1
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan pertanian di bidang pangan khususnya hortikultura pada saat
ini ditujukan untuk memantapkan swasembada pangan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperbaiki keadaan gizi melalui penganekaragaman jenis bahan makanan. Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang menempati posisi penting dalam memberi kontribusi bagi perekonomian Indonesia. Tujuan pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan daya saing komoditi pertanian, menumbuhkan usaha kecil menengah dan koperasi serta mengembangkan
kemitraan
usaha.
Salah
satu
aspek
penting
dalam
pengembangan agribisnis adalah kualitas hasil sama pentingnya dengan kuantitas dan kontinuitas hasil. (Aldila, 2013). Komoditas tanaman hortikultura di Indonesia sangat beragam dan dapat dibagi menjadi empat kelompok besar, yaitu tanaman buah-buahan, tanaman sayuran, tanaman biofarma dan tanaman hias. Konsumsi terhadap produk hortikultura terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan pengetahuan masyarakat tentang gizi dan kesehatan. Hal ini merupakan salah satu alasan bahwa pertanian hortikultura sudah saatnya mendapatkan perhatian yang serius terutama menyangkut aspek produksi dan pengembangan sistem pemasarannya. Hortikultura sebagai bahan pangan cukup penting bagi kebutuhan pangan masyarakat, sehingga untuk kebutuhan nasional perlu ditingkatkan produksinya (Suriawiria, 2006).
2
Peningkatan kebutuhan hortikultura menuntut adanya suatu cara yang mampu menghasilkan sayuran dalam jumlah yang lebih banyak dan dalam waktu yang relatif singkat. Sistem pertanian konvensional yang dicirikan dengan penggunaan input-input anorganik dan bahan-bahan kimia pertanian dalam proses budidaya membawa dampak negatif. Akibatnya terjadi masalah baru dalam pertanian sayuran yaitu pencemaran air oleh bahan kimia pertanian, menurunnya kualitas dan produktivitas sayuran, ketergantungan terhadap bahan kimia pertanian, serta gangguan kesehatan yang diakibatkan adanya residu kimia yang terkandung dalam produk sayuran (Dirjen Bina Produksi Holtikultura,2006). Penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk dan pestisida) memang terbukti dapat melipatgandakan hasil panen produksi pangan dan hortikultura. Namun, dalam jangka panjang ternyata memberikan dampak negatif seperti menurunkan kesuburan tanah dan merusak lingkungan hidup. Penggunaan pestisida yang berlebihan diperkirakan sebagai salah satu sumber pencemaran lingkungan. Jamur merupakan salah satu jenis produk hortikultura yang dapat dikembangkan dan diarahkan untuk dapat memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Penggunaan pestisida dalam budidaya jamur relatif sedikit. Oleh karena itu, jamur merupakan pangan yang aman untuk dikonsumsi. Selain itu, dengan harga yang relatif murah, maka hampir semua kalangan mampu membelinya. (Pasaribu,et.al. 2002). Pada awalnya, jamur diperoleh dengan cara mengambil langsung dari alam. Seiring dengan berjalannya waktu, permintaan terhadap komoditas jamurpun semakin bertambah. Pada akhirnya, penyediaan jamur secara alami tidak dapat lagi memenuhi permintaan, dan mulai mencari alternatif lain untuk
3
