021,43
2015
350.222,48
587.536,60
2020
516.978,51
867.288,12
2025
763.134,27
1.280.241,39
2030
1.126.495,41
1.889.819,54
Penghematan penggunaan kayu dalam membangun pemukiman, pada dasarnya juga bisa menghemat penebangan pohon sebagai bahan baku kayu. Jika diasumsikan bahwa kayu yang digunakan berasal dari penebangan pohon di hutan, maka penghematan penggunaan kayu juga bisa mengurangi luas penebangan pohon di hutan.
Menurut penelitian IPB (2010 dalam
www.info.ipb.ac.id; 25 Sept 2010), setiap 50-70 m3 volume kayu bisa diperoleh dari hutan seluas 1 ha. Hasil penelitian ini mendasari simulasi penghematan luas hutan berdasarkan banyaknya volume penggunaan kayu dalam membangun pemukiman. Hasil simulasi penghematan luas hutan disajikan dalam Gambar 62 dan Tabel 50. Pada tahun 2010 bisa dilakukan penghematan luas hutan sebanyak 6.633,69 ha jika pemukiman tenaga kerja melalui pembangunan rusun semi pracetak dibandingkan melalui pembangunan rusun konvensional. Penghematan makin meningkat jika diproyeksikan pada tahun 2030 yang mencapai penghematan hutan seluas 31.496,99 ha. Penghematan luas hutan dengan beton semi pracetak disbanding rumah tapak
mencapai 3.954,25 ha pada tahun 2010 dan terus meningkat seiring
pembangunan rusun. Pada tahun 2030 diproyeksikan penghematan luas hutan akan mencapai 18.774,92 ha (Gambar 60 dan Tabel 47).
161
Luas Hutan (ha)
30.000
20.000
Penghematan Luas Hutan Rusun SPC TK vs Konv. Penghematan Luas Hutan Rusun SPC TK vs Rmh Tapak
10.000
0 2010
2015
2020
2025
2030
Tahun
Gambar 62 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam. Tabel 50 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam Tahun
Penghematan Luas Hutan Rusun SPC TK vs Konv. (ha)
2010 2015 2020 2025 2030
Hutan
6.633,69 9.792,28 14.454,80 21.337,36 31.496,99
alam
dapat
meyerap
CO2
Penghematan Luas Hutan Ruasun SPC TK vs Rumah Tapak (ha) 3.954,25 5.837,04 8.616,31 12.718,90 18.774,92
sebesar
1,559
ton/ha/hari
(www.repository.ipb.ac.id, 22 November 2010). Oleh karena itu maka pada pembangunan permukiman tenaga kerja melalui rusunawa dengan sistem semi pracecak dibandingkan dengan sistem konvensional akan membantu melakukan penyerapan CO2 secara signifikan. Dalam hal pembangunan rusunawa dengan sistem semi pracetak pada tahun 2010 akan terjadi
penghematan terhadap
penggunaan kayu (penghematan terhadap luas hutan yang ditebang) yang jika dikonversi terhadap CO2 akan dapat menyerap CO2 sebesar 10.342, 59 ton/hari dan pada tahun 2030 sebesar 49.106,96 ton/hari. (Gambar 63).
162
CO2 (ton/hari)
50.000 40.000 30.000 Potensi penyerapan CO2 Rusun SPC TK vs Konv. Potensi penyerapan CO2 Rusun SPC TK vs Rmh Tapak
20.000 10.000 0
2010
2015
2020
2025
2030
Tahun
Gambar 63 Hasil simulasi potensi penghematan CO2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam Potensi penyerapan CO2 dimungkinkan karena penggunaan kayu pada pembangunan rusun konvensional lebih banyak dibandingkan pada pembangunan rumah tapak. Pembangunan rusun konvensional memerlukan sekitar 6,3 m3 kayu per unitnya. Sedangkan rumah tapak memerlukan sekitar 3,8 m3 kayu per unitnya dan rusun semi pracetak hanya memerlukan sekitar 0,05 m3 per unitnya. Rusun semi pracetak hanya memerlukan kayu pada panel pintu saja. Menurut IPCC (2003) dan Mitigation, Fourth Assesment Report dalam WBCSB (2007) jika hutan lestari dalam jangka panjang, maka akan terpelihara bahkan akan meningkatkan stok karbon hutan, sehingga bukan saja produksi kayu pertahun lestari, getah dan energi dari hutan juga akan menghasilkan keuntungan yang lestari dan lebih besar. Seperti halnya penggunaan kayu, potensi penyerapan CO2 juga bisa bernilai ekonomis jika kita mampu menjual CO2 tersebut dalam skema perdagangan karbon yang ada saat ini. Tabel 51 Hasil simulasi potensi penyerapan CO2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam (dalam ton/hari) Tahun 2010 2015 2020 2025 2030
Potensi penyerapan CO2 SPC TK vs Rumah Tapak (ton/hari) 6.165,07 9.100,53 13.433,69 19.830,04 29.271,98
Potensi penyerapan CO2 SPC TK vs Rusun Konv (ton/hari) 10.342,59 15.267,14 22.536,48 33.267,07 49.106,96
163
RPJMN 2009-2014 mengamanatkan pembangunan 650 twin block (TB) rusunawa yang dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah pusat saja pada tahun 2010-2012, dengan demikian akan ada pembangunan rusunawa sebanyak 217 TB setiap tahun. Kalau pemerintah daerah juga membangun rusunawa sebanyak 26 % dari bantuan pemerintah pusat, maka setiap tahun akan terbangun 300 TB, mulai dari tahun 2010, akan terakumulasi menjadi 6.300 TB rusunawa pada 2030 yang dibangun oleh pemerintah saja. Pembangunan rusunawa ramah lingkungan dengan green construction dapat menghemat kayu olahan sebanyak 598 m3/TB (1.196 m3 kayu bulat), dengan demikian maka pada tahun 2010 dapat dihemat kayu sebanyak 358.800 m3, setara dengan luas hutan 5.980 ha, dengan potensi penyerapan CO2 sebanyak 9.322 ton/hari. Pada tahun 2020 akan terakumulasi pembangunan rusunawa menjadi 3.300 TB dengan penghematan kayu 3.946.800 m3, setara dengan luas hutan 65.780 ha dengan potensi penyerapan CO2 sebesar 102.551 ton/hari. Kondisi ini akan meningkat pada 2030 menjadi 7.534.800 m3 kayu, setara dengan 125.580 ha dengan potensi penyerapan CO2 sebesar 195.779 ton/hari. Penghematan tersebut akan berkontribusi terhadap komitmen pemerintah menurunkan emisi CO2 sebesar 26% pada tahun 2010, dari sektor perumahan yang dibangun oleh pemerintah saja. Peningkatan CO2 di atmosfir disebabkan oleh anthropogenetic yaitu: dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang memperlihatkan keadaan komposisi kandungan karbon di atmosfir terdapat sedikit konsentrasi konsentrasi
13
14
C dan banyaknya
C sesuai dengan karakteristik isotop C dari hasil pembakaran
bahan bakar fosil. Demikian pula, peningkatan CO2 dibelahan bumi sebelah utara lebih cepat karena pembakaran bahan bakar fosil terjadi paling tinggi . Perubahan iklim global dapat ditanggulangi dengan menyimpan karbon sebesar besarnya tetapi hutan tropis rusak jauh lebih cepat dengan hutan di wilayah iklim sedang. Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi laju tersebut karena memiliki hutan tropis terbesar di dunia dan kelestarian hutan tropis harus terjaga. Sumberdaya alam ini menjadi potensial untuk meningkatkan daya saing bangsa. Presentasi cadangan karbon yang tersebar di hutan tropis sebesar 53,1% ada di Indonesia. Hutan memiliki tegakan pohon, jumlah karbon yang diserap
164
oleh sebuah pohon yang sedang tumbuh tergantung dari spesies, iklim, dan tanah serta umur pohon, hutan yang sedang tumbuh membentuk sekitar 10 ton karbon per hektar per tahun. Dalam melangsungkan hidupnya, pohon melakukan proses fotosintesis di siang hari untuk memperoleh cadangan makanan. Melalui proses tersebut, pohon menyerap CO2 di udara sehingga jumlah CO2 di udara berkurang dan berubah menjadi penambahan O2 (oksigen). Penyerapan CO2 dalam proses fotosintesis menyebabkan pengurangan emisi CO2 sebagai gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Daya serap pohon terhadap CO2 1.559,10 kg/ha.hari dan 129,92 kg/ha.jam (www.repository.ipb.ac.id, 22 november 2010). Adanya penghematan luasan hutan yang ditebang untuk dimanfaatkan katunya guna melakukan pembangunan rusun dengan system konvensional akan sangat membantu pemerintah dalam mengimplementasikan strategi nasional dalam mengatasi pemanasan global. Mengingat kondisi ini sesuai dengan strategi nasional dalam rangka mengatasi masalah pemanasan global yang antara lain adalah a) pengurangan emisi CO2, b) perusahaan manufaktur harus mengganti teknologi dengan yang tidak banyak mengeluarkan emisi karbon, c) peningkatan pengembangan sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai sumber rosot karbon, d) pengurangan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber penghasil listrik, dan e) pengembangan clean energi seperti tenaga air dan tenaga angin, serta tenaga nuklir bila memungkinkan.
Masuknya karbon hutan dalam
mekanisme pembangunan bersih juga merupakan kesempatan yang sangat berharga dalam rangka meningkatkan nilai ekonomi hutan. Walau pada kenyataannya masih terdapat masalah dan pembatasan dalam pelaksananyya yang berakibat pada permintaan karbon melalui sekuestrasi karbon memiliki pangsa yang kecil dan tidak seluruh lahan terdegradasi potensial untuk dikelola lewat perdagangan karbon (Murdiyarso, 2003; Dutschke, 2004; Chatterjee ,2004; Boer, 2004); namun adanya pangsa pasar karbon tersebut merupakan kabar yang cukup menggembirakan bagi provinsi atau kabupaten yang mempunyai hutan masih relatif utuh.
4.7.3
Sub-sistem Nilai Ekonomi Sub-sistem perekonomian daerah dicerminkan oleh
parameter utama
165
berupa
nilai
keuntungan
ekonomis
dalam
bentuk
penghematan
biaya
pembangunan, penghematan sewa rumah dan keuntungan harga penyerapan CO2. Simulasi model dinamik pada sub model ini dilihat dari nilai uang yang bisa dihemat dengan memanfaatkan pilihan jenis rumah tinggal dan teknologi yang digunakan dalam pembangunannya. Hasil simulasi terhadap biaya pembangunan dengan pilihan rumah tapak, rusun dengan beton konvensional dan pracetak menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan ini bisa menjadi dasar perhitungan penghematan biaya pembangunan atau keuntungan berdasarkan pilihan jenis rumah dan teknologi pembangunannya. Gambar 64 dan Tabel 52 menunjukkan hasil simulasi biaya pembangunan untuk pemukiman di Kota Batam. Biaya pembangunan rumah tapak merupakan biaya pembangunan pemukiman yang paling murah.
Tetapi hal ini diikuti
penggunaan lahan dan sumberdaya (kayu) terbesar. Biaya pembangunan rusun semi pracetak lebih murah dibandingkan dengan rusun konvensional, serta diikuti keuntungan penggunaan sumber daya (kayu) yang lebih hemat.
Biaya (Rp milyar)
40.000
30.000 Biaya Pembangunan Rumah Tapak TK Biaya Pembangunan Rusun Konvensional TK
20.000
Biaya Pembangunan Rusun Semi-PC TK Keuntungan Biaya Pembangunan Semi PC vs Tapak Keuntungan Biaya Pembangunan Semi-PC vs Tapak
10.000
0 2010
2015
2020
2025
2030
Tahun
Gambar 64 Hasil simulasi biaya pembangunan dan keuntungan pembangunan pemukiman di Kota Batam. Keuntungan biaya pembangunan pemukiman jika dipilih rusun semi pracetak dibandingkan rusun konvensional berkisar sekitar 1,4 triliun rupiah pada tahun 2010. Sementara hasil proyeksi pada tahun 2030 menunjukkan keuntungan meningkat menjadi sekitar 6,7 triliun rupiah.
166
Tabel 52 Hasil simulasi biaya pembangunan dan keuntungan pembangunan pemukiman di Kota Batam Keuntungan Biaya Pembangunan Semi PC vs Tapak(Rp milyar)
Keuntungan Biaya Pembangunan Semi-PC vs Konv. (Rp milyar)
Tahun
Biaya Pembangunan Rumah Tapak TK (Rp milyar)
2010 2015 2020
6.599,98 9.742,52 14.381,35
9.014,56 13.306,78 19.642,71
7.590,79 11.205,09 16.540,32
990,81 1.462,58 2.158,97
1.423,77 2.101,69 3.102,39
2025 2030
21.228,93 31.336,94
28.995,45 42.801,44
24.415,88 36.041,33
3.186,95 4.704,39
4.579,57 6.760,10
Biaya Pembangunan Rusun Konv (Rp milyar)
Biaya Pembangunan Rusun SemiPC TK (Rp milyar)
Berdasarkan keuntungan biaya pembangunan pemukiman, pilihan jenis rumah tapak justru relatif lebih murah dibandingkan rusun. Hal ini disebabkan, harga pembangunan rumah tapak rata-rata senilai sekitar 104,1 juta rupiah per unit termasuk biaya pembangunan fasilitas umum. Biaya pembangunan rusun semi pracetak sekitar 114,5 juta rupiah per unitnya. Namun keuntungan dari segi biaya pembangunan ini tidak diikuti oleh keuntungan penggunaan lahan yang sangat terbatas bagi rumah tapak. Kebutuhan rumah tapak dalam hal penggunaan lahan mencapai sekitar 5 kali lipat lebih banyak dibandingkan rusun per unitnya. Keuntungan lain yang bisa diperoleh dari pembangunan rusun adalah biaya sewa bagi para tenaga kerja untuk setiap unitnya dibandingkan dengan biaya sewa pada rumah tapak. Tenaga kerja yang menggunakan rusunawa memerlukan dana rata-rata Rp 217.500 per unit untuk setiap bulannya. Sedangkan biaya sewa rumah tapak relatif lebih mahal, rata-rata sekitar Rp 500.000 per unit setiap bulannya.
Biaya (Rp milyar)
1.500
1.000
Biaya Sewa Rumah Tapak TK Biaya Sewa Rusun Semi-PC TK Keuntungan Sewa Rusun vs Tapak
500
0
2010
2015
2020
2025
2030
Tahun
Gambar 65 Hasil simulasi biaya sewa rumah bagi tenaga kerja di Kota Batam.
