IDENTIFIKASI KEJADIAN LONGSOR DAN PENENTUAN FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBABNYA DI KECAMATAN BABAKAN MADANG KABUPATEN BOGOR
AHMAD DANIL EFFENDI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
IDENTIFIKASI KEJADIAN LONGSOR DAN PENENTUAN FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBABNYA DI KECAMATAN BABAKAN MADANG KABUPATEN BOGOR
AHMAD DANIL EFFENDI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
DEPERTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN AHMAD DANIL EFFENDI (E14103032). Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH PENDAHULUAN : Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah. Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh bencana tanah longsor, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk dilakukan agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor sehingga dapat menjadi rujukan dalam mitigasi bencana longsor berikutnya. Identifikasi daerah kejadian longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor dengan faktor persebaran geologi (batuan, patahan, lipatan) dan penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya. TUJUAN : Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui sebaran lokasi dan karakter/pola kejadian longsor di daerah penelitian serta menentukan faktor-faktor utama penyebab terjadinya longsor di daerah penelitian. BAHAN DAN METODE : Objek penelitian ini adalah kasus longsor yang terjadi di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor pada awal Februari 2007. Bahan yang digunakan yaitu peta Kabupaten Bogor berbagai layer dan sampel tanah di lokasi kejadian longsor. Metode yang digunakan dalam pemerian tekstur tanah adalah metode uji rasa rabaan, dengan pengambilan contoh tanah terganggu (tanah tak utuh). Dalam pengolahan peta digital digunakan metode tumpang susun (overlay) antara peta Kabupaten Bogor berbagai layer dengan peta lokasi kejadian longsor hasil pemetaan dengan GPS menggunakan perangkat lunak ArcView 3.2. Pengklasifikasian kejadian longsor berdasarkan tingkat kerawanannya ditentukan menggunakan metode pemodelan daerah rawan kejadian longsor dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigas Bencana Geologi (DVMBG) tahun 2004. HASIL DAN KESIMPULAN : Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Kecamatan Babakan Madang ada 2 macam yaitu nendatan (slump) yang terdapat pada 16 kasus (66,7%), dan penurunan muka tanah/amblesan (subsidence) yang terjadi pada 8 kasus longsor (33,3 %). Desa Bojongkoneng adalah wilayah yang paling banyak ditemukan kasus kejadian longsor (13 kasus), diikuti Desa Karang Tengah (8 kasus), dan Desa Cijayanti ( 3 kasus). Longsor paling banyak ditemukan pada areal dengan penutupan lahan kebun campuran sebanyak 8 kasus atau 33,33%, diikuti semak belukar dan tegakan campuran masing-masing sebanyak 6 kasus (25%) dan lahan kosong sebanyak 4 kasus (16,7%). Sebanyak 8 kasus (33,3%) kejadian longsor termasuk ke dalam tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus pada tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus pada tingkat kerawanan rendah. Terdapat 17 parameter yang menjadi penyebab utama terjadinya longsor yang dihimpun dalam 5 faktor utama penyebab terjadinya longsor yaitu (1) Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah lempung liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m, (2) Faktor kelas penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar, kebun campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi, (3) Faktor kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam dengan bentuk bentang lahan berbukit-bergunung, (4) Faktor kelas geologi yaitu jenis batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah gerakan tanah longsor di daerah tersebut, dan (5) Faktor kelas curah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan curah hujan 2.000 – 2.500 mm/tahun Kata Kunci : Longsor, Identifikasi, Faktor Penyebab
2
SUMMARY AHMAD DANIL EFFENDI (E14103032). Identification of Landslide Case and Determination Main Cause of Landslide Case in Babakan Madang Sub District, Bogor District. Under Supervision of NINING PUSPANINGSIH. FOREWARD : Landslide is an example of a geological process called mass wasting, which is also recall as mass movement. It is a movement of rock mass, regolith, and soil from a high position to a lower one due to gravitation. Once the rock deform, gravity force will pull material (as a result of deformation) to a lower position. Due to the impact by the landslide disaster, identification of areas which the landslide occurs is vital to be performed so that the main cause and characteristic from each landslide case can be known. Furthermore, a research in this area is expected to become reference in the next mitigation of landslide case. Identification of landslide case is also important as a way to prevent other case of landslide and to understand the relation between the location of landslide case versus the geological spread factor (rocks, siklin, antiklin) and the use of land. Hopefully, we can identify the best use of land based on its land and geological characteristic. OBJECTIVE : The goal of this research is to identified the character and pattern of landslide that occurs in area of research, identified and evaluate the main cause of landslide in the areas of research, and determine the major cause of landslide in research area. OBJECT AND METHODOLOGY: The object of this research is the landslide case in Babakan Madang Sub District, Bogor District which happen in the February 2007. This research uses a map of Bogor District on a various layer and a soil sample from the location of landslide case. The methodology of this research in identifying soil texture is the touch sensing test, by sampling disturbed soil sample. Digital map imaging is performed using overlay method by intersect extension between various layer of Bogor District map with landslide are location map (as a result of Global Positioning System (GPS) mapping using ArcView 3.2 software). The methods to determine of the landslide hazard are the landslide hazard modeling method by Department of Vulcanology and Mitigation of Geology Disaster (2004). RESULT AND CONCLUSION : There are 2 (two) kind of landslide characteristic in research area, which is slump (that build of 66,7 % case or 16 case) and subsidence (8 case or 33,3 %). Bojong Koneng village is an area which landslide case is majorly found (13 case), followed by Karang Tengah village (8 case), and Cijayanti village (3 case). Landslide is oftenly found in area that consist of mixed garden (8 case or 33,3%), followed by bush and stand of wood (6 case or 25% of each), and unused land (4 case or 16,7 %). In the research area there were found 3 classes of landslide hazard, namely: (1) Steady landslide zone equal to 29,2% (7 case); (2) potential landslide zone equal to 37,5% (9 case); (3) hazard landslide zone equal to 33,3% (8 case). Overall, there are 17 parameters that become an indicator of landslide with a high degree of hazard that can be classified into 5 group (1) soil class factor, which is the class of complex red yellowish latosol, brown reddish latosol, and litosol; soil texture of loam clay sandy; and a soil thickness above 20 m, (2) the use of land, that consist of land cover with bush, mixed garden, and unused land, with mixed garden that is cultivated without a stand of wood. And the use of land in the form of highway infrastructure by cutting slope without the building of conservation building, (3) class of slope by a abruptness slope to very abrupt by the mountainous landform, (4) geological class factor, by the kind of sediment stone (Tmj) and the existence of history landslide movement in that area, (5) class of rain intensity that is moderate climate type with a rain intensity between 2 000 – 2.500 mm/year. Keywords : Landslide, Identification, Cause Factor
3
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2008
Ahmad Danil Effendi NRP E14103032
Judul Skripsi : Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor Nama
: Ahmad Danil Effendi
NIM
: E14103032
Menyetujui : Dosen Pembimbing
Dra. Nining Puspaningsih, MSi NIP
131 918 662
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP
Tanggal Lulus :
131 578 788
i
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penyusunan Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam senantiasa tetap tercurahkan Kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta pengikutnya yang tetap istiqomah mengikuti semua sunahnya dan melanjutkan perjuangannya. Karya Ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah longsor dengan judul Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Nining Puspaningsih, Msi selaku pembimbing. Selain itu, penghargaan penulis disampaikan pula kepada Bapak Didi Supardi, Bapak Bambang, dan Ibu Nia dari Instansi Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor atas bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini. Juga kepada Bapak Toni dan Bapak Tuhudi (Dinas Pertambangan Kab. Bogor) dan Bapak Esda, dan Bapak Agus (Dinas Bina Marga dan Pengairan Kab. Bogor) yang telah membantu selama pengumpulan data, semoga menjadi amalan ibadah dan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari sepenuhnya bahwa Karya Ilmiah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, jika ada masukan, kritik, dan saran dari pembaca dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan penulisan
hasil
penelitian
dapat
disampaikan
melalui
[email protected]. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kehutanan khususnya.
Bogor, Maret 2008
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1985. Penulis merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan Alm. Bapak H. Abdul Matin Ciruas dan Ibu Hj. Ii Kusna Asliah. Pendidikan
penulis
dimulai
dari
Pendidikan
Dasar
yang
diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Kedung Halang 1 Bogor, Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SMPN 1 Bogor dan Sekolah Menengah Umum dilaksanakan di SMUN 1 Bogor yang diselesaikan tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2006 penulis mengambil minat studi di Laboratorium Inventarisasi Sumber Daya Hutan. Selama Mahasiswa, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) yang terdiri dari Praktek Umum Kehutanan (PUK) di KPH Batu Raden dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Getas serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Perawang Sukses Perkasa Industri (PT. PSPI), anak perusahaan PT. Arara Abadi Riau. Selain itu penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu himpunan mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Forest Manajemen Study Club (FMSC) Biro Planologi Kehutanan tahun 2005-2006. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dendrologi Hutan dan mata kuliah Ilmu Ukur Hutan pada tahun 2005. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan kegiatan penelitian dengan judul “ Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor” di bawah bimbingan Dra. Nining Puspaningsih, MSi.
iii
UCAPAN TERIMA KASIH Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillahhirobil A’lamin
Segala puji syukur hanya pada Allah SWT atas segala nikmat yang tercurah sejak pertama kali memandang dunia sampai akhir hayat nanti sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan umatnya yang istiqomah dalam jalan panjang perjuangan dakwah. Melalui karya tulis ini, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Umi Hj. Ii Kusna Asliah (kekuatan terbesarku) dan (Alm) Abah H. Abdul Matin Ciruas atas segala upaya jerih payahnya dan doa yang selalu diberikan dati setiap hembusan nafasnya, serta dukungan dari setiap tetesan keringat dan cucuran air matanya. 2. Kakak-kakaku tercinta : Ka Akim & Teh Titin, Teh Wiwie & A Iwan, Teh Iis & A Engkos, Teh Dedeh & A Irwan, Teh Nur & A Asep, Ka Arif & Istri, Ka Embin & Teh Yati, Teh Tini, dan Ka Agus atas doa dan segala pengorbanannya serta semangat dan dorongan kepada penulis. Juga kepada Keluarga Besar H. Syamsudin, Bi Mamah, dan Keluarga Besar Hj. Marpuah (Alm.) atas doa, perhatian, dan kasih sayangnya kepada penulis. 3. Dra. Nining Puspaningsih, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, ilmu, nasihat, serta curahan pikiran, tenaga, dan waktunya dalam proses penyusunan dan penulisan karya ilmiah ini. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik. 4. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS dan Ir. Agus Priyono, MS selaku dosen penguji Sidang Komprehensif atas bimbingan, saran, ilmu, dan nasihatnya dalam perbaikan karya ilmiah ini. Semoga menjadi amal ibadah.
iv
5. Murobbi dan teman seperjuangan di Forum Komunikasi Alumni Muslim SMUN 1 Bogor (Forkom Alim’s) beserta tim mentor atas persahabatan, persaudaraan, motivasi, nasihat, dan dukungan selama ini. 6. Raafqi, Andika (Terima Kasih tak terhingga atas bantuan selama ini), Fajar Jumat dan Dani Ardiyanto (Terima Kasih untuk bantuan dan transfer ilmu statistika yang diberikan), Shinta, Ana, Fheny (Terima Kasih untuk segala saran dan bantuannya) moga menjadi amalan bernilai ibadah. 7. Seluruh Dosen Fakultas Kehutanan IPB khususnya Dosen Departemen Manajemen Hutan, juga para Laboran (Pak Uus, Pak Mul, dan Pak Endim), semoga semua yang telah diberikan akan menjadi bekal yang berguna khususnya bagi penulis. 8. Rekan-rekan seperjuangan : Silviana Venus dan Fheny Fuzi Lestari atas dorongan, motivasi, dan kerja sama selama ini. 9. Teman-teman terbaikku : Sigit, Elang, Budi, Rizal, Eko, A Rama, Okky, Hadi, Latif, Aan, Arizia, Agus, Azzam, Alim, Shinta, Elza, Vivi, Lita, Melda, Ika, Vita, Dwi, Asri, Nur, Dhany, Dali, Anggit, Dede, Yandi, Guruh, Dedi, Zae, Tegar, Intan, Ubay, Beno, Iis, Arfan, Heru, Faery, Aziz, Edy, Maya, Irwan, Faisal, (Alm. Eko), Krisdianto, Zenathan, Ria, Bayu, dan keluarga besar MNH 40, BDH 40, KSH 40, dan THH 40 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan, kebersamaan, motivasi, dan pelajaran berharga yang diberikan pada penulis, semoga semua mendapatkan kesuksesan. Akhir kata penulis menyadari adanya kekurangan dalam penelitian dan penyajian naskah karya ilmiah ini, namun demikian inilah wujud dari kerja keras yang dapat diraih berkat semua dukungan tersebut di atas. Semoga segala bantuan yang telah diberikan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan balasan yang lebih baik serta semoga Karya Ilmiah ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Amin.
Bogor, Maret 2008
Penulis
v
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
DAFTAR TABEL .........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1
Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2
Tujuan Penelitian ...........................................................................
3
1.3
Manfaat Penelitian .........................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
4
2.1
Definisi Tanah Longsor..................................................................
4
2.2
Tipe Longsor ..................................................................................
5
2.3
Penyebab Tanah Longsor ...............................................................
9
2.3.1 Kelerengan (Slope) .........................................................................
13
2.3.2 Penutupan Vegetasi ........................................................................
16
2.3.3 Faktor Tanah ..................................................................................
17
2.3.4 Curah Hujan ...................................................................................
18
2.3.5 Faktor Geologi ...............................................................................
19
III. METODE PENELITIAN ........................................................................
22
3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian .........................................................
22
3.2
Peralatan dan Data yang Digunakan ..............................................
22
3.3
Pengumpulan Data .........................................................................
22
3.3.1 Pengumpulan Data Peta .................................................................
22
3.3.2 Pengumpulan Data Bio-Fisik Lapangan ........................................
23
3.4
Pengolahan dan Analisa Data.........................................................
26
3.4.1 Pengolahan Data.............................................................................
26
3.4.2 Analisa Data ...................................................................................
26
3.5
Penetapan Tingkat Kerawanan .......................................................
29
3.5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor ..............................................
29
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................................
34
vi
4.1
Letak dan Luas ...............................................................................
34
4.2
Topografi ........................................................................................
35
4.3
Klimatologi ....................................................................................
38
4.4
Karakteristik Tanah ........................................................................
40
4.5
Penutupan Lahan ............................................................................
42
4.6
Batuan dan Geologi ........................................................................
46
4.7
Keadaan Sosial Ekonomi ...............................................................
48
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
50
5.1 Penyebaran Lokasi Kejadian Longsor .............................................
50
5.2 Karakteristik Longsor Pada Wilayah Penelitian ..............................
52
5.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor .......................
54
5.3.1 Penggunaan Lahan .........................................................................
54
5.3.2 Kemiringan Lereng dan Topografi.................................................
61
5.3.3 Karakteristik Tanah ........................................................................
66
5.3.4 Pergerakan Tanah ...........................................................................
70
5.3.5 Curah Hujan ...................................................................................
73
5.3.6 Geologi/Batuan Induk ....................................................................
74
5.4 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor .............
78
5.4.1 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Tinggi ...............................
81
5.4.2 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Menengah ........................
82
5.4.3 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Rendah .............................
82
5.5 Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebab Terjadinya Longsor .....
84
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
91
6.1 Kesimpulan .....................................................................................
91
6.2 Saran ................................................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
93
LAMPIRAN ..................................................................................................
97
vii
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Faktor penyebab dan faktor pemicu tanah longsor ..................................
11
2. Klasifikasi kedalaman tanah ....................................................................
18
3. Karakteristik tanah longsor ......................................................................
20
4. Panduan pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan teknik uji rasa rabaan .................................................................................
25
5. Bobot dan skor parameter pemicu longsor...............................................
30
6. Parameter penduga longsor yang diamati ................................................
32
7. Luasan administratif tiap desa di Kecamatan Babakan Madang .............
34
8. Ketinggian wilayah daerah Kecamatan Babakan Madang.......................
35
9. Kelas lereng dan luasannya di Kecamatan Babakan Madang ..................
35
10. Kelas kemiringan lereng .........................................................................
36
11. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibinong Tahun 1994-2007 .................
38
12. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibinong 1994-2007 (lanjutan) ............
39
13. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibongas Tahun 1994-2007 .................
39
14. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibongas 1994-2007 (lanjutan)............
40
15. Luasan jenis tanah di Kecamatan Babakan Madang ...............................
41
16. Sebaran kedalaman efektif di daerah penelitian......................................
41
17. Kelas tekstur tanah di daerah penelitian..................................................
41
18. Keadaan erosi di daerah penelitian .........................................................
42
19. Luasan penutupan lahan di Kecamatan Babakan Madang ......................
42
20. Luasan landuse (penggunaan lahan) di Kecamatan Babakan Madang....................................................................................................
45
21. Karakteristik geologi di Kecamatan Babakan Madang ...........................
46
22. Jenis batuan induk di daerah penelitian ..................................................
48
23. Karakteristik longsor dan tutupan lahannya ............................................
52
24. Jenis Penutupan Vegetasi di Lokasi Kejadian Longsor ..........................
54
25. Kelas Kemiringan Lereng .......................................................................
61
26. Jenis Tanah di daerah Penelitian .............................................................
66
27. Nilai erodibilitas tanah pada lokasi kejadian longsor .............................
68
viii
28. Kepekaan erosi tanah di Indonesia (hasil penelitian lapangan) ..............
68
29. Jenis batuan di daerah penelitian.............................................................
74
30. Frekuensi ditemukannya variabel-variabel penyebab terjadinya tanah longsor ...........................................................................................
77
31. Pengkelasan Tingkat Kerawanan Longsor ..............................................
79
32. Daerah Sebaran Tingkat Kerawanan Longsor ........................................
79
33. Kondisi Zona Longsor di Daerah Penelitian dan Variabel Penyebabnya (DVMBG, 2004) ...............................................................
80
ix
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Macam-macam bentuk longsor ................................................................
6
2. Peta kelas lereng Kecamatan Babakan Madang.......................................
37
3. Peta tutupan lahan Kecamatan Babakan Madang ....................................
44
4. Peta geologi Kecamatan Babakan Madang ..............................................
47
5. Longsor tipe nendatan/slump di Kp. Gombong (3) dan tipe longsor amblesan/penurunan tanah di Kp. Cikeas (1) .........................................
50
6. Peta titik lokasi kejadian longsor Kecamatan Babakan Madang .............
51
7. Longsor dengan penutupan lahan semak belukar di Kp. Gombong (4) dan longsor dengan penutupan kebun campuran ..............................
53
8. Penampang longsor rotasional dengan tipe nendatan pada kejadian longsor di Kp. Wangun 1 ........................................................................
56
9. Lahan dengan tegakan kayu afrika (Maesopsis eminii) yang tidak mengalami longsor di Kp. Babakan Ngantai ..........................................
59
10. Longsor tipe nendatan pada lahan kosong di Kp. Babakan Ngantai.......
62
11. Longsor tipe nendatan pada penggunaan lahan kebun campuran tanpa tegakan tanaman keras di Kp. Cimandala .....................................
63
12. Jalan yang dibangun tanpa adanya bangunan konservasi pelindung tebing jalan di Kp. Wangun 1 .................................................................
64
13.Penambangan batu gunung di Kp. Gunung Kidul (3) dan Kp. Wangun 3 ................................................................................................
65
14. Rekahan besar akibat gerakan tanah di Kp. Wangun 3 ...........................
71
15. Kondisi gerakan tanah dan amblesan pada kejadian longsor di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug.........................................................
72
16. Penampakan batuan andesit pada lokasi longsor Kp. Wangun 2 ............
75
17. Grafik pengaruh faktor kelas tanah terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ..................................
84
18. Grafik pengaruh faktor kelas penggunaan lahan terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ................
85
x
19. Grafik pengaruh faktor kelas lereng terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ..................................
86
20. Grafik pengaruh faktor kelas geologi terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ..................................
86
21. Grafik pengaruh faktor kelas curah hujan terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ................
87
xi
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Rekapitulasi nilai skor parameter penyebab longsor pada tiap kasus longsor di daerah penelitian ....................................................................
98
2. Data parameter penyebab longsor di daerah penelitian ...........................
99
3. Data parameter penyebab longsor di daerah penelitian (lanjutan) ...........
102
4. Rekapitulasi ditemukannya tiap parameter penyebab longsor di daerah penelitian .....................................................................................
104
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bencana alam merupakan peristiwa alam yang dapat terjadi setiap saat dimana saja dan kapan saja, yang menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang umumnya terjadi di wilayah pegunungan (mountainous area), terutama di musim hujan, yang dapat mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya seperti perumahan, industri, dan lahan pertanian yang berdampak pada kondisi sosial masyarakatnya dan menurunnya perekonomian di suatu daerah. Menurut Goenadi et al. (2003) dalam Alhasanah (2006), faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan. Bencana tanah longsor dampaknya bersifat lokal (dibandingkan dengan gempa bumi dan letusan gunung api), sering terjadi dan dapat mematikan manusia karena kejadiannya yang tiba-tiba. Kejadian tanah longsor di Indonesia sejak tahun 1994-1998 terjadi di 410 lokasi, tersebar di beberapa propinsi. Kejadian tersebut mengakibatkan 597 korban jiwa, 3400 rumah rusak sampai hancur, 1003 ha lahan pertanian, dan 7483,5 m jalan rusak dan terancamnya saluran irigasi. Lokasi yang tertimpa bencana umumnya tergolong sebagai desa tertinggal. (Sutikno, 1997). Sedangkan sejak tahun 2003-2005 sedikitnya telah terjadi 103 kejadian longsor yang tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Kejadian tersebut mengakibatkan 411 korban meninggal, 149 korban luka-luka, 4608 rumah rusak dan hancur, 751 ha lahan pertanian rusak, dan 920 m jalan rusak. (DVMBG, 2007).
2
Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang paling rawan tanah longsor di Indonesia. Selain kondisi alamnya yang rusak, banyaknya gunung api dan posisi Propinsi Jawa Barat yang berada di sekitar tumbukan Lempeng Australia dan Eurasia menjadikan Pulau Jawa sebagai wilayah yang rawan tanah longsor dan gempa bumi. Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan Tahun 2005 diketahui bahwa kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Purwakarta. Di Jawa Barat, Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah yang merupakan titik rawan longsor. Bencana longsor yang terjadi di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor pada awal Februari 2007 telah menyita banyak perhatian dan menyebabkan banyak kerugian. Jumlah korban mengungsi dalam peristiwa longsor ini sebanyak 7.200 jiwa terdiri dari 3.912 jiwa dari Desa Bojong Koneng dan 3.288 jiwa dari Desa Karang Tengah. Di Desa Bojong Koneng kerusakan bangunan yang tergolong berat sejumlah 161 unit, kerusakan sedang 216 unit, dan kerusakan ringan 546 unit yang terdiri dari rumah tinggal, masjid/musholla, pondok pesantren, dan bangunan sekolah (SD/MI). Sedangkan di Desa Karang Tengah kerusakan bangunan yang tergolong berat 187 unit, sedang 124 unit, dan ringan 420 unit yang terdiri dari rumah tinggal, masjid/musholla, dan pondok pesantren. Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh bencana tanah longsor tersebut, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk dilakukan agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor pada daerah-daerah di Indonesia serta sebagai langkah awal pencegahan kejadian longsor nantinya dan merupakan langkah pertama dalam upaya meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor. Identifikasi daerah kejadian longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor dengan faktor persebaran geologi (batuan, patahan, lipatan) dan penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya.
