Ideologi Dominasi Kekerasan di Media Penyiaran
IDEOLOGI DOMINASI KEKERASAN DI MEDIA PENYIARAN
Oleh:
Kun Wazis Dosen Fakultas Dakwah IAIN Jember
Abstrak Media massa televisi sebagai saluran penyampai segala bentuk pesan kepada khalayak masih menampakkan kekuasaannya. Dominasi acara yang diperoleh melalui politik rating telah melahirkan tayangan-tayangan yang berbau seks dan kekerasan. Produksi makna yang dihadirkan layar kaca itu terus membombardir alam sadar komunikan hingga mengakibatkan khalayak tak berdaya. Sejumlah kritik terhadap pengelola stasiun televisi terus bermunculan. Bahkan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai penjaga gawang regulasi kepenyiaran dibuat tak berdaya. Berulang kali, lembaga negara itu mengeluarkan ancaman keras, pengelola media masih tetap saja tidak cemas karena memiliki logika pasar yang jelas. Alasannya, tingkat pemirsa memiliki kuasa untuk mempertahankan menu acara yang mereka nikmati sehari-hari. Tulisan ini berusaha mendeskripsikan secara kritis tentang realitas tayangan media penyiaran dengan tujuan untuk membangkitkan kesadaran kepada masyarakat bahwa tidak semua tayangan yang hadir di rumah-rumah pemilik “kotak pandora” itu adalah tayangan yang seyogyanya. Bahkan, tayangan-tayangan berbau kekerasan sangat membahayakan bagi pengembangan masyarakat di Indonesia yang beridentitas religius. Deskripsi ini mengajak pembaca agar memahami realitas tayangan media penyiaran yang tidak mendidik dengan tujuan sebagai titik kesadaran bahwa kita masih harus bekerja keras untuk mengembangkan masyarakat penyiaran agar tetap kritis melihat tayangan. Pandangan kritis ini menjadi penting karena bisa memantik kesadaran untuk bertindak yang seharusnya, bukan hanya senyatanya. Bermodal pemaknaan terhadap realitas tayangan yang mendidik ini, dapat menjadi sarana berwacana kritis di tengah-tengah masyarakat sehingga ikut memberikan dialog kesadaran bersama warga masyarakat yang sehari-hari memang tidak bisa dilepaskan dari “bacaan” televisi. Kata Kunci: Dominasi, Kekerasan, Media Penyiaran
Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015 | 37
Kun Wazis
Pendahuluan Massa massa1 yang diharapkan dapat memerankan fungsinya sebagai penyampai informasi yang baik, menanamkan nilai-nilai edukasi, ikut melakukan kontrol sosial, memberikan hiburan yang mendidik, dan salah satu kekuatan ekonomi mendapatkan sejumlah kritikan tajam dari masyarakat di Indonesia. Salah satu yang diresahkan adalah bermunculannya sejumlah tayangan media massa yang “berbau” kekerasan. Adegan kekerasan yang seringkali nampak terjadi pada sejumlah program yang dipublikasikan masyarakat luas itu ikut mempengaruhi cara berfikir dan bertindak masyarakat, terutama remaja dan anak-anak. Sumarjo dalam tulisannya berjudul “Efek Adegan Kekerasan di Televisi”2 menilai bahwa televisi yang menjadi sarana komunikasi utama di sebagian besar masyarakat Indonesia sering menyajikan nilai kekerasan. Penyajiannya seperti hanya sebagai berita atau informasi dengan gaya yang indah dan dikemas menjadi berseni, menarik. Namun di dalamnya ada terjadi nilai-nilai kekerasan. Nilai-nilai itu dapat mempengaruhi tanpa disadari masyarakat yang menontonnya. Tayangan televisi harus diatur karena mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak khususnya bagi yang belum memiliki referensi yang kuat, yakni anakanak dan remaja. Terlebih karena televisi bersifat audio visual sinematografis yang memiliki dampak besar terhadap perilaku khalayaknya. Tayangan-tayangan di televisi saat ini mempunyai kecenderungan mengabaikan ketentuan-ketentuan, baik moral maupun agama yang sudah ditetapkan. Hal ini terlihat dari ditonjolkannya eksploitasi sex, kekerasan, budaya konsumerisme dan lain sebagainya. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencatat, sepanjang tahun 2013 sampai dengan April 2014, KPI menerima sebanyak 1600-an pengaduan masyarakat terhadap program sinetron dan FTV yang dianggap meresahkan dan membahayakan pertumbuhan fisik dan mental anak serta mempengaruhi perilaku kekerasan terhadap anak.Kekerasan yang menimpa anak-anak dan remaja semakin banyak jumlahnya dan semakin memprihatinkan bahkan kekerasan tersebut terjadi di sekolah dan lingkungan tempat tinggal yang seharusnya
1
Pengertian media massa itu sendiri ada dua, yakni media massa dan media nirmassa. Media artinya alat komunikasi, sedangkan massa kependekan dari kata masyarakat (orang banyak). Media massa berarti alat komunikasi yang boleh dimanfaatkan semua orang. Lihat Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers (Bandung: Rosdakarya, 2002), 10-11. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 3 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, hiburan, dan lembaga ekonomi. 2 http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JIN/article/view/732, diakses Rabu 3 Desember 2014, 14.15 WIB. Begitu besarnya pengaruh televisi kepada khalayaknya, telah menjadi perhatian para pakar terutama di bidang komunikasi. Penelitian yang dilakukan selama puluhan tahun, menunjukkan adanya korelasi positif yang konsisten bahwa tampilan/tayangan kekerasan di media massa terutama televisi telah mengkultivasi/mempengaruhi penonton, tidak hanya anak-anak. Apa yang ditampilkan dalam tayangan televisi (realitas media) dipersepsi sebagai dunia nyata (realitas nyata). Sehingga pemirsa yang meluangkan waktu lebih banyak dalam menonton televisi lebih meyakini bahwa dunia nyata adalah seperti apa yang digambarkan televisi.