167
Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penghematan biaya sewa rumah bagi tenaga kerja yang secara kumulatif disimulasikan pada tahun 2010 hingga tahun 2030 (Gambar 65 dan Tabel 53). Hasil simulasi menunjukkan keuntungan sewa rusun kumulatif dibandingkan sewa rumah tapak bagi tenaga kerja sekitar 214,8 milyar rupiah pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 1,09 triliun rupiah pada tahun 2030. Tabel 53 Hasil simulasi biaya sewa rumah bagi tenaga kerja di Kota Batam Tahun 2010 2015 2020 2025 2030
Biaya Sewa Rumah Tapak TK (Rp) 380,20 561,23 828,45 1.222,92 1.805,20
Biaya Sewa Rusun Semi-PC TK (Rp) 165,39 244,13 360,38 531,97 785,26
Keuntungan Sewa Rusun vs Tapak (Rp) 214,81 317,09 468,08 690,95 1.019,94
4.7.4 Validasi Model Validasi dilakukan untuk mendapatkan hasil kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan (Hartrisari, 2007) dari model pengembangan rusunawa ramah lingkungan di Kota Batam.
Validasi
kinerja model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Hal ini dilakukan melalui perbandingan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi, 2001).
Validasi perilaku model dilakukan dengan
membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) absolute mean error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai actual, 2) absolute variation error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simuasi terhadap aktual.
Batas
penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1 -10%. Adapun validasi yang digunakan adalah AME dengan persamaan seperti di bawah ini.
168
AME =
S
− A x100% ; A
S=
∑ Si N
A=
∑ Ai N
S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu pengamatan. Berdasarkan hasil analisis sistem dinamis dapat dilihat bahwa perilaku model pengelolaan rusunawa ramah lingkungan dapat terpenuhi syarat kecukupan struktur dari suatu modelnya dengan melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Data validasi disajikan pada Tabel 54 dan Gambar 66. Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa, AME menyimpang 5,3% untuk pertambahan penduduk dari data aktual. Batas penyimpangan kedua variabel tersebut pada parameter AME adalah <10%, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan.
Tabel 54
Time
Data validasi model pengembangan rusunawa ramah lingkungan berdasarkan perkembangan jumlah penduduk Jumlah Penduduk (Jiwa)
Jumlah Penduduk Eksisting (Jiwa)
AME (%)
2006
713.960,00
713.960,00
0,00
2007
763.223,24
724.315,00
5,37
2008
815.885,64
892.469,00
8,58
2009
872.181,75
932.892,00
6,51
2010
932.362,29
992.095,00
6,02
169
Jumlah Penduduk (jiwa)
1.000.000
900.000
800.000
Jum lah Pe nduduk Ek sisting Jum lah Pe nduduk
700.000
600.000 06
07
08
09
Tahun
Prosen Kesalahan (%)
Gambar 66 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi di Kota Batam.
6
AME 3
0 2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 67 AME jumlah penduduk di Kota Batam. 4.8
Model Konseptual Kebijakan Pengembangan Rusunawa Melalui Konstruksi Ramah Lingkungan Pengembangan rusunawa ramah lingkungan memerlukan kebijakan yang
kokoh, operasional dan mengikat semua pihak terkait. Selain itu, pada tataran operasional pengembangan rusunawa ramah lingkungan melibatkan banyak pihak terkait dan memerlukan pendanaan yang relatif besar, sehingga harus dilakukan secara terencana dalam jangka waktu cukup panjang dan berkesinambungan.
170
Semua hal tersebut bisa dipecahkan secara sistematis dan terpadu melalui sebuah model kebijakan konseptual yang dibangun berdasarkan kajian yang telah dilakukan sebelumnya. Model
konseptual
pengembangan
rusunawa
ramah
lingkungan
menunjukkan perlunya landasan kebijakan yang kokoh dan mudah dilaksanakan (operasional) oleh berbagai pihak terkait.
Model ini juga menggambarkan
hubungan antar aktor dalam menyukseskan tercapainya tujuan pengembangan rusunawa ramah lingkungan di Kota Batam. Optimalisasi pencapaian tujuan ini akan tercapai jika semua pihak terkait bisa berkoordinasi dan berkomitmen untuk melaksanakan pengembangan rusunawa ramah lingkungan di Batam secara sistematis dan terintegrasi.
Pemerintah pusat, melalui Kementerian PU dan
Perumahan Rakyat menjadi aktor pendorong utama yang harus bisa bermitra dengan para pihak lainnya, terutama Pemerintah Kota Batam melalui Dinas PU, pelaku usaha dan para praktisi di bidang pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Semua pihak yang terkait harus bersama-sama mengatasi kendala yang ada di lapangan, terutama sosialisasi pentingnya pengembangan rusunawa ramah lingkungan melalui konstruksi bangunan hijau. Hal ini diharapkan akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pemahaman pentingnya pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Proses prioritas lain yang harus ditempuh guna mengoptimalkan pencapaian tujuan rusunawa ramah lingkungan antara lain adalah peningkatan teknologi dan peralatan yang bisa menghindari terjadinya gagal konstruksi dan dampak ikutan lainnya. Selain aktor dan proses pengembangan, model konseptual juga menekankan pentingnya alur pendanaan dan pembagian wewenang antar aktor.
Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
4.8.1
Pendekatan Kebijakan Kebijakan pengembangan rusunawa ramah lingkungan selain memenuhi
aspek teknis, juga harus memenuhi prinsip-prinsip green building dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan bisa diwujudkan dalam bentuk sistem manajemen lingkungan (SML) yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan
171
(ekologi), keberlangsungan kegiatan ekonomi dan kestabilan sosial budaya masyarakat.
Semua aspek yang terkait dengan prinsip keberlanjutan tersebut
memerlukan pendekatan yang sistematik dalam penentuan kebijakannya. Kebijakan yang bersifat regulatif saat ini sudah pengembangan rumah susun.
cukup sebagai dasar
Bahkan pengembangan perumahan dan
permukiman, serta rumah susun sudah diatur dalam undang-undang perumahan dan permukiman diatur dalam UU Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 teentang Pengembangan Kawasan Permukiman, menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Terkait rumah susun sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang menjelaskan pengelolaan rumah susun melalui perhimpunan penghuni yang mengatur dan mengurus kepentingan bersama. Saat ini juga tengah disusun undang-undang baru tentang rumah susun, untuk penyempyrnaan undang-undang yang telah ada. Selain itu juga pada UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung yang menjelaskan pengelolaan bangunan gedung yang memperhatikan fungsi ekologis, sosial, ekonomi, serta estetika. Ketiga UU tersebut masih dijelaskan dalam turunan peraturan berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Menteri (Kepmen) terkait. Pengaturan yang bersifat lebih teknis terkait pemanfaatan rumah susun telah diatur dalam PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Selain itu PP Nomor 36 Tahun 2005 mengamanatkan penyediaan ruang luar bangunan dan RTH sebagai pendukung kenyamanan dan keamanan dalam pemanfaatan rumah susun. Pendekatan kebijakan ditinjau dari aspek ekologis harus memenuhi norma dan jiwa peraturan perundangan, terkait pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Saat ini, UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) merupakan acuan dasar dari aspek ekologi. Salah satu visi terkait pembangunan rusunawa ramah lingkungan dalam UU ini adalah perlunya perhatian serius terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta perlunya partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan
172
pembangunan. Selain itu diperlukan juga sinkronisasi pengembangan rusunawa dengan pengembangan Kota Batam secara keseluruhan.
Hal ini merupakan
amanat UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengingat Kota Batam merupakan bagian dari kawasan strategis nasional yang penataannya juga harus mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Mengingat adanya fenomena otonomi daerah (UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) yang saat ini berhembus kuat, maka diperlukan goodwill dari pihak regulator di lapangan (pemda) untuk merujuk pada peraturan terkait pedoman pengembangan rusunawa ramah lingkungan yang ada pada tingkat di atasnya.
Peraturan ini diharapkan bisa dibuat oleh Pemerintah Kota Batam,
sehingga selain memudahkan implementasinya, juga memudahkan koordinasi dan pemantauannya.
4.8.2 Kebijakan Prioritas Pengembangan Rusunawa Melalui Konstruksi Ramah Lingkungan Kebijakan prioritas pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan dirumuskan berdasarkan adanya kendala di lapangan yang memerlukan solusi guna memecahkannya. Selain itu, kebijakan prioritas juga menyangkut penyempurnaan regulasi dan implementasinya, serta keterlibatan aktor pelaksana pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan (Gambar 66). Kebijakan prioritas bisa diperoleh dengan melakukan analisis kebijakan yaitu merumuskan masalah sebagai bagian dari pencarian solusi. Solusi berupa pemecahan masalah adalah elemen kunci dalam metodologi analisis kebijakan (Dunn, 2003). Analisis kebijakan merupakan suatu analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Quade, 1975 dalam Dunn, 2003). Salah satu karakteristik penting dari prosedur analisis kebijakan adalah hubungan mereka dengan yang bersifat hirarkis – tidak mungkin untuk
173
menggunakan beberapa metode tanpa terlebih dahulu menggunakan metodemetode lain. Perumusan masalah harus dilakukan secara kreatif dan mengikuti tahapan yang benar.
Kesalahan melakukan perumusan masalah bisa mengakibatkan
kesalahan tipe ketiga (errors of the third type, EIII), yaitu ‘memecahkan masalah yang salah’ (Raiffa, 1968 dalam Dunn, 2003). Metodologi perumusan masalah bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain menggunakan metode analisis batas, analisis klasifikasi, analisis hirarki, synecties, brainstorming, analisis perspektif berganda, analisis asumsi dan pemetaan argumentasi. Kebijakan sebagai sesuatu yang kompleks memiliki sistem yang di dalamnya terdapat elemen yang saling terkait satu sama lain. Secara struktural kerangka suatu sistem kebijakan (policy system), mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan.
Salah satu hasil analisis sebelumnya (AHP), mampu
menunjukkan proporsi aktor, faktor, tujuan, serta alternatif kebijakan yang akan dipilih.
Selain itu, hasil analisis ISM mampu menunjukkan hubungan antar
pelaku dan kendala secara terstruktur yang ada dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Hal ini akan memudahkan dalam menentukan solusi dalam kebijakan yang akan diambil. Secara umum keberhasilan model pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan akan sangat terkait dengan aspek institusi/lembaga atau para pihak yang terlibat, kebijakan atau tata cara pengembangannya, serta anggaran yang menunjang kelancaran pengembangannya.
Guna mencapai
optimalisasi tujuan, model pengembangan ini harus memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Comhar, 2007). Prinsip-prinsip yang secara ringkas terdiri dari: efisiensi sumber daya (satisfaction of human needs by the efficient use of resources); kesetaraan (equity between generations; countries and regions; social); penghormatan terhadap lingkungan dan budaya (respect for ecological integrity and biodiversity; cultural heritage/diversity); dan prinsip pengambilan keputusan yang baik (good decision-making) dapat diaplikasikan dalam setiap proses dalam model tersebut.
174
Isu strategis pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan terutama harus diawali oleh adanya kolaborasi antar para pihak (lembaga/institusi) yang terlibat dalam melakukan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
Kolaborasi tersebut harus berupa kesamaan persepsi,
koordinasi, dan komitmen antar para pihak untuk mencapai tujuan pengembangan rusunawa ramah lingkungan secara optimal. Kolaborasi antar para pihak ini akan menjadi simpul pengungkit bagi keberhasilan pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Simpul ini akan mempertemukan banyak faktor yang berpengaruh terhadap optimal tidaknya pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Simpul ini juga harus mampu mencerminkan aspek-aspek keseimbangan berbagai kepentingan yang berlandaskan prinsip keberlanjutan. Oleh karena itu, kolaborasi yang terbentuk harus berdasarkan prinsip keberlanjutan (Manuwoto, 2007) berupa azas kesamaan (equity), jangkauan ke masa depan (futurity), dan memperhatikan nilai ekonomi lingkungan (environmental valuation). Keberhasilan dalam kolaborasi (persepsi, kesepakatan, komitmen) akan mendorong bergulirnya kebijakan prioritas yang merupakan inti dari sistem manajemen dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Proses ini akan memberikan umpan balik (feed back) sebagai bahan perbaikan bagi para pihak terkait. Sistem ini akan bergulir membentuk lingkaran yang saling terkait, secara kontinu dan terus memperbaiki diri berdasarkan umpan balik yang dihasilkan. 4.8.3
Model Kebijakan Model kebijakan dibangun berdasarkan berbagai analisis yang telah
dilakukan sebelumnnya, sehingga bisa dibangun sebuah sintesis yang mencakup semua hasil analisis. Analisis tersebut terdiri dari analisis situasional, analisis daur hidup (LCA), analisis proses terstruktur (AHP), analisis model interpretasi struktur (ISM), dan analisis sistem dinamik. Setiap analisis ini menggambarkan berbagai hasil terkait pengembangan rusunawa yang saling berhubungan antara satu analisis dan analisis lainnya.
Hal ini masih diperkuat dengan tinjauan
regulasi yang bisa mendasari pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Setiap
175
hasil analisis memiliki kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi guna membangun sebuah model pengembangan rusunawa yang komprehensif.
Analisis situasional menunjukkan kondisi eksisting pengembangan rusun, khususnya rusunawa di Kota Batam. Selain itu, dapat dijelaskan berbagai elemen penting terkait pengembangan rusunawa, seperti ketersediaan lahan, pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja, serta berbagai hal menyangkut teknologi pembangunan rusunawa. Salah satu elemen penting yang akan menjadi masukan terhadap model konseptual adalah tingginya rata-rata tingkat emigrasi selama 5 tahun terakhir (9,1%) yang mendorong pertumbuhan penduduk di Kota Batam secara masif. Hal ini tentu saja berpengaruh secara signifikan terhadap kebutuhan perumahan, terutama di Kota Batam yang memiliki lahan relatif terbatas, sehingga pemenuhannya melalui pembangunan rumah vertikal, seperti rusunawa. Semua parameter dan variabel yang diperoleh dalam analisis situasional juga digunakan sebagai acuan dalam membangun model menggunakan sistem dinamik. Semua hasil analisis ini, terutama aspek pengendalian pertumbuhan penduduk akan menjadi dasar pengambilan kebijakan guna mewujudkan pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Analisis daur hidup (LCA) lebih banyak menyoroti tentang aspek lingkungan
terkait
teknologi
pembangunan
rusunawa.
Hasil
LCA
membandingkan secara parsial, maupun agregat berbagai dampak lingkungan yang bisa terjadi dari penggunaan berbagai material penyusun dan material yang diperlukan dalam proses pembangunan rusunawa berdasarkan proses daur hidupnya.
Teknologi pembangunan rusunawa yang dikaji terdiri dari
pembangunan rusunawa dengan aplikasi beton konvensional, beton semi pracetak, dan beton pracetak penuh.
Hasil LCA menunjukkan bahwa berbagai bahan
bangunan dan bahan pendukung proses pembangunan rusunawa relatif memiliki daur hidup yang cukup panjang dan memberikan berbagai dampak terhadap lingkungan sepanjang proses pembentukannya.
Hal ini mendasari keharusan
melakukan pengambilan kebijakan yang cermat dan tepat terhadap pemilihan bahan dan teknologi pembangunan rusunawa.
