‘Idul Adha : Menumbuhkan Budaya Keteladanan Oleh Mohammad NUH
Allahu Akbar WH Alhamdulillah: kita semua harus bersyukur ke hadirat Ilahi Rabbi atas segala nikmat dan karunia Nya, sehingga kita semua dapat melaksanakan sholat ‘Idul Adha di Masjid Istiqlal dalam keadaan sehat wal afiat. Ada tiga macam nikmat, apabila ketiga macam nikmat tersebut bertemu secara bersamaan, hidup ini menjadi semakin sempurna, yaitu nikmat: iman, kesehatan dan kesempatan. Untuk meningkatkan rasa syukur kita, mari kita renungkan, ternyata: Tidak semua orang mendapatkan nikmat iman, Alhamdulillah kita semua dikaruniai nikmat iman dan islam, sehingga kita tetap berpegang teguh pada kalimah tauhid, Laa ilaha illalloh, Muhammad Rasululloh. Oleh karena itu, mari kita doakan agar saudara-saudara kita yang belum mendapatkan nikmat iman, dikaruniai oleh Allah nikmat iman dan islam. Tidak semua orang yang beriman, dikaruniai nikmat kesehatan, Alhamdulillah kita semua telah dikaruniai nikmat kesehatan. Betapa banyak, saudara-saudara kita yang sekarang ini masih harus berbaring di rumah atau di rumah sakit. Mereka tidak hanya harus menanggung beratnya rasa sakit itu, tetapi juga harus menanggung biaya pengobatan, dengan sakitnya itu pula mereka tidak bisa bekerja, tidak ada penghasilan, pada hal mereka harus menanggung biaya hidup anak, isteri atau suami. Oleh karena itu, mari kita tingkatkan amal sosial kita dan kita doakan, agar saudara-saudara kita yang sedang sakit dikaruniai oleh Allah nikmat kesembuhan dan kesehatan. Dan ternyata, tidak semua orang yang beriman, dan sehat dikaruniai kesempatan. Ada kalanya diantara mereka yang tidak memiliki kesempatan tersebut karena harus bertugas, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, mari kita doakan agar mereka dikaruniai rizki yang halal dan barokah. Dan ada pula diantara mereka, pada tahun yang lalu, bulan yang lalu, minggu yang lalu, dan beberapa saat yang lalu masih bisa menikmati indahnya menunaikan ibadah kepada Allah, ternyata mereka telah menghadap kehadirat Ilahi Rabbi. Untuk itu, mari kita doakan: Allahummaghfir lahum warhamhum wa’afihim wa’fu ‘anhum. Bagi kita semua yang hadir disini, merasakan betapa sempurnanya hidup ini, karena ketiga macam nikmat tersebut bertemu secara bersamaan. Dan sekali lagi, tidak semua orang mendapat nikmat seperti yang dianugerahkan kepada kita sekarang ini. Terlalu banyak nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepada kita, tidak mungkin kita menghitungnya [QS: 16:18]. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa bersyukur kehadirat Ilahi Rabbi, atas karunia nikmat tersebut. Hamdallah, merupakan ungkapan syukur dalam bahasa lisan, optimisme dan berpola pikir positif (positive thinking) merupakan bahasa kejiwaannya. Mendaya-manfaatkan seluruh potensi dan sumberdaya (resources) yang kita miliki agar
(1 )
‘Idul Adha 1429 H, Istiqlal Jakarta
memberikan kemanfaatan sebanyak-banyaknya terutama bagi masyarakat jamak adalah bahasa perbuatannya. Dalam konsep syukur berlaku konsep Ziyadah yaitu peningkatan, penumbuhan dan pengembangan, baik yang bersifat penambahan (additive) maupun perkalian (multiplicative). Barangsiapa yang bersyukur Allah akan menambah nikmat Nya, dan Barangsiapa yang kufur (tidak mau bersyukur), sesungguhnya ‘adzab Allah sangat pedih [QS:14:7]. Dan memang sangat sedikit hamba-hamba Allah yang pandai bersyukur [QS:34:13]. Dengan konsep syukur itulah, prinsip Anfa’isme dapat direalisasikan. Yaitu prinsip hidup yang selalu berkeinginan untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan terutama bagi masyarakat jamak. Konsep