38 | Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015
Ideologi Dominasi Kekerasan di Media Penyiaran
aman bagi anak-anak dan remaja. Sejumlah pihak menduga media khususnya televisi sebagai salah satu pemicu munculnya tindak kekerasan tersebut3. Sejak 1 bulan lalu tepatnya tanggal 11 April 2014, KPI telah melakukan evaluasi program sinetron dan FTV yang disiarkan 12 stasiun televisi dalam rangka melakukan pembinaan. Dalam forum evaluasi tersebut hadir juga beberapa production house (PH) yang memproduksi program-program tersebut. Namun demikian, sampai dengan hari ini KPI masih menemukan sejumlah pelanggaran terhadap UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Pelanggaran tersebut meliputi: 1) Tindakan bullying (intimidasi) yang dilakukan anak sekolah; 2) Kekerasan fisik seperti memukul jari dengan kampak, memukul kepala dengan balok kayu, memukul dengan botol beling, menusuk dengan pisau, membanting, mencekik, menyemprot wajah dengan obat serangga, menendang, menampar dan menonjok; 3) kekerasan verbal seperti melecehkan kaum miskin, menghina anak yang memiliki kebutuhan khusus (cacat fisik), menghina orang tua dan guru, penggunaan kata-kata yang tidak pantas “anak pembawa celaka, muka tembok, rambut besi, badan batako”; 4) menampilkan percobaan pembunuhan; 5) adegan percobaan bunuh diri; 6) menampilkan remaja yang menggunakan testpack karena hamil di luar nikah; 7) adanya dialog yang menganjurkan untuk menggugurkan kandungan; 8) adegan seolah memakan kelinci hidup; 9) menampilkan seragam sekolah yang tidak sesuai dengan etika pendidikan; 10) adegan menampilkan kehidupan bebas yang dilakukan anak remaja, seperti merokok, minumminuman keras dan kehidupan dunia malam; 11) adegan percobaan pemerkosaan; 12) konflik rumah tangga dan perselingkuhan. Pihak KPI juga geram terhadap tayangan tersebut karena program sinetron dan FTV kerap menggunakan judul-judul yang sangat provokatif dan tidak pantas, seperti: Sumpah Pocong Di Sekolah, Aku Dibuang Suamiku Seperti Tisu Bekas, Mahluk Ngesot, Merebut
Suami Dari Simpanan, 3x Ditalak Suami Dalam Semalam, Aku Hamil Suamiku Selingkuh, Pacar Lebih Penting Dari Istri, Ibu Jangan Rebut Suamiku, Istri Dari Neraka aka Aku Benci Istriku4. 3
http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32064-kpi-10-sinetron-ftv-bermasalahdan-tidak-layak-tonton, diakses Kamis 4 Desember 2014, 07.47 WIB. KPI pada Senin (22/9/2014) mengeluarkan pengumuman tayangan yang tidak layak ditonton oleh anak-anak di Indonesia. Tayangan tersebut penuh dengan muatan-muatan yang berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan mental anak, yaitu: 1) kekerasan fisik (mencekik, menonjok, menjambak, menendang, menusuk, dan memukul); 2) kekerasan terhadap hewan; 3) penggunaan senjata tajam dan benda keras untuk menyakiti dan melukai seperti pisau, balok, dan benda-benda lainnya; 4)kata-kata kasar; 5) adegan-adegan berbahaya; 6) perilaku yang tidak pantas seperti membuka celana dan memperlihatkan ke teman-teman dan merusak benda-benda; 7) sifat-sifat negatif (emosional, serakah, pelit, rakus, dendam, iri, malas, dan jahil); 8) muatan porno; dan 9) unsur-unsur mistis. Lihat Tabloid Media Umat, Edisi 136, 9-22 Dulhijjah 1435 H/ 3-16 Oktober 2014 (Jakarta: Pusat Kajian Islam dan Peradaban, 2014), 17. 4
Atas pelanggaran tersebut KPI menyatakan 10 sinetron dan FTV bermasalah dan tidak layak ditonton, yaitu: 1) Sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda/RCTI; 2) Sinetron Pashmina Aisha/RCTI; 3) Sinetron ABG Jadi Manten/SCTV; 4)Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala/ SCTV; 5) Sinetron Diam-Diam Suka/SCTV; 6) Sinema Indonesia/ ANTV; 7) Sinema Akhir Pekan /ANTV; 8) Sinema Pagi/ Indosiar; 9) Sinema Utama Keluarga/ MNC TV; 10) Bioskop Indonesia Premier/ Trans TV. Lebih lengkap
Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015 | 39
Kun Wazis
Terhadap masalah ini, KPI dengan tegas menyatakan:1) stasiun televisi segera memperbaiki sinetron dan FTV tersebut; 2) Production House (PH) agar tidak memproduksi program sinetron dan FTV yang tidak mendidik; 3) kepada orang tua tidak membiarkan anak menonton program-program tersebut; 4) anak-anak dan remaja agar selektif dalam memilih tayangan TV dan tidak menonton sinetron dan FTV yang bermasalah; 5) lembaga pemeringkat Nielsen agar tidak mengukur program siaran hanya berdasarkan pada penilaian kuantitatif semata; 6) perusahaan pemasang iklan agar tidak memasang iklan pada programprogram bermasalah tersebut. Kritik keras terhadap tayangan televisi selama ini ditegaskan Tranggono5 yang menilai bahwa industri hiburan televisi yang hanya menjual tayangan-tayangan dangkal, vulgar, dan sekadar memenuhi hedonisme psikologis memilih pengembangbiakan kebodohan sebagai strategi untuk mendekati masyarakat penonton. Pihak-pihak yang berada di balik kepentingan dagang ini (pemilik stasiun, produser, tim kreatif, pemasar, sponsor, dan lainnya) beranggapan, “hanya produk yang ringan dan menghiburlah yang disukai penonton”. Menurut pemerhati kebudayaan ini, kehancuran kebudayaan bangsa ini bisa dimulai dari dominasi industri hiburan televisi yang buruk dan hanya menganggap publik sebagai entitas besar yang dieksploitasi demi keuntungan semata. Tidak ada niat bagi para pelaku industri hiburan televisi untuk memuliakan publik secara budaya dan keadaban. Kebodohan publik justru dirawat dan dikembangbiakkan agar publik tetap jadi pasar yang aman bagi mereka. Industri televisi yang disebut Tranggono adalah bisa berupa variety show, talk show artifisial, pergelaran musik yang hanya menjual sensualitas, kompetisi-kompetisi semu berbasis kiriman SMS, kuis, lawak yang menjual penghinaan fisik, sinetron yang melecehkan logika-estetika, tayangan yang menjual “hantu”/ roh penasaran, infotainment, dan lainnya. Produk inilah yang disebutnya sebagai kebodohan yang deras mengalir ke ruang keluarga, disantap para orang tua, remaja, dan anak-anak. Kebodohan adalah terminologi yang terkait dengan keterbatasan akal budi. Kebodohan mengakibatkan manusia tidak memiliki keluasan horizon nilai, kesadaran etik-estetik, logika, gagasan, ilmu, pengetahuan, dan etos kreatif, serta keterampilan teknis. Perilaku yang didasari kebodohan melahirkan hal-hal yang miskin nilai, dangkal, dan tidak memiliki makna. Kenyataan menyedihkan tayangan media “kaca” elektronik di tanah air ini tentu saja menarik untuk dikaji lebih kritis dalam rangka untuk ikut bertanggungjawab terhadap perilaku masyarakat yang bisa terbentuk melalui budaya kekekarasn media tersebut. Hal ini tidak lepas dari peran media massa yang begitu besar mempengaruhi pikiran dan perilaku masyarakat. Sebab, menurut Brown sebagaimana dikutip Iriantara6, televisi sudah menjadi perlengkapan standar perlengkapan rumah tangga di Indonesia saat ini. Brown menunjukkan bahwa televisi terus meningkat pengaruhnya terhadap cara memanfaatkan waktu senggang http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32064-kpi-10-sinetron-ftv-bermasalah-dantidak-layak-tonton, diakses Kamis 4 Desember 2014, 07.47 WIB 5 Indra Tranggono, Melawan Industri Kebodohan, (Jakarta: Kompas 22 Agustus 2015), 6. 6 Yosal Iriantara, Literasi Media: Apa, Mengapa, Bagaimana (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009), 21-22
