230
FENOMENA KEKERASAN DALAM PRAKTIK KEBERAGAMAAN DI INDONESIA Oleh: ABD. KHALIK LATUCONSINA Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ambon ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Fenomena Kekerasan dalam Praktik Keberagamaan di Indonesia”,. Pengangkatan judul ini berasal dari fakta bahwa masih terdapat berbagai praktik kekerasan dalam beragama. Masalah mendasar yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah, apakah agama mengajarkan kekerasan dan bagaimana Islam dengan ajaran-ajaran yang bersifat doktrinal memandang fenomena kekerasan dalam masyarakat majemuk. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptip kualitatif dengan melakukan pengamatan terhadap berbagai fenomena praktik keberagamaan di Indonesia. Analisis hasil penelitian ini dengan cara melihat fenomenologi praktik kekerasan dalam masyarakat dengan doktrin-doktrin yang diajarkan dalam agama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekerasan biasanya digunakan untuk menggambarkan perilaku yang menunjuk adanya penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik yang terbuka (overt) maupun tertutup (covert) dan yang bersifat menyerang (offensive) atau yang bersifat bertahan (defensive). Pencitraan Islam melalui berbagai praktik kekerasan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam, apalagi dilakukan terhadap sesama menurut hasil penelitian ini, tidaklah mencerminkan eksistensi Islam yang kita kenal sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). Kata Kunci; Kekerasan, Praktek dan Keberagamaan
ABSTRACT This study, entitled "The phenomenon of violence in Practice Religiosity in Indonesia". Appointment of the title is derived from the fact that there are various practices of religious violence. The fundamental problem formulated in this study is whether religion teaches violence and how Islamic teachings doctrinal looked at the phenomenon of violence in a pluralistic society. The method used in this study is a qualitative descriptive analysis of various phenomena observed religious practices in Indonesia. Analysis of these results by looking phenomenology practice of violence in society with doctrines taught in religion. These results indicate that the violence is usually used to describe behavior that point to the use of force to another person, either open (overt) or closed (covert) and offensive (offensive) or who are last (defensive). Islam imaging through the use of violence by groups in the name of Islam, let alone done for others according to the results of this study, does not reflect the existence of Islam that we know as a mercy to the universe (rahmatan lil alamin). Keywords; Violence , Practice and Religiosity
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
230
PENDAHULUAN enomena kekerasan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di mana pun, termasuk di Indonesia.Tidak jarang fenomena kekerasan itu melibatkan kelompok-kelompok umat beragama, sehingga agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan dalam masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah memang agama mengajarkan
memberi konsentrasi pada fenomena kekerasan dalam praktik beragama di kalangan sesama pemeluk agama Islam di Indonesia.
kekerasan?.Sebagaimana diketahui, agama-agama secara lantang menyuarakan anti kekerasan, mengedepankan perdamaian dan keharmonisan.Oleh karena itu agama dikenal sebagai pengawal moral dalam masyarakat.Kontras dengan hakekat dasar agama yang mengajarkan kebaikan, sering juga dijumpai bahwa terdapat praktik-praktik keberagamaan sebagain umat beragama yang eksklusif, intoleran, dan bersikap semena-mena terhadap sesama pemeluk agama sehingga mencitrakan agama sebagai pelaku kekerasan. Perumusan judul ini dilatarbelakangi oleh fakta tentang sejumlah peristiwa dekade terakhir di Indonesia yang menunjukkan adanya fenomena kekerasan dilakukan oleh warga dari kelompok-kelompok agama tertentu kepada warga kelompok agama lainnya. Fenomena kekerasan sebagaimana dimaksud tidak hanya terjadi antara pemeluk agama berbeda, tetapi juga antara pemeluk agama yang sama. Oleh karena itu makalah ini
kekerasan. Istilah kekerasan biasanya digunakan untuk menggambarkan perilaku yang menunjuk adanya penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik yang terbuka (overt) maupun tertutup (covert) dan yang bersifat menyerang (offensive) atau yang bersifat bertahan (defensive). Oleh karena itu kekerasan dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) kekerasan terbuka, yaitu
