I. PENDAHULUAN Lata r Belakang Kentang merupakan tanaman pangan utama dunia sesudah padi, gandum dan jagung.
Di Indonesia kentang lebih banyak dikonsumsi sebagai sayuran dari pada
makanan pokok.
Walaupun demikian tanaman kentang mempakan salah satu
komoditi sayuran yang mendapatkan prioritas untuk diembangkan seIain beberapa tanaman seperti bawang merah, bawang putih, kacang panjang, tornat dan cabai. Pada tahun 1998 luas areal pertanaman kentang di Indonesia adalah 55.1 10 hektar, dengan produksi rata-rata nasional 15,39 ton per hektar (Deptan, 1999). Beberapa' alasan pengembangan tanaman kentang adalah: ( 1 )
menanam kentang sangat
menguntungkan petani karena selain harganya cukup tinggi, umbi kentang relatif tidak mudah rusak dan fluktuasi harga umbi di pasar sangat kecil (Wattimena 1993),
(2) dalam rangka diversifikasi pangan, penggunaan umbi kentang lebii dapat diterima oleh masyarakat luas dibandingkan ubi kayu, ubi jalar maupun jenis umbiumbian yang lain, karena status sosial tidak merasa turun apabila mengkonsumsi makanan dari kentang (Wattimena, 1994), (3) Nilai gizi kentang cukup tinggi, dimana
hampir semua asam amino esensial terdapat
pada umbi
kentang,
kekurangannya hanya pada asam amino metionin dan sistein (Bajaj, 1987), dan (4) kentang me~pztkanbahan baku penting pada industrifrenchfries. chip, pati kentang
d m lain-lain (Wattimena, 1993). Pengembangan kentang di Indonesia dan daerah tropis pada umurnnya dibatasi oleh sejumlah kendala antara lain ketersediaan bibit bermutu, keterbatasan lokasi penanaman dan kendala hama dan penyakit.
Tanaman kentang seperti
tanaman-tanaman lain yang diproduksi dan diperbanyak secara vegetatif, penanaman umbi bibit dari hasil panen sebelumnya secara t e n s menerus akan mengakumulasi penyakit sistemik seperti virus dan bakteri. Akumulasi penyakit tersebut akan secara nyata menurunkan produksi umbi (Suliansyah, 1999). Produksi bibit bermutu di negara tropis amat sulit dilakukan karena tidak ada musim dan atau daerah yang
bebas penyakit maupun vekior dari penyakit, sehingga bibit bermutu hams selalu diimpor dari negara lain dengan h g a yang tidak terjangkau oleh petani. Tidak seperti daerah yang mempunyai empat musim, penanaman kentang di daerah tropis hanya dapat dilakukan di dataran tinggi sehingga didapatkan suhu yang cukup rendah.
Penanaman kentang pada suhu yang lebii tinggi atau pada dataran
yang lebii rendah mengakibatkan produksi menurun akibat dari sernakin rendahnya asimilat yang dapat disirnpan dalam umbi dan serangan penyakit yang lebih banyak. Tanaman kentang Xne~pZLkantanaman yang mempunyai hama dan penyakit yang terbanyak.
Tanarnan kentang tercatat mempunyai 266 hama dan penyakit yang
terdiui dari 23 virus, 38 cendawan, 6 b a k t e i 2 rnikoplasrna, 1 viroid, 68 nematoda dan 128 insekta (Mendoza, 1987). Tiga penyakit utarna yang sarnpai saat ini sukar dikendaliian adalah penyakit degenerasi virus, penyakit hawar d a m (Phylophthora infestuns) dan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum).
Penyakit degenerasi virus terutama disebabkan
oIeh virus kentang X (PVX), virus kentang Y (PVY) dan virus kentang penggulung daun (PLRV).
