1
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Reyog Ponorogo adalah salah satu bagian dari kesenian rakyat yang terdapat di Propinsi jawa Timur, tepatnya di wilayah Propinsi Jawa Timur bagian Barat yaitu Kota Ponorogo. Kesenian Reyog Ponorogo sampai saat ini dapat dijumpai pada acara adat maupun festival. Dilihat dari segi waktu dan model pertunjukan, reyog mengalami banyak perubahan. Reog atau Reyog berasal dari kata “riyet” atau dapat diartikan sebagai keadaan bangunan yang hampir rubuh, karena di dalam pertunjukan reyog terdapat suara gamelan atau musik pengiring yang menyerupai “bata rubuh” yang artinya sangat semarak dan ramai (Poerwowijoyo, 1985:9). Akan tetapi sampai saat ini perdebatan antara pemilihan kosakata yang tepat mengenai reyog masih berlangsung.
Reog
atau
reyog
keduanya
sama-sama
digunakan
untuk
menyebutkan salah satu jenis tarian yang berasal dari Ponorogo dengan ciri khas unsur topeng Dhadak Meraknya. Pada awalnya penduduk Ponorogo sering menyebutkan dengan istilah reyog akan tetapi pada tahun 1995, saat Drs. Markoem Singodimejo menjabat sebagai Bupati Ponorogo beliau mengeluarkan SK Bupati yang menetapkan semboyan “REOG” yang memiliki arti resik, endah, omber, girang-gemirang sebagai semboyan kota Ponorogo. Secara tidak langsung hal itu mempengaruhi masyarakat Ponorogo. Dahulu menggunakan istilah reyog akan tetapi dengan adanya semboyan itu membuat masyarakat beralih pada
2
kosakata reog (Fauzannafi, 2005 : 17,61). Penulis memilih untuk menggunakan istilah yang lebih original yaitu reyog. Sebagai kota dengan image Kota Reyog, Ponorogo memiliki banyak sekali grup reyog. Hampir setiap kecamatan memiliki grup, bahkan setiap desa memiliki lebih dari satu grup reyog, seperti di wilayah Kecamatan Sumoroto. Kecamatan Sumoroto dianggap masyarakat Ponorogo sebagai tempat berdirinya pusat Kerajaan Bantar Angin, yaitu merupakan salah satu kerajaan yang dianggap sebagai tempat asal-usul reyog Ponorogo ( Fauzannafi, 2005: 16). Berdasarkan sumber tertulis maupun lisan yang ditemukan, saat ini di sekitar masyarakat dan pelaku reyog di Ponorogo beredar berbagai versi asal-usul terbentuknya kesenian reyog Ponorogo. Bentuk pertunjukan Reyog Ponorogo pun saat ini ada beberapa versi. Beberapa versi itu memiliki perbedaan dari segi pola gerakan pertunjukan dan kostum. Perbedaan pola gerakan dan kostum pertunjukan kesenian Reyog Ponorogo pada masa sekarang dengan masa dulu yang sangat mencolok adalah munculnya dua versi pertunjukan reyog yaitu reyog yang disajikan di Festival Reyog Nasional (FRN) dan Reyog Obyog atau reyog yang biasa dilakukan oleh masyarakat atau obyogan. Pada pentas reyog yang ditampilkan di Festival Reyog Nasional (FRN) terdiri dari formasi lengkap dari cerita reyog. Karakter yang ada meliputi penari jathil atau jaranan yang diperankan oleh perempuan. Biasanya dalam pertunjukan festival terdapat sekitar 10 penari. Selain itu ada karakter warok atau laki-laki paruh baya berpakaian serba hitam dengan mengenakan jenggot yang tebal.
