I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Papua merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keunikan baik dari segi karakteristik biologi maupun biogeografi (Petocs, 1987; Muller, 2005: Kartikasari dkk., 2012). Perbedaan tersebut
berpengaruh terhadap struktur
dan komposisi tegakan pada setiap kawasan hutannya.
Pengelolaan hutan alam
produksi di Papua yang sudah berlangsung sejak tahun 1978 dilakukan pada ekosistem hutan dataran rendah. Saat ini pengelolaan hutan di Papua
pada
umumya dilakukan pada hutan bekas tebangan dan telah memasuki rotasi kedua, sehingga berakibat pada perubahan struktur dan komposisi tegakan serta menurunnya potensi tegakan (Marwa, 2009; Kuswandi dan Harisetijono, 2014). Karakteristik hutan alam yang
memiliki keragaman sangat tinggi, tingkat
perkembangan pohon yang beragam, dan keragaman dimensi pohon yang tinggi (Thomas dan Baltzer, 2002; Baltzer dan Thomas, 2010), maka pengelolaan hutan menuntut adanya penyesuaian terhadap karakteristik hutan
tersebut. Pengelolaan
hutan yang tidak memperhatikan karakteristik hutannya akan berdampak pada kelestarian
hutan.
Kegiatan
menyebabkan terjadinya
pengusahaan
hutan
selama
ini ternyata
telah
penurunan baik kuantitas dan kualitas hutannya (Dauber
dkk., 2005; Keller dkk., 2007, Krisnawati dan Wahyono, 2010) . Areal hutan alam yang dikelola saat ini sebagian besar merupakan areal hutan bekas tebangan (logged over forest) yang kondisinya terus mengalami degradasi karena aktivitas
2
pembalakan secara eksesif, sehingga diperlukan upaya-upaya pengelolaan hutan secara lestari. Praktek pengelolaan hutan alam secara lestari harus didasarkan pada proses kerja ekosistem hutan. secara
Vanclay (2000) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan
lestari melibatkan beberapa komponen,
yaitu: (a) interaksi antara
komponen ekosistem hutan; (b) thresholds/kadar nutrisi untuk pertumbuhan tanaman; (c) non-linierity, suatu hubungan yang tidak selalu memberikan hasil yang membentuk
persamaan garis lurus; (d) feedback, timbal balik; (e)
kompleksitas yang tinggi dengan koneksi antar komponen sistem yang berbeda; (f) ekstrapolasi lebih tinggi daripada interpolasi. Jika keenam hal tersebut berjalan secara seimbang maka keseimbangan produk hutan (tangible dan intangible) akan berjalan, sehingga tujuan pengelolaan hutan yang sustainable dapat tercapai. Penerapan silvikultur di hutan tropis telah banyak dilaksanakan sesuai dengan karakter tempat masing-masing (Fredericksen dan Putz,
2003; Walters
dkk., 2005). Sebagai contoh adalah aplikasi teknik reduced impact logging (RIL) (Putz dkk., 2008).
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerapan
silvikultur yang baik di hutan tropis dapat meningkatkan produksi pada siklus selanjutnya (Sist dkk., 1998; Peña-Claros dkk., 2008).
Di Indonesia sendiri
penerapannya masih dilakukan secara terbatas yaitu pada areal dimana dilakukan kegiatan penelitian. Pada pemanenan, penetapan besarnya jatah tebangan tahunan (JTT) atau yang lebih dikenal dengan Annual Allowable Cut (AAC) merupakan inti dan strategi manajemen jangka panjang untuk mencapai kelestarian hasil dalam
3
pengelolaan hutan berkelanjutan.