F
Kekerasan Praktik Beragama: Potret Kasus di Kalangan Islam Indonesia Sebelum melihat seperti apa fenomena kekerasan di kalangan umat beragama (Islam) di Indonesia terjadi, perlu dipahami lebih dahulu konsep
bentuk kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian; (2) kekerasan tertutup, yaitu bentuk kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam; (3) kekerasan agrasif, yaitu bentuk kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu; (4) kekerasan defensive, yaitu bentuk kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri (Santoso, 2002:11). Fenomena kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok umat beragama dapat dipahami dengan melihat pemikiran Jhon Galtung. Menurut Galtung, agama sebagai aspek budaya
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
231
menjadi ruang simbolik yang dapat dipakai untuk menjastifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung atau kekerasan struktural. Galtung melihat kekerasan sebagai serangan yang tidak dapat terhindari pada kebutuhan dasar manusia, dan lebih umum serangan pada kehidupan, yang meninggikan tingkat kepuasan kebutuhan di bawah apa yang mungkin terjadi. Galtung membuat empat
Keberadaan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai bagian dari kelompok Islam meluai terusik setelah kelompok ini dinilai oleh sebagian kelompok Islam arus utama di Indonesia sebagai kelompok yang telah melakukan penistaan dan penodaan terhadap Islam dengan mengajarkan ajaran teologi yang berbeda dari ajaran Islam
tipologi kebutuhan dasar sebagai berikut: (1) kebutuan kelangsungan hidup, (2) kebutuhan kesejahteraan, (3) kebutuhan identitas atau jati diri dan kebutuhan makna; (4) kebutuhan kebebasan (Santoso, 2002:184). Islam di Indonesia terdiri dari banyak kelompok disertai dengan aliran yang beragam.Konteks kemajemukan ini tidak jarang menimbulkan konflik internal umat Islam.Konflik di kalangan internal umat Islam disadari atau tidak telah menunjukan sikap berhadap-hadapan dan dominasi satu terhadap lainnya sehingga terjadi kekerasan.Contoh kasus kekerasan dalam praktik keberagamaan Islam di Indonesia antara lain adalah kasus Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang menjadi polemik hingga sekarang. Berikut ini dikemukakan secara ringkas seperti apa kekerasan terjadi kepada kelompok Ahmadiyah,satu kelompok minoritas dalam Islam Indonesia.
sesungguhnya.Dengan dalil ini kelompok-kelompok Ahmadia pada sejumlah tempat di Indonesia diperlakukan secara tidak adail, apalagi alasan pelarangan didukung oleh perangkat hukum yang dikeluarkan oleh Negara. Sebagaimana diketahui, UU PNPS No 1 tahun 1965, tentang penodaan dan penistaan agama serta serta SKB 3 menteri, yang merupakan produk hukum dibuat negara dalam mengelola keragaman agama di Indonesia sejak Orde lama, dan tetap digunakan oleh negara hingga saat ini. Salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam kepada JAI adalah dengan penyegelan terhadap masjid tempat mereka beribadah.Berikut ini adalah petikan salah satu kasus penyegelan masjid JAI di Jakarta (Bekasi). Masjid al-Musbah milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia berdiri pada tahun 1997. Selain kelompok JAI, kelompok-kelompok muslim lainnya turut beribadah pada
Kekerasan Terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
232
masjid ini. Tidak ada masalah dikalangan warga sekitar dengan kehadiran JAI dan masjid mereka, malah kehidupan sosialnya harmonis.Pada tahun 2011, tibatiba datang satu kelompok demontran yang diketahui adalah masa Front Pembela Islam (FPI) dari Jakarta ke Bekasi melakukan aksi meminta penyegelan terhadap masjid JAI. Aksi ini merupakan tindak lanjut dari larangan pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bekasi terhadap aktivitas Ahmadiyah di Bekasi (Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia, Yogyakarta: CRCS, 2014: 37-38). Kasus ini menunjukan kemampuan kelompok civil society tertentu dalam Islam sebagai representasi kuasa simbolik, berhasil memengaruhi negara melalui regulasi dan kebijakan UU PNPS maupun SKB 3 menteri menjadi alat penekan JAI yang dalam bahasa Bourdieu disebut kekerasan simbolik. Kemampuan kelompok civil society tertentu dalam Islam yang memengaurhi negara menciptakan regulasi dan kebijakan yang mendiskrimiansi JAI, memperkuat tesis Bourdieu bahwa kuasa simbolik akan melahirkan kekerasan simbolik. JAI adalah korban diskriminasi dari pemberlakuan kuasa simbolik, kekerasan simbolik dan dominasi