Ketiga virus kentang tersebut (PVX, PVY, dan PLRV) dapat
menurunkan hasil berturut-turut
10-50%, 40-80% dan 80%
(Beemster dan
Rizendd, 1972; Suliansyah, 1999), sedangkan penyakit layu bakteri dan hawar daun dapat menurunkan produksi sarnpai 80% (Wattimena, 1994). Salah satu cara untuk rnengatasi masalah &lam pengembangan tanaman kentang adalah mendapatkan kultivar baru yang berproduksi tinggi, tahan terhadap beberapa penyakit penting dan produksinya dapat mencapai standar mutu yang dibutuhkan oleh konsurnen
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan kultivar baru, yaitu rnelalui cara penyilangan dengan spesies tertentu, mutasi buatan, penggunaan metode transforrnasi genetik dan h i protoplas. Beberapa sifat-sifat tanarnan kentang yang penting sehubungan dengan metode pemuliaan adalah: (1)Tanaman kentang adalah menyerbuk silang yang kejaguran tanarnan tergantung dari tingkat heterosigositasnya,
(2) Perbanyakan
kentang dapat dilakukan dengan biji maupun dengan cara klonal melalui umbi biasa,
umbi mini, umbi mikro, stek mini dan stek mikro, (3) Spesies tanaman kentang yang dibudidayakan dapat terdiri dari diploid (2N=2x=24), triploid tetraploid (2N=4r48)
dan pentaploid (2N=Sx=60) (Serraf,
(2N=3x=36),
1991). Kentang
komersial umumnya adalah tetraploid sedangkan spesies diploid sering mengandung sifat-sifat ketahanan penyakit, hama dan cekaman lingkungan (Austin et al., 1985),
(4) Haploidisasi dapat dilakukan dengan cara partenogenesis atau androgenesis sampai pada tingkat monohaploid (Jacobsen dan Ramanna, 1994), (5) Kemampuan pembentukan 2n garnet dari kentang monohaploid dan dihaploid, (6) Tanarnan kentang dapat diregenerasikan dari semua jaringan/organ tanaman secara in vifro dapat bempa anter, embrio muda, umbi, batang, daun, sel dan protoplas (Bajaj, 1987).
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam produksi kultivar baru pada tanaman kentang dapat dilihat pada Gambar 1. Pemuliaan tanaman kentang pada level tetraploid merupakan pekerjaan yang sulit, dan lama, terutama disebabkan karakternya yang diturunkan secara tetrasomik, heterosigositasnya tinggi, adanya self incompatibility dan mandul jantan pada beberapa kultivar (Wenzel, 1994). partenogenesis
dapat
menghasilkan
tanaman
dihaploid,
pemuliaan dapat dilakukan pada level dihaploid tersebut.
Kultur anter atau kemudian
program
Cara ini rnemiliii
beberapa keuntungan, yaitu: (1) efisien dalam menghilangkan gen-gen yang tidak diiiginkan karena segregasinya lebih sederhana, (2) l e b i efektif mengkombinasikan karakter-karakter yang diinginkan dari spesies-spesiies liar untuk meningkatan variabilitas genetiknya (Ross, 1986). Penggunaan tanaman dihaploid dalarn . program pemuliaan, pada akhirnya hams dikembalikan pada level tetraploid.
Beberapa cara yang dapat dilakukan
adalah: poliploidisasi dengan perlakuan kolkisin, penyilangan 4x-2x atau 2x-2x, regenerasi secara in virro dan fisi protoplas (Wenzel 1994). Poliploidisasi dengan cara penggandaan kromosom akan meningkatkan homosigositas, sehiigga akan
mengurangi produksi dan vigor tanarnan, sedangkan penyilangan 4x-2x atau 2x-2x membutuhkan
tetua
yang
mampu
memproduksi
diplogamet (2n garnet),
sehingga j u d a h genotipe yang dapat dipakai sangat terbatas (Hermsen, 1994).
+ @artenogenesisf
+
7
Spesies solanurn diploid berumbi
Tanaman Kentang dihaploid
Diseleksi terhadap vigor, fertilitas, ketahanan hama dan penyakif adaptasi agronomi
Diseleksi terhadap produksi, morfoIogi kualitas umbi
+
I
Penyilangan Penyilangan Hibrida dihaploid
Transformasi
kitinase, hordothionin, dlI)
1 Fusi Intraspesifik
1 Kentang tetraploid dengan maksimal heterosigositas
Gambar 1 .