Secara keseluruhan, pemilihan
176
aplikasi teknologi beton semi pracetak relatif lebih baik dalam hal dampak lingkungan yang ditimbulkannya dibandingkan aplikasi beton konvensional dan beton pracetak penuh.
Sehingga para aktor kunci pengembangan rusunawa
melalui konstruksi ramah lingkungan diharapkan dapat menjadikan penggunaan beton semi pracetak sebagai prioritas utamanya. Hasil AHP menggambarkan bobot proporsi aktor, faktor, tujuan, dan alternatif kebijakan yang bisa dipilih berdasarkan persepsi pakar yang terlibat dalam pengembangan rusunawa. Pemerintah masih merupakan aktor utama yang paling berpengaruh terhadap pencapaian fokus pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hal ini akan berhasil jika didorong oleh kebijakan pemerintah yang tepat dan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas sebagai faktor utama yang terlibat dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan.
Sementara tujuan utama dari pengembangan rusunawa melalui
konstruksi ramah lingkungan dengan berbagai aplikasi teknologi yang ada adalah pemeliharaan kualitas lingkungan, disamping pengelolaan sumber daya alam yang lestari, penghematan energi, dan pemenuhan koefisien dasar bangunan. Seluruh proporsi elemen di atas mengerucut pada pemilihan beton semi pracetak sebagai aplikasi yang paling tepat dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hasil AHP ini akan menjadikan masukan guna membangun model kebijakan yang memperhatikan pemilihan aktor kunci dan pemilihan skenario kebijakan yang tepat berdasarkan faktor dan tujuan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
Selain itu, hasil AHP
memperkuat hasil LCA yang menunjukkan penggunaan beton semi pracetak sebagai alternatif prioritas dalam mengembangkan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Analisis lainnya yang melengkapi penyusunan model kebijakan adalah hasil analisis ISM, berupa hubungan struktural antar aktor dan antar kendala yang ada dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hubungan struktural antar aktor memperkuat, sekaligus memperjelas sektor yang paling berpengaruh sesuai hasil AHP.
Hasil AHP yang menunjukkan pemerintah
sebagai aktor kunci, diperjelas oleh hasil analisis ISM yang menunjukkan
177
Kementerian PU dan Kementerian Perumahan Rakyat sebagai sektor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hal ini akan menjadi dasar pemilihan aktor utama dalam model konseptual pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Selain itu, hasil ISM bisa menunjukkan faktor pengungkit penyelesaian masalah yang dihadapi dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Faktor pengungkit ini mendorong berbagai penyelesaian masalah lainnya yang menjadi kendala selama ini dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
Hubungan struktural anatar kendala ini akan
menjadi masukkan bagi model konseptual dalam membagun kebijakan yang harus dilakukan para aktor kunci untuk mencapai keberhasilan pengembangan rusunawa. Hasil-hasil analisis di atas diperkuat dengan simulasi dinamik yang dilakukan terhadap berbagai faktor penting dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
Simulasi ini dilakukan dengan model
dinamik yang mampu menunjukkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Model dinamik ini juga mampu membantu para pengambil kebijakan dalam memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi jika sebuah kebijakan akan diputuskan. Hal ini memungkinkan pengambilan kebijakan yang bersifat prediktif ke masa depan bisa ditentukan secara lebih cermat dan tepat. Selain itu, model dinamik juga bisa menunjukkan berbagai keuntungan secara ekonomi jika sebuah kebijakan diputuskan. Semua hal tersebut akan menjadi landasan dalam membangun model konseptual kebijakan yang komprehensif dan dinamis dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan.
Secara umum, model konseptual kebijakan
pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan disajikan dalam Gambar 66.
178
Gambar 68 Model konseptual pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. 178
179
Konsep pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan (Gambar 68) dibangun berdasarkan berbagai analisis yang telah dilakukan sebelumnya.
Hasil analisis menunjukkan perlunya partisipasi berbagai aktor,
terutama aktor kunci, serta penentuan kebijakan yang tepat dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Kebijakan yang dmaksud terdiri dari pembagian tupoksi yang tepat dan proporsional terhadap berbagai stakeholder yang terkait, penguatan regulasi teknis, penyelesaian berbagai kendala yang harus diambil, serta kejelasan dukungan dana bagi pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Secara umum, diagram model di atas menjelaskan perlunya aktor kunci di pemerintahan pusat (Kementerian PU dan Pera) mendorong aktor teknis di daerah (Pemkot, Dinas PU dan Otorita Batam) bekerjasama melakukan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Kedua sektor teknis di tingkat pusat
(Kementerian
PU
dan
Pera)
masih
harus
didukung
oleh
kementerian/lembaga (K/L) lainnya, yaitu Bappenas dan Kementerian Keuangan. Kedua K/L ini sangat berperan dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan terkait pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hal ini sesuai dengan hasil AHP dan analisis ISM. Meskipun tidak terlibat secara signifikan, Pemerintah provinsi diharapkan mampu memberikan masukkan
kepada
stakeholder
lainnya
dalam
berkolaborasi
mendorong
keberhasilan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Seluruh aktor atau stakeholder dari pihak pemerintahan harus bisa bekerja sama untuk berkolaborasi dengan stakeholder non pemerintah. Stakeholder di luar pemerintahan juga (akademisi, praktisi, LSM, masyarakat, pelaku usaha, pengelola rusun) juga diharapkan bisa berpartisipasi aktif dalam kolaborasi tersebut. Jika hal ini bisa tercapai, maka para aktor kunci harus melakukan berbagai pengambilan
kebijakan
dan
aksi
yang
bisa
mendorong
pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
keberhasilan Berbagai
kebijakan yang harus diambil, antara lain melakukan penyempurnaan regulasi, pembagian peran aktor pelaksana, dan penyelesaian kendala saat ini.
Hasil
capaian pelaksanaan kebijakan dan aksi tersebut bisa menjadi bahan evaluasi
180
semua pihak, terutama para stakeholder kunci dalam memperbaiki kebijakannya di masa mendatang. Sementara bagi stakeholder lainnya, hal ini akan menjadi umpan balik dan informasi untuk lebih aktif berpartisipasi dalam kolaborasi yang sudah berjalan sebelumnya.
Berbagai kebijakan tersebut sesuai dengan hasil
AHP, ISM, dan model dinamik yang telah dibangun sebelumnya. Selain itu, pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan ini memerlukan dukungan dana dari berbagai pihak. Pihak pemerintah pusat, melalui sektor terkait diharapkan bisa mengalokasikan dana APBN untuk pengembangan infrastruktur di Kota Batam.
Perencanaan pengembangan
rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan sangat tergantung pada peran Bappenas sebagai lembaga perencana pembangunan nasional. penganggarannya sangat tergantung Kementerian Keuangan.
Selain itu,
Kedua K/L ini
menjadi pelaku kunci, sebagai wakil pemerintah pusat dalam hal perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional. Selain itu pemerintah daerah diharapkan juga mengalokasikan dana APBD bagi pengembangan rusunawa tersebut. Pendanaan di luar pemerintahan bisa dilakukan oleh para pelaku usaha dengan menyisihkan dana CSR sebagai dukungan dana pihak swasta. Dana tersebut bisa dijadikan bantuan pengembangan rusunawa, atau dukungan penelitian bagi para akademisi dan pemberdayaan bagi masyarakat. Selain konsep secara umum, maka para aktor utama juga harus mendorong aksi yang bersifat lebih operasional sebagai bagian dari kebijakan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan yang harus dijalankan. Berbagai kebijakan tersebut diuraikan secara lebih rinci pada penjelasan di bawah ini.
1. Kebijakan Penyempurnaan Regulasi Keberhasilan
pengembangan
rusunawa
melalui
konstruksi
ramah
lingkungan sangat tergantung landasan kebijakan berupa regulasi yang dapat menjadi acuan (rule of the game) dari pelaksanaannya di lapangan. Regulasi yang ada saat ini sudah mengatur hal-hal yang bersifat umum, sehingga perlu pemahaman dan persepsi yang sama bagi semua pihak yang terlibat dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan. terlaksananya aturan secara baik di lapangan.
Hal ini akan menjadi landasan
181
Kebijakan penyempurnaan regulasi ini disusun berdasarkan tinjauan regulasi yang sudah ada saat ini. Hasil tinjauan menunjukkan bahwa regulasi dasar berupa UU dan PP sudah cukup sebagai landasan, tetapi masih diperlukan regulasi turunan yang bersifat lebih operasional dan teknis. Selain itu, bagian kebijakan ini disusun berdasarkan analisis ISM yang menunjukkan perlunya penguatan solusi pada kendala kunci berupa diseminasi kepada berbagai pihak. Diseminasi informasi, pemahaman, dan edukasi pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan tersebut, antara lain menyangkut regulasi terkait. Substansi yang disampaikan disusun berdasarkan analisis situasional dan LCA tentang
pentingnya
pengembangan
rusunawa
melalui
konstruksi
ramah
lingkungan, serta kerugian dan keuntungan yang bisa diperoleh semua pihak terkait. Hal-hal yang perlu dilakukan guna menunjang penyempurnaan regulasi antara lain: 1. Melakukan kajian landasan regulasi dan menyusun regulasi teknis yang lebih operasional jika diperlukan guna mendukung pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan; 2. Melakukan sosialisasi dan edukasi hasil kajian kepada semua pihak terkait pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan; 3. Melaksanakan tahapan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan sesuai regulasi yang ada. 2. Kebijakan Pembagian Peran Aktor Pelaksana Regulasi yang kuat dan operasional bisa terlaksana secara efektif jika dijalankan oleh pelaku yang memahami dan berkomitmen dalam pelaksanaannya. Setiap aktor yang terlibat pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan akan memiliki peran dan kontribusi terhadap optimalisasi pencapaian tujuan. Hasil kajian sebelumnya menunjukkan, para pelaku yang terlibat dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan, antara lain: (1) Pemerintah Pusat; (2) Pemerintah Provinsi; (3) Pemerintah Kota Batam; (4) Kementerian Pekerjaan Umum; (5) Kementerian Perumahan Rakyat; (6) Dinas Pekerjaan Umum; (7) pengelola rusunawa; (8) pelaku usaha; (9) akademisi; (10) praktisi; (11) masyarakat; (12) Lembaga Swadaya Masyarakat.
182
Kebijakan pembagian peran aktor tersebut disusun berdasarkan hasil AHP dan analisis ISM. Kedua analisis tersebut menunjukkan pentingnya peran aktor kunci dan stakeholder lainnya dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hal-hal yang perlu dilakukan guna menunjang pembagian peran aktor: 1. Melakukan upaya penyamaan persepsi terhadap semua pelaku pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan yang didorong oleh aktor utama (Kementerian PU dan Kementerian Pera). Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan diskusi dan pembahasan dengan melibatkan berbagai pihak (institusi pemerintah dan non-pemerintah) terkait semua aspek dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan; 2. Melakukan koordinasi di antara aktor yang berasal dari institusi pemerintah guna melakukan pembagian peran dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan; 3. Melakukan kesepakatan dan komitmen untuk melaksanakan semua hasil diskusi dan pembahasan guna tercapainya optimalisasi tujuan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan; 4. Mengajak dan memberikan ruang partisipasi kepada semua pihak, khususnya institusi
non-pemerintah
untuk
terlibat
aktif
menyukseskan
tujuan
pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan; 5. Semua hasil di atas dijadikan landasan semua pihak untuk berkolaborasi dalam melakukan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
3. Kebijakan Solusi Kendala Pengembangan Semua hasil penguatan regulasi dan kolaborasi antar para pihak ini harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata untuk menyelesaikan berbagai kendala dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Langkah-langkah dalam mengatasi kendala harus disusun berdasarkan prioritas kendala yang harus segera dipecahkan. Berdasarkan kajian ISM, diperlukan setidaknya tiga prioritas kendala yang harus diselesaikan. Hal-hal yang perlu dilakukan guna memecahkan kendala dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan, antara lain:
183
1. Memecahkan kendala prioritas pertama yang terdiri dari: • Melakukan sosialisasi kepada semua pihak terkait tentang aspek regulasi, teknologi, dan peran setiap pihak terkait pengembangan rusunawa; • Melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan dan bimbingan teknis pengembangan rusunawa; • Memberikan pemahaman secara mendalam kepada semua kontraktor yang terlibat pembangunan rusunawa tentang pentingnya aspek lingkungan (green building) baik dari sisi jenis rumah, maupun teknologinya; • Memperkuat SDM dan sistem pengawasan dalam pelaksanaan pembangunan rusunawa; • Melakukan penjelasan dan edukasi kepada masyarakat untuk mengurangi keraguan tentang manfaat rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan; • Mengembangkan dan menerapkan berbagai teknologi ramah lingkungan dalam pembangunan rusunawa; • Meningkatkan kelengkapan dan kualitas peralatan yang digunakan dalam pembangunan rusunawa; • Menghindari gagal konstruksi dengan melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan rusunawa secara cermat dan teliti; 2. Memecahkan kendala prioritas kedua yang terdiri dari: • Menggunakan dan memilih bahan baku pembangunan rusunawa secara selektif guna menghindar pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan; • Menggunakan bahan bangunan ramah lingkungan guna menunjang program kelestarian lingkungan secara luas; • Melakukan berbagai inovasi guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi pembangunan rusunawa; • Mengembangkan teknologi dan diseminasi pemanfaatan beton bermutu tinggi kepada berbagai pihak terkait pengembangan konstruksi ramah lingkungan; • Melakukan perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan secara sistematis dan teliti guna menghindari keterlambatan pekerjaan.
184
3. Memecahkan kendala prioritas pertama yang terdiri dari: • Melakukan debirokratisasi dan debottlenecking dalam pengurusan izin terkait pengembangan rusunawa; • Memberikan pemahaman tentang pentingnya manfaat konstruksi ramah lingkungan kepada pihak perbankan, serta mendorong pihak perbankan guna berperan aktif dalam melakukan bantuan finansial; • Menyusun SOP (standart operating procedure) pelaksanaan pembangunan secara cermat dan teliti, supaya mudah dilaksanakan; • Menyusun SOP (standart operating procedure) pemeliharaan rusunawa ramah lingkungan secara cermat dan teliti, supaya mudah dilaksanakan;
4. Kebijakan pemberian insentif Bangunan ramah lingkungan memerlukan kelengkapan bangunan yang dapat mengolah limbah sendiri, ruangan yang lebih luas, dengan bukaan ventilasi yang lebih besar. Kelengkapan ini membutuhkan tambahan biaya, sehingga menimbulkan biaya investasi awal lebih mahal. Biaya itu dalam jangka panjang akan kembali dalam bentuk penghematan biaya pengelolaan gedung, seperti biaya listrik, retribusi sampah dan limbah, belum termasuk manfaat yang diperoleh dari meningkatnya kualitas lingkungan.