simbolik oleh kelompok Islam arus utama yang menggunakan negara sebagai alat penekan. Islam; Rahmat Bagi Alam Semesta (Rahmatan Lil Alamin) Indonesia adalah bangsa yang memiliki multietnis, budaya, bahasa dan agama. Indonesia juga merupakan negeri kepulauan yang diapit oleh dua benua dan dua samudera yang pernah di jajah oleh bangsa Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda), kemudian terakhir oleh Jepang. Indonesia juga merupakan negeri yang kehidupan sosialnya sangat komunal, paternalistik, dengan kesetiakawanan yang tinggi, dan masih banyak lagi predikat lainnya sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam Pancasila. Dalam konteks keberagamaan, bangsa Indonesia memiliki beberapa agama yang dianut oleh masyarakatnya, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu dan bahkan Konghucu. Di Indonesia Islam adalah agama yang menjadi mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia. Dari sinilah Islam berkenalan dengan produk budaya Indonesia. Sebagai agama, Islam tentu bersentuhan dengan perilaku budaya bangsa Indonesia dengan keharusan menerima fakta tentang adanya multietnis dan budaya yang tersebut. Islam dengan wujud dan formasi keagamaannya tidak mungkin memaksakan diri untuk menolak budaya yang ada di Nusantara. Menghadap-
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
233
hadapkan Islam vs budaya nusantara berarti memaksakan kehendak untuk disingkirkan dengan arus besar kelompok yang meyakini akan terciptanya akulturasi dan budaya Islam-Indonesia (Syafii Maarif dalam Abd. Karim, 2007:5) Perkembangan pemahaman, praktik dan perilaku keberagamaan di Indonesia akhir-akhir ini, tidak bisa dinafikan bahwa terdapat sebagian orang
Redaksi ayat di atas, terlihat sangat singkat, tetapi ia mengandung makna yang sangat luas. Menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah, ayat ini menyebut empat hal pokok. 1) Rasul/utusan Allah dalam hal ini Nabi Muhammad Saw. 2) yang menguts beliau dalam hal ini Allah, 3) sedangkan yang diutus kepada mereka (al’alamin) serta 4) Risalah, yang kesemuanya
yang masih memandang Islam sebagai ancaman peradaban, diakibatkan oleh ulah sekelompok kecil umat Islam yang gagal berurusan dengan perkembangan zaman. Mereka ini merasa sangat terdesak oleh gelombang modernitas dengan virus sekularisme, jika bukan ateisme yang masih melanda bagian-bagian peradaban umat manusia (Syafii Maarif dalam Hamka Haq, 2015:vii). Berdasarkan kalimat ” rahmatan lilalamin” maka dapatlah dicermati di dalam ayat Quran surat Al-Anbiya’ ayat 107;
mengisyaratkan sifat-sifatnya, yakni rahmat yang sifatnya sangat besar sebagaimana dipahami dari bentuk nakirah/ indifinitif dari kata Rahmah tersebut. Ditambah lagi dengan menggambarkan ketercakupan sasaran dalam semua waktu dan tempat.2 Rasul saw. adalah rahmat, bukan saja kedatangan beliau membawa ajaran, tetapi sosok dan kepribadian beliau adalah rahmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada beliau. Ayat diatas tidak menyatakan bahwa: “Kami tidak mengutus engkau untuk membawa rahmat, tetapi menyebutkan bahwa “Dan Tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Terjemahannya : “Dan Tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”1
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Toha Putra, 2002), h. 461. 1
Ayat lain yang menunjukkan Islam merupakan rahmat adalah al-Qur’an surat Al ‘Imran (3):159 sebagai berikut:
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Vol. 8, h. 519
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
234
Terjemahnya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka”.3 Ketika menafsirkan ayat diatas, Quraish Shihab mengemukakan bahwa penggalan ayat ini dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah SWT Sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw., sebagaimana sabda beliau: “Aku didik oleh Tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikanNya.” Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu al-Qur’an, tetapi juga kalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam. Dengan beliau merupakan ( )مهدةرحمة rahmatun muhdatun sebagaimana pengakuan beliau yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Thahir al-Maqdasi melalui Abu Hurairah yakni beliau adalah rahmat yang dihadiahkan oleh Allah kepada seluruh alam. Tidak ditemukan dalam al-Qur’an, seorang pun yang dijuluki rahmat, kecuali Rasulullah saw. dan tidak juga satu pun makhluk yang disifati dengan sifat Allah ar-Rahim kecuali Rasulullah Muhammad