7 Program Pemutiaan 7
Kultivar Baru +--
Kerangka pemikiran untuk mendapatkan kultivar b a r ~pada tanaman kentang
Penggunaan tanarnan haploid dalam program pemuliaan kentang tidak sepenuhnya dapat dilakukan penyilangan dengan spesies liar, karena beberapa spesies liar dengan EBN 1 (Endosperm Balance Number) tidak dapat dilakukan penyilangan dengan kentang dihaploid yang mempunyai EBN 2. Penggunaan metode transformasi adalah cara yang ideal untuk mentransfer gen yang diinginkan secara efisien tanpa ada halangan seksual dan kedekatan taksonomi (Ramulu ef al., 1996). Akan tetapi penggunaan metode transformasi hanya dapat dilakukan pada sifat-sifat genetik yang disandi oleh gen tunggal. Beberapa sifat yang disandi oleh banyak gen yang terletak di satu atau di beberapa kromosom tanarnan sangat sulit diidentifikasi dan diisolasi, sehingga penggunaan metode transformasi menjadi sangat sulit untuk diterapkan (Ramulu et al., 1995; Waara dan Glimelius, 1995; Milam et al., 1995;Ramulu et al., 1996). Penggunaan rnetode fisi protoplas atau hibridisasi sornatik rnerupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain dapat mentransfer gen-gen yang belum teridentifikasi, hibridisasi sornatik juga mempakan suatu metode untuk memodifikasi dan memperbaiki sifat-sifat yang diturunkan
secara poligenik (Milam et a[., 1995; Waara dan Glimelius, 1995). Fusi protoplas dapat dilakukan dengan cara menggabungkan seluruh genom dari dua jenis protoplas dari kultivar yang berlainan (intraspecifc),
atau antar spesies dalam genus yang
sama (interspec~jk) atau f k i antar genus dalam satu famili (inter generic) (Wattimena, 1999). Fusi intraspesifik bertujuan untuk meresintesis genotipe tetraploid dari galur tanarnan dihaploid yang telah terseleksi sehingga tanaman tetraploid hasil h s i mempunyai tingkat heterosgositas yang tinggi.
Penggunaan fisi protoplas
memungkinkan produksi hibrida dengan heterosigositas yang tinggi
hanya dalam
sekali langkah sehingga sangat efisien, walaupun keberhasilannya sangat ditentukan oleh genotipa (Ross, 1986; Mollers et al., 1992; Waara dan Glimelius, 1995). Fusi protoplas antar spesies dalam satu genum (interspecific) bertujuan rnendapatkan sifat-sifat tertenty rnisalnya resistensi terhadap hama dan penyakit.
Sifat-sifat ketahanan banyak terdapat
pada spesies diploid, misalnya- Solanum
phureja (resistensi PVY dan layu bakteri) (Hawkes, 1994), S. breviden (resisten terhadap PLRV) (Austin et al., 19851, S. demissum (resisten terhadap Phytophthora infestans) (Haberlach et al., 1985; El-Kharbotly et al., 1996), S. etuberosum (resisten terhadap fiost), S. pennellii (resisten terhadap Alternaria), S. berthaultii (resisten terhadap serangga)(Serraf, 1991) dan S. balbocastanum resisten terhadap nematoda (Brown et al, 1995). Introgresi sifat-sifat ketahanan juga dapat dilakukan dengan cara fusi protoplas antara kentang dengan genus lain dalarn Solanaceae atau fusi antar genus (intergeneric), misalnya untuk mendapatkan ketahanan terhadap hawar daun, layu bakteri dan kekeringan dilakukan f k i
Solanum tuberosum dengan spesies liar
Lycopersicon pimpinellifolium (Tan, 1987). Sifat-sifat yang ditransfer ke dalam tanaman kentang melalui fusi protoplas baik fusi interspesifik maupun intergenerik sering kali karena alasan inkornpatibilitas seksuaI.
Hasil dari fusi protoplas tersebut adalah tanaman dengan sifat-sifat
gabungan, termasuk sifat-sifat yang tidak diinginkan yang berasal dari spesies liar. Menghilangkan sifat-sifat yang tidak diinginkan dalam tanaman hasil fusi biasanya dilakukan rnelalui cara silang balik (backcross) dengan salah satu tetuanya. Fusi interspesifik yang hasilnya diharapkan mirip dengan fusi intraspesifik adalah h i
kentang dihaploid (S. tuberosum) dengan spesies diploid yang juga
dibudidayakan. Spesies diploid yang dibudidayakan antara lain Solanum ajanhuiri, S. goniocalyx, S. srenoromum dan S. phureja. Spesies diploid S. stenotomum dan S. phureja selain rnenghasilkan urnbi juga mernbawa sifat-sifat ketahanan.