40 | Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015
Ideologi Dominasi Kekerasan di Media Penyiaran
(leissure time); mempengaruhi kesadaran politik serta realitas sosial individu dan masyarakat; serta membentuk nilai-nilai pribadi dalam budaya dan etika. Asumsi lain yang penting kita perhatikan adalah bahwa media massa sesungguhnya lebih dari sekadar merefleksikan realitas melainkan merepresentasikan realitas. Oleh sebab itu, ada realitas yang dikonstruksi untuk menjadi isi media massa. Inilah yang membuat Considine (1995) memandang media sebagai berikut: 1) media melakukan konstruksi pesan; 2) pesan-pesan media mengandung nilai-nilai dan ideologi; 3) media merepresentasikan realitas yang dikonstruksi; 4) khalayak menegosiasikan makna menurut mereka sendiri; 5) pesan-pesan media memiliki konsekuensi-konsekuensi sosial dan politik; 6) konstruksi media memiliki tujuan-tujuan komersial; 7) setiap medium memiliki bentuk estetik yang unik. Studi dan Reaksi Terhadap Kekerasan di Media Televisi Berbagai jenis kekerasan sebagaimana disebutkan oleh KPI seakan menjadi sajian wajib bagi media untuk komunikannya, baik berupa cerita fiktif maupun peristiwa faktual. Akibatnya, berbagai asumsi muncul tentang efek dari blow up media massa tersebut7. Menu kekerasan di televisi di Indonesia sebenarnya tidak berjalan sendiri. Sejumlah di negeri Barat yang berideologi sekuler juga melahirkan karakter kekerasan dalam tayangan di berbagai televisi, misalnya di Amerika. Nasrullah8 menyebutkan, dalam studi yang dilakukan terhadap televisi di Amerika, Carter dan Weaver (2003) memberikan empat karakteristik kekerasan yang terjadi di media. Pertama, unpunished violence atau kekerasan yang tidak mendapatkan ganjaran. Hasil studi yang dipublikasikan dalam “Violance and Media” itu ditemukan bahwa sepertiga program televisi di Amerika menayangkan visualisasi kekerasan yang tanpa hukuman jelas atau baru terjadi di akhir acara. Dalam pandangan Nasrullah, jika menilik kasus yang terjadi di media di Indonesia, tayangan berulang-ulang dari tindak kekerasan geng motor belakangan ini merupakan upaya pengulangan yang bisa berujung pada pengendapan tindak kekerasan di benak publik; apalagi bila publik yang menyaksikan masih muda, baik dari segi usia atau dari segi emosi. Kedua, painless violance. Kategori ini menunjukkan bahwa media dalam berbagai kesempatan sering kali tidak menunjukkan bahwa seseorang adalah korban dari tindak kekerasan. Film laga menjadi contoh mudah untuk menunjukkan hal tersebut, sebagaimana sebuah acara gulat produk Amerika pernah ditayangkan di stasiun televisi swasta di Indonesia. Acara tersebut langsung maupun tidak menunjukkan bahwa kekerasan akan mendapatkan sambutan penonton yang luar biasa. Jika pengulat mampu menjatuhkan atau 7
Media massa sebagai industri informasi (pesan) bekerja berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Kemudian, peristiwa itu diliput dan diolah oleh pekerja redaksi (wartawan dan redaktur), lalu diproduksi dan didistribusikan kepada khalayak (pembaca, pendengar, dan pemirsa). Tidak semua peristiwa dapat diliput, diolah, diproduksi, dan didistribusikan oleh media massa, selain karena keterbatasan ruang dan waktu, juga terutama karena urgensi dan aktualitasnya. Lebih lanjut lihat Anwar Arifin, Komunikasi Politik (Jakarta: 2003),100. 8 Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 34-35.
Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015 | 41
Kun Wazis
menyakiti pengulat lain dengan berbagai ciri khas pengulat masing-masing, maka semakin riuhlah teriakan gembira dari penonton. Ketiga, happy violence atau kekerasan yang menyenangkan dan bisa menjadi bahan kelucuan. Carter dan Weaver menemukan jenis kekerasan ini banyak terdapat dalam filmfilm kartun yang dikonsumsi anak-anak. Kartun selalu bisa membuat anak-anak tertawa dan malah menghibur dengan berbagai kekerasan yang terjadi di dalamnya. Sebagai contoh adalah film si kucing Tom dan si tikus Jerry yang selalu berseteru dengan tindak kekerasan demi tindak kekerasan, namun selalu dimaknai dengan kelucuan yang wajar dikonsumsi oleh anak-anak. Sayangnya, kata Nasrullah, belakangan kekerasan yang menyenangkan ini menjadi semacam panduan atau pakem buat acara-acara lawak di televisi. Melucu seakanakan kurang lengkap jika tidak ada pelawak yang jatuh, disiram air, ditaburi tepung, atau dipukul dengan sesuatu walau didalam layar televisi ditulis bahwa alat-alat yang digunakan dalam adegan tersebut terbuat dari bahan-bahan yang tidak menyakiti. Sayangnya lagi, acara ini selalu mendapat sambutan yang luar biasa baik dari segi penonton dan jumlah iklan. Keempat, heroic violence atau kekerasan yang heroik. Dalam setiap film laga sang tokoh utama selalu orang yang tidak pernah merasa kesakitan meski sudah jatuh ke jurang, melompat dari lantai hotel, atau bahkan tubuhnya sudah terkena peluru. Carter dan Weaver bahkan menengarai ada sekitar 40 persen dari seluruh tayangan kekerasan yang ada di televisi Amerika mewacanakan bahwa kekerasan merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Bahwa seorang pahlawan atau “good guy” selalu dibenarkan untuk menggunakan berbagai bentuk kekerasan ketika menumpas kejahatan9. Hasil riset mengenai tayangan kekerasan yang terjadi di televisi di Amerika dan di Indonesia mengindikasikan bahwa media massa televisi tidak hanya sekadar hadir menyajikan hiburan. Lebih dari itu, televisi telah mengusung wacana-wacana ideologi tertentu yang didukung para pemilik industri (kapital) audio visual tersebut. Sebagaimana dinyatakan Mulyana10 yang mengutip paradigma Peter D. Moss, bahwa wacana media massa, termasuk berita televisi, merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi. Karena, sebagai produk media massa, televisi menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, televisi menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: Apa yang bernilai bagi manusia; siapa pahlawan dan siapa penjahat; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan)
9
Ibid. Kekerasan tidak semata-mata didominasi televisi. Media tradisional lainnya seperti buku, komik, radio, bahkan internet sekalipun bisa menjadi sumber dari gambaran kekerasan. Namun, tetap saja efek dari terpaan medialah yang menjadi wacana yang perlu diperhatikan oleh pelaku industri kekerasan, 36. 10 Deddy Mulyana, Komunikasi Massa: Kontroversi, Teori, dan Aplikasi (Bandung: Widya Padjadjaran, 2008), 11-13. Moss mengartikan ideologi sebagai seperangkat asumsi budaya yang menjadi “formalitas alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi”. Pandangan ini sejalan dengan hipotesis Sapir-Whorf yang dikenal dalam linguistik bahwa bahasa itu tidak sekadar deskriptif, yakni sebagai sarana untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa termasuk bahasa gambar dapat digunakan untuk memberikan akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.
