MEKANISME PERDAGANGAN PRODUK SUMBERDAYA LAUT DI KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL TELUK CENDERAWASIH Trade Mechanism of Marine Resource Product in National Park of Teluk Cenderawasih Oleh/by : 1 2 Iga Nurapriyanto dan Baharinawati W. Hastanti
ABSTRACT People who live in surrounding National Park of Cenderawasih Bay exploit the biological resource found in the land as well as in the sea to fulfill their livelihood. Their Orientation toward commercialization of the natural products is still very low. High economic values of some flora and fauna products especially those come from marine resource in National Park of Cenderawasih Bay at export market attract entrepreneurs to come to exploit it. The study is aimed to learn more on marine products gathering activities and its trade. This study revealed that the trade mechanism of marine products are conducted in 3 ways, there are : 1. Fishermen collect and sell the products to entrepreneur that store the products in the island. 2. Both entrepreneur and fishermen jointly conduct the marine products collecting and exporters come to location that have been agreed on. 3. Exporters are involved directly in collecting activities in the field The benefits gained from the entrepreneurs by the community are availability of market for marine products, adoption of some harvesting technology and marine products processing technology. Key words: Teluk Cenderawasih National Park , trade, marine products ABSTRAK Sebagai masyarakat peramu, masyarakat yang berdomisili di dalam kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih cenderung masih memanfaatkan sumberdaya alam hayati baik di darat maupun lautan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orientasi masyarakat untuk mengkomersialisasikan hasil alam masih sangat rendah. Tingginya nilai ekonomi beberapa jenis flora fauna khususnya yang berasal dari sumberdaya laut di kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih pada pasar ekspor mendorong datangnya para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan eksploitasi. Pola pemanfaatan hasil alam melibatkan tenaga masyarakat setempat yang cenderung masih terbatas sebagai tenaga pengumpul. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari lebih mendalam tentang kegiatan pengumpulan hasil laut dan perdagangannya. Lokasi 1
Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manokwari. Alamat Email:
[email protected] 2 Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manokwari. Alamat Email :
[email protected] Mekanisme Perdagangan Produk Sumberdaya Laut (Iga Nurapriyanto & Baharinawati W.H)
59
penelitian adalah di Pulau Rumberpon dimana jumlah penduduknya cukup banyak dan memiliki potensi sumberdaya alam yang potensial baik dari segi konservasi maupun perdagangan. Hasil penelitian menunjukkan mekanisme perdagangan sumberdaya alam laut dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu: a). Nelayan menyetor dan menjual hasil laut kepada pedagang pengumpul dimana pelaku usaha/pengusaha bertindak sebagai pengumpul hasil laut di pulau.; b). Pengusaha/pedagang pengumpul dan nelayan/masyarakat lokal sama-sama melakukan kegiatan pengambilan hasil laut tersebut dan eksportir datang ke lokasi yang telah disepakati. dan c). Eksportir bertindak sebagai pelaksana langsung di lapangan tanpa melibatkan masyarakat sebagai tanaga kerja. Dampak dari kehadiran para pelaku usaha bagi masyarakat sekitar adalah tersedianya pasar bagi beberapa jenis hasil laut yang diperdagangkan, adopsi beberapa teknologi eksploitasi dan teknologi pengolahan hasil laut. Kata kunci : Taman Nasional Teluk Cenderawasih, perdagangan, sumberdaya laut. I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wilayah pesisir dan kelautan Indonesia dengan panjang pantai sekitar 81.000 2 km dan luas mencapai 3,1 juta km merupakan potensi sumberdaya yang kaya dan beragam, telah dimanfaatkan sebagai salah satu media bagi sumber bahan makanan utama, khususnya protein hewani (Dahuri, 2001). Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan berkembangnya jumlah penduduk merupakan kondisi yang harus diantisipasi agar sumberdaya alam laut tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan. Terutama dalam era otonomi khusus dengan diundangkannya UU Nomor 21 tahun 2001, Provinsi Papua termasuk Papua Barat3 memiliki kewenangan yang besar untuk mengelola sumberdaya laut sejauh 12 mil dari batas pantai bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kesempatan mengelola sumberdaya laut ini jika salah dimanfaatkan dapat kontraproduktif yang tidak saja merusak keberlangsungan fungsi ekosistem kawasan, namun juga berdampak pada memperburuk wajah kesejahteraan masyarakat. Salah satu kawasan konservasi laut di Papua adalah kawasan Teluk Cenderawasih yang ditetapkan sebagai Taman Nasional (TNTC) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 472/Kpts-II/1993 tanggal 2 September 1993. Kawasan ini memiliki luas 1.453.500 ha terdiri dari sekitar 55.800 ha luas daratan pulau, 12.400 ha pesisir pantai, 80.000 ha bentangan terumbu karang dan 1.305.300 ha luas lautan. Kawasan ini memiliki potensi keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna yang tinggi. Di samping itu terdapat 5 (lima) tipe pertumbuhan terumbu karang dan 46 jenis vegetasi daratan pulau juga terdapat 200 jenis karang (Coral), 355 jenis pisces, 5 jenis moluska, 3 jenis mamalia dan sedikitnya 37 jenis aves (Anonim, 2006). Tingginya 3
Provinsi pemekaran dari provinsi Papua (Irian Jaya)
60