Besarnya pemungutan atau pemanenan kayu
oleh suatu unit pengelola harus memperhatikan kemampuan reproduksi hutan dari setiap kawasan hutan. Pengaturan hasil melalui penentuan jatah tebang (JTT) sangat berperan dalam pengelolaan hutan secara lestari dan harus dilakukan secara spesifik karena kondisi dan potensi hutan bervariasi pada berbagai areal. Pengaturan hasil tersebut harus ditetapkan secara lebih cermat dan obyektif melalui mekanisme perencanaan yang baik. Oleh sebab itu,
penentuan JTT harus
dilakukan secara cermat dan akurat sesuai dengan kondisi dan potensi serta dinamika hutan setempat. Kecermatan dan keakuratan penetuan JTT setidaknya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu cara atau metode yang diterapkan, dan kualitas/ketersediaan data yang digunakan. Dalam konteks pengelolaan hutan alam di Indonesia, justru kedua hal tersebut masih merupakan masalah besar. Dalam hal metode diperlukan metode yang mengakomodasi kompleksitas dan aspek-aspek dinamika tegakan hutan alam, khususnya hutan alam bekas tebangan. Pendekatan yang mengabaikan aspek-aspek dinamika tersebut akan menghasilkan angka JTT yang bias dan dapat membahayakan kelestarian pengusahaan dan kelestarian hutan yang dikelola. Oleh sebab itu perlu dicarikan dan dikembangkan metode yang sesuai dengan kondisi hutan yang dikelola. Salah satu aspek yang menjadi dasar pertimbangan dalam pengaturan hasil untuk hutan tidak seumur seperti jumlah pohon yang ditebang, jangka waktu tebang (rotasi), intensitas tebang adalah informasi
pertumbuhan dan hasil
tegakan yang dikelola. Peng (2000) menyebutkan bahwa salah satu kunci utama
4
dalam pengelolaan hutan lestari adalah prediksi pertumbuhan tegakan dan hasil yang akan datang dengan skenario manajemen yang berbeda. Informasi pertumbuhan dan hasil tegakan sangat penting dalam praktek pengelolaan hutan, namun ketersediaannya bekas tebangan. sulit terwujud.
sangat terbatas terutama untuk hutan
Implikasinya adalah pelaksanaan pengelolaan hutan yang lestari Dalam praktek pengelolaan hutan produksi di Indonesia,
silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) (Dephut, 1993)
sistem
diterapkan
secara mutlak untuk semua kondisi hutan tanpa memperhatikan karakteristik pertumbuhan pohon dan dinamika struktur tegakan hutan yang dikelolanya. Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian pengaturan hasil pada hutan bekas tebangan perlu dilakukan. Saat ini prediksi pertumbuhan dan hasil didekati dengan membuat modelmodel pertumbuhan dan hasil. Model pertumbuhan dan hasil tegakan merupakan gambaran
dinamika hutan, yang meliputi pertumbuhan, kematian, regenerasi dan
terkait perubahan struktur dan komposisi tegakan dari waktu ke waktu. Model pertumbuhan dan hasil telah banyak digunakan dalam pengelolaan hutan karena kemampuannya
untuk mengetahui potensi tegakan saat ini,
memprediksi
hasil
pada waktu akan datang, dan untuk memberikan alternatif model pengelolaan dan pilihan sistem silvikultur yang digunakan, sehingga dapat dijadikan informasi dalam pengambilan keputusan
(Burkhart, 1990; Vanclay, 1994; Pukalla dkk.,
2009; Muhdin dkk., 2011). Paradigma
baru
pembangunan
kehutanan
yang
mengarah
kepada
keberpihakan terhadap masyarakat sekitar hutan akan berpengaruh terhadap
5
pengelolaan hutan.
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan harus
diberikan ruang yang cukup baik dalam proses perencanaan maupun aspek lainnya. Secara khusus di Papua, kondisi tersebut didukung dengan peraturan daerah khusus (Perdasus) No. 21 tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Perdasus No. 20 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Sehubungan dengan adanya Perdasus kepemilikan hak ulayat dan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Papua tersebut akan menimbulkan konflik dalam pengelolaan hutan oleh IUPHHK karena tumpang tindihnya kepentingan kepemilikan. Kondisi ini mengakibatkan kendala dalam pengelolaannya karena adanya ambiguen (dualisme) dalam hal kepastian hukum. Di pihak Pemerintah, bahwa areal konsesi sah secara hukum setelah SK IUPHHK diterbitkan. Di pihak masyarakat, bahwa areal konsesi belum sah menurut hukum adat, karena belum ada pelepasan adat. Hal ini akan mengakibatkan perencanaan pengelolaan yang tidak baku dan selalu berubahubah. Fakta menunjukkan bahwa telah terjadi pemanenan berulang pada beberapa areal IUPHHK di Papua yaitu pemanenan oleh IUPHHK sebagai pengelola areal yang diakui oleh pemerintah dan pemanenan oleh masyarakat pemilik hak ulayat. Kondisi ini nampak pada areal IUPHHK yang dekat dengan akses perkotaan. Dengan demikian terjadi penebangan yang dilakukan oleh masyarakat pada wilayah kepemilikannya yang dianggap illegal oleh pemegang IUPHHK dan
6
pemerintah, tetapi legal menurut masyarakat pemilik hak ulayat.