Perkembangan bangunan ini masih belum
menggembirakan, oleh karena itu pemberian insentif baik fiskal maupun kemudahan
perizinan
kepada
pemangku
kepentingan
yang akan
mengembangkan konstruksi ramah lingkungan sangat diharapkan, seperti: a.
b.
Kepada pemerintah daerah •
Keringanan batas minimal RTH 30 %;
•
Peningkatan bagi hasil pajak bumi dan bangunan.
Kepada dunia usaha •
Keringanan pajak ( PPN, PPh);
•
Keringanan pengurusan perizinan pendirian bangunan;
•
Subsisdi bunga pinjaman bank melalui skema fasilitas likuiditas pembangunan perumahan.
185
c.
4.8.4
Kepada peneliti •
Kemudahan mendapat hak atas kekayaan intelektual (patent);
•
Kepastian perlindungan patent;
•
Standarisasi jasa penggunaan patent.
Implikasi Kebijakan Implikasi berbagai kebijakan yang disusun di atas memerlukan berbagai
konsensus dalam pelaksanaannya. Implikasi awal yang harus dilakukan adalah penerapan manajemen konsensus dalam menentukan keputusan bersama berdasarkan kesepakatan antar pihak guna mencapai tujuan bersama. Hal ini untuk mengeliminasi ketidaksetaraan, ego sektoral, dan konflik kepentingan antara para pihak yang terkait. Implikasi
lain
yang
harus
diwujudkan
adalah
komitmen
dalam
melaksanakan regulasi dan berperan dalam mendukung pendanaan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
Pendanaan dari pihak
pemerintah pusat harus dialokasikan dari APBN dalam hal pembiayaan pembangunan rusunawa. Hal ini dilaksanakan melalui dua instansi teknis pusat, yaitu Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum. Selain itu, pemerintah daerah, khususnya Pemkot Batam, melalui Dinas Pekerjaan Umum harus mengalokasikan dana pendukung pengembangan rusunawa. Pihak lain yang harus berkontribusi dalam pendanaan adalah sektor swasta, terutama para pelaku usaha pembangunan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hal ini bisa diwujudkan melalui dana corporate social responsibility (CSR) yang ditujukan untuk berbagai pihak dan keperluan.
Dana ini bisa
digunakan untuk membiayai program-program pemberdayaan masyarakat guna mengurangi banyaknya pemukiman kumuh (ruli). Dana ini juga bisa diberikan kepada pihak akademisi/perguruan tinggi guna mengembangkan teknologi dan kajian akademis terkait pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.
Hal ini berguna supaya pihak akademisi/perguruan tinggi bisa
memberikan output kajian guna perbaikan sistem dan teknologi dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Implikasi lainnya adalah perlunya landasan regulasi.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Hasil penelitian tentang model pengembangan ru rusunawa yang ramah lingkungan (green building) dengan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi ( green construction) dihasilkan beberapa kesimpulan: 1. Bahan bangunan yang mempunyai daur hidup lebih panjang (tree diagram), cenderung mempunyai potensi dampak ligkungan yang lebih besar, seperti besi beton, baja ringan, semen dan , keramik. Namun demikian kayu dan bata merah pun yang mempunyai daur hidup lebih pendek (tree diagram) berpotensi memberikan dampak lingkungan yang besar apabila dipakai dalam jumlah cukup banyak. Hasil LCA, kebutuhan energi dan AHP menunjukan sistem pembangunan rusunawa dengan beton semi pracetak lebih ramah lingkungan. Karena .Pembangunan rusunawa dengan sistem semi pracetakini memberikan potensi dampak lingkungan lebih kecil dibanding dengan sistem konvensional yang pemakaian besi beton dan kayu lebih banyak, dan dengan sistem pracetak yang membutuhkan semen dan besi lebih banyak. Hasil LCA dan AHP menunjukan sistem pembangunan rusunawa dengan beton semi pracetak lebih ramah lingkungan. 2. . Pembangunan rusunawa dengan sSistem semi pracetak juga membutuhkan energi paling kecil 175 Kwh/m2 luas bangunan dan masih dibawah standar kebutuhan energi konstruksi bangunan rusunawa ramah lingkungan 240 KWh/m2 3. Pemangku kepentingan utama yang berperan penting dalam mendorong pembangunan rusunawa melalui sistem semi pracetak adalah Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum dengan Bappenas dan Kemenkeu. Sedangkan kendala utama adalah kurangnya sosialisasi dan keterbatasan sumber daya manusia yang menguasai teknologi beton semi pracetak.
187
4. Beberapa model pengembangan rusunawa melalui konstruksi yang ramah lingkungan yang diperoleh: a. Rusunawa hanya membutuhkan lahan 20 % dari rumah tapak, kebutuhan lahan rumahrumah tapak pada tahun 2030 adalah 7.464 ha, sedangkan untuk rusunawa adalah 1.555 ha. b. Lahan yang disediakan untuk kawasan permukiman di Kota Batam seluas 14.136,14 ha akan habis pada tahun 2024, apabila pembangunan perumahan dilakukan secara horizontal (rumah tapak), namun belum akan habis sampai tahun 2050 apabila 30% kebutuhan rumah pekerja dilakukan secara vertikal (rumah susun) c. Pembangunan rusunawa dengan beton semi pracetak dapat menghemat penggunaan kayu 398.021 m3 pada tahun 2010 yang setara dengan luas hutan 6.636 ha dan sebesar 1.889.819 m3 pada tahun 2030 yang setara dengan luas 31.496 ha. d. Penghematan hutan tersebut akan menyerap CO2 sebanyak 10.345 ton/hari pada tahun 2010 dan 49.102 ton/hari pada tahun 2030. e. Setiap meter persegi pembangunan rusunawa semi pracetak memberi penghematan
kayu 0,26 m3, setara dengan 0,0044 ha hutan yang
berpotensi menyerap CO2 sebesar 6,18 kg/hari, besi beton
0,02 ton,
potensi dampak lingkungan 1,04 pt dan energi 97 KWh bila dibanding dengan sistem rusunawa konvensional f. Secara nasional, pembangunan rusunawa ramah lingkungan dengan green construction dapat menghemat kayu pada tahun 2010 sebanyak 358.800 m3, setara dengan luas hutan 5.980 ha, dengan potensi penyerapan CO2 sebanyak 9.322 ton/hari. Pada tahun 2020 penghematan menjadi 3.946.800 m3 kayu, setara dengan 65.780 ha hutan dengan potensi penyerapan CO2 sebesar 102.551 ton/hari. Penghematan ini akan meningkat pada 2030 menjadi 7.534.800 m3 kayu olahan, setara dengan 125.580 ha dengan potensi penyerapan CO2 sebesar 195.779 ton/hari. Penghematan tersebut akan berkontribusi terhadap komitmen pemerintah menurunkan emisi CO2
188
sebesar 26% pada tahun 2020, dari sektor perumahan yang dibangun oleh pemerintah saja d. g. Biaya sewa rumah susun lebih murah dibanding
sewa rumah tapak,
sehingga pada tahun 2010 akan diperoleh penghematan sebesar Rp. 214,8 milyar dan menjadi 1.009 milyar pada tahun 2030. e. 5. Model pengembangan rusunawa ramah lingkungan melalui pelaksanaan green constructionkonstruksi bangunan hijau memerlukan landasan kebijakan yang kokoh dan bersifat operasional, lintas sektoral serta memadukan para pemangku kepentingan, dengan prioritas. Prioritas lain untuk mengoptimalkan dan mengefektifkan serta mengefisienkan rusunawa yang ramah lingkungan melalui konstruksi bangunan hijau adalah peningkatan SDM, teknologi, peralatan serta dukungan pendanaan bank.
5.2
Saran Hasil penelitian model pengembangan rusunawa ramah lingkungan ini masih memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan yang bisa diaplikasikan pada kondisi nyata. Beberapa hal perlu tindak lanjut dan penyempurnaan, antara lain:
1. Alternatif kebijakan penggunaan beton semi pracetak dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan diharapkan menjadi prioritas dalam pelaksanaan di lapangan, . Hal ini juga bisa dicapai secara optimal dengan memperhatikan berbagai prioritas, aktor, faktor dan tujuan utama yang telah dikaji dalam studi ini. Studi ini masih menggunakan beberapa asumsi dan perangkat lunak yang masih bisa dapat disempurnakan di masa mendatang, sehingga diperoleh resolusi dan akurasi model yang lebih baik. 2. Para pengambil kebijakan dalam pengembangan rusunawa konstruksi ramah lingkungan dapat memecahkan masalah berdasarkan hasil penelitian ini, dengan terlebih dahulu menyempurnakan regulasi, sehingga menjadi lebih operasional. Selanjutnya harus ada pembagian peran dan kolaborasi antar aktor
189
pelaksana, sehingga akan dapat menghasilkan prioritas-prioritas yang akan menjadi solusi dalam memecahkan kendala pengembangannya. 3. Model yang dibuat menggambarkan kondisi eksisting dan prediksi prilaku sistem, namun masih menggunakan berbagai asumsi dari berbagai sumber dan perkiraan.
Sehingga untuk meningkatkan resolusi dan akurasi model,
hendaknya dilakukan studi lanjutan yang didasarkan pada primer sebagai pengganti asumsi yang diperoleh dari sumber sekunder. 3. Pada pembangunan rusunawa ramah lingkungan yang akan datang hendaknya dilakukan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi bangunan hijau (green construction), sehingga dapat menyelesaikan permasalahan pengembangan rusunawa secara sistematis, integrativef dan sekaligus akan dapat membantu pelestarian lingkungan. 4. Dalam rangka menggairahkan pengembangan rusunawa ramah lingkungan melalui green construction, hendaknya pemerintah memberikan insentif kepada pemerintah daerah, dunia usaha dan peneliti. 5. Membuka seluas-luasnya kesempatan mengembangkan konstruksi ramah lingkungan kepada pemerintah daerah, dunia usaha dan peneliti. 4.
190
DAFTAR PUSTAKA
Abduh M. 2007. Inovasi teknologi dan system beton pracetak di Indonesia. Makalah seminar HAKI, 2007, Jakarta Alexander B. et al. 2006. The capable city. Paper presented at The World Bank Urban Forum. Canada, 10-12 March 2006 Almeida E. 1998. Understanding and modeling urban land. Presented at Ttown and regional planning, GIS, Remote sensing, Brazil, 7-9 August 1998 Alonso N. 1964. Location and land use, toward a general theory of land rent. Harvard University Press, Cambridge. USA Aminullah, 2001. Berpikir sistemik untuk kebijakan publik, bisnis dan ekonomi. Pustaka Binawan Pressindo. Jakarta Amourgis T. 1991. Geographic information system: a management perspective WGL Publication, Ottawa, Canada Ann KP , Birger S. 2002. Greenhouse gas emissions, life-cycle inventory and cost-efficiency of using laminated wood instead of steel construction. Case: beams at Gardermoen airport. Elseiver. Environmental Science & Policy 5 (2002) 169–182. Arikunto (1996) Manajemen penelitian. Rineka Cipta. Jakarta Arsyad. 2002. Konservasi tanah dan air. IPB Press. Bogor Arsyad.
2005. Pembangunan berkelanjutan. Makalah konperensi Universitas Syah Kuala, Banda Aceh, 21-23 Juni 2005
hijau,
Astrid V, Todd W, Bhavana V, 2009. Potential use of pervious concrete for maintaining trees during and after urban development. ScientDirect, Urban forestru and urban greening, 8 (2009) 249-256. Awaer H, Clements-Croome DJ. 2010. Key performance indicators (KPIs) and priority setting in using the multi-attribute approach for assessing sustainable intelligent buildings. Elseiver. Building and Environment 45 (2010) 799–807. Balitbang Kehutanan, 2010. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia Barlowe E. 1986. Land resource economics, The Economics of real estate. Fourth edition, p.13-15.Prentce Hall, New Jersey, USA Boer R. 2004. Aspek Teknis Penunjang Implementasi Protokol Kyoto Di Indonesia: Sektor Kehutanan. Workshop ‘Tindak Lanjut Protokol Kyoto’ tanggal 5 Agustus 2004 di Manggala Wanabakti. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Data potensi desa. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Sensus perumahan dan permukiman nasional. Jakarta
190
Bramono SE. 2004. Sampah sebagai sumber energi: Tantangan bagi dunia persampahan Indonesia. Pokja AMPL. Percik: 5: 16-17 Bratasida. 2002. Sustainable human settlements CSD12, Navy, New York Bribian IZ, Alfonso, Sabina. 2009. Life cycle assessment in building. Building and environment. Elsevier, Journal. 47: 142 - 152 Budihardjo dan Hardjohubodjo. 1993. Pola perkembangan perkotaan di Indonesia. Penerbit. Jakarta. Budihardjo dan Sujarto. 2005. Kota berkelanjutan. PT. Alumni. Bandung Budihardjo. 2009. Perumahan dan permukiman di Indonesia. PT. Alumni. Bandung Budihardjo dan Hardjohubodjo. 2009. Wawasan lingkungan dalam pembangunan perkotaan. PT. Alumni, Bandung Chatterjee K. 2004. CoP9: An overview. http://www.devalt.org/newsletter/feb04/ of_2.htm. [8 April 2004]. Connell DW and Miller GJ. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. Y. Koestoer [Penerjemah]. Terjemahan dari: Chemistry and ecotoxicology of pollution. UI-Press. Jakarta. Crawford J and French W. 2008. A low carbon future: Spatial planning’s role in enchancing technological innovation in the built environment. Journal of Energi Policy, Elsevier. 21: 1121-1132 Curran M. 1996. Environmental life-cycle assessment. McGraw-Hill. USA. Dicky M. 2008. Implikasi perubahan guna lahan terhadap kualitas air baku kota Batam [Tesis]. Program Pascasarjana, Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang Dinas Tata Kota Batam. 2009. Profil pengembangan pembangunan rusunawa dan rusunami di Kota Batam. Pemkot. Batam. Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Djayadiningrat. 2001. Untuk generasi masa depan. “pemikiran, tantangan dan permasalahan lingkungan. Departemen Teknik Industri. ITB. Bandung. Dutschke M. 2004. Afforestation is Clean Development: The Milan climate conference cleared the way for CDM forest development, now is the time to get going. BioCarbon.Net Climate, Land Use and Bioenergy. http://www.biocarbon.net/. [8 April 2004]. Elder dan Zumpano. 1991. Hubungan kepemilikan lahan, permintaan perumahan dan lokasi perumahan. Jurnal Perumahan & Permukiman. 7, 65-75.