ini didasarkan pada hadist: sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling besar dalam memberikan kemanfaatan bagi manusia. Jadi kemuliaan seseorang itu ditentukan oleh kemampuannya atau kontribusinya dalam memberikan kemanfaatan, kemaslahatan bagi orang lain atau masyarakat jamak. Dengan menggunakan mafhum mukhollafah (logika balik), ketidak muliaan (kehinaan) seseorang itu, ditentukan oleh kemudharatan yang ditanggung, diderita orang lain yang diakibatkan oleh perilaku dirinya. Konsep Anafa’isme ini tidak mengharuskan atau mensyaratkan seseorang harus mencapai hirarki struktural tertentu dalam jenjang manajemen-organisasi, tetapi dimanapun posisinya, apapun pekerjaannya (tentu yang diperbolehkan menurut syara’), selama dia mampu mengoptimalkan posisi dan tugas dalam lingkup kewenangannya, sehingga mampu memberikan kemanfaatan terbaiknya bagi masyarakat jamak, itulah orang yang terbaik. Allahu Akbar WH Pada hari-hari ini, jutaan saudara-saudara kita dari berbagai penjuru dunia sedang menunaikan ibadah haji, dengan niat dan tujuan yang sama yaitu untuk memenuhi panggilan Allah: berhaji. Diantara mereka ada para auliya’, orang-orang yang ikhlas dan orang-orang mulia lainnya. Ada diantara mereka, bukanlah orang yang berkecukupan, tetapi karena niat mereka yang sangat kuat, dengan cara hidup yang hemat, mereka menabung sedikit demi sedikit, di balik keterbatasan hidup yang harus dihadapinya, semata-mata untuk menyambut panggilan Allah, Labbaika Allahumma Labbaik, sematamata ingin menjadi dhuyufillah, dhuyufur Rahman (tamu-tamu Allah). Ya Allah, Betapa mulianya mereka itu semua, mari kita muliakan mereka dengan cara kita berikan layanan terbaik. Ibaratnya, kalau kita memuliakan tamu yang diundang oleh seseorang, itu berarti kita memuliakan pengundang tamu tersebut. Dengan demikian, kalau kita memuliakan dhuyufur Rahman, berarti kita memuliakan Ar Rahman itu sendiri. Dan tentu kita doakan, mudah-mudahan Allah SWT menjadikannya sebagai: Hajjan Mabrur, Sya’yan Masykur, Dzanban Maghfur dan Tijarotan lan Tabur. Dan semoga kita
(2 )
‘Idul Adha 1429 H, Istiqlal Jakarta
semua yang sekarang disini, bisa mengikuti jejak-jejak mereka dan ditakdirkan oleh Allah bisa menunaikan ibadah haji di tahun-tahun mendatang. Allahumma Amin. Allahu Akbar WH Prosesi ibadah haji itu merupakan ‘simbolisasi’ perjalanan menuju Allah SWT. Dengan keikhlasan sebagai landasannya (semata-mata karena Allah), bersemangat dalam berikhtiar dan optimisme sebagai budayanya (sebagai konsekuensi dari prinsip tauhid), membangun untuk meraih kehasanaan (’kejayaan’) masa kekinian (ad-dunya) dan kenantian (Al-akhirat) serta terbebasnya dari kepedihan api neraka (kesulitan, kerumitan dan kepedihan hidup) sebagai cita dan tujuannya [QS:2:201]. Itulah yang terungkap dalam salah satu do’a thawaf. Ibadah haji adalah ibadah yang penuh dengan pergerakan, sangat dinamis dalam dimensi posisi (ruang) dan waktu. Memang itulah perjalanan hidup, selalu bergerak dalam dimensi ruang dan waktu, yang dalam pergerakannya tersebut berujung (kembali) kepada Allah [QS:2:156, 21:93], yang tidak hanya diungkapkan pada saat mengalami musibah, tetapi sebagai pengingat bahwa apa pun yang kita lakukan muaranya adalah ketertundukan dan kepatuhan kepada yang Maha Kuasa dengan penuh keridhaan atau dengan keterpaksaan [QS:3:83, 13:15]. Pergerakan tersebut bukan dilakukan ’sendirian’, akan tetapi setiap orang melakukannya, sehingga terjadi pergumulan, kompetisi dan interaksi antar jamaah. Semangat ta’awun (saling membantu) dan ego sentris seringkali berbenturan dalam prosesi haji tersebut, dan