Oleh sebab itu
perlu adanya pola pengusahaan hutan yang didesain secara spesifik untuk tiap kondisi hutan, sosial ekonomi masyarakat, dan problem pembangunan yang dihadapi wilayah.
1.2. Batasan Masalah Penelitian ini mengkaji
permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan hutan
alam bekas tebangan di Papua. Namun luasnya cakupan pengelolaan hutan maka aspek yang diteliti adalah dinamika pertumbuhan dan pengaturan hasil serta adanya tebangan yang dilakukan oleh masyarakat. berdasarkan
rotasi tebangan
Pengaturan hasil disimulasikan
dan intensitas tebangan,
sedangkan dinamika
pertumbuhan dihasilkan dari pengamatan petak ukur permanen (PUP). Pembuatan PUP dalam setiap IUPHHK dianggap cukup representatif dapat mewakili areal kondisi hutan pada areal tersebut (Badan Litbanghut, 1993 dan Dephut, 1995). Simulasi pengaturan hasil dilakukan untuk satu siklus tebangan dan pada areal hutan alam produksi bekas tebangan yang berdasarkan peruntukannya merupakan hutan produksi tetap (HP). Saat ini pengelolaan hutan di Papua
pada umumya dilakukan pada hutan
bekas tebangan dan telah memasuki rotasi kedua, sehingga berakibat pada perubahan struktur dan komposisi tegakan serta menurunnya potensi tegakan (Marwa, 2009; Kuswandi dan Harisetijono, 2014). Di sisi lain terdapatnya karakteristik site akibat biogeografis juga berpengaruh terhadap dinamika struktur dan pertumbuhan tegakan.
Implikasinya adalah penentuan besarnya tebangan
7
harus
didasarkan pada data ilmiah hasil pengukuran dari plot-plot permanen.
Selain itu perlu adanya ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. 1.3. Rumusan Permasalahan Pengelolaan hutan di Papua telah berjalan selama lebih dari 3 (tiga) dekade, dimana saat ini hampir semua unit pengelolaan dalam bentuk IUPHHK telah memasuki siklus tebang kedua.
Oleh sebab itu, kondisi hutan bekas tebangan
mengalami perubahan baik dari komposisi maupun dari struktur tegakannya.
Di
samping itu, terdapat perubahan sistem dan regulasi pengelolaan hasil hutan kayu dan izin bagi unit-unit pengelola.
Dampaknya adalah terjadi penurunan baik
dalam jumlah unit pengelolaan maupun produksinya. Hal ini terlihat penurunan
telah terjadi
jumlah pemegang IUPHHK yang masih aktif secara signifikan. Di
Propinsi Papua dari 25 pemegang IUPHHK pada tahun 2009 yang memiliki ijin hanya 15 pemegang IUPHHK yang masih aktif (BP2HP XVII, 2010), sedang di Papua Barat pemegang IUPHHK pada tahun 2011 yang masih aktif sebanyak 16 dari 26 pemegang IUPHHK yang memiliki ijin (BP2HP XVIII, 2012). Rata-rata produksi kayu bulat untuk propinsi Papua sebesar 60.0% dari target tebangan (Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, 2012), sedang Propinsi Papua Barat hanya 36.2% dari target tebangan. (Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, 2012). Rendahnya produksi kayu, selain disebabkan oleh penetapan jatah produksi tebangan atau AAC yang tidak berdasarkan pada kondisi hutan bekas tebangan yang dikelola juga diakibatkan oleh terbatasnya jenis kayu yang ditebang. Sebagai
8
contoh, beberapa pemegang IUPHHK hanya Hal
ini
menunjukan
bahwa
menebang jenis merbau (Instia sp).
dalam penetapan
JTT
tidak
memperhatikan
karakteristik pertumbuhan pohon dan dinamika struktur tegakan hutan bekas tebangan. Saat ini penentuan JTT hanya berdasarkan pada standing stock tegakan, tanpa memperhitungkan dinamika pertumbuhan tegakan (ingrowth, upgrowth, mortality dan riap). Pemanfaatan jenis tertentu
akan mengakibatkan kelangkaan jenis tersebut.