191
[EPA] Environmental Protection Agency. 2001. Section 604 rehabilitation act at USA Eriyatno. 1999. Ilmu sistem; Meningkatkan mutu dan efektivitas manajemen. Bogor: IPB Press. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan mutu dan efektivitas manajemen. IPB Press. Bogor Eriyatno dan Sofyar F. 2007. Riset kebijakan; Metode penelitian untuk Pascasarjana. Bogor: IPB Press. Ervianto WI, 2006. Eksplorasi teknologi dalam proyek konstruksi, Andi Offset, Yogjakarta. ESDM 2006, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2006 Freed EC. 2008. Green Building and Remodeling. Wiley Publishing Inc. Hoboken, New Jersey, USA Freeman E. 2004. Sitting affordable housing: location ang neighborhood tren of low income housing tax credit developments in 1990s. The Brookings Institution, Washington DC Galion N. 1986. Urbanization in newly developing countries. Prentice Hall, New Jersey Goedkoop M and Oelek M. 2001. Database Mmanual Ggeneral Iintroduction of LCA, Product Ecology Consultant, New York, USA Galion. 1986. Urbanization in newly developing countries. Prentice Hall, New Jersey Gorman S and Tynan E. 2003. Environment strategy notes: Persistent organics pollutants- a legacy of environmental harm and threats to health. No. 6 May 2003. http://www.worldbank.org/pops. Dikunjungi 28/5/2011. Green building council Indonesia GBCI, 2010. Bangunan hijau sebagai solusi akan perubahan iklim global. Pemaparan pada Kemenpera, Jakarta, 10 Mei 2010. Greendepot. 2009. Low income housing tax credit. Presented at The Urban Research, Canada, 4 June 2009 Gie G. 2002. Opportunities, race and urban location. Journal of Urban Economics 56:70-79 Gunawan M.P, 2001. Agenda 21 Sektoral: Agenda Energi untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. KLH-UNDP. Jakarta Horng CY, Wang SL, Cheng IJ. 2009. Effect of Sediment Bound Cd, Pb, and Ni on The Growth, Feeding and Survival of Capitella sp. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 371: 68 - 76
192
Ignes I. 2008, Sustainable building for human settlements, P. Hall, New York, USA [IPCC]. 2003. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Penman J. et al., editor. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. Jatro. 2010. Roadmap for the implementation renewable and sustainable energy sollution in Indonesia, Kementerian ESDM, Jakarta.. Jayadinata. 1992. Tata guna tanah dalam perencanaan perdesaan, perkotaan dan wilayah. ITB, Bandung Johnston D and Master K, 2004. Green Remodeling, Changing the World One Room at a Time. New Society Publishers, Gabriola Island, Canada Joyce S C and Bruce V. 2001. Life Cycle engineering guidelines. US EPA. Cincinnati, Ohio. Kahn ME. 2006. Green cities, urban growth and the environment. Brookings Institution, Washington DC, USA
The
Kirmanto D. 2005. Menyongsong era pembangunan yang berkelanjutan. Menteri Pekerjaan Umum masa bakti 2005-2009. Kementerian PU. Jakarta. Klaassen CD, Doul J and Amdur MO. 1986. Toxicology. The basic science of poisons. Third edition. Macmillan Publishing Company. New York. 974: 1121-1146 Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian-IPB: Ruang terbuka hijau (RTH) wilayah perkotaan, dalam: Makalah lokakarya pengembangan sistem RTH perkotaan, rangkaian hari bakti pekerjaan umum ke 60, Dirjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Lacounture DC, Jorge AS. 2009. Optimazing model for the selection of materials green building rating system. Elsevier, Buliding and Environment 44 (1162-1170) Manuwoto. 2006. Pembangunan berkelanjutan dan kebijakan lingkungan [tidak dipublikasi]. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB. Marco GN and Climent QD. 2009. The reliability of self-reported home valued in a developing country context. Journal of Housing Economics 18, 311324 Meiviana A, 2004. Bumi Makin Panas; Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. KLH-Pelangi. Jakarta Menpera. 2009. Memori akhir jabatan masa bakti 2004-2009. Kementerian Perumahan Rakyat. Jakarta.
193
Moranco S. 2003. A hedonic valuation of urban green area, landscape and urban planning. 66:35-41 Moses LS, Evanindya H. 2009. Pemilihan alternative perbaikan kinerja lingkungan sector industry potensial di Jawa Timur dengan metoda economic input-output life cycle assessment (EIO-LCA). Makalah seminar nasional perencanaan wilayah dan kota, ITS, Surabaya. 29 Oktober 2009. Moughtin C. 2005. Urban design, Green Dimensions. Architectural Press, Elsevier, Oxford Murbaintoro T. 2009. Model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan [disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Nurjaman dan Sijabat. 2007. Makalah pada pelatihan pengawas pembangunan rusunawa dengan sistem pracetak. Kementerian Negara Perumahan Rakyat. Poernama B. 2006 Implementasi kebijakan kehutanan dan penanggulangan, pemberantasan illegal logging serta penyeludupan kayu, Penerbit Wana Aksara, Jakarta Purnomo. 2005. Pendekatan pemahaman citra lingkungan perkotaan. Andi Offset. Yogjakarta Rahardjo. 2003. Upaya pengendalian lahan perkotaan. Journal Real Estat. 8:12-20 Richadson I. 1978. Growth centre, rural development and national urban policy> Englewood Cliffs, New Jersey Rossi-Housberg (2004) Natural resources: Allocation economics and policy. London and New York. Roossi T dan Tambunan Mangara. 2006. The Architecture of the City. MIT Press. Cambridge.Analisa penutupan hutan sebagai taksiran deforestasi. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Volume VII Nomor 1, 2006, halaman 47-61,. Saaty TL. 1991. Pengambilan Kkeputusan Bbagi Ppara Ppemimpin. L. Setiono [Penerjemah]; I.K. Peniwati [Editor]. Terjemahan dari: Decision Mmaking for Lleaders; The Aanalytical Hhierarchy Pprocess (AHP) for Ddecisions in Ccomplex Wworld. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Saaty TL. 1993. Pengambilan keputusan bagi para pimpinan: proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang komplek (terjemahan). Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta Saaty TL. 1994. Decision making for leaders: AHP in complex world, PittsburgRWS Publication. [SAIC] Scientific Aapplications Iinternational Ccorporation. 2006. Life Ccycle Aassessment: Principles and Ppractice. US EPA. Cincinnati, Ohio.
194
Sabbarudin A. (2011) Standardisasi Pengujian Material Ramah Lingkungan, Seminar Konstruksi Ramah Lingkungan, PT Estop Indonesia, Jakarta, Indonesia Sarosa T. 2002. A Framework for the analisys of urban sustainability linking heory and practice. Urban Regional Development Series. 2: 5-21 Sheiner dan Kaster. 2002. Life styles, choice of housing location and daily mobility conceptual framework. ERSA, Dortmund Siagian. 2005. Analisa pasar properti Indonesia. Journal properti 9:2-12 Siahaan. 2004. Pengendalian indek konservasi lahan dalam pengembangan permukiman. Journal Permukiman. 20:2-12 Smith RSJ, Hodges CS and Cordell CE. 2004. Charcoal Rroot Rrot and Bblack Rroot Rrot. http:www.forestpests.org/ver.2/X1.1.html. Dikunjungi 23 MEI 2011. Soemarwoto O. 2001 dan 2006. Atur diri sendiri: paradigma baru pengelolaan lingkungan hidup. Gajah Mada Press. Yogjakarta Suminar SA. 2003. Estimasi Eemisi Ddioksin dan Ffuran. Hasil pPenelitian Ddisampaikan pPada eEnabling Aactivities Tto Ffacilitate Eearly Aaction on Tthe Iimplementation of Tthe Stockholm cConvention on Ppersistent Oorganic Ppollutants (POPs) in Indonesia. Workshop Hasil Inventarisasi POPs. UNIDO. KLH. Jakarta. Sunarno. 2004. Konsep dasar pengembangan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan. Departemen PU, Jakarta. Tamin. 2001. Analisiskebutuhan model interaksi tata guna lahan dan transportasi: studi kasus Kota Bandung. Makalah simposium IV, FTSP Udayana, Denpasar, Bali, 18-19 November 2001 Timmer dan Kate. 2006. The sustainable region initiative. Paper presented at The World Bank Forum, Canada, 10-12 March 2006. [UNEP] United Nation for Environmental Programme. 1992. [URDI] Urban and Regional Development Institute. 2002. WBCSD. 2007. The Sustainable Forest Product Industry, Carbon and Climate Change. Key Message for Policy Maker. Switzerland. Winarso. 2002. Acces tomain roads or low cost land ? Residential land developers’s behaviour in Indonesia. Journal Humanities and Sciences of Southeast Asia and Oceania. KITLV Winarso. 2004. Tarif izin perubahan tata guna lahan perkotaan sebagai bentuk kontrol pelaksanaan penataan ruang kota. Jurnal PWK 17:8-12 Zoer’aini. 2005. Tantangan Llingkungan dan Llanskap Hhutan Kkota. Bumi Aksara, Jakarta.
195
Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Permukiman Undang-undang Republik Indonesia Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rancangan) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/Permen/M/2008 tentang Pedoman Bantuan Pembangunan Rusunawa Pada Lembaga Pendidikan Tinggi dan Lembaga Pendidikan Berasrama
196
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 14/Permen/M/2007 tentang Pengelolaan Rusunawa. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 18/Permen/M/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perhitungan Tarif Sewa Rusunawa yang Dibiayai APBN dan APBD Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 (Rancangan) Tentang Bangunan Gedung Ramah Lingkungan Keputusan bersama Menteri dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang RPJMD Kota Batam tahun 2006-2011 RTRW Kota Batam Tahun 2004-2014 SNI-03-2846-1992 tentang Rumah Susun SNI-03-2846-1992 SNI DT 91-006-2007 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Tanah untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan. SNI DT 91-007-2007 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Pondasi untuk Konstruksi Bangunan Gedung uan Perumahan. SNI DT 91-008-2007 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Beton untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan. SNI DT 91-009-2007 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Dinding untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan. SNI DT 91-010-2007 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Plesteran untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan. SNI DT 91-011-2007 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Kayu untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan. SNI DT 91-012-2007 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Penutup Lantai untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan. SNI DT 91-013-2007 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Langit-langit untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan.
197
SNI DT 91-014-2007 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Besi dan Alumium untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan.
197
Lampiran 1, Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup beton semi pracetak
Air untuk Beton SPC
Water for PUR A
Aluminium SPC
Aluminium 0% recycled ETH T
Baja Ringan SPC
Electricity UCPTE High Voltage
GS-70 I
Electricity UCPTE High Voltage
Steel I
Manganese I
Silicon I
Iron
Lime stone bj
Sinter, pellet
Lime stone bj
Oxygen bj
Crude coal bj
Coke S
Electricity UCPTE High Voltage
Diesel engine truck B
Crude coal B
Electricity UCPTE High Voltage
Furnace gas B
Iron ore
Diesel engine truck B
Baja Cetakan SPC
Steel sheet 20% rec. bj
Steel bj
Baja Scafolding
Electricity UCPTE High Voltage
Electricity UCPTE High Voltage
Oxygen bj
Furnace coal B
Electricity UCPTE High Voltage
Crude coal B
Steel I
Bata Merah SPC
St13 I
Electricity UCPTE High Voltage
Manganese I
Silicon I
Gravel from pit ETH T
Electricity UCPTE High Voltage
Gravel I
Electricity Netherlands ETH I
Scrap (iron) I
Trailer I
Batu Pecah SPC
Energy Australia I
Bulk carrier I
Bulk carrier I
Electricity UCPTE High Voltage
Barge I
PR Semi Precast
Besi Beton SPC
GG35 I
Electricity UCPTE Med. Voltage
Iron
Crude iron I
Bulk carrier I
Scrap (iron) I
Train I
Bulk carrier I
Bulk carrier I
Train I
Train I
Trailer I
Barge I
Manganese I
Barge I
Silicon I
Kaca SPC
Electricity UCPTE High Voltage
Sinter, pellet
Lime stone bj
Oxygen bj
Crude coal bj
Coke S
Electricity UCPTE High Voltage
Diesel engine truck B
Crude coal B
Electricity UCPTE High Voltage
Furnace gas B
Iron ore
Diesel engine truck B
Besi Biasa SPC
Glass (virgin)
Glass (white) B250
Electricity UCPTE Med. Voltage
Glass (green) B250
Energy Asia I
Kayu Panel Pintu SPC
Mengkulang I
Energy Asia I
Energy oil I
Keramik & Sanitair SPC
Electricity UCPTE High Voltage
Chain sawing I
Petrol I
Trailer I
Bulk carrier I
Natural gas I
Oil Bekesting SPC
Ceramics I
Electricity UCPTE High Voltage
Bulk carrier I
Truck I
Residual oil stock CH T
Pasir SPC
Sand ETH T
Crude oil I
Semen SPC
Electricity UCPTE Med. Voltage
Cement Portland
Portland clinker
Electricity UCPTE Med. Voltage
Electricity Holland B
Electricity Holland B
Natural gas B
Natural gas B
Besi Beton SPC
PR Semi Precast
GG35 I
Electricity UCPTE Med. Voltage
Semen SPC
Cement Portland
Electricity UCPTE Med. Voltage
Truck 16t B250
Heat diesel B250
197
198 198
Lampiran 2, Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup beton pracetak.