3
Karakter lain dalam pertunjukan ini adalah bujang ganong atau patih raja. Ketiga karakter penari itu dipimpin oleh satu raja bernama Prabu Klono Sewandono. Sementara inti dari pertunjukan reyog ini terletak pada Dhadak Merak atau topeng yang sangat besar berbentuk kepala singa dan bermahkota burung merak. Kelima karakter itu muncul secara bergiliran pada pentas Festival Reyog Nasional. Pada Festival Reyog Nasional alur pertunjukan yang disajikan sangat rapi dan teratur. Berbeda dengan Reyog Festival, Reyog Obyog atau Obyogan biasa dipentaskan pada saat masyarakat setempat memiliki acara atau hajatan. Pemilik rumah hajatan akan menyewa pemain Reyog Obyog untuk melakukan pementasan. Pertunjukan ini tentu sangat dinanti oleh masyarakat karena dengan adanya Reog Obyog atau obyogan masyarakat menjadi terhibur. Pentas Reyog Obyog biasanya tidak banyak membutuhkan pemain, sebagaimana pada festival. Di dalam reyog obyog biasanya hanya terdiri dari Dhadak merak, jathil, dan bujang ganong. Nuansa pementasan Reyog Obyog didominasi oleh: penari jathil yang erotis, kegagahan (kekuatan) barongan, spontanitas, dan “ kebrutalan” para penonton yang hampir seluruhnya adalah lak-laki (Fauzannafi, 2005: 113) Dalam penelitian ini penulis akan fokus pada pertunjukan Reyog Obyog. Reyog Obyog adalah salah satu jenis pertunjukan Reyog Ponorogo yang muncul di pertunjukan reyog rakyat tradisional. Reyog Obyog adalah bentuk seni pertunjukan rakyat yang dapat ditanggap, dimainkan dan ditonton kapan saja, di manapun dan oleh siapapun. Reyog Obyog sangat dekat dengan masyarakat. Jenis pertunjukan ini menyatu dengan nilai dan kehidupan masyarakat seperti acara pernikahan, khitanan, slametan atau bersih desa (Fauzannafi, 2005: 107).
4
Pentas yang dekat dengan masyarakat tidak kemudian selalu membawa dampak positif bagi masyarakatnya. Pentas Reyog Obyog memiliki kesan erotis dan sronok dari penari jathil yang tidak dapat dilepaskan. Penampilan erotis dari penari jathil obyogan telah nampak dari kostum yang dipakai, yang cenderung ketat dan transparan (Fauzannafi, 2005: 113). Kostum jathil festival dan jathil obyogan itu berbeda. Salah satu juri Festival Reyog, menegaskan bahwa untuk festival, pakaian jathil haruslah sesuai dengan “etika” berkesenian, sebagai contoh, celana jathil seharusnya 5 cm di bawah lutut dan tidak ketat. Sedangkan pada kostum jathil obyogan pakaian ketat dan “setengah paha” (Fauzannafi, 2005: 113). Selain kostum, hal lain yang dipertentangkan dari kedua bentuk penyajian itu adalah masalah perilaku penonton dan para pemain yang seronok dan kebiasaan menenggak minuman keras pada saat tanggapan Reyog Obyog berlangsung. Aturan yang telah dibuat dan disepakati dalam Reyog Festival tidak diterapkan pada Reyog Obyog. Terlebih reaksi masyarakat yang melihat pertunjukan tersebut sebagai hal yang biasa saja dan tidak mengganggu adat istiadat. Reaksi masyarakat tidak frontal dan sama sekali tidak ada rasa kekhawatiran pada perilaku masyarakat yang sekiranya mengarah pada tindakan erotisme. Tidak berhenti pada aksi erotisme yang ditunjukkan penari jathil, para penontonnya juga dipengaruhi oleh minuman beralkohol. Budaya seperti itu disajikan pada pentas rakyat yang ditonton oleh berbagai jenis usia. Bahkan dalam suatu pementasan obyogan seorang tamu berkata: Ponorogo kuwi ngombe yo ngombe, sholat yo sholat (Di ponorogo itu minum ya minum sholat ya sholat).
