I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Bank
merupakan
lembaga
keuangan
terpenting
dan
sangat
mempengaruhi perekonomian baik secara mikro maupun secara makro. Peran bank bagi perkembangan dunia usaha juga dinilai cukup signifikan, dimana bank berperan besar dalam membantu permodalan dan pengembangan usaha masyarakat. Di Indonesia, perbankan mempunyai pangsa pasar sebesar 80 persen dari keseluruhan sistem keuangan yang ada (Abidin, 2007). Membangun ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peranan beberapa pihak antara lain Pemerintah, lembaga-lembaga di sektor keuangan dan pelaku-pelaku usaha. Salah satu pelaku usaha yang memiliki peran strategis dalam membangun ekonomi Indonesia adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Data dari Badan Pusat Statistik (2005) menunjukan bahwa dengan 44,7 juta unit usaha UMKM merupakan 99,9 persen dari total usaha di Indonesia serta menyerap 77,67 juta tenaga kerja atau 96,8 persen dari tenaga kerja nasional, dengan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,5 persen, sedangkan usaha besar dengan jumlah usaha kurang dari 1 persen menyumbang 43,5 persen dari PDB. Karena itu, strategi pembangunan yang bertumpu pada UMKM menjadi prioritas yang penting. Lembaga keuangan yang tepat dan strategis untuk melayani jasa perbankan bagi masyarakat tersebut adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). BPR sebagai lembaga keuangan yang selama ini telah memberikan jasa pelayanan terutama kepada usaha mikro dan kecil (UMK) dan masyarakat pedesaan diakui memiliki peran yang strategis dalam perekonomian Indonesia terutama dalam
mendukung perkembangan UMK. Kunci keberhasilan BPR dalam pemberian pelayanan kepada UMK antara lain adalah lokasi BPR yang dekat dengan masyarakat yang membutuhkan, prosedur pelayanan yang sederhana dan proses yang cepat, serta mengutamakan pendekatan personal dengan masyarakat setempat. Sementara itu Bank Umum menghadapi kendala dalam penyaluran kredit terutama untuk para nasabah UMK dan masyarakat di pedesaan yang disebabkan terbatasnya jaringan kantor yang dimiliki, sumber daya manusia bank serta karakteristik nasabah UMK yang sangat berbeda yang memerlukan pelayanan yang spesifik berbeda dengan nasabah korporasi. Tabel 1. Perkembangan Beberapa Indikator Kinerja BPR Tahun 2003 – 2007 Keterangan
2003
2004
2005
2006
2007
Total Asset ( triliun Rp) Total Kredit ( triliun Rp) Total DPK ( triliun Rp) Jumlah BPR Jumlah Kantor
12,6 8,9 8,8 2.141 3.299
16,7 12,1 11,1 2.158 3.507
20,4 14,7 13,2 2009 2.110
23 16,9 15,8 1.880 3.173
27,7 20,5 18,7 1.817 3250
Sumber : Bank Indonesia (2008)
Perkembangan
BPR
di
tanah
air
menunjukkan
indikasi
yang
menggembirakan, ditunjukkan dari perkembangannya yang cenderung meningkat baik dari jumlah kantor, total aset, penghimpunan dana maupun penyaluran kredit yaitu rata-rata dalam lima tahun terakhir masing-masing meningkat sebesar 4,8 persen, 22,0 persen, 20,8 persen dan 34,4 persen. Perkembangan pada tahun terakhir menunjukan bahwa meski jumlah BPR menurun karena merger dan likuidasi rata-rata sebesar 4,8 persen per tahun (Tabel 1), namun total aset BPR pada tahun 2007 meningkat Rp4,7 triliun (20,4 persen) dari posisi tahun sebelumnya menjadi Rp27,7 triliun. Peningkatan asset tersebut terutama didorong