PR Precast
Air untuk Beton PC
Water for PUR A
Alum earth
Bauxite
NaOH bj
Rock salt
Aluminium (block) bj
Electricity UCPTE Med. Voltage
Aluminium raw bj
Steel I
Anode material
Lime bj
Electricity without emission B
Lime stone bj
Crude coal B
Aluminium PC
GS-X40CrNiSi 25 12 I
Electricity UCPTE High Voltage
Chromium I
Nickel I
Manganese I
Aluminium fluoride
Coke S
Bauxite
Electricity UCPTE High Voltage
Furnace gas B
Rock salt
Baja Cetakan PC
Baja Ringan PC
Steel low alloy ETH T
Molybdenum I
Fuels for electr. Al B
Steel I
Baja Scafolding PC
Electricity UCPTE
Scrap (Stainless st) I
X6CrNi18 (~304) I
Manganese I
Electricity UCPTE
Silicon I
Truck I
Lime bj
Bata Merah PC
Gravel ETH T
Ferrochromiu mI
Scrap (iron) I
Trailer I
Energy Australia I
Batu Pecah PC
Electricity UCPTE High Voltage
Nickel I
Sand I
Barge I
Bulk carrier I
Besi Beton PC
Electricity UCPTE High Voltage
Electricity Netherlands ETH I
Bulk carrier I
GGG-NiCr I
Crude iron I
Bulk carrier I
Besi Biasa PC
Electricity UCPTE Low Voltage
Iron
Scrap (iron) I
Train I
Bulk carrier I
Bulk carrier I
Train I
Train I
Barge I
Trailer I
Manganese I
Barge I
Silicon I
Chromium I
Nickel I
Diesel engine truck B
Lime stone bj
Sinter, pellet
Iron ore
Crude coal B
Kaca PC
Electricity UCPTE High Voltage
Glass (white) B250
Lime stone bj
Oxygen bj
Crude coal bj
Coke S
Electricity UCPTE High Voltage
Diesel engine truck B
Electricity UCPTE High Voltage
Kayu Panel Pintu PC
Electricity UCPTE High Voltage
Meranti I
Chain sawing I
Petrol I
Energy oil I
Electricity Netherlands ETH I
Keramik & Sanitair PC
Electricity UCPTE High Voltage
Powerplant oil I
Trailer I
Bulk carrier I
Natural gas I
Electricity UCPTE High Voltage
Bulk carrier I
Truck I
Crude oil I
Furnace gas B
Natural gas B
GGG-NiCr I
Electricity UCPTE Low Voltage
PR Precast
Semen PC
Cement Portland
Residual oil refinery CH T
Pasir PC
Sand ETH T
Electricity UCPTE High Voltage
Electricity UCPTE High Voltage
Semen PC
Cement Portland
Portland clinker
Electricity Holland B
Natural gas B
Besi Beton PC
Oil Bekesting PC
Ceramics I
Electricity UCPTE High Voltage
Electricity Holland B
Truck 40t B250
Heat diesel B250
199
Lampiran 3, Persamaan matematika model pengembangan rusunawa
A. Sub-sistem Sosial Kependudukan No
Parameter
Konstanta / Persamaan
1
Fraksi Emigrasi
0,02
2
Fraksi Imigrasi
0,091
3
Fraksi Kelahiran
0,017
4
Fraksi Non TK
1-'Fraksi Tenaga Kerja'
5
Fraksi Non TK BMR
0,5
6
Fraksi Tenaga Kerja
0,3871
7
Fraksi TK BMR Berkeluarga
1-'Fraksi TK BMR Lajang'
8
Fraksi TK BMR Lajang
0,6
9
Fraksi TK-BMR
0,3
10
Jumlah Penduduk
992095
11
Jumlah Penduduk Eksisting
GRAPH(TIME;2006;1;{713960;724315;892469;932892;9920 95})
12
Kepadatan Penduduk
'Jumlah Penduduk'/'Luas Wilayah'
13
Laju Emigrasi
'Jumlah Penduduk'*'Fraksi Emigrasi'
14
Laju Imigrasi
'Jumlah Penduduk'*'Fraksi Imigrasi'
15
Laju Pertambahan Penduduk
('Jumlah Penduduk'*'Fraksi Kelahiran')+'Laju Imigrasi'
16
Luas Wilayah
103885
17
Non TK
'Jumlah Penduduk'*'Fraksi Non TK'
18
Non TK BMR
'Non TK'*'Fraksi Non TK BMR'
19
Tenaga Kerja
'Jumlah Penduduk'*'Fraksi Tenaga Kerja'
20
TK Belum Memiliki Rumah
'Tenaga Kerja'*'Fraksi TK-BMR'
21
TK BMR Berkeluarga
'TK Belum Memiliki Rumah'*'Fraksi TK BMR Berkeluarga'
22
TK-BMR Lajang
'TK Belum Memiliki Rumah'*'Fraksi TK BMR Lajang'
200
B. Sub-sistem Lingkungan Fisik •
Pemukiman
No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter Fraksi Alokasi Pemukiman Fraksi Pengurangan Rumah Bermasalah TK Kebijakan Peningkatan TB Rusun TK Kebutuhan Rumah Non TK Kebutuhan Rumah TK BMR Berkeluarga Kebutuhan RumahTK BMR Lajang
Konstanta / Persamaan 14136/56517 0,5 0,25 ('Non TK BMR'-(3*'TK BMR Berkeluarga'))/4 'TK BMR Berkeluarga'/1 'TK-BMR Lajang'/4
Kebutuhan TB Rusun TK
'Kebutuhan Unit Rusun TK'/96
Kebutuhan Unit Rumah Tapak TK Kebutuhan Unit Rusun Konvensional TK Kebutuhan Unit Rusun Semi-PC TK
11
Kebutuhan Unit Rusun TK
12
Laju Pemenuhan TB Rusun TK
'Kebutuhan Rumah TK BMR Berkeluarga'+'Kebutuhan RumahTK BMR Lajang' 'Kebutuhan Rumah TK BMR Berkeluarga'+'Kebutuhan RumahTK BMR Lajang' 'Kebutuhan Rumah TK BMR Berkeluarga'+'Kebutuhan RumahTK BMR Lajang' 'Kebutuhan Rumah TK BMR Berkeluarga'+'Kebutuhan RumahTK BMR Lajang' 'Pemenuhan TB Rusun TK'*'Kebijakan Peningkatan TB Rusun TK'
13
Pemenuhan TB Rusun TK
'Rusun TB TK Eksisting'
14
Pemenuhan Unit Rusun TK
'Pemenuhan TB Rusun TK'*96
15
Pengurangan Rumah Bermasalah TK
16
Rumah Bermasalah TK
'Rumah Bermasalah TK'-('Pemenuhan Unit Rusun TK'*'Fraksi Pengurangan Rumah Bermasalah TK') ('Kebutuhan Rumah TK BMR Berkeluarga'+'Kebutuhan RumahTK BMR Lajang')*0,2
17
Rusun TB TK Eksisting
30
18
TB Rusun TK Belum Terpenuhi
'Kebutuhan TB Rusun TK'-'Pemenuhan TB Rusun TK'
19
Unit Rusun TK Belum Terpenuhi
IF(('Kebutuhan Unit Rusun TK'-'Pemenuhan Unit Rusun TK')>=0;'Kebutuhan Unit Rusun TK'-'Pemenuhan Unit Rusun TK';0)
8 9 10
20 21
Waktu Konstruksi Rumah Tapak TK Waktu Konstruksi Rusun Konvensional TK
('Kebutuhan Unit Rumah Tapak TK'/96)*24 ('Kebutuhan Unit Rusun Konvensional TK'/96)*8
201
• Penggunaan Lahan No 1 2
Parameter
4
Fraksi Kebutuhan Lahan Pemukiman Fraksi Luas Hutan thd Volume Fraksi Luas Lahan Terbangun Eksisting Fraksi Peningkatan Lahan Terbangun
5
Kebutuhan Lahan Pemukiman
3
6 7 8 9 10
Kebutuhan Lahan Pemukiman dgn Rumah Tapak Kebutuhan Lahan Pemukiman dgn Rusun Kebutuhan Lahan Pemukiman plus Rumah Tapak TK Kebutuhan Lahan Pemukiman plus Rusun TK Kebutuhan Lahan Rumah Tapak Non TK
Konstanta / Persamaan 0,25 60 0,3 0,017 'Luas Peningkatan Lahan Terbangun'*'Fraksi Kebutuhan Lahan Pemukiman' 'Kebutuhan Lahan Pemukiman plus Rumah Tapak TK'+'Kebutuhan Lahan Rumah Tapak Non TK' 'Kebutuhan Lahan Pemukiman plus Rusun TK'+'Kebutuhan Lahan Rusun Non TK' 'Kebutuhan Lahan Pemukiman'+'Kebutuhan Lahan Rumah Tapak TK' 'Kebutuhan Lahan Pemukiman'+'Kebutuhan Lahan Rusun TK' 'Kebutuhan Rumah Non TK'*0,0150
11
Kebutuhan Lahan Rumah Tapak TK
('Kebutuhan Rumah TK BMR Berkeluarga'+'Kebutuhan RumahTK BMR Lajang')*0,0150
12
Kebutuhan Lahan Rusun Non TK
('Kebutuhan Rumah Non TK'/96)*0,3000
13
Kebutuhan Lahan Rusun TK
14
Laju Peningkatan Lahan Terbangun
15
Luas Alokasi Lahan Pemukiman
16 17 18 19 20
Luas Hutan Konversi Luas Hutan Lindung Luas Hutan Produksi Luas Hutan Suaka Luas Kawasan Budidaya
21
Luas Kawasan Lindung
22
Luas Lahan Terbangun Eksisting
23 24
Luas Peningkatan Lahan Terbangun Luas Wilayah Penghematan Luas Hutan Rumah Tapak vs SPC TK Penghematan Luas Hutan Rusun Konv vs SPC TK Pengurangan Luas Alokasi Lahan Pemukiman thd Rumah Tapak Kebutuhan Lahan Rumah Tapak & Rusun
25 26 27 28
(('Kebutuhan Rumah TK BMR Berkeluarga'+'Kebutuhan RumahTK BMR Lajang')/96)*0,3000 'Luas Peningkatan Lahan Terbangun'*'Fraksi Peningkatan Lahan Terbangun' 'Luas Kawasan Budidaya'*'Fraksi Luas Alokasi Pemukiman' 9282,77 12081,6100 11967,9+4854 (16000,0000+2062,6500) 'Luas Wilayah'-'Luas Kawasan Lindung' ('Luas Hutan Konversi'+'Luas Hutan Lindung'+'Luas Hutan Produksi'+'Luas Hutan Suaka')-'Luas Hutan Konversi' 'Luas Wilayah'*'Fraksi Luas Lahan Terbangun Eksisting' 'Luas Lahan Terbangun Eksisting' 103885 'Penghematan Kayu Rumah Tapak vs Rusun SPC TK'/'Fraksi Luas Hutan thd Volume' 'Penghematan Kayu Rusun Konv vs Rusun SPC TK'/'Fraksi Luas Hutan thd Volume' 'Luas Alokasi Lahan Pemukiman'-'Kebutuhan Lahan Pemukiman dgn Rumah Tapak' 'Fraksi Kebutuhan Lahan'+5618,11
29
Luas Lahan Rusun
'Pemenuhan TB Rusun TK'*0,3000
30
Pengurangan Luas Alokasi Lahan Pemukiman thd Rusun TK
'Luas Alokasi Lahan Pemukiman'-'Kebutuhan Lahan Pemukiman plus Rusun TK'
202
• Penggunaan Kayu Parameter
Konstanta / Persamaan
Fraksi Luas Hutan thd Volume
60
Kebutuhan Kayu Rumah Tapak TK
'Kebutuhan Unit Rumah Tapak TK'*3,8
Kebutuhan Kayu Rusun Konvensional TK
'Kebutuhan Unit Rusun Konvensional TK'*((41+562+5,36)/96)
Kebutuhan Kayu Rusun Semi-PC TK
'Kebutuhan Unit Rusun Semi-PC TK'*(5,36/96)
Kebutuhan Pohon Rumah Tapak TK
'Kebutuhan Kayu Rumah Tapak TK'/16
Kebutuhan Pohon Rusun Konvensional TK
'Kebutuhan Kayu Rusun Konvensional TK'/16
Kebutuhan Pohon Rusun Semi-PC TK
'Kebutuhan Kayu Rusun Semi-PC TK'/16
Penghematan Kayu Rusun Konv vs Rusun SPC TK Penghematan Kayu Rumah Tapak vs Rusun SPC TK Penghematan Luas Hutan Rumah Tapak vs SPC TK Penghematan Luas Hutan Rusun Konv vs SPC TK Potensi penyerapan CO2 Rumah Tapak vs SPC TK Potensi penyerapan CO2 Rusun Konv vs SPC TK
'Kebutuhan Kayu Rusun Konvensional TK'-'Kebutuhan Kayu Rusun Semi-PC TK' 'Kebutuhan Kayu Rumah Tapak TK'-'Kebutuhan Kayu Rusun Semi-PC TK' 'Penghematan Kayu Rumah Tapak vs Rusun SPC TK'/'Fraksi Luas Hutan thd Volume' 'Penghematan Kayu Rusun Konv vs Rusun SPC TK'/'Fraksi Luas Hutan thd Volume' 'Penghematan Luas Hutan Rumah Tapak vs SPC TK'*'Fraksi CO2 thd Luas Hutan' 'Penghematan Luas Hutan Rusun Konv vs SPC TK'*'Fraksi CO2 thd Luas Hutan'
C. Sub-sistem Nilai Ekonomi Parameter
Konstanta / Persamaan
Biaya Pembangunan Rumah Tapak TK
'Kebutuhan Unit Rumah Tapak TK'*(0,065097205*(1+0,6))
Biaya Pemb. Rusun Konvensional TK
('Kebutuhan Unit Rusun Konvensional TK'/96)*13,657000000
Biaya Pembangunan Rusun Semi-PC TK
('Kebutuhan Unit Rusun Semi-PC TK'/96)*11,500000000
Biaya Sewa Rumah Tapak TK
'Kebutuhan Unit Rumah Tapak TK'*(0,000500000*12)
Biaya Sewa Rusun Konvensional TK
'Kebutuhan Unit Rusun Konvensional TK'*(12*0,000217500)
Biaya Sewa Rusun Semi-PC TK
'Kebutuhan Unit Rusun Semi-PC TK'*(12*0,000217500)
Keuntungan Biaya Pembangunan Konv vs Semi-PC Keuntungan Biaya Pembangunan Tapak vs Semi PC Keuntungan Sewa Tapak vs Rusun
'Biaya Pembangunan Rusun Konvensional TK'-'Biaya Pembangunan Rusun Semi-PC TK' 'Biaya Pembangunan Rusun Semi-PC TK'-'Biaya Pembangunan Rumah Tapak TK' 'Biaya Sewa Rumah Tapak TK'-'Biaya Sewa Rusun Semi-PC TK'
D. Validasi Model Parameter AME
Konstanta / Persamaan ABS(('Jumlah Penduduk Eksisting'-'Jumlah Penduduk')/'Jumlah Penduduk Eksisting')*100
203
Lampiran 4, Kuisioner pakar
2010
KUISIONER PAKAR Penelitian Disertasi: Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Green Construction di Batam Tingginya pertumbuhan penduduk di perkotaan dan sangat terbatasnya lahan mengakibatkan kondisi pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman di perkotaan masih belum terealisir sepenuhnya. Bahkan kondisi ini terjadi hampir di seluruh Indonesia, karena pertambahan penduduk setiap tahunnya relatif tidak diimbangi dengan ketersediaan perumahan dan permukiman. Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah dengan mengembangkan rumah susun sederhana, baik yang bersifat sewa (Rusunawa) maupun yang menjadi milik (Rusunami) melalui program 1.000 menara rumah susun sederhana. Pemerintah dalam 5 tahun ke depan merencanakan pembangunan 650 menara Rusunawa, yang akan dikembangkan oleh Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum (Bappenas, RPJMN 20102014). Pengembangan Rusunawa dirancang semaksimal mungkin sesuai kaidah bangunan yang ramah lingkungan atau green building, seperti: efisiensi lahan, energi, air, material, kesehatan dan kenyamanan. (Green Building Council Indonesia, 2010), namun dalam pelaksanaan konstruksi bangunan, masih ada peluang melakukan optimasi agar lebih ramah lingkungan yang pada gilirannya berkontribusi mengurangi pemanasan global dan perubahan iklim. Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi metoda pelaksanaan konstruksi yang lebih efisien, efektif dan berkesinambungan, sehingga dapat memberikan masukan bagi kebijakan pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan.
