I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai 11 800 km2 dengan curah hujan berkisar antara 1 370 hingga 2 960 mm per tahun (Nippon Koei, 1998).
Secara makro, DAS Kali Brantas sebagai sumber air sejumlah
agromelasi wilayah perkotaan beberapa Daerah Tingkat II di wilayah Propinsi Jawa Timur yang mengandalkan sektor pertanian, industri dan jasa (PERUM Jasa Tirta, 1998a). Pada wilayah DAS Kali Brantas terdapat 310 000 hektar lahan pengairan yang terdiri atas 50% tanaman padi, 38% tanaman palawija dan 9% tanaman tebu (Ringler et al., 2003). Di samping itu, sebagian besar (60%) air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan industri berasal dari DAS Kali Brantas. Sebagaimana telah dicanangkan pada rencana pola induk (master plan) dari DAS Kali Brantas, penekanan pembangunan sumberdaya air adalah ditujukan untuk pembangkit tenaga listrik, pengendalian banjir dan pemasok air. Prinsip Dasar yang terealisasi sejalan dengan rencana tersebut adalah pembuatan dam di beberapa lokasi baik yang hanya mempunyai satu fungsi maupun banyak (multi) fungsi. Diantara beberapa dam (bendungan dan waduk) yang mempunyai multi fungsi adalah Bendungan Sutami dan Sengguruh (Nippon Koei, 1998). Keberadaan fisik bendungan dan waduk Sutami-Sengguruh didukung oleh daerah tangkapan air (catchment area) bagian hulu DAS Kali Brantas. Kondisi agroekologi di wilayah tersebut merupakan salah satu pusat produksi tanaman hortikultura (terutama kentang, kubis, wortel, bawang merah, bawang putih, kacang merah, apel) dan tanaman perkebunan (seperti tebu lahan kering), namun sebagian besar wilayahnya mempunyai indeks bahaya erosi yang sangat
tinggi (Tim PSLH UNIBRAW, 1995). Sementara itu, proses degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup di bagian hulu DAS Kali Brantas juga menunjukkan kencenderungan yang terus meningkat, yaitu yang ditunjukkan laju sedimentasi yang semakin tinggi. Dari awal operasi bendungan (tahun 1972) hingga tahun 1998 penyusutan tampungan direncanakan hanya sebesar 26%; namun sedimentasi yang terjadi pada Waduk Sutami sebesar 42%. Kondisi tersebut terjadi karena laju sedimentasi pada Waduk Sutami sebesar 200% lebih cepat dari yang seharusnya. Pada Waduk Sengguruh (yang beroperasi sejak tahun 1988) telah mengalami penyusutan tampungan sebesar 46,8% pada tahun 1997 (PERUM Jasa Tirta, 1998a). Untuk mengatasi degradasi lingkungan telah dilakukan berbagai metode pengelolaan sumberdaya di bagian hulu DAS Kali Brantas, yakni melalui berbagai macam proyek fisik maupun metode peningkatan sumberdaya manusia. Disamping itu, telah banyak dilakukan kajian tentang pengelolaan wilayah tersebut, baik dari aspek biofisik, sosial maupun ekonomi sebagaimana yang telah dirangkum oleh Tim PSLH Universitas Brawijaya (1995). Sumber sedimentasi yang terjadi di DAS Kali Brantas berasal dari produk vulkanis dan erosi lahan (PERUM Jasa Tirta, 1998a). Produk vulkanis sebagian besar terdapat pada DAS Kali Brantas bagian tengah (Waduk Wlingi dan Lodoyo), dan sumber sedimentasi dari erosi lahan sebagian besar pada DAS Kali Brantas bagian hulu (sedimentasi terbesar terjadi pada Waduk Sengguruh dan Sutami). Penyebab sedimentasi dari erosi lahan adalah terdapatnya lahan kritis pada bagian hulu dan tengah DAS Kali Brantas. Pada wilayah bagian hulu DAS Kali Brantas terdapat lahan kritis seluas 10% dari total lahan yang teridentifikasi tahun 1997 seluas 383.35 hektar (PERUM Jasa Tirta, 1998a).