3
1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1
Mengetahui lokasi sebaran area kejadian longsor di daerah penelitian.
2
Mengetahui karakter dan pola longsor yang terjadi di daerah penelitian.
3
Mengidentifikasi dan mengevaluasi penyebab-penyebab terjadinya longsor di daerah penelitian.
4
Menentukan fakfor-faktor penyebab utama terjadinya longsor di daerah penelitian.
1.3 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang gambaran penyebab-penyebab longsor berdasarkan kejadian longsor yang telah terjadi sehingga mampu menjadi rujukan dalam pencegahan dan mitigasi bencana tanah longsor.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tanah Longsor Menurut Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Kamus Wikipidea menambahkan bahwa tanah longsor merupakan suatu peristiwa geologi dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan bahwa tanah longsor boleh disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan sebagai massa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor gravitasi bumi. Gerakan tanah (tanah longsor) adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang lereng. Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh pengaruh perubahan alam maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi, kelembaban lereng akibat penyerapan air hujan, dan perubahan aliran permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan gaya-gaya antara lain adalah penambahan beban pada lereng dan tepi lereng, penggalian tanah di tepi lereng, dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah penduduk yang banyak mengalihfungsikan tanah-tanah berlereng menjadi pemukiman atau lahan budidaya sangat berpengaruh terhadap peningkatan resiko longsor.
5
Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek dalam volume (jumlah) yang sangat besar. Berbeda halnya dengan bentukbentuk erosi lainnya (erosi lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam periode yang sangat pendek. Sedangkan menurut Dwiyanto (2002), tanah longsor adalah suatu jenis gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor bahan rombakan (debris avalanches) dan nendatan (slumps/rotational slides). Gaya-gaya gravitasi dan rembesan (seepage) merupakan penyebab utama ketidakstabilan (instability) pada lereng alami maupun lereng yang di bentuk dengan cara penggalian atau penimbunan. Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah. Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi antarmineral akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikelpartikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan menambah berat
massa material,
sehingga
kemungkinan
cukup
untuk
menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.
2.2
Tipe longsor Menurut Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan
gerakannya dapat dibagi menjadi 5 (lima) jenis yaitu : a. Aliran; longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi. b. Longsoran; material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran berbentuk tapal kuda. c. Runtuhan; umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah bergerak cepat sampai sangat cepat pada suatu tebing.
6
d. Majemuk; longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan berkembang lebih lanjut menjadi aliran. e. Amblesan (penurunan tanah); terjadi pada penambangan bawah tanah, penyedotan air tanah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada daerah yang dilakukan proses pemadatan tanah. Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan tanah. Proses ini dapat berlangsung lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung tanahnya.ataupun pengambilan air tanah yang berlebihan dan berlangsung relatif cepat. Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah (pada sistem akifer air tanah dalam) dan turunnya tekanan hidrolik, sedangkan tekanan antar batu bertambah. Akibat beban di atasnya menurun. Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada daerah dataran yang dibangun oleh batuan/tanah yang bersifat lunak (Sangadji, 2003).
Gambar 1
Macam-Macam Bentuk Longsor
1.Longsoran Translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
2.Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
7
3.Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
4.Runtuhan Batu
Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
5.Rayapan Tanah
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
8
6.Aliran Bahan Rombakan
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
Ditinjau dari kenampakan jenis gerakan tanah longsor dapat dibedakan menjadi beberapa macam/tipe antara lain : 1. Jenis jatuhan Material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas dari atas tebing. Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi pada lereng terjal. 2. Longsoran Longsoran yaitu massa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan bidang longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran dengan bidang longsoran melengkung, biasanya gerakannya cepat dan mematikan karena tertimbun material longsoran. Sedangkan longsoran dengan bidang longsoran mendatar gerakannya perlahan-lahan, merayap tetapi dapat merusakkan dan meruntuhkan bangunan di atasnya. 3. Jenis aliran Jenis aliran yaitu massa tanah bergerak yang didorong oleh air. Kecepatan aliran bergantung pada sudut lereng, tekanan air, dan jenis materialnya. Umumnya gerakannya di sepanjang lembah dan biasanya panjang gerakannya sampai ratusan meter, di beberapa tempat bahkan sampai
9
ribuan meter seperti di daerah aliran sungai daerah gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak. 4. Gerakan tanah gabungan Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran dengan aliran atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini yang banyak terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan korban cukup tinggi. Menurut Dwiyanto (2002), dilihat dari kenampakan bidang gelincirnya terdapat beberapa tipe longsoran yang sering terjadi diantaranya : a. Kelongsoran rotasi (rotational slip). b. Kelongsoran translasi (translational slip). c. Kelongsoran gabungan (compound slip).
2.3 Penyebab Tanah Longsor Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai faktor alami dan manusia. Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu terjadinya tanah longsor, yaitu : a.
Faktor alam Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain: a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, lereng yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan kekar (patahan dan lipatan), gempa bumi, stratigrafi dan gunung api, lapisan batuan yang kedap air miring ke lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi, tektonik). b. Keadaan tanah : erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh karena air hujan.
10
c. Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan. di atas normal) d. Keadaan topografi: lereng yang curam. e. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat, banjir, aliran bawah tanah pada sungai lama). f. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong, semak belukar di tanah kritis.
b.
Faktor manusia Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain : a. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal. b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng. c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah. d. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah yang menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan menyebabkan tanah menjadi lembek e. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng. f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman. g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri. h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng semakin terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing i. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing j. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran
Arsyad (1989) mengemukakan bahwa tanah longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi
11
setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncur. Longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut : a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau meluncur ke bawah, b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan lunak, yang akan menjadi bidang luncur, dan c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh. Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi, atau dapat juga berupa lapisan batuan.
Penyebab terjadinya tanah longsor dapat bersifat statis dan dinamis. Statis merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah ulah manusia. Ulah manusia banyak sekali jenisnya dari perubahan tata guna lahan hingga pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng. (Surono, 2003). Sedangkan menurut Sutikno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah antara lain : tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi, keadaan vegetasi, curah hujan/hidrologi, dan aktivitas manusia di wilayah tersebut.
Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor No
Faktor Penyebab
Parameter
1.
Faktor Pemicu Dinamis
1. Kemiringan Lereng 2. Curah Hujan 3. Penggunan Lahan (aktivitas manusia)
2.
Faktor Pemicu Statis
4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi 5. Kedalaman Solum Tanah 6. Permeabilitas Tanah 7. Tekstur Tanah
Sumber : Goenadi et. Al (2003) dalam Alhasanah (2006)
Menurut Barus (1999), gerakan tanah berkaitan langsung dengan berbagai sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drainase,
12
lereng/bentuk lahan, hujan, maupun sifat-sifat non-alami yang bersifat dinamis seperti penggunaan lahan dan infrastruktur. Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan dengan terjadinya gempa. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah (Noor, 2006). Karnawati (2004) dalam Alhasanah (2006) menjelaskan bahwa terjadinya longsor
karena
adanya
faktor-faktor
pengontrol
gerakan
di
antaranya
geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi, dan tata guna lahan, serta adanya proses-proses pemicu gerakan seperti : infiltrasi air ke dalam lereng, getaran, aktivitas manusia/ perubahan dan gangguan lahan. Faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat mengubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak. Darsoatmodjo dan Soedrajat (2002), menyebutkan bahwa terdapat beberapa ciri/karakteristik daerah rawan akan gerakan tanah, yaitu : a. Adanya gunung api yang menghasilkan endapan batu vulkanik yang umumnya belum padu dan dengan proses fisik dan kimiawi maka batuan akan melapuk, berupa lempung pasiran atau pasir lempungan yang bersifat sarang, gembur, dan mudah meresapkan air. b. Adanya bidang luncur (diskontinuitas) antara batuan dasar dengan tanah pelapukan, bidang luncuran tersebut merupakan bidang lemah yang licin dapat berupa batuan lempung yang kedap air atau batuan breksi yang kompak dan bidang luncuran tersebut miring kea rah lereng yang terjal. c. Pada daerah pegunungan dan perbukitan terdapat lereng yang terjal, pada daerah jalur patahan/sesar juga dapat membuat lereng menjadi terjal dan dengan adanya pengaruh struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan sehingga dapat memperlemah kekuatan batuan setempat.
13
d. Pada daerah aliran sungai tua yang bermeander dapat mengakibatkan lereng menjadi terjal akibat pengikisan air sungai ke arah lateral, bila daerah tersebut disusun oleh batuan yang kurang kuat dan tanah pelapukan yang bersifat lembek dan tebal maka mudah untuk longsor. e. Faktor air juga berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor, yaitu bila di lereng bagian atas terdapat adanya saluran air tanpa bertembok, persawahan, kolam ikan (genangan air), bila saluran tersebut jebol atau bila turun hujan air permukaan tersebut meresap ke dalam tanah akan mengakibatkan kandungan air dalam massa tanah akan lewat jenuh, berat massa tanah bertambah dan tahanan geser tanah menurun serta daya ikat tanah menurun sehingga gaya pendorong pada lereng bertambah yang dapat mengakibatkan lereng tersebut goyah dan bergerak menjadi longsor. Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981) faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor antara lain adalah sebagai berikut : a. Topografi atau lereng, b. Keadaan tanah/ batuan, c. Curah hujan atau keairan, d. Gempa /gempa bumi, dan e. Keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan. Faktor-faktor penyebab tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktorfaktor ini satu sama lainnya.
2.3.1
Kelerengan (Slope) Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting
dalam proses terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait dengan kondisi kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih 15º perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah longsor dan tentunya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mendukung. Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan
14
yang miring berbakat atau berpotensi longsor. Potensi terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut. Lebih jauh Karnawati (2001) menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak/ longsor, yaitu : Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih kompak. Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan. Kemantapan suatu lereng tergantung kapada gaya penggerak dan gaya penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang berusaha untuk membuat lereng longsor, sedangkan gaya penahan adalah gayagaya yang mempertahankan kemantapan lereng tersebut. Jika gaya penahan ini lebih besar daripada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami gangguan atau berarti lereng tersebut mantap (Das, 1993; Notosiswojo dan Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003). Faktor-faktor yang menyebabkan longsor secara umum diklasifikasikan sebagai berikut (Notosiswojo dan Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003) : 1) Faktor-faktor yang menyebabkan naiknya tegangan geser, yaitu : naiknya berat unit tanah karena pembasahan, adanya tambahan beban eksternal seperti bangunan, bertambahnya kecuraman lereng karena erosi alami atau karena penggalian, dan bekerjanya beban goncangan. 2) Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan geser, yaitu : adanya absorbsi air, kenaikan tekanan pori, beban guncangan atau beban berulang, pengaruh pembekuan atau pencairan, hilangnya sementasi material, proses pelapukan, dan hilangnya kekuatan karena regangan berlebihan pada lempung sensitif. Sitorus (2006) menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor lain : a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.
15
b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan di atas lereng; karena pengikisan air, penambangan batuan, pembuatan terowongan, dan eksploitasi air tanah berlebihan. c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan. d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air, e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan pengembangan tanah. f. Stuktur geologi yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan, sesar,dan perlapisan batuan yang terlampau miring. g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak. Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang kompak. h.
Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong munculnya pergerakan tanah atau longsor.
i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai lapisan batuan dasar maka tubuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi ain meskipun tumbuhan memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kadud tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor.
Secara umum bentuk penampang keruntuhan lereng dibedakan atas : (1) berbentuk rotasi lingkaran (circular rotational slips) untuk kondisi tanah homogen, (2) tidak berbentuk lingkaran (non-circular) untuk kondisi tanah tidak homogen, (3) bentuk translasi (translational slip) untuk kondisi tanah yang mempunyai perbedaan kekuatan antara lapisan permukaan dengan lapisan dasar
16
longsoran dan pada umumnya terletak pada lapisan tanah dangkal (shallow depth) serta longsoran yang terjadi berupa bidang datar dan sejajar dengan lereng, dan (4) bentuk kombinasi (compound slip) biasanya terjadi pada lapisan tanah dengan dalam yang besar (greater depth) dan bentuk keruntuhan penampangnya terdiri dari lengkung dan datar (Peck dan Terzaghi, 1987; McKyes, 1989; Craig, 1992; Bhandari, 1995, dalam Mustafril, 2003). Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Lereng atau lahan yang kemiringannya melampaui 20 derajat (40%), umumnya berbakat untuk bergerak atau longsor. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring berpotensi untuk longsor. Menurut Anwar et al (2001), dari berbagai kejadian longsor, dapat didentifikasi 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak yaitu: a. Lereng timbunan tanah residual yang dialasi oleh batuan kompak. b. Lereng batuan yang berlapis searah lereng topografi. c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.
2.3.2
Penutupan Vegetasi Menurut Sitorus (2006), vegetasai berpengaruh terhadap aliran permukaan,
erosi, dan longsor melalui (1) Intersepsi hujan oleh tajuk vegetasi/tanaman, (2) Batang mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan merusak butir hujan, (3) Akar meningkatkan stabilitas struktur tanah dan pergerakan tanah, (4) Transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Keseluruhan hal ini dapat mencegah dan mengurangi terjadinya erosi dan longsor. Tanaman mampu menahan air hujan agar tidak merembes untuk sementara, sehingga bila dikombinasikan dengan saluran drainase dapat mencegah penjenuhan material lereng dan erosi buluh (Rusli, 2007). Selanjutnya menurut Rusli (1997), keberadaan vegetasi juga mencegah erosi dan pelapukan lebih lanjut batuan lereng, sehingga lereng tidak bertambah labil. Dalam batasan tertentu, akar tanaman juga mampu membantu kestabilan lereng. Namun, terdapat fungsi-fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh tanaman dalam mencegah longsor.
17
Pola tanam yang tidak tepat justru berpotensi meningkatkan bahaya longsor. Jenis tanaman apa pun yang ditanam saat rehabilitasi harus sesuai dengan kondisi geofisik dan sejalan dengan tujuan akhir rehabilitasi lahan. Pohon yang cocok ditanam di lereng curam adalah yang tidak terlalu tinggi, namun memiliki jangkauan akar yang luas sebagai pengikat tanah (Surono, 2003). Penutupan lahan merupakan istilah
yang berkaitan dengan jenis
kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer, 1993). Penutupan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data secara umum yang tercakup dalam penutupan lahan, yaitu : 1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia. 2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang 3. Tipe pembangunan Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat, sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya (Lillesand & Kiefer, 1993).
2.3.3
Faktor Tanah Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor. Tanah
yang gembur karena mudah melalukan air masuk ke dalam penampang tanah akan lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti tanah bertekstur liat (clay). Hal ini dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah. Nilai kepekaan erosi tanah (K) menunjukkan mudah tidaknya tanah mengalami erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah. Makin kecil nilai K makin tidak peka suatu tanah terhadap erosi. (Sitorus, 2006). Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian
18
besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi aliran permukaan. (Litbang Departemen Pertanian, 2006). Dalam hal kekritisan stabilisasi lereng menurut Saptohartono (2007) pada intensitas hujan yang sama (127,4 mm/jam), tekstur tanah pasir cenderung lebih cepat mencapai kondisi kritis sekitar 0,023 jam, dibandingkan tekstur tanah lempung, 0,03 jam dan tanah liat sekitar 0,08 jam setelah terjadi hujan.
Tabel 2. Klasifikasi Kedalaman Tanah No.
Kriteria
Nilai (cm)
1
Sangat dangkal
<25
2
Dangkal
50-25
3
Sedang
50-90
4
Dalam
>90
Sumber : Arsyad, 1989
2.3.4
Curah Hujan Karnawati (2003) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya
bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa tanah yang
19
longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara gemuruh. Hujan dapat memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng dan menurunkan kuat geser tanah. Selanjutnya, menurut Suryolelono (2005), pengaruh hujan dapat terjadi di bagian-bagian lereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor. Air permukaan yang membuat tanah menjadi basah dan jenuh akan sangat rawan terhadap longsor. Hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi berjalan berkepanjangan lebih dari 1 atau 2 hari, akan berpeluang untuk menimbulkan tanah longsor (Soedrajat, 2007). Selanjutnya, (Litbang Departemen Pertanian, 2006) hujan dengan curahan dan intensitas tinggi, misalnya 50 mm yang berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. Ada dua tipe hujan, yaitu tipe hujan deras yang dapat mencapai 70 mm/jam atau lebih dari 100 mm/hari. Tipe hujan deras sangat efektif memicu longsoran pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, misalnya pada tanah lempung pasiran dan tanah pasir. Sedangkan tipe hujan normal, curah hujan kurang dari 20 mm/hari. Tipe ini dapat menyebabkan longsor pada lereng yang tersusun tanah kedap air apabila hujan berlangsung selama beberapa minggu hingga lebih satu bulan (Anonim, 2007).
2.3.5
Faktor Geologi Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah struktur
geologi, sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami (pelarutan), dan gempa. Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah
20
kontak batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air meresap (Surono, 2003).
Tabel 3. Karakteristik Tanah Longsor 1
Fenomena sebab
Meluncurnya tanah pada lereng dan bebatuan sebgai akibat getaran-getaran yang
akibat
terjadi secara alami, perubahan-perubahan secara langsung kandungan air, hilangnya dukungan yang berdekatan, pengisian beban, pelapukan, atau manipulasi manusia terhadap jalur-jalur air dan komposisi lereng.
2
Karakteristik
Tanah longsor berbeda-beda dalam tipe gerakannya (jatuh, meluncur, tumbang,
umum
menyebar ke samping, mengalir), dan mungkin pengaruh-pengaruh sekundernya adalah badai yang kencang, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Tanah longsor lebih menyebar dibandingkan dengan kejadian geologi lainnya.
3
Bisa diramalkan
Frekuensi kemunculannya, tingkat, dan konsekuensi dari tanah longsor bisa diperkirakan dan daerah-daerah yang beresiko tinggi ditetapkan dengan penggunaan informasi pada area geolog, geomorphologi, hidrologi, & klimatologi dan vegetasi.
4
Faktor-faktor
Tempat tinggal yang dibangun pada lereng terjal, tanah yang lembek,
yang
puncak batu karang.
memberikan
Tempat hunian yang dibangun pada dasar lereng yang terjal, pada mulut-
kontribusi
mulut sungai dari lembah-lembah gunung.
terhadap
Jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi di daerah-daerah pegunungan.
kerentanan
Bangunan dengan pondasi lemah. Jalur-jalur pipa yang ditanam, pipa-pipa yang mudah patah. Kurangnya pemahaman akan bahaya tanah longsor.
5
Pengaruh-
Kerusakan fisik- Segala sesuatu yang berada di atas atau pada jalur tanah longsor
pengaruh umum
akan menderita kerusakan. Puing-puing bisa menutup jalan-jalan, jalur
yang merugikan
komunikasi atau jalan-jalan air. Pengaruh-pengaruh tidak langsung bisa mencakup kerugian produktifitas pertanian atau lahan-lahan hutan, banjir, berkurangnya nilai property. Korban –kematian terjadi karena runtuhnya lereng. Luncuran puingpuing yang hebat atau aliran Lumpur telah membunuh beribu-ribu orang.
6
Tindakan
Pemetaan bahaya
pengurangan
Legislasi dan peraturan penggunaan bahaya
resiko yang
Asuransi
memungkinkan
21
7
8
9
Tindakan
Pendidikan komunitas
kesiapan khusus
Monitoring. System peringatan dan sistem evakuasi
Kebutuhan
SAR (penggunaan peralatan untuk memindahkan tanah)
khusus pasca
Bantuan medis, emergensi tempat berlindung bagi yang tidak memiliki
bencana
tempat tinggal.
Alat-alat penilaian dampak
Sumber : UNDP 1992
Formulir-formulir pengkajian kerusakan
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Desember 2007, dengan lokasi penelitian untuk melakukan pengamatan, dan pengambilan data di daerah kejadian longsor Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk mengolah dan menganalisa data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing and Geographic Information System, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
3.2 Peralatan dan Data yang Digunakan Peralatan yang digunakan adalah Perangkat Keras (hardware) terdiri dari personal computer dan printer. Perangkat lunak (software) terdiri dari ArcView 3.2, Mapsource, dan Ms-Office, selain itu dalam pengambilan data bio-fisik lapangan juga digunakan suunto clinometer, meteran, GPS (Global Positioning System) Garmin 12 XL, kamera digital, kalkulator, dan alat tulis. Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan diantaranya adalah peta digital Kabupaten Bogor hasil Interpretasi Citra satelit (landsat SPOT 5) tahun 2005 berbagai layer dan Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1: 100.000
3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Pengumpulan Data Peta Data yang dikumpulkan berupa data spatial dan data atribut (data curah hujan) yang diperoleh dari beberapa instansi terkait. Juga dilakukan pengamatan di lokasi longsor pada daerah penelitian. Adapun data peta yang dikumpulkan adalah sebagai berikut : a. Peta digital Wilayah Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2005 skala 1:25.000 diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. b. Peta digital Jenis Tanah Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
23
c. Peta digital Geologi Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. d. Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1 : 100.000 yang diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah e. Peta digital Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. f. Peta digital Landuse (Penggunaan Lahan) Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. g. Peta digital Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005 yang diperoleh dari Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB h. Peta digital Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 2005 yang diperoleh dari Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB i. Peta digital Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005 skala 1:25.000 diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. j. Data Atribut Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 1994-2007 diperoleh dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor k. Data Atribut Kejadian Longsor di Kawasan Hutan Kecamatan Babakan Madang pada Februari 2007 diperoleh dari KPH Bogor l. Peta Titik Lokasi Kejadian Longsor Hasil Pengolahan Data Pemetaan di Lapangan dengan Menggunakan GPS.
3.3.2
Pengumpulan Data Bio-Fisik Lapangan Pengumpulan data di lapangan dilakukan secara langsung melalui kegiatan
survey dan pengamatan langsung (observasi), wawancara, dan dokumentasi yang bertujuan mencatat sifat-sifat fisik di lapangan. Pengamatan dan pengumpulan data lapangan dilakukan setelah faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor dapat teridentifikasi. Proses identifikasi dan pemilihan parameter yang diamati berdasarkan atas kondisi wilayah penelitian dan hasil kajian pustaka. Dalam hal ini pertimbangan teoritis (hasil studi pustaka) dan faktor kondisi fisik wilayah
24
penelitian menjadi acuan dalam menetapkan berbagai faktor penyebab tanah longsor. Kondisi wilayah yang menjadi pertimbangan untuk menetapkan suatu parameter antara lain : 1) Kondisi Longsor (landslide), yaitu : tipe longsor, kondisi zona (wilayah) di sekitar lokasi/titik longsor, dan luasan area kejadian longsor. 2) Keadaan vegetasi, yaitu : jenis vegetasi tutupan lahan (land cover) dan jenis tanaman. 3) Karakteristik fisik tanah, yaitu : ketebalan tanah (solum), tekstur tanah, dan struktur tanah pada lokasi kejadian longsor 4) Kelerengan yaitu slope (kemiringan lereng) 5) Bentang Lahan (landform), yaitu : material longsor, bentang lahan (bentuk lahan) 6) Penggunaan lahan (landuse), yaitu : kebun campuran, tegakan campuran, semak belukar, dan ladang/tegalan. 7) Usaha Konservasi, yaitu : upaya yang dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya bahaya longsor : pembuatan teras, pembuatan saluran air, dan pembangunan bronjong.