itulah fakta kehidupan. Allahu Akbar WH Hidup ini bisa diibaratkan seperti sekolah, di dalamnya ada proses belajar-mengajar, ada murid dan guru. Guru yang baik, bukan saja guru yang memiliki kemampuan dalam menjelaskan tentang teori suatu ilmu, tetapi diapun juga bisa memberikan contoh soal. Bagi seorang murid, contoh soal itu penting, bisa memberikan keyakinan dan gambaran yang utuh terhadap pokok bahasan. Seorang murid kalau ingin lulus dia harus mampu menjawab soal yang diujikannya, dia tidak bisa menghindari atau lari dari soal tersebut. Jadi soal-ujian adalah sesuatu yang melekat (inherent) dan nature dalam bersekolah itu. Dari soal-ujian itu pula dapat diketahui maqom (level) seorang murid. Demikian juga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada anak bangsa dan Guru bangsa yaitu para pemimpin baik formal maupun informal. Guru bangsa tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana menghadapi, menyelesaikan masalah, persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya tata krama dalam berinteraksi antar guru bangsa. Tetapi, para guru bangsa juga harus memberikan contoh real (sebagai contoh soal), bukan lagi contoh diatas kertas. Memberikan contoh real itu sungguh sangat luar biasa beratnya, apalagi kalau berhimpitan dengan kepentingan diri, dan ada kekuasaan untuk memenuhi kepentingan diri tersebut. Kemampuan untuk
(3 )
‘Idul Adha 1429 H, Istiqlal Jakarta
memilah dan memilih antara kepentingan diri dan kepentingan bangsa itulah beratnya memberikan contoh dan keteladanan. Hanya orang-orang yang memiliki komitmen, integritas kepribadian dan pikiran serta jiwa yang tercerahkan yang dapat memberikan kecontoh-teladanan. Bagi kita semua, bangsa Indonesia ini, sangat merindukan kecontohteladanan secara real, dalam bahasa perbuatan dari para guru bangsa. Dan perlu kita ketahui bahwa, bahasa perbuatan itu memiliki keabsahan lebih tinggi dibanding bahasa lisan [Lisanul hal afshohu min lisanil maqol]. Dalam skala kehidupan yang lebih besar, Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk mengajarkan tentang prinsip-prinsip tauhid sebagai landasan kehidupan. Para Nabi dan Rasul tersebut tidak hanya mengajarkan tentang risalah kenabian, tetapi sekaligus sebagai model referensi, membangun tradisi profetik yang dapat dijadikan sebagai kecontohteladanan bagi kita semua dalam membangun bangsa dan negara [QS:12:111, 40:78]. Nabi Ibrahim telah memberikan kecontoh-teladanan, paling tidak tentang: (i) pentingnya pengenalan hujjah (pendekatan-alasan rasional) di dalam proses mencari kebenaran, namun akhirnya harus ditutup dengan kepatuhan dan ketundukan secara total [QS: 6:7683]. Ketertundukan itu bukan berarti hilangnya rasionalitas menjadi irasional, tetapi di balik rasionalitas ada transrasional (ii) pentingnya membangun dalam skala dzurriyat (generasi bergenerasi), dengan pendekatan yang berbasis pada tiga hal: tilawah, ta’allim dan tazkiyah sebagaimana yang diungkapkan dalam do’a Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail [QS: 2:129]. Doa tersebut dikabulkan Allah 2600 tahun kemudian dengan mengutus Rasulullah Muhammad SAW dengan empat pendekatan yaitu: tilawah, tazkyah, ta’allim dan mengajarkan keilmuan dalam perspektif ke depan (mengajarkan apa yang belum kita ketahui) [QS:2:151]. Empat pendekatan tersebut merupakan pendekatan yang utuh (comprehensive) untuk menjawab kompleksitas persoalan yang dihadapi umat manusia dan sekaligus dapat dijadikan sebagai landasan dalam membangun, mengembangkan dunia pendidikan kita (iii) pentingnya menanamkan kepada diri dan generasi penerus untuk