Pengembangan DAS dengan metode bendungan tidak hanya memerlukan dana yang sangat tinggi akan tetapi seringkali juga memerlukan pengorbanan fasilitas kehidupan yang lain dari penduduk yang daerahnya tergenang (misalnya fasilitas pendidikan, rumah penduduk, jalan dan masih ditambah lagi lahan produktif). Disamping itu, juga diperlukan pengorbanan yang tidak mudah dinilai dengan uang, yaitu rusaknya kelestarian ekosistem lokal. Dana pembuatan Waduk Wonogiri yang diresmikan tahun 1981 menghabiskan sebesar Rp 69.52 milyar; Waduk Wonorejo sebanyak ¥ 18,80 milyar dari ADB dan OECF serta Rp 21.90 milyar dari APBN; sedangkan pembuatan Waduk Mrican menyerap dana sebanyak 356 juta $ Amerika Serikat (Kompas, 2000). Besarnya dana tunai tersebut belum termasuk biaya penanggulangan permasalahan teknis seperti yang telah diuraikan di atas. Dengan mempertimbangkan besarnya fungsi waduk dalam kehidupan sehari-hari serta mengingat dana untuk pembuatan dan perawatan sangat besar, maka fungsi waduk perlu dipertahankan. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah mempertahankan kapasitas waduk sampai pada akhir horizon waktu. Mengingat sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di daerah tangkapan air menggantungkan hidupnya dari hasil lahan pertanian, maka selayaknya bila kajian dampak erosi terhadap produktivitas lahan dipertimbangkan. Di samping itu, secara makro dan jangka panjang, dampak degradasi lahan dan deplesi sumberdaya tanah mempunyai implikasi ekonomi yang mendalam untuk negara-negara berpendapatan rendah, yaitu dapat mengancam prospek pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di waktu yang akan datang (Barbier, 1995). Anderson dan Thampapillai (1990) mengemukakan bahwa pengkajian masalah degradasi lahan dari perspektif ekonomi dapat dikelompokkan menjadi: (1)
konservasi lahan dipandang sebagai input produksi, (2) topsoil dapat
dipandang sebagai suatu sumberdaya alam, (3) pengaruh degradasi lahan pada sumberdaya pemilikan bersama (commom property) dan eksternalitas. Berkaitan dengan berbagai kelompok kajian tersebut, Barbier (1995) berpendapat pentingnya pengukuran dampak erosi terhadap menurunkan produktivitas (biaya on-site) dan kerugian eksternal (biaya off-site); mengingat penggunaan lahan pertanian di negara-negara Asia Tenggara seringkali menghasilkan degradasi tanah. Lebih lanjut diuraikan, pentingnya pengukuran eksternalitas erosi (off-site cost) karena: (1) penelitian empiris terhadap biaya erosi dari degradasi lahan sebagian besar di negara berkembang terbatas pada dampak on-site cost yang paling sering dikaji,
(2) adanya perbedaan perilaku pengambilan keputusan
antara tingkat petani (hanya memperhatikan on-site cost) dan tingkat sosial atau komunitas (yang juga memperhatikan biaya eksternal atau off-site cost), dan (3) eksternalitas ekonomi dari sumberdaya merupakan bagian integral dari dampak ekonomi dari degradasi lahan.
Oleh karena itu, maka substansi kajian dari
disertasi ini adalah pengukuran nilai ekonomi dampak internal maupun eksternal dari erosi yang dihasilkan lahan budidaya intensif di daerah tangkapan air. Ekosistem DAS dapat dibagi menjadi tiga sub-sistem, yaitu sub-sistem hulu waduk, sub-sistem ekologi bendungan-waduk, dan sub-sistem hilir (downstream). Pendekatan sistem diperlukan karena dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (watershead)
tidak saja menyangkut karakteristik hidrologi dan proses fisik,
namun juga menyangkut kebijakan pengelolaan yang dibentuk oleh perilaku manusia (McKinney et al., 1999). Karena sub-sistem ekologi bendungan-waduk dan subsistem hulu waduk merupakan satu kesatuan dalam satu sistem tangkapan air, maka penelitian ini mencoba mendeskripsikan analisis ekonomi pada sub-sistem daerah hulu waduk yang secara simultan mempengaruhi aktivitas sub-sistem ekologi bendungan-waduk.