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 59 - 72
tingkat keragaman hayati tersebut memerlukan pengelolaan yang optimal dengan tetap memperhatikan berbagai aspek penting seperti ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di dalam maupun di sekeliling kawasan. B. Permasalahan Masyarakat yang berdomisili di dalam kawasan TNTC dapat dikategorikan sebagai masyarakat peramu, dimana sebagian besar aktivitas kehidupannya cenderung masih memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya baik di darat maupun di laut. Sebagai masyarakat pesisir tentunya kegiatan yang berhubungan dengan laut lebih dominan daripada di darat, kendatipun demikian aktivitas lain seperti meramu sagu, berkebun dan beternak masih rutin dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Lokasi pemukiman masyarakat di dalam kawasan TNTC sebagian besar merupakan wilayah zona penyangga (buffer zone) dengan pemanfaatan terbatas pada teknik dan lokasi pemungutan hasil laut. Tingginya nilai ekonomi sumberdaya alam laut maupun darat berkorelasi langsung dengan tingginya interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi. Hal ini melatarbelakangi berbagai conflict of interest yang terjadi di sekitar kawasan konservasi. Pemanfaatan sumberdaya alam laut tidak saja dilakukan oleh masyarakat setempat namun juga oleh pelaku-pelaku usaha yang datang ke wilayah TNTC. Kerawanan kawasan akibat kegiatan eksploitasi dan perdagangan tanpa mengindahkan prinsip kelestarian di dalam kawasan Taman Nasional ini, perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus selain untuk melindungi fungsi kawasan sebagai areal konservasi, juga untuk memperkecil resiko konflik akibat kompetisi pemanfaatan sumberdaya alam antara penduduk setempat dengan pendatang. Dalam konteks tersebut, dirasa perlu mengkaji kebijakan sistem perdagangan hasil laut di dalam kawasan TNTC dengan melihat bagaimana mekanisme pemanfaatan dan sistem perdagangan sumberdaya alam laut. Diharapkan informasi tersebut dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam memantapkan fungsi pemangkuan, pelestarian dan pemanfaatan kawasan. C. Tujuan dan Sasaran Tujuan yang ingin dicapai adalah diperolehnya informasi tentang mekanisme perdagangan hasil laut di dalam kawasan TNTC. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah deskripsi mekanisme dan sistem perdagangan hasil laut yang berlaku di dalam kawasan TNTC. II. Metode Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggali berbagai informasi serta menjelaskan kondisi yang terjadi. Subyek penelitian adalah para pedagang/pengusaha yang melakukan kegiatan usaha bidang kelautan di lokasi penelitian. Pengambilan data dengan menggunakan teknik wawancara dengan panduan kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari institusi pemerintah, swasta maupun data ilmiah lainnya yang dapat mendukung informasi data penelitian. Mekanisme Perdagangan Produk Sumberdaya Laut (Iga Nurapriyanto & Baharinawati W.H)
61
Lokasi penelitian yang dipilih sebagai lokasi contoh adalah beberapa desa yang berada di Pulau Rumberpon pada wilayah pengelolaan Seksi Wilayah Konservasi Yembekiri, TNTC. Pulau ini merupakan salah satu pulau yang didiami oleh beberapa komunitas masyarakat dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang relatif homogen dan kegiatan perdagangan hasil laut relatif lebih aktif dilakukan, sehingga diharapkan informasi yang diperoleh dapat lebih mewakili. III. Hasil Dan Pembahasan A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1.
Geografis
Dalam rangka pengelolaan TNTC, Balai TNTC membagi wilayah pengelolaan menjadi tiga wilayah pengelolaan, yakni Wilayah Pengelolaan I di Kwatisore (450. 311,50 ha), Wilayah Pengelolaan II di Wasior (571. 157,25 ha) dan Wilayah Pengelolaan III di Yembekiri seluas 423. 031,25 ha (BTNTC, 2005). Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan TNTC termasuk dalam iklim tipe A dengan nilai Q=12,47%. Rata-rata curah hujan per tahun berkisar o o antara 1500 - 3500 mm dengan temperatur udara 25 - 30 C dan kisaran kelembaban udara rata-rata antara 75 - 90%. Curah hujan di kawasan ini sering berfluktuatif, akibat kecepatan pola angin yang tidak merata. Bertiupnya angin dari barat atau barat laut cenderung mengakibatkan gelombang besar dan hujan lebat. Tiga jenis musim angin yang berpengaruh terhadap aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat kawasan ini, adalah: 1. Musim barat; angin bertiup dari barat atau barat laut yang ditunjukkan dengan kecepatan angin sangat tinggi, bergelombang besar, hujan lebat dan cuaca buruk. Kondisi ini sering terjadi pada bulan September hingga Maret. 2. Musim timur; pergerakan angin bergerak dari arah timur atau tenggara, dengan kondisi angin yang tidak begitu kuat dan sering kali kondisi laut tenang. Musim ini terjadi pada bulan April hingga Juli. 3. Musim pancaroba; merupakan musim peralihan dari musim barat dan timur dengan kondisi cuaca tidak menentu. Musim ini terjadi pada bulan Agustus. Pulau Rumberpon adalah salah satu pulau besar yang berada Wilayah Pengelolaan kawasan III (Yembekiri) dengan luas 10.086 ha dan terletak pada o o o o koordinat 01 44' - 01 57' Lintang Selatan dan 134 08' - 134 14' Bujur Timur. Pulau ini berbatasan dengan Tanjung Oransbari di sebelah utara, P. Mioswaar/Roswaar di timur, distrik Windesi di selatan dan P. Irian di sebelah barat. Secara administratif merupakan salah satu distrik dari kabupaten Teluk Wondama, yaitu distrik Rumberpon kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat.