Menurut
Hawkes (1994), S. stenotomum mengandung gen-gen ketahanan terhadap layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), layu verticillium, PLRV, PVM, PSTV, layu verticiliurn, ring rot dan root-knot nematode, sedangkan pada S.phureja terhadap sifat-sifat ketahanan terhadap hawar daun (Phytophthora invesrans), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum). softrot (Erwinia carofovora), PVX dan PVY. Fusi
antara spesies diploid tersebut dengan spesies dihaploid kentang yang telah terseleksi diharapkan menghasillcan kultivar baru yang unggul.
Fusi Protoplas Fusi protoplas dapat dilakukan menggunakan cara kirnia atau listrik.
Fusi
protoplas melalui cara kirnia sering kali menggunakan PEG (Polyethelene glicol). Dalarn proses fusi, PEG selain sebagai bulking agent juga berfungsi sebagai jernbatan antar protoplas, mirip dengan fungsi plasmodesmata.
Pada kondisi
dernikian, sedikit sekali protoplas yang berfusi Fusi antar protoplas sebagian besar tejadi pada saat PEG dihilangkan atau dicuci dari protoplas. Keberhasilan fusi akan sangat ditentukan oleh konsentrasi PEG yang dipakai dan lamanya inkubasi protoplas dalam PEG.
Keuntungan fusi protoplas dengan PEG antara lain &pat
dilakukan dengan peralatan sederhana, &an
tetapi PEG seringkali toksik terhadap
p r o t o p h sehingga dapat menghambat pertumbuhan clan perkembangan protoplas setelah hsi.
Fusi melalui cara listrik (electrofusion) dilakukan dengan menggunakan alat khusus yang terdiri dari generator AC clan DC.
Generator AC berfungsi untuk
membuat protoplas berjajar berantai, k e m u d i fusi dilakukan dengan memberikan pulsa DC pada tegangan tertentu. Pulsa DC ini akan membuat celah yang dapat balik sehingga protoplas dapat berfusi (Zimmermann, et al., 1974; Zimrnermann dan Scheurich. 1981;de Vries clan Templaar, 1987). Untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi adanya hibrida somatik dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain secara visual (Amirato et al., 1983), melihat kejaguran hibrida dari mikro kalus yang dihasilkan (Debnath clan Wenzel 1987), menggunakan m k a biokimia, seperti mutan defisiensi nitrat reduktase (Glimelius dan Bonet, 1981), ketahanan asam amino analog (White dan Vasil 1979; Tan, 1987; de Vries, 1987), auksin autotropik (Carlson ef aZ.,1972),
penghitungan
kromosom dan analisis ploidi denganflow cytornetry ( S i h a c W el al., 1989; Chaput et al., 1990; Serraf ef al. , 1991; Menke ef al., 1996), menggunakan teknik RFLP
(Kaendler e f al., 1996; Oberwalder et al, 1997), teknik RAPD (Craig et al., 1994; Millam et al., 1995), juga melihat morfologi tanaman di laboratorium dan di lapang (Serraf et al., 199; Millam et al., 1995).