Pohon induk tidak mampu bertahan hidup dengan baik untuk menghasilkan keturunan (buah), dengan demikian proses regenerasi akan terputus. Kerusakan terhadap tegakan tinggal akibat penebangan satu jenis hampir sama dengan penebangan banyak jenis. Saat ini, terdapat kasus bahwa selain pemanenan kayu oleh pemegang IUPHHK
terjadi juga pemanenan kayu terutama jenis merbau yang dilakukan
oleh masyarakat memanfaatkan areal-areal yang merupakan hak milik komunal. Areal tersebut kebanyakan tumpang tindih dengan wilayah konsesi, sehingga terjadi pemanfaatan bersama terhadap sumberdaya kayu. Fakta ini sudah menjadi fenomena yang umum di Papua dimana sebagian besar hutan diklaim sebagai hutan adat (communal property). Praktek penebangan kayu masyarakat dilakukan dalam dua bentuk yaitu menunggu tegakan tinggal dari aktivitas perusahaan dan menebang bersamaan dengan kegiatan pemegang IUPHHK. terjadi doublecutting akibat
adanya
tebangan yang dilakukan
IUPHHK dan masyarakat yang akan berdampak terhadap Papua.
Dengan demikan pemegang
kelestarian hutan di
9
Penetapan JTT sebagai implikasi dari pengaturan hasil yang dilakukan secara umum untuk semua kondisi hutan dan hanya berdasarkan standing stock tegakan
akan
berpengaruh
terhadap
kelestarian
dalam pengelolaan
hutan
berkelanjutan. Sementara kondisi spesifik setiap pemegang IUPHHK tidak selalu sama baik aspek klimatis, edafis maupun antropogenik, sehingga diperlukan pengaturan hasil yang spesifik sesuai dengan kondisi ekologi dan sosiologi setempat. Di sisi lain pemungutan kayu yang terbatas pada 1 (satu) jenis saja dan adanya tebangan yang dilakukan oleh masyarakat pada lokasi yang sama, maka diperlukan juga pengaturan hasil yang spesifik. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, dengan menggunakan beberapa unit managemen pengelolaan (IUPHHK) sebagai model maka dapat diajukan pertanyaan apakah pengelolaan hutan oleh pemegang IUPHHK saat berjalan melalui mekanisme pengaturan hasil yang diterapkan akan memberikan hasil yang lestari?
Untuk dapat menjawab permasalahan utama dalam penelitian ini,
selanjutnya permasalahan tersebut perlu diperinci ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana
gambaran
dinamika
pertumbuhan
tegakan
hutan
bekas
tebangan? 2.
Bagaimana model pengaturan hasil antara beberapa lokasi unit pengusahaan hutan?
3.
Bagaimana model pengaturan hasil antara unit pengelolaan dan masyarakat?
10
1.4. Keaslian Penelitian Penelitian
disertasi
dengan
judul
“DINAMIKA
PERTUMBUHAN
TEGAKAN TINGGAL DAN PENGATURAN HASIL PADA HUTAN BEKAS TEBANGAN DI BEBERAPA UNIT PENGUSAHAAN HUTAN DI PAPUA” berdasarkan hasil telaahan seperti pada Tabel 1 berbeda pada metode, lokus dan fokus penelitian. Sejauh
ini
telah
banyak
dikembangkan
pendekatan
model
untuk
diaplikasikan di hutan tropis diantaranya model pertumbuhan dan pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan.
Beberapa perbedaan penelitian ini dengan
penelitian yang telah dilakukan adalah : 1.
Aspek karakterisitk ekologi pada tiap IUPHHK sebagai dasar dalam penentuan penerapan pengaturan hasil.
2.