62
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 59 - 72
P. Rumberpon
TNTC
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian, Taman Nasional Teluk Cenderawasih Figure 1. Research location map, Teluk Cenderawasih National Park 2.
Potensi Sumberdaya Hayati
Ekosistem terumbu karang di TNTC pada umumnya terbagi menjadi dua zona yaitu zona rataan terumbu (reef flat) dan zona lereng terumbu (reef slope). Pada zona rataan terumbu pada sisi yang dekat garis pantai (daerah intertidal) hanya didominasi oleh substrat pasir dan lamun. Setelah bagian ini beberapa jenis karang mulai terlihat terutama dari marga Porites, Acropora, Poccilopora, dan Favites. Hamparan terumbu karang yang luas bisa dijumpai di beberapa pulau seperti P. Pepaya dan Tridacna Atol. Pada beberapa pulau zona rataan terumbu mempunyai ciri khas tersendiri, antara lain dijumpai adanya koloni Blue Coral (Heliopora coerulea), karang lunak (Soft Coral) dari jenis Sacrophyton sp., gorgonion (Anthipathes sp dan Gorgonaceae). Ada dua tipe reef slope di kawasan TNTC yaitu reef slope yang landai dan reef slope yang berbentuk tubir (drop off). Jenis-jenis karang yang dapat dijumpai pada zona reef slope antara lain, Leptoseris spp., Montipora spp.,Oxypora spp., Pachyseris spp., dan Mycedium elephantatus serta Poritesrus. Sedangkan keanekaragaman jenis satwa dilindungi yang dapat dijumpai di wilayah Seksi Wilayah Konservasi Yembekiri antara lain berbagai jenis aves terutama dari marga Cassowaries, Megapodes, Cormorant, Darter, Pelican, Bittern, Egrets, Falcons, Terns dan jenis-jenis burung paruh bengkok; jenis mamalia seperti lumba-lumba (Dolphinidae) di perairan utara P. Rumberpon dan Roswaar, sebelah timur P. Roswaar dan Rusa (Cervus timorensis) di P. Rumberpon dan daratan Pulau Irian.
Mekanisme Perdagangan Produk Sumberdaya Laut (Iga Nurapriyanto & Baharinawati W.H)
63
Jenis reptil penting dan merupakan jenis satwa langka dan atau dilindungi antara lain penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermocheys coriaceae), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) yang menggunakan P. Wairundi sebagai tempat bertelur. Selain itu biawak (Varanus sp.) juga masih tersebar baik di daratan Papua maupun pulau-pulau sekitar. Jenis pisces dan biota laut lainnya yang ada seperti jenis ikan muara, ikan hutan mangrove, ikan karang dan ikan-ikan pelagic. Jenis-jenis ikan karang merupakan jenis yang paling banyak dijumpai seperti, jenis ikan warna-warni dari famili Chaetodontidae (Kepe-kepe/Butterflyfishes), famili Pomacanthridae (angelfish, damselfish, dan anemonefish), Labridae (wrasse), Scaridae (parrotfish), Acanthuridae (surgeanfishes), Siganidae (rabbitfishes), Balistidae (triggerfishes) dan beberapa jenis ikan karang lainnya. Keanekaragaman sumberdaya laut lain yang terdapat di Seksi Wilayah Konservasi Yembekiri adalah dari jenis molusca. Molusca Gastropoda/keong yang sering dijumpai antara lain keong cowries (Cypraea spp), keong strombidae (Lambis spp), dan keong kerucut (Conus spp), triton terompet (Charonia tritonis), kepala kambing (Cassis cornuta) dan lola (Trochus nilotichus). Jenis-jenis lain yang bisa dijumpai adalah molusca katup ganda dari famili Tridacnidae (kima/kerang raksasa). Tercatat ada enam species kima yang bisa dijumpai di kawasan Seksi Wilayah Konservasi Konservasi Yembekiri, yaitu kima raksasa (Tridacna gigas) namun untuk jenis kima ini sudah sulit untuk dijumpai, kima selatan (Tridacna derasa), kima sisik (Tridacna squamosa), kima besar (Tridacna maxima), kima lubang (Tridacna crocea) dan kima pasir (Hipopus hipopus). Di samping itu terdapat 46 jenis vegetasi daratan pulau, mulai dari vegetasi hutan pantai sampai vegetasi hutan pegunungan daratan pulau (ketinggian 467 mdpl). Potensi keanekaragaman hayati pada daratan pulau-pulau tersebut belum banyak terungkap karena masih terbatasnya kegiatan inventarisasi dan penelitian yang dilaksanakan. Vegetasi alami yang terdapat di daratan pulau-pulau pada Seksi Wilayah Konservasi Yembekiri adalah jenis tumbuhan tropis, sedangkan pada kawasan pesisir pantainya didominasi oleh jenis tumbuhan pantai seperti Terminalia catappa, Pandanus spp, Barringtonia spp, Calophylum inophylum, Casuarina equisetifolia, Hibiscus tiliaceus. Beberapa jenis vegetasi mangrove seperti Avicenia spp, Bruguiera spp, Rhizopora spp, Sonneratia spp., banyak di jumpai di sebagian pesisir pantai, terutama di sekitar Pulau Rumberpon dan Roswaar. 3.
