I. PENDAHULUAN Eucheuma cottonii merupakan salah satunya jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mengandung karaginan yang berupa fraksi Kappa-karaginan. Rumput laut ini mempunyai nama daerah “cottonii”, biasa dikenal dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk talus bulat silindris, berwarna merah, merah-coklat, dan hijau-kuning, bercabang berselang tidak teratur, di atau trikhotomous, memiliki benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri (spines), substansi talus “gelatinous” atau “cartilagenous” (lunak seperti tulang rawan), umumnya berada daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang terendam air (subtidal), melekat pada substrat yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang mollusca. Eucheuma pada habitat karang memiliki pertumbuhan yang baik. Rumput laut Eucheuma merupakan komoditas ekspor yang saat ini banyak dibudidayakan oleh masyarakat pesisir karena pelaksanaan budidayanya mudah dan tidak memerlukan modal investasi yang tinggi. Kebutuhan rumput laut Eucheuma cottonii dari tahun ke tahun semakin meningkat, laju peningkatan kebutuhan dunia sebesar 13.97% per tahun. Kebutuhan dalam negeri pada tahun 2005-2006 mencapai 206-273 ton/tahun, sedangkan tahun 2009-2010 diperkirakan mencapai 287-316 ton/tahun. Pasokan bahan baku karaginan yang berkualitas baik masih sangat dibutuhkan untuk produk ekspor, sehingga pengadaan rumput laut harus didukung dengan cara budidaya (Andi dan Sulaeman, 2007; Setiyanto et al., 2008). Budidaya rumput laut telah dilakukan pada beberapa daerah pantai di Indonesia, ternyata mampu mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat wilayah pesisir, karena selain dapat meningkatkan pendapatan juga dapat membuka lapangan
kerja baru serta dalam upaya konservasi sumberdaya laut di wilayah pantai (Arafah, 2008). Perairan pantai di daerah Brebes, dapat digunakan untuk membudidayakan jenis rumput laut memiliki nilai ekonomis tinggi, dan mempunyai prospek pasar yang cerah untuk dikembangkan baik untuk skala budidaya maupun pengolahan. Kabupaten Brebes mempunyai panjang kurang lebih 53 km terhampar di 14 desa pada 5 kecamatan (Wanasari, Bulakamba, Tanjung, Losari, dan Pandansari) dari wilayah paling timur yaitu pantai Randusanga Wetan Kec. Brebes sampai wilayah paling barat pantai Limbangan Kec. Losari (Purnomo, 2009). Perairan Pantai Kabupaten Brebes sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Keadaan perairan pantai yang mempunyai gelombang tidak terlalu besar dibandingkan dengan pantai selatan, hal tersebut dapat digunakan untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii. Rumput laut yang memiliki syarat lingkungan tertentu dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan, maka semakin baik pertumbuhannya dan hasil yang diperoleh. Pemilihan lokasi merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut. Hasil akan optimal jika rumput laut dibudidayakan dalam kondisi yang memenuhi persyaratan lingkungan. Menurut Insan dan Widiyartini (2001), persyaratan lokasi yang baik untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut : lokasi budidaya harus terlindung dari ombak yang kuat dan umumnya daerah terumbu karang, perairan harus bebas dari pencemaran limbah industri maupun rumah tangga, perairan harus dilalui arus tetap sepanjang tahun, arus berkecepatan 20-40 meter per menit, jauh dari muara sungai, perairan tidak mengandung lumpur dan airnya jernih, temperatur berkisar antara 27300C, perairan mempunyai salinitas antara 30-37%, pH berkisar 7-8,5, perairan harus mengandung zat hara, dan perairan harus terlindung dari ombak yang kuat.