42 | Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015
Ideologi Dominasi Kekerasan di Media Penyiaran
dan pemberontakan atau terorisme; isu apa yang relevan dan tidak; alasan apa yang masuk akal dan tidak; solusi apa yang harus diambil dan ditinggalkan. Melalui penggunaan bahasa dan gambar sebagai sistem simbol yang utama, menurut Mulyana, para pengelola televisi mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan suatu realitas. Ketika menyimak suatu wacana TV, terkadang kita tanpa sadar digiring oleh definisi yang ditanamkan media massa tersebut. Secara tidak langsung hal itu membuat kita mengubah definisi kita mengenai realitas sosial atau mempengaruhi asumsi yang kita miliki sebelumnya. Kita boleh jadi semakin bersimpati kepada seseorang atau suatu kelompok dan semakin membenci orang atau kelompok lain, meskipun sebenarnya orang atau kelompok yang kita benci itu belum tentu bersalah secara hukum atau secara moral. Ingat bagaimana beberapa waktu lalu seorang selebritis homoseks yang mati kena AIDS ditayangkan sedemikian rupa untuk memperoleh simpati khalayak (digambarkan sebagai kematian yang agung), seakan-akan perilaku homoseksualnya sendiri adalah perbuatan yang normal saja ---dan bukan dosa---di Indonesia. Dus, wacana media massa pada dasarnya menawarkan kerangka makna alternatif kepada khalayak untuk mendefinisikan diri sendiri, orang lain, lingkungan sosial, peristiwa-peristiwa, dan objek-objek di sekitar kita. Makna suatu peristiwa, yang diproduksi dan disebarluaskan oleh media massa, sebenarnya adalah suatu konstruksi yang temporer, rentan, dan terkadang muskil. Peristiwaperistiwa yang dilaporkan televisi, berita sekalipun, jelas bukan peristiwa sebenarnya. Proses persepsi selektif yang dilakukan wartawan (kameraman) dan editor, disadari atau tidak, berperan dalam menghasilkan judul tayangan; sudut pengambilan gambar (adegan) yang mempengaruhi khalayak untuk mempersepsikan status orang yang ditayangkan; penempatan acara di televisi (jam tayang) yang menandakan penting tidaknya tayangan; panjang atau pendeknya tayangan; komentar mana yang akan ditampilkan dan akan dibuang, yang sedikit banyak akan menunjukkan keberpihakan televisi; dan julukan apa yang dipilih televisi untuk mempromosikan pihak yang mereka bela atau menyudutkan pihak lain yang mereka benci. Kenyataan ini menegaskan bahwa pendekatan linier yang lebih condong pada “positivistik”, ternyata masih menemukan relevansinya. Para pengikut paradigma satu arah ini meyakini bahwa komunikator memiliki peran besar dalam mengarahkan perilaku. Pesan yang disampaikan seorang komunikator memiliki pengaruh dalam merubah persepsi seseorang (komunikan) dan mengarahkan perilaku (behaviour) komunikan seperti diinginkan sang komunikator. Pengaruh dari luar diri manusia (external power) lebih dominan dibandingkan dengan peran manusia itu sendiri. Demikian halnya, posisi media massa ikut memberikan dampak yang beragam terhadap perilaku manusia atau khalayak11.
11
Berdasarkan catatan KPI, tayangan kekerasan bisa berbahaya karena mendorong daya imitasi yang berpengaruh terhadap sikap, pola pikir, dan kepribadian anak. Tiga tayangan anak dan kartun yang termasuk kategori berbahaya (lampu merah), yaitu Bima Saksi (ANTV), Little Krisna (ANTv), dan Tom & Jerry yang tayang di 3 stasiun TV, yakni ANTV, RCTI, dan Global TV. KPI Meminta agar para orang tua melarang anakanaknya menonton tayangan tersebut. Lihat Tabloid Media Umat Edisi 136, 3-16 Oktober 2014, 17.
Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015 | 43
Kun Wazis
Sebagai bentuk komunikasi massa, media massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak dan elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima serentak dan sesaat12. Untuk itu, perilaku media massa yang secara terus-menerus melakukan berbagai ekspose kekerasan, maka akan berdampak kepada perilaku orang yang menerima pesan. Setidaknya, jika melihat model komunikasi yang disampaikan Harold D. Lasswel, maka bisa dipahami secara langsung atau tidak, bombardir media massa akan memberikan pengaruh kepada para penikmatnya. Lasswell dalam sebuah artikelnya tahun 1948 menyebutkan, alur komunikasi yang terjadi secara linier bisa dipahami dari lima pertanyaan mendasar, yakni who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Inilah yang disebut oleh ilmuwan politik Amerika itu sebagai tindakan komunikasi13. Dengan jalur linier ini, maka posisi siapa yang menyampaikan pesan, apa pesan yang disampaikan, dengan sarana apa, kepada siapa pesan itu diterima, dan efek apa yang terjadi akan dapat dicermati dan diteliti secara lebih mendalam. Dalam konteks kekerasan, maka ekspos beragam menu atau rubrikasi media massa yang bertema kekerasan bisa membentuk persepsi dan perilaku kepada khalayak yang menerimanya. Kristalisasi makna pesan kekerasan yang disampaikan melalui televisi dapat merangsang siapa saja yang menyaksikan untuk bertindak seperti apa yang terus-menerus dilihatnya. Secara ringkas bisa digambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut14:
Who
In Which Channel
Says What
Siapa
Berkata apa
Komunikator Control studies
Pesan Analisis pesan
Melalui saluran apa Media Analisis media
To Whom Kepada siapa Penerima Analisis Audience
With What Effect Dengan efek apa Efek Analisis efek
Formula sederhana ini telah digunakan dengan berbagai cara, terutama untuk mengatur atau mengorganisasikan dan membentuk struktur bagi diskusi-diskusi tentang komunikasi. Lasswell sendiri menggunakan formula ini untuk menunjukan jenis riset komunikasi. Secara sederhana, ketika seseorang mengemukakan pesan maupun berita melalui media massa, maka publik akan menangkap pesan itu sehingga menimbulkan efek tertentu pada seseorang atau khalayak. Bagaimana proses berita kekerasan itu terjadi dan 12
Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), 189. Denis McQuail and Steven Windahl, Communication Models for The Study of Mass Communication, Longman Inc, United States of America, 1987, 154. 14 Menurut Liitlejohn, dengan menggunakan model ini, Laswell menyusun bagian-bagian sistem komunikasi massa. Ia mampu mengidentifikasi fungsi-fungsi utama media komunikasi, termasuk pengamatan (surveillance), memberikan informasi tentang lingkungan; memberikan pilihan untuk memecahkan masalah, atau hubungan (correlation); dan sosialisasi serta pendidikan yang dikenal dengan transmisi (transmision). Oleh sebab itu, yang penting bagi komunikasi massa adalah media itu sendiri. Lihat Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Jakarta: Salemba HUmanika, 2014), 434 13