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 90. 3
saw. sebagaimana berfirman Allah Dalam Surat At Taubah (9) :128
Terjemahnya: “sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. Ketika menafsirkan ayat atTaubah ini, Shihab mengemukakan bahwa “Kalaulah beliau bersikap tegas, atau ada tuntunan yang sepintas terlihat atau merasa berat, maka itu adalah untuk kemaslahatan umatnya juga. Sebenarnya hati beliau lebih dahulu teriris-iris melihat ada kesulitan atau penderitaaan yang dialami manusia.” Pembentukan kepribadian Nabi Muhammad saw. sehingga menjadikan sikap, ucapan, perbuatan, bahkan seluruh totalitas beliau adalah rahmat, bertujuan mempersamakan totalitas beliau dengan ajaran yang beliau sampaikan, karena ajaran beliau adalah rahmat menyeluruh dan dengan demikian, menyatu ajaran dan penyampain ajaran. . Kata ( ) العالمينpada QS al-Anbiya’ ayat 107 di atas, Shihab mengemukakan
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
235
sebagaian para pakar memahami kata ‘alam dalam arti kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna maupun terbatas. Jadi ada alam manusia, alam malaikat, alam jin, alam hewan dan tumbuh-tumbuhan. Semua itu memperoleh rahmat dengan kehadiran nabi Muhammad saw. membawa ajaran islam.4 Dengan rahmat itu, terpenuhilah
Pertama, bahwa nilai Islam tentang kemanusiaan dapat diterima oleh komunitas manusia di seluruh dunia, kedua, bahwa sebagai ajaran moral, Islam dapat mempelopori peradaban universal untuk kemaslahatan bersama bagi umat manusia. Dalam Islam, terdapat doktrin yang menjadi nilai kemanusiaan universal yang tidak tertolak oleh agama manapun.
hajat batin manusia untuk meraih ketenangan, ketentraman, serta pengakuan atas wujud, hak, bakat dan fitrahnya, sebagaimana terpenuhi pula hajat keluarga kecil dan besar, menyangkut perlindungan, bimbingan dan pengawasan serta saling pengertian dan penghormatan.
Nilai-nilai universal tersebut seperti, keadilan, persamaan, dan kemanusiaan, mendapatkan porsi yang sangat luas dalam Islam. Berdasar itu, sejak lahir Islam mampu bersimbiosis dengan budaya lokal manapun yang sudah barang tentu mengedepankan prinsip-prinsip universalitas tersebut. Dengan spirit Islam itu pula, ajarannya telah mengupayakan pembebasan atas keterkungkungan masyarakat feodal yang telah ada sebelumnya. Islam tidak lagi memandang perbedaan kasta, suku, dan warna kulit. Peristiwa Hijrah yang merupakan tonggak utama peradaban Islam, dimana terjadi gelombang migrasi secara bersar-besaran dari Makkah ke Yatsrib merupakan suatu gerakan yang mendasari asumsi bahwa Islam dapat diterima atau berlaku untuk masyarakat manusia kapan dan di manapun karena nilai-nilai universal tersebut. Universalitas nilai ajaran Islam tersebut dalam pandangan Nurcholish Madjid melahirkan kenyataan bahwa Islam adalah agama yang paling banyak mencakup berbagai ras dan kebangsaan,
a. Universalitas Islam dan Kemanusiaan Islam merupakan agama yang memiliki doktrin ikatan persaudaraan universal bagi umat manusia tanpa adanya segmentasi etnis, ras, agama, dan budaya. Hal ini ditegaskan dalam alQur’an, wa ma arsalnaka illa kafatan li al-nas, yang artinya, “Aku tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia”, (Q.S. Saba’ [34:28]. Berdasarkan prinsip diatas, menurut Hamka Haq (2013:23) setidaknya terdapat dua pengertian:
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: ……., h. 519
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
236
dengan kawasan pengaruh yang meliputi hampir semua ciri klimatologi dan geografis (Nurcholish Madjid, 1992:426427). Bukti lain keuniversalan tersebut menurut Thomas W. Arnold, terletak di dalam kenyataan bahwa Islam adalah agama wahyu yang diturunkan untuk semua ras manusia, melalui nabi Muhammad, sebagai “penutup segala nabi” (Arnold dalam Jalaluddin,
kepentingan pribadi (James Fowler dalam Jalaluddin, 2010:197).