5
Dari pernyataan itu terlihat bahwa karakteristik beberapa orang di Ponorogo memiliki gaya hidup yang bebas dan tidak ingin terikat oleh suatu aturan di masyarakat (Fauzannafi, 2005: 87). Melihat sikap beberapa masyarakat yang sepertinya biasa saja pada fenomena tersebut, diperkirakan dalam kelompok masyarakat ini terdapat sikap permisif. Permisivisme berasal dari bahasa Inggris, permissive yang berarti serba membolehkan, suka mengizinkan. Sejalan dengan arti katanya, permisivisme merupakan sikap dan pandangan yang membolehkan dan mengizinkan segalagalanya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia permisif memiliki arti bersifat terbuka (serba membolehkan; suka mengizinkan): masyarakat kini sudah lebih terbuka-terhadap hal-hal yang dahulu dianggap tabu. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa sikap permisif adalah sikap yang mengizinkan dan membolehkan segalanya terlepas dari norma dan aturan yang berlaku. Masyarakat dengan sikap permisif lebih bersifat bebas dan tidak mau tahu terhadap persoalan yang sedang terjadi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Sifat ini sejalan dengan sifat yang dominan bagi masyarakat Indonesia, masyarakat cenderung tidak mau tahu terhadap persoalan-persoalan yang dianggap tabu. Sikap permisif banyak di latar belakangi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah prinsip hidup orang Indonesia yang tidak mau ikut campur terhadap urusan orang lain. Masyarakat Jawa memiliki perbedaan golongan yang meliputi: abangan, santri, priyayi (Geertz, 1997 : 87). Beberapa masyarakat Jawa mewakili setiap interaksi sosialnya yang didasarkan pada aspek kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi
6
politik. Pada golongan abangan pola interaksinya lebih bebas (tidak terikat aturan) dari pada golongan santri atau priyayi. Pertunjukan Reyog Obyog mengarah pada hiburan rakyat golongan abangan yang memberikan pola ruang untuk berimprovisasi tanpa harus terpaku pada suatu aturan. Improvisasi yang dilakukan bertujuan untuk usaha memberikan hiburan yang disenangi oleh penonton dalam golongan abangan ( Fauzannafi, 2005: 154). Kelas abangan mewakili sikap yang masih percaya pada segi-segi animisme, sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur penduduk desa. Golongan ini sangat dekat dengan pola kehidupan golongan bawah. Istilah abangan dimunculkan pada kebudayaan orang desa, yaitu para petani yang kurang dipengaruhi oleh aspek luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk (Geertz, 1981:87). Hal ini yang kemudian dapat dijadikan hipotesis mengapa masyarakat penikmat Reyog Obyog bersifat permisif terhadap fenomena erotisme jathil obyog. Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat Ponorogo saat penonton menikmati pertunjukan Reyog Obyog, penulis ingin mengkaji lebih lanjut mengenai fenomena ini. Penulis akan mengkaji dengan orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn. Kluckhohn menjelaskan bahwa suatu nilai budaya memiliki variasi jenis yang berlandasan pada lima masalah dasar pada diri manusia. Yaitu hakikat manusia, hakikat karya manusia, hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, hakikat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan yang terakhir hubungan manusia dengan manusia yang lain (Koenjaraningrat, 1990:191). Dari penjelasan
yang
sudah
dipaparkan,
menurut
penulis
ada
aspek
yang
7
mempengaruhi masyarakat untuk berperilaku permisif khususnya dalam pertunjukan Reyog Obyog. Aspek-aspek itulah yang melandasi penelitian penulis untuk menggali nilai yang sebenarnya dari sikap permisif masyarakat tersebut. Teori orientasi nilai budaya oleh Clyde Kluckhon digunakan sebagai objek formal dari penelitian ini, karena dapat mewakili penggambaran nilai budaya yang ada di pertunjukan Reyog Obyog sehingga memudahkan penulis untuk menganalisis terhadap aspek yang terkandung dalam sikap permisif penonton Reyog Obyog. Untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan pada pembahasan berikutnya. 1. Rumusan Masalah Adanya perubahan pola pertunjukan dan perilaku masyarakat dalam pertunjukan Reyog Ponorogo serta sikap sikap yang melatarbelakangi pertunjukan ini memunculkan pertanyaan dalam benak penulis. Untuk mengkaji fenomena sikap permisif penonton terhadap penari jathil Reyog Obyog, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : a) Bagaimana deskripsi dari pertunjukan Reyog Obyog ? b) Bagaimana fenomena sikap permisif penonton yang ada dalam pertunjukan jathil Reyog Obyog? c) Bagaimana hubungan antara sikap permisif penonton jathil obyog dengan penari jathil jika ditinjau dari perspektif orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn? d) Apa orientasi nilai budaya yang mendasari sikap permisif masyarakat Ponorogo?