Hairul Sitepu, NRP: 062059324 Program Studi: Pengembangan Sumber Daya Alam & Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
204 KARAKTERISTIK RESPONDEN
1. Nama Lengkap
:
………………………………………………………..……
2. Pekerjaan/Institusi
:
………………………………………………………..…… Keahlian :
□
Pengelolaan sumberdaya alam
□
Kebijakan publik
□
Planologi/Arsitektur/Sipil/Lingkungan/Manaj.Konstruksi
□
Kehutanan/Ruang Terbuka Hijau
□
Ekologi/Konservasi/Keanekaragaman hayati
□
Penataan ruang dan wilayah
□
Rancang bangun konstruksi bangunan
□
Pelaksanaan konstruksi bangunan
□
Pengawasan pelaksanaan konstruksi bangunan
□
Sosial, budaya dan kelembagaan
□
Ekonomi sumberdaya alam
□
Lainnya:.................................................................
3. Penelitian di bidang pengelolaan lingkungan/konstruksi/green building: ..........…................................................………….........……. 4. Pendidikan di Bidang :
S1: …................................................………..........………. S2:
…................................................………..........……….
S3:
…................................................………….........…….
5. Alamat
:
..........…................................................………….........…….
6. Alamat E-mail
:
..........…................................................………….........…….
7. Telepon/HP/Fax
:
..........…................./....……..…………...../.............…………..
8. Tanggal Pengisian Kuesioner: …................................................………..........……….
205
Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Green Construction
Bagian 1, A H P 1. Pengantar Penentuan alternatif strategi Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi dipengaruhi berbagai kriteria, baik berupa fokus, aktor, faktor, maupun tujuan yang memiliki tingkat kepentingan yang sangat bervariasi. Guna mengidentifikasi berbagai kriteria tersebut secara sistematis, maka akan dilakukan pembobotan melalui pendapat para pakar. Hal ini akan digunakan sebagai bahan kajian pemilihan alternatif strategi pengembangan rusunawa menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
2. Penentuan Aktor Dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi Bangunan Hijau (Green Buliding) Mohon diberikan tanda (√) pada kolom SS, ST, CS, KS atau TS pada masingmasing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Aktor dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi, dimana: SS
: Sangat setuju
ST
: Setuju
CS
: Cukup setuju
KS
: Kurang setuju
TS
: Tidak setuju
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
205
206
Kriteria Aktor dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi adalah:
Aktor
No 1
Pemerintah Pusat
2
Pemerintah Daerah Provinsi
3
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
4
Kementerian Pekerjaan Umum
5
Kementerian Perumahan Rakyat
6
Dinas Pekerjaan Umum
7
Pengelola Rusuna
8
Pelaku Usaha
9
Akademisi
10
Praktisi
11
Masyarakat
12
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
10
Lainnya (jika ada mohon dituliskan): .........................................................................
SS
ST
CS
KS
TS
207
3. Penentuan Faktor Dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi Bangunan Hijau (Green Building) Mohon diberikan tanda (√) pada kolom SS, ST, CS, KS atau TS pada masingmasing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Faktor dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi, dimana: SS
: Sangat setuju
ST
: Setuju
CS
: Cukup setuju
KS
: Kurang setuju
TS
: Tidak setuju
Kriteria faktor dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi adalah:
Faktor
No 1
Sumber daya alam
2
Sumber daya manusia
3
Kebutuhan perumahan
4
Teknologi konstruksi
5
Perekonomian masyarakat
6
Kebijakan pemerintah
7 8
SS
ST
CS
KS
TS
Lainnya (jika ada mohon dituliskan): ......................................................................... .........................................................................
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
207
208
4. Penentuan Tujuan Dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi Mohon diberikan tanda (√) pada kolom SS, ST, CS, KS atau TS pada masingmasing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Tujuan dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi, dimana: SS
: Sangat setuju
ST
: Setuju
CS
: Cukup setuju
KS
: Kurang setuju
TS
: Tidak setuju
Kriteria tujuan dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi adalah:
Tujuan
No 1 2
Terpeliharanya kualitas lingkungan Menurunnya penggunaan SDA (bahan bangunan)
3
Hematnya penggunaan energi (fosil)
4
Terpenuhinya koefisien-koefisien dasar
5
Lainnya (jika ada mohon dituliskan): .........................................................................
6
.........................................................................
7
.........................................................................
SS
ST
CS
KS
TS
209
5. Penentuan Alternatif Kebijakan Dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi (Diskripsi dari masing-masing alternatif, pada halaman 21) Mohon diberikan tanda (√) pada kolom SS, ST, CS, KS atau TS pada masingmasing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Alternatif Kebijakan dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi, dimana: SS
: Sangat setuju
ST
: Setuju
CS
: Cukup setuju
KS
: Kurang setuju
TS
: Tidak setuju
Kriteria alternatif kebijakan dalam Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Konstruksi adalah:
No
Alternatif
SS
ST
CS
KS
TS
Melaksanakan pembangunan menggunakan 1
2 3 4
beton konvensional Melaksanakan pembangunan menggunakan beton semi pracetak Melaksanakan pembangunan menggunakan beton pracetak penuh Lainnya (jika ada mohon dituliskan): .........................................................................
5
.........................................................................
6
.........................................................................
7
.........................................................................
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
209
210
HIERARKHI MODEL Analisis data pengembangan model Pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan menggunakan Metode Analisis Hierarki Proses (AHP). Metode pengelolaan Rusunawa ini disusun atas lima tingkat hierarki, seperti gambar di bawah ini.
Model kebijakan pengembangan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang Fokus
ramah lingkungan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi (green
Aktor
Pemerintah
Faktor
Sumberdaya
Sumberdaya
Kebutuhan
Teknologi
Perekonomian
Kebijakan
manusia
alam
Perumahan
kontruksi
masyarakat
pemerintah
Pengelola
Pelaku Usaha
Masyarakat
Akademisi
Green Building Tujuan
Alternatif
Terpeliharanya
Menurunnya
Hematnya
Terpenuhinya
Kualitas
penggunaan SDA
penggunaan
Koefisien2
Melaksanakan
Melaksanakan
Melaksanakan
Dengan Beton
Dengan Beton
Dengan Beton
Kebijakan Hierarki pengambilan keputusan model pengembangan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang ramah lingkungan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi (green building)
211
PETUNJUK PENGISIAN Pengisian kuisioner dilakukan dengan cara membandingkan variabel satu dengan variabel lain (Komponen kiri dengan komponen kanan pada baris yang sama pada kolom/tabel isian. Skala yang digunakan didasarkan pada skala yang ditetapkan Saaty, seperti terlihat pada tabel di bawah ini Tabel 1. Penilaian antar variabel Nilai
Keterangan
1
Variabel A sama penting dengan variabel B
3
Variabel A sedikit lebih penting dari variabel B
5
Variabel A Jelas lebih penting dari variabel B
7
Variabel A sangat jelas lebih penting dari variabel B
9
Variabel A mutlak lebih penting dari variabel B
2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai variabel yang berdekatan
Keterangan : Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
211
212
A. Pembobotan Aktor (Stakeholders)
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding di kolom kiri (A)
Skor
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
Kriteria B Sangat Penting
Penting
Sedikit Lebih
Sedikit lebih
A
Jelas Lebih Penting
Kriteria
Jelas Lebih Penting
Diisi jika peran aktor di kolom
Sama Pentingnya
Diisi jika peran aktor kolom kiri
Sangat Penting
No.
Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap aktor yang berperan dalam pengembangan kebijakan Pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan. Intensitas Kepentingan
Penting
1.
8
9
1.
Pemerintah
Pengelola
2.
Pemerintah
Dunia Usaha
3.
Pemerintah
Akademisi
4.
Pemerintah
Masyarakat
5.
Pengelola
Dunia Usaha
6.
Pengelola
Akademisi
7.
Pengelola
Masyarakat
8.
Dunia Usaha
Akademisi
9.
Dunia Usaha
Masyarakat
10.
Akademisi
Masyarakat
213
Pembobotan Faktor
2. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap faktor yang terkait dengan Pemerintah Intensitas Kepentingan
Diisi jika faktor di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Kriteria
Sumber
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
Daya
Manusia 2.
4
5
6
7
Sangat
Jelas Lebih
Penting
Sedikit Lebih
Sedikit lebih
Penting
Jelas Lebih
Sangat Skor 1.
Kriteria B
A
Sama
No.
Diisi jika faktor di kolom kiri
8
9 Sumber
Daya
Alam
Sumber Daya
Kebutuhan
Manusia
Perumhan
3.
Sumber Daya
Teknologi
Manusia
Konstruksi
4.
Sumber Daya
Perekonomian
Manusia
Masyarakat
5.
Sumber Manusia
Pemerintah
6.
Sumber Daya
Kebutuhan
Alam
Perumhan
7.
Sumber Daya
Teknologi
Alam
Konstruksi
8.
Sumber Daya
Perekonomian
Alam
Masyarakat
9.
Sumber Daya
Kebijakan
Alam
Pemerintah
10. 11. 12. 13. 14. 15
Daya
Kebijakan
Kebutuhan
Teknologi
Perumahan
Konstruksi
Kebutuhan
Perekonomian
Perumahan
Masyarakat
Kebutuhan
Kebijakan
Perumahan
Pemerintah
Teknologi
Perekonomian
Konstruksi
Masyarakat
Teknologi
Kebijakan
Konstruksi
Pemerintah
Perekonomian
Kebijakan
Masyarakat
Pemerintah
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
213
214
3.
Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap faktor yang terkait dengan Pengelola Intensitas Kepentingan
Diisi jika faktor di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Kriteria
2. 3. 4. 5.
Sumber
9 Daya
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15
7
6
5
3
2
1
2
3
4
5
6
7
Sangat
Jelas Lebih
Penting
Sedikit Lebih
Sedikit lebih 4
8
9 Sumber
Daya
Manusia
Alam
Sumber Daya
Kebutuhan
Manusia
Perumhan
Sumber Daya
Teknologi
Manusia
Konstruksi
Sumber Daya
Perekonomian
Manusia
Masyarakat
Sumber
Daya
Manusia 6.
8
Penting
Jelas Lebih
Sangat Skor 1.
Kriteria B
A
Sama
No.
Diisi jika faktor di kolom kiri
Kebijakan Pemerintah
Sumber Daya
Kebutuhan
Alam
Perumhan
Sumber Daya
Teknologi
Alam
Konstruksi
Sumber Daya
Perekonomian
Alam
Masyarakat
Sumber Daya
Kebijakan
Alam
Pemerintah
Kebutuhan
Teknologi
Perumahan
Konstruksi
Kebutuhan
Perekonomian
Perumahan
Masyarakat
Kebutuhan
Kebijakan
Perumahan
Pemerintah
Teknologi
Perekonomian
Konstruksi
Masyarakat
Teknologi
Kebijakan
Konstruksi
Pemerintah
Perekonomian
Kebijakan
Masyarakat
Pemerintah
215
4.
Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap faktor yang terkait dengan Pelaku Usaha Intensitas Kepentingan
Diisi jika faktor di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Kriteria
Kriteria
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
7
Sangat
Jelas Lebih 6
8
9
1.
Sumber Manusia
Alam
2.
Sumber Daya
Kebutuhan
Manusia
Perumhan
3.
Sumber Daya
Teknologi
Manusia
Konstruksi
4.
Sumber Daya
Perekonomian
Manusia
Masyarakat
5.
Sumber
Daya
Penting
Sedikit lebih
Penting
Jelas Lebih
Sangat Skor
Sedikit Lebih
B
A
Sama
No.
Diisi jika faktor di kolom kiri
Daya
Manusia 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15
Sumber
Daya
Kebijakan Pemerintah
Sumber Daya
Kebutuhan
Alam
Perumhan
Sumber Daya
Teknologi
Alam
Konstruksi
Sumber Daya
Perekonomian
Alam
Masyarakat
Sumber Daya
Kebijakan
Alam
Pemerintah
Kebutuhan
Teknologi
Perumahan
Konstruksi
Kebutuhan
Perekonomian
Perumahan
Masyarakat
Kebutuhan
Kebijakan
Perumahan
Pemerintah
Teknologi
Perekonomian
Konstruksi
Masyarakat
Teknologi
Kebijakan
Konstruksi
Pemerintah
Perekonomian
Kebijakan
Masyarakat
Pemerintah
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
215
216
5.
Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap faktor yang terkait dengan Akademisi Intensitas Kepentingan
Diisi jika faktor di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Kriteria
2. 3. 4. 5.
Sumber
9 Daya
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15
7
6
5
3
2
1
2
3
4
5
6
7
Sangat
Jelas Lebih
Penting
Sedikit Lebih
Sedikit lebih 4
8
9 Sumber
Daya
Manusia
Alam
Sumber Daya
Kebutuhan
Manusia
Perumhan
Sumber Daya
Teknologi
Manusia
Konstruksi
Sumber Daya
Perekonomian
Manusia
Masyarakat
Sumber
Daya
Manusia 6.
8
Penting
Jelas Lebih
Sangat Skor 1.
Kriteria B
A
Sama
No.
Diisi jika faktor di kolom kiri
Kebijakan Pemerintah
Sumber Daya
Kebutuhan
Alam
Perumhan
Sumber Daya
Teknologi
Alam
Konstruksi
Sumber Daya
Perekonomian
Alam
Masyarakat
Sumber Daya
Kebijakan
Alam
Pemerintah
Kebutuhan
Teknologi
Perumahan
Konstruksi
Kebutuhan
Perekonomian
Perumahan
Masyarakat
Kebutuhan
Kebijakan
Perumahan
Pemerintah
Teknologi
Perekonomian
Konstruksi
Masyarakat
Teknologi
Kebijakan
Konstruksi
Pemerintah
Perekonomian
Kebijakan
Masyarakat
Pemerintah
217
6.
Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap faktor yang terkait dengan Masyarakat Intensitas Kepentingan
Diisi jika faktor di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Kriteria
Kriteria
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1.
Sumber Manusia
Alam
2.
Sumber Daya
Kebutuhan
Manusia
Perumhan
3.
Sumber Daya
Teknologi
Manusia
Konstruksi
4.
Sumber Daya
Perekonomian
Manusia
Masyarakat
5.
Sumber
Daya
Sangat
Sedikit Lebih
Sama
Sedikit lebih
Penting
Jelas Lebih
Sangat Skor
Jelas Lebih
B
A
Penting
No.
Diisi jika faktor di kolom kiri
Daya
Manusia 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15
Sumber
Daya
Kebijakan Pemerintah
Sumber Daya
Kebutuhan
Alam
Perumhan
Sumber Daya
Teknologi
Alam
Konstruksi
Sumber Daya
Perekonomian
Alam
Masyarakat
Sumber Daya
Kebijakan
Alam
Pemerintah
Kebutuhan
Teknologi
Perumahan
Konstruksi
Kebutuhan
Perekonomian
Perumahan
Masyarakat
Kebutuhan
Kebijakan
Perumahan
Pemerintah
Teknologi
Perekonomian
Konstruksi
Masyarakat
Teknologi
Kebijakan
Konstruksi
Pemerintah
Perekonomian
Kebijakan
Masyarakat
Pemerintah
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
217
218
C. Pembobotan Tujuan
7. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan kualitas Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Rusunawa yang Berkelanjutan.
