I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan sektor pertanian.
Pada tahun 1997, sumbangan Produk
Domestik Bruto (PDB) subsektor peternakan terhadap sektor pertanian sebesar 11.57 persen, dan meningkat menjadi 11.80 persen pada tahun 2005. Rataan laju pertumbuhan selama periode 1998-2005 adalah sebesar 19.13 persen lebih besar dari laju pertumbuhan subsektor tanaman pangan (18.94 persen) (BPS, 2006). Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat pendapatan yang disertai dengan adanya perubahan pola konsumsi dan selera masyarakat, tingkat konsumsi daging per kapita cenderung meningkat. Perkembangan konsumsi daging di Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein hewani, lebih banyak berasal dari Industri Unggas Nasional (IUN) (Purba, 1999). Konsumsi daging ayam ras pedaging pada tahun 1998 mencapai 1 239 ton, dan meningkat menjadi 1 624 ton pada tahun 2002. Meningkatnya permintaan daging ayam ras ini menyebabkan meningkatnya populasi ayam ras pedaging secara nasional yaitu dari 285 000 ribu ekor pada tahun 1998, menjadi 883 400 ribu ekor pada tahun 2005, atau mengalami peningkatan dengan laju sebesar 8.85 persen per tahun (Ditjen Peternakan, 2005). Usaha perunggasan (ayam ras) domestik telah menjadi suatu industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, perkembangan usaha ini memberikan nilai strategis khususnya dalam penyediaan protein hewani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan peluang ekspor. Selain outputnya,
2
nilai strategis industri ini juga tercipta dari penyerapan tenaga kerja, dimana sekitar dua juta tenaga kerja dapat diserap oleh industri ini (Suryana, et al., 2005). Daerah sentra utama produksi ayam ras pedaging di Indonesia adalah Jawa Barat dengan kontribusi sebesar 39.61 persen, Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 21.13 persen dan Jawa Tengah dengan kontribusi sebesar 8.84 persen terhadap total populasi ayam ras pedaging nasional.
Provinsi Jawa Tengah
sebagai salah satu sentra produksi ayam ras pedaging di Indonesia mengalami perkembangan yang relatif baik.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya laju
peningkatan populasi ayam ras pedaging yang relatif besar.
Selama empat
periode waktu, yaitu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, rata-rata pertumbuhan populasi ayam ras pedaging di Jawa Tengah mencapai 6.60 persen dimana pada tahun 2004 populasi ayam ras pedaging mencapai 67 852 915 ekor (Ditjen Peternakan, 2005). Tabel 1.
Populasi Ayam Ras Pedaging Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2000-2004 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004
Populasi (Ekor) 71 554 382 53 879 257 97 485 267 66 646 915 67 852 915
Pertumbuhan (%) -24.70 80.93 -31.63 1.81
Sumber : Ditjen Peternakan, 2005
Perkembangan populasi ayam ras pedaging di Jawa Tengah pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa laju pertumbuhan populasi ayam ras pedaging tertinggi terjadi pada tahun 2002 yang mencapai 80.93 persen namun pada tahun 2003, populasi ayam ras pedaging mengalami kontraksi yang cukup besar, mencapai 31.63 persen.
3
Kontraksi ini disebabkan oleh mulai merebaknya isu flu burung (avian influenza) yang berakibat pada menurunnya permintaan akan daging ayam. Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki potensi peternakan relatif besar adalah Kabupaten Karanganyar. Kontribusi sub sektor peternakan terhadap perekonomian Kabupaten Karanganyar selama periode tahun 2001-2005 berada pada kisaran 4.79-8.47 persen (Tabel 2).
Sub sektor peternakan
menduduki peringkat kedua setelah sub sektor tanaman bahan makanan sebagai penyumbang PDRB sektor pertanian Kabupaten Karanganyar. Relatif besarnya kontribusi sub sektor peternakan pada PDRB Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa sub sektor ini potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sektor unggulan pada perekonomian Kabupaten Karanganyar. Tabel 2.
Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Karanganyar, Tahun 2001-2005 (%) Sub Sektor 2001 2002 2003 2004 2005
Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Rakyat Tanaman Perkebunan Besar Peternakan Kehutanan Perikanan Pertanian
13.23 1.52 0.22 6.83 0.21 0.13 22.14
12.42 1.75 0.22 8.47 0.19 0.13 23.18
11.86 1.89 0.21 8.45 0.18 0.12 22.7
13.69 13.09 1.24 1.36 0.15 0.23 5.40 4.79 0.12 0.10 0.12 0.10 20.17 19.68
Sumber: BPS Beberapa Tahun (diolah)
Kabupaten Karanganyar menghasilkan tiga belas jenis ternak yang dominan diusahakan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 3. Jika dilihat dari populasi ternak, ayam ras pedaging merupakan ternak yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat, setelah ayam ras petelur. Pada tahun 2004, populasi ayam ras pedaging mencapai 1 070 000 ekor sedangkan populasi ayam ras petelur mencapai 1 237 000 ekor. Sedangkan dari perkembangan populasi ternak dibandingkan
4
tahun 2003, terlihat bahwa populasi ayam ras pedaging merupakan salah satu ternak unggas yang masih mengalami pertumbuhan walaupun tengah merebak serangan virus flu burung (avian influenza). Pertumbuhan populasinya menduduki peringkat ketiga (0.80 persen) setelah sapi potong (2.20 persen) dan kambing (1.90). Hal ini menunjukkan bahwa peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar masih memiliki potensi untuk dikembangkan. Tabel 3. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Perkembangan Populasi Ternak Di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2003-2004 Jenis Ternak
2003 (Ekor)
2004 (Ekor)
364 46 758 301 1 397 21 599 114 952 54 132 841 182 1 237 000 1 061 500 69 789 10 901 229 850
360 47 794 299 1 388 22 024 115 366 54 233 841 790 1 237 000 1 070 000 69 789 10 901 229 850
Kuda Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kambing Domba Babi Ayam Buras Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Itik Kelinci Puyuh
Pertumbuhan (%) -1.10 2.20 -0.60 -0.60 1.90 0.30 0.20 0.06 0.00 0.80 0.00 0.00 0.00
Sumber: Dinas Peternakan Karanganyar, 2005
1.2. Perumusan Masalah Di Kabupaten Karanganyar sebagian besar usahaternak ayam ras pedaging merupakan usahaternak pola kemitraan. Usahaternak pola mandiri yang hanya sebagian kecil saja, kebanyakan dilaksanakan oleh ”jebolan-jebolan” usahaternak pola kemitraan. Pola kemitraan dilakukan peternak dengan cara menjalin kerjasama atau bermitra dengan perusahaan penyedia sarana produksi, dengan ketentuan peternak diharuskan menjual semua hasil produksinya kepada perusahaan inti sesuai dengan harga kesepakatan yang tertera dalam kontrak yang
5
telah disepakati bersama oleh peternak dan perusahaan yang bersangkutan. Dalam kerjasama ini, perusahaan berperan sebagai inti dan peternak berperan sebagai plasma. Sebagai inti, perusahaan menyediakan sarana produksi ternak seperti makanan, Day Old Chick (DOC), obat-obatan dan alat-alat perkandangan seperti tempat pakan, alat pemanas, dan alat lainnya. Pada awal kerjasama, inti akan menyediakan alat kandang, dan peternak wajib untuk mengembalikan biaya dengan cara mencicil setiap kali panen. Tetapi bila peternak mampu menyediakan alat kandang sendiri, maka sebagai plasma ia hanya membeli sarana produksi ternak dari inti seperti DOC, pakan dan vaksin serta pembayarannya dilakukan setelah hasil panen terjual ke inti. Karena harga produksi ternak sudah disepakati sebelumnya, maka dapat terjadi perbedaan antara harga produk ternak yang diterima peternak kemitraan dengan harga produk ternak yang berlaku di pasar. Hal ini dapat menguntungkan peternak kemitraan bila harga di pasar ternyata lebih rendah daripada harga kesepakatan
dan dapat merugikan bila harga di pasar ternyata lebih tinggi.