8
2. Keaslian Penelitan Penelitian tentang Reog Ponorogo sudah banyak yang didokumentasikan. Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti tentang Sikap Permisif Penonton terhadap Penari Jathil Reyog Obyog Ditinjau dari Orientasi Nilai Budaya Clyde Kluckhohn. Penelitian ini memiliki objek formal pandangan orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn dengan objek material sikap permisif penonton pada jathil Reog Ponorogo. Berikut adalah daftar penelitian yang sudah ada yang memiliki kesamaan dengan objek formal maupun objek materialnya: 1. Reog Ponorogo, Menari di antara Dominasi dan Keragaman karya Muhammad Zamzam Fauzannafi, 2005, merupakan buku hasil penelitian yang dilakukannya di Ponorogo mengenai. Perbedaan antara Reyog Obyog dan Festival Reyog Nasional (FRN). Dan pemaparannya mengenai Reyog di masa sekarang. 2. Warok
Dalam
Sejarah
Kesenian
Reog
Ponorogo
Perspektif
Eksistensialisme oleh Lisa Sulistyaning Kencanasari, 2008, Program Sarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi ini meneliti tentang warok dalam Reog Ponorogo dalam perspektif eksistensialisme. 3. Nilai- Nilai Kebudayaan Dalam Reog Tulungagung oleh Endang Sriwahyuningsih Dewi Saraswati, 2010, Program Sarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi ini melakukan penelitian tentang Reog Tulungagung dengan objek formal pemikiran nilai budaya C. Kluckhohn.
9
4. Ludruk Dalam Perspektif Orientasi Nilai Budaya Clyde Kluckhohn oleh Jayanti Rakhmawati Putri, 2011, Program Sarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi inimeneliti tentang kebudayaan ludruk yang ditinjau dengan orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn. 5. Permainan Anak Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Nilai-Nilai Budaya Kluckhohn oleh Puradian Wiryadigda, 2011, Program Sarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini memaparkan mengenai permainan tradisional yang ada di Yogyakarta menggunakan objek Formal nilai budaya C. Kluckhohn. 6. Reog Ponorogo Dalam Tinjauan Aksiologi Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa oleh Asmoro Achmadi, 2012, Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Disertasi ini meneliti tentang Aksiologi yang ada dalam Reog Ponorogo dengan pandangan Max Scheller. Sekilas terlihat objek formal ataupun objek material memiliki kesamaan, akan tetapi menurut penelusuran penulis, penelitian tentang Sikap permisif penonton terhadap penari jathil Reyog Obyog ditinjau dari orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn belum pernah dilakukan, sehingga menurut peulis keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan. 3. Faedah yang diharapkan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tak langsung. Bagi penulis manfaat langsung yang diharapkan
10
adalah penelitian ini dapat menjadi salah satu sumbangan dalam penelitian filsafat dan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Adapun manfaat jangka panjang yang diharapkan meliputi: a. Bagi Perkembangan ilmu Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terlebih dalam bidang budaya. Dengan pemahaman menyeluruh mengenai nilai budaya diharapkan ilmu di Indonesia dapat bertahan diantara perkembangan zaman dan ketertinggalan dari bangsa lain. Selain itu penulis berharap penelitian filsafat dapat dipahami oleh orang awam sebagai suatu kajian ilmiah yang berkesinambungan dengan bidang keilmuan lain. b. Bagi Perkembangan Ilmu Filsafat Dalam bidang Ilmu Filsafat penelitian ini diharapkan mampu memberikan wujud konkrit dari Ilmu filsafat. Dengan adanya kajian budaya Nusantara yang sedemikian diharapkan mampu memberikan referensi dan pola pikir baru dalam pengaplikasian bidang fillsafat dan studi ilmu lain. c. Bagi Kehidupan Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan masyarakat dan memperkenalkan nilai-nilai budaya yang tergerus oleh arus modernitas dan memberikan cara pandang lain terhadap penelitian filsafat. Dengan penelitian ini penulis berharap mampu membuka hasrat masyarakat untuk memajukan budaya bangsa dan ilmu filsafat agar tidak jauh tertinggal dengan bangsa lain.