2
oleh peningkatan kredit sebesar Rp3,6 triliun (21,2 persen) menjadi Rp20,5 triliun, sejalan dengan peningkatan dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp2,9 triliun (18,7 persen). Perkembangan BPR berdasarkan total aset menunjukan bahwa BPR yang memiliki total asset sebesar 1 (satu) miliar rupiah sampai 5 (lima) miliyar rupiah memberikan kontribusi terbesar dalam perkembangan BPR di Indonesia. Dalam dua tahun terakhir, jumlah BPR yang memiliki total aset di atas Rp10 miliar meningkat sebesar 30,5 persen. Sementara hanya sebagian kecil BPR atau tidak sampai 5 persen BPR yang beroperasi dengan total aset di bawah Rp1 miliar (Tabel 2). Tabel 2. Perkembangan Jumlah BPR Berdasarkan Total Aset Tahun 2003 – 2007 (dalam persen) Total Aset
2003
2004
2005
2006
2007
< Rp 1 miliar Rp 1 miliar – Rp 5 miliar > Rp 5 miliar – Rp 10 miliar > Rp 10 miliar
19,0 56,9 14,2 9,9
13,2 54,1 19,6 13,1
7,3 50,3 24,4 18,0
5,9 44,4 25,5 24,2
4,7 35,8 28,0 30,5
Total BPR
100
100
100
100
100
Sumber : Bank Indonesia (2008)
Dalam kaitannya dengan pemberian kredit, pelayanan BPR kepada UMK secara nasional masih belum optimal dilihat dari sisi kredit BPR kepada UMK yang hanya berjumlah 5,7 persen dari total kredit perbankan kepada UMK sebesar Rp357,29 triliun. Namun dengan level permodalan BPR yang cukup tinggi yang dicerminkan dengan nilai rasio kewajiban penyediaan modal minimum (Capital Adequacy Ratio/CAR) BPR yang mencapai 22,3 persen (Tabel 3) dapat menjadi faktor pendukung pertumbuhan kredit sekaligus sebagai penyangga risiko.
3
Meskipun skala ekonomi BPR masih relatif kecil, namun kemampuannya dalam memberikan akses keuangan yang lebih luas kepada UMK di Indonesia sangatlah penting. Posisi BPR yang strategis tersebut perlu dipertahankan dan ditingkatkan agar keberadaan BPR memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan mendorong perekonomian daerah. Namun terdapat perkembangan lainnya yang perlu dicermati terkait dengan efisiensi BPR. Saat ini, indikator yang biasa dipakai untuk mengukur efisiensi perbankan adalah dengan menggunakan rasio BOPO. Rasio BOPO adalah perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional. Berdasarkan data pada Tabel 3 terlihat bahwa meskipun rata-rata rasio BOPO industri BPR dalam lima tahun terakhir masih dibawah angka 94% (batas nilai efisiensi ukuran BOPO pada BPR), namun menunjukan kecenderungan yang meningkat. Rata-rata rasio BOPO industri BPR cenderung meningkat di atas 80 persen, yaitu 81,02 persen pada akhir tahun 2003 dan meningkat menjadi 84,27 persen pada akhir 2007. Selain itu nilai suku bunga simpanan dan suku bunga kredit BPR saat ini masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan bank umum. Terkait dengan suku bunga, Bank Indonesia (2008) mencatat bahwa pada akhir tahun 2007 suku bunga tabungan BPR sebesar 7,6 persen dan deposito sebesar 11,6 persen yang nilainya masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga simpanan bank umum yaitu 3,5 persen dan 7,5 persen.