Masalah Penelitian Produksi hibrida somatik pada Solanaceae telah banyak dilakukan (Tan, 1987; Sihachakr et al., 1989; Chaput er al., 1990; Serraf et al., 1991; Craig el al., 1994; Kaendler et al., 1996; Menke e f a/., 1996; Oberwalder et al., 1997) akan tetapi metode yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung dari tetua yang dipakai. Sampai saat ini belurn ada rnetode h i protoplas yang dapat berlaku umum pada kombinasi fbsi dalam genus Solanurn. Penelitian-penelitian yang dipublikasi umumnya hanya melaporkan satu kombinasi fusi antara kultivar dan spesies tertentu. Pada penelitian ini dilakukan sepuluh kombinasi fbsi intraspesifik dan interspesifik, sehingga penapisan beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi hibrida somatik perlu dilakukan. Keberhasilan produksi hibrida somatik sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam proses kuitur protoplas dan regenerasinya menjadi tanaman dari tetua-tetuanya. Oleh karena itu perlu diketahui metode kultur protoplas, baik mengenai sumber protoplas yang dipergunakan, jenis dan konsentrasi enzim untuk isolasii komposisi medium penaburan protoplas dan medium regenerasi mikrokdus menjadi tanaman pada masing-masing tetua yang dipakai. Klon-klon yang digunakan pada fusi intraspesifik adalah klon dihaploid yang telah terseleksi dari INRA, Perancis. Resintesis klon-klon tersebut menjadi tanaman kentang tetraploid dapat dilakukan dengan perlakuan kolkisin atau persilangan 2x-2x atau 2x-4x (Wenzel,
1994), akan tetapi penggunaan metode tersebut akan
mengurangi hetorosigositasnya clan diperlukan
klon yang dapat memproduksi
diplogmet, dilain pihak penggunaan metode fUsi protoplas dapat memaksimalkan heterosigositasnya clan dapat dilakukan sekali langkah (Millam e f a / . , 1995).
Spesies-spesies yang digunakan dalarn penelitian ini adalah jenis spesies solanurn yang berumbi.
Spesies-spesies tersebut selain membawa gen-gen
ketahanan, diantaranya juga merupakan spesies yang dibudidayakan dan berproduksi tinggi (S.stenotornurn dan S.phureja). Spesies lain seperti S.vernei dan S. berthaultii sangat sulit disilangkan dengan S.tuberosum walaupun mempunyai EBN=2 (Serraf et al., 1991). Penggunaan fusi protoplas dapat membantu program pemuliaan tanaman dalam introgresi gen-gen ketahanan yang dimiliii. Efisiensi penggunaan metode h s i protoplas sangat dibatasi oleh masalah Tetua-tetua yang dipakai pada penelit ian ini tidak
identifkasi hibrida somatik.
mempunyai marka morfologi yang dapat mengidentifikasi hibrida somatik yang dihasilkan secara cepat, sehingga untuk mengidentifikasi hibrida somatik dari regeneran-regeneran tersebut diperlukan identifikasi yang efisien baii melalui analisaflow cytometv, isoenzim, RAPD, clan penghitungan kromosom Identifikasi bertingkat tersebut diperlukan untuk rnendapatkan validitas dalam penentuan hibrida somatik.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan mendapatkan hibrida somatik dari beberapa kombiiasi ksi, baik fbsi intraspesifik maupun fusi interspesifik. Untuk rnencapai tujuan tersebut pada penelitian ini dilakukan beberapa seri percobaan seperti terlihat pada Gambar 2.
Sedangkan faktor-faktor yang diteliti pada setiap
percobaan disajikan pada Gambar 3. Fusi intra spesifik terdiri dari BF15 (dihaploid)+Nicola (dihaploid), BFl S+SVP10 (tetraploid),
Cardinal (dihaploid)+
SVPlO (tetraploid), dan Nicola (dihaploid)+ SVPlO (tetraploid), sedangkan h i interspesifik terdiri dari fusi
Cardinal (dihaploid)+S.vernei (diploid),
BF15
(dihaploid)+S.vernei (diploid) , BF15 (dihaploid)+S.stolon~~erum, BF15 (dihaploid)+ S.phureja (diploid), BF 15 (dihaploid)+S.berthaulrii (diploid), BF 15 (dihaploid)+ S.s~o/onife'erum(tetaploid),dan SF1 5 (dihaploid)+S.stenotomum (diploid).
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.
Mempelajari metode isolasi protoplas, kultur protoplas, serta regenerasinya menjadi tanaman lengkap.
2.
Mendapatkan hibrida somatik kentang intra maupun interspesies melalui fusi protoplas
3.
Mengkonfumasi dan verifkmi hibrida somatik dengan analisis flow cyiome&y,
isoenzim, RAPD (Random Arnpl$ed
Polymorphism
DNA),
jumlah kromosom, ukuran seI penjaga dan jumlah kloroplas pada sel penjaga. 4.
Keragaan fenotipik hibrida somatik secara in vitro melalui penanaman tunas mikro dan produksi umbi in vitro.
5.
Keragaan fenotipik hibrida somatik di lapang melalui penanaman stek mikro di pot dan di tanah.
Hipotesis 1.