Dalam penentuan kelas tekstur dan struktur tanah di lokasi penelitian dilakukan pengambilan contoh tanah terganggu atau tidak utuh (disturbed soil sample). Adapun tahapannya adalah sebagai berikut (Sitorus, et al, 1980) : 1) Gali tanah sampai kedalaman yang diinginkan, misalnya kedalaman 0-20 cm; 0-30 cm; 0-40 cm; dan sebagainya. 2) Ambil dan masukkan contoh tanah ke dalam kantong plastik. Beri nomor pada label, bungkus lebel dengan plastik kecil, masukkan ke dalam kantong plastik lalu diikat. Pemerian kelas tekstur tanah dilakukan dengan metode uji rasa rabaan dengan tahapan sebagai berikut : 1) Mengambil setengah genggam contoh tanah dan membuang benda asing, misalnya akar, biji, binatang tanah, mineral dan batu sehingga menyisakan pisahan tanah halus
25
2) Menambah
sedikit
air
dari
botol
air
(jika
tanahnya
kering),
membiarkannya terserap tanah, dikepal-kepal dan diuli dengan jari telunjuk dan ibu jari sampai kebasahannya merata dan hancur menjadi individu-individu jarah tanah (contoh tanah yang banyak lempungnyadan awalnya kering membutuhkan pengulian lebih intensif) 3) Menambahkan massa tanah atau air, dilakukan pengulian sampai contoh tanah tersebut berada pada titik lekatnya yaitu suatu keadaan tanah jika ditingkatkan kebasahaannya akan menempel pada jari-jari tangan 4) Menetapkan kelas tekstur tanah kategori detil dan kategori semi detil. 5) Membuang contoh tanah yang diuji dan membersihkan sisa-sisanya yang menempel di tangan sebelum melakukan pemerian pada contoh tanah lainnya. Adapun cara pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan teknik uji rasa rabaan terlampir dalam panduan pada Tabel 4.
Tabel 4. Panduan pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan teknik uji rasa rabaan Penciri
Kelas Tekstur Semi Detil
Galir dan berwujud butir-butir tunggal yang dapat dikenali dan dipisahkan segera
Pasir
Perepihan massa tanah kering menyebabkan pisahan pasirnya mudah runtuh Perepihan massa tanah lembab merangsang terbentuknya panduan tanah yang lemah dan jika dikenai tekanan ringan akan tercerai berai Massa tanahnya banyak mengandung pisahan pasir tetapi kandungan pisahan
Geluh
lempungnya masih cukup banyak untuk dapat memberikan sensasi kelekatan
pasiran
Butir-butir pasirnya dapat dikenali dan dipisahkan segera Perepihan massa tanah lembab akan merangsang terbentuknya paduan tanah tanpa memperlihatkan keretakan kecuali jika dikenai tekanan Massa tanahnya mengandung campuran pisahan pasir, debu, dan lempung yang
Geluh
memberikan sensasi rasa agak kasar, cukup halus, dan agak plastis Peepihan massa tanah kering merangsang terbentuknya paduan tanah cukup mantap dan jika diuli tidak menyebabkan kehancuran Massa tanahnya mengandung pisahan pasir halus dalam jumlah cukup dan sedikit
Geluh
pisahan lempung
debuan
Massa tanah kering membentuk gumpalan yang mudah diremukkan dengan
26
remukannya terasa gembur dan lembut serupa tepung Massa tanah kering atau lembab dapat membentuk paduan tanah yang dapat diuli leluasa tanpa meremukkannya Peremasan massa tanah basah dapat membentuk pita tanah – pita tanah panjang/tidak terputus Massa tanah keringnya keras dan jika dihancurkan membentuk/gumpal
Geluh
Pengulian massa tanah lembab akan membentuk pita tanh mudah hancur
lempungan
Pengulian massa tanah basah akan plastis, membentuk paduan tanah mantap, dan jika ditekan cenderung membentuk massa pejal/padat Massa tanah kering membentuk bungkah/gumpal sangat keras
Lempung
Pengulian massa tanah lembab akan membentuk pita tanah lentur dan panjang Pengulian massa tanah basah akan agak plastis dan lekat Sumber : Soil Survey Staff (1975) dalam Purwowidodo (2003)
3.4 3.4.1
Pengolahan dan Analisa Data. Pengolahan Data. Pengolahan data adalah merupakan tahapan pekerjaan menyusun dan
merangkaikan berbagai jenis data menjadi satu susunan data yang sistematik dan terinci menurut fungsi, klasifikasi maupun peruntukan penggunaannya. Data yang diperoleh dikelompokkan menurut jenisnya. Data yang diperoleh terdiri dari : 1. Data atribut hasil analisis data spatial. 2. Data bio-fisik hasil pengukuran, pengamatan, dan pengujian di lapangan (tekstur tanah, struktur tanah, kemiringan lereng, ketebalan tanah) 3. Data sosial, ekonomi dan budaya, jumlah penduduk, produktivitas pertanian, mata pencaharian, budaya dan agama, dan sebagainya
3.4.2
Analisa Data Analisa data adalah suatu proses saling menghadapkan dua jenis data atau
lebih untuk mendapatkan hubungan informasi antara data yang satu dengan lainnya. Hubungan informasi tersebut diperlukan untuk mengidentifikasikan permasalahan dan alternatif pemecahannya. Hasil analisa yang diharapkan yakni dapat teridentifikasinya faktor-faktor penyebab terjadinya longsor di Kecamatan Babakan Madang.
27
Proses analisa data spasial daerah kejadian longsor Kecamatan Babakan Madang sebagian besar dilakukan dengan menggunakan alat (instrumen) perangkat lunak (software) Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu ArcView 3.2. Proses analisa dengan menggunakan software SIG ini dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melakukan input data spasial beberapa tema yang telah dilakukan koreksi data dari data survey lapangan. a. Input Data Spasial (Parameter Penyebab Terjadinya Longsor). Data spasial parameter penyebab terjadinya longsor diperoleh dari hasil analisis terhadap beberapa data spasial yang merupakan parameter penentu terjadinya longsor, diantaranyai: 1) Kondisi Penutupan Lahan 2) Kondisi Penggunaan Lahan 3) Iklim (Cuaca, bulan basah, bulan kering) 4) Kemiringan Lereng 5) Batuan Induk (Geologi) dan 6) Kemampuan dan Kesesuaian Lahan b. Analisis Spasial Setelah data spasial parameter penentu faktor utama kejadian longsor disusun, data tersebut selanjutnya dianalisis untuk memperoleh informasi mengenai faktor utama penyebab longsor. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penduga penyebab longsor) untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial penyebab utama kejadian longsor. Untuk analisa spasial, sistem proyeksi dan koordinat yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM). Sistem koordinat dari UTM adalah meter sehingga memungkinan analisa yang membutuhkan informasi dimensi-dimensi linier seperti jarak dan luas. Sistem proyeksi tersebut lazim digunakan dalam pemetaan
28
topografi sehingga sesuai juga digunakan dalam pemetaan tematik seperti halnya pemetaan daerah kejadian longsor. Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan faktor penyebab terjadinya longsor dengan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ArcView 3.2 dapat dilakukan dengan bantuan ekstensi Geoprocessing. Secara garis besar tahapan dalam analisis spasial untuk penyusunan data spasial daerah kejadian longsor terdiri dari 4 tahap yaitu : 1. Tumpangsusun (Overlay) Data Spasial Dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ArcView 3.2 dapat dilakukan overlay dengan mudah. Software tambahan (extension) Geoprocessing yang terintegrasi dalam Software ArcView 3.2 atau extension X-Tools yang ditambahkan ke dalam extensions software ArcView sangat berperan dalam proses ini. Di dalam extension ini terdapat beberapa fasilitas overlay dan fasilitas lainnya seperti: union, dissolve, merge, clip, intersect, asign data. Proses overlay ini dilakukan secara bertahap dengan urutan misalnya mulai overlay theme vegetasi dengan theme wilayah administartif kemudian hasil overlay tersebut dioverlaykan kembali dengan theme peta lokasi kejadian longsor. Proses ini dilakukan untuk theme-theme berikutnya dengan cara yang sama. 2. Editing Data Atribut Editing data atribut pada intinya adalah menambah kolom (field) baru pada atribut theme hasil overlay, hanya dilakukan apabila diperlukan. 3. Analisis Tabular Analisis tabular ini pada prinsipnya adalah analisis terhadap atribut dari theme hasil overlay, yang sebelumnya telah melewati tahap pengolahan dan editing data atributnya. 4. Penyajian Data Spasial Data secara umum adalah representasi fakta dari dunia nyata (real world). Data dapat disajikan dalam berbagai bentuk, antara lain: a. Bentuk Uraian (Deskriptif) b. Bentuk Tabular c. Bentuk Grafik dan Diagram
29
d. Bentuk Peta Penyajian data dalam bentuk uraian (deskriptif), bentuk tabular, bentuk grafik dan diagram dapat dilihat dalam pembahasan sedangkan penyajian data dalam bentuk peta pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah kartografis yang pada intinya menekankan pada kejelasan informasi tanpa mengabaikan unsur estetika dari peta sebagai sebuah karya seni. Kaidah-kaidah kartografis yang diperlukan dalam pembuatan suatu peta diaplikasikan dalam proses visualisasi data spasial dan penyusunan tata letak (layout) suatu peta. 4.5 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor di daerah penelitian didasarkan kepada model pendugaan kawasan rawan tanah longsor oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/DVMBG (2004). Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor dilakukan dengan cara memberikan bobot atau nilai pada setiap parameter penyebab terjadinya longsor. Pemberian proporsi nilai/pembobotan berbeda pada setiap parameter karena diasumsikan bahwa peranan setiap parameter terhadap terjadinya tanah longsor tidak sama, tergantung keperluan dan permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan analisis dari model pendugaan yang dilakukan Tim DVMBG, diketahui bahwa parameter yang berpengaruh tinggi terhadap terjadinya bencana tanah longsor adalah jumlah curah hujan sehingga proporsi nilainya lebih tinggi dari parameter lainnya. Dari semua faktor-faktor penentu (parameter) kerawanan kejadian tanah longsor didapat suatu persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai kerawanan tanah longsor di suatu kawasan yaitu : Skor = (30 % x faktor kelas curah hujan) + (20 % x faktor kelas geologi) + (20 % x faktor kelas jenis tanah) + (15 % x faktor kelas penggunaan lahan) + (15 % x faktor kelas lereng)
4.5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor Parameter penyebab tanah longsor terbagi ke dalam 5 faktor utama yaitu faktor tanah, faktor geologi, faktor penggunaan lahan, faktor curah hujan (tipe iklim), dan faktor lereng. Urutan pemberian skor berdasarkan dari peranan masing-masing variabel terhadap terjadinya longsor dimana semakin tinggi nilai
30
skor maka semakin besar pengaruhnya terhadap kejadian longsor. Perincian penetapan skor dan bobot dapat dilihat pada Tabel 5 . Tabel 5. Bobot dan skor parameter pemicu longsor PARAMETER
SKOR FAKTOR TANAH
BOBOT 0,3
JENIS TANAH V1 Gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan
1
V2 Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan
2
dan litosol TEKSTUR TANAH V3 Lempung-Liat
1
V4 Lempung liat Berpasir
2
KEPEKAAN EROSI V5 Tidak Erosi
1
V6 Erosi
2
KETEBALAN TANAH V7 (0-10 m)
1
V8 (>10 – 20 m)
2
V9 (>20 – 30 m)
3
V10 (> 30 m)
4 PENGGUNAAN LAHAN
0,15
TUTUPAN VEGETASI Tegakan Campuran/perkebunan
1
Semak Belukar
2
Kebun Campuran
3
Tak bervegetasi/gundul
4
KONDISI KEBUN CAMPURAN Dengan Tanaman Keras
1
Tanpa Tanaman Keras
2
TIPE INFRASTRUKTUR Pemukiman
1
Jalan
2
BANGUNAN KONSERVASI Bronjong penahan
1
Saluran air
2
Pembuatan teras
3
Tidak ada
4
31
FAKTOR LERENG
0,15
KEMIRINGAN LERENG 0-8 %
1
>8 – 15%
2
15-25%
3
25-40%
4
>40%
5
KONDISI PERBUKITAN (BENTANG LAHAN) Datar (0-3%)
1
Berombak (3-8%)
2
Bergelombang (8-15%)
3
Berbukit (15-30%)
4
Bergunung (>30%)
5 KONDISI GEOLOGI
0,2
JENIS BATUAN Bahan Volkanik (Qvk, Qvsl, Qvu dll)
1
Bahan Sedimen (Tmn, Tmj, Tmb, Tmbl, Tmtb)
2
KEJADIAN LONGSOR SEBELUMNYA Tidak Pernah
1
Pernah
2
FAKTOR CURAH HUJAN (TIPE IKLIM) Tipe Iklim Kering
0,3 1
(CH 1.000 – 2.000 mm/tahun) Tipe Iklim Sedang
2
(CH 2.000 – 2.500 mm/tahun) Tipe Iklim Basah
3
(CH 2.500 – 3.000 mm/tahun) Tipe Iklim Sangat Basah (CH >3. 000 mm/tahun Sumber : Sitorus (2006); Rejekiningrum (2007); Subhan (200
4
32
Tabel 6. Parameter Penduga Longsor yang Diamati Indikator
Parameter
Skor
Ket.
Jenis Tanah
V1 Gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan
1
Data Peta
V2 Kompleks latosol merah kekuningan latosol
2
coklat kemerahan dan litosol Tektur Tanah
Kondisi Erosi
Ketebalan tanah
Tutupan Vegetasi
Kebun campuran
Tipe Infrastruktur
Bangunan Konservasi
Tanah
dan Air
Kemiringan Lereng
Kondisi Perbukitan
Jenis Batuan
V3 Lempung-Liat
1
V4 Lempung liat Berpasir
2
V5 Tidak Erosi
1
V6 Erosi
2
V7 (0-10 m)
1
V8 (>10 – 20 m)
2
V9 (>20 – 30 m)
3
V10 (> 30 m)
4
V11 Tegakan Campuran
1
V12 Semak Belukar
2
V13 Kebun Campuran
3
V14 Lahan Kosong/Lap. Rumput
4
V15 Dengan tanaman keras
1
V16 Tanpa tanaman keras
2
V17 Pemukiman
1
V18 Jalan
2
V19Bronjong penahan
1
V20 Saluran air
2
V21 Pembuatan teras
3
V22 Tidak ada
4
V23 0-8%
1
V24 >8-15%
2
V25 >15-25%
3
V26 >25-40%
4
V27 >40%
5
V28Datar
1
V29 Berombak
2
V30 Bergelombang
3
V31 Berbukit
4
V32 Bergunung
5
V33 Batuan Gunung Api
1
V34 Batuan Sedimen
2
PL
Data Peta
PL
PL
PL
PL
PL
PL
PL
Data Peta
33
Sejarah Kejadian
V35 Tidak Pernah
1
Longsor
V36 Pernah
2
Kondisi Cuaca (curah
V37 Kering
1
hujan)
V38 Sedang
2
V39 Basah
3
V 40 Sangat Basah
4
Ket : Data Peta
: Hasil Pengolahan Peta Digital (berbagai layer)
PL
: Pengamatan atau pengujian lapangan
Wa
: Wawancara
Wa
Data Peta
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Wilayah studi Kecamatan Babakan Madang terletak di bagian Timur Kabupaten Bogor. Menurut analisis data spasial yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor, Kecamatan Babakan Madang meliputi areal seluas kira-kira 9181 hektar, terbentang antara 6°30’ - 6°39’ LS dan 106°50’-106°58’ BT dengan batas-batas geografis sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kecamatan Citeureup
Sebelah Selatan
: Kecamatan Megamendung
Sebelah Timur
: Kecamatan Sukamakmur
Sebelah Barat
: Kecamatan Sukaraja
Secara admisnistratif Kecamatan Babakan Madang meliputi 9 desa yaitu Desa Babakan Madang, Bojongkoneng,
Cijayanti, Cipembuan, Citaringgul,
Kadumanggu, Karang Tengah, Sentul, dan Sumur Batu. Adapun luasan administratif dari tiap-tiap desa terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Luasan Administratif Tiap Desa di Kecamatan Babakan Madang No.
Desa
Luasan (ha)
1
Babakan Madang
328,178
2
Bojongkoneng
1.884,795
3
Cijayanti
1.684,178
4
Cipembuan
250,159
5
Citaringgul
362,574
6
Kadumanggu
497,102
7
Karangtengah
3.554,845
8
Sentul
359,192
9
Sumurbatu
260,067 Jumlah
9.181,090
Sumber : Peta Wilayah Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
35
4.2 Topografi Kecamatan Babakan Madang dilewati beberapa sungai-sungai yang memiliki debit air cukup besar seperti Sungai Cilaya, Sungai Ciherang, Sungai Ciwangun, Sungai Cijayanti, Sungai Cikeruh, Sungai Cibatu dan Sungai Cileungsi serta dikeliling beberapa gunung seperti Gunung Pancar (864 mdpl), Gunung Hambalang, Gunung Astana, dan Gunung Wangun sehingga menyebabkan Kecamatan Babakan Madang mempunyai ketinggian yang sangat bervariasi yaitu antara 100 – 1.750 m dpl. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 8. Karakteristik topografi Kecamatan Babakan Madang scecara umum berada pada daerah dengan kemiringan lereng beragam. Wilayah dengan kelerengan datar (0-8%) memiliki luasan terbesar yakni meliputi 40,5 % dari total wilayah, diikuti wilayah dengan kelerengan landai 21,4 % dari total wilayah, curam 21,2 %, agak curam (15,9 %) dan sangat curam (1,11 %) seperti yang tertulis dalam Tabel 9, sedangkan sebaran kemiringan lereng pada tiap-tiap desa dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 8. Ketinggian Wilayah Daerah Kecamatan Babakan Madang No
Ketinggian
Luas (ha)
Persentase (%)
1
1.500 m – 1.750 m
18,5300
0,16
2
1.250 m – 1.500 m
243,5130
2,17
3
1.000 m – 1.250 m
687,2270
6,11
4
750 m – 1.000 m
826,9520
7,35
5
500 m – 750 m
1.527,7340
13,6
6
250 m – 500 m
3.864,0530
34,4
7
100 m – 250 m
4.079,4960
36,3
11.247,505
100
Total
Sumber : Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
Tabel 9. Kelas Lereng dan Luasannya di Kecamatan Babakan Madang No.
Kelas Lereng (%)
Jumlah (Ha)
Persentase (%)
1
0-8
3.714,6270
40,5
2
8-15
1.961,4300
21,4
3
15-25
1.459,4470
15,9
4
25-45
1.943,7262
21,2
5
> 45
101,7410
1,11
9.181,090
100
Total
Sumber : Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
36
Tabel 10. Kelas Kemiringan Lereng Desa
Kelas Kemiringan Lereng Datar
Landai
Agak Curam
Curam
Sangat Curam
(0-8%)
(8-15%)
(15-25%)
(25-45%)
(> 45%)
Karang Tengah
679,9330
527,1530
847,7870
1.424,1000
75,7970
Bojong Koneng
447,9620
575,6480
356,9870
479,4640
24,7020
Cijayanti
911,5720
615,8990
140,9370
15,5030
0,2500
Sumur Batu
172,2670
59,2920
23,2090
4,7990
0,5000
Babakan
211,3860
66,8380
43,6290
6,3200
-
Cipembuan
232,5810
11,5950
3,7130
2,0310
0,2420
Citaringgul
251,5700
66,5960
35,9690
8,1860
0,2500
Kadumanggu
462,3690
29,7680
3,9020
1,0600
-
Sentul
344,9870
8,6410
3,3140
2,2500
-
Madang
Sumber : Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
37 704 000
706 000
708 000
710 000
712 000
714 000
716 000
718 000
720 000
PETA KELAS LERENG
9 28 200 0
92 820 00
KECAMATAN BABAKAN MADANG N
9 28 000 0
92 800 00
W
9 27 800 0
92 780 00
9 27 600 0
92 760 00
#
# #
S
Skala 1 : 31.000
Legenda :
Lokasi Longsor Bds Tk. Kerawanan # Rendah # Sedang # Tinggi Kelas Lereng 0-8 15-25 25-45 8-15 >45 Skala 1 : 450.000
Lok as i P en el iti an
#
#
92 700 00
9 27 000 0
#
92 720 00
9 27 200 0
9 27 400 0
92 740 00
#
E
#
#
9 26 800 0
92 680 00
# #
# #
# ## # #
92 660 00
9 26 600 0
# ## # ##
9 26 400 0
92 640 00
704 000
706 000
708 000
710 000
712 000
714 000
716 000
718 000
Peta Administrasi Kabupaten Bogor Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor
Oleh : Ahmad Danil Effendi ( E 14103032 ) Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB 2008
720 000
Gambar 2. Peta Kelas Lereng Kecamatan Babakan Madang
38
4.3 Klimatologi Secara umum, keadaan iklim Kecamatan Babakan Madang relatif sama dengan keadaan iklim Kabupaten Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis tipe A (sangat basah) di bagian Selatan dan tipe B (basah) di bagian Utara. Suhu udara berkisar antara 20-30 C, wilayah Selatan Kabupaten Bogor memiliki hawa yang sejuk sedangkan bagian Utara memiliki hawa yang panas. Curah hujan tahunan 2.500 -
5.000
mm, kecuali di wilayah bagian Utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang dan Bekasi curah hujannya kurang dari 2.500 mm/tahun, karena itulah Kabupaten Bogor mendapat sebutan sebagai kota hujan. Curah hujan tinggi terjadi pada wilayah bagian Selatan yang merupakan bentang pegunungan yaitu di Kecamatan Caringin, Cijeruk, Tamansari, Pamijahan, Leuwiliang, Nanggung dan Kecamatan Sukajaya sebanyak 4.000-5.000 mm/tahun. Data curah hujan bulanan pada daerah penelitian berdasarkan data Pencatatan Data Curah Hujan pada Stasiun Cibinong dan Stasiun Cibongas masing-masing dapat dilihat pada Tabel 11-12 dan Tabel 13-14.