2010:195). Sebenarnya universalitas Islam itu terkait langsung dengan makna Islam itu sendiri. Menurut Nurcholish Madjid, yang pertama-tama menjdi sumber ide tentang universalitas Islam adalah perkataan Islam itu sendiri, yakni Islam dengan makna sikap pasrah kepada Tuhan. Sikap pasrah itu tidak hanya merupakan ajaran Tuhan kepada hambaNya, tetapi diajarkan dan disangkutpautkan kepada alam manusia itu sendiri. Ia diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh, apalgi dipaksakan dari luar manusia (Nurcholish Madjid, 1992:427). Dalam pandangan James. W. Fowler, pribadi seseorang yang berada dalam pola kepercayaan yang mengacu pada universalitas ini mampu mengatasi segala ketegangan dan paradoks, yakni antara visi etis-religius berupa cinta dan keadilan inklusif dan menyeluruh dengan mempertahankan kesejahteraan dan
sekitar 13 tahun periode Makkah, baru kemudian beralih kemasalah ibadah dan muamalah pada periode Madinah. Setidaknya ada tiga alasan pentingnya akidah sebagai hal prinsip dalam Islam, yakni; Pertama, bahwa akidah merupakan landasan sahnya setiap amalan syariah. Tanpa akidah, semua amalan tidak mempunyai pijakan legalitas di sisi Allah SWT, baik aspek ibadah maupaun muamalah. Kedua, akidah mengandung motivasi mendorong seseorang untuk beramal. Tanpa akidah, setiap muslim mustahil terdorong hati, jiwa dan jasmaninya untuk berbuat baik. Ketiga, bahwa akidah memberi kesiapan kultural bagi setiap muslim untuk melaksanakan syariah agamanya (Hamka Haq, 2015:134). Konsekuensi dari pengamalan syariah dibidang akidah ini akan melahirkan sikap seperti, pertama, mejauhi segala perbuatan yang menyimpang dari moral, baik menyangkut iman maupun ibadah dan akhlak. Misalnya, mejauhi praktek perdukunan yang jelas merusak akhlak
b. Aktualisasi Akidah dalam Interaksi Sosial Dalam Islam, doktrin yang pertama dan utama dalam kerangka pengamalan dan sebagai tuntunan adalah akidah. Dalam mengemban misi dakwah, Rasulullah SAW mengawalinya dengan masalah akidah yang di dakwahkan
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
237
dan melemahkan etos kerja, apalagi ramalan-ramalan yang menyesatkan dalam perjudian, saling memfitnah, sampai mengakibatkan konflik antar individu dan antar kelompok. Kedua, akidah hendaknya menjadi simpul perdamaian kemanusiaan, dengan mengedepankan unsur-unsur persamaan, ketimbang perbedaannya. Akidah monoteis (tauhid) dalam Islam dapat saja menjadi sebuah klaim kebenaran, tanpa menghalangi umat agama lain untuk klaim kebenaran bagi iman mereka yang monoteis pula (Hamka Haq, 2015:134135). Dalam konteks itu, maka dapat dipahami bahwa memaknai akidah Islam yang benar dalam interaksi sosial merupakan bagian dari nilai ajaran Islam yang mengajarkan tentang prinsip universalisme, yanki ajaran tentang prinsip ketuhanan Yang Maha Esa (monoteisme), sehingga dapat menjadi peredam dalam mengatasi gesekangesekan yang berpotensi konflik kekerasan dalam hubungan sosial kemasyarakatan, yang berpengaruh terhadap fenomena kekerasan dalam perilaku keberagamaan di Indonesia. Potret terhadap beberapa kasus seperti Ahmadiyah maupun FPI di Indonesia merupakan sebuah gejala yang dikategorikan sebagai bagian dari fenomena kekerasan yang terjadi di Indonesia. Ini dapat diyakini dan di maknai bahwa tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan sangat