Metode isolasi, jumlah protoplas, pertumbuhan dan perkembangan pada saat kultur d m regenerasi protoplas menjadi tanaman sangat tergantung dari material sumber protoplas, enzim yang digunakan, komposisi media tumbuh, kultivar dan spesies yang digunakan.
2.
Kultur protoplas pasca h s i dan regenerasinya menjadi tanaman sangat ditentukan oleh kemampuan regenerasi kedua tetuanya
3.
Hibrida somatik akan mempunyai sifat clan morfologi gabungan dari kedua tetuanya, oleh karena itu hibrida somatik secara tepat dapat diketahui melalui kombinasi cara-cara analisa morfologi, flaw cytornehy, isozim, RAPD dan penghitungan kromosom.
4.
Perbedaan keragaan fenotipik tanaman hibrida somatik akan dapat teramati baik di laboratorium maupun di Iapang.
5.
Beberapa hibrida somatik ynng didapatkan adalah kultivar unggul, tahan penyakit tertentu dan mempunyai standar mutu yang dibutuhkan oleh konsumen.
Kegunaan Penelitian
Beberapa kegunaan penelitian ini adalah:
1.
Didapatkannya metode yang terintegrasi dalam elektrofbsi protoplas dari sumber protoplas yang digunakan,
metode isolasi, kultur dan regenerasi
protoplas menjadi mikro kalus dan regenerasi mikrokalus menjadi tanaman, akan sangat berguna untuk mendorong penelitian-penelitian yang berbasis protoplas
2.
Beberapa hibrida sornatik yang dihasilkan berpotensi untuk diiembangkan menjadi kultivar baru atau dapat dipakai sebagai material dalam program pemuliaan.
3.
Keahlian yang didapatkan selama penelitian merupakan aset yang sangat berharga untuk pengembangan institusi.
MENDAPATKAN SUMBER PROTOPLAS YANG TEPAT
+
ISOLASI, KULTUR DAN REGENERAS1 PROTOPLAS MENJADI TANAMAN PADA SEMUA KLON YANG DIPAKAI
i
MENDAPATKAN PARAME
R ELEKTROFUSI YANG TEPAT
FUSI PROTOPLAS
(2n=2x=24) berumbi
Kultivar tetraploid (2n=4r48) ('SVPIO')
Fusi Intraspesifii
I
IDENTIFIKASI HIBRIDA SOMATIK
4 KERAGAAN HIBRIDA SOMATIK SECARA IN VITRO DAN IN VZVO
HIBRIDA SOMATIK POTENSIAL
Gambar 2. Kerangka penelitian yang dilakukan
Mendapatkan Metode Perbanyakan Sumber Protoplas yang menghasilkan Protoplas deogan Rendamen dan Viabilitas yang tinggi (faktor aerasi udara, letak, intensitas dan lama penyinaran, suhu, retardan, dan konsentrasi media dasar MS)
Percobaan 1
++ Mendapatkan metode isolasi, kultur dan regenerasi protoplas yang dapat digunakan uotuk semua kultivar d a n spesies sola~zumyang dipakai (faktor jenis clan konsentrasi enzim, zat pengatur tumbuh dalam medium penaburan protoplas dan komposisi media untuk regenerasi tunas)
Percobaan 2
Mendapatkan parameter listrik yang dapat mengbasilkan fusi biner d a n beterofusi yang tinggi 1. Faktor besamya tegangan, fkekuensi dan lama aplikasi arus AC yang dapat menghasilkan rantai protoplas maksirnum 2. Faktor besarnya tegangan, jumlah pulsa, lama aplikasi pulsa yang menghasilkan fkekuensi h s i biner yang tinggi
7 1 3
+
Percobaan 4
Fusi protoplas dan regenerasinya menjadi tanaman (Menggunakan metode isolasi, hsi, kultur protoplas dan medium regenerasi yang terbaik)
+
F
Meogidentifikasi hibrida somatik melalui isoenzim, RAPD,flow cylomejry d a n pengbituogan kromosoom
+
Karakterisasi dan keragaan hibrida somatik yang dihasilkan melalui 1. Penghitungan kloroplas dalam sel penjaga d m ukuran sel penjaga 2. Pertumbuhan tanaman secara in vitro dan pembentukan umbi in vitro 3. Penanaman hibrida somatik di pot dan di lapang 4. Pengarnatan serangan l a p bakteri dan hawar d a m 5 . Analisa kandungan pati dan gula reduksi
Hibrida somatik potensial
Gambar 3.