Simulasi pengaturan hasil menggunakan analisis sederhana sehingga bisa diaplikasikan oleh setiap IUPHHK tanpa harus memasukan software baru pada perangkat komputer.
3.
Memasukkan pengelolaan hasil kayu masyarakat pemilik hak ulayat dalam model pengaturan hasil. Beberapa penelitian yang menjadi sumber acuan dari penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 1.
Sejauh ini hasil penelitian tentang hutan bekas tebangan di
wilayah Papua masih sangat jarang. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi kajian akademik tentang model pertumbuhan dan pengaturan hasil di hutan bekas tebangan di wilayah Papua. Model-model pertumbuhan dan pengaturan hasil juga diaplikasikan dalam penelitian ini.
Hasil dari aplikasi model tersebut dapat
11
dipakai untuk memformulasikan pengaturan hasil kayu di wilayah Papua dan diharapkan bisa diterapkan pada IUPHHK yang belum memiliki PUP apabila tegakan pada IUPHHK tersebut memiliki karakteristik tipe hutan (karakteristik tegakan dan tempat tumbuh) yang masih tercakup sesuai dengan ruang lingkup populasi penelitian ini.
.
12
Tabel 1.1. Penelitian yang berhubungan dengan pengaturan hasil hutan pada hutan alam bekas tebangan di Papua. No. 1.
2.
3.
Penulis dan Judul Penelitian
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil
Krisnawati (2001) Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Dengan Pendekatan Dinamika Struktur Tegakan (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan)
Mendapatkan metode pengaturan hasil hutan tidak seumur berdasarkan pendekatan dinamika struktur tegakan.
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Model dinamika struktur tegakan yang dihasilkan cukup handal dalam menggambarkan dinamika tegakan selama 6 tahun, dimana hasil pendugaan dengan model tidak berbeda secara nyata dengan kondisi aktualnya. Model ini dapat digunakan mensimulasikan tegakan selama beberapa waktu.
Untnuk mengaplikasikan beberapa model partumbuhan pohon dan dikolaborasikan dengan beberapa model-model alternative untuk memprediksi luas bidang dasar dari pohon.
Stand Damage Model (SDM) yang merupakan non-spasial model. model.
Model menunjukan hasil kurva sigmoid untuk hasil pengamatan secara periodic. Model juga dapat membandingkan pertumbuhan pohon dalam waktu 5 tahun atau lebih setelah penebangan.
Mendapatkan alternatif metode pengaturan hasil hutan tidak seumur yang optimal melelui pendekatan model dinamika sistem
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Pendekatan dinamika sistem yang melibatkan model dinamika struktur tegakan, model keaneka-ragaman pohon dan model pengembalian ekonomi merupakan faktor pertimbangan dalam rencana pengaturan hasil hutan tidak seumur.
Colbert dkk. (2003) Perbandingan model-model perrtumbuhan dan manajemen untuk kehutanan
Labetubun (2004) Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan)
Analisis diskriptif Model dinamika struktur tegakan dengan matriks transisi
Analisis diskriptif Model dinamika struktur tegakan menggunakan fungsi ingrowth, mortality dan upgrowth dengan matriks transisi
13
Lanjutan Tabel 1.1. No. 4.
5.
6.
Penulis dan Judul Penelitian
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil
Agustini (2006) Ingrowth dan Upgrowth di Hutan Alam Bekas Tebangan Untuk Jenis Komersial (Studi Kasus di HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)
Mendapatkan hubungan dan laju Ingrowth dan Upgrowth serta hubungannya dengan kerapatan dan luas bidang dasar
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Riap tegakan sebesar 0,35 cm/tahun. Laju Ingrowth dan Upgrowth dipengaruhi oleh kerapatan tegakan dan kerapatan luas bidang dasar.
Krisnawati dkk. (2008) Model Pertumbuhan Matrik Transisi untuk Hutan Alam Bekas Tebangan di Kalimantan Tengah
Model matriks pertumbuhan hutan alam campuran di kawasan hutan bekas tebangan.