11
B. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah : 1. Mendiskripsikan apa yang dimaksud pertunjukan Reyog Obyog. 2. Memaparkan bagaimana fenomena sikap permisif penonton yang ada dalam pertunjukan jathil Reyog Obyog. 3. Memaparkan bagaimana hubungan antara sikap permisif penonton jathil obyog dengan penari jathil jika ditinjau dari perspektif orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn. 4. Memaparkan hasil analisis mengenai orientasi nilai budaya yang mendasari sikap permisif masyarakat Ponorogo. C. Tinjauan Pustaka Sebagai langkah awal dalam penelitian yang akan dilaksanakan, penulis melakukan berbagai tinjauan terhadap buku-buku dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan, agar tidak terjadi kerancuan terhadap topik yang ditulis dan menentukan sebenarnya di mana posisi topik penelitian yang penulis lakukan. Di antara hasil-hasil penelitian yang pernah mengangkat Kesenian Reyog Ponorogo dan Reyog Obyog Ponorogo sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut: Dalam buku Pedoman Dasar Sejarah Reog Ponorogo yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ponorogo dimuat tiga versi utama kisah asal-usul Reog Ponorogo dan ditempatkan secara kronologis. Versi pertama adalah Kerajaan Bantarangin (abad XI), versi kedua versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Kertabumi di
12
Majapahit (abad XV), dan diakhiri oleh versi Bathoro Katong yang merujuk pada penyebaran agama Islam di wilayah Ponorogo pada (abad XV). Penelitian yang dilakukan Endang Sriwahyuningsih Dewi Saraswati dalam skripsinya
Nilai – Nilai Kebudayaan Dalam Reog Tulungangung, Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2010 mengangkat tentang nilai – nilai yang ada dalam sebuah pertunjukan Reyog Tulungagung yang kemudian memberikan gambaran bahwa berbagai sikap hidup etis dan bersahaja yang menjadi makna tiap gerakan dalam Reog Tulungagung merupakan “bukti” yang menjadikannya tetap relevan dengan situasi kekinian, baik dalam sosialitas maupun dalam pengelolaan alam, lingkungan hidup manusia. Begitu juga dengan isi penelitian yang dilakukan oleh Lisa Sulistyaning Kencanasari, dalam skripsi Warok Dalam Sejarah Kesenian Reog Ponorogo Perspektif
Eksistensialisme,
Fakultas
Filsafat
Universitas
Gadjah
Mada
Yogyakarta. 2008. Peneliti ini mendeskripsikan tentang sosok warok dalam kesenian Reyog Ponorogo serta nilai eksistensial yang ada dalam tokoh tersebut. Hasil yang didapatkan bahwa kesenian reog telah menjadi bagian dari masyarakat Ponorogo. Kesenian Reyog menggambarkan tentang eksistensi Warok dalam melawan ketidak-adilan raja Brawijaya V yang dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya. Kebijakan–kebijakan raja sangat menyengsarakan rakyat dan apabila hal ini terus dibiarkan maka akan berdampak pada munculnya pemberontakanpemberontakan di seluruh wilayah kerajaan. Penelitian yang dilakukan oleh Asmoro Achmadi, Reog Ponorogo dalam Tinjauan Aksiologi Relevansinya dengan Pembangunan Karakter Bangsa (2012)
13