Tabel 11. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibinong (1994-2007) Bulan
Curah Hujan 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Januari
751
500
-
207
-
506
282
Februari
221
497
416
86
-
-
161
Maret
427
152
165
95
102
-
117
April
366
-
112
233
376
-
156
Mei
52
113
71
127
-
180
358
Juni
76
268
37
7
481
249
159
Juli
7
88
-
-
371
137
85
Agustus
33
5
-
15
264
197
241
September
45
-
-
-
289
72
242
Oktober
31
328
426
-
-
294
84
November
493
306
254
277
-
149
460
Desember
-
284
-
*
-
242
349
Jumlah
2502
2541
1481
1047
1883
2026
2694
Rata-rata
209
212
123
87
157
169
225
39
Tabel 12. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibinong Tahun 1994-2007 (lanjutan) Bulan
Curah Hujan 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah
Rata2
Januari
219
742
212
286
491
763
489
5448
389
Februari
345
316,5
322
464
491
535
610
3014
215
Maret
403
384
127
207
441
448
81
2405
172
April
181
401
194
336
192
344
298
2711
194
Mei
83
140
87
153
202
278
174
1782
127
Juni
109
68
73
24
401
55
203
1829
131
Juli
95
76
4
68
97
56
178
1167
83.4
Agustus
48
82
-
15
124
15
116
1117
79.8
September
62
94
-
93
35
21
-
908
64.9
Oktober
417
83
291
265
303
90
222
2049
146
November
347
158
213
352
258
169
174
2557
183
Desember
498
171
249
637
178
550
**
2874
205
Jumlah
2807
2399
1772
2900
3213
3324
2545
27861
1990
Rata-rata
234
200
148
242
268
277
212
2322
166
Tabel 13. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibongas (1994-2007) Bulan
Curah Hujan 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Januari
-
473
-
207
-
-
**
Februari
220
360
416
86
-
386
**
Maret
525
-
165
95
102
227
**
April
631
306
112
233
376
234
**
Mei
328
290
71
127
-
585
**
Juni
-
464
37
7
481
350
**
Juli
3
132,5
-
-
371
229
**
Agustus
54
-
-
15
264
168
**
171,9
250
-
-
289
73
**
Oktober
469
586
426
-
-
-
**
November
480
490
254
277
-
357
**
Desember
-
205
-
*
-
235
**
Jumlah
2710
3424
1481
1047
1883
2844
Rata-rata
226
285
123
87
157
237
September
0
40
Tabel 14. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibongas Tahun 1994-2007 (lanjutan) Bulan
Curah Hujan 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah
Rata2
Januari
219
742
212
286
491
763
489
5448
389
Februari
345
316,5
322
464
491
535
610
3014
215
Maret
403
384
127
207
441
448
81
2405
172
April
181
401
194
336
192
344
298
2711
194
Mei
83
140
87
153
202
278
174
1782
127
Juni
109
68
73
24
401
55
203
1829
131
Juli
95
76
4
68
97
56
178
1167
83.4
Agustus
48
82
-
15
124
15
116
1117
79.8
September
62
94
-
93
35
21
-
908
64.9
Oktober
417
83
291
265
303
90
222
2049
146
November
347
158
213
352
258
169
174
2557
183
Desember
498
171
249
637
178
550
**
2874
205
Jumlah Rata-rata
2807
2399
1772
2900
3213
3324
2545
27861
1990
234
200
148
242
268
277
212
2322
166
Sumber : Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor Keterangan : * : Rusak - : Tidak Ada Hujan ** : Data Belum Masuk
4.4
Karakteristik Tanah Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengolahan Peta Tanah Tinjau
Kabupaten Bogor tahun 2005, terdapat beberapa jenis tanah di Kecamatan Babakan Madang, dengan jenis tanah yang memiliki luasan terbesar yaitu asosiasi latosol coklat dan latosol kemerahan (50,01%) dan kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol (38,4 %), lihat Tabel 15. Sedangkan kedalaman tanah efektif di wilayah studi juga memiliki variasi antara kurang dari 30 cm sampai lebih dari 90 cm seperti terlihat pada Tabel 16.
41
Tabel 15. Luasan Jenis Tanah di Kecamatan Babakan Madang. No.
Jenis Tanah
Luas (ha)
Persentase (%)
1
Asosiasi Latosol Merah Latosol Coklat Kemerahan
994,1660
10,83
2
Asosiasi Latosol Coklat Latosol Kemerahan
4.591,8600
50,01
3
Kompleks Latosol Merah Kekuningan Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol
3.525,3170
38,4
SNG
69,7470
0,76
9.181,090
100
4 Jumlah
Sumber : Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
Tabel 16. Sebaran Kedalaman Tanah Efektif di Daerah Penelitian No.
Kedalaman Efektif (cm)
Kriteria
Luas (ha)
Persentase (%)
1
< 30
Sangat dangkal
69,7450
0,76
2
30-60
Dangkal
767,3050
8,36
3
60-90
Sedang
5.040,1150
54,9
4
> 90
Dalam
3.303,9250
36
9.181,090
100
Total Sumber : Laboratorium Inventarisasi Hutan, Fahutan IPB
Adapun sebaran karakteristik tanah di daerah penelitian berdasarkan kelas tekstur tanah dan kepekaannya terhadap erosi terlihat pada Tabel 17 dan Tabel 18. Tabel 17. Kelas Tekstur Tanah di Daerah Penelitian No.
Tektur Tanah
Keterangan
Luas (ha)
Persentase (%)
1
Halus
Liat berpasir-liat-liat berdebu
5.310,4670
57,84
2
Sedang
Lempung
3.800,8820
berpasir
sangat
halus-lempung-lempung berdebu-debu 3
Unclass
Badan-badan air Jumlah
41,4 69,7410
0,76
9.181,090
100
Sumber : Peta Kesesuaian Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
42
Tabel 18. Keadaan Erosi di Daerah Penelitian No.
Keadaan Erosi
Luas (ha)
Persentase (%)
1
Erosi
1.084,8320
11,82
2
Tidak erosi
8.026,5170
87,42
3
Unclass
69,7410
0,76
Total
9.181,090
100
Sumber : Peta Kesesuaian Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
4.5
Penutupan Lahan Data penutupan lahan tahun 2005 di Kecamatan Babakan Madang
menunjukkan bahwa kawasan kebun campuran dan semak belukar merupakan bentuk penutupan lahan yang terluas yaitu meliputi luasan lebih kurang 5.860, 7540 ha atau sekitar 63,8 % dari luas total wilayah. Penggunaan lahan lain yang relatif luas adalah hutan/vegetasi lebat (12,2%) dan pemukiman (5,7%). Luasan tiap tipe penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Luasan Penutupan Lahan di Kecamatan Babakan Madang No.
Tipe Penutupan Lahan
Luas (ha)
Persentase
1
Kebun Campuran/Semak Belukar
5.860,7540
63,8
2
Hutan /Vegetasi Lebat
1.118,9460
12,2
3
Perkebunan
281,3015
3,06
4
Pemukiman/Perkampungan
522,9800
5,7
5
Lahan-Lahan Kosong
16,1930
0,18
6
Sawah Irigasi
152,9560
1,67
7
Kawasan Industri
47,8420
0,52
8
Badan-Badan Air
7,8000
0,08
9
Unclass (Awan dan Bayangannya)
1.172,3220
12,8
Jumlah
9.181,090
100
Sumber : Peta Penutupan Lahan (Landuse) Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
43 704 000
706 000
708 000
710 000
712 000
714 000
716 000
718 000
720 000
9 28 200 0
92 820 00
PETA TUTUPAN LAHAN KECAMATAN BABAKAN MADANG N
9 28 000 0
92 800 00
W
9 27 800 0
92 780 00
S
Skala 1 : 31.000
Legenda :
Lokasi Longsor Bds. Tk. K erawanan # Rendah # Sedang # Tinggi Tutupan Lahan Awan (no data) Badan-badan air Bayangan awan (no data) Hutan/vegetasi lebat Kawasan Industri Kebun c am puran/s em ak belukar Lahan-lahan kosong Perkebunan Permuki m an/perkam pungan Sawah irigas i
9 27 600 0
92 760 00
#
# #
Skala 1 : 450.000
#
#
92 700 00
9 27 000 0
#
92 720 00
9 27 200 0
9 27 400 0
92 740 00
#
#
E
Lo k a si P e n e li tia n
92 680 00
9 26 800 0
# # #
# #
# ##
9 26 600 0
##
9 26 400 0
92 640 00
704 000
706 000
708 000
710 000
712 000
Peta Administrasi Kabupaten Bogor
92 660 00
# ## # # #
714 000
716 000
718 000
Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor
Oleh : Ahmad Danil Effendi ( E 14103032 ) Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB 2008
720 000
Gambar 3. Peta Tutupan Lahan Kecamatan Babakan Madang
44
Sedangkan penggunaan lahan yang paling dominan seperti terlihat pada Tabel 20 adalah hutan dengan luasan 3.026,65 ha atau sekitar 32,89 % dari luas total wilayah. Penggunaan lahan lainnya yang relatif luas yaitu kebun campuran (18,1 %), tegalan (17,47 %), pemukiman (12,48 %), dan tanah kosong (9,64 %). Ditinjau dari penyebaran penutupan lahan, kebun campuran dan semak belukar mendominasi di semua bentang lahan mulai dari lahan dengan kemiringan datar sampai dengan sangat curam. Penutupan lahan lainnya yang memiliki luasan relatif besar di semua karakteristik lereng adalah hutan/vegetasi lebat.
Tabel 20. Luasan Landuse (Penggunaan Lahan) di Kecamatan Babakan Madang No.
Jenis Landuse
Luasan (ha)
Persentase
1
Emplasemen Tetap
3,7510
0,041
2
Hutan Belukar
0,4850
0,005
3
Hutan Lebat
2,423,8290
26,4
4
Hutan Sejenis Buatan
595,5260
6,486
5
Industri
14,5770
0,159
6
Kebun Campuran
1.661,5580
18,1
7
Keburan
4,8210
0,053
8
Lapangan Golf
114,8550
1,251
9
Lapangan Olah Raga
12,6790
0,138
10
Perkampungan
726,9180
7,918
11
Perumahan
418,3030
4,556
12
Rumput
18,3810
0,2
13
Sawah 1x Padi/tahun
0,1180
0,001
14
Sawah 2x Padi/tahun
624,8530
6,806
15
Semak
0,8590
0,009
16
Sungai/danau/setu/waduk
69,7450
0,76
17
Tanah kosong diperuntukkan
885,3260
9,643
18
Tanah rusak
0,2270
0,002
19
Tegalan
1.604,2790
17,47
9.181,090
100
Total
Sumber : Peta Penggunaan Lahan (Landuse) Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
45
4.6 Batuan dan Geologi Secara geologis sebagian besar lahan Kecamatan Babakan Madang tersusun dari batuan gunung api berupa produk gunung api muda dan gunung api tua (endapan breksi, lahar, lava, tufa) yang meliputi 36 % wilayah, batuan sedimen (47 % wilayah), serta sedikit gamping, endapan permukaan, dan batuan intrusi. (Tabel 21). Tabel 21. Karakteristik Geologi di Kecamatan Babakan Madang No.
Klasifikasi
Jenis Batuan
Deskripsi
Luas (ha)
Geologis 1
QVK
Persentase (%)
Batuan
Bongkahan andesit dan breksi
Gunung Api
andesit dengan banyak sekali
3.290,7980
35,84
682,2130
7,43
847,5290
9,23
4.280,033
46,62
80,5170
0,88
9.181,090
100
fenokris piroksen dan lava basal 2
Qa
Endapan
Aluvium, lempung, lanau,
Permukaan
kerikil, dan kerakal, terutama endapan sungai termasuk pasir dan kerikil endapan
3
Qav
Endapan
Kipas alluvium, terutama
Permukaan
lanau, batu pasir, kerikil, dan kerakal dari batuan gunung api kuarter, diendapkan kembali sebagai kipas alluvium
4
5
Tmj
a
Batuan
Napal dan serpih lempungan,
Sedimen
dan sisipan batu pasir kuarsa
Batuan
Andesit dengan oligoklos-
Terobosan
andesin, augit, hipesiten, dan horenblenda, membentuk sumbat dan retas
Total
Sumber : Peta Geologi Bersistem, Indonesia. Lembar Bogor, 9/XIII-D atau 1209-1. Skala 1: 100.000
47 704 000
706 000
708 000
710 000
712 000
714 000
716 000
718 000
720 000
9 28 200 0
92 820 00
PETA GEOLOGI KECAMATAN BABAKAN MADANG
9 28 000 0
92 800 00
9 27 800 0
92 780 00
9 27 600 0
N
92 760 00
#
92 720 00
9 27 200 0
9 27 400 0
92 740 00
#
#
# #
#
#
9 27 000 0
92 700 00
#
#
9 26 800 0
#
# #
# ##
9 26 600 0
92 660 00
# # ## # # ##
9 26 400 0
92 640 00
704 000
706 000
708 000
710 000
E S
Skala 1 : 31.000
Legenda : Lokasi Longsor Bds. Tk K erawanan # Rendah # Sedang # Tinggi Jeni s Batuan QVK Qa Qav Sungai Cileungsi TM J Tm j a Skala 1 : 450.000
Lo k a si P e n e li tia n
92 680 00
#
W
712 000
714 000
716 000
718 000
720 000
Gambar 4. Peta Geologi Kecamatan Babakan Madang
Peta Administrasi Kabupaten Bogor
Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor
Oleh : Ahmad Danil Effendi ( E 14103032 ) Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB 2008
48
Sedangkan berdasarkan Peta Digital Sebaran Geologi Kabupaten Bogor, jenis batuan induk di daerah penelitian terlampir seperti pada Tabel 22.
Tabel 22. Jenis Batuan Induk di Daerah Penelitian No.
Jenis Batuan
Luasan (ha)
Persentase (%)
1
Gunung api muda
4.030,5
43,9
2
Gunung api tua
3.583,146
39
3
Endapan permukaan
1.425,3720
15,5
4
Batu gamping
1.42,072
1,55
9.181,090
100
Total
Sumber : Peta Sebaran Geologi Kab. Bogor, Badan Perencanaan Daerah Kab. Bogor.
4.7 Keadaan Sosial Ekonomi Sosial dan Budaya Kecamatan Babakan Madang berpenduduk campuran suku Sunda, Suku Jawa, dan keturunan Cina dengan dominasi suku Sunda.
Struktur dan Jumlah Penduduk Pada tahun 2003, jumlah penduduk Kecamatan Babakan Madang sebanyak 72.828 jiwa yang terdiri dari 36.967 laki-laki dan 35.861 perempuan, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 738 jiwa/km2. Di Kecamatan Babakan Madang tercatat jumlah rumah tangga yang ada mencapai 25.208 rumah tangga, dengan 198 Rukun Tetangga (RT) dan 49 Rukun Warga (RW).
Mata Pencaharian Pada tahun 2003 tercatat sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian yang bergerak di sektor perdagangan sebanyak 5.385 jiwa, sektor pertanian sebanyak 5.406 jiwa, industri sebanyak 1.545 jiwa, angkutan sebanyak 1.343 jiwa, konstruksi sebanyak 124 jiwa, jasa-jasa sebanyak 3.774 jiwa, pertambangan dan galian sebanyak 321 jiwa, dan pada sector lainnya sekitar 7.310 jiwa. Dalam sektor pertanian, komoditas yang dibudidayakan adalah umbiumbian seperti singkong (ubi kayu) dan ubi jalar; sayuran seperti jagung, kacang
49
tanah, kacang panjang timun; dan buah-buahan (mangga,pepaya, sawo, pisang, dan rambutan). Adapun komoditas utama yang paling banyak dihasilkan masyarakat setempat adalah umbi-umbian dan pisang. Hasil pertanian pisang menyumbang 90,23 % (192.580 kg) komoditas buah-buahan pada tahun 2003. Sedangkan umbi-umbian menyumbang hasil sebanyak 13.795 kg dan sayuran 15.172,2 kg. (BPS, 2003)
Agama Di Kecamatan Babakan Madang hingga tahun 2006 fasilitas peribadatan berupa masjid berjumlah 66 buah dan musholla 176 buah. Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut pada tahun 2003 terdiri dari pemeluk agama Islam sebanyak 72.219 jiwa, Katolik sebanyak 66 jiwa, Protestan sebanyak 463 jiwa, Hindu sebanyak 21 jiwa dan pemeluk agama Budha sebanyak 59 jiwa (Kabupaten Bogor dalam Angka 2007). Kerukunan hidup antar umat beragama tumbuh dan berkembang dengan baik, terlihat dari tidak adanya kasus kerusuhan sosial yang bernuansa agama ataupun potensi konflik yang muncul akibat dari isu SARA.
Pendidikan Sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Babakan Madang terdiri dari 1 Sekolah Taman Kanak-Kanak Negeri, 44 SD Negeri, 1 SLTP Negeri, 2 SD Swasta, 3 SLTP Swasta, 1 SLTA Negeri, 1 SLTA Swasta 30 Madrasah Ibtidaiyah, dan 4 Madrasah Tsanawiyah. Adapun tingkat pendidikan yang ditempuh penduduk Kecamatan Babakan Madang beragam. Penduduk yang tidak tamat SD atau sederajat sebanyak 12.238 orang, tamat SD sebanyak 24.131 orang, tamat SLTP 6.989 orang, tamat SLTA sebanyak 980 orang, tamat akademi sebanyak 80 orang, tamat universitas sebanyak 39 orang, dan penduduk yang belum sekolah sebanyak 28.371 orang.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penyebaran Lokasi Kejadian Longsor Kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang terjadi di 3 desa yaitu Desa Karang Tengah, Desa Bojong Koneng, dan Desa Cijayanti. Di Desa Karang Tengah ditemukan 8 kasus kejadian longsor yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun Landeuh (2 kasus), Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, dan Kp. Cimandala. Di Desa Bojong Koneng ditemukan 13 lokasi kejadian longsor yang tersebar di Kp. Garungsang Pasir, Kp. Gunung Batu babakan, Kp. Gunung Batu Kidul (3 kasus), Kp. Curug (4 kasus), Kp. Gombong (2 kasus), dan Kp. Cikeas (2 kasus). Sedangkan di Desa Cijayanti kasus kejadian longsor ditemukan di Kp. Cijayanti dan Kp. Legok Banteng (2 kasus).
Gambar 5. Longsor tipe nendatan/slump (kiri) di Kp. Gombong (3) dan tipe amblesan/penurunan tanah (kanan) di Kp. Cikeas (1)
51
52
5.2 Karakteristik Longsor pada Wilayah Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan pada 24 titik longsor, terdapat 2 karakteristik longsor yang ditemukan, yaitu 1) nendatan (slump) dan 2) penurunan tanah/ amblesan (subsidence). Rekapitulasi hasil pengamatan ke 24 titik longsor tersebut disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Karakteristik Longsor dan Tutupan Lahannya Tipe Longsor
Penutupan Lahan
Lokasi
Frekuensi
Persentase (%)
Ditemukan (kasus) Nendatan
Kebun campuran
Kp. Cilaya, Kp. Wangun
6
37,5
4
25
6
37,5
16
100
2
25
6
75
8
100
Landeuh (1), Kp. Wangun 1,
(Slump)
Kp. Cimandala, Kp. Cikeas (2), Kp. Legok Banteng (2) Lahan gundul
Kp. Babakan Ngantai, Kp. Gunung Batu Kidul (3), Kp. Curug (2) , Kp. Cijayanti
Alang-alang dan
Kp. Wangun Landeuh (2),
semak
Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Gombong (2 titik), Kp. Curug (1)
Total Amblesan/Penur
Kebun campuran
Kp. Garungsang Pasir, Kp. Curug (3)
unan tanah (subsidence)
16
Tegakan
Kp. Gunung Batu Kidul (1),
campuran
Kp. Gunung Batu Kidul (2), Kp. Legok Banteng (1) Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Curug (4), Kp. Cikeas (1)
Total
8
Sumber : Data Primer (Diolah)
Tipe longsor nendatan (slump) merupakan tipe gerakan tanah luncuran ke bawah berupa perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur yang umumnya berbentuk lengkung (rotasional). Longsoran tipe ini berkomposisi material yang
53
kaya akan liat dan mengambang bila basah sehingga menyebabkan berkurangnya gaya kohesi antar butir tanah. Di samping itu, kondisi lokal penelitian yang berbukit-bukit dan memiliki kelerengan terjal menyebabkan tanah longsor tipe ini banyak ditemukan. Di samping faktor tersebut, rusaknya vegetasi dan pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air menyebabkan resiko terjadinya tanah longsor setiap tahun terus meningkat.
Gambar 7. Longsor dengan penutupan lahan semak belukar di Kp. Gombong (4) (kiri) dan Longsor dengan penutupan kebun campuran pada tepi jalan di Kp. Cikeas (1)
Nendatan (slump) ini disebabkan oleh peningkatan beban tanah yang terdapat pada lereng perbukitan yang terjal berupa pembukaan lahan untuk bercocok tanam tanpa menerapkan upaya konservasi tanah, pembangunan infrastruktur berupa jalan dan rumah (pemukiman) yang memotong/memapas lereng, serta kondisi penutupan lahan yang tidak mendukung stabilnya agregat tanah terutama terjadi saat hujan lebat yang relatif lama. Saat musim penghujan tanah-tanah yang diolah ini tidak mampu lagi menahan beban yang terdapat di atasnya, di samping itu mekanisme dari dalam tanah ikut mendorong terjadinya longsor, yaitu adanya lapisan tanah yang kedap air sehingga membuat badan lereng bergerak ke bawah (akibat bertambahnya beban). Tata guna lahan pada daerah kejadian longsor dengan karakteristik nendatan ini umumnya berupa kebun campuran, semak belukar, atau lahan kosong pada lereng bagian atas sedangkan di bagian bawah tebing berupa bangunan infrastruktur baik berupa pemukiman ataupun jalan. Sedangkan daerah kejadian
54
longsor dengan karakteristik amblesan (subsidence) tataguna lahan umumnya berupa pemukiman penduduk, kebun campuran dan tegakan campuran pada bagian atas lereng sedangkan di kaki lerengnya berupa lembah bukit dan lembah sungai.
5.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor 5.3.1 Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil pengamatan lapangan area kejadian longsor di daerah penelitian seperti yang tertera dalam Tabel 24, ada empat tipe tata guna lahan berupa penutupan vegetasi yang ditemukan yaitu
kebun campuran, semak
belukar, lahan gundul, dan tegakan campuran.