Aksesibilitas
Untuk menjangkau pulau ini dari pusat ibu kota pemerintahan provinsi Papua 4 Barat (Manokwari) digunakan sarana transportasi laut . Jika melalui distrik Ransiki yang merupakan distrik terdekat dapat ditempuh ± 5-6 jam. Saat ini telah ada sarana transportasi umum yang melayani pelayaran secara reguler antara kota Manokwari hingga kota Kabupaten Teluk Wondama dengan transit pada desa-desa di sekitarnya.
4
Waktu tempuh 8 - 10 jam menggunakan speedboat 40 PK engine.
64
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 59 - 72
B. Mekanisme Eksploitasi dan Sistem Perdagangan 1.
Identitas Responden
Para pelaku usaha yang secara intensif melakukan kegiatan pemanfaatan hasil laut di lokasi penelitian selama penelitian sebanyak 24 orang pelaku usaha, dimana 16 pelaku usaha berasal luar Papua seperti Madura, Sulawesi, Jawa hingga Sumatera. Sementara 4 responden pelaku usaha telah berdomisili di lokasi contoh berasal dari Suku Buton dan 4 orang responden pelaku usaha lainnya merupakan penduduk lokal. Bagi para pelaku usaha yang berasal dari luar Papua umumnya adalah petugas lapangan dan bertanggung jawab terhadap proses pengumpulan hasil laut di lokasi pemungutan. Usia rata-rata responden pelaku usaha adalah 39 tahun, dengan kisaran 34 - 53 tahun. Keseluruhannya berstatus kawin dengan tanggungan keluarga mencapai 4 jiwa/KK. Alasan para pelaku usaha/pedagang tersebut datang dan melakukan pemungutan di lokasi penelitian menunjukkan adanya indikasi tingginya nilai ekonomi dari potensi alam laut terutama untuk kebutuhan pasar lokal, domestik maupun ekspor. Informasi yang diperoleh dari para pelaku usaha menyatakan bahwa mereka mengetahui tingginya potensi sumberdaya laut TNTC dari sesama pelaku usaha maupun dari media informasi lainnya. Sementara potensi sumberdaya laut sekitar lokasi pasar (pusat industri) diduga berbanding terbalik dengan kecenderungan permintaan pasar. Pelaku usaha masuk ke dalam kawasan secara perorangan maupun kelompok dan umumnya mereka memiliki pengalaman yang cukup lama dalam perdagangan dan pemungutan hasil laut dengan lokasi usaha yang terus berpindahpindah sejalan dengan ketersediaan potensi. 2.
Perizinan
Proses perizinan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hasil alam, bagi para pelaku usaha sebagian besar masih dilakukan melalui pendekatan personal kepada masyarakat terutama kepala desa, aparat desa, kepala suku maupun tokoh masyarakat pemilik hak ulayat. Perizinan yang diberikan mencakup daerah atau wilayah yang akan dieksploitasi dengan batas waktu, tempat, jenis dan kuantitas komoditi yang akan dikumpulkan. Proses perizinan tersebut hanya sebatas tingkat desa dan diketahui oleh para aparat desa dan sebagian masyarakat. Di samping perizinan tingkat desa, para pelaku usaha juga meminta ijin kepada dinas perikanan kabupaten Manokwari dengan dikeluarkannya Surat Ijin Usaha Perikanan dan Balai TNTC selaku institusi pengelola kawasan konservasi mengeluarkan Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) dan secara teknis diawasi oleh petugas. 3.
