1
I. PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah
diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1998 telah membawa dampak dalam perkembangan perekonomian nasional baik dalam sektor moneter maupun sektor riil. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menjadi sangat besar pada awal penerapan sistem tersebut. Hal ini membuat meningkatnya derajat ketidakpastian pada aktivitas bisnis dan ekonomi di Indonesia. Banyak faktor, baik yang bersifat non
ekonomi
maupun
ekonomi,
yang
diduga
menjadi penyebab dari
bergejolaknya nilai tukar tersebut. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dollar Amerika merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian Indonesia, karena dampaknya yang luas terhadap makroekonomi agregat, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan tingkat inflasi, oleh karena itu pergerakan nilai tukar selalu menjadi perhatian serius oleh otoritas moneter untuk selalu memantau dan mengendalikannya. Oleh karena itu untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan, bank sentral sebagai otoritas moneter merasa perlu untuk melaksanakan stabilisasi agar dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha, dan pada gilirannya dapat memberikan kemantapan bagi pengendalian perekonomian secara makro (Samiun, 1998). Dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi dibidang moneter, dan sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah
2
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian single objective-nya. Menurut Haryono (2000), Kestabilan nilai rupiah tersebut mencakup pengertian; (1) kestabilan secara internal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi, dan (2) kestabilan secara eksternal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain yang diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain tersebut. Karenanya undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa pengendalian inflasi dan nilai tukar harus dilakukan sebagai suatu paket kebijakan. Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dan lain-lain) sepenuhnya berada diluar pengendalian Bank Indonesia. Namun demikian, pencapaian laju inflasi yang rendah dan stabil melalui kebijakan mo neter bukanlah hal yang sederhana. Adanya ketidakpastian yang tinggi mengenai jenis dan besarnya shock yang dihadapi dimasa mendatang, serta ketidakpastian
mengenai
mekanisme
transmisi
dan
parameter
yang
membentuknya menjadi permasalah utama dalam perumusan kebijakan moneter.
3
Memahami kebijakan moneter merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting karena kebijakan moneter tersebut mempengaruhi variabel – variabel nominal seperti jumlah uang beredar, suku bunga, nilai tukar dan output yang kesemuanya itu kemudian mempengaruhi inflasi dan tingkat aktivitas perekonomian. Semakin besar pengaruh suatu variabel moneter terhadap perilaku perekonomian secara runtun waktu, maka kebijakan moneter akan semakin efektif. Dengan telah ditentukan tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga, maka proses selanjutnya adalah menentukan sasaran antara, apakah menggunakan aggregat moneter ataukah tingkat suku bunga. Kebutuhan akan variabel sasaran antara semakin meningkat, karena instrumen dan sasaran akhir dari suatu kebijakan mo neter tidak memiliki hubungan secara langsung. Hal ini berarti bahwa otoritas moneter tidak memiliki kemampuan langsung untuk mengontrol pencapaian sasaran kebijakan moneter oleh karena itu muncul kebutuhan akan adanya variabel sasaran antara yang memadai untuk melakukan berbagai kebijakan moneter. Sasaran operasional sebaiknya memiliki pengaruh yang lebih dapat diprediksi terhadap sasaran antara yang dipilih. Apabila sasaran antara yang dipilih adalah tingkat suku bunga, maka sasaran operasional yang lebih tepat adalah variabel tingkat suku bunga seperti bunga overnight. Hal tersebut karena suku bunga memiliki ikatan yang sangat kuat antara suku bunga dengan suku bunga lainnya. Sebaliknya apabila sasaran antara yang dipilih adalah aggregat moneter. Maka besaran moneter merupakan sasaran operasi yang tepat. Dengan demikian terdapat beberapa variabel yang dapat dijadikan sebagai besaran antara kebijakan moneter seperti uang beredar, kredit domestik, pendapatan nominal, tingkat inflasi, nilai tukar dan suku bunga. Berkaitan dengan pemilihan sasaran
4