Perairan yang memenuhi syarat pertumbuhan sangat optimal. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran volume suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang talus dalam waktu tertentu menunjukan seperti pertambahan dalam ukuran, dengan menghilangkan konsep-konsep yang menyangkut perubahan kualitas seperti pengertian mencapai ukuran penuh atau kedewasaan (maturity). Proses pertumbuhan menyebabkan kenaikan ukuran volume yang bersifat irreversibel (tidak kembali pada keadaan semula), terjadi karena adanya pertambahan jumlah sel talus akibat adanya pembelahan sel talus secara mitosis dan pembesaran sel talus karena adanya penambahan substansi. Pertumbuhan harian rumput laut dipengaruhi oleh berat awal bibit pada saat penanaman. Perbedaan jumlah nutrisi yang diperoleh bibit berbanding terbalik dengan berat awal bibit. Semakin besar berat awal bibit yang ditanam, semakin sedikit nutrisi yang didapatkan oleh bibit tersbut, sehingga pertumbuhan menjadi terhambat. Sebaliknya, semakin sedikit berat awal bibit yang ditanam maka pertumbuhan akan semakin besar. Hal ini berkaitan dengan persaingan dalam perolehan nutrisi pada setiap satuan luas talus (Soegiarto et al., 1999). Pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh metode dan sistem penanaman yang digunakan. Berdasarkan letak tanam terhadap dasar perairan metode dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu metode apung, lepas dasar, dan dasar. Menurut Soejatmiko dkk. (2003), rumput laut dapat tumbuh lebih baik pada metode apung daripada metode lainnya, hal ini berkaitan dengan kedalaman yang berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Teknik penanaman dalam budidaya tersebut dapat dilakukan dengan dua sistem, antara lain sistem tali tunggal, dan sistem jaring. Hasil penelitian Yuhisna (2006), menggunakan metode tabung horizontal menunjukkan bahwa bibit yang ditanam lebih dekat ke permukaan laut menghasilkan pertambahan berat yang paling tinggi. Menurut Kune (2007), dalam penelitiannya menunjukkan
sangat nyata terhadap pertumbuhan rumput laut umur 1-6 minggu. Peningkatan kedalaman budidaya masing-masing 25 cm, 50 cm, 75 cm dari muka air cenderung meperlambat pertumbuhan rumput laut dan menghasilkan laju pertumbuhan yang berbeda nyata satu dengan lainnya untuk mendapatkan hasil rumput laut yang lebih baik maka kedalaman rumput laut tidak lebih dari 50 cm. Penggunaan tali tunggal secara ekonomis lebih menguntungakan bila dibandingkan dengan sistem jaring. Penanaman dengan sistem jaring produksinya lebih baik daripada tali tunggal, karena bibit tidak mudah hilang terkena ombak dan pemangsaan predator, serta talus rumput laut tidak banyak memerlukan pemeliharaan dan perawatan yang khusus (Aslan, 1991). Penggunaan sistem tali tunggal akan lebih menghemat biaya untuk pembelian material dan waktu yang digunakan untuk pemasangan kontruksi budidaya lebih sedikit. Sistem tali tunggal biasa digunakan oleh para petani. Budidaya dengan sistem tali tunggal, bila pertumbuhannya sudah besar (2-3 minggu setelah tanam) biasanya talus rumput laut tersebut mudah patah dan hanyut terkena gelombang maupun arus serta mudah rusak akibat adanya predator. Sistem jaring sangat cocok untuk perairan dengan ombak yang besar dan kedalaman tidak kurang dari satu meter. Hal ini berkaitan dengan konstruksi jaring tabung ini yang terdiri dari tiga tingkatan, dengan setiap tingkatan tingginya 30 cm dan dipisahkan dengan sekat antara tingkatan satu dengan yang lainnya (Insan dan Widyartini, 2001). Budidaya rumput laut dengan jaring tabung bertingkat ini dapat lebih aman efektif dan efesien daripada menggunakan metode lain. Akan tetapi belum diketahui sampai pada kedalaman berapa jaring tabung bertingkat ini dapat digunakan untuk budidaya dimana rumput laut masih dapat tumbuh. Hal ini karena apabila jaring tabung bertingkat ditanam secara vertikal sangat berkaitan dengan kedalaman, sehingga apabila sudah diketahui sampai pada kedalaman berapa jaring tabung
