IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KETERLAMBATAN DALAM PENYUSUNAN APBD ( Studi Kasus KabupatenWonosoboTahunAnggaran 2009-2012 ) Kurniawati Mutmainah Fakultas Ekonomi, Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo (UNSIQ)
[email protected] Nanang Agus Suyono Fakultas Ekonomi, Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo (UNSIQ)
[email protected] ABSTRACT The purpose of this study was to identify the factors causing delays in the preparation of the budget in Wonosobo District Government for Fiscal Year 2009-2012. Respondents in this study is the Budget Committee of Parliament, Local Government Budget Team (TAPD), the executive body BAPPEDA, Finance Division Secretariat of Wonosobo, the Legislature of the House of Representatives and members of Wonosobo District Local Government Unit (SKPD) in Wonosobo regency. The total sample of 45 people. Samples were taken by purposive sampling method. Data were analyzed with multiple linear regression method. Research shows that the educational background, performance, executive and legislative relations, and leadership style negative effect on delay budgeting in Wonosobo regency. Keywords : Background Education, Performance, Executiveand Legislative Relations and Leadership Style. PENDAHULUAN Menurut UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, APBD adalah rencana keuangan yang dibuat pemerintah daerah secara tahunan melalui pembahasan dan persetujuan antara DPRD dan pemerintah daerah dan kemudian disahkan dalam peraturan daerah . APBD setiap tahunnya disusun oleh pemerintah daerah dan untuk mendukung penyusunan APBD pemerintah pusat menerbitkan peraturan yang menjadi landasan dalam menyusun APBD. Salah satunya aturan yang diterbitkan tersebut adalah Permendagri 13/2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Berdasarkan aturan tersebut telah diuraikan jadwal dalam menyusun APBD yang berlaku bagi seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Namun, adanya aturan yang berisikan jadwal tersebut belumlah mampu untuk mengatasi fenomena yang tengah terjadi dalam penyusunan APBD di Indonesia. Fenomena tersebut menyorot perhatian publik karena fenomena ini terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia. Fenomena memberikan gambaran adanya keterlambatan dalam penyusunan APBD. Keterlambatan dalam penyusunan APBD ini telah terjadi dalam kurun waktu yang lama, bahkan di masa reformasi banyak pemerintah daerah 1
yang masih terlambat dalam menyusun APBD. APBD yang mengalami keterlambatan dalam penyusunan tersebut merupakan APBD yang terlambat ditetapkan atau disahkan oleh pemerintah daerah bersama DPRD sebelum atau saat 31 Desember. Menurut KPK (Harian Rakyat, 2012) pada tahun 2005 dari 33 provinsi di Indonesia sebagian besar provinsi terlambat dalam mengesahkan APBD, yakni sebanyak 28 provinsi. Lalu sisanya sebanyak 5 provinsi mengesahkan APBD sesuai jadwal, yaitu tidak melebihi 31 Desember. Selain itu, diketahui pula keterlambatan dalam penyusunan APBD juga terjadi di tahun 2009. Berdasarkan data yang diperoleh dari (Seknas Fitra, 2010) dalam salah satu website diketahui bahwa penetapan perda APBD untuk tahun 2009 sebanyak 68,24% atau 348 daerah ditetapkan dalam kurun waktu 1 Januari – 31 Maret. Posisi kedua sebanyak 23,14% atau 118 daerah telah menetapkan APBD sesuai jadwal dan 44 daerah atau 8,63% menetapkan APBD melebihi 31 Maret. Informasi yang tersaji tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia mengalami keterlambatan dalam penyusunan APBD dengan ditandai terlambatnya penetapan perda APBD. Keterlambatan penyusunan APBD telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia dan hal itu telah berlangsung pada kurun waktu yang lama bahkan hingga saat ini. Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu daerah yang tergolong mengalami keterlambatan dalam menyusun APBD khususnya APBD untuk tahun 2009-2012. APBD pada ketiga tahun anggaran tersebut disahkan pada kurun waktu antara 1 Januari – 31 Maret. Selain banyaknya daerah yang mengalami keterlambatan dalam penetapan APBD, adanya keterlambatan APBD dapat memberikan dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan dari keterlambatan dalam penyusunan APBD adalah terlambatnya pelaksanaan program pemerintah daerah yang umumnya sebagian besar pendanaan program tersebut berasal dari APBD. Program yang terlambat dilaksanakan dapat berpengaruh pada pelayanan publik terhadap masyarakat. APBD yang terlambat dalam proses penyusunannya dapat pula berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Hal tersebut terjadi karena ketika APBD terlambat ditetapkan melebihi 31 Desember, maka di masa APBD belum disahkan maka aliran dana dari sektor pemerintah akan terhambat dan itu memberikan pengaruh pada aliran uang atau transaksi di daerah dan pada akhirnya perekonomian daerah turut merasakan dampak dengan adanya kelesuan ekonomi. Data berikut ini menunjukkan keterlambatan penetapan anggaran di Kabupaten Wonosobo : No. APBD Penetapan Penetapan Sebelum / Keterlambatan Saat 1 2009 3 April 2009 31 Desember 2008 3 bulan lebih 2 2010 7 April 2010 31 Desember 2009 3 bulan lebih 3 2011 20 April 2011 31 Desember 2010 3 bulan lebih 4 2012 20 Januari 2012 31 Desember 2011 22 hari Sumber data: Sekretaris Dewan Kabupaten Wonosobo Latar belakang pendidikan dapat mempengaruhi keterlambatan dalam penyusunan APBD. Latar belakang pendidikan menunjukkan kemampuan dan bidang ilmu yang dikuasai oleh seseorang selama menempuh jalur pendidikan formal. Bidang ilmu yang dikuasai oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD hendaknya sejalan dengan kegiatan penganggaran. Oleh karena itu, anggota dari organisasi sektor publik khususnya yang terlibat dalam penyusunan APBD hendaknya memiliki dasar ilmu yang berkaitan dengan sistem penyusunan anggaran. Selain itu latar belakang pendidikan memperlihatkan pula kompetensi dan pemahaman yang dimiliki sumber daya manusia dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Kinerja berpengaruh terhadap keterlambatan dalam penyusunan APBD. Salah satu instrumen penting dalam APBD adalah kinerja. Kinerja menunjukkan tingkat yang dicapai 2