memenuhi permintaan jamur tersebut. Pilihan untuk membudidayakan jamur pada akhirnya menjadi solusi untuk dapat memenuhi permintaan. Saat ini ada lima jenis jamur yang sudah mulai dibudidayakan di Indonesia. Kelima jenis ini sudah mulai dibudidayakan hingga skala kategori industri, yang berarti memiliki kapasitas produksi cukup besar. Kelima jenis jamur itu adalah jamur kancing (Agricus bisporus), jamur kuping (Auricularia auricula), jamur shitake (Lentinula edodes), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), dan jamur merang (Volvarriella volvaceae). Indonesia kemudian menjadi salah satu negara penghasil jamur yang cukup besar di dunia. Tabel berikut menunjukkan beberapa negara penghasil jamur utama di dunia: Tabel 1. Beberapa negara penghasil jamur utama di dunia. Jenis Jamur Negara Penghasil Jamur Champignon Amerika Serikat, Prancis, Belanda, Inggris, Taiwan, Australia Jamur Shitake Cina, Jepang, Taiwan, Korea, Indonesia, Amerika Serikat Jamur Merang Cina, Taiwan, Filipina, Thailand, Korea, Indonesia, Malaysia Jamur Kuping Cina, Taiwan, Filipina Jamur Tiram Cina, Taiwan, Indonesia, Thailand, Pakistan, Singapura, Jerman Sumber: Suriawiria, 2006 Dari tabel 1 menunjukkan bahwa dari kelima jamur yang dibudidayakan, Indonesia menempati urutan tiga besar dalam produksi jamur tiram. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) adalah jamur pangan dari kelompok Basidiomycota dan termasuk kelas Homo basidiomycetes dengan ciri-ciri umum tubuh buah berwarna putih hingga krem dan tudungnya berbentuk setengah lingkaran mirip cangkang tiram dengan bagian tengah agak cekung. Jamur tiram masih satu kerabat dengan Pleurotus eryngi dan sering dikenal dengan sebutan King Oyster Mushroom. Jamur tiram mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia sebagai protein nabati yang tidak mengandung kolesterol, sehingga dapat mencegah
4
timbulnya penyakit darah tinggi, penyakit jantung, untuk mengurangi berat badan, obat diabetes, obat anemia dan sebagai obat anti tumor (Suriawiria, 2006). Tabel 2. Nilai Gizi Beberapa Jenis Jamur Dibandingkan dengan Bahan Makanan Lain dalam Satuan Berat Segar. Jenis makanan Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Jamur Tiram 40.0 Jamur Campignon 4,8 0,2 3,5 Jamur Shitake 13,4-17,5 4,9 – 8,9 9,5 – 70,7** Jamur Merang 1,8 0,3 4 – 48** Kentan 2,0 0,1 20,9 Kacang 2,4 0,2 7,7 Buncis 1,5 0,1 4,2 Kubis 1,3 0,2 3,7 Seledri 1,6 0,1 9,6 Bayam 2,2 0,3 1,7 Daging Sapi 21,0 5,5 0,5 Sumber : Pasaribu, et al (2002) Keterangan : *) Berdasarkan berat kering (-) Tidak ada data Tabel 2 menunjukkan nilai gizi beberapa jenis jamur dibandingkan dengan makanan lain. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jamur tiram memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi daripada beberapa jenis jamur dan bahan makanan lainnya. Protein nabati yang terdapat dalam jamur tiram hampir sebanding atau relatif lebih tinggi dibandingkan protein sayuran berdaun, sayuran berumbi, dan memiliki kandungan lemak yang rendah dibandingkan daging sapi demikian juga kalorinya. Jamur tiram sebagai salah satu jenis jamur yang dibudidayakan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan jenis jamur lainnya. Beberapa keunggulan jamur tiram adalah: (a) budidaya jamur tiram dapat berlangsung sepanjang tahun, menjadikan produksi jamur tiram yang terus menerus, (b) budidaya jamur tiram dapat dilaksanakan dalam areal yang relatif sempit, sehingga menjadi alternatif
5
yang baik untuk memanfaatkan lahan pekarangan, (c) budidaya jamur tiram menggunakan bahan baku serbuk kayu yang mudah diperoleh, (d) tingkat kesulitan budidaya yang relatif lebih mudah dibandingkan jenis jamur lainnya, (e) jamur tiram memiliki masa produksi hingga masa panen yang paling cepat diantara jamur-jamur lain, dan (f) jamur tiram memiliki tingkat harga jual yang relatif baik dan stabil dibandingkan jamur-jamur lain. Oleh sebagian masyarakat, rasa jamur tiram juga dinilai sesuai dengan selera. Hal ini menjadi nilai tambah jamur tiram di masyarakat, dan didukung kenyataan bahwa jamur tiram memiliki harga yang relatif terjangkau di masyarakat dibandingkan dengan jenis-jenis jamur konsumsi lainnya. Melihat jamur tiram sebagai salah satu komoditas yang memiliki keunggulan-keunggulan tersebut, sebagian masyarakat