Relatif tingginya cost of fund yang harus
ditanggung oleh BPR akan berdampak pada tingginya suku bunga kredit BPR yang dikenakan kepada nasabah yakni sebesar 22,7 persen per tahun, sedangkan
4
suku bunga kredit kepada bank umum pada tahun 2007 rata-rata hanya sebesar 13,8 persen. Indikator kinerja BPR lainnya menunjukan, Non Performing Loan (NPL) Gross BPR yang meningkat dari 7,96 persen pada akhir tahun 2003 menjadi 9,73 persen pada akhir 2006 dan menurun menjadi 7,98 persen pada tahun 2007. Peningkatan NPL berdampak pada peningkatan biaya operasional karena BPR harus menyediakan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) yang lebih tinggi sehingga dapat menyebabkan BPR memberikan tingkat suku bunga kredit yang tinggi kepada nasabahnya. Tabel 3. Indikator Kinerja Utama BPR Tahun 2003-2007 (dalam persen) Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
LDR 74.5 80.73 87.67 87.37 80.03
NPL 7,96 7,59 7,97 9,73 7,98
ROA 3.40 3.23 2.96 2.21 2.39
CAR 16.89 17.17 19.34 19.50 23.38
BOPO 81.02 80.05 81.35 85.64 84.27
Sumber : Bank Indonesia (2007) Keterangan : - LDR = Loan to Desposit Ratio - NPL = Non Performing Loan - ROA = Return On Asset - CAR = Capital Adequacy Ratio - BOPO = Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional
Uraian tersebut di atas menunjukan adanya indikasi kinerja industri BPR yang belum efisien. Sementara itu, industri BPR dengan tingkat efisiensi yang tinggi sangat diperlukan karena mempunyai dampak positif, sehubungan dengan perannya yang sangat strategis dan berbeda dengan perbankan secara umum. Keberadaan BPR yang efisien dalam melakukan kegiatan operasionalnya sangat diperlukan oleh berbagai pihak, yaitu (Bank Indonesia, 2007) :
5
a. Pengguna jasa BPR baik nasabah deposan maupun nasabah debitur karena akan terkait langsung dengan resiko dan biaya yang akan mereka tanggung serta manfaat yang akan mereka peroleh dalam bertransaksi dengan BPR dimaksud. BPR yang tidak efisien, misalnya, cenderung menetapkan interest margin dan biaya transaksi yang tinggi. Sebaliknya, BPR yang efisien pada umumnya cenderung dapat memberikan pelayanan lebih baik kepada para nasabahnya dengan tarif yang lebih kompetitif. b. Pemilik dan manajemen bank, jika kinerja bank baik maka hasil (return) dari investasinya akan memuaskan. Salah satu cara untuk mencapai kinerja yang baik adalah melalui pemeliharaan tingkat produktivitas atau efisiensi yang tinggi. c. Bank Indonesia, sebagai regulator dan supervisor BPR, keberadaan BPR yang memiliki tingkat produktivitas atau efisiensi yang tinggi akan membantu pencapaian visi pengembangan BPR, yaitu terwujudnya industri BPR yang sehat, kuat, produktif dan dipercaya untuk melayani UMK dan masyarakat khususnya di pedesaan guna mendukung pertumbuhan perekonomian daerah. Sementara itu, BPR yang kurang efisien dapat merugikan BPR dan nasabah BPR terutama dalam kondisi perkembangan pasar keuangan yang semakin kompetitif. BPR yang tidak efisien akan tersingkir dari pasar karena tidak mampu bersaing dengan
kompetitornya
dan
BPR
akan
mengalami
kesulitan
dalam
mempertahankan nasabahnya maupun dalam menarik nasabah-nasabah baru. Dalam kaitannya dengan efisiensi, saat ini rasio BOPO adalah ukuran yang lazim dipakai untuk memberikan penilaian atas kinerja efisiensi perbankan dalam pendekatan tradisional, termasuk BPR. Rasio BOPO seringkali digunakan karena
6
kemudahan perhitungan dan penggunaannya. Namun, pengukuran efisiensi dengan menggunakan analisis berdasarkan rasio BOPO saja terkadang tidak dapat menggambarkan kondisi bank yang sebenarnya serta hasilnya tidak mudah pula diinterpretasikan. Untuk itu perlu alternatif lain dalam penilaian tingkat efisiensi BPR. Menurut beberapa pakar (Oral dan Yolalan, 1990; Berger dan Humphrey, 1992), penilaian efisiensi tidak bisa dilakukan secara parsial seperti misalnya pengukuran ratio biaya tenaga kerja dengan pendapatan, tetapi harus memperhitungkan seluruh output dan seluruh input yang ada. Sehingga pendekatan yang lebih tepat dalam pengukuran kinerja efisiensi adalah dengan menggunakan pendekatan frontier berupa analisa parametrik dan non-parametrik. Hasil studi menunjukan pengukuran efisiensi yang dilakukan dengan nonparametrik maupun parametrik akan menunjukan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda dan relatif konsisten (Hadad, 2003; Lee, 2005; Abidin dan Cabanda, 2007). Salah satu pendekatan non-parametrik yang umum dipakai untuk mengukur efisiensi perusahaan adalah menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Kelebihan metode DEA dalam aplikasi manajerial antara lain dalam mengukur efisiensi, DEA mengidentifikasi unit yang digunakan sebagai referensi yang dapat membantu untuk mencari penyebab dan jalan keluar dari ketidakefisienan. Selain itu, DEA tidak memerlukan spesifikasi yang lengkap dari bentuk fungsi yang menunjukkan hubungan produksi dan distribusi dari observasi yang diamati, dibandingkan dengan pendekatan parametrik yang sangat tergantung pada asumsi mengenai data produksi dan distribusi.