Rantai Tata Niaga
Para pelaku usaha/pengusaha yang dimaksud adalah seseorang atau sekelompok orang yang tinggal sementara dengan tujuan melakukan kegiatan pengumpulan hasil alam, pada wilayah, waktu, jenis dan jumlah komoditi tertentu dimana keberadaan mereka diketahui oleh aparat dan warga desa, serta memberi Mekanisme Perdagangan Produk Sumberdaya Laut (Iga Nurapriyanto & Baharinawati W.H)
65
kontribusi dari usahanya tersebut kepada desa. Sementara jenis komoditi yang diusahakan lebih cenderung pada komoditi dengan nilai ekonomi yang tinggi baik di pasar domestik, nasional maupun pasar ekspor. Mereka ini biasanya merupakan kepanjangan tangan dari para pengusaha ekspor yang berskala besar terutama di daerah basis pelabuhan ekspor. Ada juga orang luar yang telah berdomisili dan menjadi warga desa yang mengusahakan usaha dagang di wilayah tersebut dan disebut pedagang. Mereka kerap kali melakukan kegiatan perdagangan dengan menjual barang-barang kebutuhan masyarakat di dalam desa tersebut maupun antar desa atau antar pulau. Kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh pedagang tidak sebatas pada proses penjualan barang kebutuhan masyarakat setempat tetapi juga sebagai pengumpul hasil-hasil alam baik berupa hasil darat maupun hasil laut. Dari hasil pengamatan di lapangan, sedikitnya terdapat 3 (tiga) model eksploitasi hasil laut yang dilakukan oleh para pedagang/pengusaha di kawasan TNTC, yaitu : 1. Nelayan menyetor (masyarakat) dan menjual kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul hanya bentindak secara pasif di pulau. Sedikitnya terdapat 2 karakter hubungan ikatan kerja antara para pelaku usaha, yaitu: a. Hubungan informal tanpa ikatan kerja. Para nelayan berstatus sebagai pelaku usaha bebas yang tidak memiliki ikatan dalam melakukan kegiatan pemungutan dan pemasaran kepada pedagang pengumpul atau lembaga tataniaga pada tingkat berikutnya. b. Hubungan formal dengan ikatan kerja baik antara nelayan dengan pedagang pengumpul maupun pengusaha induk. Pada kenyatannya jenis hubungan informal tanpa ikatan kerja yang paling banyak diterapkan, dengan alasan efisiensi dan efektivitas serta meminimalkan benturan-benturan sosial yang terjadi, namun memiliki keterbatasan pada kontinuitas dan produktivitas produksi. Penggunaan masyarakat lokal setempat (berkisar antara 1-3 orang) sebagai karyawan pada satu sisi memiliki prinsip memberdayakan masyarakat namun di sisi lain merupakan potensi terjadinya konflik sosial intern, mengingat perbedaan karakteristik sosial, budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Hal ini disebabkan oleh dualisme pemahaman yang terjadi, antara lain: 1). pedagang pengumpul membutuhkan orang yang dapat membantunya melakukan produksi dengan jumlah yang terbatas sedangkan sebagian besar masyarakat setempat masih banyak yang menganggur; 2). tidak semua masyarakat menyetujui kegiatan pemungutan yang dilakukan pada wilayahnya tanpa mendapatkan kontribusi yang nyata dari pedagang pengumpul mengingat mereka juga memiliki hak yang sama sebagai pemilik hak ulayat; 3). Kurangnya transparansi harga pasar riil yang dijual pedagang pengumpul ke pasar, sehingga ada sebagian anggapan dari masyarakat bahwa harga yang diterapkan pada lokasi pemungutan sangat jauh di bawah harga riil yang berlaku di pasar industri dengan margin keuntungan yang sangat besar dinikmati pedagang; 4). Adanya perbedaan persepsi masyarakat lokal terhadap status kawasan konservasi dengan pemanfaatan yang berbasis kelestarian, sedangkan pemungutan beberapa jenis komoditi justru menggunakan alat dan bahan yang berbahaya terhadap lingkungan laut, seperti kompresor bukan standar penyelaman, gancu, asam sianida maupun bom . Beberapa rantai niaga yang berlaku disajikan berikut. 66
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 59 - 72
Rantai Tataniaga Model 1. Nelayan / masyarakat lokal
Pedagang Pengumpul
Pengusaha induk
Pasar
Pada perdagangan Model 1, jenis-jenis komoditi laut yang sering dimanfaatkan secara langsung oleh konsumen adalah ikan segar dan ikan asin namun dalam skala produksi kecil dan terbatas. Mekanisme pengambilan dilakukan oleh nelayan atau masyarakat setempat yang menjualnya kepada pedagang pengumpul dalam keadaan 5 segar (fresh) dengan kisaran harga Rp. 1.000 - Rp. 10.000/ekor atau antara Rp. 1.000 Rp. 4.000/ekor untuk teripang. Proses penggaraman serta pengeringan dilakukan oleh para pedagang pengumpul dengan alasan menjaga kualitas produk. 2. Pengusaha/pedagang pengumpul dan nelayan/masyarakat lokal melakukan kegiatan pengambilan hasil laut secara bersama dan eksportir datang ke lokasi yang telah disepakati. Pada kondisi ini kapasitas produksi yang ditargetkan cenderung lebih besar dengan sasaran pasar ekspor. Rantai Tataniaga Model 2. Nelayan / masyarakat lokal
Eksportir
Pasar
Pengusaha / pedagang pengumpul
Jenis-jenis komoditi laut yang diusahakan pada model 2 terutama jenis komoditi hasil laut yang membutuhkan kondisi segar/hidup seperti jenis-jenis ikan karang, ikan hias dan lobster. Kondisi segar/hidup ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mempertahankan harga komoditi di pasar ekspor. Pada model kedua ini, nelayan pencari ikan umumnya berasal dari kampung di kawasan TNTC yang diupah dengan dibekali bahan dan perlengkapan penyelaman. Hasil tangkap selanjutnya disimpan dalam keramba hingga diambil eksportir. 3. Eksportir bertindak sebagai pelaksana langsung di lapangan dengan kapasitas produksi berskala besar dan penggunaan armada, peralatan tangkap dengan teknologi yang relatif modern. Rantai Tataniaga Model 3. Eksportir
5
Pasar
Perbedaan harga tersebut didasarkan pada jenis, ukuran dan jumlah komoditi.