Percobaan-percobaan yang dilakukan untuk mendapatkan hibrida sornatik.
Daftar Pustaka Ammirato, P.V., D.A. Evan, W.R. Sharp, Y. Yamada. 1983. Handbook of Plant Cell Culture. Vol 1. MacMillan Publ. Co. New York, London. Austin, S., M.A. Baer, M.K. Ahlenfeldt, P.J. Kazmierczak, and P.J. Helgelson. 1985. Interspecific fusion in Solanurn tuberosum. Theor. Appl. Genet. 7 1 :172-175. Bajaj, Y.P.S. 1987. Biotechnology and 21st century potato. In: Y.P.S. Bajaj (ed.). Biotechnology of Plant Improvement, Vol.111, Potato. pp.3-19. Springer, Berlin Heidelberg, New York. Beemster, A.B.R and A. Rozendaal. 1972. Potato viruses: properties and symptoms. In.: de Bokx (ed.). Viruses of Potato and Seed-Potato Production. pp.119-155 Cent. Agric. Publ.Doc. Wageningen. Brown C.R., H. Mojtahedi and G.S. Santo. 1995. Introgression of resistance of Colombia and Northern root-knot nematodes fi-om Solanurn bulbocastanum into cultivated potato. Euphytica 83:71-78. Carlson, P.S., H.H. Smith and R D . Dearing. 1972. Parasexual interspecific plant hybridization. Proc.Natl.Acad. Sci. USA. 69:2292-2294. Chaput, M.H., D. Sihachakr, G. Ducreux, D. Marie and N. Barghi. 1990. Somatic hybrid plants produce by electrofusion between dihaploid potatoes: BF15 (HI), Aminca (H6) and Cardinal (H3). Plant Cell Rep. 9:411-414. Craig, L., I. Monison, E. Baird, R. Waugh, M. Coleman, P. Davie and W. Powel. 1994. Expression of reducing sugar accumulation in interspecific somatic hybrid of potato. Plant Cell Rep. 13:401-405. de Vries, S and M.J. Tempelam. 1987. Electrofusion and analysis o f somatic hybrids. In: Y.P.S. Bajaj (ed.). Biotechnology of Plant Improvement, Vol.111, Potato. pp. 21 1-222. Springer, Berlin Heidelberg, New York. de Vries, S. 1987. Somatic cell genetics of the potato (Solanurn fuberosum). Intra and interspecific somatic hybridization. Disertation, Groningen. Debnath, S. C. and G. Wenzel. 1987. Selection of somatic ksion products in potato by hybrid vigor. Potato Res. 30: 371-380. Deptan. 1999. Statistik produksi sayuran di Indonesia. Jakarta. El-Kharbotly, A., A. Pereira, W.J. Stiekema and E. Jawbsen. 1996. Race specific resistance against Phytophfhora infestans in potato is controlled by more genetic factors than onIy R-genes. Euphytica 90:33 1-336.