antara, terdapat suatu fitur utama dari strategi kebijakan moneter yakni nominal anchor. Nominal anchor adalah suatu variabel nominal yang dipergunakan oleh pembuat kebijakan sebagai sasaran antara untuk mencapai sasaran akhir. Pada tahun 1999 hingga sekarang, Bank Indonesia mulai menentapkan suatu kerangka Inflation targetting di Indonesia. Inflation targetting adalah kebijakan moneter dengan menjadikan inflasi sebagai sasaran tunggal atau sasaran akhir. Maksud dari Inflation targetting adalah bahwa Bank Indonesia mempunyai tujuan tunggal yaitu mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil sehingga diharapkan dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Disisi lain, framework inflation targetting yang bersifat forward looking, mensyaratkan kemampuan bank sentral untuk memprediksi perkembangan inflasi kedepan. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi dan analisis terhadap sejumlah indikator yang paling dominan (the best indicator) mempengaruhi tingkat inflasi kedepan. Berdasarkan hasil studi Yuda Agung (2002), nilai tukar merupakan the best indicator. Nilai tukar memberikan efek langsung terhadap inflasi oleh karena itu volatilitas nilai tukar merupakan salah satu tantangan utama bagi Indonesia yang menjalankan kebijakan inflation targetting. Tingkat inflasi yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional diantaranya dapat menurunkan daya beli masyarakat berpendapatan tetap dan rendah, dapat menurunkan gairah investor untuk berinvestasi, dapat menimbulkan alokasi sumber daya yang tidak efisien dan lain sebagainya. Inflasi ini tidak hanya berasal dari faktor dalam negeri (internal pressure) namun juga faktor luar negeri (external pressure), faktor eksternal dapat bersumber dari kenaikan harga-harga komoditi diluar negeri (world price)
5
maupun dari fluktuasi nilai tukar misalnya dengan adanya depresiasi rupiah akan mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih mahal didalam negeri. Perkembangan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir terutama setelah terjadinya krisis keuangan pada tahun 1997 di tandai dengan terjadinya depresiasi rupiah yang sangat besar sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Dari gambar dibawah terlihat bahwa nilai tukar Indonesia sejak pertengah tahun 1997 diwarnai dengan gejolak yang sangat tajam dan disertai dengan tekanan depresiasi yang sangat kuat. Menyebarnya pengaruh krisis nilai tukar di Thailand ke negaranegara
ASEAN
lainnya
termasuk
Indonesia
menyebabkan
merosotnya
kepercayaan asing terhadap Indonesia sehingga terjadi pelarian modal ke luar negeri. Akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia.
16000
Rp/Dollar US
14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 Tahun 0 1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Sumber : Bank Indonesia 2006
Exchange Rate
Gambar 1. Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember Tahun 2006
6
Selain itu memburuknya kondisi fundamental ekonomi dalam negeri dan munculnya krisis kepercayaan terhadap perbankan juga menjadi pemicu utama merosotnya rupiah hingga menembus batas atas kisaran intervensi Bank Indonesia yang menyebabkan semakin maraknya kegiatan spekulatif, semakin kuatnya tekanan terhadap rupiah menyebabkan pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem mengambang bebas. Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah terlihat semakin bergejolak hingga me ncapai titik terendah Rp. 15 000 per US$ pada bulan Juni 1998, Meskipun kemudian mulai bergerak menguat kembali karena adanya bantuan finansial dari International Monetary Fund dan lembaga internasional lain serta mulai membaiknya kondisi makro ekonomi, namun kondisinya masih sangat rawan terhadap berbagai sentimen negatif dipasar. Pada tahun 1999 Indonesia melakukan Pemilihan Umum. Gejolak nilai tukar selama periode tersebut cenderung apresiatif. Nilai tukar rupiah dari Januari sebesar Rp 8 000/US$ menguat terus hingga mencapai Rp 6 500/US$. Setelah itu nilai tukar mengalami depresiasi yang cukup besar pada akhir tahun 1999 hingga tahun 2000. Fluktuasi nilai tukar rupiah yang tajam mempunyai dampak yang luas terhadap kondisi perekonomian. Hal tersebut juga mempengaruhi kebijakan moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia mengingat dampak pergerakan nilai tukar terhadap inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung (direct and indirect pass-through effect). Secara implisit undang-undang memerintahkan agar Bank Indonesia melalui kebijakan moneternya mengusahakan pencapaian sasaran inflasi yang rendah dan stabil. Selaras dengan tujuan tersebut, maka stabilisasi inflasi dalam
7
jangka panjang merupakan agenda utama yang perlu diupayakan secara sungguhsungguh oleh Bank Indonesia hal tersebut bertolak dari argumen bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil akan meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2. 150
index
140 130 120 110 100 90 80 Tahun
70 99
00
01
Sumber : Bank Indonesia 2006
02
03
04
05
06
CPI
Gambar 2. Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari Tahun 1999 - Desember Tahun 2006 Framework inflation tergetting yang diterapkan, masih menggunakan besaran moneter sebagai sasaran antara, dalam praktek, sasaran inflasi yang diumumkan tersebut digunakan untuk menghitung target uang primer dengan menggunakan quantity theory of money (MV=PY) secara spesifik implementasi kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan dengan menetapkan sasaran operasional, yaitu uang primer dan mengendalikan jumlah uang beredar (M1 dan M2)
sebagai
sasaran
antara.