bertingkat ini dapat digunakan, maka jumlah sekat dan tingkatan jaring tabung pun dapat dikurangi atau ditambah agar budidaya rumput laut dengan jaring tabung bertingkat ini lebih efektif dan efesien. Sistem jaring tubuler merupakan jaring-jaring tubuler atau jaring yang berbentuk tabung dikedua ujungnya, diikat dengan tiang bambu atau kayu dengan menggunakan tali nilon. Mata jaring berukuran 0,5-2,5 cm dengan diameter tabung 510 cm (Aslan, 1991). Sistem jaring tubuler mempunyai keuntungan yang hampir sama dengan penggunaan sistem jaring tabung yaitu bibit tanamannya pendek atau kecil dan tidak dapat diikat. Budidaya dengan jaring tubuler tidak membutuhkan biaya yang mahal. Keuntungan dari sistem tubuler adalah bibit tidak akan mudah hilang, baik untuk perairan yang berdasar pasir, karang, serta tidak mudah dimakan ikan dan herbivor. Budidaya rumput laut dengan sistem tubuler ini dapat lebih efektif, efisien, tetapi sistem ini memiliki kekurangan, yaitu pembuatan alat yang cukup sulit. Sistem penanaman yang baik akan menghasilkan pertumbuhan yang optimal pada talus rumput laut yang banyak mengandung cadangan makanan. Cadangan makanan pada Eucheuma berupa rendemen karaginan. Bobot karaginan sangat dipengaruhi oleh jenis rumput laut, cara tanam metode sistem budidaya, proses pemutihan, dan ekstrasi. Pengolahan ekstrasi rumput laut menjadi karaginan meliputi beberapa proses yaitu pencucian rumput laut, pengeringan, pemucatan, pelembutan ekstraksi (pemasakan), pengepresan, pendinginan, pemucatan dan pengeringan, sehingga menghasilkan bobot karaginan. Selain itu, tergantung faktor lingkungan tempat rumput laut tersebut tumbuh. Karaginan banyak dimanfaatkan untuk keperluan industri makanan, obat-obatan atau farmasi dan cat. Menurut Kusmayadi dkk. (2008), menambahkan bahwa kandungan karaginan dari Eucheuma cottonii selain tergantung
dari jenis rumput laut, metode ekstrasi yang meliputi lama perendaman, lama ekstrasi, konsentrasi zat yang digunakan dalam perendaman dan pelembutan. Proses pengasaman umumnya menggunakan asam sulfat dapat juga menggunakan asam asetat, asam sitrat, maupun buah-buahan yang mengandung asam. Penelitian selain menggunakan asam sulfat dapat juga menggunakan asam alami yang murah, aman bagi kesehatan dan mudah didapatkan. Salah satu buah yang dapat digunakan dalam proses pengasaman adalah jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle). Menurut Karina (2012), menambahkan bahwa jeruk nipis mengandung asam organik seperti asam sitrat, asam amino, asam askorbat. Hasil pengukuran nilai pH sari buah jeruk nipis berbagai perlakuan, penyinaran dan pasteurisasi yaitu antara 2,47-2,49. Hal ini sesuai dengan sifat yang sangat asam dari sari buah jeruk nipis. Jeruk nipis memiliki tingkat keasaman yang tinggi dengan kandungan asam sitrat sebanyak 7 %, dan asam askorbat sebanyak 27 mg. Tingkat keasaman tinggi yang dimiliki jeruk nipis akan mempengaruhi permeabilitas pada membran sel rumput laut sehingga dapat merusak membran sel rumput laut yang akan diekstrak. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka timbul suatu permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii dengan sistem penanaman berbeda di Perairan Pantai Pandansari Brebes ? 2. Sistem budidaya mana yang manghasilkan bobot karaginan Eucheuma cottonii tertinggi ? Sebagai dari permasalahan tersebut diatas, maka dilakukan penelitian dengan tujuan : 1. Mengetahui pengaruh sistem budidaya yang berbeda terhadap pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii di Perairan Pantai Pandansari Brebes.
2. Menentukan kombinasi sistem penanaman yang tepat untuk menghasilkan bobot karaginan Eucheuma cottonii tertinggi. Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang tepat mengenai sistem penanaman terhadap pertumbuhan rumput laut yang baik untuk menghasilkan bobot karaginan Eucheuma cottonii yang paling tinggi dengan menggunakan asam jeruk nipis dalam proses saat ekstrasi. Hasil penelitian Prayudisty (2009), hasil budidaya menggunakan metode apung jaring tabung diasamkan menggunakan belimbing wuluh pada saat ekstrasi lebih tinggi daripada metode apung tali tunggal dan jaring tubuler dikarenakan perbedaan sistem menyebabkan perbedaan letak penanaman sehingga intensitas cahaya matahari yang diterima oleh talus berbeda, sehingga proses fotosintesis berjalan dengan baik dan optimal. Hasil Penelitian Setyowati et al. (1997), mengenai optimasi ekstrasi karaginan dari rumput laut Eucheuma spinosum menggunakan asam sulfat dan ekstrasi asam jawa (Tamarindus indica L.) dengan konsentrasi 0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,8%. Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut ialah rendemen karaginan tertinggi didapatkan dengan menggunakan asam sulfat dengan konsentrasi 0,4%. Berdasarkan landasan pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu : 1. Sistem budidaya jaring tabung lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya tali tunggal dan jaring tubuler. 2. Kombinasi sistem jaring tabung dengan menambahkan ekstrak jeruk nipis dalam pengasaman pada proses ekstrasi diharapkan dapat menghasilkan bobot karaginan paling tinggi.