Glirnelius, K and H.T. B 0 ~ e t t . 1981. Somatic hybridization in Nicotiana: Restoration of photoautotrophy to an albino mutant with defective plastids. Planta 153:497-503. Haberlach, G. T., B. A. Cohen, N. A. Reichert, M. A. Bear, L.E. Towill, and J. P. Helgeson. 1985. Isolation, culture and regeneration of protoplasts fiorn potato and several related solanum species. Plant Sci. 39:67-74. Hawkes, J.G. 1994. Origin of cultivated potatoes and species relationships. In:J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato Genetic. pp.3-42. CAB International. Hermsen, J.G.Th. 1994. Introgression of genes fiorn wild species, including molecular and cellular approach. In: J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato Genetic. pp. 5 15-538. CAB International. Jacobsen, E. and M.S. Ramana. 1994. Production of monohaploids of Solanurn tuberosurn L. and their use in genetic, molecular biology and breeding. In: J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato Genetic.pp.155-172. CAB International. Kaendler, C., M. Fladung, H. Uhrig. 1996. Production and identification of somatic hybrids between Solanurn tuberosurn and S.papita using the rolC gene as a morfological selectable marker. Theor. Appl. Genet. 92:455-462. Mendoza, H.A. 1987. Advance in population breeding and its potential impact on the efficiency of breeding potatoes for developing countries. &I: G.J. Jeelis and D.E Richardson (eds.). The Production of New Potato Varieties Technology Advances. pp.234-246. Cambridge Univ. Press, Cambridge. Menke, U., L. Schilde-Rentschler, 3. Ruoss, C. Zanke, V. Hemleben, and H. Nimernann. 1996. Somatic hybrids between the cultivated potato Solanurn tuberosum L. and 1 EBN wild species Solanurn pinnutisecturn Dun.: morfological and molecular characterization. Theor. Appl. Genet. 92:6 17626. Millam, S., L.A. Payne and G.R. Mackay. 1995. The integration of protoplast fusion-derived material into a potato breeding programme: a review of progress and problems. Euphytica 85:45 1-455. Mollers, C., S. Zhang, and G. Wenzel. 1992. The influence of silver thiosulfate on potato protoplast culture. Plant Breeding. 108:12-18. Oberwalder, B., B. Rous, L. Schilde-Rentschler, V. Hemleben, and H. N i ~ e m a ~ . 1997. Asymetric fusion between wild and cultivated species of potato (Solanurn spp.): detection of asymetric hybrids and genome elimination. Theor. Appl. Genet. 94: 1104-1 112.
Ramulu, K.S., P. Dijkhuis, E. Rutgers, J. Blaas, F.A. Krens, W.H.J. Verbeek, C.M. Colijn-Hooymans and H.A. Verhoeven. 1996. Intergeneric transfer of a partial genome and direct production of monosomic addition plants by microprotoplast fusion. Theor. Appl. Genet. 92:3 16-325. Ross, H. 1986. Potato breeding: problem and perspective. Adv. Plant Breed. 13:l132. Serraf, I. 1991. Evaluation des Combinations Genomiques Obtenues par Hybridation Sornatique entre la Pomme de Terre (Solanurn tuberosurn L.) et des Solanacees de Plus ou Poins Grandes A f f i t e s Phylogenetiques. These. Universite de Paris-Sud, Centre d'Orsay, France. Sihachakr, D., R. Haicour, M.H. Chaput, E. Barrientos, G. Ducreux, L. Rossignol. 1989. Somatic hybrid plants produced by electrohsion between SoIanum melongena L. and Solanum torvurn Sw. Theor. Appl. Genet. 77:l-6. Suliansyah, 1999. Kecepatan Degenerasi oleh Virus pada Kentang Non Transformasi dan Transformasi Protein Selubung. Disertasi Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 192 hal. Tan, M.M.C. 1987. Somatic Hybridization and Cybridisation in Some Solanaceae. Academisch Proefschrifk. Vrije Universiteit te Amsterdam. Waara, S. and K. Glimelius. 1995. The potential of somatic hybridization in crop breeding. Euphytica 85 :2 17-233. Wattimena, 1993. Studi Pemuliaan Tanaman Kentang. Laporan Penelitian Riset Uggulan Terpadu (RUT) 1. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Wattimena, 1994. Merakit Kultivar Kentang Toleran Terhadap Penyakit Degenerasi (PVX, PVY, PLRV), Penyakit Layu Bakteri dan Penyakit Hawar Daun melalui Ekstraksi, Transformasi dan Fusi. Laporan Hibah Tim. Direktorat Jenderal Perguruan T i g g i , Jakarta. Wattimena, G.A. 1999. Application of biotechnology on horticultural crops production. In: Proceeding Seminar on Biotechnology: Application of Biotechnology on Horticultural Production. Bogor Agricultural UniversityDFID British Council, Bogor, April 14. Wenzel, G. 1994. Tissue culture. In: J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato Genetic.pp.173- 197. CAB International. Zimmermann, U and P. Scheurich. 1981. High frequency fusion of plant protoplast by electric field. Planta. 151:26-32. Zimmermann, U., G. Pilwat, and F. Riemann. 1974. Dielectric breakdown of cell membranes pp. 146-153. U. Zimmermann and J. Dainty, (eds.). Membrane Transport in Plants. Springer Verlag, Berlin.