Mengingat fenomena dampak degradasi lahan terkait dengan lingkungan sosial ekonomi dan pengaturan kebijakan (Héerink, 2001) yang cenderung berubah, maka dalam kajian menggunakan kerangka kerja dinamik. Pemecahan problem dinamik perlu dilakukan mengingat pemodelan jangka panjang mengupayakan keuntungan sosial serta mempertimbangkan eksternalitas spasial dan temporal. Disamping itu, bisa mendeskripsikan dengan lebih baik dari efek akumulatif dan ketidakpastian yang akan datang (McKinney et al., 1999). 1.2. Perumusan Masalah Potensi permasalahan ekonomi di daerah tangkapan air (DTA) digali dari fenomena hubungan proses fisik dan perilaku manusia dalam sistem. Keputusan pola tanam merupakan salah satu bentuk implikasi dari hubungan proses fisik dan perilaku manusia di DTA. Pada sub-sistem hulu waduk terdapat aktivitas pengelolaan lahan budidaya intensif yang menyebabkan erosi. Dampak erosi terhadap
sedimentasi
waduk
merupakan
eksternalitas
negatif
(external
diseconomies). Proses erosi mempunyai dampak berkurangnya ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) di wilayah sub-sistem hulu waduk. Pada wilayah sub-sistem ekologi bendungan-waduk, erosi menyebabkan sedimentasi sehingga terjadi pengurangan kapasitas tampunan waduk. Dengan demikian berkurangnya SD dan kapasitas tampungan waduk ditetapkan sebagai sumberdaya yang terkuras. Deplesi
atau
pengurasan
sumberdaya
yang
disebabkan
oleh
erosi
mengakibatkan biaya on-site erosi dan biaya off-site erosi (Barbier, 1995). Biaya operasi dan pemeliharaan prasarana pengairan di wilayah DAS Kali Brantas berasal dari retribusi air baku dan subsidi pemerintah (PJT I et al., 2003). Dalam
rangka
pelaksanaan
pembangunan
yang
berkelanjutan
dengan
mempertimbangkan kelestarian lingkungan wilayah DAS telah dilakukan kajian tentang retribusi air baku menurut penggunanya. Dari kondisi yang ada tersebut
terkesan bahwa yang bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan wilayah DAS Kali Brantas adalah pemanfaat air yang berada di wilayah hilir dan pemerintah. Hal tersebut dirasa kurang tepat mengingat pemanfaat lahan di DTA sebetulnya mempunyai peran untuk menjaga kelestarian prasarana pengairan, khususnya yang terkait dengan fasilitas bendungan dan waduk serta sumber air. Oleh karena itu, penelitian disertasi ini mencoba mengeksplorasi kemungkinan berbagi tanggungjawab kelestarian DAS Kali Brantas dengan melibatkan masyarakat pengguna sumberdaya yang berada di wilayah hulu waduk; yakni melalui aplikasi biaya eksternal dampak erosi. Pada kondisi yang ada, alokasi air di wilayah DAS Kali Brantas didasarkan pada perhitungan kuantitas permintaan dan air yang tersedia (PJT I et al., 2003). Permintaan air meliputi untuk irigasi, pembangkit listrik, industri, air minum, perikanan dan penggelontoran sungai; sedangkan ketersediaan air didasarkan pada curah hujan, inflow dan perkiraan air yang tersimpan dalam waduk. Sementara itu, alokasi penggunaan lahan di DTA didasarkan pada keputusan individu rumah tangga petani.
Alokasi kedua sumberdaya tersebut (air dan
lahan) terjadi pada unit keputusan yang terpisah atau parsial. Sebagai produsen, pada umumnya petani tidak mempertimbangkan eksternalitas dari erosi yang ditimbulkan dari pengelolaan lahan.
Sedangkan dari perspektif kepentingan
publik mempertimbangkan eksternalitas lingkungan, yakni eksternalitas erosi terhadap sedimen waduk.
Berdasarkan pendekatan sistem, maka perlu
mengkaji perilaku keputusan pengelolaan lahan dengan menyatukan fungsi DTA sebagai penyedia air dan sekaligus sebagai penghasil sedimen yang mengurangi kapasitas simpan waduk. Untuk menangkap fenomena secara normatif tentang kondisi aktivitas yang dapat menghasilkan manfaat sosial maksimal dengan kendala ketersediaan sumberdaya di wilayah sistem, maka diaplikasikan analisis pemecahan problem optimasi.