senantiasa menegakkan sholat [QS:14: 37,40]. Disamping Nabi Ibrahim, Nabi Ayyub telah memberikan contoh-keteladanan dalam bidang kesabaran. Betapapun beratnya cobaan hidup yang beliau alami, beliau tetap tabah, tetap berikhtiar seraya memohon kasih sayang Allah [QS:21:83]. Nabi Sulaiman telah memberikan contoh-keteladanan dalam bidang kesyukuran. Beliau seorang raja, kaya raya, dikaruniai ilmu yang sangat luar biasa, beliau tetap ingat kepada Allah, tetap bersyukur, ingat jasa orang tua dan berbuat kebajikan untuk mencari keridhaan Allah [QS:27:19]. Dan puncak kecontoh-teladanan itu adalah khotamul anbiya’ wal mursalin, nabiyyuna wabibuna Muhammad SAW. Allahu Akbar WH Allah telah memberikan begitu banyak kecontoh teladanan sebagai contoh soal melalui Nabi dan Rasul Nya termasuk addinul islam yang telah sempurna dan Allah pun ridho
(4 )
‘Idul Adha 1429 H, Istiqlal Jakarta
islam sebagai agama kita [QS:5:3]. Oleh karena itu marilah kita hadapi kehidupan ini dengan penuh optimisme, meskipun kita menghadapi beragam persoalan. Ada fase-fase seperti nabi Ayyub dan ada pula fase-fase seperti Nabi Sulaiman. Kehidupan dan persoalan adalah ibarat dua sisi mata uang. Setelah kita matipun juga masih menghadapi persoalan, tidakkah malaikat Munkar dan Nakir akan bertanya kepada kita?. Tugas kita adalah mencari jawaban dari persoalan itu (problem solver). Itulah ciri orang (bangsa) yang cerdas. Bukan malahan mempersoalkan persoalan, yang ujungnya akan menghasilkan persoalan baru (problem creator). Persoalan dan jawaban itu ibarat kutub negative dan kutub positif. Dalam arus listrik searah (DC), kedua kutub tersebut diperlukan untuk menyalakan lampu, lampu yang menerangi.Yakinlah, bahwa dibalik persoalan itu ada jawaban, dibalik beratnya hidup itu ada kenikmatan, dibalik kesulitan ada kemudahan. Dalam Surat Insyiroh [QS:94:5-8] ada dua hal yang sangat menarik untuk disimak, yaitu (i) kata yang digunakan adalah ma’a (bersama) bukan ba’da (sesudah) (ii) pada kata ‘usri (kesulitan) menggunakan al, sehingga menjadi al ‘usri sifatnya definit (isim makrifat), sedangkan pada kata yusro (kemudahan) tidak menggunakan al berarti indefinite (isim nakiroh). Dari dua hal tersebut dapat ditarik makna bahwa setiap persoalan ada banyak jawaban, banyak solusi. Jawaban tersebut terletak melekat atau bersama dengan persoalan itu sendiri. Dan begitu kita selesai menyelesaikan suatu persoalan, selesaikan persoalan yang lain. Dan kembalikan itu semua kepada Allah SWT. Ada dua kaidah fiqih yang terkait dengan persoalan, yaitu: Al musyaqqoh tajlibu taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan) dan Idza dhoqo assyaiu ittasa’a (apabila sesuatu telah menyempit maka ia menjadi luas). Yang penting disetiap menghadapi persoalan kita jadikan sebagai bagian dari proses pembelajaran untuk mendapatkan kefaedahan, sehingga ilmu dan pengalaman semakin bertambah, semakin banyak kemanfaatan dan kemaslahatan yang bisa kita berikan. Syair dalam kitab Ta’allim Muta’allim memberikan inspirasi: Wakun mustafidan kulla yaumin ziyadatan, minal ilmi fasbach fi buchuril fawaidi [Hendaknya kita menjadi orang yang selalu mengambil faedah, setiap hari bertambah ilmu, dan berenanglah dalam samudera kefaedahan] Allahu Akbar WH Dalam membengun budaya kecontoh-teladanan, diperlukan beberapa hal, antara lain: (i)
Menumbuhkan budaya Kepeloporan: Attasisu aula minattaakid (Merintis itu lebih utama dari pada menguatkannya). Prinsip ini sejalan dengan Hadist Rasul: Barangsiapa mentradisikan tradisi kebaikan (sunnatul hasanah) maka baginya pahala karena telah melakukan kebaikan dan pahala dari orang-orang mencontohnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang melanjutkan. Dan barangsiapa mentradisikan tradisi keburukan (sunnatus-sayyiah) baginya menerima dosa karena melakukan keburukan dan dosa-dosa orang yang telah mencontoh