mengangkat tentang nilai aksiologis dalam Reog Ponorogo dan unsur keseniannya serta relevansi terhadap pembangunan karakter bangsa. Kemudian didapatkan hasil bahwa kesenian Reog Ponorogo memiliki nilai: keruhanian, nilai spiritual, nilai kehidupan, nilai kesenangan. Nilai yang muncul kemudian menjadi nilai yang dapat ditransformasikan dalam perkembangan pembangunan karakter bangsa. Muhammad Zamzam Fauzanafi dalam bukunya yang berjudul Reog Ponorogo, Menari di antara Dominasi dan Keragaman, 2005. Mengemukakan bahwa apa yang terjadi di Ponorogo dengan menunjukan hal yang kurang lebih serupa dengan peneliti lain. Bahwa reyog yang secara tradisional identik dengan nilai–nilai yang dibangun oleh golongan tiyang Ho’e atau bangsawan. Kemudian menggeser Reyog Obyog sedemikian rupa menjadi reyog yang muncul dalam Festival Reyog Nasional dan pentas Reyog Bulan Purnama. Dari penelitian yang ditemukan, beberapa membahas mengenai nilai – nilai kebudayaan di dalam reyog, eksistensinya pada kehidupan masyarakat, pola pertunjukan reyog dahulu dan saat ini, dan tinjauan aksiologinya. Melalui beberapa penelitian tersebut penulis belum menemukan pembahasan mengenai sikap permisif dari penonton reyog. Khususnya terhadap fenomena yang terjadi di Reyog Obyog. Selain itu penulis juga belum menemukan adanya penelitian yang terkait dengan Reyog Obyog dan orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn. Oleh karena itu penulis akan mencoba mengkaji lebih lanjut mengenai kedua bahasan tersebut dengan judul “Sikap Permisif Penonton terhadap Penari Jathil Reyog Obyog Ditinjau dari Orientasi Nilai Budaya Clyde Kluckhohn”.
14
D. Landasan Teori Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta; buddayyah, yang berasal dari bentuk jamak buddhi yang berarti budi atau akal (Soekanto, 2002;: 172). Sedangkan kata Buddayah sendiri terdiri dari kata budi dan daya. Budi artinya makna, akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat, atau perasaan. Daya memiliki makna yang tersirat dalam budi yaitu sebagai himpunan kemampuan dan segala usaha yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan kesempurnaan. Menurut B. Malinowski dalam buku Munandar Sulaeman sebuah kebudayaan memilik 7 unsur universal yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi politik, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Beberapa sistem itu kemudian dikombinasikan ke dalam bagan lingkaran yang akan memunculkan sifat kebudayaan yang dinamis (Munandar, 1993: 13). Dalam buku pengantar ilmu antropology, C Kluckhon yang dikutip oleh Koenjaraningrat (1990:191), mengatakan bahwa variasi jenis nilai budaya bertumpu pada lima masalah dasar kehidupan yaitu hakikat manusia, karya manusia, kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kluckhohn dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai budaya merupakan sebuah konsep beruang lingkup luas yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai-nilai budaya. Secara fungsional sistem nilai ini
15
mendorong individu untuk berperilaku seperti apa yang ditentukan. Manusia percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu manusia akan berhasil (Pelly:1994). Menurut Clyde Cluckhon di dalam setiap wujud kebudayaan terkandung nilai tertentu. Berbagai nilai tersebut dikelompokkan Kluckhon menjadi (1) Nilai hakikat kehidupan manusia, (2) Hakikat karya manusia, (3) Hakikat hubungan manusia dengan alam, (4) hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, dan (5) hakikat hubungan manusia dengan sesamanya (Koentjaraningrat,2005:28) Sementara itu pengertian mengenai sikap permisif dalam hubungan keluarga dapat digambarkan dari sikap yang ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Dengan kata lain sikap ini adalah sikap yang memberikan kebebasan pada seseorang untuk