Analisis optimasi juga dapat dipergunakan
sebagai dasar penilaian dampak eksternalitas erosi dari pendekatan biaya kesempatan (opportunity cost); mengingat fungsi air waduk bersifat multiguna. Karena pengaruh erosi terhadap produktivitas tanah dan volume waduk bersifat akumulasi, maka problem optimasi yang diterapkan adalah pemodelan jangka panjang atau optimasi dinamik.
Bertitik tolak dari akar permasalahan
bahwa pendangkalan waduk berasal dari degradasi lahan di wilayah hulu DAS Kali Brantas, maka paket pola tanam ditetapkan sebagai variabel kontrol (decision/control variable). Ketebalan lapisan tanah lahan budidaya intensif di wilayah sub-sistem hulu waduk dan kapasitas tampungan waduk ditetapkan sebagai state variable. Erosi sebagai akibat pengelolaan lahan budidaya intensif tidak saja mempengaruhi
pendapatan
pada
sub-sistem
mempengaruhi kelestarian fungsi waduk.
hulu
waduk,
namun
juga
Dengan demikian permasalahan
penelitian yang
muncul adalah: paket pola tanaman manakah yang mampu
mendatangkan
manfaat
sosial
bersih
konsekwensi sedimen yang minimum.
maksimum
serta
menimbulkan
Dengan mempertimbangkan dimensi
waktu, permasalahan yang terkait adalah: bagaimana fenomena optimasi intertemporal pada wilayah sub-sistem hulu waduk dan ekologi bendunganwaduk? Dalam satu Sub-sub DAS mempunyai keragaman unsur kondisi lingkungan fisik diantaranya adalah: topografi/lereng, keadaan fisik tanah, dan iklim (curah hujan dan elevasi). Keragaman yang terkait dengan perilaku manusia adalah berbagai bentuk pengaturan pola tanam. Sehingga dalam mengkaji dampak erosi mempertimbangkan keragaman kemiringan lahan maupun pola tanam, baik yang dibentuk dari tanaman tahunan maupun tanaman semusim. Dalam rangka eksplorasi penetapan pungutan atau retribusi terhadap kerusakan DTA, maka diperlukan valuasi ekonomi terhadap dampak eksternal
erosi.
Dari perspektif ekonomi sumberdaya dan lingkungan, valuasi ekonomi
dalam bentuk nilai uang yang terkait dengan pengelolaan, pengembangan, dan konservasi sumberdaya alam maupun lingkungan dimaksudkan untuk mengukur penambahan (gains) dan kehilangan (loss) dari kegunaan lingkungan (Randall, 1981; Pearce and Turner, 1990). Sementara itu, Chutubtim (2001) menguraikan bahwa untuk mereflesikan nilai ekonomi dampak suatu proyek secara akurat diperlukan teknik valuasi ekonomi yang cocok. Hal itu karena apabila terjadi pada pasar yang terdistorsi, harga pasar tidak mencerminkan secara akurat dari biaya dan manfaat marjinal; serta menimbulkan alokasi sumberdaya yang tidak efisien. Oleh karena itu, untuk mendapatkan estimasi nilai ekonomi yang relatif lebih akurat pada penggunaan sumberdaya alam tanpa kehadiran pasar digunakan harga bayangan (shadow price). Karena sumberdaya ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk secara langsung tidak mempunyai pasar, maka dampak erosi lahan pada daerah tangkapan air diukur berdasarkan harga bayangan. Dalam kerangka kerja optimasi intertemporal, konsep user cost & costate merupakan suatu pendekatan untuk mengukur nilai ekonomi yang terkait dengan state variable (Chiang, 1990; Pearce dan Turner, 1990; Conrad, 1999; Peace (1975) dalam Anderson & Thampapillai (1990). Dengan demikian, maka permasalahan penelitian yang terkait dengan eksternalitas erosi dari aktivitas pengelolaan lahan budidaya intensif di wilayah sistem DTA adalah:
berapakah
nilai ekonomi dampak eksternal erosi dari pengelolaan paket pola tanam tertentu terhadap ketebalan lapisan tanah; dan berapakah nilai ekonomi dampak eksternal erosi dari keseluruhan pola tanam optimal terhadap kapasitas tampungan suatu waduk?