Intensitas Kepentingan Diisi jika tujuan di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Skor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
Kriteria
4
5
6
7
Sangat
Jelas Lebih
(B)
Sedikit Lebih
Sama
Sedikit lebih
Penting
Jelas Lebih
(A)
Penting
Kriteria
Sangat
No.
Diisi jika tujuan di kolom kiri
8
9
Terpeliharanya
Menurunnya
Kualitas
penggunaan
Lingkungan
SDA
Terpeliharanya
Hematnya
Kualitas
Penggunaan
Lingkungan
Energi (fosil)
Terpeliharanya
Terpenuhinyan
Kualitas
Koefisien
Lingkungan
Bangunan
Menurunnya
Hematnya
penggunaan
Penggunaan
SDA
Energi (fosil)
Menurunnya
Terpenuhinyan
penggunaan
Koefisien
SDA
Bangunan
Hematnya
Terpenuhinyan
Penggunaan
Koefisien
Energi (fosil)
Bangunan
Dasar
Dasar
Dasar
219
8. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan ketersediaan Sumber Daya Alam dalam Pengembangan Rusunawa.
Intensitas Kepentingan Diisi jika tujuan di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Skor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
Kriteria
4
5
6
7
Sangat
Jelas Lebih
(B)
Sedikit Lebih
Sama
Sedikit lebih
Penting
Jelas Lebih
(A)
Penting
Kriteria
Sangat
No.
Diisi jika tujuan di kolom kiri
8
9
Terpeliharanya
Menurunnya
Kualitas
penggunaan
Lingkungan
SDA
Terpeliharanya
Hematnya
Kualitas
Penggunaan
Lingkungan
Energi (fosil)
Terpeliharanya
Terpenuhinyan
Kualitas
Koefisien
Lingkungan
Bangunan
Menurunnya
Hematnya
penggunaan
Penggunaan
SDA
Energi (fosil)
Menurunnya
Terpenuhinyan
penggunaan
Koefisien
SDA
Bangunan
Hematnya
Terpenuhinyan
Penggunaan
Koefisien
Energi (fosil)
Bangunan
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
219
Dasar
Dasar
Dasar
220
9. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan pemenuhan Kebutuhan Perumahan dalam Pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan
Intensitas Kepentingan Diisi jika tujuan di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Skor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Kriteria
3
4
5
6
7
Sangat
Penting
Sedikit Lebih 2
Jelas Lebih
(B)
Sama Penting
Sangat
Jelas Lebih
(A)
Sedikit lebih
Kriteria
Penting
No.
Diisi jika tujuan di kolom kiri
8
9
Terpeliharanya
Menurunnya
Kualitas
penggunaan
Lingkungan
SDA
Terpeliharanya
Hematnya
Kualitas
Penggunaan
Lingkungan
Energi (fosil)
Terpeliharanya
Terpenuhinyan
Kualitas
Koefisien
Lingkungan
Bangunan
Menurunnya
Hematnya
penggunaan
Penggunaan
SDA
Energi (fosil)
Menurunnya
Terpenuhinyan
penggunaan
Koefisien
SDA
Bangunan
Hematnya
Terpenuhinyan
Penggunaan
Koefisien
Energi (fosil)
Bangunan
Dasar
Dasar
Dasar
221
10. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan pengembangan Teknologi Konstruksi dalam Pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan
Intensitas Kepentingan
No.
Diisi jika tujuan di kolom kiri
Diisi jika tujuan di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Kriteria
Kriteria (B)
Skor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
Sangat
Jelas
Penting
Sedikit
Sama
Sedikit
Penting
Jelas
Sangat
(A)
6
7
8
9
Terpeliharanya
Menurunnya
Kualitas
penggunaan
Lingkungan
SDA
Terpeliharanya
Hematnya
Kualitas
Penggunaan
Lingkungan
Energi (fosil)
Terpeliharanya
Terpenuhinyan
Kualitas
Koefisien
Lingkungan
Bangunan
Menurunnya
Hematnya
penggunaan
Penggunaan
SDA
Energi (fosil)
Menurunnya
Terpenuhinyan
penggunaan
Koefisien
SDA
Bangunan
Hematnya
Terpenuhinyan
Penggunaan
Koefisien
Energi (fosil)
Bangunan
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
221
Dasar
Dasar
Dasar
222
11. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan tingkat Perekonomian Masyarakat dalam Pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan.
Intensitas Kepentingan Diisi jika tujuan di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Skor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
Kriteria
4
5
6
7
Sangat
Jelas Lebih
(B)
Sedikit Lebih
Sama
Sedikit lebih
Penting
Jelas Lebih
(A)
Penting
Kriteria
Sangat
No.
Diisi jika tujuan di kolom kiri
8
9
Terpeliharanya
Menurunnya
Kualitas
penggunaan
Lingkungan
SDA
Terpeliharanya
Hematnya
Kualitas
Penggunaan
Lingkungan
Energi (fosil)
Terpeliharanya
Terpenuhinyan
Kualitas
Koefisien
Lingkungan
Bangunan
Menurunnya
Hematnya
penggunaan
Penggunaan
SDA
Energi (fosil)
Menurunnya
Terpenuhinyan
penggunaan
Koefisien
SDA
Bangunan
Hematnya
Terpenuhinyan
Penggunaan
Koefisien
Energi (fosil)
Bangunan
Dasar
Dasar
Dasar
223
12. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan.
Intensitas Kepentingan Diisi jika tujuan di kolom
(A) lebih penting dibanding
kanan (B) lebih penting
kolom kanan (B)
dibanding kolom kiri (A)
Skor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
Kriteria
4
5
6
7
Sangat
Jelas Lebih
(B)
Sedikit Lebih
Sama
Sedikit lebih
Penting
Jelas Lebih
(A)
Penting
Kriteria
Sangat
No.
Diisi jika tujuan di kolom kiri
8
9
Terpeliharanya
Menurunnya
Kualitas
penggunaan
Lingkungan
SDA
Terpeliharanya
Hematnya
Kualitas
Penggunaan
Lingkungan
Energi (fosil)
Terpeliharanya
Terpenuhinyan
Kualitas
Koefisien
Lingkungan
Bangunan
Menurunnya
Hematnya
penggunaan
Penggunaan
SDA
Energi (fosil)
Menurunnya
Terpenuhinyan
penggunaan
Koefisien
SDA
Bangunan
Hematnya
Terpenuhinyan
Penggunaan
Koefisien
Energi (fosil)
Bangunan
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
223
Dasar
Dasar
Dasar
224
D. Pembobotan Alternatif (Diskripsi masing-masing Alternatif, pada halaman 21)
1 2. 3
Skor Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
Sangat
Jelas
Penting
Sedikit
Sama
7
8
Sedikit
9
Penting
(B)
Jelas
(A)
Sangat P ti
No.
13. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap alternatif Pengembangan Rusunawa yang dapat mewujudkan Terpeliharanya Kualitas Lingkungan . Intensitas Kepentingan Diisi jika alternatif di kolom kiri Diisi jika alternatif di kolom (A) lebih penting dibanding kanan (B) lebih penting kolom kanan (B) dibanding kolom kiri (A) Kriteria Kriteria
6
7
8
9 Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak Melaksanakan Dengan Beton Pracetak Penuh Melaksanakan Dengan Beton Pracetak penuh
1 2. 3
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
Sangat
Jelas
Penting
Sedikit
Sama
7
8
Sedikit
9
Penting
Jelas
Skor Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak
Sangat P ti
14. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap alternatif Pengembangan Rusunawa yang dapat mewujudkan Menurunnya Penggunaan Sumber Daya Alam Untuk Bahan Bangunan . Intensitas Kepentingan Diisi jika alternatif di kolom kiri Diisi jika alternatif di kolom (A) lebih penting dibanding kanan (B) lebih penting kolom kanan (B) dibanding kolom kiri (A) Kriteria Kriteria No. (B) (A)
6
7
8
9 Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak Melaksanakan Dengan Beton Pracetak Penuh Melaksanakan Dengan Beton Pracetak penuh
225
15. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap alternatif Pengembangan Rusunawa yang dapat mewujudkan Hematnya Penggunaan Energi (Bahan Bakar Fosil) .
1 2. 3
Skor Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
Kriteria (B)
Sangat
Jelas
Penting
Sedikit
Sama
7
8
Sedikit
9
Penting
Jelas
Kriteria (A)
Sangat P ti
No.
Intensitas Kepentingan Diisi jika alternatif di kolom kiri Diisi jika alternatif di kolom (A) lebih penting dibanding kanan (B) lebih penting kolom kanan (B) dibanding kolom kiri (A)
8
9 Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak Melaksanakan Dengan Beton Pracetak Penuh Melaksanakan Dengan Beton Pracetak penuh
16. Berilah tanda (√) pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap alternatif Pengembangan Rusunawa yang dapat mewujudkan Terpenuhinya Koefisien2 Dasar Bangunan .
1 2. 3
Skor Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak
6
5
4
3
2
1
2
3
Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
4
5
6
7
Kriteria (B)
Sangat
Jelas
Penting
Sedikit
Sama
7
8
Sedikit
9
Penting
Jelas
Kriteria (A)
Sangat P ti
No.
Intensitas Kepentingan Diisi jika alternatif di kolom kiri Diisi jika alternatif di kolom (A) lebih penting dibanding kanan (B) lebih penting kolom kanan (B) dibanding kolom kiri (A)
8
9 Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak Melaksanakan Dengan Beton Pracetak Penuh Melaksanakan Dengan Beton Pracetak penuh
225
226
Diskripsi Alternatif Metoda Pembangunan Rusunawa Melalui Optimasi Pelaksanaan 1. Beton Konvensional Adalah beton yang dicetak sesuai bentuk dan tempat pada gambar konstruksi di lokasi. Cetakan/bekesting biasanya terbuat dari kayu yang masa penggunaannya terbatas, perancah dari kayu/besi dibutuhkan maksimal menopang beban beton. Dinding menggunakan bata merah. 2. Beton Semi Pracetak Adalah beton yang dicetak terlebih dahulu di pabrik atau dilapangan selanjutnya dirakit mengikuti kebutuhan konstruksi di lokasi. Cetakan/bekesting dapat digunakan berulang, menggunakan perancah minimal. Pada alternatif ini, beton pada balok, kolom dan lantai memakai pracetak, sedangkan dinding menggunakan pasangan bata merah. 3. Beton Pracetak Penuh Seluruh beton menggunakan Pracetak, baik beton balok, kolom, lantai dan dinding.
Konvensional
Pracetak
Kebutuhan bahan bangunan utama, tenaga kerja dan kandungan energi bahan bangunan No
Komponen Utama
677 ton
688 ton
Pracetak Penuh 569 ton
3.483 m3
3.354 m3
682 m3
Batu pecah
339 m3
398 m3
642 m3
4
Besi tulangan
180 ton
77 ton
122 ton
5
Cetakan
Kayu 41 m3
Baja 7,9 ton
Baja 9,2 ton
6
Perancah
Kayu 562 m3
Baja 7,8 ton
Baja 7,8 ton
7
Tenaga terampil
25 org
50 org
60 org
8
Tenaga tdk terampil
100 org
40 org
20 0rg
9
Biaya (Rp x 1 milyar)
13,406
11,500
11,456
1
Semen
2
Pasir
3
Konvensional
Semi Pracetak
227
Bagian 2, I S M Interpretatif Structural Modelling (ISM) 1. Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretatif Structural Modelling) digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. Analisis ini digunakan sebagai salah satu alat (tool) dalam penelitian yang dilakukan untuk mengetahui faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam peningkatan daya dukung lingkungan, sesuai dengan pendapat dari para pelaku (stakeholder) yang terlibat di dalam pengembangannya. Selanjutnya faktor kunci dan tujuan strategis tersebut akan digunakan untuk mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi daya dukung lingkungan, melalui pemodelan dinamika sistem. 2. Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretatif Structural Modelling) digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. Menurut Marimin (2004), ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. 3. Petunjuk Pengisian Apabila Ibu/Bapak telah menentukan pilihan alternatif terbaik sesuai pertanyaan pada kuesioner AHP nomor 13-16 di atas, selanjutnya dimohon memberikan pendapat atas beberapa pertanyaan terkait rencana pengembangan alternatif tersebut. Kuesioner ini dimaksudkan untuk menstrukturisasi sub elemen-sub elemen pada elemen-elemen yang terkait dengan kebijakan pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan, yang saling berkaitan. Untuk membandingkan antar sub-elemen pada setiap elemen, maka Bapak/Ibu dapat memilih huruf-huruf V, A, X, dan O dimana : V : Jika sub-elemen yang ke-1 lebih penting atau harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-2 A : Jika sub-elemen yang ke-2 lebih penting atau harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-1 X : Jika kedua sub-elemen sama pentingnya atau keduanya harus ditangani bersama O : Jika kedua sub-elemen tidak sama penting atau kedua sub-elemen bukan prioritas yang harus ditangani. Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan
227
228
1
Pemerintah Pusat
2
Pemprov
3
Pemkab/Pemkot
4
Kementerian PU
5
Kementerian Perumahan Rakyat
6
Dinas PU
7
Pengelola Rusuna
8
Pelaku Usaha
9
Akademisi
10
Praktisi
11
Masyarakat
12
LSM
Pemerintah Pusat 1
Pemprov 2
Pemkab/Pemkot 3
Kementerian PU 4
5
Dinas PU 6
Pengelola Rusuna 7
Pelaku Usaha 8
Akademisi 9
Praktisi 10
12
LSM
Sub-elemen ke-i
Masyarakat
Sub-elemen ke-j
11
No
Kementerian Perumahan Rakyat
A. Aktor / Stakeholder
229 B . Permasalahan Pengembangan
1
Kurangnya sosialisasi
2
Terbatasnya SDM
3
Kurangnya SDA
4
Lemah pengawasan
5
Terbatas Bahan bangunan ramah lingkungan
6
Rendahnya inovasi
7
Terbatasnya teknologi
8
Kontraktor blm semua paham
9
Peralatan terbatas
10
Belum semua daerah ada beton mutu tinggi
11
Keraguan masyarakat
12
Sulinya urus perizinan
13
Kurang bantuan perbankan
14
SOP/pelaksanaan belum ada
15
SOP/pemeliharaan belum ada
16
Gagal konstruksi
17
Pekerjaan terlambat
SOP/pemeliharaan belum ada
SOP/pelaksanaan belum ada
Kurang bantuan perbankan
Sulinya urus perizinan
Keraguan masyarakat
Belum semua ada btn mutu tinggi
Peralatan terbatas
Kontraktor blm semua paham
Terbatasnya teknologi
Rendahnya inovasi
Terbatas bahanramah lingkungan
Lemah pengawasan
Kurangnya SDA
Terbatasnya SDM
Kurangnya sosialisasi
Sub-elemen ke-i
Gagal konstruksi
Sub-elemen ke-j
Pekerjaan terlambat
No
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1