Mekanisme Perdagangan Produk Sumberdaya Laut (Iga Nurapriyanto & Baharinawati W.H)
67
Kegiatan pemungutan yang dilakukan pada model 3, lebih cenderung dilakukan oleh para pelaku usaha illegal baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Beberapa jenis hasil laut yang diambil cenderung pada jenis-jenis ikan karang seperti Napoleon wrasse, lobster, sirip ikan hiu dan teripang dengan nilai jual yang tinggi untuk langsung dijual ke pasar ekspor. Sayangnya dalam pengambilan jenis-jenis ikan karang ini cenderung mengancam kelestarian terumbu karang dan biota laut lainnya dengan penggunaan berbagai bahan dan peralatan yang berbahaya, diantaranya pukat harimau, kompresor selam, bom ikan, Pottasium cyanida, dan gancu6. Dari ketiga model di atas persentase kecenderungan menunjukkan model pertama lebih banyak mendominasi perdagangan hasil laut di sekitar TNTC yakni sebesar 79 % dibanding model kedua dan ketiga yakni masing-masing sekitar 8 % dan 13 %. Komposisi Model Pemanfaatan Sumberdaya Laut
model 1
model 2
model 3
Kondisi ini menunjukkan bahwa mayoritas pemanfaatan sumberdaya laut di kawasan Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih masih didominasi oleh pola pemanfaatan tradisional dengan menggunakan model 1. Namun adanya pola pemanfaatan pada model 3 perlu diwaspadai dan diminimalkan karena tidak menerapkan prinsip kelestarian kawasan dan pemberdayaan masyarakat khususnya di dalam kawasan. 4.
Pemasaran
Bagi masyarakat setempat yang sekaligus sebagai pelaku usaha bidang perikanan, pemasaran hasil laut selama ini dilakukan oleh para pedagang pengumpul antar desa atau antar pulau dengan harga kesepakatan yang ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Jenis komoditi dimaksud adalah seperti teripang, ikan segar dan ikan olahan (ikan asin). Adanya pedagang pengumpul ini cenderung lebih memudahkan penyediaan pasar hasil laut mengingat keterbatasan sarana transportasi guna menjangkau antar desa maupun antara desa dan kota distrik. Selanjutnya pedagang pengumpul tersebut memasarkannya ke kota distrik maupun kota kabupaten. Sedangkan penentuan harga tiap komoditi yang diusahakan oleh para pengusaha/pedagang/pelaku usaha kepada masyarakat yang mencari komoditi 6
Alat yang bagian ujungnya dibengkokkan ke dalam digunakan untuk membongkar lubang karang tempat
68
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 59 - 72
tersebut cenderung lebih ditentukan oleh para pelaku usaha. Masyarakat berada pada posisi tawar yang rendah. Hal ini cenderung lebih menguntungkan para pelaku usaha yang lebih mengetahui harga riil di pasar nasional maupun ekspor, sementara informasi pasar dan harga pasar hampir tidak diketahui oleh masyarakat. Komoditi dimaksud adalah beberapa jenis ikan karang segar, lobster, teripang dan sirip ikan hiu yang untuk selanjutnya dipasarkan ke Makassar, Madura, Surabaya dan Jakarta dengan menggunakan fasilitas kapal ikan pelaku usaha maupun kapal Pelayaran Nasional. Rata-rata hasil laut yang diusahakan pelaku usaha pada tiap desa di Pulau Rumberpon setiap bulan seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata hasil laut pada tiap desa di Pulau Rumberpon setiap bulan No. 1. 2.