Dalam menangkap fenomena yang berkaitan degradasi tanah karena erosi, Héerink (2001) menggunakan kerangka kerja analitik yang didasarkan pada empat tingkatan, yaitu: 1. Tingkat makro (tempat pengambilan keputusan ekonomi). 2. Lingkungan sosial-ekonomi rumah tangga petani (tempat munculnya dampak kebijakan). 3. Tingkat rumah tangga petani (tempat dibuatnya pilihan produksi pertanian dan keputusan investasi). 4. Tingkat lapangan atau plot (tempat terjadinya proses degradasi tanah). Dari skema kerangka kerja tersebut terdapat alur hubungan antara variabel harga produk maupun faktor produksi sebagai dampak kebijakan tingkat makro yang mempengaruhi keputusan tingkat rumah tangga dalam pemilihan produksi pertanian dan menyebabkan degradasi lahan pada tingkat lapangan (landscape). Fenomena yang sama juga dideskripsikan oleh Pakpahan (1991), program pembangunan pertanian dan kebijakan pemerintah akan membawa konsekwensi peningkatan erosi tanah. Program pembangunan yang dimaksud meliputi intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Beberapa kebijakan diantaranya adalah kebijakan harga, investasi, perdagangan dan regulasi. Lebih spesifik diuraikan bahwa, kebijakan swasembada beras telah menggeser beberapa komoditas non-padi ke daerah hulu yang bersifat ekspansi di lahan marginal yang peruntukannya kurang sesuai untuk tanaman pangan, sehingga menyebabkan semakin luasnya lahan kritis dan erosi meningkat. Disamping itu, ekspansi komoditas non-padi ke daerah hulu juga dipengaruhi oleh perkembangan harga yang terus meningkat. Dari sisi kebijakan sektoral, di wilayah kajian telah diterapkan program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Pada pelaksanaan program tersebut mendorong terjadinya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian tanaman
pangan.
Secara teknis tingkat erosi yang ditimbulkannya relatif lebih tinggi,
sehingga akan mempercepat sedimentasi waduk. Keputusan pengembangan sumberdaya alam untuk kegunaan produktif dan memelihara produktivitas, menurut Randall (1981) sesuai dengan logika teori keputusan penanaman modal. Kondisi yang efisiensi untuk penanaman modal sektor publik secara strategis adalah penamanan modal publik secara optimal, yakni jika menghasilkan perubahan kesejahteraan positif. Hal itu adalah, nilai sekarang kekayaan atau nilai sekarang aliran penerimaan yang ditentukan oleh tambahan discounting penerimaan pada keseluruhan periode. Dengan demikian tingkat bunga riil (r) merupakan variabel penting terhadap hasil prosedur discounting dalam menentukan nilai sekarang dari aliran penerimaan. Sementara itu, diskon faktor yang tinggi pada periode yang akan datang, akan mendorong lebih cepatnya eksploitasi sumberdaya alam (Pearce dan Turner, 1990).
Hubungan tersebut melalui transmisi perubahan harga dan
tingkat internal rate of return (IRR). Kebijakan harga output maupun input dapat mendorong usahatani yang dapat menghasilkan IRR yang lebih besar. Apabila IRR lebih besar dari tingkat bunga umum (interest rate), maka akan terjadi eksploitasi yang terus menerus terhadap lapisan tanah karena meningkatannya intensitas penanaman dan ekstensifikasi. Dalam konteks ekonomi makro, variabel ekonomi umum yang relevan dengan sektor pertanian diantaranya adalah tingkat bunga (Deybe, 2001 dalam Herrink et al., 2001). Bertitik tolak dari fenomena hubungan antara keputusan di tingkat rumahtangga dan perkembangan kondisi di tingkat makro tersebut, maka terdapat permasalahan penelitian: bagaimanakah perilaku
optimalisasi intertemporal
berkaitan dengan perubahan harga komoditas, tingkat bunga dan pelestarian lahan kawasan penyangga?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka
dalam kajian ini dilakukan analisis post optimal dengan pemecahan parametric
programming, yakni dengan merubah tingkat harga, tingkat bunga serta pengurangan areal konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya intensif. Kajian ini diharapkan mampu “membangun kerangka kerja ekonomi terintegrasi antar sub-sistem pada sistem DTA untuk menganalisis skenario perubahan variabel ekonomi dan teknis terhadap pengelolaan lahan dan air di wilayah DAS”. Implikasi yang diharapkan adalah dalam rangka menyusun rencana perbaikan pengelolaan DAS dimasa yang akan datang, perencana harus mengetahui hubungan antara perubahan variabel ekonomi dan fisik dengan
perubahan
kapasitas tampungan
waduk.