Tabel 24. Jenis Penutupan Vegetasi di Lokasi Kejadian Longsor Penutupan Lahan
Kebun campuran
Lokasi
Kp. Cilaya, Kp. Wangun
Frekuensi
Persentase
Ditemukan (kasus)
(%)
8
33,3
6
25
4
16,7
6
25
24
100
Landeuh, Kp. Wangun 1, Kp. Cimandala, Kp. Garungsang Pasir, Kp. Curug, Kp. Cikeas, Kp. Legok Banteng Semak belukar
Kp. Wangun Landeuh, Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Curug, Kp. Gombong (2 titik),
Lahan Gundul
Kp. Babakan Ngantai, Kp. Gunung Batu Kidul, Kp. Curug, Kp. Cijayanti
Tegakan campuran
Kp. Gunung Batu Kidul, Kp. Legok Banteng Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Gunung Batu Kidul, Kp. Curug, Kp. Cikeas
Total Sumber : Diolah dari data primer
55
Tipe penutupan lahan kebun campuran paling sering ditemukan pada daerah kejadian longsor. Dari 24 kasus longsor, terdapat 8 titik kejadian longsor atau sekitar 33,3% yang penutupan lahannya berupa kebun campuran yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Wangun Landeuh, Kp. Wangun 1, Kp. Cimandala, Kp. Garungsang Pasir, Kp. Curug, Kp. Cikeas, dan Kp. Legok Banteng. Jenis tanaman yang mengisi kebun campuran ini biasanya terdiri dari tanaman singkong, pisang, nanas, dan pandan. Jenis tanaman kebun campuran yang bertajuk kecil dan sangat jarang (kurang rapat) menyebabkan energi butir-butir hujan saat terjadinya hujan lebat memiliki kekuatan perusak yang tinggi dan ini bermakna meningkatnya tingkat erosivitas hujan yang jatuh langsung di atas permukaan tanah. Meningkatnya kemampuan erosivitas hujan ini menyebabkan peluang terjadinya longsor semakin besar pula. Selain itu, tanaman-tanaman tersebut juga memiliki perakaran yang kurang dalam sehingga tidak mampu menembus lapisan tanah yang kedap air, sehingga tidak membantu dalam menjaga kemantapan agregat tanah. Apalagi perakarannya berupa perakaran serabut yang relatif kurang kuat menghujam dan mengikat tanah sehingga mudah tergoyahkan jika terjadi hujan deras yang berangin kencang. Sebagian kebun campuran yang terdapat di lokasi kejadian longsor merupakan hasil perambahan masyarakat setempat terhadap tegakan pinus yang ada. Perubahan tata lahan dengan mengganti tanaman keras seperti pinus ini menjadi tanaman semusim menyebabkan resiko longsor menjadi lebih besar. Tanaman semusim membutuhkan tanah yang gembur, padahal tanah yang gembur menyerap air permukaan dengan baik, sehingga saat hujan datang air permukaan ini akan terus terserap dan menjenuhi tanah sehingga beban tanah bertambah yang beresiko menyebabkan terjadinya longsor.
56
Gambar 8. Penampang longsor rotasional dengan tipe nendatan pada kejadian longsor di Kp. Wangun 1
Berdasarkan data dari KPH Bogor Kabupaten Bogor ada beberapa titik longsor yang terjadi di kawasan hutan dan penyebab utama kejadian longsor tersebut adalah perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Adapun luasan total dari perambahan hutan pinus oleh masyarakat adalah seluas 180,9 ha. Areal perambahan tersebut digunakan masyarakat setempat untuk lahan kebun campuran (berupa tanaman singkong dan pisang) dan lahan pemukiman. Hal ini makin diperparah karena mereka membangun pemukiman dan kebun campuran tersebut di lokasi dengan kelerengan curam hingga sangat curam dan tanpa pengelolaan yang sesuai. Kejadian longsor di kawasan hutan ditemukan di kawasan hutan pinus yang dikelola Perhutani, tepatnya di Kelompok Hutan Hambalang Barat, RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Kejadian longsor tersebut terjadi pada petak 17 di Kp. Cibingbin dan petak 20 di Kp. Muara Desa Bojong Koneng dengan luasan longsor masing-masing sebesar 10 ha dan 3 ha. Sedangkan di Desa Karang Tengah terjadi pada petak 15 dan petak 16 di Kp. Cimandala dan pada petak 4 di Kp. Wangun 2 dengan luasan longsor masingmasing sebesar 7 ha dan 15 ha.
57
Penutupan lahan kedua yang banyak ditemukan pada lokasi kejadian longsor adalah alang-alang dan semak belukar yang ditemukan di 6 titik kejadian longsor yaitu di Kp. Wangun Landeuh (2), Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Curug, dan 2 titik di Kp. Gombong. Semak belukar yang paling banyak ditemukan adalah paku-pakuan, alang-alang, jenis rumput-rumputan, dan sedikit tanaman keras seperti cengkeh atau pinus. Sebagian semak belukar tersebut sebelumnya adalah berupa tegakan hutan pinus, namun karena perawatan yang tidak intensif dan adanya perambahan hutan oleh masyarakat setempat, tegakan pinus tersebut terlantar dan berubah menjadi semak belukar. Menurut petugas KPH Bogor, hal itu dimungkinkan karena areal tersebut merupakan lahan sengketa yang sampai kejadian longsor tersebut berlangsung sengketanya belum terselesaikan, akibatnya berpengaruh pada terhambatnya perawatan dan penanaman pada areal tersebut. Berdasarkan analisis Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, hampir 64% penutupan lahan di wilayah Kecamatan Babakan Madang berupa kebun campuran dan semak belukar. Jumlah ini mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2000 luasan kebun campuran dan semak belukar hanya meliputi 46,36 % wilayah Kecamatan Babakan Madang dan pada tahun 2003 sebesar 46,44 %. Peningkatan luas kebun campuran dan semak belukar ini diikuti penurunan luasan hutan dan perkebunan. Selama periode 2000 – 2005 luasan hutan menurun dari 1.452,5570 ha atau 15,82 % dari luasan wilayah Kecamatan Babakan Madang menjadi hanya sekitar 1118,9460 ha atau 12,2 % dari luasan wilayah. Sedangkan luasan perkebunan menurun dari 815,4170 ha (8,88 %) menjadi 281,3020 ha (3,06 %). Banyaknya perubahan penutupan vegetasi ini (sebagai tutupan lahan) dari areal tegakan hutan atau vegetasi lebat menjadi kebun campuran, semak belukar, pemukiman, atau menjadi lahan kosong akan sangat berpengaruh besar terhadap kestabilan lereng terutama terutama pada areal hutan yang diubah menjadi lahan pertanian (agricultural), sehingga menyebabkan Kecamatan Babakan Madang selalu mengalami kejadian longsor tiap tahunnya. Dan dalam kenyataanya, deforestasi yang terjadi pada lahan-lahan berlereng selalu diikuti kejadian longsor. Selain itu, kegiatan manusia lainnya seperti penambangan, pembangunan jalan dan
58
pemukiman dengan memotong/memapas lereng/bukit atau mengubah tata lahan pertanian juga mendorong terjadinya bencana longsor. Penutupan lahan lainnya yaitu lahan kosong, lahan yang arealnya tidak ditumbuhi oleh vegetasi apapun di atasnya atau belum dimanfaatkan oleh masyarakat. Kejadian longsor dengan tipe penutupan berupa lahan kosong ditemukan di 4 titik yaitu di Kp. Babakan Ngantai, Kp. Gunung Batu Kidul (3), Kp. Curug (2), dan Kp. Cijayanti. Lahan kosong ini memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap kejadian longsor. Selain tanpa penutupan yang menyebabkan titik hujan mudah memicu erosi, apabila hujan turun dengan intensitas yang cukup tinggi akan langsung terserap oleh tanah sehingga tanah menjadi cepat jenuh terhadap air yang mengakibatkan bobot tanah menjadi bertambah dan lebih labil. Hal ini semakin diperparah karena lahan kosong tersebut menempati badan lereng yang cukup curam (31-63%). Hal ini sangat beresiko besar terhadap peluang terjadinya kejadian longsor terutama saat berlangsungnya hujan lebat dalam waktu relatif lama yang menyebabkan kawasan ini lebih rawan terhadap terjadinya tingkat erosi yang tinggi akibat pekanya tanah tergerus energi kinetik hujan. Lahan kosong di wilayah penelitian umumnya tidak hanya tersebar pada lokasi kejadian longsor, tapi juga nampak pada bukit-bukit dan lereng-lereng yang curam tanpa pengelolaan. Menurut pihak KPH Bogor sebagian lahan kosong tersebut merupakan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pemerintah Kabupaten Bogor kepada beberapa perusahaan real estate dan perkebunan, namun karena belum dikelola akhirnya lahan-lahan tersebut terlantar dan menjadi lahan kosong tanpa penutupan. Penutupan lahan di daerah penelitian yang sebagian besar berupa kebun campuran, semak belukar, dan tanah kosong tersebut turut memicu terjadinya longsor. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya penanaman pepohonan berupa tanaman keras pada lahan-lahan kosong/lahan gundul dan semak belukar, juga perlu diintensifkannya penanaman tanaman keras yang dipadukan di dalam kebun campuran dalam mekanisme agroforestri yang sesuai. Penanaman tanaman keras ini perlu digalakkan karena terbukti efektif. Sebagai pembanding, di beberapa titik dekat lokasi bencana longsor terdapat sebidang lahan yang ditanami tanaman keras tahunan seperti tanaman kayu afrika (Maesopsis eminii), ketapang
59
(Terminalia catappa), dan sengon/jeunjing (Paraseriantehs falcataria), ternyata tempat ini tidak mengalami longsoran.
Gambar 9. Lahan dengan tegakan Kayu Afrika (Maesopsisi eminii) yang tidak mengalami longsor di Kp. Babakan Ngantai
Menurut Wahyu Wilopo dan Priyono Suryanto ( 2005) sistem pertanaman dengan model agroforestri mampu menyerap air secara maksimal dan penggunaannya yang efisien. Konsep kesetimbangan air dalam agroforestri mendudukan agroforestri pada posisi yang strategis untuk mengurangi peluang peran air dalam terjadinya tanah longsor. Namun, pemilihan jenis pohon atau tegakan pun harus disesuaikan dengan kondisi tiap daerah serta harus memperhatikan aspek litologis, geologis, ekonomis, dan kelerengannya. Ini dikarenakan kejadian longsor juga ternyata terjadi pada daerah dengan penutupan lahan berupa tegakan tanaman keras yang memiliki kerapatan tinggi seperti pada kasus longsor di Kp. Legok Banteng (1) Desa Cijayanti. Kp. Legok Banteng (1) yang bentang lahannya berbukit bergelombang dengan kemiringan lereng agak curam (22%) memiliki penutupan vegetasi berupa pohon yang cukup rapat dengan tegakan batang yang tinggi dan berdiameter relatif besar (15-25 cm). Pepohonan yang terdapat pada lokasi longsor tersebut diantaranya adalah pohon manggis, menteng, pisitan, bembem, gandaria, kelapa, dan rumpun bambu. Keadaan
penutupan vegetasi berupa
60
tegakan campuran yang memiliki profil yang besar dan rapat tersebut ternyata malah menambah beban lereng terutama ketika tanah jenuh air akibat hujan lebat. Ini dikarenakan pohon-pohon besar bila akarnya tidak menancap pada batuan dasar akan justru membebani lereng, terutama bila lereng tersebut ditimpa hujan yang diikuti oleh angin. Beban pohon besar yang telah miring dan tertiup angin kencang merupakan beban dinamis yang menambah resiko longsornya tanah. Hal inilah yang menjadikan lahan rawan terhadap gerakan tanah dan akhirnya menyebabkan longsor. Sutikno (2000) dalam Alhasanah (2006) menyatakan bahwa peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor. Namun, pemotongan pohonpohonan secara tidak tepat untuk mencegah longsornya tanah tidak dibenarkan karena rongga-rongga di dalam tanah yang terbentuk akibat lapuknya akar tumbuh tumbuhan dapat menambah tampungan air di dalam rongga pori tanah sehingga menambah potensi kelongsoran lereng. Oleh karenanya, perlu dilakukan rekayasa vegetatif untuk menanggulangi hal ini yaitu dengan menanami lereng dengan tanaman pohon yang memiliki kemampuan akar yang kuat menembus batuan dasar (bahan induk) sebagai pengikat atau pasak yang mampu menahan gerakan tanah namun memiliki bobot dan tajuk yang ringan sehingga tidak menambah beban terlalu besar terhadap lereng. Apabila pada kondisi lereng di mana lapisan batuan dasar relatif jauh dari permukaan lereng, maka dapat digunakan tipe tanaman yang dapat mengurangi infiltrasi aliran air ke dalam tanah. Atau tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang tinggi agar air cepat diuapkan oleh tanaman. Menurut Manan (1976) dalam Dahlan (2004), tanaman yang dapat menguapkan air dengan baik (menguapkan dalam skala sedang sampai tinggi) diantaranya adalah : nangka (Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa, Indigofera galegoides, sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni (Swietenia spp.), jati (Tectona grandis), Kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucaena glauca). Adapun jenis vegetasi yang direkomendasikan Bank Dunia dalam pengembangan dan pengelolaan lahan pada kawasan budidaya yang rawan
61
longsor yaitu pohon yang dapat menghasilkan seperti pohon buah-buahan dan kemiri. Sedangkan pada kawasan lindung ditanami vegetasi atau pohon yang sesuai dengan kondisi setempat seperti akasia, pinus, mahoni, johar, jati, kemiri, dan damar. Untuk daerah berlereng curam di lembah dapat ditanami bambu. (Sitorus, 2006).
5.3.2 Kemiringan Lereng dan Topografi Unsur topografi yang paling besar pengaruhnya terhadap bencana longsor adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor, dimana makin curam lereng, makin besar dan makin cepat longsor terjadi. Kemiringan dan panjang lereng juga merupakan 2 unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 1989). Hardjowigeno (1992) menyatakan bahwa erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang, apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat, sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula, dan lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin besar. Selanjutnya, Wahyunto (2003) menambahkan bahwa tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng, makin tinggi kemiringan lerengnya akan semakin besar potensi tanah longsornya. Berdasarkan Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, daerah penelitian diklasifikasikan menjadi 5 kelas kemiringan lereng seperti pada Tabel 25. Tabel 25. Kelas Kemiringan Lereng Desa
Kelas Kemiringan Lereng Datar
Landai
Agak Curam
Curam
Sangat
(0-8%)
(8-15%)
(15-25%)
(25-45%)
Curam (> 45%)
Karang Tengah
679.9330
527.1530
847.7870
1424.1000
75.7970
Bojong Koneng
447.9620
575.6480
356.9870
479.4640
24.7020
Cijayanti
911.5720
615.8990
140.9370
15.5030
0.2500
Sumur Batu
172.2670
59.2920
23.2090
4.7990
0.5000
Babakan Madang
211.3860
66.8380
43.6290
6.3200
-
Cipembuan
232.5810
11.5950
3.7130
2.0310
0.2420
Citaringgul
251.5700
66.5960
35.9690
8.1860
0.2500
62
Kadumanggu
462.3690
29.7680
3.9020
1.0600
-
Sentul
344.9870
8.6410
3.3140
2,2500
-
Berdasarkan pengamatan, 29,17% kejadian tanah longsor (7 kasus) terjadi pada kondisi lereng sangat curam, 25% terjadi pada kondisi lereng curam (6 kasus), 20,83% (5 kasus) terjadi pada kondisi lereng agak curam, sedangkan 25% lainnya terjadi pada kondisi lereng yang landai. Frekuensi kejadian longsor pada tingkat kelerengan >30% (pada kondisi lereng sangat curam dan curam) ditemukan sebanyak 10 kasus, tersebar pada beberapa lokasi yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun Landeuh (2 kasus), Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Cimandala, Kp. Gunung Batu Kidul, dan Kp. Cijayanti dengan karakteristik tanah longsor keseluruhannya berupa nendatan (slump). Sedangkan 6 kasus kejadian longsor dengan tipe nendatan lainnya terjadi pada tingkat kelerengan agak curam (13-28%) yaitu di Kp.Curug (2 kasus), Kp. Legok Banteng (2), Kp. Cikeas (2) dan Kp. Gombong (2 kasus). Sedangkan longsor dengan karakteristik amblesan atau penurunan tanah umumnya terjadi pada tingkat kelerengan landai (6-24%), ditemukan sebanyak 8 kasus yaitu di Kp. Garungsang Pasir, Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Gunung Batu Kidul (1) dan (2), Kp. Curug (3) dan (4), Kp. Legok Banteng (1), dan Kp. Cikeas.
Gambar 10. Longsor tipe nendatan pada lahan kosong di Kp. Babakan Ngantai
63
Kejadian longsor yang terjadi di Desa Karang Tengah keseluruhannya merupakan longsor dengan tipe nendatan (slump), hal ini dikarenakan sebagian besar wilayahnya (40,06%) berada pada wilayah dengan kemiringan curam sehingga memicu terjadinya nendatan. Sedangkan di Desa Bojong Koneng tipe longsor yang terjadi merata antara tipe nendatan dan tipe amblesan, hal ini juga dipengaruhi pula oleh kondisi lapangan yang sebaran kemiringan lerengnya hampir merata mulai dari datar hingga curam. Namun, karena kemiringan lereng di Desa Cijayanti dominan datar (54,13 %), maka kejadian longsor yang terjadi di sana lebih banyak berupa tipe penurunan tanah/amblesan yang dipicu terjadinya gerakan tanah.
Gambar 11. Longsor tipe nendatan pada penggunaan lahan kebun campuran tanpa tegakan tanaman keras di Kp. Cimandala
Pada beberapa titik longsor terlihat adanya pemotongan lereng dalam upaya pembangunan infrasturktur jalan dan pemukiman. Ini terlihat terutama pada kasus longsor di Desa Karang Tengah yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun Landeuh (1), Kp. Wangun Landeuh 2, Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2, dan Kp. Wangun 3. Pembangunan jalan membentuk gawir yang cukup terjal. Pada beberapa gawir memang sudah dilakukan penanaman vegetasi penguat lereng
64
berupa tegakan campuran atau rumpun bambu, tapi karena penanaman tersebut umumnya tidak diikuti pembuatan terasering maka usaha tersebut tidak mampu menahan laju gerakan tanah dan hujan lebat yang melanda wilayah tersebut pada awal Februari 2007 lalu. Apalagi bila terjadi hujan lebat yang disertai angin kencang, maka akar pepohonan tersebut akan ikut bergerak dan menggoyahkan lereng yang terjal. Pemotongan lereng ini selain dapat menambah kemiringan lereng juga beresiko meningkatkan tegangan geser lereng (shear strength) yang menyebabkan kemantapan lereng berkurang. Hal ini menyebabkan lereng menjadi rawan terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor, terutama saat berlangsungnya hujan lebat dalam waktu lama. Pembangunan pemukiman dan jalan yang memotong/memapas lereng juga membuat kestabilan tanah menjadi terganggu sehingga tanah menjadi rentan longsor saat ada sedikit saja pergerakan tanah.
Gambar 12. Jalan yang dibangun tanpa adanya bangunan konservasi pelindung tebing jalan di Kp. Wangun 1
Hal
lain
yang
membuat
kemantapan
lereng
berkurang
dan
menyebabkannya rawan terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor adalah adanya penambangan batuan (batu gunung) pada lereng yang curam. Ini terlihat pada kasus longsor di Kp. Wangun 1 Desa Karang Tengah, Kp. Gunung Batu Kidul Desa Bojong Koneng, dan pada badan jalan menuju Kp. Wangun 3, lihat
65
gambar 12. Penambangan batu tersebut dilakukan pada badan lereng yang memiliki kecuraman masing-masing 57% dan 63%. Penambangan batu ini menjadikan badan lereng bagian bawah menjadi tidak stabil dan rentan gerakan tanah akibat hilangnya tahanan bagian bawah lereng.
Gambar 13. Penambangan batu gunung di Kp. Gunung Kidul(3) dan Kp. Wangun 3
Pada kasus longsor di Kp. Wangun 2 dan Kp. Wangun 3, Desa Karang Tengah, terlihat banyak rembesan air pada tebing dan kaki tebing terutama pada batas antara tanah dan batuan di bawahnya yang kedap air. Ini sangat beresiko terhadap kejadian longsor selanjutnya. Karena ketika tanah sudah jenuh air akibat hujan lebat, dengan medan gelincir yang mendukung dapat menyebabkan terjadinya longsor. Lereng yang rentan terhadap longsor pada umumnya memiliki tutupan vegetasi berupa pepohonan atau tanaman yang berakar serabut seperti singkong, pisang, pandan, dan rimpang-rimpangan pada kebun campuran. Tapi ternyata pada lereng yang ditanami pohon yang massanya besar dengan jarak tanam yang rapat pun tak luput dari potensi terjadinya bencana longsor seperti yang ditemukan pada kasus kejadian longsor di Kp. Legok Banteng (1) Desa Cijayanti. Ini menyebabkan lereng dengan penutupan hanya berupa kebun campuran, semak belukar, atau rumput-rumputan menjadi rawan terhadap kejadian longsor. Hal ini dikarenakan meski tajuk daun tanaman dan penutupan rumput tersebut mampu menghalangi dan mengurangi kekuatan energi kinetik hujan, namun keadaan tersebut menjadi kurang efektif saat terjadinya hujan yang lebat dalam waktu relatif lama. Air hujan tetap dapat meresap ke dalam tanah membuat tanah jenuh
66
air sehingga mengurangi ikatan kohesi tanah dan membuat tanah rentan terhadap gerakan tanah, apalagi jika tanah tersebut berada pada lapisan batuan yang kedap air dan berada pada tingkat kemiringan lereng yang mendukung terjadinya longsor. Namun, tidak semua lahan dengan kondisi miring mempunyai potensi untuk longsor, hal ini tergantung pada karakter lereng terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng terhadap curah hujan. Pola penggunaan lahan untuk persawahan, kebun campuran, tegalan, maupun semak belukar terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat mengakibatkan tanah menjadi gembur yang lambat laun akan mengakibatkan terjadinya gerakan tanah atau kelongsoran. Kondisi litologi/bahan induk yang berupa batuan dan tanah merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya proses gerakan tanah. Dan kandungan air permukaan juga merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya gerakan tanah atau kelongsoran (kecepatannya tergantung dari tekstur dan struktur tanah).
5.3.3
Karakteristik Tanah Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta lokasi kejadian longsor dan
peta tanah tinjau, terdapat 2 jenis tanah yang ditemukan pada lokasi kejadian longsor yaitu jenis tanah gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan, dan jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol. Adapun sebaran ditemukan jenis tanah tersebut terlihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Jenis Tanah di Daerah Penelitian Jenis Tanah
Deskripsi
Lokasi Kejadian Longsor
Persentase Ditemukan
Gabungan
Latosol merupakan jenis tanah
Kp. Cimandala
latosol coklat
Kp. Garungsang Pasir
dan latosol
Kp. Gn. Batu Babakan
kemerahan
Kp. Gn. Batu Kidul (3 kasus) Kp. Curug (4 kasus) Kp. Gombong (2 kasus) Kp. Cikeas (2 kasus) Kp. Legok Banteng (2 kasus)
66,67%
67
Kompleks
Litosol merupakan jenis tanah yang
Kp. Cilaya
33,33%
latosol merah
umumnya berpasir, pada umumnya
Kp. Babakan Ngantai
kekuningan
dengan semakin besarnya ukuran
Kp. Wangun Landeuh (2
latosol coklat
partikel tanah (tekstur kasar), maka
kasus)
kemerahan
akan memiliki tingkat kepekaan
Kp. Wangun 1
dan litosol
bahaya longsoran yang besar
Kp. Wangun 2 Kp. Wangun 3 Kp. Cijayanti
Jumlah
24 kasus
100%
Sumber : Data primer (diolah)
Jenis tanah yang paling luas ditemukan di Kecamatan Babakan Madang adalah jenis gabungan antara latosol coklat dan latosol kemerahan. Tanah latosol merupakan jenis yang memiliki tekstur tanah liat, konsistensi yang gembur dan tetap dari atas sampai bawah, serta struktur lemah sampai gumpal lemah. Tanah ini mempunyai tingkat permeabilitas yang tinggi, sifat tersebut menyebabkannya mempunyai tingkat kepekaan terhadap erosi yang kecil. Adapun keadaan erosi di daerah penelitian berdasarkan Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor, hampir 88 % wilayah daerah penelitian tidak peka terhadap erosi. Sedangkan yang peka terhadap erosi hanya lebih kurang 12%. Sedangkan berdasarkan hasil tumpangsusun peta lokasi kejadian longsor dengan peta kesesuaian lahan, hanya 4 kejadian longsor atau sekitar 16,67 % saja yang terjadi pada wilayah yang peka terhadap erosi yaitu di Kp. Cimandala, Kp. Cijayanti, dan Kp. Legok Banteng (2 kasus),
sedangkan 83,33 % sisanya terjadi pada wilayah tidak peka erosi.