menilai sesuatu menjadi penilain yang baik atau buruk tanpa mempermasalahkan aturan di masyarakat (Hurlock, 1976) Pada sikap permisif terdapat tiga prediktor untuk memahami sikap tersebut. Pertama variabel demografis, hubungan masyarakat dengan kondisi geografis seseorang yang meliputi jenis kelamin, tempat tinggal, tingkat pendidikan, status kerja. Kedua adalah variabel keluarga, dapat dilihat mengenai tingkat pendidikan ayah dan ibu serta pekerjaan ibu. Untuk variabel ketiga adalah variabel latar belakang sosial tentunya mengarah pada persoalan sosial yang telah terjadi (Faturochman, 1995 :28). Berdasarkan teori-teori di atas, diharapkan dihasilkan analisa mengenai nilai-nilai yang melatarbelakangi sikap permisif masyarakat terhadap pertunjukan
16
Reyog Obyog. Sehingga memperoleh pemaparan yang jelas mengenai nilai-nilai yang ditanamkan pada setiap pementasan. E. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian Penelitian ini penulis lakukan dengan menggunakan metode kajian kepustakaan yang kemudian ditambah metode kajian lapangan dengan sistematisrefleksif. Seperti yang sudah dijelaskan pada buku Metodologi Penelitian Filososfis karangan Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (Anton Bakker dan Achmad Chariss Z, 1990: 91,92). Penelitian ini merupakan penelitian filosofis yang mengangkat nilai–nilai di dalam sebuah pertunjukan jathil reyog obyog. a. Data Pustaka : Kajian pustaka adalah suatu kajian yang diperoleh dari sumber pustaka dengan menggunakan literature buku, dalam kajian pustaka terdapat dua tipe data pustaka yaitu pustaka primer dan sekunder. Pustaka primer meliputi tulisan Purwowijoyo mengenai Babad Ponorogo (1984) yang terdiri dari 8 jilid. Sumber lain dalam penelitian ini meliputi Sejarah, Jurnal- Jurnal, dan berbagai sumber kepustakaan mengenai Reog Ponorogo. Pustaka sekunder meliputi buku, artikel, jurnal penelitian, yang digunakan sebagai pendamping data primer. Pustaka yang digunakan lebih bersifat umum untuk membantu memberikan pemahaman lebih mendalam pada penelitian ini.
17
1. Asmoro Achmadi, 2012. Reog Ponorogo dalam Tinjauan Aksiologi. Relevansinya dengan Pembangunan Karakter Bangsa. Universitas Gadjah Mada. 2. Endang Sriwahyuningsih Dewi Saraswati, 2010. Nilai-nilai dalam Kebudayaan Reog Tulungagung. Universitas Gadjah Mada. 3. Lisa Sulistyaning Kencanasari, 2008. Warok dalam Sejarah Kesenian Reog Ponorogo Perspektif Eksistensialisme. Universitas Gadjah Mada. 4. Muhammad Zamzam Fauzanafi, 2005. Reog Ponorogo, Menari diantara Dominasi dan Keragaman. Kepel Press. b. Data Lapangan Selain mengacu pada kajian pustaka penulis juga membutuhkan kajian lapangan yang dapat digunakan sebagai pendukung dari data pustaka. Kajian lapangan yang penulis gunakan adalah metode wawancara, yang selanjutnya akan dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh data yang valid terkait rumusan yang diteliti. Narasumber yang diperlukan penulis adalah pelaku utama dari pertunjukan reyog. Seperti penari jathil obyog dan penonton pertunjukan reyog obyog. Lebih spesifiknya penulis akan melakukan wawancara pada beberapa penari jathil kelompok Reyog “Pujonggo Anom”
yaitu
kelompok yang berada di Karanglo Lor dan pelaku pertunjukan Reyog Obyog lainnya seperti pengrawit atau pemain alat musik. Serta penulis
18
akan mencari narasumber terkait cerita asal usul reyog, penari jathil, penonton, pengamat kesenian reyog.