pun menyadari peluang bisnis yang muncul dalam usaha budidaya jamur tiram. Peluang bisnis ini kemudian menarik minat masyarakat untuk turut mengembangkannya, dan lokasi lokasi budidaya jamur tiram pun bermunculan. Daerah sentra produksi jamur tiram putih tersebar di wilayah Indonesia. Jika dilihat dari jumlah produksi maka ada empat propinsi di Indonesia yang merupakan penghasil jamur tiram putih terbanyak. Keempat propinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur. Data luas panen, produksi, dan produktivitas jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Jamur Tiram Putih di Jawa Propinsi Luas Panen Produksi Produktivitas (m2) (kg) (kg/m2) DKI Jakarta 36.560 1.754.897 48,00 Jawa Barat 4.038.942 31.835.222 7,88 Banten 8.235 233.867 28,40 Jawa Tengah 164.007 1.918.838 11,70 DI Yogyakarta 203.695 513.156 2,52 Jawa Timur 1.193.393 3.428.350 2,87 Sumber : BPS, 2012 Berdasarkan Tabel 3 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan propinsi ketiga terbesar yang memiliki luas panen jamur tiram, namun bila dilihat dari produktivitas jamur tiram yang dihasilkan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki produktivitas jamur tiram terendah di pulau Jawa.
Produktivitas merupakan
istilah dalam kegiatan produksi sebagai perbandingan antara luaran (output) dengan masukan (input). Menurut Herjanto, produktivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal. Produktivitas dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan suatu industri atau UKM dalam menghasilkan barang atau jasa. Semakin besar produktivitas yang dihasilkan maka suatu usaha sudah bisa mengoptimalkan input yang terbatas dengan hasil yang maksimal. Tabel 4. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jamur Tiram di DIY tahun 2007-2012 Luas Panen (m2) Produksi (kg) Produktivitas (kg/m2)
2007 77.691 975.100 12,55
2008 60.499 750.300 12,40
Tahun ke2009 2010 58.556 74.647 651.316 804.966 11,12 10,78
2011 144.148 396.286 14,83
2012 203.695 513.156 2,52
Sumber: BPS 2007-2012 Dari tabel 4 tersebut menunjukkan peningkatan luas panen jamur tiram dari tahun ke tahun, namun produksi yang dihasilkan fluktuatif. Sementara itu untuk
7
produktivitas jamur tiram juga fluktuatif namun mengarah ke penurunan, hingga pada tahun 2012 produktivitas jamur tiram turun drastis dari 14,83 kg/m2 pada 2011 dan pada tahun 2012 hanya 2,52 kg/m2. Luas panen yang terus meningkat namun
tidak
diimbangi
dengan
peningkatan
produktivitas
merupakan
permasalahan bagi para produsen jamur tiram. Tingkat kelayakan usaha jamur tiram apakah masih menjanjikan bagi para produsen jamur tiram. Sementara itu berdasarakan jumlah baglog yang diusahakan per periodenya, petani jamur tiram di DIY dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu petani kecil, petani menengah, dan petani besar. . Selain aspek budidaya, aspek pemasaran merupakan aspek yang sangat penting pada produsen jamur tiram. Bila produsen hanya bisa memproduksi, namun tidak memiliki pengetahuan di pemasarannya maka produsen akan kebingungan menjual hasil produksinya dan tidak bisa mendapatkan keuntungan yang maksimal. Padahal secara fisik, jamur tiram segar merupakan produk yang mudah rusak jika tidak segera diolah, sehingga proses distribusi dari produsen ke konsumen harus dilakukan dengan cepat. Bila mekanisme pemasaran berjalan dengan baik maka semua pihak yang terlibat akan diuntungkan, oleh karena itu peranan lembaga pemasaran yang biasanya terdiri dari produsen, pedagang pengepul, eksportir, importir, pedagang pengecer, dan lainnya menjadi sangat penting. Pada beberapa negara berkembang lemahnya pemasaran hasil pertanian atau lemahnya kompetisi pasar yang sempurna akan mempengaruhi mekanisme pasar. (Soekartawi, 2003).