bertentangan dengan prinsip universalitas dan akidah Islam. Karena Islam dengan makna generikanya sangat mementingkan kehidupan kemanusiaan, juga Karena Islam adalah rahmatan lil alamin dan secara berbangsa dan bernegara Islam merupakan Rahmah, khususnya bagi Indonesia. PENUTUP Terdapat sikap intoleransi di kalangan sebagian umat Islam yang ditujukan baik kepada kelompok agama lain maupun secara internal agama Islam, yang disadari atau tidak telah menimbulkan kekerasan dalam kehidupan umat beragama atau masyarakat. Kekerasan dalam masyarakat dapat merupakan aktivitas kelompok maupun perorangan, sehingga dikenal sebutan kekerasan kolektif dan individu.Baik kekerasan kolektif maupun individu sesungguhnya dilakukan karena adanya dorongan untuk menguasai dan mendominasi. Prinsip universalitas Islam Islam tentang kemanusiaan dapat diterima oleh komunitas manusia di seluruh dunia, jugasebagai ajaran moral, Islam dapat mempelopori peradaban universal untuk kemaslahatan bersama bagi umat manusia. Dalam Islam, terdapat doktrin yang menjadi nilai kemanusiaan universal yang tidak tertolak oleh agama manapun. Nilai-nilai universal tersebut seperti, keadilan, persamaan, dan kemanusiaan, mendapatkan porsi yang sangat luas dalam Islam. Pemahaman dan
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
238
penghayatan yang baik dan benar tentang akidah Islam akan melahirkan sikap seperti, pertama, mejauhi segala perbuatan yang menyimpang dari moral, baik menyangkut iman maupun ibadah dan akhlak. Kedua, akidah hendaknya menjadi simpul perdamaian kemanusiaan, dengan mengedepankan unsur-unsur persamaan, ketimbang perbedaannya. Akidah monoteis (tauhid) dalam Islam dapat saja menjadi sebuah klaim kebenaran, tanpa menghalangi umat agama lain untuk klaim kebenaran bagi iman mereka yang monoteis pula Pembentukan kepribadian Nabi Muhammad saw. sehingga menjadikan sikap, ucapan, perbuatan, bahkan seluruh totalitas beliau adalah rahmat, bertujuan mempersamakan totalitas beliau dengan ajaran yang beliau sampaikan, karena ajaran beliau adalah rahmat menyeluruh dan dengan demikian, menyatu ajaran dan penyampain ajaran.
Karim, M. Abdul, Islam Nusantara, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2007 Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1992 Ahnaf Iqbal M, dkk.,Politik Lokal dan Konflik Keagamaan: Pilkada dan Strktur, 2015 ____________, Kesempatan Politik dalam Konflik Keagamaan di Sampang, Bekasi dan Kupang (Seri Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia) Bourideu Pierre, Outline of a Theory of Practice, Canbridge: CanbridgeUniversityPress, 2010 Santoso Thomas, Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Vol. 8
DATAR PUSTAKA Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Toha Putra, 2002) Hamka Haq dan Ahmad Basarah (Penyunting), Pluralisme itu Rahmat, untuk Satu Indonesia, Cet I, Bamusi Press, Jakarta, 2013 Hamka Haq, Islam Rahmah untuk Bangsa, Cet II, Bamusi Press, Jakarta, 2015 Jalaluddin, Islam Smiles, Cet I, Rada Jaya Offset, Jakarta, 2010
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015