Disamping
itu,
dapat
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi biaya eksternal erosi. 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan permasalahan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk menguji model sistem DTA (ModelDTA) dengan menyatukan sub-sistem hulu waduk dan sub-sistem ekologi bendungan-waduk sebagai satu unit pengambil keputusan; serta menilai eksternalitas erosi yang berasal dari pengelolaan pola tanam dengan memperhatikan beberapa periode. Tujuan khusus penelitian meliputi: 1. Menyusun model integrasi antar sub-sistem di DTA bagian hulu DAS Kali Brantas. 2. Menentukan pola tanam optimal dari lahan budidaya intensif yang dapat mengurangi sedimentasi waduk. 3. Mengestimasi nilai ekonomi dampak eksternalitas erosi dari pengelolaan lahan budidaya terhadap ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk. 4. Mengevaluasi dampak perubahan harga komoditas, tingkat bunga dan pengurangan konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya intensif terhadap variabel keputusan dan nilai ekononi dampak eksternalitas erosi.
Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pengaturan beban tanggung jawab antar beberapa pihak (stakeholder) dalam rangka memelihara kelestarian DTA. 2. Sebagai salah satu substansi dasar dalam rangka sosialisasi penyadaran kelestarian lingkungan. 3. Mendapatkan metode valuasi eksternalitas erosi dari kegiatan pengelolaan sumberdaya di DTA melalui konsep on-site dan off-site cost. 4. Memperkaya khasanah kajian perspektif ekonomi sumberdaya. 5. Dapat melengkapi kajian pengelolaan DAS Brantas yang telah dilakukan oleh IFPRI (International Food Policy Research Institute), yang lebih menekankan pada pengaturan air dari sisi permintaan (demand side) pada kondisi pasokan (supply) air tingkat tertentu (given). 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Wilayah DAS Kali Brantas terdiri atas: bagian hulu, tengah dan hilir. Wilayah kajian adalah daerah tangkapan air bagian hulu DAS Kali Brantas. Sistem daerah tangkapan air Hulu Brantas terdiri atas: (1) sub-sistem hulu waduk, dan (2) sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Model program dinamik yang dipergunakan adalah bersifat deterministik, yakni tidak memperhatikan probabilitas yang terkait dengan variabel keputusan (decision variable). Untuk memaksimumkan kumulatif penerimaan bersih dari satu waktu (periode waktu t) ke waktu yang lain (periode waktu t+1) pada DTA didasarkan pada asumsi bahwa sub-sistem hulu waduk dan ekologi bendunganwaduk sebagai satu unit pengambil keputusan. Alokasi sumberdaya air ditentukan dari kuantitas penawaran air (water supply) yang dihasilkan oleh model optimasi dan permintaan air dengan kuantitas
tertentu (given).
Kuantitas penawaran air tergantung pada pengaturan pola
tanam hasil pemecahan problem optimasi;
sedangkan kuantitas permintaan
diasumsikan konstan sepanjang horizon waktu (time horizon). Perumusan masalah optimasi dalam penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam menangkap fenomena di lapang.
Beberapa kompleksitas fenomena
yang tidak diakomodasikan dalam model analisis ialah: 1. Manfaat fungsi ekologi dari lahan non-budidaya intensif (hutan dan semakbelukar). 2. Sumber sedimen selain dari erosi lahan. 3. Produktivitas lahan yang dipengaruhi oleh sarana produksi. 4. Keterbatasan ketersediaan tenaga kerja dan kuantitas permintaan pasar pada setiap komoditas. 5. Keragaman biaya produksi per satuan luas menurut wilayah Sub-sub DAS dan periode (tahun). 6. Perubahan karakteristik hidrologi karena perubahan vegetasi dan curah hujan. 7. Keragaman sumbangan lahan per hektar terhadap volume inflow air waduk. 8. Proses erosi yang diawali dari proses pelepasan, pengangkutan hingga proses pengendapan antar wilayah yang terjadi secara bertahap. 9. Keragaman teknologi yang diterapkan petani menurut dimensi ruang dan waktu.