44 | Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015
Ideologi Dominasi Kekerasan di Media Penyiaran
menjadi perhatian utama media massa, penjabaran dari perspektif yang linier bisa ditelusuri melalui gambaran berikut ini15:
Who
Say What
In Which Channel
To Whom
Tabel: Aplikasi Kerangka Laswell dalam Peta Kekerasan di Media Penyiaran Komponen komunikator, para pengelola redaksi yang menentukan segala jenis tayangan. Mereka adalah tim yang mengatasnamakan pemilik perusahaan yang mempunyai saham terhadap industri televisi tersebut. Pemilik media, produser, tim kreatif, pemasar, pengiklan, dan yang terkait produksi memiliki otoritas menentukan tayangan yang layak dan tidak perlu disampaikan kepada khalayak. Konstruksi apapun tentang acara televisi, pengelola televisi memiliki otoritas menentukan “mana yang baik” dan “mana yang buruk”. Berkaitan dengan segala pesan yang dapat berupa ide, informasi, opini, suara, gambar, grafis, sikap, dan pendapat dari tim redaksi media massa kepada khalayak tentang berbagai jenis kekerasan yang terjadi di tanah air. Pesan dikemas dalam variety show, talk show, pergelaran musik, kompetisi berdasar SMS, lawak, sinetron, film, dan sejenisnya yang bertema kekerasan seperti tayang yang dilarang oleh KPI. komponen televisi adalah sarana penyaluran pesan yang efektif karena adanya konvergensi antara suara dan gambar. Kemampuan televisi saat ini ditunjang dengan teknologi internet, sehingga televisi bisa diakses secara on line melalui media komunikasi berjaringan satelit, seperti android. Meski pesan berlangsung cepat, namun teknologi website menyajikan acara televisi secara of line sehingga tetap diakses segala waktu dan kesempatan khalayaknya. Dalam hal ini televisi menunjukkan kekuatannya Komponen khalayak heterogen yang menikmati acara televisi berbau kekerasan bisa menerpa siapa saja mulai dari segala usia, jenis kelamin, golongan, agama, suku, dan ras tanpa memandang tempat dan waktu selama manusia masih dapat mengakses tayangan televisi yang mengusung kekerasan tersebut.
15
Alur yang dikemukakan Lasswell memang cukup sederhana dan dikritik oleh sejumlah pakar teori komunikasi karena terlalu linier dan menyederhanakan masalah. Namun, menurut penulis, jika secara cermat ditelusuri, komunikasi selalu melibatkan lima komponen itu. Ketika membicarakan media massa yang menyebarkan berita dari peristiwa kekerasan, maka bisa dilacak pula, siapa orang (redaksi) yang membuat “citra berita” dengan beragam bentuk. Demikian pula, ketika melihat, membaca, dan mencermati media massa, akan terdeteksi pula siapa penerima pesan itu (siapa saja baik jenis kelamin, umur, tingkat status sosial dan lain-lain). Efek media massa seperti apa pun bisa dijawab dengan pertanyaan mendasar itu. Meminjam istilah Kurt Lewin bahwa “sebuah perspektif teoritis yang baik juga sebenarnya sangat praktis” dikutip Deddy Mulyana dalam pengantar buku Komunikasi Antarbudaya (Bandung: Rosdakarya, 2009), xiii.
Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015 | 45
Kun Wazis
With What Effect
Komponen efek (hasil) yang dicapai saat tim redaksi menurunkan berita atau tayangan kekerasan kepada khalayak. Beragam angle (sudut lain) dari tayangan kekerasan akan memberikan dampak inspirasi khalayak untuk mengekspresikan realitas yang dikonstruksi televisi tersebut. Efek lainnya, rating acara televisi meningkat sehingga menaikkan daya tarik iklan yang memberikan keuntungan besar bagi televisi.
Sumber: Adaptasi penulis terhadap kerangka Laswell, 2015. Berita16 di media massa menyampaikan pesan yang jelas dan terukur, sehingga dampaknya juga bisa dirasakan. Media sejak awal juga menyadari bahwa kekuatan mereka terletak pada massa, maka berbagai informasi yang dibuat menarik (unsur menarik versi media massa biasanya menyangkut sesuatu peristiwa yang baru, unik, dramatik, aktual, proximity, kontroversi, magnitude, tokoh, eksklusif, dan mission) selalu menjadi sajian media massa, termasuk tema kekerasan. Akibatnya kekerasan bukan dinilai sebagai sesuatu yang diwaspadai, tetapi menjelma menjadi hiburan. Sebagai contoh, di Amerikan Serikat (AS) pada tahun 1999 terbit buku berjudul Maythem: Violence As Public Entertainment yang meneliti dampak jangka panjang tayangan kekerasan terhadap pemirsa. Muncullah ‘monster-monster’ kecil berupa pelajar yang melakukan penembakan terhadap kawan-kawannya dan guru-gurunya di sekolah. Seperti pernah terjadi di Kota Newton, Negara Bagian Connecticut di Sekolah Dasar Sandy Hook pada 14 Desember 2012, yang menewaskan 28 orang, termasuk 14 anak SD. Televisi dinilai menjadi “guru” karena mampu mengajarkan materinya kepada “murid” di rumah secara “sistematis” sehingga media massa televisi semakin diminati. Salah satu bukti kuatnya pengaruh televisi terhadap masyarakat bisa dilihat dari survei yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Penyelenggaraan Pos dan Informatika pada tahun 2011, yang menunjukkan kepemilikan televisi di sektor rumah tangga mencapai 95,56 persen17. Ideologi Dominasi dan Kritik Media Penyiaran Littlejohn18 mengungkapkan kritik media yang ditawarkan Bell Hooks dengan menyebut penggunaan komunikasi untuk mengacaukan dan menghapus ideologi dominasi yang diartikan Hook sebagai patriark kapitalis supremasi kulit putih. Ideologi dominasi ini 16
Menurut Djuraid berita adalah sebuah laporan atau pemberitahuan mengenai terjadinya sebuah peristiwa atau keadaan yang bersifat umum dan baru saja terjadi yang disampaikan oleh wartawan media massa. Faktor peristiwa atau keadaan menjadi pemicu utama terjadinya sebuah berita. Dengan kata lain, peristiwa atau keadaan itu merupakan fakta atau kondisi yang sesungguhnya terjadi, bukan rekaan atau fiksi penulisnya. Lebih lanjut lihat Husnun Djuraid, Panduan Menulis Berita (Malang: UMM Press, 2006), 11. 17 Majalah D’Rise, Edisi 41, Desember 2014 (Bogor: Permata Mitra Media, 2014), 4. Sebagai media telekomunikasi yang memadukan suara (audio) dan gambar (visual), televisi paling banyak diminati. Beragam hiburan dan informasi yang disajikan bikin betah anggota keluarga duduk berlama-lama di depan TV. Hasil riset AC NIelsen tentang pengukuran pemirsa televisi 2012 menunjukkan bahwa sampai saat ini, konsumsi media TV masih memimpin total konsumsi media, yaitu sebesar 94 persen dari total populasi media konvensional di tanah air. Dalam sehari, pemirsa bisa menghabiskan sekitar 4,5 jam duduk di depan TV atau 31,5 jam per Minggu atau 945 jam per bulan. 18 Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Jakarta: Salemba HUmanika, 2014), 434.