(5 )
‘Idul Adha 1429 H, Istiqlal Jakarta
perbuataanya tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang yang mencontohnya (HR. Muslim). (ii)
Membangun budaya istiqomah: kecontoh teladanan bukanlah muncul secara tibatiba, tetapi melalui proses penanaman, pemupukan dan perawatan sifat-sifat mahmudah (terpuji). Selama proses tersebut seringkali menghadapi godaan, hinaan dan ancaman. Dengan sikap istiqomah (konsisten) semuanya itu justeru memperkuat dan memperkokoh kepribadiannya. Tidak takut terhadap hinaan orang yang suka menghina-mencela [QS:5:54].Tentu yang harus dikembangkan adalah konsistensi yang memiliki landasan keilmuan dan kebenaran. Bukan konsistensi dalam ketidak tahuan yang akan melahirkan sikap fanatisme buta
(iii)
Menumbuhkan Budaya Konstruktif - Apresiatif: budaya yang selalu ingin memberikan kemanfaatan, kemaslahatan dan saling menyempurnakan. Dengan budaya konstruktif ini, interaksi diantara kita akan membentuk positive sum game, sehingga membentuk akumulasi kemanfaatan, kebaikan dan kemaslahatan yang berujung pada semakin bertambahnya kemampuan kita untuk memberikan ’kerahmatan’ bagi alam semesta [QS:21:107]. Budaya konstruktif akan semakin subur, kalau masyarakat terbiasa, tidak enggan untuk memberikan apresiasi terhadap siapapun yang berprestasi, dan tumbuh empati, bukan sekedar simpati, kepada siapa pun yang sedang menghadapi persoalan. Sebaliknya, kalau budaya destruktif yang dikembangkan, maka aktivitas yang berkembang di masyarakat akan saling meniadakan, melemahkan, bahkan bisa jadi saling memusnahkan dan punahlah generasi penerus kita. Yang terjadi adalah zero sum game, bahkan negative sum game [QS:5:2]
Pelajaran yang telah dipersembahkan oleh Nabi Yunus, sangat menarik untuk direnungkan pada saat kita ingin membangun budaya konstruktif. Dikisahkan, ketika Nabi Yunus keluar dari perut ikan, Nabi Yunus bertemu dengan seorang laki-laki pembuat bejana. Nabi Yunus bertanya: Wahai hamba Allah, apa pekerjaanmu? Laki-laki itu menjawab: aku membuat bejana dan kemudian menjualnya. Dengan bejana ini aku mengharap anugerah rizki dari Allah. Allah lalu mewahyukan kepada Nabi Yunus supaya mengatakan kepada laki-laki itu untuk menghancurkan bejananya. Nabi Yunus lalu mengatakan kepada laki-laki itu. Pembuat bejana seketika murka dan berkata: Sungguh engkau adalah laki-laki yang berakhlak buruk!! Engkau memerintahkan kepadaku untuk berbuat kerusakan. Engkau memerintahkan aku untuk menghancurkan sesuatu yang telah aku kerjakan dan yang aku harapkan kebaikannya. Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Yunus: Tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada pembuat bejana tersebut? Bagaimana murkanya dia ketika engkau memerintahkan kepadanya untuk menghancurkan sesuatu yang telah dikerjakannya? Sementara engkau memerintahkan Aku untuk membinasakan kaummu! Apa yang
(6 )
‘Idul Adha 1429 H, Istiqlal Jakarta