Langkah
selanjutnya
adalah
mengamati
perkembangan indikator-indikator yang memberikan tekanan terhadap tingkat harga dan nilai tukar rupiah melalui piranti instrumen moneter seperti operasi
8
pasar terbuka (OPT)
penentuan tingkat diskonto dan penetapan Giro Wajib
Minimum bagi perbankan (Haryono, 2000). Berkaitan dengan penawaran uang, otoritas moneter melalui instrumen kebijakan moneter mempunyai kekuasaan dalam mengendalikan jumlah uang beredar, kebijakan moneter yang ekspansif, menyebabkan tingkat inflasi domestik meningkat dan jumlah uang beredar meningkat, selanjutnya nilai tukar rupiah mengalami penurunan sedangkan berkaitan dengan permintaan uang pendapatan dan tingkat bunga merupakan faktor yang mempengaruhui nilai tukar. Aktivitas ekonomi domestik yang meningkat dapat menyebabkan permintaan uang domestik meningkat dan selanjutnya rupiah menguat sementara kenaikan dalam tingkat bunga menyebabkan jumlah uang beredar menurun dan selanjutnya tingkat inflasi domestik menurun. Studi dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai tukar dan inflasi selama periode tahun 1999-2006 dimana model yang lebih tepat untuk ini adalah menggunakan
pendekatan
moneter.
Perubahan
dalam
variabel
moneter
menyebabkan efek penting terhadap nilai tukar dan inflasi. Kebijakan pengendalian terhadap pergerakan nilai tukar rupiah yang dilakukan oleh pemerintah melalui otoritas moneter. Sejak pemerintah menetapkan penggunaan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).
1.2. Perumusan Masalah Dalam perekonomian terbuka ini, memungkinkan terjadinya mobilisasi modal yang tinggi antar negara. Persepsi investor tentang kondisi kesehatan ekonomi suatu negara sangat berpengaruh terhadap aliran modal masuk ataupun keluar di suatu negara. Sejak tahun 1997 Bank Indonesia menerapkan regim nilai
9
tukar mengambang sebagai pengganti regim nilai tukar terkendali (crawling peg). Perubahan sistem nilai tukar tersebut, diikuti dengan ketidakstabilan nilai tukar dan berakibat pada pergerakan indeks harga di dalam negeri yang tajam. Dampak fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap laju inflasi tercermin pada perkembangan inflasi kelompok barang yang diperdagangkan secara internasional (traded) yang terus mengalami peningkatan seiiring depresiasi rupiah. Selain itu fluktuasi perubahan nilai tukar (nominal dan riil), suku bunga maupun inflasi di Indonesia kurun waktu bulan Januari 1999 sampai Desember 2000 masih sangat tinggi dibandingkan dengan Korea, Malaysia dan Thailand. Begitu juga, dampak depresiasi nilai tukar rupiah terhadap inflasi tahun 2001 mengalami depresiasi sebesar 17.7 persen, index harga traded mencapai 11.73 persen (y-o-y) (Bank Indonesia, 2002). Menurut Winata (2006) Indonesia sebagai salah satu small open economy masih memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibanding negara – negara disekitarnya. Rata-rata inflasi Indonesia selama periode tahun 2000-2004 adalah sekitar 8.08 persen. Sementara itu, pada periode yang sama tingkat inflasi rata-rata di Malaysia, Singapura dan Thailand adalah masing-masing 1.62 persen, 1.23 persen dan 1.66 persen.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengendalian
tingkat inflasi dan stabilitas makroekonomi merupakan tantangan bagi pemerintah dan bank sentral. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin,
10
bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainly) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. Dengan adanya tekanan pada nilai rupiah dan perubahan rezim nilai tukar serta pelaksanaan kebijakan inflation targetting yang telah dijalani oleh Bank Indonesia, maka menarik untuk menganalisis kebijakan moneter perihal uang beredar, suku bunga dan nilai tukar adalah variabel yang dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter dan bertindak sebagai sasaran antara sedangkan tingkat harga atau output dipertimbangkan sebagai sasaran akhir dari kebijakan moneter di Indonesia Oleh karena itu dalam studi ini, permasalahan yang akan diuji adalah : 1.