46 | Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015
Ideologi Dominasi Kekerasan di Media Penyiaran
menggunakan penggabungan sistem-sistem seksisme, rasisme, golongan elit, kapitalisme, dan heteroseksisme. Menurut Hooks, kritik media sangat penting karena sifat penyebaran dan kekuasaan media. Ia tidak membuat media bertanggung jawab atas ideologi penindasan; ia meyakini bahwa setiap orang berkontribusi atas kelanjutannya, bahkan mereka yang tertindas. Dekolonisasi (decolonization) sebagai cara dasar mengacaukan dominasi. Dekolonisasi yang merupakan dasar bagi pendekatannya terhadap kritik media adalah sebuah proses mematahkan asumsi realitas budaya yang dominan, termasuk kecenderungan dari orang-orang yang tertindas untuk memperbesar status bawahan mereka. Menurut Hooks, televisi dan film adalah yang sangat penting karena mereka menyosialisasikan orangorang pada ideologi penindasan. Ketika televisi menyala, orang-orang kulit putih “selalu bersama kita, suara-suara, nilai-nilai, dan keyakinan mereka bergema di pikiran kita. Ini adalah kehadiran pola pikir yang terus menjajah dan dikonsumsi secara pasif untuk merusak kemampuan kita untuk menolak.” Ketika Marshall McLuhan melontarkan ide spektakulernya, medium is the messaeg, dia disinyalir telah menyulut pemahaman radikal menyoroti kehadiran media dalam panggung kehidupan. Dalam pengertian yang bersifat ideologis, media hadir tidak hanya sebagai penyalur ampuh muatan-muatan ideologis. Dengan kata lain, media tidak hanya menjadi transmiter ideologi, tapi sekaligus telah menjelma menjadi ideologi itu sendiri. Karenanya media bisa muncul sebagai ancaman, bilamana logika pesan media tunduk kepada sekelompok orang yang disinyalir akan mendistorsi bahasa atau pesan untuk mengendalikan pikiran khalayak dalam memahami realitas19. Dalam perspektif teori-teori klasik menyatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka, dengan jalan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken of granted. Wacana dalam hal ini dipandang sebagai medium melalui mana kelompok dominan mempersuasi (bujukan) dan mengomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampa absah dan benar. Menurut Van Dijk, dengan menjelaskan apa yang disebut dengan “kesadaran palsu” bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye disinformasi melalui kontrol media20. Tayangan kekerasan media yang terus-terus diwacanakan oleh media penyiaran melalui agenda setting dan secara rutin menusuk benak pemirsa secara konstruktif telah memposisikan khalayak sebagai obyek yang terdominasi. Kemampuan televisi menusuk benak indera khalayak dan menyalurkannya kedalam otak kesadaran pemirsa telah memposisikan hiruk-pikuk ideologi pasar kapitalisme yang ditawarkan mendapatkan tempatnya. Politik rating adalah salah satu jurus yang ampuh untuk menegasikan bahwa ideologi kekerasan televisi bisa diterima oleh khalayak. Arogansi televisi terhadap peringatan lembaga negara semacam KPI semakin meyakinkan bahwa televisi telah mampu melahirkan “kesadaran palsu” tersebut kepada “penganutnya”. 19 20
Idi Subandy Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 89-90. Yoce Aliah Darma, Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif (Bandung: Refika Aditama, 2014), 108.
Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015 | 47
Kun Wazis
Dalam pandangan teori yang lain, kehadiran media massa, termasuk televisi lebih luas dan tidak hanya berkutat pada individu. Perspektif The Cultural Norm Theory yang ditawarkan McQuail dan Windahl sebagaimana dikutip Sihabudin21 menyatakan bahwa media tidak berpengaruh langsung terhadap individu-individu melainkan juga mempengaruhi kebudayaan, pengetahuan, norma-norma, dan nilai-nilai suatu masyarakat. Semuanya ini membentuk citra, ide-ide, evaluasi dimana audiensi menentukan tingkah lakunya sendiri. Menurut teori ini, pertama, pesan-pesan komunikasi massa dapat memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku. Kedua, media dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya yang ada. Ketiga, massa media dapat merubah norma-nomra budaya yang berlaku dimana perilaku individu-individu dalam masyarakat diubah sama sekali. Pandangan dan kritik teori media tersebut justru memperkokoh pandangan linier bahwa tayangan televisi yang “bergenre” kekerasan memiliki pengaruh kepada audiensi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bangunan grandtheory linier, yakni teori behavioristik menegaskannnya sebagai proses komunikasi dimana peran komunikator dalam menyampaikan pesan melalui media secara langsung dapat memengaruhi perilaku komunikan. Dalam hal ini, tindakan kekerasan seseorang atau orang banyak dapat mempengaruhi orang lain. Behaviorisme mempercayai, upaya melakukan perubahan terhadap perilaku seseorang dapat pula dilakukan secara terus-menerus jika ingin merubah tindakan masyarakat. John. B. Watson menyatakan bahwa behaviorisme merupakan konsep yang menyatakan bahwa semua tindakan manusia merupakan respon yang terkondisi terhadap stimulasi lingkungan eksternal. Para ahli behaviorisme berpendapat bahwa satusatunya manfaat kesadaran adalah untuk menguraikan dan melakukan tindakan setelah dipicu oleh rangsangan dari luar. Dengan mempelajari seluk beluk stimulasi dan tingkah laku, ahli behaviorisme berharap akan menemukan penyebab yang mengawali sebuah tindakan.22 Melihat pendapat tersebut, semakin terang, bahwa behaviorisme meyakini beragam jenis kekerasan yang terungkap di media massa akan menstimulasi khalayak untuk berbuat kekerasan sebagaimana yang ditangkap oleh pemahaman publik. Khalayakakan terdorong untuk bergerak di ranah kekerasan karena ada “motivasi” dari luar berupa “pencitraan” media mengenai kekerasan yang seringkali menjadi sajian media massa tersebut. Menurut teori ini, semakin sering media massa menyalurkan kekerasan, maka akan semakin sering pula perilaku tindak kekerasan itu terjadi. Behavior yang dicitrakan di media massa akan mengarahkan pada perilaku seseorang “persis” dengan yang diajarkan media massa. Khalayak seperti tidak mengindahkan aspek lain, dan ajaran kekerasan media massa itulah yang mengarahkan gerak gerik dan tingkah lakunya. Mulyana23 mengungkapkan pendekatan behavior memandang perilaku manusia disebabkan oleh kekuatan-kekuatan di luar kemauan mereka sendiri. Maka pendekatan behavioristik memandang manusia sebagai produk lingkungan di luar diri mereka. Rangsangan dalam lingkungan tersebut 21
Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya: Perspektif Multidimensi (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), 135. Stanley Teori, 102. 23 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 27. 22
48 | Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015
Ideologi Dominasi Kekerasan di Media Penyiaran
mempengaruhi mereka untuk memberi respondan bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara yang teratur dan karena itu ia dapat diramalkan. Dalam pendekatan behaviorisme sebagai grandtheory dapat menjelaskan bahwa faktor pengaruh dari luar itulah yang mempengaruhi perilaku seseorang. Media yang secara terus menerus menebarkan reportase berbau kekerasan---menurut behaviorisme----disadari atau tidak akan memberikan pengaruh “buruk” kepada perilaku manusia, sehingga condong pada tindakan yang mirip dengan bentuk kekerasan yang disajikan media massa. Akibat dominasi tema kekerasan itu pula, maka sebagian berpersepsi bahwa kekerasan adalah menjadi sesuatu yang wajar. Efek media massa yang terus mem-blow up kekerasan akan memberikan dampak kepada perilaku khalayak. Menurut Steven Caffe, efek media itu menyentuh bagian penting dari perilaku khalayak yang menerima pesan, karena: a) efek media massa berkaitan dengan pesan dan media; b) jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa meliputi perubahan kognitif, afektif dan behavioral; c) satuan observasi yang dikenai efek media massa meliputi individu, kelompok, organisasi, masyarakat, dan bangsa.24 Dalam pandangan Ibrahim25, kekerasan semakin mencemaskan, ketika tayangan aksi kekerasan di televisi, film, bioskop, bacaan, dan siaran berita semakin melimpah. Pelbagai dampak tayangan aksi kekerasan diperdebatkan oleh para peneliti. Perdebatan ini meluas ke persoalan tentang berapa banyak tipe aksi kekerasan ini seharusnya kita tonton di televisi setiap malam. Dalam teks dan imaji budaya pop, pementasan kekerasan dijadikan cara untuk mengomunikasikan pesan peringatan, ancaman, teror, dan horor dari suatu kelompok ke kelompok lain. Tak jarang kekerasan itu sengaja dipertontonkan sehingga menjadi semacam “horrortainment”. Kekerasan dianggap sebagai “hiburan” untuk saluran eskapisme, katarsis, dan bahkan ritualisme. Kekerasan menjdi komoditi pemberitaan dalam bisnis infortainment. Solusi dengan Media Literasi Penyiaran Peran media massa, termasuk televisi, dalam kehidupan sosial---menurut berbagai literatur----tidak diragukan lagi. Walau kerap dipandang secara berbeda-beda, namun tidak ada yang menyangkal atas peran yang signifikan dalam masyarakat modern. McQuail misalnya, dalam bukunya yang terbaru Massa Communication Theories, merangkum pandangan khalayak terhadap peran media massa. Setidaknya, ada enam perspektif dalam melihat peran media, yaitu26:
24
Winarni, Komunikasi Massa (Malang: UMM Press, 2003), 122. Idi Subandy Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 165. Ini ditambah lagi ketika budaya kekerasan yang ditayangkan di media elektronik sering kali tidak proporsional. Tokoh-tokoh kekerasan kekerasan tak jarang mendapatkan liputan yang lebih banyak daripada korban-korban kekerasan. Ketika “sekolah-sekolah” kekerasan yang disajikan media massa, khususnya kekerasan aktual dan visual yang ditayangkan media elektronik, semakin telanjang menampilkan aksi dan korban kekerasan, maka semakin tuntaslah teater teror itu dipentaskan. 26 Henry Subiakto dan Rachma Ida, Komunikasi Politik, Media & Demokrasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 105-106. 25
Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015 | 49
Kun Wazis
Melihat media massa sebagai window on events and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat” apa yang sedang terjadi di luar sana ataupun pada diri mereka sendiri. 2. Media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, implying ad fifthful reflection.Yaitu, cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia,yang merefleksikan apa adanya. Karenanya, para pengelola media sering merasa tidak “bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik, dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak suka. Padahal, sesungguhnya angle, arah, dan framing dari isi yang dianggap sebagai cermin realitas ini diputuskan oleh para professional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan. 3. Memandang media massa sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi, atau bentuk content yang lain berdasar standar para pengelolanya. Disini khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui, dan mendapat perhatian. 4. Media acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam. 5. Melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik. 6. Media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang efektif. Perkembangan teknologi komunikasi, globalisasi, liberalisasi, dan komersialisasi telah memunculkan pergeseran. Media massa tumbuh tidak hanya menjadi kekuatan pengontrol kekuasaan, tetapi telah menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan budaya. Media telah menjadi “power” baru, yang apabila dibiarkan liar justru bisa menjadi ancaman tersendiri bagi demokrasi. Noam Chomsky sebagaimana dikutip Subiakto27, melihat media di era kapitalis liberal, sarat dengan “kongkalikong”.Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang punya kekuatan politik dan uang. Para elite kekuasaan dan elite bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Akibatnya, menurut Chomsky kebebasan pers yang dijiwai demokrasi dan liberalisme, telah disusupi corong-corong propaganda segelintir orang. Melihat bahaya kekerasan yang disajikan media massa, model teori tanggung jawab sosial bisa dipilih sebagai alternatif untuk mengontrol menu media massa agar tidak merusak 1.
27
Ibid. Menurut Chomsky, setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu. Setiap suara berita telah dimodali kekuatan politik dan bisnis. Chomsky menganalisis adanya konspirasi para elite yang melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Dengan menggunakan istilah manufacturing consent, tokoh kritis ini melihat media menjadi alat kepentingan politik, ekonomi, dan kultur kalangan eksekutif. Menurutnya para gatekeeper media menjadi pion politisi dan pengusaha untuk mencari keuntungan.