memberatkanmu untuk berbuat baik kepada kaummu yang berjumlah seratus ribu orang atau lebih? Dari kisah diatas, dalam menegakkan kebenaran, mengajak kebaikan, membangun bangsa harus dihindari pendekatan radikal dan pemaksaan yang menimbulkan kerusakan. Tidakkah membunuh seorang mukmin yang tidak bersalah itu sama saja dengan membunuh seluruh umat manusia, demikian sebaliknya menyelamatkan seorang manusia sama dengan menyelamatkan semua umat manusia [QS:5: 32]. Pendekatan-pendekatan berbasis kasih sayang, membuka mata hati dan menumbuhkan kesadaran adalah yang telah dicontoh-teladankan Rasulullah. Iringi setiap ajakan itu dengan do’a, agar Allah senantiasa menganugerahkan hidayah Nya. Dalam kaidah Fiqh, menghindarkan terjadinya kerusakan (mafasid) terlebih dahulu dari pada mencari kebaikan [Daf’u al-mafasid muqoddam ’ala jalb al-maslahah] (iv) Budaya pengorbanan: yaitu budaya kesediaan diri untuk melepaskan kepemilikan, keinginan yang dicitakan atau apa saja yang dianggap berharga bagi dirinya untuk kepentingan yang lebih besar. Pengorbanan bukanlah pelepasan kepemilikan dalam kesia-sian, tetapi sekali lagi pengorbanan harus kita terjemahkan sebagai bagian dari investasi untuk kepentingan yang lebih besar. Dalam setiap pengorbanan ada godaan, dan untuk menghindari godaan terserbut seseorang biasanya mencari justifikasi (pembenaran) agar tidak melakukan pengorbanan tersebut. Kisah perintah untuk mengorbankan Nabi Ismail memberikan pelajaran yang sangat berharga. Bisa dibayangkan betapa berharganya Nabi Ismail bagi Sang Ayah Nabi Ibrahim. Betapa tidak. Nabi Ismail adalah anak yang sangat diharapkan kelahirannya, setelah sekian lama nabi Ibrahim belum dikaruniai putera, pada hal usianya semakin lanjut. Pada usia yang sudah sangat lanjut itulah Allah memberikan karunia seorang putera yaitu nabi Ismail. Dalam konteks kekinian, ’Ismail’ kita adalah bisa jadi berupa: deposito, pangkat, jabatan dan segala sesuatu yang kita anggap penting, berharga dan kita cintai. Sanggupkah kita mengorbankan sebagian dari itu semua untuk kepentingan yang lebih besar. Dengan memohon petunjuk dan kekuatan dari Allah SWT, insya Allah kita rela mengorbankan sebagian yang kita anggap penting, berharga dan kita cintai itu. [QS:3:92]. Ujung dari pengorbanan itu adalah kepatuhan dan ketundukan kepada Allah SWT. Dan Allah sendirilah yang akan menentukan penggantinya sebagai konsekuensi dari pengorbanan yang telah kita lakukan [QS:37:102-109] Allahu Akbar WH Insya Allah kita semua menyadari bahwa, persoalan (ujian) selalu ada dalam kehidupan, baik ujian dalam bentuk kesuksesan, sesuatu yang menyenangkan (fitnatul hasanah) maupun ujian dalam bentuk kesulitan, sesuatu yang tidak menyenangkan (fitnatus sayyiah). Setiap mata ujian memiliki maksud dan tujuan masing-masing, yang salah satu
(7 )
‘Idul Adha 1429 H, Istiqlal Jakarta
diantaranya adalah untuk meningkatkan kemampuan memahami hakikat persoalan dan menyelesaikannya. Apa yang sedang kita hadapi sekarang ini, dan dihadapi oleh bangsabangsa lain, seraya memohon kehadirat Ilahi Rabbi, bisa kita jadikan sebagai kesempatan proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan diri dengan spirit memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya kepada masyarakat. Tidakkah, orang (bangsa) yang cerdas adalah orang (bangsa) yang mampu menjadikan setiap persoalan (problem) menjadi kesempatan (opportunity), karena kita yakin bahwa bersamaan dengan kesulitan itu ada kemudahan [QS:94:4-5]. Tidakkah kita yakin, bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (kemampuannya) [QS:2:286]. Insya Allah dengan pertolongan Allah SWT, Qudroh dan Irodah Nya, serta ikhtiar yang sungguhsungguh kita semua bisa menyelesaikan persoalan yang kita hadapi dan cita-cita membangun negeri yang thoyyibah dan penuh ampunan-kasih sayang Ilahi bisa terujud [QS:34:15] Allahu Akbar WH Marilah kita akhiri khutbah ’Id ini dengan bersama-sama memanjatkan do’a kehadirat Ilahi Rabbi. Jakarta, 10 Dzulhijjah 1429 H Mohammad NUH
(8 )
‘Idul Adha 1429 H, Istiqlal Jakarta