Bagaimanakah respon variabel industrial production index, uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan inflasi.
2.
Sejauh mana variabel – variabel makro dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi
3.
Bagaimana implikasi kebijakan moneter dari hasil penelitian dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.
11
I.3. Tujuan Penelitian Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi nilai tukar dan inflasi di Indonesia dengan tujuan sebagai berikut : 1.
Menganalisis respon variabel industrial production index, uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan inflasi.
2.
Menjelaskan
secara empiris variabel-variabel makro yaitu industrial
production index, tingkat inflasi, uang beredar dan perbedaan suku bunga dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi di Indonesia 3.
Merumuskan implikasi kebijakan moneter dari hasil-hasil analisis dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.
I.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan studi empiris pendekatan moneter di Indonesia. Karena jika penelitian
ini menghasilkan suatu hasil
estimasi yang dapat dipercaya secara statistik dan didukung oleh teori yang tepat, maka pendekatan moneter dapat di gunakan dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar dan harga. Dengan melakukan estimasi terhadap mata uang Amerika Serikat diharapkan kita dapat memperkirakan perubahan yang terjadi pada sektor moneter khususnya dan indikator ekonomi makro lainnya secara keseluruhan dari negara – tersebut. Dengan mendapatkan hasil estimasi dari masing-masing faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, maka kita dapat mengetahui faktor yang
12
paling dominan dan paling signifikan dalam mempengaruhi nilai tukar. Dengan demikian otoritas moneter dapat melakukan kebijakan yang bersifat antisipasi lebih awal. Apabila kondisi ini terjadi, maka biaya pengendalian moneter dapat diminimalkan.
1.5. Batasan Penelitian 1.
Penelitian menggunakan data bulanan periode Januari 1999 – Desember 2006. Alasan utamanya dimana pada saat itu Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas.
2.
Nilai tukar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai tukar nominal rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat yang dilihat secara bulanan (monthly).
3.
Pendapatan Nasional riil yang digunakan di Indonesia di proxy ke Industrial Production Index dimana metode ini mengukur output dari industri-industri suatu negara yang diukur dalam bulanan. Indikatornya adalah peningkatan jumlah produksi dibanding periode sebelumnya yang dinyatakan dalam index.
4.
Tingkat inflasi yang digunakan Indonesia adalah Consumer Price Index dengan tahun dasar 2002:100.
5.
Suku bunga sebagai instrumen kebijakan moneter dalam penelitian ini adalah suku bunga SBI jangka waktu satu bulan dalam persen, sedangkan Amerika Serikat menggunakan US Prime 1 bulan karena pasar uang lebih mudah dalam menangkap sinyal kebijakan moneter melalui suku bunga.
6.
Data yang digunakan dalam bentuk nominal dan data yang tidak dalam bentuk persen ditulis dalam bentuk logaritma natural.
13
7.
Dalam penelitian ini tidak melihat faktor pengaruh langsung maupun tidak langsung baik dari impor maupun ekspor.
8.
Pemodelan dilakukan untuk melihat pengaruh variabel moneter terhadap perekonomian dengan analisis Impulse Response Function (IRF)
dan
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) serta uji Granger Causality