50 | Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015
Ideologi Dominasi Kekerasan di Media Penyiaran
masyarakat sekaligus menjadi alat literasi media (pendidikan melek media). Prinsip utama teori ini adalah: : a) Media seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat; b) Kewajiban-kewajiban tersebut perlu dipenuhi dengan menetapkan standar profesionalisme yang menyangkut keinformasian, kebenaran, akurasi, objektivitas, dan keseimbangan; c) dalam menerima dan melaksanakan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat mengatur dirinya sendiri sesuai kerangka hukum dan kelembagaan yang berlaku; d) Media seyogyanya menghidnarkan diri dari setiap upaya yang dapat menjurus kepada tindak kejahatan, kekerasan, merusak tatanan sosial atau menyakiti kelompok-kelompok minoritas; e) media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralitas dan merefleksikan kebhinekaan masyarakat, memberikan kesempatan yang sama untuk mengekspresikan berbagai sudut pandang serta memberikan jaminan hak jawab; f) masyarakat dan publik, memiliki hak untuk menuntut standar kerja yang tinggi dari media massa, dan karenanya intervensi dapat dibenarkan mengingat media massa merupakan “public good”; g) wartawan dan kalangan profesional media lainnya bertanggungjawab terhadap masyarakat, pihak majikan, dan pasar. Negara tisak bisa lagi hanya diam dan membiarkan dekadensi industri televisi tersu berlangsung merajam kebudayaan bangsa. Tranggono28 menyodorkan solusi dalam melawan industri kebodohan di televisi melalui beberapa cara. Pertama, pentingnya strategi politik kebudayaan nasional yang mengutamakan penguatan karakter, kreativitas, dan inovasi bangsa. Kedua, pentingnya regulasi yang mengatur dan mengontrol kebijakan stasiun televisi dan tayangannya sehingga bisa menjadi televisi sehat. Ketiga, pentingnya lembaga pengawasan materi tayangan dan penyiaran yang efektif dan memiliki kuasa, bukan sebatas memberi imbauan, melainkan kuasa untuk memberikan sanksi atas penyimpangan. Keempat, pentingnya negara menjadi produsen nilai-nilai kebudayaan dengan memberikan regulasi dan pendanaan untuk memproduksi tayangan-tayangan berkualitas dan memiliki masa depan kebudayaan. Wujudnya bisa film televisi fiksi/ dokumenter, features, talkshow yang cerdas/ visioner, film berkonten ilmu dan pengetahuan yang inspiratif, pergelaran musik, komedi cerdas, dan sebagainya. Dengan demikian, menyikapi aneka kekerasan di media massa dan dampak buruknya, ada langkah praktis yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah sebagai penyelenggara negara harus memproduksi tayangan media massa yang mendidik, bukan menonjolkan kekerasan. Langkah KPI sebagai lembaga pengawas yang dibentuk pemerintah harus bertindak tegas terhadap media massa yang masih nekat menayangkan adegan kekerasan. Tidak hanya sekadar himbauan kepada masyarakat untuk tidak menonton sejumlah tayangan, tetapi memberikan efek jera bagi industri media massa “wajib” dilakukan. Sebab, selama ini, 28
Indra Tranggono, Kompas, Melawan Industri Kebodohan, 22 Agustus 2015, 6. Institusi televisi harus diletakkan sebagai institusi nilai yang bertanggung jawab untuk mengedukasi dan mencerdaskan publik. Ukuran televisi sehat antara lain kemampuan memberikan informasi yang obyektif-akurat, ilmu, pengetahuan, dan hiburan bermutu yang mengandung nilai-nilai inspirataif (logis, etis, dan estetis bagi publik). Jika lembaga pengawasan bekerja efektif, tidak akan ada lagi tayangan-tayangan yang dangkal, menghina akal sehat, menabrak etika dan norma sosial. Menurutnya, menhentikan laju industri televisi tidak harus secara otoriter, tetapi bisa dengan cara-cara kultural melalui regulasi dan kebijakan serta praksis yang membuka imajinasi dan inovasi bangsa.
Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015 | 51
Kun Wazis
terkesan langkah KPI terus diremehkan karena dinilai tidak mampu menghentikan tayangan kekerasan yang merusak. Sebagai gantinya, sodorkan kepada publik tayangan yang mendidik, misalnya tayangan film dokumenter Harun Yahya, sejenis sinetron keluarga Cemara, atau kartun animasi yang mendidik dan menghibur seperti Syamil dan Dodo. Lebih menarik lagi, tayangan yang cerdas dan Islami bisa ditampilkan untuk membangkitkan semangat berjuang kaum muslimin yang menjadi penghuni mayoritas di Indonesia sekaligus kekuatan umat Islam terbesar di dunia. Seperti film Ar Risalah (The Message) karya Mustafa Akkad yang menceritakan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam rahmatan lil alamin; Children of Heaven yang menceritakan tentang adik kakak yang memakai sepatu secara bergantian agar bisa bersekolah; The Lion of Desert yang mengisahkan Khulafaur Rasyidin; Hancurnya Pasukan Gajah, dan sejenisnya. Kedua, negara harus berani menolak setiap paham yang memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme) sebagai pijakan untuk menilai baik buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana tawaran Tranggono tersebut. Sebab, ujung pangkal segala kekerasan dan bentuk destruktif lainnya dalam media massa seperti seks bebas, aborsi, pornografi, karena posisi agama (Islam) telah dipinggirkan dari semua lapangan kehidupan. Akibatnya, berbagai problematika justru banyak bermunculan di tengah-tengah masyarakat yang mengklaim dirinya modern, demokratis, dan maju. Padahal, inilah yang sering kali disebut Sayyid Qutub dengan istilah jahiliyah modern. Untuk itu, hanya menjadikan nilainilai Islam yang rahmatan lil alamin sebagai dasar memproduksi menu di media massa, maka tema-tema merusak, termasuk didalamnya kekerasan media penyiaran akan dapat dihilangkan.
52 | Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015
Ideologi Dominasi Kekerasan di Media Penyiaran
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Anwar, 2003, Komunikasi Politik, Jakarta: Balai Pustaka. Baran, Stanley J, 2011, Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: penerbit Salemba Humanika Bungin, Burhan, 2001, Imaji Media Massa, Yogyakarta: Jendela Darma, Yoce Aliah, 2014, Analisis Wacana Kritis, Bandung: Refika Aditama. Djuraid, Husnun, 2006, Panduan Menulis Berita, Malang: UMM Press. Djuroto, Totok, 2002, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Hasrullah, 2013, Beragam Perspektif Ilmu Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ibrahim, Idi Subandy, 2011, Kritik Budaya Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra. Iriantara, Yosal, 2009, Literasi Media: Apa, Mengapa, Bagaimana, Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Liitlejohn, Stephen W, Karen A. Foss, 2014, Teori Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. MacQuail, Denis and Steven Windahl, 1987, Communicatin Models for The Study of Mass Communication, United States of America: Longman Inc. McQuail, Denis, Tanpa Tahun, Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Erlangga. Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mulyana, Deddy, 2008, Komunikasi Massa: Kontroversi, Teori, dan Aplikasi, Bandung: Widya Padjadjaran. Nasrullah, Rulli, 2012, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Nurudin, 2007, Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta:PT RajaGrafindo Rakmat, Jalaludin, 2009, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Subiakto, Henry, Rachma Ida, 2012, Komunikasi Politik, Media & Demokrasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Setiati, Eni, 2005, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, Yogyakarta: Penerbit Andi. Sudibyo, Agus, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: LKiS Sihabudin, Ahmad, 2013, Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi, Jakarta: Bumi Aksara. Tranggono, Indra, 2015, Melawan Industri Kebodohan, Jakarta: Harian Kompas. Wazis, Kun, 2012, Media Massa dan Konstruksi Realitas, Malang: Aditya Media Publishing. Wibowo, Wahyu, 2009, Menuju Jurnalisme Beretika, Jakarta: Kompas Media Nusantara Winarni, 2003, Komunikasi Massa, Malang: UMM Press.
Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015 | 53
Kun Wazis
54 | Al-Hikmah, Vol. 13, No. 1 Oktober 2015