Ketidakpekaan tanah di lokasi penelitian terhadap kejadian longsor didukung dengan nilai erodibilitas atau nilai kepekaan erosi tanah latosol yang sangat kecil hanya sebesar 0,067 sedangkan pada jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan & litosol hanya 0,064, seperti terlihat pada Tabel 27 dan Tabel 28 Namun, menurut Arsyad (1989), indeks erodibilitas yang ditetapkan di laboratorium tidak dapat dimanfaatkan untuk menduga besarnya erosi yang akan terjadinya sebenarnya di lapangan. Suatu tanah yang mempunyai kepekaan rendah mungkin mengalami erosi yang berat jika tanah tersebut terletak pada lereng yang curam dan panjang serta curah hujan dengan intensitas yang selalu tinggi. Sebaliknya suatu tanah yang mempunyai kepekaan erosi yang tinggi,
68
mungkin memperlihatkan gejala erosi yang ringan atau tidak memperlihatkan adanya erosi jika terdapat pada lereng yang landai, dengan tanaman penutup tanah yang baik dan hujan yang tidak berintensitas tinggi.
Tabel 27. Nilai Erodibilitas Tanah pada Lokasi Kejadian Longsor No.
Jenis Tanah
Nilai Erodibilitas (K)
1
Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat
0,067
2
Kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan &
0,064
litosol Sumber: Nilai Erodibilitas Tanah untuk 50 Jenis Tanah di Jawa. Puslitbang Pengairan. Bandung (Wulandary, 2004)
Tabel 28. Kepekaan Erosi Tanah di Indonesia (Hasil Penelitian Lapangan) Kelas
Nilai K
Harkat
1
0,00 – 0,10
Sangat rendah
2
0,11 – 0,20
Rendah
3
0,21 – 0,32
Sedang
4
0,33 – 0,43
Agak tinggi
5
0,44 – 0,55
Tinggi
6
0,56 – 0,64
Sangat tinggi
Sumber : Sitorus (2006)
Menurut Arsyad (1971), beberapa sifat-sifat
tanah lainnya
yang
mempengaruhi bencana longsor adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik, sifat lapisan bawah, kedalaman tanah, dan tingkat kesuburan tanah. Tekstur, struktur tanah, dan kedalaman tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Hampir 85% tanah di wilayah penelitian (sekitar 8344,04 ha) memiliki kedalaman efektif sedang hingga dalam (60 - >90 cm) sehingga kurang peka terhadap erosi. Menurut Arsyad (1989), tanah-tanah yang dalam dan permeable kurang peka terhadap erosi daripada tanah yang permeable tapi dangkal hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Namun, berdasarkan hasil pemerian tanah secara langsung dengan metode uji rasa rabaan diketahui tekstur tanah di lokasi kejadian longsor didominasi tekstur lempung liat
69
pasiran dan tekstur lempung sampai liat. Tekstur tanah lempung liat pasiran ditemukan di 15 lokasi kejadian longsor atau meliputi 62,5 % dari seluruh kejadian longsor dan 9 kasus lainnya (37,5 % kasus) memiliki tekstur tanah lempung sampai liat. Tanah lempung sangat mudah menyerap/meresapkan air hujan terutama dalam kondisi kering. Tanah lempung ini dapat terbentuk dari hasil pelapukan batuan terutama batuan gunung api. Tanah hasil pelapukan batuan gunung api ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah pelapukan tersebut berada di atas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah tersebut menggelincir menjadi longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor. Sedangkan pada kondisi dengan tanah liat, tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Hal ini menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat atau sering disebut sebagai longsor. Longsor bisa disebabkan karena rapuhnya struktur tanah dan terlalu berlebihannya kandungan air tanah tanpa adanya penyerap yang berfungsi sebagai penahan, seperti pepohonan. Tanah yang memiliki tingkat kerapatan tinggi (tidak sarang) akan memiliki tingkat kestabilan yang tinggi pula. Tanah di lokasi kejadian longsor memiliki struktur berupa butiran halus sampai dengan butiran kasar berbentuk granular atau prisma. Tanah-tanah yang berstruktur kersai atau granular ini lebih terbuka dan lebih sarang sehingga akan menyerap air lebih cepat daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Hal ini menyebabkan struktur tanah lebih rapuh akibat tanah yang cepat jenuh air saat terjadi hujan lebat dalam waktu lama yang akhirnya berdampak pada terjadinya longsor.
70
5.3.4 Pergerakan Tanah Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan dengan terjadinya gempa yang memicu gerakan tanah. Menurut masyarakat setempat kejadian longsor didahului dengan terjadinya gerakan tanah. Gerakan tanah ini memicu terjadinya lungsuran material longsor berupa tanah dan batuan yang berasal dari badan lereng perbukitan Gunung Wangun dan Gunung Pancar. Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah di lokasi ini antara lain kondisi lapisan tanah berupa lempung, lempung liat berpasir, hingga liat yang mempunyai sifat mengembang (swelling clay) apabila basah dan menyusut dalam kondisi kering sangat rentan terhadap terjadinya gerakan tanah. Berdasarkan prinsip fisika-kimia lempung, interaksi antara lapisan tipis lempung dan air (clay-water interaction) merupakan fenomena fisika-kimia tanah lempung yang sangat menarik. Masuknya air di antara fraksi lempung atau partikel ikatan silikat lempung tertentu terutama montmorillonite, vermiculite, dan illite, akan menyebabkan membesarnya jarak antar fraksi lempung dan mengakibatkan kenaikan volume tanah atau mengembang
(Hermawan & Tri Endah Utami,
2003). Akibat dari peristiwa gerakan tanah terjadi banyak sekali kerusakan pada bangunan pemukiman penduduk karena terjadinya pergeseran pondasi bangunan berupa retakan-retakan atau patahan yang terlihat jelas pada beberapa kejadian longsor seperti di Kp. Wangun 3 Desa Karang Tengah, Kp. Gunung Batu Kidul, Kp. Curug dan Kp. Cikeas Desa Bojong Koneng, dan Kp. Legok Banteng Desa Cijayanti. Pada kasus longsor di Kp. Gunung Batu Kidul, patahan akibat gerakan tanah ini memanjang hingga menyebabkan 60 rumah rusak ringan hingga rusak berat (hancur). Sedangkan pada kasus longsor di Kp. Curug patahan menyebabkan 8 rumah hancur dan 50 rumah rusak ringan (miring dan sebagainya). Sementara di Kp. Cikeas, patahan menyebabkan sekurang-kurangnya 1 rumah rusak ringan dan 1 rumah rusak berat. Begitu pun longsor yang terjadi di Kp. Wangun 3 Desa Karang Tengah juga dipicu gerakan tanah yang sedikitnya menyebabkan 2 rumah rusak berat akibat retakan dan timbunan material longsor sedangkan di Kp. Legok Banteng Desa Cijayanti patahan yang terjadi memanjang sekitar 2 km ke arah Barat Daya. Patahan atau retakan yang terjadi berkisar antara 10-20 cm.
71
Retakan/patahan yang terjadi kini telah tertutup kembali akibat proses sedimentasi dan infiltrasi air saat hujan. Rekahan besar akibat gerakan tanah
Gambar 14. Rekahan besar akibat gerakan tanah di Kp. Wangun 3
Umumnya kasus longsor dengan patahan akibat gerakan tanah ini berkarakteristik longsor berupa amblesan (subsidence). Adapun terjadinya amblesan pada kejadian longsor tersebut telah membentuk suatu gawir dengan tanah turun sedalam 0,5-4 m. Amblesan atau nendatan ini dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan tanah. Penurunan lapisan tanah ini biasa terjadi secara alami dalam waktu yang lama (lambat). Akan tetapi, proses ini dapat berjalan lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung tanahnya. Akibat beban di atasnya, lapisan tanah ini akan termampatkan dan permukaan tanah di atasnya akan menurun. Pada kasus kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang, terjadinya dengan karakteristik amblesan atau penurunan tanah ini selain dipicu adanya gerakan tanah juga dikarenakan padatnya pemukiman di sekitar lokasi kejadian longsor yang membebani lereng misalnya yang terjadi di Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Curug, dan Kp. Cikeas. Selain itu, pembebanan lereng dapat pula disebabkan adanya tegakan pohon yang berbatang besar dan tinggi dengan kerapatan tinggi yang membebani lereng. Hal ini seperti yang terjadi pada kasus longsor di Kp. Legok Banteng Desa Cijayanti.
72
Amblesan pada kejadian longsor di Kp. Gn. Batu Babakan
Gambar 15. Kondisi gerakan tanah dan amblesan pada kejadian longsor di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug.
Menurut Sutikno (2000), struktur geologi yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring. Berdasarkan interpretasi Peta Geologi Lembar Bogor, daerah penelitian terletak pada wilayah patahan dan sesar (fault) terutama pada kawasan Gunung Pancar dan Gunung Hambalang serta memiliki struktur geologi berupa antiklin dan sinklin yang terdapat pada Formasi Jatiluhur. Selain itu, adanya lapisan batupasir tufaan dan batu lempung dari Formasi Jatiluhur yang kedap air menjadi pemicu terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian, karena lapisan batuan tersebut berperan sebagai bidang lincir gerakan tanah.
73
5.3.5
Curah Hujan Curah hujan merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor. Infiltrasi air
hujan ke dalam lapisan tanah akan melemahkan material pembentuk lereng, sehingga memacu terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi, intensitas dan lamanya hujan berperan dalam menentukan longsor tidaknya suatu lereng. Faktor curah hujan yang berpengaruh terhadap bahaya longsoran adalah besarnya curah hujan, intensitas curah hujan, dan distribusi curah hujan. Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi, selanjutnya sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air (kapasitas infiltrasi). Oleh karena itu, untuk mencegah agar tanah tidak terdispersi, maka perlu adanya vegetasi yang menutupi permukaan tanah, sehingga air yang turun diserap dan disimpan oleh vegetasi tersebut. Pada hari sebelum dan selama kejadian longsor berlangsung, di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor hujan turun dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu mulai pukul 21.00 WIB sampai dengan pagi hari berikutnya. Karena kondisi lahan pada kawasan hutan sudah gundul, maka tenaga potensial yang dihasilkan oleh air hujan semakin besar. Sebelum terjadinya longsor, di Kecamatan Babakan Madang hujan berlangsung lama dan lebat, mencapai 245 mm/hari dan berlangsung lebih dari 6 jam. Keadaan tersebut di luar batas normal dan terbilang tinggi. Curah hujan dapat mempengaruhi kadar air di dalam tanah. Semakin tinggi curah hujan maka kadar air dalam tanah pun tinggi, hal ini menyebabkan kuat geser lereng menurun karena meningkatnya massa tanah akibat tanah jenuh air. Kondisi ini menyebabkan menurunnya nilai kohesi, agregat tanah mudah lepas dan memicu terjadinya gerakan tanah dan longsor. Berdasarkan hasil tumpangsusun peta curah hujan dan peta lokasi kejadian longsor, 19 kasus longsor (79,17 %) berada pada wilayah dengan iklim sedang dengan curah hujan tahunan 2.000 – 2.500 mm/tahun dan 5 kasus lainnya (20,83 %) berada pada wilayah iklim basah dengan curah hujan tahunan 2.500 – 3.000 mm/tahun. Bulan basah pada iklim sedang di daerah penelitian terjadi sekitar 5-6
74
bulan dan bulan keringnya berkisar 3-6 bulan. Sedangkan bulan basah pada iklim basah terjadi 7-9 bulan dengan bulan kering kurang dari 3 bulan. Dominannya bulan basah yang terjadi menjadikan daerah penelitian sering mengalami hujan terutama pada bulan-bulan November-April. Hal inilah yang memicu sering terjadinya peristiwa longsor di daerah penelitian.
5.3.6
Geologi/Batuan Induk Kondisi geologi yang perlu diperhatikan meliputi sifat fisik tanah/batuan,
susunan dan kedudukan batuan, serta struktur geologi. Struktur geologi atau batuan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya longsor. Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta lokasi kejadian longsor dan peta Geologi Kabupaten Bogor diketahui bahwa struktur geologi yang terdapat di 10 lokasi kejadian longsor atau 41,67 % dari keseluruhan kejadian longsor adalah jenis batuan gunung api (Qvk) berupa bongkahan andesit dan breksi andesit dengan banyak sekali fenokris piroksen dan lava basal, sedangkan 14 kasus kejadian longsor lainnya (58,33 %) berstruktur geologi jenis batuan sedimen (Tmj) berupa napal dan serpih lempungan, dan sisipan batu pasir kuarsa (Tabel 29). Tabel 29. Jenis Batuan di Daerah Penelitian Klasifikasi
Jenis Batuan
Deskripsi
Lokasi Kejadian Longsor
Geologis QVK
Persentase Ditemukan
Batuan
Bongkahan andesit dan
Kp.Wangun 2
41,67 %
Gunung Api
breksi andesit dengan
Kp. Curug (4 kasus)
banyak sekali fenokris
Kp. Gombong (2 kasus)
piroksen dan lava basal
Kp. Cikeas (2 kasus) Kp. Cijayanti
Tmj
Batuan
Napal dan serpih
Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp.
Sedimen
lempungan, dan sisipan
Wangun Landeuh (2 kasus), Kp.
batu pasir kuarsa
Wangun 1
58,33 %
Kp. Wangun 3, Kp. Cimandala Kp. Garungsang Pasir, Kp. Gn. Batu Babakan, Kp. Gn. Batu Kidul (3 kasus), Kp. Legok Banteng (2 kasus) Jumlah Sumber : Data primer (diolah)
24 kasus
100%
75
Menurut Wilopo dan Agus (2005), batuan formasi andesit dan breksi merupakan faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air. Sehingga batuan yang bersifat andesit dan breksi tersebut dapat dijadikan sebagai bidang gelincir untuk terjadinya longsor. Dalam keadaan jenuh air pada musim hujan, ditambah dengan tekstur tanah lempung pasiran maka pada daerah yang memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi rawan longsor.
Gambar 16. Penampakan batuan andesit pada lokasi longsor di Kp. Wangun 2
Lereng-lereng di lokasi kejadian longsor pada permukaannya juga tertutup tanah lempung pasiran hasil pelapukan lapisan batu andesit dan breksi andesit. Adapun sifat tanah lempung pasiran ini bersifat plastis dalam kondisi basah atau dapat mengembang. Namun, dalam kondisi kering lapisan tanah ini menjadi pecah-pecah. Oleh karena itu, ketika musim hujan tiba, air hujan cenderung mengalir melalui lereng-lereng curam yang ada di Kecamatan Babakan Madang ini. Namun, selama melalui lereng ini air hujan ini tak dapat meresap lebih dalam karena terhalang oleh batuan andesit. Akibatnya, air hujan akan terakumulasi di sekitar lereng dan akan terus mendorong lapisan tanah lempung yang ada di atasnya hingga terjadilah peristiwa longsor. Faktor tekstur tanah turut berperan sebagai pemicu longsor dalam kaitannya dengan kondisi geologis yang ada. Tanah bertekstur lempung berpasir dan
76
dikombinasikan dengan batuan induk bersifat andesit, basalt, atau breksi, serta dengan kemiringan yang curam, maka akan menjadikan daerah tersebut rawan longsor. Tanah bertekstur pasir berperan dalam meningkatkan infiltrasi tanah. Jika tanah dalam keadaan jenuh air, massa tanah akan menjadi lebih berat. Berdasarkan tumpangsusun peta sebaran geologi dan peta wilayah administratif Kabupaten Bogor tahun 2005 menunjukkan bahwa daerah penelitian juga terletak pada satuan endapan tanah permukaan yang mempunyai daya dukung rendah dan sangat tidak stabil. Jika di atas endapan tanah permukaan tersebut terdapat bangunan atau penggunaan lahan lainnya yang tidak sesuai dengan daya dukung tanahnya maka akan dapat memicu terjadinya gerakan tanah. Gerakan tanah ini dapat berupa longsoran, retakan, dan pergeseran tanah yang terindikasi pada dinding bangunan yang retak maupun amblesan pada lahan atau badan jalan. Kejadian retakan maupun pergerakan yang signifikan ini mempengaruhi
terjadinya
longsoran.
Apalagi
jika
retakan-retakan
hasil
pergerakan tanah tersebut tidak segera ditutupi dengan tanah kembali akan beresiko menyebabkan air masuk ke dalam tanah dan membuat tanah cepat jenuh air sehingga massa tanah menjadi lebih berat dan memicu terjadinya longsor. Selain itu, tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter yang menentukan terjadinya longsor. Batuan dan tanah pelapukan di daerah penelitian tersusun dari breksi vulkanik, tufa breksi, dan lava serta adanya sisipan batupasir serta lempung hitam yang bagian permukaannya telah mengalami pelapukan berupa lempung pasiran-lempung lanauan yang cukup tebal. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir, merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada di atas batuan kedap air pada kemiringan tertentu maka air yang masuk akan tertahan dan tanah pada kemiringan tertentu akan berpotensi menggelincir menjadi longsor Rekapitulasi ditemukannya tiap parameter penyebab terjadinya ongsor di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 30 di bawah ini.
77
Tabel 30. Frekuensi Ditemukannya Variabel-Variabel Penyebab Terjadinya Tanah Longsor Indikator
Jumlah
Persentase
Ditemukan
(%)
16
66,67
8
33,33
Lempung liat berpasir
10
41,67
Lempung s/d liat
14
58,33
Erosi
20
83,33
Tidak Erosi
4
16,67
0-5
7
29,17
5-10
2
8,33
10-15
9
37,5
15-20
-
-
20-25
-
-
25-30
1
4,17
>30
5
20,83
Tegakan Campuran
6
25
Semak Belukar
6
25
Kebun Campuran
8
33,33
Lahan Kosong/Lap. Rumput
4
16,67
Dengan tan. keras
2
8,33
Tanpa tan. keras
22
91,67
Kemiringan
0-8
2
8,34
Lereng
8-15
5
20,83
15-25
5
20,83
25-40
4
16,67
>40
8
33,33
Kondisi
Datar
-
-
Perbukitan
Berombak
1
4,17
Bergelombang
5
20,83
Berbukit
8
33,33
Bergunung
10
41,67
Pernah
14
58,33
Belum pernah
10
41,67
Jalan
12
50
Jenis Tanah
Parameter
Kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan, dan litosol Gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan
Tekstur Tanah
Kondisi Erosi
Ketebalan Tanah
Tutupan Vegetasi
Kebun Campuran
Kejadian Longsor
Tipe Infrastruktur
78
Pemukiman
12
50
Bangunan
Bronjong penahan
3
12,5
Konservasi
Saluran air
1
4,17
Pembuatan teras
1
4,17
Tidak ada
19
79,16
Kering
-
-
Sedang
19
79,17
Basah
5
20,83
Sangat Basah
-
-
Batuan sediment
14
58,33
Batuan gunung api
10
41,67
Nnedatan (Slump)
16
66,67
Penurunan Tanah/Amblesan (Subsidence)
8
33,33
Cuaca
Jenis Batuan
Tipe Longsor
Sumber : Data Primer (diolah)
5.4 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor di daerah penelitian didasarkan kepada model pendugaan kawasan rawan tanah longsor oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/DVMBG (2004). Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor dilakukan dengan cara memberikan bobot atau nilai pada setiap parameter penyebab terjadinya longsor. Pemberian proporsi nilai/pembobotan berbeda pada setiap parameter karena diasumsikan bahwa peranan setiap parameter terhadap terjadinya tanah longsor tidak sama, tergantung keperluan dan permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan analisis dari model pendugaan yang dilakukan Tim DVMBG, diketahui bahwa parameter yang berpengaruh tinggi terhadap terjadinya bencana tanah longsor adalah jumlah curah hujan sehingga proporsi nilainya lebih tinggi dari parameter lainnya. Dari semua faktor-faktor penentu (parameter) kerawanan kejadian tanah longsor didapat suatu persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai kerawanan tanah longsor di suatu kawasan yaitu :
Skor = (30 % x faktor kelas curah hujan) + (20 % x faktor kelas geologi) + (20 % x faktor kelas jenis tanah) + (15 % x faktor kelas penggunaan lahan) + (15 % x faktor kelas lereng)
79
Untuk kejadian longsor di daerah penelitian, setelah dilakukan penghitungan total skor dari seluruh parameter penyebab terjadinya longsor sesuai dengan nilai bobotnya masing-masing, dihasilkan 3 tingkat kerawanan daerah kejadian longsor yaitu daerah dengan tingkat kerawanan longsor rendah, menengah, dan tinggi. Pengkelasan tingkat kerawanan longsor ini berdasarkan pembagian rentangan nilai skor kumulatif ke dalam 3 kelas dengan selang skor (interval) yang sama. Berdasarkan hasil penghitungan total skor untuk seluruh kejadian longsor diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 6,3 untuk kasus longsor di Kp. Gn. Batu Kidul (3) dan skor terendah yaitu 3,75 pada kasus longsor di Kp. Cikeas (1). Sehingga pengkelasan tingkat kerawanan kejadian longsor ditetapkan seperti pada Tabel 31 berikut ini. Tabel 31. Pengkelasan Tingkat Kerawanan Longsor No.
Total Skor
Tingkat Kerawanan Longsor
1
3,75 – 4,5
Rendah
2
4,55 – 5,4
Menengah
3
5,45 – 6,3
Tinggi
Berdasarkan nilai skor kumulatif tiap kasus kejadian longsor diketahui bahwa terdapat 8 kasus yang termasuk ke dalam kejadian longsor dengan tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus dengan tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus dengan tingkat kerawanan rendah. Adapun rincian sebaran daerah kejadian longsor berdasarkan tingkat kerawanannya dapat di lihat pada Tabel 32 sedangkan sebaran ditemukannya tiap parameter pada tiap tingkat kerawanan kejadian longsor di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 32. Daerah Sebaran Tingkat Kerawanan Longsor Tingkat Kerawanan Longsor Tinggi
Menengah
Rendah
1.
Kp. Gn. Batu Kidul (3)
1.
Kp. Legok Banteng (2)
1.
Kp. Garungsang Pasir
2.
Kp. Wangun 3
2.
Kp. Curug (2)
2.
Kp. Curug (3)
3.
Kp. Cimandala
3.
Kp. Cilaya
3.
Kp. Curug (4)
4.
Kp. Babakan Ngantai
4.
Kp. Curug (1)
4.
Kp. Gn. Batu Kidul (2)
5.
Kp. Wangun 1
5.
Kp. Wangun Landeuh (2)
5.
Kp. Gn. Batu Babakan
6.
Kp. Cijayanti
6.
Kp. Cikeas (2)
6.
Kp. Gn Batu Kidul (1)
80
7.
Kp. Wangun 2
7.
Kp. Gombong (1)
7.
8.
Kp. Wangun Landeuh (1)
8.
Kp. Legok Banteng (1)
9.
Kp. Gombong (2)
Kp. Cikeas (1)
Tabel 33. Kondisi Zona Longsor di Daerah Penelitian & Variabel Penyebabnya (DVMBG, 2004) Indikator
Parameter
Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor Longsor Tinggi
Jenis Tanah
Gabungan latosol coklat dan
Menengah
Rendah
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
2
25
7
77.8
7
100
6
75
2
22.2
0
0
latosol kemerahan Kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan, dan litosol Tekstur
Lempung s/d liat
4
50
3
33.3
3
42.9
Tanah
Lempung liat berpasir
4
50
6
66.7
4
57.1
Kondisi
Tidak Erosi
6
75
8
88.9
6
85.7
Erosi
Erosi
2
25
1
11.1
1
14.3
Ketebalan
0-10
1
12.5
4
44.4
7
100
Tanah
11-20
1
12.5
5
55.6
0
0
21-30
3
37.5
0
0
0
0
31-40
3
37.5
0
0
0
0
Tutupan
Tegakan Campuran
0
0
0
0
6
85.7
Vegetasi
Semak Belukar
2
25
4
44.4
0
0
Kebun Campuran
3
37.5
4
44.4
1
14.3
Lahan Kosong/Lap. Rumput
3
37.5
1
11.1
0
0
Kebun
Dengan tan. keras
3
37.5
3
33.3
6
85.7
Campuran
Tanpa tan. keras
5
62.5
6
66.7
1
14.3
Kemiringan
0-8
0
0
0
0
0
0
Lereng
8-15
0
0
2
22.2
2
28.6
15-25
0
0
3
33.3
3
42.9
25-40
1
12.5
3
33.3
0
0
>40
7
87.5
1
11.1
0
0
Kondisi
Datar
0
0
0
0
0
0
Perbukitan
Berombak
0
0
0
0
1
14.3
Bergelombang
0
0
2
22.2
3
42.9
Berbukit
0
0
5
55.6
3
42.9
Bergunung
8
100
2
22.2
0
0
81
Kejadian
Belum Pernah
1
12.5
2
22.2
7
100
Longsor
Pernah
7
87.5
7
77.8
0
0
Tipe
Pemukiman
2
25
3
33.3
7
100
Infrastruktur
Jalan
6
75
6
66.7
0
0
Bangunan
Bronjong penahan
0
0
1
11.1
0
0
Konservasi
Saluran air
1
12.5
0
0
0
0
Pembuatan teras
1
12.5
0
0
0
0
Tidak ada
6
75
8
88.9
7
100
Kering
0
0
0
0
0
0
Sedang
7
87.5
8
88.9
3
42.9
Basah
1
12.5
1
11.1
4
57.1
Sangat Basah
0
0
0
0
0
0
Batuan sediment
6
75
5
55.6
2
28.6
Batuan gunung api
2
25
4
44.4
5
71.4
Cuaca
Jenis Batuan
5.4.1 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Tinggi Berdasarkan hasil pengklasifikasian tingkat kerawanan longsor diketahui bahwa terdapat 8 lokasi yang tergolong ke dalam kejadian longsor dengan tingkat kerawanan tinggi yaitu : Kp. Gn. Batu Kidul (3), Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Wangun Landeuh (1), Kp. Cimandala, dan Kp. Cijayanti atau meliputi 33,3 % dari seluruh kejadian longsor. Seluruh kejadian longsor memiliki tipe longsor berupa nendatan dengan bentuk penampang longsor rotasional (melengkung) menyerupai tapal kuda. Faktor utama penyebab tingkat kerawanan longsor tinggi yang terdapat pada setiap kasus longsor di lokasi tersebut adalah karakter kemiringan lereng curam hingga sangat curam dimana 7 kasus (87,5 %) terjadi pada lokasi dengan tingkat kemiringan lereng sangat curam (43-74%) dan 1 kasus (12,5 %) pada kemiringan lereng curam (31 %) dengan kondisi perbukitan bergunung. Tingginya tingkat kemiringan lereng pada daerah kejadian longsor dipicu pula oleh adanya pembangunan infrastruktur jalan dan pemukiman (rumah) yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng. Terdapat 6 kasus longsor yang terjadi pada daerah dekat jalan yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng, sedangkan 2 kasus lainnya terjadinya pada daerah dengan infrastruktur berupa pemukiman. Selain itu, tingginya tingkat kemiringan lereng juga dikarenakan
82
adanya penambangan batu gunung seperti yang ditemukan pada kasus longsor di Kp. Gunung Kidul (3) dan Kp. Wangun 2. Selain itu hampir di setiap lokasi kejadian longsor tidak terdapat bangunan konservasi yang dapat melindungi lereng dari terjadinya peristiwa longsor. Bangunan konservasi hanya ditemukan pada 2 kasus longsor yaitu di Kp. Wangun 2 berupa saluran air dan di Kp. Wangun Landeuh (1) berupa pembuatan teras pada tebing jalan. Dari segi penggunaan lahannya, kasus longsor yang terjadi pada daerah dengan kondisi penggunaan lahan berupa lahan kosong dan kebun campuran ditemukan masing-masing 3 kasus. Sedangkan 2 kasus lainnya terjadi pada daerah dengan kondisi penggunaan lahan berupa semak belukar. Jenis tanah di lokasi kejadian adalah jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan dan litosol (ditemukan pada 6 kasus) serta jenis tanah gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan (ditemukan pada 2 kasus) yang tidak terlalu peka terhadap erosi, namun jenis batuan berupa batuan sedimen (6 kasus) dan batuan gunung api (2 kasus) yang mudah lapuk membentuk tekstur tanah lempung berpasir sampai dengan liat, menyebabkannya rawan terhadap kejadian longsor. Selain itu, 7 lokasi kejadian longsor tersebut (87,5 %) sebelumnya juga pernah mengalami peristiwa longsor, hal ini menyebabkan daerah-daerah tersebut menjadi lebih rentan terhadap terjadinya longsor. Kerawanan terjadinya kejadian longsor juga disebabkan ketebalan tanah pada daerah tersebut yang relatif tebal berkisar antara 7-40 m. Ini akan memberikan dampak sangat berbahaya yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta lebih besar akibat luasnya daerah kejadian longsor. Hal ini dikarenakan makin tebalnya tanah pada tingkat kelerengan curam sampai sangat curam tanpa penutupan vegetasi yang memadai yang dapat menghujam batuan induk sebagai bidang gelincir ditambah dengan jenis batuan yang relatif peka terhadap terjadinya longsor akan menyebabkan longsor mudah terjadi dengan material longsoran berupa tanah dan batuan yang lebih luas.
5.4.2 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Menengah Terdapat 9 kasus (37,5 %) kejadian longsor yang termasuk ke dalam tingkat kerawanan menengah yaitu kasus longsor di Kp. Legok Banteng (2), Kp. Curug
83
(2), Kp. Cilaya, Kp. Curug (1), Kp. Wangun Landeuh (2), Kp. Cikeas (2), Kp. Gombong (1), Kp. Legok Banteng (1), dan Kp. Gombong (2). Hampir semua kejadian longsor tingkat kerawanan menengah ini memiliki karakteristik longsor tipe nendatan, hanya 1 kasus berupa longsor tipe penurunan tanah (amblesan) yaitu kasus longsor di Kp. Legok Banteng (1). Kejadian longsor tersebut umumnya terjadi pada tingkat kemiringan lereng agak curam hingga curam (13-46 %) pada bentang lahan berbukit hingga bergunung dengan kondisi tipe iklim sedang. Jenis tanah yang paling banyak ditemukan adalah jenis tanah gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan (7 kasus) dan 2 kasus lainnya dengan jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan dan litosol, kedua jenis tanah tersebut kurang peka terhadap erosi. Namun dengan kondisi batuan yang mudah lapuk (batuan sedimen dan gunung api) membentuk tekstur tanah yang umumnya lempung liat berpasir daerah tersebut tetap berpotensi menimbulkan longsor dengan tingkat kerawanan menengah. Adapun kondisi penggunaan lahan yang ditemukan meliputi tegakan campuran, semak belukar, dan kebun campuran yang mayoritas tanpa penanaman tanaman keras. Sebanyak 5 kasus (56 %) terjadi pada daerah dengan tipe infrastruktur jalan dan 4 kasus (46 %) berupa pemukiman dan sebelumnya juga pernah mengalami kejadian longsor.
5.4.3 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Rendah Terdapat 7 kasus kejadian longsor yang termasuk ke dalam tingkat kerawanan rendah yaitu pada Kp. Garungsang Pasir, Kp. Curug (3), Kp. Curug (4), Kp. Gn. Batu Kidul (2), Kp. Gn. Batu Babakan, Kp. Gn Batu Kidul (1), dan Kp. Cikeas (1). Kejadian longsor yang memiliki tingkat kerawanan rendah tersebut umumnya terdapat pada kemiringan lereng datar hingga agak curam (6 – 24 %) pada daerah pemukiman penduduk dengan bentang lahan berombak hingga berbukit. Seluruh kejadian longsor yang terjadi memiliki karakteristik nendatan (amblesan). Tutupan lahan pada tingkat kerawanan rendah ini relatif lebih baik dimana 70 % (5 kasus) kejadiannya terjadi pada lahan dengan penutupan vegetasi berupa tegakan campuran. Selain itu, hampir 86% lokasi kasus longsor tersebut sebelumnya belum pernah mengalami longsor.
84
5.5 Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebab Terjadinya Longsor Pada grafik dalam gambar 17, faktor kelas tanah yang paling berpengaruh terhadap tingkat kerawanan longsor tinggi di Kecamatan Babakan Madang adalah jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol (V2) dengan tekstur tanah lempung liat berpasir (V4) serta ketebalan tanah di atas 20 m (V9 dan V10). Meski kondisi tanah di daerah penelitian hampir 84 % (20 kasus) tidak peka terhadap erosi (V5), namun karena ketiga indikator kelas tanah lainnya berperan dalam memicu longsor, maka potensi terjadinya longsor tetaplah tinggi.
Frekuensi Ditemukan (kasus)
Grafik Pengaruh Faktor Kelas Tanah Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan Babakan Madang 8 7 6 5 4
Tinggi Menegah
3
Rendah
2 1 0 -1
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
V8
V9
V10
Jenis Tanah
Tekstur Tanah
Kondisi Erosi
Ketebalan Tanah
Tinggi
2
6
4
4
6
2
1
1
3
3
Menegah
7
2
3
6
7
2
4
5
0
0
Rendah
7
0
3
4
7
0
7
0
0
0
Gambar 17. Grafik Pengaruh Faktor Kelas Tanah Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan Babakan Madang
Sedangkan untuk faktor kelas penggunaan lahan (Gambar 18) yang memicu tingkat kerawanan longsor tinggi pada kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang adalah tutupan vegetasi berupa semak belukar (V12), kebun campuran (V13), dan lahan kosong (V14). Kondisi kebun campuran yang terutama memiliki kerawanan tinggi terhadap terjadinya longsor adalah kebun campuran yang dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras (V16) dan biasanya hanya
85
berupa tanaman pangan berupa singkong dan pisang. Kondisi tutupan vegetasi seperti itu kurang mampu mendukung kemantapan agregat tanah sehingga struktur tanah akan mudah rapuh terutama saat terjadi hujan lebat dalam waktu lama. Tipe infrastruktur yang paling rawan terhadap kejadian longsor adalah tipe infrastruktur jalan (V18), terutama yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng sehingga meningkatkan tingkat kemiringan lereng yang memang sudah relatif curam. Meski pada beberapa lokasi longsor dengan tingkat kerawanan tinggi terdapat bangunan konservasi berupa saluran air (V19) ataupun adanya pembangunan teras pada tebing (V21), namun karena kondisi bangunan konservasi tersebut tidak memadai ditambah kondisi kelerengan yang curam sampai sangat curam dan curah hujan lebat, membuat beberapa lokasi tersebut tetap rawan terhadap terjadinya longsor. Lokasi dengan kondisi tanpa adanya bangunan konservasi (V22) terutama pada daerah-daerah yang relatif curam tentunya akan lebih mudah menjadi daerah dengan tingkat kerawanan longsor tinggi. Histogram Pengaruh Faktor Kelas Penggunaan Lahan T erhadap T ingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan babakan Madang
Frekuensi Ditemukan (kasus)
8 7 6 5 4 3 2 1 0
V11 V12 V13 V14 V15 V16 V17 V18 V19 V20 V21 V22 T utupan Vegetasi
T inggi
0
2
3
Kebun T ipe Campuran Infrastruktur
3
3
5
2
6
Bangunan Konservasi
0
1
1
6
Menegah
1
4
3
1
3
6
4
5
1
0
0
8
Rendah
5
0
2
0
6
1
6
1
0
0
0
7
Gambar 18. Grafik Pengaruh faktor kelas penggunaan lahan terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang
Dalam Grafik pada Gambar 19 dan Gambar 20 terlihat bahwa kejadian longsor yang terdapat pada daerah dengan kondisi kemiringan lereng curam (V26)
86
sampai dengan sangat curam (V27) dengan bentang lahan yang berbukit (V31) hingga bergunung (V32) dengan jenis batuan sedimen (V34) dan sebelumnya juga pernah memiliki sejarah kejadian longsor (V36), sebagian besar tergolong ke dalam tingkat kerawanan longsor tinggi. Grafik Pengaruh Faktor Kelas Lereng Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan babakan Madang 9
Frekuensi Ditemukan (kasus)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 -1
V23
V24
V25
V26
V27
V28
V29
Kemiringan Lereng
V30
V31
V32
Kondisi Perbukitan
Tinggi
0
0
0
1
7
0
0
0
0
8
Menegah Rendah
0 2
1 3
4 2
3 0
1 0
0 0
0 1
1 4
6 2
2 0
Gambar 19. Grafik Pengaruh faktor kelas lereng terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor Histogram Pengaruh Faktor Kelas Geologi Terhadap Tingkat Kerawanan Longsor di Kecamatan babakan Madang
Frekuensi Ditemukan (kasus)
8 6 4 2 0
V33
V34
V35
Jenis Batuan
V36
Kejadian Longsor
T inggi
2
6
1
7
Menegah
3
6
3
6
Rendah
6
1
6
1
Gambar 20. Grafik Pengaruh faktor kelas geologi terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang
87
Sedangkan berdasarkan Grafik pada gambar 21, kejadian longsor di daerah penelitian baik dengan tingkat kerawanan tinggi, menengah, ataupun tingkat kerawanan rendah umumnya terjadi pada kondisi tipe iklim sedang dengan curah hujan tahunan 2.000-2.500 mm/tahun (V38). Namun karena curah hujan harian aktual saat terjadinya longsor relatif sangat besar 245,5 mm/hari yang merata di seluruh lokasi kejadian longsor, maka longsor sangat potensial terjadi.
Frekuensi Ditemukan (kasus)
Grafik Pengaruh Faktor Kelas Curah Hujan Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan Babakan Madang 8 7
7
6 5
Tinggi
4
4
Menegah
3
3
2
2
1
1
0
0
Rendah
0
Kering
Sedang
Basah
Sangat Basah
Kondisi Cuaca (Curah Hujan)
Gambar 21. Grafik Pengaruh faktor kelas tipe iklim (curah hujan) terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang
Dari uraian di atas diketahui bahwa secara umum parameter yang memicu terjadinya longsor pada daerah penelitian adalah : (1) jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol (V2), (2) tekstur tanah lempung liat berpasir (V4), (3) ketebalan tanah di atas 20 m (V9 dan V10), (4) penutupan vegetasi berupa semak belukar (V12), kebun campuran (V13), dan lahan kosong (V14) dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras (V16),
88
(5) tipe infrastruktur jalan (V18) dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng, (6) kondisi daerah rawan longsor terutama tebing jalan tanpa adanya bangunan konservasi (V22), (7) kondisi kemiringan lereng curam (V26) sampai dengan sangat curam (V27) dengan bentang lahan yang berbukit (V31) hingga bergunung (V32) dengan jenis batuan sedimen (V34) dan sebelumnya juga pernah memiliki sejarah kejadian longsor (V36), serta (8) kondisi tipe iklim sedang dengan curah hujan tahunan 2.000-2.500 mm/tahun (V38). Seluruh parameter terpilih tadi dihimpun dalam 5 faktor utama penyebab terjadinya longsor berikut ini : 1. Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah lempung liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m. 2. Faktor kelas penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar, kebun campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi. 3. Faktor kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam dengan bentuk bentang lahan berbukit-bergunung. 4. Faktor kelas geologi yaitu jenis batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah gerakan tanah longsor di daerah tersebut. 5. Faktor kelas curah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan curah hujan 2.000 – 2.500 mm/tahun Berdasarkan hasil identifikasi kasus-kasus kejadian longsor di daerah penelitian diketahui bahwa jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol meski memiliki kepekaan erosi yang kecil, namun apabila berada pada kondisi lereng curam sampai sangat curam pada bentang lahan berbukit hingga bergunung, areal tersebut tetap akan memiliki potensi besar untuk menjadi longsor. Apalagi dengan kondisi tanah pelapukan yang tebal dengan tekstur lempung liat berpasir yang bersifat mengembang dan sarang air
89
saat terjadinya hujan lebat, serta berada pada satuan batuan induk yang mudah melapuk dan mudah bergerak apabila terjadi pembebanan yang melebihi kemampuan (batuan sedimen/Tmj) maka akan sangat berpotensi untuk mengalami longsor. Kerawanan terhadap terjadinya longsor tersebut akan semakin tinggi apabila banyak aktivitas manusia yang mengganggu keseimbangan alam seperti perambahan hutan menjadi lahan-lahan budidaya tanpa usaha-usaha konservasi, penambangan batu pada tebing curam, dan atau pemotongan lereng dalam pembuatan jalan dan pemukiman. Penutupan vegetasi berpenutupan tajuk jarang dengan perakaran serabut yang tidak dapat menghujam lapisan batuan induk kedap air pun harus diminimalisir, terutama pada lahan-lahan dengan tingkat kecuraman tinggi. Ini dikarenakan, vegetasi berpenutupan tajuk jarang seperti lahan kosong/padang rumput, semak belukar, ataupun kebun campuran tidak mampu menahan laju energi kinetik butir-butir air hujan dengan cukup baik sehingga membuat tingkat infiltrasi air hujan masuk ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menjadi lebih besar. Akibatnya, tanah yang jenuh air pada satuan lereng curam dengan batuan induk kedap air serta penutupan vegetasi dengan perakaran serabut sangat potensial untuk mengalami longsor. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan terhadap terjadinya longsor ini. Salah satunya melalui usaha rekayasa bio-engginering seperti penanaman tanaman keras yang dipadukan dengan tanaman budidaya (kebun campuran) dalam mekanisme agroforestri serta penanaman tanaman keras (pohon) pada lahan-lahan kosong dan semak belukar yang disesuaikan dengan kondisi litologis, kelerengan, geologis, serta ekonomis. Untuk lahan-lahan dengan kondisi lereng curam dan lapisan batuan kedap air dapat ditanami pohon-pohon berakar dalam yang mampu menghujam lapisan kedap air tersebut. Namun perlu diperhatikan pemilihan jenis pohonnya yaitu jenis pohon yang bermassa dan bertajuk ringan sehingga tidak akan menambah beban yang terlalu besar terhadap tanah/lereng yang ditumpanginya. Untuk lereng atau lahan yang lapisan kedap airnya dalam dengan ketebalan tanah yang tinggi dimana akar-akar pepohonan tidak mampu menghujam ke
90
lapisan tersebut, dapat ditanami tegakan atau pohon yang dapat mengurangi intensitas infiltrasi atau masuknya air hujan, yaitu pohon-pohon yang memiliki daya evapotranspirasi tinggi agar air cepat diuapkan oleh tanaman tersebut. Menurut Manan (1976) dalam Dahlan (2004), tanaman yang dapat menguapkan air dengan baik (menguapkan dalam skala sedang sampai tinggi) diantaranya adalah : nangka (Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa, tarum (Indigofera galegoides), sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni (Swietenia spp.), jati (Tectona grandis), Kihujan (Samanes saman) dan lamtoro (Leucaena glauca). Satu hal yang perlu diperhatikan juga dalam penanaman pepohonan pada kondisi lereng seperti disebutkan di atas adalah kerapatan antar pohon yang ditanam harus tidak terlalu rapat agar massa pohon yang membebani tanah/lereng tidak terlalu besar. Untuk menarik minat masyarakat dalam memelihara tegakan-tegakan yang diusahakan dalam rekayasa bio-engginering ini, maka sebisa mungkin lahan-lahan rawan longsor juga ditanami pepohonan yang memiliki nilai ekonomis yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat seperti pohon buah-buahan dan pohon kemiri yang juga direkomndasikan oleh Bank Dunia. Sedangkan pada kawasan lindung, Bank Dunia menyarankan agar ditanami vegetasi atau pohon yang sesuai dengan kondisi setempat seperti akasia, pinus, mahoni, johar, jati, kemiri, dan damar. Untuk daerah berlereng curam di lembah dapat ditanami bambu. (Sitorus, 2006). Rekayasa bio-engginering juga dapat dipadukan dengan rekayasa teknik konservasi tanah dan air seperti dengan membangun saluran air yang baik dan tidak mudah bocor, sehingga air hujan yang menjenuhi tanah dapat dialirkan dengan baik. Ataupun dengan membuat teras-teras seperti teras bangku pada badan-badan lereng yang curam dan pembuatan bronjong pada tebing-tebing jalan dan tebing sungai. Dan satu hal yang juga tidak dapat diabaikan adalah harus dikuranginya atau bahkan dihentikan aktivitas-aktivitas manusia yang benar-benar dapat memicu terjadinya longsor seperti penambangan pada kaki lereng yang curam, pembangunan pemukiman di bawah tebing curam atau pada tebing sungai, dan aktivitas pertanian intensif pada areal curam tanpa melakukan upaya-upaya konservasi.