dari pelaksanaan program dan kebijaksanaan untuk mewujudkan visi, misi, sasaran, tujuan dari organisasi sektor publik, sebagaimana dinyatakan BPKP (2005). Kinerja memiliki peran penting karena indikator ini berguna dalam penentuan kinerja yang dicapai dari pelaksanaan APBD dan perlu diingat pula bahwa APBD disusun dengan berbasiskan pada kinerja. Kinerja terdiri dari input, output, efisiensi, kualitas, dan outcome. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan indikator kinerja yang tepat adalah standar pelayanan minimum, ketersediaan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan, kelanjutan program, tingkat inflasi, tingkat efisiensi, kendala di masa akan datang, dan dasar untuk menetapkan prioritas anggaran. Hubungan antara eksekutif dan legislatif juga dapat mempengaruhi keterlambatan dalam penyusunan APBD. Tahapan penyusunan APBD diwarnai dengan hubungan yang tercipta antara eksekutif dan legislatif karena dalam penyusunan APBD kedua pihak tersebut berperan dan menunjukkan kesepakatan maupun kerja sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hubungan yang baik dan selaras dapat mendorong penyusunan APBD yang efektif dan efisien. Namun, bila terjadi sebaliknya hubungan APBD tidak berjalan dengan baik dan dapat berpengaruh buruk pada penyusunan APBD. Salah satu bentuk hubungan yang berpengaruh pada penyusunan APBD adalah hubungan keagenan. Komitmen organisasi dapat berpengaruh terhadap keterlambatan dalam penyusunan APBD. Komitmen adalah bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak di dalam organisasi untuk secara bersama melaksanakan tugas dan fungsi secara baik dalam rangka mewujudkan visi, misi, sasaran, dan tujuan dari organisasi. Pada penyusunan APBD pihakpihak yang terlibat hendaknya memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan penyusunan APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Adanya komitmen memberikan gambaran bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD untuk mengetahui secara jelas visi, misi, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan APBD. Selain itu, melalui komitmen dapat menciptakan motivasi dan kemauan bagi pihak penyusun APBD untuk menyelenggarakan tahapan penyusunan APBD yang lebih baik, efektif, efisien, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Gaya kepemimpinan (leader style) juga dapat mempengaruhi keterlambatan dalam penyusunan APBD. Gaya kepemimpinan (leader style) merupakan cara pimpinan untuk mempengaruhi orang lain atau bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut mau melakukan kehendak pimpinan untuk mencapai tujuan meskipun secara pribadi hal tersebut mungkin tidak disenangi. Gaya kepemimpinan dapat memberikan motivasi bagi pihak penyusun APBD agar penyelenggaraan dalam penyusunan APBD dapat lebih baik. APBD yang terlambat disahkan oleh pemerintah daerah dan DPRD dapat pula memberi peluang munculnya korupsi, sebagaimana dinyatakan KPK (Harian Rakyat, 2012). Peluang korupsi tersebut dapat muncul dikarenakan adanya usaha untuk mengalihkan dana yang tersisa dari pelaksanaan program APBD ke dalam rekening pribadi. Dana yang tersisa berasal dari dana sisa anggaran program yang tidak selesai dilakukan karena terlambat dalam pelaksanaan proses awal. Pengalihan dana ke rekening pribadi tersebut membuka peluang terjadi penyelewengan dana APBD untuk kepentingan pribadi sehingga terjadilah korupsi. Pada akhirnya dampak yang muncul dari keterlambatan penyusunan APBD merugikan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang menjadi motivasi dalam penelitian ini adalah, pertama, belum adanya penelitian yang terkait dengan penyebab keterlambatan dalam penyusunan APBD di wilayah Kabupaten Wonosobo. Kedua, keterlambatan dalam penyusunan APBD telah menjadi salah satu fenomena yang terjadi di sebagian besar wilayah pemerintah daerah Indonesia dan hingga saat ini fenomena tersebut terus terjadi setiap tahunnya. Ketiga, dampak yang ditimbulkan dari adanya keterlambatan 3
APBD dapat pada akhirnya merugikan masyarakat selaku penerima layanan publik dan hal ini bertentangan dengan tujuan pemerintah yang selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah latar belakang pendidikan mempunyai pengaruh terhadap keterlambatan penyusunan APBD ? (2) Apakah kinerja mempunyai pengaruh terhadap keterlambatan penyusunan APBD ? (3) Apakah hubungan eksekutif dan legislatif mempunyai pengaruh terhadap keterlambatan penyusunan APBD ? (4) Apakah komitmen organisasi mempunyai pengaruh terhadap keterlambatan penyusunan APBD ? (5) Apakah gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap keterlambatan penyusunan APBD ? Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh latar belakang pendidikan, kinerja , hubungan eksekutif dan legislatif, komitmen dan gaya kepemimpinan terhadap keterlambatan dalam penyusunan APBD. TELAAH TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ) APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) adalah : rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan peraturan daerah. APBD adalah daftar terperinci mengenai pendapatan dan pengeluaran daerah dalam waktu satu tahun yang telah disahkan DPRD. Menurut Darise (2008), anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau surplus. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan UU nomor 33/2004, APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dengan demikian APBD merupakan alat yang sangat penting dalam lingkungan pemerintah daerah. Dobell dan Ulrich (2002) seperti yang dikutip Latifah (2010), menyatakan bahwa anggaran atau APBD merupakan alat utama pemerintah untuk melaksanakan semua kewajiban, janji, dan semua kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkrit dan terintegrasi dalam tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan dicapai, pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut. Proses Penyusunan APBD Penyusunan APBD merupakan proses penganggaran daerah dimana secara konseptual terdiri atas formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation) dan perencanaan operasional anggaran (budget operasional planning) (Darise, 2008). APBD yang dipresentasikan setiap tahun oleh eksekutif, memberi informasi rinci kepada DPR/DPRD dan masyarakat tentang program-program apa yang direncanakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyat, dan bagaimana program-program tersebut dibiayai (Mardiasmo, 2002). Keterlambatan APBD Keterlambatan APBD merupakan pengesahan APBD oleh yang berwenang (Gubernur untuk APBD tingkat daerah dan Menteri Dalam Negeri untuk tingkat Provinsi) melebihi 4
batas waktu yang telah ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13/2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan, pada tahun 2011 pemerintah pusat menunda penyaluran 25% Dana Alokasi Umum (DAU) pada 19 daerah yang melakukan keterlambatan dalam penyampaian Informasi Keuangan Daerah (IKD). 13 daerah dari total keseluruhan 19 daerah tersebut adalah Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Bireuen, Kota Sabang, Kota Langsa, Kabupaten Batubara, Kabupaten Langkat, Kabupaten Padang Lawas, Kota Bekasi, Kabupaten Jember, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Mappi, Kabupaten Biak Numfor, dan Kabupaten Mamberamo Tengah (MediaIndonesia.com 2011). Bahkan kejadian serupa terjadi pada tahun 2012, Direktorat Jendral Keuangan Daerah menyatakan bahwa dari 524 Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia, baru 339 kabupaten dan kota yang telah mempunyai APBD. Sisanya, 185 kabupaten dan kota belum bisa mencairkan anggaran. Hal itu karena ratusan kabupaten dan kota belum mempunyai APBD. Adapun APBD kabupaten dan kota yang belum disahkan ini tersebar di berbagai provinsi seIndonesia. Yaitu, Nangroe Aceh Darussalam ada 12 APBD, Sumatera Utara (Sumut) ada 21 APBD, Riau ada 9 APBD, Lampung ada 8 APBD, Jawa Barat (Jabar) ada 15 APBD, Jawa Tengah (Jateng) ada 11 APBD, Jawa Timur (Jatim) ada 8 APBD, Nusa Tenggara Timur (NTT) ada 12 APBD, Papua ada 23 APBD, dan Papua Barat ada 8 APBD yang belum disahkan. Adanya keterlambatan APBD ini, tentu memberikan dampak yang negatif terhadap suatu daerah. Salah satu dampak yang akan ditimbulkan adalah terlambatnya pelaksanaan program yang direncanakan oleh pemerintah daerah yang sebagian besar pendanaan program berasal dari APBD dan pada akhirnya berimplikasi pada penyerapan anggaran tersebut. Anggaran yang tidak terserap akibat adanya suatu program yang tidak terlaksana dapat menyebabkan terjadinya korupsi sehingga sangat merugikan masyarakat. Ada beberapa faktor penyebab keterlambatan dalam penyusunan APBD, diantaranya : 1. Latar Belakang Pendidikan Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja bermutu dan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik maka salah satu usaha yang dapat dilakukan yakni dengan program pendidikan. Pelaksanaan pendidikan diarahkan kepada peningkatan keterampilan, pengetahuan serta perubahan sikap atau perilaku kerja karyawan melalui proses belajar yang diharapkan adanya perubahan pada peserta yakni kurang tahu menjadi tahu serta dari sikap dan perilaku negatif menjadi positif dan sebagainya. Pengertian pendidikan menurut Nitisemito ( 1998) : “Pendidikan adalah suatu kegiatan yang bermaksud untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan bagi karyawan, sesuai dengan keinginan dari perusahaan yang bersangkutan. “ Sedangkan menurut Heidjrachman dan Suad Husnan ( 1997 ) : “Pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan.“ Dengan melihat definisi-definisi diatas, maka pendidikan dimaksudkan untuk menambah pengetahuan dan bersifat teoritis. 2.
Hubungan Eksekutif dan Legislatif Pada dasarnya, pemerintah daerah selaku eksekutif (Gubernur, Bupati, atau Walikota dan Perangkat Daerah) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan unsur penyelenggara pemerintah daerah yang mempunyai peran yang sama penting dalam menjalankan pemerintahan (UU RI No. 32 tahun 2004). Dalam 5
penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD, kedua lembaga ini berperan dalam suatu kesepakatan atau kerja sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hubungan yang baik dan selaras serta komunikasi yang lancar dapat menciptakan penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD yang efektif dan efisien. Namun, apabila kondisi yang terjadi adalah sebaliknya yakni hubungan yang terjalin kurang baik dan komunikasi yang tidak efektif akan berpengaruh buruk terhadap ketepatan penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD. 3.
Kinerja Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005) bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kulitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan,misi dan visi organisasi yang teruang dalam strategic planning suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu (Mahsun, Firma dan Heribertus, 2007). Menurut Robbins (2001) kinerja adalah “Performance, how well you do a please of work and activity”. Pengertian ini menunjukkan bahwa kinerja terlihat dariaktivitas seseorang dalam melaksanakan pekerjaan, aktivitas ini menggambarkan bagaimana seseorang berusaha dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan juga merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama.
4.
Komitmen Organisasi Komitmen organisasi diartikan sebagai suatu perpaduan antara sikap dan perilaku. Komitmen organisasi menyangkut tiga sikap yaitu rasa mengidentifikasi dengan tujuan organisasi, rasa keterlibatan dengan tugas organisasi dan rasa kesetiaan kepada organisasi (Trisnaningsih, 2007). Hian Ayu (2010) menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan identifikasi dari kekuatan individu dalam hubungan dengan organisasi yang meliputi nilai-nilai dari tujuan organisasi. Semakin kuat nilai-nilai organisasi yang dipertahankan karyawan dan semakin kuat keinginan karyawan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan juga menunjukkan adanya komitmen organisasi yang tinggi. Vandenberg (Trisnaningsih, 2007) mendefinisikan komitmen sebagai penerimaan karyawan atas nilai-nilai organisasi (identification), keterlibatan secar psikologis (psychological immersion), dan loyalitas (affection attachement). Komitmen merupakan sebuah sikap dan perilaku yang saling mendorong (reinforce) antara satu dengan yang lain. Karyawan yang komit terhadap organisasi akan menunjukkan sikap dan perilaku yang positif terhadap lembaganya, karyawan akan memiliki jiwa untuk tetap membela organisasinya, berusaha meningkatkan prestasi dan memiliki keyakinan yang pasti untuk mewujudkan tujuan organisasi. Seperti yang dikemukakan Sumarno (2005), komitmen organisasi yang kuat akan mendorong individu berusaha keras mencapai tujuan organisasi. Selain itu komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja yang tinggi pula.
6
5.
Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses, perilaku atau hubungan yang membentuk pola tertentu yang menyebabkan suatu kelompok untuk bertindak secara bersama-sama atau bekerja sama sesuai dengan aturan dan atau tujuan bersama (Soedarmayanti, 2007). Konsep gaya kepemimpinan ini menunjukkan adanya kombinasi bahasa, tindakan dan kebijakan tertentu, yang menggambarkan pola yang cukup konsisten yang digunakan oleh pemimpin dalam membantu orang lain/bawahan/kelompoknya dalam mencapai kinerja yang diinginkan bersama (Robbins, 2001). Gibson (1996) mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seorang pimpinan pada saat pimpinan mempengaruhi perilaku bawahannya. Seseorang yang menjalankan fungsi manajemen berkewajiban memengaruhi karyawan yang dibawahinya agar mereka tetap melaksanakan tugas dengan baik, memiliki dedikasi terhadap organisasi dan tetap merasa berkewajiban untuk mencapai tujuan organisasi.
Kerangka Konseptual Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu : Variabel independen yang meliputi latar belakang pendidikan, kinerja, hubungan eksekutif dan kegislatif, komitmen organisasi,serta gaya kepemimpinan. Sedangkan variabel dependennya keterlambatan penyusunan APBD. Latar belakang pendidikan menunjukkan kemampuan dan bidang ilmu yang dikuasai oleh seseorang selama menempuh jalur pendidikan formal. Bidang ilmu yang dikuasai oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD hendaknya sejalan dengan kegiatan penganggaran. Oleh karena itu, anggota dari organisasi sektor publik khususnya yang terlibat dalam penyusunan APBD hendaknya memiliki dasar ilmu yang berkaitan dengan sistem penyusunan anggaran. Selain itu latar belakang pendidikan memperlihatkan pula kompetensi dan pemahaman yang dimiliki sumber daya manusia dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Salah satu instrumen penting dalam APBD adalah indikator kinerja. Indikator kinerja menunjukkan tingkat yang dicapai dari pelaksanaan program dan kebijaksanaan untuk mewujudkan visi, misi, sasaran, tujuan dari organisasi sektor publik, sebagaimana dinyatakan BPKP (2005). Indikator kinerja memiliki peran penting karena indikator ini berguna dalam penentuan kinerja yang dicapai dari pelaksanaan APBD dan perlu diingat pula bahwa APBD disusun dengan berbasiskan pada kinerja. Tahapan penyusunan APBD diwarnai dengan hubungan yang tercipta antara eksekutif dan legislatif karena dalam penyusunan APBD kedua pihak tersebut berperan dan menunjukkan kesepakatan maupun kerja sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hubungan yang baik dan selaras dapat mendorong penyusunan APBD yang efektif dan efisien. Namun, bila sebaliknya hubungan APBD tidak berjalan dengan baik dapat berpengaruh buruk pada penyusunan APBD. Salah satu bentuk hubungan yang berpengaruh pada penyusunan APBD adalah hubungan keagenan. Komitmen organisasi adalah bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak di dalam organisasi untuk secara bersama melaksanakan tugas dan fungsi secara baik dalam rangka mewujudkan visi, misi, sasaran, dan tujuan dari organisasi. Pada penyusunan APBD pihak-pihak yang terlibat hendaknya memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan penyusunan APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Gaya kepemimpinan (leader style) merupakan cara pimpinan untuk mempengaruhi orang lain atau bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut mau melakukan kehendak pimpinan untuk mencapai tujuan organisasi, meskipun secara pribadi hal tersebut mungkin tidak disenangi. Diharapkan dengan gaya kepemimpinan yang baik, dapat 7
memberikan motivasi yang baik bagi pihak penyusun APBD, sehingga penyusunan APBD dapat lebih baik dan tepat waktu. Berdasarkan uraian diatas, maka diajukan model penelitian sebagai berikut : Gambar 1 Model Penelitian LATAR BELAKANG PENDIDIKAN ( X1 ) KINERJA ( X2 ) KETERLAMBATAN PENYUSUNAN APBD (Y)
HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF ( X3 ) KOMITMEN ORGANISASI ( X4 )
GAYA KEPEMIMPINAN ( X5 )
Sumber : Data primer diolah, 2014 METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan Studi Kasus. Pendekatan kualitatif merupakan suatu paradigma penelitian untuk mendiskripsikan peristiwa, perilaku orang atau suatu keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan mendalam dalam bentuk narasi. Studi kasus menurut Kuncoro, M. (2003) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu . Djuharie (2007) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaransasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikuntoro, 2002 ). Populasi dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan metode purposive, yaitu pengambilan 8
sampel berdasar pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sampel dalam penelitian ini adalah Badan Anggaran DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), badan Eksekutif yakni BAPPEDA, Bagian Keuangan Setda Kabupaten Wonosobo, Badan Legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wonosobo dan anggota Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di Kabupaten Wonosobo. Jenis data yang akan diolah dalam penelitian ini bersumber dari data primer maupun sekunder. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket (kuisioner). Kuisioner adalah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui ( Arikuntoro, 2002 ) Jenis dan Sumber Data Data primer dalam penelitian ini berupa informasi yang diperoleh dari hasil wawancara tak terstruktur dengan informan serta hasil observasi yang diperoleh dari pihak pemerintah daerah atau DPRD, sedangkan data sekunder yang dibutuhkan yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah yang di dalamnya mengatur rincian tugas, wewenang, dan fungsi eksekutif dan legislatif serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah yang di dalamnya mengatur kalender penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD. Selain itu, data sekunder juga diperoleh dari buku-buku yang mempunyai hubungan dengan masalah penelitian. Teknik Analisis Data 1. Uji kualitas data a. Uji Validitas Menurut Ghozali (2005) uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut.Uji validitas yang digunakan adalah dengan menghitung korelasi antara skor masing-masing butir pertanyaan dengan total skor setiap konstruknya. b. Uji Reliabilitas Menurut Ghozali (2005), reliabilitas sebenarnya adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.Pengujian reliabilitas berkaitan dengan masalah adanya kepercayaan terhadap instrumen. Suatu instrumen dapat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (konsisten), jika hasil dari pengujian instrumen tersebut menunjukkan hasil yang tepat. Dengan demikian, masalah reliabilitas instrumen berhubungan dengan masalah ketepatan hasil.Uji reliabilitas ini menggunakan reliabilitas konsistensi internal yaitu teknik cronbach alpha. Menurut Nunnally (1967) dalam Ghozali (2006) apabila cronbach alpha dari hasil pengujian >0, 6 maka dapat dikatakan bahwa konstruk atau variabel ini adalah reliabel. 2. Uji Asumsi Klasik. a. Uji Normalitas Data Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Model regresi yang baik seharusnya memiliki distribusi normal. Untuk menguji apakah distribusi data normal dilakukan dengan cara analisis grafik (Ghozali, 2006). 9
b. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen).Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel independen. Untuk melihat ada atau tidaknya multikolinieritas maka dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan lawannya Variance Inflation Faktor (VIF). Apabila nilai VIF < 10 dan nilai tolerance >0, 1 maka tidak terjadi multikolinieritas antar variabel (Ghozali, 2006) c. Uji Heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengematan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas.Untuk melakukan pengujian terhadap asumsi ini dilakukan dengan menggunakan analisis dengan grafik plots. Apabila titik-titik menyebar secara acak baik diatas maupun dibawah angka nol pada sumbu y maka dinyatakan tidak terjadi heterokedastisitas (Ghozali, 2006). 3. Uji Hipotesisi Model yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Uji hipotesis dilakukan dengan program SPSS 17.0 for windows. Persamaan regresinya sebagai berikut: Y = 𝛼 - 𝛽1X1 - 𝛽2X2- 𝛽3X3 – 𝛽4X4- 𝛽5X5 + e Keterangan : Y = keterlambatan penyusunan anggaran 𝛼 = konstanta 𝛽 = koefisien regresi X1 = latar belakang pendidikan X2 = kinerja X3 = hubungan eksekutif legslatif X4 = komitmen organisasional X5 = gaya kepemimpinan e = error Jika koefisien regresi signifikan dan negatif,maka latar belakang pendidikan, kinerja, hubungan eksekutif legslatif, komitmen organisasi dan gaya kepemimpinan memiliki pengaruh negative terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi 0,05. Jika tingkat signifikansi > 0,05 maka hipotesis ditolak, sebaliknya jika tingkat signifikansi < 0,05 maka hipotesis diterima (Ghozali, 2006).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Wonosobo berjarak 120 km dari ibukota Jawa Tengah (Semarang) dan 520 km dari Ibu Kota Negara (Jakarta). Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang terletak pada 70.43’.13” dan 70.04’.40” garis Lintang Selatan (LS) serta 1090.43’.19” dan 1100.04’.40” garis Bujur Timur (BT), dengan luas 98.468 ha (984,68 km2) atau 3,03 % luas Jawa Tengah. Secara administratif Wonosobo berbatasan langsung dengan enam kabupaten, yaitu: 10
a. Sebelah utara
:
Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Batang b. Sebelah timur : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang c. Sebelah selatan : Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kebumen d. Sebelah barat : Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen. Kabupaten Wonosobo memiliki luas 98.468 hektar (984,68 km2) atau 3,03% (persen) dari luas Jawa Tengah dengan komposisi tata guna lahan terdiri atas tanah sawah mencakup 18.696,68 ha (18,99 %), tanah kering seluas 55.140,80 ha (55,99.%), hutan negara 18.909,72 ha (19.20.%), perkebunan negara/swasta 2.764,51 ha (2,80.%) dan lainnya seluas 2.968,07 ha (3,01.%). Visi Kabupaten Wonosobo yang tertuang dalam dalam RPJMD Tahun 2010 - 2015 adalah: ”Wonosobo Yang Lebih Maju Dan Sejahtera”. Lebih maju memiliki pengertian meningkatkan kemajuan pembangunan daerah dibidang sosial, ekonomi, politik dan hukum menuju kemandirian daerah. Kemajuan dibidang sosial diukur dengan kualitas sumberdaya manusia yang tercermin dari sumber daya manusia yang memiliki karakter dan kepribadian bangsa, ahklak mulia, berkualitas, berpendidikan yang tinggi, dengan derajad kesehatan yang baik dan produktivitas yang tinggi. Kemajuan dibidang ekonomi diukur dari kemakmuran yang tercermin dari tingkat pendapatan yang tinggi dan distribusi yang merata. Kemajuan dibidang politik dan hukum diukur dari semakin mantapnya lembaga politik dan hukum yang tercermin dari berfungsinya lembaga politik dan kemasyarakatan sesuai konstitusi, meningkatnya peran aktif masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Lebih sejahtera memiliki pengertian pembangunan daerah bukan hanya untuk kemajuan dan kemandirian, tetapi juga untuk kesejahteraan, yaitu suatu kondisi yang semakin baik dan damai dalam arti, dalam arti semakin adil dan tidak ada kekerasan dalam bentuk apapun. Misi Kabupaten Wonosobo tahun 2010 - 2015 sebagai berikut : a. Melanjutkan praktik pemerintahan partisipatif dan demokratis menuju masyarakat yang lebih sejahtera. b. Meningkatkan kemajuan pembangunan menuju kemandirian daerah c. Meningkatkan pelayanan sosial dasar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. d. Meningkatkan perekonomian daerah yang berbasis pada potensi unggulan daerah. e. Meningkatkan dimensi keadilan dan meniadakan kekerasan dalam semua bidang. Analisis Data 1. Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji Validitas Tabel 1 Uji Validitas Variabel Keterlambatan Penyusunan Anggaran Latar Belakang Pendidikan Kinerja Hubungan Eksekutif Legislatif Komitmen Organisasi Gaya Kepemimpinan
Kisaran Korelasi
Signifikansi Keterangan
0,695**-0,812**
0,000
Valid
0,381**-0,725** 0,433**-0,625**
0,000 0,000
Valid Valid
0,837**-0,909**
0,000
Valid
0,890**-0,979** 0,229**-0,790**
0,000 0,000
Valid Valid
11
Dari table 1, dapat diketahui bahwa semua variabel dinyatakan valid karena korelasi antara masing-masing indikator menunjukkan hasil yang signifikan.
b. Uji Reliabilitas Tabel 2 Uji Reliabilitas Variabel Keterlambatan Penyusunan Anggaran Latar Belakang Pendidikan Kinerja Hubungan Eksekutif Legislatif Komitmen Organisasi Gaya Kepemimpinan
Cronbach Alpha 0,790 0,710 0,671 0,927 0,971 0,831
Keterangan Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Dari tabel 2, dapat diketahui bahwa semua variabel dinyatakan reliabel karena memiliki nilai cronbach alpha > 0,6. 2. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas Data Tabel 3 Uji Normalitas Data One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N Normal Parametersa Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
45 .0000000 2.58061519 .063 .063 -.037 .423 .994
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber: Lampiran 3, 2014 Dari tabel 3, dapat dilihat bahwa hasil perhitungan normalitas dengan menggunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnof Test memiliki probabilitas tingkat signifikansi di atas tingkat kepercayaan 𝛼 = 0,05 yaitu 0,994. Hal ini berarti dalam model regresi terdapat variabel residual atau variabel pengganggu yang terdistribusi secara normal.
12
b. Uji Multikolinearitas Tabel 4 Uji Multikolinearitas
B
S S
Collinearity Statistics Tolerance VIF
Variabel Independen Latar Belakang Pendidikan
0,968
1,033
Kinerja
0,793
1,262
Hubungan Esekutif Legislatif
0,935
1,070
Komitmen Organisasi
0,878
1,139
Gaya Kepemimpinan
0,768
1,302
U
Kesimpulan Tidak Ada Multikolinieritas Tidak Ada Multikolinieritas Tidak Ada Multikolinieritas Tidak Ada Multikolinieritas Tidak Ada Multikolinieritas
Berdasarkan tabel 4 tersebut, terlihat bahwa tidak ada variabel independen yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10. Selanjutnya hasil perhitungan VIF juga menunjukkan hal yang sama yaitu tidak ada satupun variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih besar dari 10. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas antar variabel independen dalam model regresi. c. Uji Heterokedastisitas Grafik 1 Grafik Heterokedastisitas
Dari grafik scatterplots terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokedastisitas pada model regresi.
13
3. Uji U Hipotesis j i H i p Model o 1 t e s i s
Tabel 5 Hasil Pengujian Hipotesis Coefficientsa Unstandardized Coefficients B
(Constant)
Std. Error
31.948
4.522
Latarbelpendd (X1)
-.224
.107
Kinerja (x2)
-.436
hubExLegis (x3) komitOrganisasi (x4) GayaKepem (X5)
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
7.065
.000
-.226
-2.089
.043
.177
-.294
-2.467
.018
-.235
.089
-.290
-2.641
.012
-.284
.082
-.395
-3.479
.001
-.312
.083
-.456
-3.758
.001
a. Dependent Variable: keterPenyAngg
Dari Tabel 5 dapat dibuat persamaan garis regresi: Y = 31.948 – 0,224 X1 – 0,436 X2- 0,235 X3 – 0,284 X4- 0,312 X5 + 2,74105 Berdasarkan persamaan tersebut dapat diperoleh hasil sbb: 1. Latar belakang pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. 2. Kinerja mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan dalam penyusunan APBD. 3. Hubungan eksekutif dan legislatif mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. 4. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. 5. Gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Pengaruh Latar Belakang Pendidikan terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran Tabel 5 menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan berpengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Artinya, semakin baik kemampuan dan bidang ilmu yang dikuasai oleh seseorang selama menempuh jalur pendidikan, maka terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD akan dapat dihindari. Latar belakang pendidikan ini meliputi meliputi latar belakang pendidikan formal dan informal. Dilihat dari latar belakang pendidikan formal diketahui bahwa masih minimnya anggota SKPD ataupun anggota banggar yang memiliki latar belakang pendidikan yang terkait dengan penyusunan anggaran. Disamping itu masih minimnya pendidikan dan pelatihan terkait pengganggaran keuangan daerah yang diikuti oleh tim penyusun APBD juga menjadi penyebab anggaran disusun tidak tepat waktu.
14
2.
Pengaruh Kinerja terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran Tabel 5 menunjukkan bahwa kinerja berpengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Kinerja merupakan tingkat yang dicapai dari pelaksanaan program dan kebijaksanaan untuk mewujudkan visi, misi dan sasaran dari organisasi sektor publik. Artinya, semakin efektif dan efisien kinerja seseorang dalam mencapai pelaksanaan program dan kebijakan maka keterlambatan dalam penyusunan APBD dapat dihindarkan. Namun dalam prakteknya, masih banyak kendala yang muncul diantaranya, kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah daerah untuk menentukan indikator kinerja yang diperlukan dalam APBD, adanya kesulitan untuk menterjemahkan indikator kinerja ke dalam elemen anggaran, serta adanya perubahan peraturan perundangan yang menjadi pedoman penyusunan APBD. Berbagai kendala tersebut yang diduga menjadi penyebab APBD yang disusun tidak tepat waktu.
3.
Pengaruh Hubungan Eksekutif dan Legislatif terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran Tabel 5 menunjukkan bahwa hubungan eksekutif dan legislatif berpengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Artinya, semakin baik dan selaras hubungan antara eksekutif dan legislatif akan dapat mendorong penyusunan APBD yang efektif dan efisien serta tepat waktu. Namun, sebaliknya jika hubungan antara eksekutif dan legislatif APBD tidak berjalan dengan baik dapat berpengaruh buruk pada penyusunan APBD. Salah satu bentuk pengaruh buruk tersebut adalah keterlambatan dalam penyusunan anggaran. Karena APBD disusun oleh 2 pihak yaitu pihak eksekutif dan legislatif, maka perlu adanya hubungan yang baik, komunikasi yang lancar dalam proses penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD yang efektif dan efisien.Namun kenyataan menunjukkan bahwa antara pihak eksekutif dan legislatif belum melakukan komunikasi dan koordinasi secara efektif, serta kurang mampu bekerjasama dalam penyusunan anggaran.Disamping itu masih ditemui adanya kesenjangan informasi antara kedua belah pihak sehingga pembagian dan pendelegasian tugas dalam menyusun APBD belum jelas. Faktor-faktor ini yang diduga menjadi penyebab APBD yang disusun tidak tepat waktu.
4.
Pengaruh Komitmen terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran Tabel 5 menunjukkan bahwa komitmen berpengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Komitmen organisasi adalah bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak di dalam organisasi untuk secara bersama melaksanakan tugas dan fungsi secara baik dalam rangka mewujudkan visi, misi, sasaran, dan tujuan dari organisasi. Pada penyusunan APBD pihak-pihak yang terlibat hendaknya memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan penyusunan APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Namun praktek dilapangan menunjukkan masih kurangnya komitmen dari pihak-pihak penyusun anggaran sehingga APBD yang disusun tidak tepat waktu.
5.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran Tabel 5 menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan anggaran.UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah telah merubah pola hubungan antara pusat dan daerah yang bersifat paternalistik dan sentralistik menjadi hubungan yang bersifat kemitraan dan desentralistik. Ini artinya undang-undang tersebut memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri termasuk diantaranya menyusun APBD yang tepat waktu. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan masih kurangnya komunikasi 15
antara atasan, bawahan maupun rekan kerja sehingga APBD yang disusun tidak tepat waktu. Tabel 6 Pengujian Koefisien Determinasi Model Summaryb R 1
.748a
Adjusted R Square
R Square .559
.503
Std. Error of the Estimate 2.74105
a. Predictors: (Constant), GayaKepem, latarbelpendd, hubExLegis, komitOrganisasi, kinerja b. Dependent Variable: keterPenyAngg
Sumber: lampiran 4, 2014 Pada tabel 6 terlihat bahwa koefisien determinasi menunjukkan nilai Adjusted RSquare sebesar 0,503. Hal ini berarti bahwa 50,3% variasi keterlambatan penyusunan anggaran dapat dijelaskan oleh variasi variabel latar belakang pendidikan, kinerja, hubungan eksekutif legislative, komitmen organisasi dan gaya kepemimpinan. Sedangkan 49.7% dapat dijelaskan oleh variabel lain. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan tabel 5 diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: 1. Latar belakang pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. Dilihat dari latar belakang pendidikan formal diketahui bahwa masih minimnya anggota SKPD ataupun anggota banggar yang memiliki latar belakang pendidikan yang terkait dengan penyusunan anggaran. Disamping itu masih minimnya pendidikan dan pelatihan terkait pengganggaran keuangan daerah yang diikuti oleh tim penyusun APBD juga menjadi penyebab anggaran disusun tidak tepat waktu. 2. Kinerja mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan dalam penyusunan APBD. Semakin efektif dan efisien kinerja seseorang dalam mencapai pelaksanaan program dan kebijakan maka keterlambatan dalam penyusunan APBD dapat dihindarkan. Namun dalam prakteknya, masih banyak kendala yang muncul diantaranya, kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah daerah untuk menentukan indikator kinerja yang diperlukan dalam APBD, adanya kesulitan untuk menterjemahkan indikator kinerja ke dalam elemen anggaran, serta adanya perubahan peraturan perundangan yang menjadi pedoman penyusunan APBD. Berbagai kendala tersebut yang diduga menjadi penyebab APBD yang disusun tidak tepat waktu. 3. Hubungan eksekutif dan legislatif mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. Kenyataan menunjukkan bahwa antara pihak eksekutif dan legislatif belum melakukan komunikasi dan koordinasi secara efektif, serta kurang mampu bekerjasama dalam penyusunan anggaran.Disamping itu masih ditemui adanya kesenjangan informasi antara kedua belah pihak sehingga pembagian dan pendelegasian tugas dalam menyusun APBD belum jelas. Faktor-faktor ini yang diduga menjadi penyebab APBD yang disusun tidak tepat waktu. 4. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. Artinya, semakin tinggi komitmen seseorang terhadap visi, misi, tujuan, dan 16
5.
sasaran yang ingin dicapai maka akan dapat menciptakan motivasi dan kemauan dalam menyusun APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Namun praktek dilapangan menunjukkan masih kurangnya komitmen dari pihak-pihak penyusun anggaran sehingga APBD yang disusun tidak tepat waktu. Gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. Artinya, semakin baik cara memimpin seorang pimpinan akan mempengaruhi penyusunan APBDyang tepat waktu. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan masih kurangnya komunikasi antara atasan, bawahan maupun rekan kerja sehingga APBD yang disusun tidak tepat waktu.
Keterbatasan 1. Jumlah sampel yang masih kecil, hanya meliputi sebagian anggota Badan Anggaran DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), badan Eksekutif yakni BAPPEDA, Bagian Keuangan Setda Kabupaten Wonosobo, Badan Legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wonosobo dan anggota Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di Kabupaten Wonosobo. 2. Koefisien determinasi menunjukkan nilai Adjusted R-Square sebesar 0,503. Ini menunjukkan bahwa masih ada variable-variabel independen lain yang memiliki pengaruh cukup signifikan yang menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD di kabupaten Wonosobo. Saran Kesimpulan yang diperoleh tersebut memberikan implikasi bagi penyusunan APBD terutama dalam kaitannya untuk mengatasi keterlambatan penyusunan APBD di wilayah Kabupaten Wonosobo secara khusus. Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Dapat memperluas obyek penelitian dengan melibatkan seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD. 2. Bagi penelitian berikutnya perlu dikaji lebih mendalam variable-variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini yang kemungkinan mempengaruhi keterlambatan dalam penyusunan APBD seperti ketidakpastian lingkungan, motivasi. 3. Pada tahapan penyusunan APBD selanjutnya membina hubungan yang harmonis dan bersinergi antara eksekutif maupun legislatif perlu dilakukan secara mendalam dan menyeluruh. Kedua belah pihak tersebut harus memahami tujuan dari penyusunan APBD bagi pelaksanaan pemerintahan dan setiap unsur yang terlibat haruslah berkomitmen untuk memberikan yang terbaik dalam penyusunan APBD. 4. Kompetensi dan keahlian SDM harus menjadi perhatian utama bagi pemeritah daerah dalam penyusunan APBD dan dalam kegiatan lainnya. Penempatan pegawai hendaknya didasarkan pada pertimbangan bahwa pihak yang bertugas tersebut memiliki keahlian dan kompetensi terkait dengan tugas dan kegiatan yang harus dilakukan tersebut dengan tujuan pelaksanaan yang efektif dan efisien. Selain itu, dalam proses perekrutan pegawai pendidikan dan keahlian juga turut menjadi faktor utama syarat penerimaan pegawai agar pegawai baru yang diterima sesuai dengan kebutuhan yang diterima organisasi sektor publik. 5. Selain berdasarkan pada pendidikan formal yang sesuai dengan tugas dan kegiatan yang dilakukan, saran lainnya adalah perlunya peran pendidikan informal ditingkatkan lagi sehubungan dengan pelaksanaan penganggaran daerah. Salah satu bentuk peningkatan peran pendidikan informal adalah pemerintah daerah dapat secara mandiri menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan penganggaran keuangan daerah. Hal tersebut dapat menambah kompetensi dan keahlian pihak yang 17
6.
telah berlatar pendidikan terkait penganggaran keuangan daerah serta memberikan tambahan ilmu baru bagi pihak yang belum berkompeten dalam hal tersebut. Faktor-faktor yang telah teridentifikasi tersebut dapat menjadi dasar bagi pihak eksekutif maupun legislatif untuk merancang solusi penyelesaian terhadap permasahan keterlambatan penyusunan APBD khususnya di wilayah Kabupaten Wonosobo.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Syukriy dan Asmara, Jhon Andra. 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di sektor Publik. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. Abdullah. 2011. Keterlambatan APBD: Mengapa? Siapa yang Dirugikan? (Online), (http://syukriy.wordpress.com), diakses 14 Oktober 2013 Afriani, Iyan H.S. 2009. Metode penelitian Kualitatif. (Online), (http://www.penalaranunm.org), diakses 14 Oktober 2014 Ari Kuntoro 2003. Manajemen Penelitian. Edisi Baru, cetakan keenam. Jakarta : Penerbit PT. Rineka Cipta. BPKP.
"Pedoman Penyusunan
.
Anggaran
Berbasis
Kinerja
(Revisi).
Darise, Nurlan. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: PT Indeks Djuharie, O. S. 2001. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis. Disertasi. Bandung : Yrama Widya. Ghozali, Imam.2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gibson James. L, Ivancevich John M dan Donnely James H, Jr. 1996. Organisasi : Perilaku, Struktur dan Proses. Terjemahan. Jilid 1. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. Halim, Abdul dan Abdullah, Syukriy. 2006. Penelitian tentang Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintah Daerah (Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi). Jurnal Akuntansi Pemerintah. (Online), Vol 2, No.4 (http://www.academia.edu), diakses 5 Oktober 2013 Heidjrachman dan Suad Husnan. 1997. Manajemen Personalia. Edisi kedua, BPFE, Yogyakarta Hian Ayu Oceani Wibowo. 2010. Pengaruh Independensi Auditor, Komitmen Organisasi, Gaya Kepemimpinan dan Pemahaman Good Governance terhadap Kinerja Auditor. (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di daerah istimewa Yogyakarta) Jogiyanto. 2008. Pedoman Survei Kuesioner: Mengembangkan Kuesioner, Mengatasi Bias dan Meningkatkan Respon. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, Latifah, P Nurul. 2010. Adakah Perilaku Oportunistik Dalam Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik?Artikel Ekonomi. (Online), Vol 5, No. 2 (http://isjd.pdii.lipi.go.id), diakses 5 Oktober 2013 18
Mahsun, Mohammad, Firma Sulistyowati dan Heribertus A.P.2007. Akuntansi Sektor Publik. Edisi kedua. BPFE : Yogyakarta. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Evaluasi Kinerja SDM. Cetakan Pertama. PT. Refika Aditama, Bandung. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta Micom, 2011. 2 April 2011. Penundaan DAU 25% sebagai sanksi keterlambatan Penyampaian IKD 2011. Moleong, J Lexy. 2008. Metodologi penelitian Kualitatif .Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mudrajad Kuncoro. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta : Penerbit Erlangga. Nordiawan, Deddi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2010 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. Rakyat
Merdeka. 2012. APBD Belum Disahkan Pemerintah (http://djkd.depdagri.go.id), diakses 15 Oktober 2013
Daerah.
(Online),
Ritonga, Irwan Taufiq dan Alam, Mansur Iskandar. 2010. Apakah Incumbent memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD) Untuk Mencalonkan Kembali Dalam Pemilihan Umum kepala Daerah (PEMILUKADA). Simposium Nasional Akuntansi XIII. Purwokerto. Robbins. 2001. Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Edisi Bahasa Indonesia. PT Prenhalindo, Jakarta. Soedarmayanti. 2007. Good Governance danGood Corporate Governance. Bagian Ketiga. CV. Mandar Maju Sumarno, J.2005. Pengaruh komitmen Organisasi dan Gaya Kepemimpinan terhadap Hubungan antara Partisipasi Anggaran dan Kinerja Manajerial (Studi Empiris pada kantor cabang perbankan Indonesia di Jakarta). SNA VIII Solo. Syah, H Rahman. 2007. Hubungan Legislatif dan Eksekutif Daerah Dalam Proses Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Gowa. Menurut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Karya Ilmiah. Makassar: Program Magister ilmu Administrasi STIA LAN Makassar. Taufiq Umar Abdalla. 2010. Penelitian tentang Analisis Kesiapan Administrasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 (Studi Kasus Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta).
19
Trisnaningsih, S. 2003. Pengaruh Komitmen terhadap Kepuasan Kerja Auditor : Motivasi sebagai variabel intervening ( Studi empiris pada Kantor Akuntan Publik di Jawa Timur). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, (6) : 199-216 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Wangi, Chitra Ariesta pandan dan Ritonga, Irwan Taufiq. 2010. Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Keterlambatan Dalam Penyusunan APBD (Studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong Tahun Anggaran 2008-2010). Simposium Nasional Akuntansi XIII. Purwokerto.
20