Jenis Komoditi
Teripang ( Holothuroideae) (Kg) Kerang -kerangan (Tridacna sp): (Kg) 3. Ikan karang : ~Napoleon Wrasse (Cheilinius undulatus) (Ekor) 4. ~Kerapu (Serranidae) (Kg) 5. ~Kakap (Lutjanidae) (Kg) 6. Ikan segar biasa (Kg) 7. Sirip ikan hiu (Kg) 8. Ikan hias (Ekor) 9. Ikan olahan (ikan asin) (Kg) 10. Udang karang/Spiny Lobster (Kg)
Iseren 42.57 23.50
Desa Produksi (Satuan ) Yembekiri Yomakan 53.18 47.7 17.63 27.81
Isenebuai 68.43 33.54
0
0
315
0
192.66 182.21 0 0 0 26.74 0
187.23 176.54 675 8.39 0 46.98 19.72
166.12 156.42 630 11.23 0 58.35 21.37
167.87 168.51 0 0 250 37.11 0
Data Primer, 2005
Rata-rata hasil beberapa jenis komoditi laut yang diusahakan setiap pelaku usaha pada tiap desa pada Tabel 1 relatif homogen terutama untuk teripang, kerapu dan kakap. Di samping itu Napoleon Wrasse, sirip ikan hiu, lobster dan ikan hias (terutama Anglefish dan ikan badut) merupakan beberapa jenis hasil laut yang cukup diminati para pengusaha karena nilai ekonominya relatif tinggi dibanding jenis lainnya di pasar nasional dan ekspor. Sedangkan untuk jenis kerang-kerangan, ikan segar biasa dan ikan olahan (ikan asin) lebih banyak dilakukan oleh para pelaku usaha pada daerah setempat dan dipasarkan pada tingkat distrik dan kabupaten saja. Interaksi para pengusaha dengan warga maupun pedagang juga hanya terbatas pada proses pengumpulan hasil alam dengan tingkat harga yang telah disepakati sebelumnya. Pemanfaatan tenaga masyarakat setempat terbatas pada tenaga pengumpul hasil laut sementara peran pedagang terbatas pada kegiatan kolektif dari para pengumpul dan memasarkannya kepada para pengusaha atau langsung mengirimkan hasil laut ke pasar domestik atau ekspor dengan kesepakatan baru sesuai harga pasar. Untuk jenis komoditi ikan-ikan karang, tidak semua mayarakat dilibatkan dalam kegiatan pengumpulannya. Terutama bagi mereka yang memiliki kemampuan diving dengan menggunakan kompresor. Kondisi ini cenderung menyebabkan masyarakat lainnya hanya bisa menonton aktivitas yang terjadi dan tidak mendapat kontribusi dari kehadiran pengusaha.
Mekanisme Perdagangan Produk Sumberdaya Laut (Iga Nurapriyanto & Baharinawati W.H)
69
5.
Persepsi Masyarakat.
Keberadaan para pengusaha/pedagang/pelaku usaha bidang perikanan dari hasil pengamatan dalam berinteraksi dengan masyarakat setempat dalam melakukan aktivitasnya cukup kondusif terutama bagi para pelaku usaha yang telah berdomisili sebelumnya. Hal ini terlihat dari harmonisasi hubungan kemasyarakatan maupun di saat proses produksi. Kehadiran pelaku usaha mendorong terjadi interaksi ekonomi di desa, terutama saat terjadi surplus produksi, seperti ikan segar, ikan asing dan teripang. Bagi para pelaku usaha yang datang dari luar P. Rumberpon dan melakukan proses pengumpulan hasil laut dengan melibatkan sebagian masyarakat setempat lebih cenderung menciptakan konflik horisontal terutama bagi masyarakat yang kurang atau tidak mendapatkan manfaat dari kehadiran pelaku usaha tersebut, seperti penggunaan tenaga kerja lokal. Manfaat lainnya adalah transfer tehnologi dan pengetahuan cara pengolahan hasil laut, meski tidak dapat dipungkiri pada saat bersamaan terjadi pula transfer pengetahuan yang destruktif dalam pemungutan hasil laut di sekitar lingkungan TNTC, seperti penggunaan alat dan bahan yang dilarang (bahan peledak, bahan peledak, gancu) dalam penangkapan ikan. Pengusaha juga berpartisipasi dalam membantu desa baik dalam penyediaan fasilitas desa maupun fasilitas keagamaan (gereja), selama berlangsungnya kegiatan pemungutan hasil laut. Selain usaha yang dilakukan secara legal, masih terdapat praktek-praktek yang dapat dikelompokkan sebagai illegal fishing seperti praktek penangkapan ikan Napoleon wrasse meski telah dikeluarkan larangan ekspor ikan napoleon. Larangan ini dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No 375/Kpts/IK.250/5/95 Tanggal 16 Mei 1995 dan disusul oleh Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 94/Kp/1995 Tanggal 24 Mei 1995 yang melarang ekspor Napoleon wrasse dalam keadaan hidup atau mati, bagian-bagiannya maupun barang-barang ikutan lainnya. Pengetahuan masyarakat terhadap pasar dan harga tiap jenis komoditi pun terbatas, terutama untuk beberapa komoditi yang diusahakan guna pemenuhan kebutuhan pasar nasional dan internasional. Hal ini cenderung menyebabkan masyarakat berada dalam posisi tawar yang rendah. 6.