7
Dari uraian tersebut, posisi BPR adalah strategis sehingga perlu dipertahankan dan ditingkatkan agar keberadaan BPR memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan mendorong perekonomian daerah. Untuk memperkuat daya saing BPR dalam situasi persaingan yang kompetitif, maka BPR dituntut untuk dapat meningkatkan efisiensi dalam melakukan kegiatan operasional usahanya. Hal-hal tersebut diatas menjadi pertimbangan bagi penulis untuk meneliti efisiensi BPR menggunakan pendekatan non-parametrik dengan metode DEA. 1. 2 Rumusan Masalah Dari hasil identifikasi masalah yang dipaparkan, maka hal penting yang harus diketahui dan dikaji dalam hal pengukuran efisiensi BPR adalah : 1.
Bagaimana tingkat efisiensi BPR pada tahun 2005, 2006 dan 2007?
2.
Langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi BPR pada tataran variabel penelitian yang dipergunakan?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka didapatkan manfaat penelitian sebagai berikut : 1.
Mengukur dan menganalisa tingkat efisiensi BPR pada tahun 2005, 2006 dan 2007.
2.
Merumuskan
langkah-langkah
apa
yang
dapat
meningkatkan efisiensi BPR pada variabel yang diteliti.
8
dilakukan
untuk
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkompeten terhadap penelitian. 2. Sebagai media penulis untuk memahami lebih dalam mengenai analisis efisiensi BPR. 3. Menambah referensi studi tentang efisiensi BPR di Indonesia. 1. 5 Ruang Lingkup Penelitian ini menggunakan data laporan bulanan BPR yang disampaikan ke Bank Indonesia. Dalam penelitian ini ruang lingkup dibatasi hanya meneliti BPR Konvensional yang beroperasi di wilayah Jabodetabek yaitu BPR yang pengawasannya dilakukan oleh wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia di Jakarta.
Pembatasan tersebut dengan pertimbangan jumlah BPR di wilayah
jabodetabek pada tahun 2007 sebanyak 250 BPR adalah paling terbesar dibandingkan dengan wilayah kerja lainnya yang rata-rata hanya sekitar 48 BPR, sehingga dapat dianggap mewakili perilaku BPR.
Penelitian ini akan
menganalisis trend perkembangan tingkat efisiensi BPR namun data dibatasi hanya pada 3 tahun terakhir yaitu tahun 2005 – 2007. Pengambilan data 3 tahun terakhir diperkirkan cukup moderat dan sudah mencukupi sebagai bahan menganalisis tingkat efisiensi BPR karena dalam penelitian sebelumnya yang menggunakan pendekatan DEA sebagai alat analisis, peneliti biasanya menggunakan data periode 2 tahun sampai dengan 5 tahun terakhir. Sehubungan dengan pengukuran efisiensi yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini, maka akan muncul banyak faktor-faktor yang berkaitan, baik
9
faktor dari internal maupun eksternal perusahaan. Oleh karena itu demi memudahkan penulisan tesis ini maka penulis hanya akan membatasi penulisan pada hal-hal yang berkaitan dengan pengukuran efisiensi dengan metode DEA khususnya pada variabel-variabel yang telah ditentukan.
10
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB