I. SITUASI DAN KONDISI KESEHATAN DI DAERAH TERTINGGAL
Pembangunan telah memberikan kemajuan berupa peningkatan pendapatan / output perkapita, penurunan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja. Ukuran ukuran makro sektoral belum lengkap untuk melihat secara utuh kemajuan sesungguhnya. Apabila dimensi regional dipertimbangkan dalam ukuran ukuran kemajuan, tampak wujud ketimpangan yang nyata. Kajian Bappenas (2012) antara lain menyimpulkan1 :
“.......fakta menunjukkan bahwa kaitan antara tingkat output perekonomian di suatu wilayah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan sangat lemah.Tingginya kekayaan daerah tidak secara signifikan diikuti oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi pula.Jadi, terdapat kegagalan untuk merefleksikan kekayaan daerah ke dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.Hal ini merefleksikan penduduk asli (indigenous people) tidak merasakan manfaat dari kekayaan daerah yang ada disekitar mereka.Hal ini secara jelas tercermin dari kasus beberapa kabupaten di atas seperti Mimika, Kutai Timur, Sumbawa Barat. Sebagaimana di ketahui, di sekitar enclave pembangunan berbasiskan kelimpahan sumberdaya alam atau kantong-kantong eksploitasi (minyak-gas, pertambangan lainnya, hutan, perkebunan, dan lain lain) ditemukan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dan terlupakan ditengah hiruk-pikuk pengerukan sumberdaya alam di sekitar mereka. Mereka umumnya adalah penduduk asli daerah yang bersangkutan....”
Ukuran ketimpangan dengan menggunakan Indeks Gini pada tahun 2012 sungguh mengejutkan, karena selama 40 tahun terakhir angka gini 0,41 (2012) adalah gambaran ketimpangan tertinggi yang pernah terjadi. Perbedaan perkembangan semakin menciptakan kesenjangan, dan daerah atau kelompok yang tertinggal semakin tertinggal. Ketimpangan yang terjadi semakin menekan daerah daerah yang tertinggal.
Pemerintah KIB II menempatkan daerah tertinggal sebagai prioritas pembangunan 10; dan dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 ditetapkan 183 kabupaten dengan status daerah tertinggal. Daerah tertinggal adalah daerah kebupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk relatif tertinggal. Ukuran ketertinggalan mencakup aspek ekonomi, sumber daya manusia, infrastruktur, kelembagaan dan karakteristik wilayah.
Faktor manusia menjadi penting sebagai subjek dan tujuan pembangunan. Kualitas manusia sejatinya adalah perwujudan potensinya sebagai manusia yang sehat secara fisik, mental dan sosial. Terhalangnya aktualisasi sebagai manusia akan menurunkan kualitas hidup manusia. Dalam sudut pandang ekonomi, misalnya, kualitas yang rendah akan berdampak pada rendahnya produktivitas yang menyebabkan lemahnya daya saing. Rendahnya kualitas manusia antara lain disebabkan oleh derajat kesehatan yang rendah.
Status Kesehatan Kualitas hidup manusia menjadi salah satu indikator yang membedakan antara daerah tertinggal dan tidak tertinggal. Instrumen yang memberikan gambaran itu 1
1
Kajian Analisis Kesenjangan Antar Wilayah, Bappenas, 2012.
pada saat ini dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indeks komposit yang menggambarkan situasi kualitas hidup manusia yang mencakup kesehatan, pendidikan, dan daya beli penduduk. Aspek kesehatan sebagai pembentuk IPM direpresentasikan oleh Angka Harapan Hidup (AHH). Angka harapan hidup adalah suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (dalam tahun) yang akan dicapai oleh penduduk. AHH merupakan gambaran kualitas dari status kesehatan masyarakat karena merupakan dampak dari pembangunan, khususnya kesehatan.
Angka Harapan Hidup (AHH) di daerah tertinggal lebih rendah dibandingkan dengan AHH nasional (Grafik 1 ). Kesenjangan antara AHH Daerah Tertinggal dan Rata Rata Nasional cenderung stagnan, sehingga diperlukan langkah langkah untuk mempercepat peningkatan AHH dengan mengembangkan strategi yang berdampak besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Angka Kematian Ibu (AKI). Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan dan berpengaruh terhadap angka harapan hidup. Dalam hal ini kematian ibu adalah ”Kematian seorang wanita yang terjadi saat hamil atau dalam 42 hari setelah akhir kehamilannya, tanpa melihat usia dan letak kehamilannya, yang diakibatkan oleh sebab apapun yang terkait dengan atau diperburuk oleh kehamilannya atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh insiden dan kecelakaan”.
Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu dengan target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko jumlah kematian ibu. Perkembangan Angka Kematian Ibu (AKI) disajikan pada Grafik 2.2.
Peningkatan AKI pada tahun 2012 secara nasional menimbulkan kecemasan terhadap pencapaian target RPJMN 2010 – 2014 dan MDGs Tahun 2015. Target AKI dalam RJMN 2010-2014 adalah 115 per 100.000 kelahiran hidup dan target MDGs pada tahun 2015 adalah 108 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan AKI nasional tahun 2012 adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup, dan angka ini meningkat tajam dibandingkan dengan AKI tahun 2009. AKI yang tinggi menunjukkan masih lemahnya kebijakan/program yang berdampak langsung dan tidak langsung terhadap ibu hamil.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil mempengaruhi angka kematian ibu, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul seperti pendarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang kejang, aborsi, dan infeksi.
Namun, masih ada faktor lain yang juga cukup penting, misalnya, pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik.
2
Selain masalah medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender, nilai budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah peristiwa alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat perhatian dari masyarakat.
Informasi dari Grafik 2.4 adalah kasus kematian ibu melahirkan di 22 kabupaten tertinggal yang terlaporkan. Terdapat variasi yang relatif besar, misalnya, kasus di Nias Utara yang tercatat 2 kasus kematian ibu melahirkan , sedangkan di Lombok Timur terlaporkan 38 kasus kematian ibu melahirkan. Variasi ini terjadi sejalan dengan jumlah penduduk yang bervariasi. Jika dikonversikan ke AKI, diperoleh AKI Nias Utara adalah 108 per 100.000 kelahiran hidup ada tahun 2012.
KOTAK 1. Intervensi untuk mencegah kematian ibu dilakukan terhadap ketiga jenis determinan.
a. Intervensi yang memberi dampak relatif cepat terhadap penurunan AKI adalah intervensi terhadap pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan obstetri esensial. Peningkatan kemampuan penatalaksanaan komplikasi obstetri secara langsung mencegah kematian perempuan yang mengalami komplikasi sehiangga dengan cepat akan menurunkan angka kematian ibu. b.Intervensi yang ditujukan kepada determinan antara akan memberikan efek pada jangka menengah, misalnya melalui peningkatan gizi serta pendidikan ibu. Peningkatan status gizi ibu memperkecil risiko ibu untuk meninggal jika mengalami komplikasi, sedangkan peningkatan pendidikan ibu akan mempertinggi kesadaran ibu dalam mengenali gejala/ tanda komplikasi secara dini dan mencari pertolongan profesional. c. Intervensi yang diarahkan kepada determinan kontekstual akan memberikan efek pada jangka panjang, misalnya melalui kegiatan pemberdayaan kemitraan dan kemitraan lakilaki perempuan. Dengan demikian perempuan dapat mengambil keputusan terbaik secara lebih mandiri dalam merencanakan kahamilan dan persalinannya.
3
Angka Kematian Bayi (AKB) Dan Balita (AKABA). Angka Kematian Bayi (AKB) adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Indikator ini terkait langsung dengan target kelangsungan hidup anak dan merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal termasuk pemeliharaan kesehatannya. Grafik 2.5 Perkembangan AKB dan Target RPJMN 2009 - 2014 dan MDGs 68 57 46 35
34
32 24
1991 1995 1999 2003 2007 2012 2013 2014 2015
RPJM
Target dalam RPJMN 2009-2014 adalah 24 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan MDGs memiliki target 23 per 1000 kelahiran hidup (lihat grafik 2.5.). Perkembangan capaian indikator AKB sejak tahun 1991 hingga tahun 2012 dapat dilihat dari Grafik 2.5. Kendati mengalami kecenderungan penurunan AKB, namun target RPJMN 2010-2014 dan MDGs begitu berat untuk dicapai. Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab angka kematian bayi, antara lain adalah pelayanan kesehatan, termasuk sarana dan prasarana kesehatan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup bayi. Selain itu, bagi daerah tertinggal khususnya di perdesaan yang masih kelangkaan prasarana dan sarana transportasi seperti jalan yang buruk dan moda transportasi yang buruk, memberikan kontribusi terhadap angka kematian bayi. Faktor penting lain adaah kondisi sosial ekonomi penduduk yang berpendapatan rendah. Tidak saja banyak penduduk miskin, tetapi juga termasuk dalam kelompok rentan.
Tabel 2.1. Angka Kematian Bayi Di Beberapa Daerah Tertinggal, 2012 Jumlah Penduduk (jiwa)
AKB ( Per 1000 Kelahiran Hidup)
Tapanuli Tengah
314.142
7,7
Nias Selatan
294.069
25,0
Kabupaten
4
23
Tabel 2.1. Angka Kematian Bayi Di Beberapa Daerah Tertinggal, 2012 Jumlah Penduduk (jiwa)
AKB ( Per 1000 Kelahiran Hidup)
314.142
7,7
40.884
31,0
Nias Utara
128.533
7,0
Pasaman Barat
374.003
63,0
Oku Selatan
320.290
25,0
Musi Rawas
273.064
12,0
Empat Lawang
230.159
29
Kaur
133.884
3
Seluma
205.984
32
Bengkulu Tengah
105.128
3
Lampung Barat
423.586
1
Sukabumi
2.384.237
42
Garut
2.525.483
282
Bondowoso
7.503.388
191
927.433
4
1.116.745
320
284.903
23
Sabu Raijua
91.870
6
Barito Kuala
282.524
74
Hulu Sungai Utara
209.246
22
Nunukan
140.840
44
Buol
155.763
65
Pangkajene dan Kepulauan
325.239
265
Mamuju Utara
142.075
43
Kabupaten Tapanuli Tengah PakPak Barat
Bangkalan Lombok Timur Sumba Barat Daya
5
Tabel 2.1. Angka Kematian Bayi Di Beberapa Daerah Tertinggal, 2012 Jumlah Penduduk (jiwa)
AKB ( Per 1000 Kelahiran Hidup)
Tapanuli Tengah
314.142
7,7
Majene
151.107
14
86.468
6
203.707
175
63.055
24
Kabupaten
Kepuluan Aru Halmahera Selatan Morotai
II.
Sumber : Berbagai Daerah, 2012
Tabel 2.1. menampilkan angka kematian bayi di daerah tertinggal . Variasi AKB yang ada dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Dihubungan dengan angka kematian ibu (AKI) di atas, terdapat fenomena yang sama. Tingginya AKB di Lombok Timur, Garut, Halmahera Selatan, Pangkep, misalnya, juga diikuti dengan AKI yang tinggi. Sumber Daya Kesehatan
Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Mengikuti pendapat H. Blum, pelayanan kesehatan menjadi determinan penting dalam memajukan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bermutu atau berkualitas berarti tersedianya tenaga kesehatan yang cukup. Mutu pelayanan adalah pemenuhan terhadap suatu standar atau tolak ukur dan pemenuhan terhadap harapan klien. Pengertian mutu atau kualitas layanan kesehatan bersifat multidimensional, yaitu mutu menurut pemakai jasa layanan kesehatan (klien dan keluarganya) dan menurut penyelenggara layanan kesehatan (pihak rumah sakit, dokter serta petugas lainnya) serta menuntut penyandang dana yang membiayai layanan kesehatan (Azwar. 2001).
Tenaga Dokter. Tenaga kesehatan merupakan kunci utama dalam keberhasilan pencapaian pelayanan kesehatan yang bermutu. Tenaga kesehatan memberikan kontribusi hingga 80% dalam keberhasilan pembangunan kesehatan (WHO). Hasil pendataan melalui Potensi Desa 2011 yang dilakukan oleh BPS, terdapat ketimpangan rasio dokter per 2500 penduduk antara nasional, daerah tertinggal dan non tertinggal (Lihat Tabel 2.2.). Terjadinya ketimpangan menyebabkan perbedaan dalam akses dan pelayanan kesehatan yang akan berdampak pada status kesehatan. 6
Tabel 2.2. Perbandingan Jumlah dan Rasio Tenaga Kesehatan Berdasarkan Nasional, Daerah Non Tertinggal dan Daerah Tertinggal, 2011
Lingkup
Jumlah Dokter (orang)
Jumlah Bidan (Orang)
Nasional
45.873
119.793
Daerah Non Tertinggal
40.392
89.453
5.481
30.340
Daerah Tertinggal
Jml Bidan Desa (Orang)
29.198
6.863
Dokter Per 2500 Penduduk
Bidan Per 1000 Penduduk
0,55
0,72
0,62
0,66
0,42
0,82
Jumlah Bidan Desa / Jumlah Desa
0,26
Sumber : Podes, BPS, 2011
Grafik 2.6. memperjelas tentang jumlah keluarga yang dilayani oleh dokter. Di daerah tertinggal 1 orang dokter menangani 2.293 keluarga, sedangkan di daerah non tertinggal 1 orang dokter menangani hampir setengah jumlah keluarga di daerah tertinggal (1.330). Kesenjangan beban kerja ini lebih diperberat dengan kondisi geografis/topografis yang berat, seperti jarak yang jauh antar desa dengan infrstruktur transportasi yang buruk atau bahkan antar pulau.
Selain rasio ketersedian dokter masih menjadi masalah di daerah tertinggal, situasi umum di daerah tertinggal berkaitan dengan status dokter PNS dan PTT. Hasil identifikasi di 26 Kabupaten Tertinggal pada tahun 2012 masih belum menunjukkan perubahan yang berarti. Rata Rata Persentase Dokter Puskesmas di 26 Kabupaten Tertinggal berstatus PTT adalah 48,6. Grafik dibawah ini menampilkan sebagian besar puskesmas di luar jawa diisi oleh dokter dengan status PTT. Situasi ini menciptakan ketidakpastian pelayanan bagi masyarakat bila dokter PTT telah habis masa tugasnya dan penempatan tenaga kesehatan dokter belum tersedia.
Tenaga Bidan. Bidan memiliki peran penting bagi masyarakat perdesaan dalam menangani kehamilan dan persalinan. Tabel 1 di atas menunjukkan jumah dan rasio bidan yang relatif tinggi. Rasio Tenaga Bidan per 1000 penduduk di daerah tertinggal relatif lebih tinggi secara nasional dan daerah non tertinggal. Akan tetapi terdapat masalah sebaran yang tidak merata di daerah tertinggal. Bidan yang menetap di desa dan bekerja sebagai bidan, memiliki rasio yang kecil. Bidan desa di daerah tertinggal hanya 21,2 % dari bidan desa secara nasional. Jumlah desa di daerah tertinggal berdasarkan data PODES 2011 adalah 29.273 desa atau 37,2% dari jumlah desa di Indonesia. Tabel 1 di atas memberi informasi hanya 26 % desa di daerah tertinggal yang telah memiliki bidan.
Dengan melihat Status Bidan berdasarkan PNS dan PTT di 26 daerah tertinggal, pada Tabel 2.3 memberikan informasi persentase bidan berstatus 7
PNS relatif lebih besar. Akan tetapi masih menjadi persoalan berkaitan dengan kualitas bidan dan fungsi fungsinya dalam menjalan peran profesionalnya.
Tabel 2.3. Status Bidan Berdasarkan PNS dan PTT Di 26 Kabupaten Tertinggal 2012 STATUS BIDAN KABUPATEN
8
Total PNS
% PNS
PTT
% PTT
Tapanuli Tengah
222
47,74
243
52,26
465
Nias Selatan
241
92,34
20
7,66
261
Paseman Barat
139
43,44
181
56,56
320
OKU Selatan
110
48,46
117
51,54
227
Empat Lawang
96
73,85
34
26,15
130
Kaur
83
45,36
100
54,64
183
Seluma
181
57,46
134
42,54
315
Bengkulu Tengah
158
53,02
140
46,98
298
Lampung Barat
185
55,06
151
44,94
336
Sukabumi
290
61,31
183
38,69
473
Garut
360
61,86
222
38,14
582
Bondowoso
190
67,86
90
32,14
280
Sumba Barat Daya
84
93,33
6
6,67
90
Sabu Raijua
28
71,79
11
28,21
39
Barito Kuala
215
77,06
64
22,94
279
Kapuas Hulu
129
54,89
106
45,11
235
Buol
31
34,44
59
65,56
90
Pangkajene dan Kepulauan
141
60,78
91
39,22
232
Mamuju Utara
75
53,19
66
46,81
141
Mamuju
100
35,09
185
64,91
285
Majene
84
56,38
65
43,62
149
STATUS BIDAN KABUPATEN
Total PNS
% PNS
PTT
% PTT
Kepulauan Aru
38
12,54
265
87,46
303
Bangkalan
236
59,75
159
40,25
395
Halmahera Selatan
91
40,27
135
59,73
226
Morotai
31
50,00
31
50,00
62
Biak Numfor
165
87,30
24
12,70
189
Sumber : Hasil Identifikasi 26 Kabupaten Tertinggal, KPDT, 2013.
Ketersediaan tenaga kesehatan dinilai efektif dan berhasil bila tingkat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih semakin meningkat sehingga resiko kematian ibu dan bayi berpeluang untuk diatasi. Persalinan dilakukan oleh Tenaga Kesehatan Terlatih di daerah tertinggal ( 183 kab) masih banyak ditangani oleh bukan Tenaga Kesehatan Terlatih. Grafik 2.8. mengungkapkan terdapat 56,04 % persalinan pada tahun 2011 dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. Persalinan yang dilakukan oleh bukan linakes berpeluang besar terjadinya kematian ibu melahirkan dan bayi .
Lebih khusus, persalinan oleh Nakes di perdesaan di Daerah Tertinggal menjadi isu penting karena banyak persalinan masih rendah (52,43%). Bandingkan dengan perdesaan di daerah non tertinggal yang sudah lebih dari 74% persalinannya di tolong oleh tenaga kesehatan terlatih (Tabel 2.4.). Tabel. 2.4 Sebaran Persalinan Ditolong Oleh Tenaga Kesehatan Terlatih Berdasarkan Daerah Tertinggal dan Tertinggal , 2011
Persalinan Nakes Terlatih STATUS DAERAH
9
Perdesaan
Perkotaan
Daerah Tertinggal
52,43%
76,04%
Non Daerah Tertinggal
74,28%
90,7%
10