Hasil Darat
Kegiatan ekonomi masyarakat yang dilakukan di daratan pada masyarakat pesisir di wilayah konservasi TNTC cenderung dilakukan sebagai buffer dalam mendukung kegiatan melaut terutama pada saat kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk melaut. Pada lokasi penelitian, kegiatan tersebut secara umum dibedakan menjadi tiga jenis aktivitas berdasarkan sumbernya, yaitu 1). Kegiatan yang bersumber dari hasil hutan terutama untuk pemenuhan kebutuhan pangan (sagu), obat-obatan dan bahan-bahan bangunan, 2). Kegiatan budidaya tanaman holtikultura maupun tanaman keras, diantaranya ubi jalar (Ipomoea batatas), ubi talas (Colocasia sp), Ubi kayu (Manihot utilisima), pisang (Musa sp), cabe (Capsicum sp), gedi (Abelmoschus sp), coklat (Theobroma cacao), kelapa (Cocos nucifera) dan mangga (Mangifera spp). 3). Kegiatan peternakan (tradisional), antara lain: ternak babi, kambing dan ayam kampung. 70
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 59 - 72
Untuk kegiatan budidaya masih terbatas pada jenis-jenis komoditi yang dimanfaatkan langsung dalam pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Sementara untuk jenis tanaman keras terutama kelapa sangat dominan dibudidayakan untuk diambil produk minyak kelapanya yang sebagian besar telah menjadi industri rumah tangga. Walaupun hanya sebagai kegiatan tambahan rumah tangga, produk minyak kelapa ini sebagian telah dipasarkan ke kota distrik dan kota kabupaten, sedangkan sebagian lagi digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Untuk hasil peternakan rakyat dilakukan dengan relatif sederhana terutama untuk jenis ternak unggas (ayam kampung), kambing dan babi. Jenis ternak yang diusahakan lebih dominan adalah ayam kampung walaupun teknis pengelolaannya masih sangat tradisional, ternak hanya dilepas bebas tanpa perlakuan-perlakuan khusus untuk meningkatkan produksi. Kondisi ini serupa dengan pengelolaan ternak kambing, namun untuk ternak babi relatif lebih terkonsentrasi baik dalam pemberian pakannya maupun pembuatan kandang. IV. Kesimpulan Dan Saran A. Kesimpulan 1. Terdapat tiga model pemanfaatan sumberdaya hasil laut di kawasan TNTC, yaitu: a). Nelayan menyetor dan menjual kepada pedagang pengumpul dimana pelaku usaha/pengusaha hanya sebagai pengumpul hasil laut di pulau saja.; b). Pengusaha/pedagang pengumpul dan nelayan/masyarakat lokal secara bersamasama melakukan kegiatan pengambilan hasil laut dan eksportir datang sendiri ke lokasi yang telah disepakati. dan c). Eksportir bertindak sebagai pelaksana langsung di lapangan. 2. Manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat setempat dengan kehadiran para pelaku usaha adalah tersedianya pasar dan adopsi cara eksploitasi sumberdaya hasil laut dan metode pengolahan pasca tangkap. 3. Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap standarisasi mutu dan harga pasar (riil) dari beberapa jenis komoditi hasil laut terutama di pasar nasional maupun ekspor. B. Saran 1. Mengupayakan peningkatan kesadaran masyarakat melalui kegiatan penyadaran dan pendidikan publik tentang pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam secara berkesinambungan. 2. Melakukan pemberdayaan masyarakat nelayan dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hasil laut guna peningkatan nilai jual komoditi. 3. Pengembangan ekonomi alternatif terutama yang menyentuh aspek sosial, budaya dan potensi ekonomi setempat. 4. Peningkatan upaya partisipatif kelompok nelayan dengan meningkatkan manajemen produksi dan teknologi pengolahan hasil, termasuk menyediakan informasi pasar baik tentang harga hasil laut, jenis komoditi unggulan maupun jaringan pemasarannya. Mekanisme Perdagangan Produk Sumberdaya Laut (Iga Nurapriyanto & Baharinawati W.H)
71
5. Peningkatan fungsi pengawasan wilayah konservasi TNTC dengan keterlibatan segenap elemen masyarakat, institusi pengelola maupun instansi terkait lainnya dalam menekan perdagangan hasil laut illegal. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2001. Kepulauan Padaido. Yayasan Kehati. Yogyakarta Anonim, 2006. RPTN Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Manokwari. Tidak Dipublikasikan. BTNTC, 2005. Statistik Balai Taman Nasional Teluk Cenderawasih. BTNTC. Manokwari. Tidak Dipublikasikan. Dahuri, Rokhmin. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Dephutbun. 2000. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta. Dephutbun. 2000. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta. Ditjen PKA. 2000. Pedoman Pengamanan Terumbu Karang dan Ekosistemnya. Depertemen Kehutanan. Jakarta
72
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 59 - 72