91
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Kecamatan Babakan Madang ada 2 macam yaitu nendatan (slump) yang terdapat pada 16 kasus (66,7%) dan penurunan muka tanah/amblesan (subsidence) yang terjadi pada 8 kasus longsor (33,3%). Desa Bojongkoneng adalah wilayah yang paling banyak ditemukan kasus kejadian longsor (13 kasus), diikuti Desa Karang Tengah (8 kasus), dan Desa Cijayanti ( 3 kasus). 2. Longsor paling banyak ditemukan pada areal dengan penutupan vegetasi kebun campuran sebanyak 8 kasus atau 33,33%, diikuti semak belukar dan tegakan campuran sebanyak 6 kasus (25%), dan lahan kosong sebanyak 4 kasus (16,7%). 3. Berdasarkan metode pemodelan tingkat kerawanan kejadian longsor DVMBG (2004) diketahui bahwa 8 kasus (33,3 %) kejadian longsor termasuk ke dalam tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus (37,5 %) pada tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus (29,2 %) termasuk ke dalam tingkat kerawanan longsor rendah. 4. Faktor-faktor utama penyebab terjadinya longsor di Kecamatan Babakan Madang yaitu :Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah lempung liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m. Faktor kelas penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar, kebun campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi. Faktor kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam dengan bentuk bentang lahan berbukit-bergunung. Faktor kelas geologi yaitu jenis batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah gerakan tanah longsor di daerah tersebut. Faktor kelas yurah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan
92
curah hujan 2.000 – 2.500 mm/tahun
6.2
Saran 1. Aktivitas penambangan batu gunung pada lokasi-lokasi rawan longsor seperti di Kp. Gunung Batu Kidul (3), Kp. Wangun 1, dan Kp. Wangun 3 harus dikurangi atau bahkan dihentikan karena akan mengganggu kemantapan lereng dan mengurangi daya tahan lereng terhadap terjadinya gerakan tanah. 2. Perlu dilakukan penanaman tegakan keras pada kawasan lahan kosong, padang rumput, dan semak belukar dengan tanaman keras (pohon) yang disesuaikan dengan kondisi fisik kawasannya juga dipadukannya penanaman tanaman keras pada lahan kebun campuran milik masyarakat setempat dalam mekanisme agroforestri. 3. Perlu dilakukan usaha konservasi tanah dan air pada lokasi kejadian longsor tingkat kerawanan tinggi seperti di Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun Landeuh, Kp. Wangun 1 yang berada areal tepi jalan yang memiliki tebing yang curam dengan membuat saluran air yang tahan bocor, bronjong penahan yang kuat, atau dengan pembuatan teras. 4. Retakan dan rekahan yang terjadi akibat gerakan tanah seperti yang terjadi di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug perlu segera ditutupi lagi oleh tanah agar air hujan tidak terlalu cepat menyerap dan menjenuhi tanah kembali sehingga resiko terjadinya longsor dapat dikurangi. 5. Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam mitigasi pencegahan longsor perlu terus dibina dan ditingkatkan. 6. Rencana pemerintah untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal pada kawasan rawan longsor perlu segera direalisasikan untuk mencegah timbulnya korban jiwa pada bencana yang akan datang. 7. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai jenis tanaman atau tutupan vegetasi yang cocok pada daerah kawasan rawan longsor serta efektifitasnya dalam mencegah terjadinya longsor.
DAFTAR PUSTAKA Agus Setyawan, Wahyu Wilopo, Supriyanto Suparno. 2006. Mengenal Bencana Alam Tanah Longsor dan Mitigasinya. http://www.io.ppijepang.org/article.php?1d=196 [10 Jul 2007] Alhasanah, Fauziah. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor Serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2007. Pencegahan Gerakan Tanah Dengan Identifikasi Zona Rentan. http://www.d-infokom-jatim.go.id/news.php?id=11029 [26 Juli 2007] Anwar,H.Z., Suwiyanto, E. Subowo, Karnawati, D., Sudaryanto, Ruslan, M. 2001. Aplikasi Citra Satelit Dalam Penentuan Dareah Rawan Bencana Longsor. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Bandung. Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Asdak, S. 1995. Hidrologi & Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. _______.2003. Faktor Hutan Geomorfologi, dan Anomali Iklim pada Bencana Longsor di Hulu DAS Cimanuk. Hal 39-52 dalam Prosiding Semiloka Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. H. Ramdan (Ed.) Alqaprint Jatinangor. Sumedang. Pemerintah Kabupaten Garut. Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik Peubah Tunggal Menggunakan SIG Studi Kasus Daerah Ciawi-PuncakPacet Jawa Barat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2: 7-16 Jurusan Ilmu Tanah, In Press (April 1999). [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2007. Bogor. Humas Kabupaten Bogor. ____________________. 2003. Kecamatan Babakan Madang Dalam Angka 2003. Kerjasama Kabupaten Bogor dan BPS Kabupaten Bogor. Dahlan, Endes N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota. Bogor. Darsoatmojo, A. Dan Soedradjat, G. M. 2002. Bencana Tanah Longsor Tahun 2001. Year Book Mitigasi Bencana Tahun 2001. Das, B. M. 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis). Diterjemahkan : Endah, N. M. Dan I. B. M. Surya. Jakarta : Erlangga.
Direktorat Geologi Tata Lingkungan. 1981. Gerakan Tanah di Indonesia. Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan Energi. Jakarta. [DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen Bencana Tanah Longsor. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/22/0802.htm [14 Juli 2007] [DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007. Pengenalan Gerakan Tanah. http://www.merapi.vsi.esdm.go.id/?static/gerakantanah/pengenalan.htm [18 Mei 2007] Dwiyanto, JS. 2002. Penanggulangan Tanah Longsor dengan Grouting. Pusdi Kebumian LEMLIT UNDIP, Semarang. Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo. Hermawan dan Tri Endah Utami. 2003. Proses Soil Softening pada Bidang Diskontinuitas: Faktor Utama Longsoran Besar. Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol. 13 No. 1 Mei 2003. Hal 44-51. Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi dan Rekomendasi). Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Karnawati, Dwikorita. 2006. Wilayah yang Tak Pernah Luput Bencana oleh Madina Nusrat. Artikel Internet. http://www.kompas.com/kompascetak/0601/14/Fokus/2360408.htm [13 Jul 2007] Karnawati, D. 2003. Himbauan Untuk Antisipasi Longsoran Susulan. Tim Longsoran Teknik Geologi UGM Yogyakarta. Tidak Diterbitkan. Lillesand, T. M. & R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Litbang Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian di Lahan Pegunungan. http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-II.pdf [13 Juli 2007] Lo, C. P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Mustafril, 2003. Analisis Stabilitas Lereng Untuk Konservasi Tanah dan Air di Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
95
Naryanto, N.S. 2002. Evaluasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Pulau Jawa Tahun 2001. BPPT. Jakarta. Noor, Djauhari. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Paripurno, ET. 2006. Pengenalan Longsor Untuk Penanggulangan Bencana. Di dalam: [UNDP] United Nation Development Program. Pustaka Pelajar dan Oxfam B.G., penerjemah; Purwowidodo. 2003. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan : Mengenal Tanah. Laboratorium Pengaruh Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Rejekiningrum, Popi. 2007. Teknologi Inderaja dan SIG untuk Identifikasi Potensi Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor. Paper Mata Kuliah Teknik Analisis Citra Dijital Untuk Kehutanan. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Rusli, Salim ST. 2007. Waspada Hujan dan Longsor. Jakarta Sangadji, Ismail. 2003. Formasi Geologi, Penggunaan Lahan, dan Pola Sebaran Aktivitas Penduduk di Jabodetabek. Skripsi. Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB. Saptohartono, Endri. 2007. Analisis Pengaruh Curah Hujan Terhadap Tingkat Kerawanan Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bandung [Skripsi]. Bandung. Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral. Institut Teknologi Bandung. Sitorus, Santun R. P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap Sebagai Kontrol Terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Sudrajat, Adjat. 2007. Menunggu Longsor. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2007/112007/16/0901.htm [15 Jan 2008]. Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi. Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut. Suryolelono, K. B. 2005. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Teknik UGM. UGM Press.
96
Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana Alam Gerakan Tanah. Jakarta. _______. 2001. Tanah Longsor Goyang Pulau Jawa. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung. [UNDP] United Nation Development Program. 1992. Introduction of Hazard.. Pustaka Pelajar dan Oxfam B.G., penerjemah; Paripurno ET, editor. Wahyono.2003. Evaluasi Geologi Teknik Atas kejadian Gerakan Tanah di Kompleks Perumahan Lereng Bukit Gombel-Semarang. Kasus Longsoran Gombel, 8 Februari 2002. Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol. 13 No. 1 Mei 2003. Hal 32-43 Wahyu Wilopo, Priyono Suryanto. 2005. Agroforestri Alternatif Model Rekayasa Vegetasi Pada Kawasan Rawan Longsor. J Hutan Rakyat 7 (1) : 1-15 Wulandary, Anna. 2004. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah Terhadap Kondisi Sub DAS Cisadane Hulu Meliputi Aliran Permukaan, Erosi, dan Sedimentasi Mempergunakan Model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model). Skripsi
97
98
Lampiran 1. Rekapitulasi nilai skor parameter penyebab longsor pada tiap kasus longsor di daerah penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Lokasi Longsor
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
V8
V9
V10
V11
V12
V13
Kp. Gn. Batu Kidul (3)
1
2
1
4
4
2
5
5
2
2
4
2
2
Kp. Wangun 3
2
1
1
4
2
2
5
5
2
2
4
2
2
Kp. Cimandala
1
2
2
3
3
2
5
5
2
1
4
2
2
Kp. Babakan Ngantai
2
1
1
3
4
1
5
5
2
2
4
2
2
Kp. Wangun 1
2
1
1
3
3
2
5
5
2
2
4
2
2
Kp. Cijayanti
2
2
2
1
4
1
4
5
1
2
4
3
1
Kp. Wangun 2
2
2
1
4
2
2
5
5
2
1
2
2
1
Kp. Wangun Landeuh (1)
2
1
1
2
3
1
5
5
2
2
3
2
2
Kp. Legok Banteng (2)
1
2
2
2
3
2
3
4
2
1
4
2
2
Kp. Curug (2)
1
2
1
2
4
2
2
3
2
2
4
2
2
Kp. Cilaya
2
1
1
1
3
1
4
5
2
1
4
2
2
Kp. Curug (1)
1
2
1
1
2
2
3
4
2
2
4
3
1
Kp. Wangun Landeuh (2)
2
1
1
2
2
1
5
5
2
2
1
2
2
Kp. Cikeas (2)
1
2
1
1
3
2
3
4
2
1
4
2
2
Kp. Gombong (1)
1
2
1
2
2
2
4
4
1
2
4
2
1
Kp. Legok Banteng (1)
1
2
2
1
1
1
3
4
1
1
4
3
2
Kp. Gombong (2)
1
1
1
2
2
2
4
4
1
2
4
2
1
Kp. Garungsang Pasir
1
2
1
1
3
1
2
3
2
2
4
2
1
Kp. Curug (3)
1
2
1
1
3
1
2
3
1
1
4
3
1
Kp. Curug (4)
1
2
1
1
1
1
1
3
1
1
4
3
2
Total Skor
Kelas Kerawanan Longsor
6.3
Tinggi
6
Tinggi
6
Tinggi
5.95
Tinggi
5.95
Tinggi
5.7
Tinggi
5.55
Tinggi
5.45
Tinggi
5.35
Sedang
5.15
Sedang
5.1
Sedang
5.05
Sedang
5
Sedang
4.95
Sedang
4.9
Sedang
4.8
Sedang
4.7
Sedang
4.45
Rendah
4.4
Rendah
4.15
Rendah
99
21 22 23 24
Kp. Gn. Batu Kidul (2)
1
1
1
1
1
1
3
4
1
1
4
2
1
Kp. Gn. Batu Babakan
1
1
1
1
1
1
3
4
1
1
4
2
1
Kp. Gn. Batu Kidul (1)
1
2
1
1
1
1
2
3
1
1
4
2
1
Kp. Cikeas (1)
1
1
1
1
1
2
1
2
1
1
4
3
1
3.9
Rendah
3.9
Rendah
3.8
Rendah
3.75
Rendah
Keterangan : V1
: Jenis Tanah
V8
: Kondisi Perbukitan
V2
: Tekstur Tanah
V9
: Kejadian Longsor
V3
: Kepekaan Tanah Terhadap Erosi
V10
: Tipe Infrastruktur
V4
: Ketebalan Tanah
V11
: Bangunan Konservasi
V5
: Tutupan Vegetasi
V12
: Tipe Iklim-Cuaca (Curah Hujan)
V6
: Kebun Campuran
V13
: Jenis Batuan
V7
: Kemiringan Lereng
Lampiran 2. Data Parameter Penyebab Longsor di Daerah Penelitian No.
Lokasi Longsor
Tingkat
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
V8
Kerawanan Kp. Gn. Batu Kidul (3)
Tinggi
1 Kp. Wangun 3
2
Tinggi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
liat Berpasir
Erosi
Kompleks latosol merah
Lempung-
Tidak
kekuningan latosol coklat
Liat
Erosi
kemerahan dan litosol
40
Lahan Kosong
Tanpa Tan. Keras
63
Bergunung
40
Semak Belukar
Tanpa Tan. Keras
63
Bergunung
100
Kp. Cimandala
Tinggi
3 Kp. Babakan Ngantai
Tinggi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
latosol kemerahan
liat Berpasir
Kompleks latosol merah
Lempung
kekuningan latosol coklat 4
25
Kebun
Tanpa Tan. Keras
43
Bergunung
Campuran Tidak
30
Lahan Kosong
Dengan Tan. Keras
46
Bergunung
30
Kebun
Tanpa Tan. Keras
57
Bergunung
Erosi
kemerahan dan litosol Kp. Wangun 1
Tinggi
Kompleks latosol merah
Lempung
kekuningan latosol coklat 5
Tidak Erosi
Campuran
kemerahan dan litosol Kp. Cijayanti
Tinggi
6
Kompleks latosol merah
Lempung
kekuningan latosol coklat
liat Berpasir
Erosi
7
Lahan Kosong
Dengan Tan. Keras
31
Bergunung
40
Semak Belukar
Tanpa Tan. Keras
74
Bergunung
15
Kebun
Dengan Tan. Keras
48
Bergunung
Tanpa Tan. Keras
24
Berbukit
Tanpa Tan. Keras
13
Bergelomba
kemerahan dan litosol Kp. Wangun 2
Tinggi
7
Kompleks latosol merah
Lempung
Tidak
kekuningan latosol coklat
liat Berpasir
Erosi
Lempung
Tidak
kemerahan dan litosol Kp. Wangun Landeuh
Tinggi
(1)
Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat
8
Erosi
Campuran
kemerahan dan litosol Kp. Legok Banteng (2)
Menengah
9 Kp. Curug (2)
10
Erosi
Menengah
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Erosi
latosol kemerahan
liat Berpasir
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
liat Berpasir
Erosi
15
Kebun Campuran
12
Lahan Kosong
ng
101
Kp. Cilaya
Menengah
Kompleks latosol merah
Lempung
kekuningan latosol coklat 11
Tidak
10
Erosi
Kebun
Dengan Tan. Keras
33
Bergunung
Campuran
kemerahan dan litosol Kp. Curug (1)
Menengah
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
liat Berpasir
Erosi
Kompleks latosol merah
Lempung-
Tidak
kekuningan latosol coklat
Liat
Erosi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
liat Berpasir
Erosi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
liat Berpasir
Erosi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Erosi
latosol kemerahan
liat Berpasir
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
8
Semak Belukar
Tanpa Tan. Keras
18
Berbukit
13
Semak Belukar
Dengan Tan. Keras
46
Bergunung
10
Kebun
Tanpa Tan. Keras
24
Berbukit
12 Kp. Wangun Landeuh
Menengah
(2) 13
kemerahan dan litosol Kp. Cikeas (2)
Menengah
14 Kp. Gombong (1)
Menengah
15 Kp. Legok Banteng (1)
Menengah
16 Kp. Gombong (2)
Menengah
17
latosol kemerahan Kp. Garungsang Pasir
Rendah
18 Kp. Curug (3)
19
Rendah
Campuran 15
Semak Belukar
Tanpa Tan. Keras
26
Berbukit
10
Tegakan
Dengan Tan. Keras
22
Berbukit
Semak Belukar
Tanpa Tan. Keras
28
Berbukit
Kebun
Dengan Tan. Keras
14
Bergelomba
Campuran Tidak
15
Erosi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
liat Berpasir
Erosi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
liat Berpasir
Erosi
4
Campuran 3
Kebun Campuran
ng Dengan Tan. Keras
9
Bergelomba ng
102
Kp. Curug (4)
Rendah
20 Kp. Gn. Batu Kidul (2)
Rendah
21 Kp. Gn. Batu Babakan
Rendah
22 Kp. Gn. Batu Kidul 23
Rendah
(1) Kp. Cikeas (1)
Rendah
24
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
liat Berpasir
Erosi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung-
Tidak
latosol kemerahan
Liat
Erosi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung-
Tidak
latosol kemerahan
Liat
Erosi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
liat Berpasir
Erosi
Gabungan latosol coklat dan
Lempung
Tidak
latosol kemerahan
3
Tegakan
Dengan Tan. Keras
8
Campuran 3
Bergelomba ng
Tegakan
Dengan Tan. Keras
24
Berbukit
Dengan Tan. Keras
16
Berbukit
Tegakan
Dengan Tan.
11
Bergelomba
Campuran
24Keras
Tegakan
Tanpa Tan. Keras
Campuran 3
Tegakan Campuran
2
1
Erosi
ng 6
Berombak
Campuran
Lampiran 3. Data Parameter Penyebab Longsor di Daerah Penelitian (lanjutan) No.
Lokasi Longsor
Tingkat
V9
V10
V11
V12
V13
Tipe Longsor
Kerawanan 1
Kp. Gn. Batu Kidul (3)
Rawan
Pernah
Jalan
Tidak ada
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
2
Kp. Wangun 3
Rawan
Pernah
Jalan
Tidak ada
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
3
Kp. Cimandala
Rawan
Pernah
Pemukiman
Tidak ada
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
4
Kp. Babakan Ngantai
Rawan
Pernah
Jalan
Tidak Ada
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
5
Kp. Wangun 1
Rawan
Pernah
Jalan
Tidak Ada
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
6
Kp. Cijayanti
Rawan
Belum pernah
Jalan
Tidak ada
Basah
Batuan Gunung Api
Nendatan/Slump
7
Kp. Wangun 2
Rawan
Pernah
Pemukiman
Saluran air
Sedang
Batuan Gunung Api
Nendatan/Slump
8
Kp. Wangun Landeuh (1)
Rawan
Pernah
Jalan
Pembuatan teras
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
103
9
Kp. Legok Banteng (2)
Rawan
Pernah
Pemukiman
Tidak Ada
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
10
Kp. Curug (2)
Potensial
Pernah
Jalan
Tidak ada
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
11
Kp. Cilaya
Potensial
Pernah
Pemukiman
Tidak ada
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
12
Kp. Curug (1)
Potensial
Pernah
Jalan
Tidak ada
Basah
Batuan Gunung Api
Nendatan/Slump
13
Kp. Wangun Landeuh (2)
Rawan
Pernah
Jalan
Bronjong penahan
Sedang
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
14
Kp. Cikeas (2)
Potensial
Pernah
Pemukiman
Tidak ada
Sedang
Batuan Sedimen
PenurunanTanah/Amblesan
15
Kp. Gombong (1)
Rawan
Belum pernah
Jalan
Tidak ada
Sedang
Batuan Gunung Api
PenurunanTanah/Amblesan
16
Kp. Legok Banteng (1)
Stabil
Belum pernah
Pemukiman
Tidak ada
Basah
Batuan Sedimen
Nendatan/Slump
17
Kp. Gombong (2)
Rawan
Belum pernah
Jalan
Tidak ada
Sedang
Batuan Gunung Api
Nendatan/Slump
18
Kp. Garungsang Pasir
Ptensial
Pernah
Jalan
Tidak ada
Sedang
Batuan Gunung Api
Nendatan/Slump
19
Kp. Curug (3)
Stabil
Belum pernah
Pemukiman
Tidak ada
Basah
Batuan Gunung Api
PenurunanTanah/Amblesan
20
Kp. Curug (4)
Stabil
Belum pernah
Pemukiman
Tidak ada
Basah
Batuan Sedimen
PenurunanTanah/Amblesan
21
Kp. Gn. Batu Kidul (2)
Potensial
Belum pernah
Pemukiman
Tidak ada
Sedang
Batuan Gunung Api
PenurunanTanah/Amblesan
22
Kp. Gn. Batu Babakan
Stabil
Belum pernah
Pemukiman
Tidak ada
Sedang
Batuan Gunung Api
PenurunanTanah/Amblesan
23
Kp. Gn. Batu Kidul (1)
Stabil
Belum pernah
Pemukiman
Tidak ada
Sedang
Batuan Gunung Api
PenurunanTanah/Amblesan
24
Kp. Cikeas (1)
Stabil
Belum pernah
Pemukiman
Tidak ada
Basah
Batuan Gunung Api
PenurunanTanah/Amblesan
104
Lampiran 4. Rekapitulasi Ditemukannya Tiap Parameter Penyebab Longsor di Daerah Penelitian Indikator
Parameter
Skor
Frekuensi
Ket.
Ditemukan Jenis Tanah
V1 Gabungan latosol coklat dan latosol
1
16
2
8
V3 Lempung-Liat
1
10
V4 Lempung liat Berpasir
2
14
V5 Tidak Erosi
1
20
V6 Erosi
2
4
V7 (0-10 m)
1
12
V8 (>10 – 20 m)
2
6
V9 (>20 – 30 m)
3
3
V10 (> 30 m)
4
3
V11 Tegakan Campuran
1
6
V12 Semak Belukar
2
6
V13 Kebun Campuran
3
8
V14 Lahan Kosong/Lap. Rumput
4
4
V15 Dengan tanaman keras
1
12
V16 Tanpa tanaman keras
2
12
V17 Pemukiman
1
12
V18 Jalan
2
12
Bangunan
V19Bronjong penahan
1
1
Konservasi Tanah
V20 Saluran air
2
1
dan Air
V21 Pembuatan teras
3
1
V22 Tidak ada
4
21
Kemiringan
V23 0-8%
1
2
Lereng
V24 >8-15%
2
5
V25 >15-25%
3
5
V26 >25-40%
4
4
V27 >40%
5
8
Kondisi
V28Datar
1
0
Perbukitan
V29 Berombak
2
1
V30 Bergelombang
3
5
V31 Berbukit
4
8
V32 Bergunung
5
10
Data Peta
kemerahan V2 Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol Tektur Tanah
Kondisi Erosi
Ketebalan tanah
Tutupan Vegetasi
Kebun campuran
Tipe Infrastruktur
PL
Data Peta
PL
PL
PL
PL
PL
PL
PL
105
Jenis Batuan
V33 Batuan Gunung Api
1
11
V34 Batuan Sedimen
2
13
Sejarah Kejadian
V35 Tidak Pernah
1
10
Longsor
V36 Pernah
2
14
Kondisi Cuaca
V37 Kering
1
0
(curah hujan)
V38 Sedang
2
19
V39 Basah
3
5
V 40 Sangat Basah
4
0
Ket : Data Peta
: Hasil Pengolahan Peta Digital (berbagai layer)
PL
: Pengamatan atau pengujian lapangan
Wa
: Wawancara
Data Peta
Wa
Data Peta