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Pukkala dkk. (2009) Pertumbuhan dan model pengaturan hasil untuk hutan tidak semumur di Finlandia
Analisis diskriptif Laju Ingrowth dan Upgrowth menggunakan fungsi kerapatan dan luas bidang dasar
Analisis diskriptif Model pertumbuhan tegakan dengan matriks transisi yang terdiri dari tiga komponen yaitu ingrowth, upgrowth dan mortality
Studi ini bertujuan untuk mengembangkan model untuk hutan campuran tidak seumur dan penentuan pengaturan hutan tidak seumur.
Model mengunakan diameter dari pohon, tinggi dan model untuk survive dan model untuk ingrowth
Hasil pendugaan model alih tumbuh suatu jenis dipengaruhi secara positif oleh jumlah pohon jenis yang bersangkutan dan secara negatif oleh luas bidang dasar tegakan. Peluang tambah tumbuh dan kematian suatu jenis dipengaruhi oleh luas bidang dasar tegakan dan diameter pohon.
Hasil menunjukan bahwa pertumbuhan dan pengaturan hasil dari hutan tidak seumur sangat dtentukan oleh panjang dari siklus tebang, kerapatan tegakan dan distribusi dari diameter.
14
Lanjutan Tabel 1.1. No. 7.
8
Penulis dan Judul Penelitian Marwa (2009) Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua
Liang (2010) Dinamika dan manajemen dari hutan Alaska : sebuah pendekatan matriks pertumbuhan untuk semua umur
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil
Alternatif pengaturan hasil hutan tidak seumur berdasarkan intensitas penebangan dan siklus tebang yang lestari menggunakan pendekatan sistem dinamik, serta kontribusi metode pengaturan hasil hutan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Penggunaan model simulasi dinamika struktur tegakan cukup handal dalam menggambarkan dinamika tegakan serta lebih mendekati kondisi aktual. Secara ekonomi skenario siklus tebang memberikan hasil yang layak untuk pengelola hutan dengan kondisi NPV, LEV, BCR dan IRR positif. Kontribusi yang diberikan berdasarkan skenario siklus tebang sangatlah kecil hanya 0,56% terhadap penerimaan pemerintah daerah.
Studi ini bertujuan untuk mengaplikasikan matrik untuk manajemen hutan dan simulasi tebangan dan bagaimana untuk melakukan regenerasi berdasarkan hasil simulasi.
Metode menggunakan matriks konvensional dari Buongiorno and Michie (1980) untuk memperdiksikan tegakan hutan setelah penebangan berdasarkan rumus : yt+1 = G(yt − ht ) + R + ε
Analisis diskriptif Model dinamika struktur tegakan menggunakan fungsi ingrowth, mortality dan upgrowth Analisis ekonomi
Hasil menunjukan bahwa matriks tersebut dapat digunakan untuk memperdiksikan hasil. Namun, beberapa kekurangan dari metode tersebut adalah tidak bisa memasukan faktor lingkungan.
15
Lanjutan Tabel 1.1. No. 9.
10
Penulis dan Judul Penelitian
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil
Kuswandi (2010) Metode Pengaturan Hasil Hutan Alam Bekas Tebangan Melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem di Kabupaten Boven Digul, Papua
Mendapatkan alternatif metode pengaturan hasil hutan tidak seumur yang optimal melalui pendekatan model dinamika sistem
Penelitian survei melalui pengamatan dan pengukuran PUP
Hasil simulasi model dinamika tegakan belum bisa mengambarkan dinamika tegakan per kelompok jenis, kcuali pada kelompok jenis rimba campuran. Jangka waktu untuk kembali ke kondisi semula untuk kelompok rimba campuran pada berbagai intensitas penebangan bervariasi, waktu yang diperlukan meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas penebangan yang diterapkan. .
Lhotka and Loewensteind (2011) Model pertumbuhan individu dari pertumbuhan diameter untuk pengelolaan hutan tidak seumur di hutan Ozark Highlands of Missouri, USA
Analisis diskriptif Model dinamika struktur tegakan menggunakan fungsi ingrowth, mortality dan upgrowth berdasarkan kelompok jenis.
Tujuan untuk mengembangkan model untuk pertumbuhan diameter dari individu di hutan sekunder.
Metode menggunakan liner model dari West dkk. (2007) : Yi = Xi β + Zj u j + Ɇij
Model yang dikembangkan dapat diaplikasikan untuk hutan sekunder tidak seumur dalam hal memprediksi diameter.
