IDENTIFIKASI PAKAN DAN PENETASAN DI HABITAT ALAMI SEBAGAI UPAYA UNTUK MELINDUNGI DAN MEMPERTAHANKAN POPULASI BURUNG MAMOA (Eulipoa wallacei) (Feed Identification and hatchery in Natural Habitat to Protect and Maintain Population of Mamoa (Eulipoa wallacei) Nur Sjafani1), Yusri Sapsuha1), Nurjana Albaar2), Hasriani Ishak3) 1)Staf
Dosen Prodi Peternakan Faperta Unkhair, Jln. Raya Gambesi, Ternate, 97715 Prodi THP Faperta Unkhair, Jln. Raya Gambesi, Ternate, 97715 3)StafDosen Prodi PendidikanMAtematika FKIP, Jln. BandaraBabullah, Ternate, 97751 Email:
[email protected] 2) StafDosen
ABSTRACT The objective of this study was to identify the natural feed as a base for breeding and hatching in natural habitat. The results showed that incubation time to hatching in nature was 76-79 days. Fertility and hatchability was 100%. There are 6 types of natural feed in hatching habitat and 7 types in nature. Semi-natural hatchery is one of simple technologies that can be used to maintain population of mamoa in their habitat. Key words: Mamoa, natural feed, incubation. ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pakan alami sebagai dasar untuk penangkaranserta penetasan di habitat alamiuntukmelindungi dan mempertahankan plasma nutfah daerah agar tidak punah dialam.Hasil penetasan alami menunjukkan lama inkubasi sampai menetas di alam antara 76-97 hari dan fertilitas serta daya tetas 100%.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 jenis pakan alami di habitat bertelur dan 7 di habitat hidup. Untuk mempertahankan populasi di alam, penetasan semi alami adalah salah satu teknologi sederhana yang dapat digunakan. Kata kunci : Burung Mamoa, Pakan alami, penetasan, PENDAHULUAN Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) merupakan jenis burung dari genus Megapodidae adalah burung endemik Indonesia di Kepulauan Maluku penyebaran burung Mamoa yaitu pulau Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, Haruku dan Misol (Andrew 1992; Coates dan Bishops, 2000). Burung Mamoa adalah salah satu spesies mengapoda yang memiliki berat tubuh yang kecil jika dibandingkan 22 spesies megapapoda. Secara umum burung dari genus megapodidae pada musim berbiak akan meletakkan telur di dalam sarang yang digali pada kedalaman tertentu (50-100 cm) selanjutnya membuat timbunan untuk menutupi sarang bertelurnya yang bertujuan untuk melindungi telur yang berada dalam sarang sampai menetas, namun pada burung Mamoa meletakkan telurnya di pasir yang terletak dipinggiran pantai dan sarang dari burung Mamoa tidak berbentuk timbunan seperti spesies megapoda lainnya (Heij dan Rompas, 1997; Gilliant, 1998).
91
Nur Sjafani, dkk.
Masa bertelur burung Mamoa sepanjang tahun (Heij dan Rompas, 1997; Gilliant, 1998) dan di Galela berlangsung sepanjang tahun dan puncak produksi antara bulan Pebruari sampai dengan bulan Agustus (Gilliant 1998; Sjafani, 2006). Masalah yang dihadapi satwa ini adalah eksploitasi telur yang berlebihan, perburuan terhadap induk dan belum adanya status perlindungan hukum terhadap lokasi bertelur. Burung Mamoa seperti halnya genus megapodidae, memiliki telur yang besar jika dibandingkan dengan jenis unggas lainnya. Berat telur burung Mamoa berkisar antara 80-120 g/butir (Heij dan Rompas, 1997; Gilliant, 1998; Sjafani, 2006). Harga jual per butir juga tinggi, berkisar anatar Rp. 12.000-15.000/butir. Hal ini adalah salah satu penyebab mengapa telur burung Mamoa diekploitasi secara berlebihan dan sampai saat ini belum ada upaya pencegahan pemanenan telur yang berlebihan. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus dikhawatirkan satwa ini akan hilang di alam. Guna melindungi satwa yang menjadi plasma nutfah daerah ini, diperlukan upaya untuk perlindungan, namun harus ditunjang dengan data biologi maupun ekologinya. Untuk itu identifikasi pakan dialam sangat penting unttuk mengetahui pakan yang dikonsumsi oleh satwa ini untuk tujuan penangkaran. Sedangkan untuk melindungi populasi cara yang dapat dilakukan melalui penetasan di alam yaitu melalui penetasan semi alami guna mempertahankan populasi di alam. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi pakan alami sebagai dasar untuk budidaya dan teknologi penetasan untuk mengetahui pakan yang dikonsumsi dan melindungi serta mempertahankan plasma nutfah daerah agar tidak punah dialam. MATERI DAN METODE Pelaksanaan penelitian bulan Pebruari sampai dengan Maret. Lokasi penelitian adalah di Galela, adalah lokasi tempat hidup dan bertelur burung Mamoa. Habitat hidup terletak di pegunungan (Dukono dan Tarakane), sedangkan habitat bertelur di Pantai Uwo Uwo (Desa mamuya), Pantai Tiabo (Desa Simau), Pantai Denamabobane (Desa Limau) Kabupaten Halmahera Utara. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan survey ke habitat bertelur di pantai dan habitat hidup di pegunungan. Pengamatan dilakukan pada dataran rendah yaitu lokasi bertelur yang terletak di pinggiran pantai (lokasi bertelur pantai Uwo Uwo, Pantai Tiabo dan pantai denamabobane ha) dengan topografi landai di habitat bertelu sampai dengan berbukit yang terletak di habitat hidup. Untuk mengetahui keberadaan serta pakan burung Mamoa di habitat hidupnya dilakukan dengan metode jalur (penjelajahan areal hutan tempat hidup) pada saat malam hari, subuh dan siang hari. Pengamatan malam hari untuk menentukan keberadaan untuk mengetahui aktivitas pada saat malam hari. Burung Mamoa melakukan aktivitasnya mulai pada saat hari mulai gelap. Untuk mengetahui keberadaannya adalah dari suara pada malam hari. Pengamatan siang hari untuk mengkoleksi jenis pakan di alam dan tumbuhan yang digunakan untuk bersarang, beristirahat yang diketahui baik dari pengamatan langsung pada malam hari maupun dari keterangan penduduk lokal yang mengetahui jenis burung Mamoa dan keberadaannya di alam. Penetasan semi alami dilakukan di lokasi bertelur yang terletak di Pantai Uwo Uwo desa Mamuya. Penetasan semi alami menggunakan kotak sarang yang terbuat dari bambu dan kawat : 2,5 x 1,2 m dan tinggi kotak sarang 80 cm. Telur yang di tetaskan sebanyak 100 butir. Kotak sarang dibenamkan dalam pasir setinggi 50 cm, disisakan 30
92
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
cm agar pada saat menetas anak burung berada dalam kotak sarang sehingga tidak di mangsa oleh predator yang berada di sekitar sarang. Parameter yang dimati adalah lama waktu menetas, fertilitas dan daya tetas. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi pakan alami Habitat bertelur burung Mamoa yang terdapat di Kecamatan Galela meliputi hutan pantai, rawa, mangrove, kebun kelapa dan hutan dataran rendah. Lokasi bertelur yang di jumpai di ketiga lokasi umumnya berada di pantai dengan hamparan pasir terbuka yang mendapat sinar langsung dari matahari. Lokasi bertelur/bersarang berbatasan dengan pantai dan sungai, sedangkan habitat hidupnya berada di hutan pegununungan. Burung Mamoa di temukan pada habitat bertelurnya hanya pada masa bertelur. Hasil identifikasi jenis-jenis tanaman yang terdapat di habitat bertelur yang terletak di pantai pada masing-masing lokasi ditemukan vegetasi yang dilakukan di lapangan di temukan 22 jenis spesies tumbuhan yang merupakan jumlah keseluruhan dari spesies tumbuhan di tiga lokasi habitat bertelur burung Mamoa yaitu di Habitat bertelur di pantai Uwo Uwo, Tiabo dan Denamabobane. Sedangkan di habitat hidup yang terdapat di pegunungan teridentifikasi 45 jenis. Hasil identifikasi jenis pakan di habitat bertelur di pantai dan habitat alami di pegunungan (Tabel 1). Tabel 1. Jenis-Jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan Sebagai Pakan Di Alam Pada Habitat Bertelur (Pantai) dan Habitat Hidup (pegunungan). No
Jenis Pakan (Nama Lokal)
a. Tanaman 1. Tali putri 2. Buro-buro 3. Soki-soki 4. Baringin 5. Kelapa 6. Kamiri 7. Ganemo 8. Pisang 9. Kenari b. Hewan 1. Siput 2. Cacing 3. Kepiting 4. Semut
Nama Ilmiah
Habitat Pantai
Passiflora foetida Pandanus tectorius Rhizophora sp Ficus sp Cocos nucifera Aleurites mollucana Gnetum gnemon L Musa paradisiaca Canarium sp
√ √ √ √ √
Arthropoda sp Lumbricus sp Scylla sp
√ √ √ √
Hidup
Bagian yang dikonsumsi
√ √ √ √ √ √
Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Biji
√ √ √
Hasil identifikasi jenis pakan alami yang di konsumsi burung Mamoa di habitat bertelur terdapat 6 jenis dan dari jenis invertebrata 4 jenis. Sedangkan jenis pakan yang dikonsumsi di habitat hidup 7 jenis dan hewan 4 jenis. Berdasarkan hasil identifikasi pakan yang sama antara habitat bertelur dan hidup adalah dari jenis Ficus sp, Cocos
93
Nur Sjafani, dkk.