2. Jalan Penelitian
Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam pengumpulan data penelitian ini sebagai berikut: a) Langkah pertama, pengumpulan data kepustakaan yang terkait dengan kajian. Pengumpulan data dilakukan dengan pencarian dokumen atau sumber pustaka terkait objek formal dan material. b) Langkah kedua, melakukan penelusuran mengenai data primer dan sekunder yang digunakan sebagai sumber utama. Sumber data utama digunakan untuk menganalisis hambatan-hambatan yang akan ditemui penulis dalam proses penelitian. c) Langkah ketiga setelah data primer ditemukan dilakukan klasifikasi antara data primer dengan data sekunder sebagai sumber tambahan. Untuk memudahkan jalannya penelitian. d) Langkah keempat, Setelah mengumpulkan data kepustakaan dan data lapangan. Dilakukan analisa data yang sudah diklasifikasikan. e) Langkah kelima, Dari data yang telah terkumpul dan diklasifikasikan kemudian dituangkan kedalam bentuk laporan yang sistematis. 3. Analisis Hasil Metode penelitian yang digunakan untuk pengambilan data dan analisa data pada penelitian ini menggunakan pendekatan multidisiplin yang terdiri dari
19
penelitian pandangan filosofis di lapangan. Data yang diambil di lapangan adalah data yang berupa hasil wawancara. Sehingga penelitian dapat dimasukkan kedalam jenis penelitian kualitatif. Adapun unsur-unsur metodis sebgai berikut: 1. Deskripsi, yaitu memberikan gambaran data Reyog Obyog secara sistematis dan mengklasifikasikan kedalam tema penelitian. 2. Interpretasi, yaitu penulis memberikan konsepsi filosofis mengenai isi dari Reog Ponorogo dan berbagai literatur tentang pemikiran nilai budaya pada sikap permisif yang muncul di masyarakat. 3.
Kesinambungan
historis,
yaitu
menjelaskan
tentang
adanya
kesinambungan lingkaran historis antara masyarakat dengan pelaku reyog dalam pertunjukan Reyog Obyog. 4. Koherensi Intern, yaitu melakukan pengkajian terhadap unsur yang melatarbelakangi sikap permisif masyarakat dengan sudut pandang orientasi nilai budaya C. Kluckhohn. Kemudian dicari unsur yang lebih menonjol diantara keduanya. F. Hasil Yang Dicapai Hasil penelitian filosofis yang ingin dicapai dalam tema Sikap permisif penonton terhadap penari jathil reyog obyog ditinjau dari orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn diharapkan mampu memberikan hasil sebagai berikut: 1. Mendapatkan informasi dan gambaran yang jelas mengenai Reog Obyog. 2. Mendapatkan konsepsi filosofis melalui pemahaman tentang nilai-nilai budaya yang terdapat dalam Reog Obyog.
20
3. Memahami sikap permisif yang dimunculkan oleh penonton reyog obyog terhadap penari jathil. G. Sistematika Penulisan Penelitian ini mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I dalam penelitian ini adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan luaran yang diharapkan. Tinjauan pustakan dan landasan teori juga menjadi bagian dari bab ini disertai metodologi penelitian. Bab II Mendeskripsikan bagaimana Reog Obyog itu berada di antara masyarakat serta bagaimana awal kemunculannya. Dan bagaimana fenomena sikap permisif penonton tehadap pertunjukan itu. Bab III adalah pembahasan tentang sudut pandang teori orientasi nilai budaya terhadap suatu bentuk kebudayaan masyarakat di Indonesia. Bab IV adalah hasil analisis dengan menggabungkan bentuk kebudayaan reyog ponorogo dengan fenomena sikap permisif masyarakat yang ditinjau lebih dalam menurut teori orientasi nilai budaya C.Kluckhohn. Bab V hasil penyimpulan yang akurat terhadap penelitian Reog obyog ditinjau dalam perspektif Nilai Budaya C.Kluckhohn mengenai permasalahan dan pembahasannya, serta memberikan saran yang mungkin diperlukan oleh pembaca penelitian ini.