16
1.5. Tujuan Penelitian Secara
umum tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan model
pengaturan hasil berdasarkan dinamika pertumbuhan tegakan pada hutan bekas tebangan di Papua. Tujuan khususnya adalah: 1.
Mengetahui dan membandingkan karakteristik ekologi pada setiap unit manajemen.
2.
Mengetahui dan mensimulasi dinamika pertumbuhan tegakan hutan alam bekas tebangan pada setiap unit manajemen.
3.
Mengetahui respon beberapa skema pengaturan hasil melalui intensitas penebangan dan panjang rotasi tebang pada setiap unit manajemen.
4.
Menyusun skenario
untuk mengelola areal hutan alam produksi bekas
tebangan secara lestari dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
1.6. 1.
Manfaat Penelitian
Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berperan pada pengembangan teori pertumbuhan
dan
hasil pada hutan alam bekas tebangan serta site
ekosistemnya. 2.
Pada aspek pengelolaan hutan, akan berperan pada bentuk pengelolaan hutan yang sesuai dengan karakteristik pertumbuhan tegakan hutan alam bekas tebangan.
17
3.
Model yang diperoleh nantinya bisa dipertimbangkan dalam menjawab permasalahan pengelolaan hutan untuk
mendapatkan model pengelolaan
hutan alam bekas tebangan secara lestari.
1.7. Kerangka Pemikiran Teoritis Kelestarian hasil dalam pengelolaan hutan adalah tercapainya suatu kondisi tertentu dari suatu tegakan sehingga dapat diperoleh hasil secara lestari dengan cara pengaturan produktifitas hutannya, baik pertumbuhan (growth) maupun hasil (yield).
Hutan yang memiliki karakteristik ekosistem yang kompleks dan dinamis
maka dalam pengelolaannya harus menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar hutan (adaptif)
sehingga diperoleh formulasi atau ketentuan spesifik yang
memungkinkan keseimbangan dinamis ekosistem lintas generasi secara optimal. Sebagai
implikasinya
adalah
pengelolaan
hutan
didasarkan
pada
unit-unit
pengelolaan yang sesuai dengan tujuan dari pengelolaan hutan tersebut. sebab itu
Oleh
pengelolaan hutan harus berdasarkan karakteristik ekosistem wilayah
setempat yang bersifat spesifik. Dalam kegiatan perencanaan pengaturan hasil, seperti penentuan formulasi tebangan (intensitas penebangan dan siklus tebang) hutan yang optimal dilakukan berdasarkan kondisi tegakan awal, perilaku dinamika pertumbuhan. dinamika
Perilaku
pertumbuhan dan hasil diperoleh dari Petak Ukur Permanen (PUP).
Penentuan formulasi tebangan (intensitas dan siklus tebang) yang optimal dikembangkan dari model dinamika sistem yang terdiri dari tegakan dan model pengaturan hasil.
model pertumbuhan
Berbagai model simulasi yang berkaitan
18
dengan intensitas penebangan dan siklus tebang dilakukan untuk menentukan formulasi pengaturan hasil yang optimal dipandang dari aspek kelestarian produksi. Hasil simulasi selanjutnya diuji, apakah menjamin kelestarian produksi yang optimum? Dengan melakukan simulasi dapat diperoleh formulasi atau skema pengaturan hasil yang paling tepat bagi unit pengelolaan hutan alam bekas tebangan bersangkutan. Alur kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.1.
19
Hutan Bekas Tebangan
Unit Pengelolaan Hutan (Karakteristik Ekositem)
Kelestarian Hasil
Perencanaan
Pengaturan Hasil
Masyarakat
Penentuan Intensitas Penebangan dan Siklus Tebangan yang Optimal
Model Pengaturan Hasil Karakteristik site
Abiotik
Model Pertumbuhan Tegakan
Riap
Informasi pertumbuhan dan Hasil
Biotik
Petak Ukur Permanen (PUP) Simulasi Model
Gambar 1. 1. Kerangka Pemikiran Model Pertumbuhan dan Hutan Bekas Tebangan di Papua
Pengaturan Hasil