8
Dengan kondisi yang ada saat ini, aspek teknologi budidaya sangat diperlukan untuk mendayagunakan keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing, melalui peningkatan produktivitas, kualitas produk, ketersediaan produk, ketepatan waktu produk, distribusi tepat waktu serta efisiensi dalam usaha agribisnis, sehingga kegiatan dalam agribisnis jamur tiram selalu memberikan nilai tambah bagi petani termasuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya. Rangkaian lengkap proses produksi dan distribusi, mulai dari kegiatan penyediaan input produksi sampai penyediaan produk siap untuk digunakan konsumen disebut Supply Chain Management (SCM) atau disebut juga rantai pasok. (Yusuf, 2011). Oleh karena itu, segala kegiatan yang berkaitan dalam upaya peningkatan nilai tambah dari usahatani jamur tiram diharapkan dapat diadopsi secara utuh. 1.2
Perumusan Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu propinsi penghasil
jamur tiram terbesar di Indonesia. Namun, bila dilihat dari segi produktivitasnya, peningkatan luas lahan tidak diimbangi dengan peningkatan hasil produksinya. Bila luas lahan meningkat sementara produksi tidak meningkat maka yang terjadi peningkatan biaya – biaya input produksi tidak bisa ditutupi dengan hasil produksi yang sedikit. Hal ini menjadi salah satu masalah apakah kelayakan usaha jamur tiram di DIY ini masih memiliki prospek atau tidak. Selain permasalahan produktivitas aspek pemasaran juga perlu menjadi perhatian khusus. Kurangnya pengetahuan petani terhadap sistem pemasaran jamur tiram di DIY juga merupakan kelemahan yang perlu diperbaiki. Dalam hal
9
ini, petani tidak dapat menentukan harga jual jamur tiram sendiri sehingga keuntngan yang mereka dapatkan belum optimal. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimana kelayakan usaha jamur tiram di DIY berdasarkan skala usahanya?
2.
Bagaimana saluran, fungsi, margin, farmer share pemasaran jamur tiram di DIY?
3.
Bagaimana indeks monopoli dan efisiensi pemasaran jamur tiram di DIY?
4.
Bagaimana penerapan supply chain jamur tiram di DIY?
1.3
Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui kelayakan usahatani jamur tiram di DIY berdasarkan skala usahanya
2.
Mengetahui saluran, fungsi, margin, farmer share pemasaran jamur tiram di DIY.
3.
Mengetahui indeks monopoli dan efisiensi pemasaran jamur tiram di DIY
4.
Mengetahui penerapan supply chain jamur tiram di DIY.
1.4
Kegunaan
1.
Bagi petani atau produsen jamur tiram, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam mengambil keputusan terutama dalam pengembangan usaha dan pemasaran jamur tiram.
10
2.
Peneliti dan akademisi, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu dasar penelitian lanjutan yang berkaitan dengan pemasaran produk – produk hasil pertanian.
3.
Masyarakat umum, sebagai referensi ilmiah bila ingin mendalami bidang budidaya dan pemasaran jamur tiram.
4.
Pemerintah Daerah Provinsi DIY, penelitian ini dapatdigunakan sebagai referensi ilmiah bagi pihak-pihak dalam tata pemerintahan terkait yang bertujuan mengembangkan jamur tiram sebagai salah satu komoditas unggulan di DIY.