nucifer. Terdapat 4 jenis tanaman yang berbeda digunakan sebagai pakan di habitat bertelur dan alami. Perbedaan ini karena jenis tanaman yang terdapat di habitat bertelur adalah tanaman yang tumbuh di daerah pantai dan dataran rendah seperti Rhizophora sp, Pandanus tectorius dan Passiflora foetida demikian halnya dengan jenis hewan seperti Arthropoda sp, Scylla sp. Sedangkan tanaman yang dijadikan sebagai pakan di habitat hidup yaitu Aleurites mollucana, Gnetum gnemon L, Canarium sp, Musa paradisiaca. Burung Mamoa yang terlihat di habitat bertelur dan habitat hidup, terlihat sangat hati-hati jika satwa tersebut merasa terancam. Dilokasi bertelur yang terlihat mengais di pinggiran sungai dan pada habitat hidup terlihat mengais di lantai hutan. Jenis pakan burung Mamoa yang teramati untuk jenis tumbuhan yang dimanfaatkan adalah buahnya, sedangkan jenis hewan adalah invertebrata. Hasil penelitian ini sama halnya dengan maleo (Macrochephalon maleo) yang di laporkan oleh Hapsa (2009) dan Saerang (2010). Gunawan (2000) melaporkan bahwa secara umum jenis hewan yang dikonsumsi jenis megapoda relatif sama yaitu siput, kepiting, cacing dan invertebrata serasah, sedangkan jenis tumbuhan tergantung daerah dimana habitat berada, selanjutnya menurut Welty (1997) bahwa jenis pakan burung dari beberapa spesies tergantung pada keadaan topografi dan kondisi ekologi habitatnya. Penetasan semi alami Lama inkubasi dihitung sejak telur dibenamkan (0 hari) sampai menetas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama inkubasi sejak telur dibenamkan dalam pasir sampai menetas antara 76-97 hari. Telur yang menetas tidak menetas secara bersamaan, dimana telur yang menetas pertama pada hari ke-76 (15 butir), hari ke-80 (10 butir), hari ke-83 (20 butir), hari ke-90 (25 butir), hari ke-94 (20 butir) dan hari ke-97 (10 butir). Secara umum lama inkubasi pada jenis megapoda bervariasi. Lama inkubasi pada telur burung Maleo sampai menetas yang di tetaskan secara buatan bervariasi, yaitu 5463 hari temperatur 340C dan kelembaban 70% (Sumangando, 2002). Menetas pada hari ke 57-61 hari temperatur 33,990C dan kelembaban 70,6% (Hafsah, 2009). Sedangkan pada beberapa jenis megapoda lain yang menetas di alam juga bervariasi sesuai dengan spesiesnya, seperti Megapodius pritchardii (46-67 hari), Megapodius eremita (42-70 hari) (Jones et al., 1995). Heij dan Rompas (1997) melaporkan bahwa pada burung Mamoa pada saat melakukan penelitian di Pulau Haruku, ada dua butir telur yang menetas pada hari ke-164. Lama inkubasi di alam dipengaruhi oleh temperatur selama inkubasi (Jones et al., 1995; Heij dan Rompas, 1997 ; Gilliant, 1998) Hasil penelitian terhadap fertilitas dan daya telur burung Mamoa yang di tetaskan di alam (semi alami) 100%. Hal ini dapat dilihat dari 100 butir telur yang ditetaskan menetas 100%. Sjafani (2006) melaporkan hasil penelitian terhadap telur burung Mamoa yang ditetaskan pada tiga lokasi bertelur burung Mamoa di Galela menetas 100%, hanya berbeda pada lama menetasnya. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 jenis pakan alami di habitat bertelur dan 7 di habitat hidup. Untuk mempertahankan populasi di alam, penetasan semi alami adalah salah satu teknologi sederhana yang dapat digunakan.
94
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
DAFTAR PUSTAKA Andrew, P. 1992. The Bird of Indonesia. A Chicklist (Peters sequence). Kukila checklist no 1. Indonesia Ornithology Jakarta Coates B.J., KD Bishop. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallace. Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. BirdLife Internasional-Indonesia Bogor Gilliant B. 1998. Bird of The Spice Island Molucan Megapoda Conservation Project University of Sussex. Gunawan, H. 2004. Teknologi konservasi in-situ burung maleo (Macrocephalo maleo). Bulletin Konservasi Alam. 4(2) : 13-15. Heij, C.J. and C.F.E. Rompas, 1997. Ecology of megapoda (Mamoa, Eulipoa wallacei) in Haruku island and some island in Maluku, Indonesia. Rotterdam/Ambon Hafsah. 2009. Percepatan Peningkatan Populasi Burung Maleo (Macrochephalon maleo) Melalui Perbaikan Pola Penetasan Dan Penangkaran Di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Disertasi. UGM. Yogyakarta. IUCN. 2002. The IUCN Red List of Threatened Species. Macrocephalo maleo. http://www.iucnredlist.org. (9 Januari 2016). Jones, D. N., R.W.J. Dekker and C.S. Roselaar. 1995. Bird Families of The World. The Megapodes. Oxford University Press. Sjafani, N. 2006. Kajian perkembangbiakan embrio burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saerang, J. L. P. 2010. Kajian Biologi Maleo (Macrochephalon maleo) yang Ditetaskan Secara Eks-situ. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Welty, J. C. 1979. The Life of Birds. Second Edition. Saunders College Publishing. Philadelphia.
95