Dalam prakteknya, pengamatan menunjukkan bahwa harga ayam ras pedaging di pasar seringkali lebih tinggi daripada harga kontrak. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kontrak kesepakatan inilah yang kemudian mendorong sebagian peternak kemitraan untuk keluar dari sistem kemitraan dan memilih untuk berusaha sendiri. Sedangkan usahaternak pola mandiri dilakukan peternak dengan cara menyediakan semua sarana produksi secara swadaya dan peternak memiliki kebebasan untuk menjual hasil produknya.
Walaupun dapat dengan bebas
menentukan kepada siapa mereka menjual produknya, tetapi karena sebagian
6
besar peternak mempunyai lokasi usaha yang terpencar-pencar dan kurangnya informasi pasar menyebabkan peternak bergantung kepada pedagang perantara yang biasanya langsung mendatangi tempat usaha peternak. Hal ini cenderung menyebabkan harga produk lebih ditentukan oleh pedagang perantara, mengingat posisi tawar peternak umumnya rendah. Beberapa kondisi produk yang dapat memperlemah posisi tawar peternak adalah: (1) karena umumnya berat hidup ayam pedaging yang disukai konsumen berkisar antara 1.19 sampai 1.9 kilogram per ekor, dan (2)
sifat ayam ras
pedaging yang tidak tahan lama jika telah keluar dari kandang (mudah mengalami kematian).
Kondisi inilah yang menyebabkan kehadiran pedagang perantara
masih sangat diperlukan oleh peternak, meski terkadang terasa merugikan bagi sebagian peternak. Adanya
perbedaan
pola
dalam
pengusahaan
ayam ras
pedaging,
menyebabkan perbedaan penerimaan dan biaya yang digunakan untuk memproduksi ayam ras pedaging. Selain itu, perbedaan pola pengusahaan juga akan menyebabkan perbedaan pola pemasaran hasil. Melihat kondisi di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan? 2. Mana yang lebih menguntungkan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan atau pola mandiri?
7
1.3. Tujuan dan Kegunaan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan. 2. Membandingkan tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan atau pola mandiri. Sedangkan kegunaan yang diharapkan oleh peneliti adalah dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang pemasaran ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar sehingga dapat digunakan oleh peneliti lain dan sebagai masukan bagi pengambil keputusan dalam pengembangan ekonomi, khususnya pengembangan usaha peternakan di wilayahnya. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian dibatasi menjadi tiga wilayah kecamatan di Kabupaten Karanganyar yaitu Tasikmadu, Kebakkramat dan Mojogedang. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa dari seluruh kecamatan yang ada di Karanganyar, di tiga kecamatan tersebut dapat dijumpai peternak dengan pola pengusahaan mandiri dan kemitraan sehingga lebih memudahkan untuk membuat perbandingan atas kedua pola tersebut. Untuk menganalisis saluran pemasaran ayam ras pedaging, lembaga pemasaran yang dipilih sebagai responden adalah lembaga pemasaran yang benarbenar terlibat secara langsung dalam penyaluran produk dari produsen ke konsumen dengan wilayah pemasaran dibatasi hanya sampai Wilayah Karesidenan Surakarta yaitu Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo dan Solo,
8
sehingga pemasaran di luar wilayah Surakarta tidak menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini. Sedangkan untuk analisis pendapatan peternak, tidak dilakukan analisis berdasarkan skala usaha.
Hal ini dilakukan karena pengusahaan ayam ras
pedaging di Kabupaten Karanganyar memiliki skala usaha yang relatif sama yaitu di atas 5 000 ribu ekor DOC dan di bawah 20 000 ribu ekor DOC. Sedangkan dalam pengusahaan ayam ras pedaging, peternak di Kabupaten Karanganyar mengusahakan beberapa strain Day Old Chick (DOC). Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan pembedaan berdasarkan strain DOC tersebut.