I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Perawatan Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi dan ubungan rahang yang tidak normal sehingga tercapai oklusi, fungsi yang normal dan estetis wajah yang baik (Rahardjo, 2008).
Lara-Carillo dkk (2009)
menyatakan bahwa evaluasi lengkung gigi sangat penting dalam menentukan diagnosa dan menghasilkan perawatan kraniofasial yang optimal, faktor yang penting dalam dimensi lengkung gigi meliputi: kedalaman lengkung (kurva Spee), lebar inter kaninus, lebar inter molar, jarak gigit dan tumpang gigit. Maloklusi atau kelainan oklusi adalah oklusi yang menyimpang dari keadaan normal (Graber, 1985). Edward Angle (sit. Bhalajhi 2004) mengenalkan klasifikasi maloklusi pada tahun 1899. Klasifikasi menurut Angle didasarkan pada relasi mesio-distal gigi – gigi, lengkung gigi dan hubungan rahang dalam arah anteroposterior, dibagi menjadi maloklusi Kelas I Angle, maloklusi Kelas II Angle yang terbagi menjadi 2 sub kelas yaitu maloklusi kelas II divisi 1, maloklusi kelas II divisi 2 dan maloklusi Kelas III Angle. Maloklusi kelas I Angle dapat disertai dengan jarak gigit dan tumpang gigit yang besar. Maloklusi dengan tumpang gigit dalam umumnya disertai dengan kurva Spee yang curam (Proffit, 2007). Ferdinand Graf Von Spee adalah orang yang pertama mengenalkan kurva Spee pada tahun 1890, kurva tersebut digambarkan secara klinis melalui distal marginal ridge dari gigi paling posterior dan tepi insisal dari gigi insisivus 1
pertama. Kurva Spee dihasilkan dari variasi aksial gigi-gigi rahang bawah. Klasifikasi kurva Spee dibagi tiga, yaitu normal, datar dan curam. Hasil penelitian menunjukkan pengukuran jarak gigit dan tumpang gigit pada kelompok kurva Spee curam secara signifikan lebih besar dibandingkan pada kelompok kurva Spee normal dan datar (Baydas dkk., 2004). Andrew (1972) menyatakan bahwa kurva Spee berkisar dari datar sampai lekukan yang ringan. Interdigitasi terbaik terbentuk jika bidang oklusal berada dalam bentuk yang agak mendatar. Leveling kurva Spee berhubungan dengan bertambahnya panjang lengkung menurut Germane dkk (1992) namun jumlah kebutuhan ruang untuk leveling kurva Spee tidak dapat diprediksi secara pasti. Shannon dan Nanda (2004) menyatakan bahwa letak titik terdalam kurva Spee adalah pada puncak tonjol mesiobukal gigi molar pertama, sedangkan Koyama (1979) menyatakan bahwa letak titik terdalam kurva Spee adalah pada puncak tonjol bukal gigi premolar kedua. Lie dkk (2006) menyatakan bahwa letak titik terdalam kurva Spee dapat berubah setelah perawatan ortodontik. Alqabandi dkk (1999)
melaporkan bahwa terdapat hubungan antara
proklinasi gigi anterior rahang bawah dengan berkurangnya jarak inter kaninus rahang bawah akibat leveling kurva Spee pada perawatan kasus tanpa pencabutan. Disamping itu Baldrigde (1969) menyatakan bahwa pendataran kurva Spee dapat menyebabkan terjadinya pemanjangan lengkung gigi dan menyebabkan proklinasi gigi anterior bawah sebagai respon dari penambahan panjang lengkung gigi tersebut.
2
Burke dkk (1998) menjumpai bahwa setelah perawatan dan periode retensi sering terjadi perubahan pada jarak inter kaninus pada perawatan ortodontik dengan pencabutan empat gigi premolar pertama yang penyebabnya belum diketahui secara pasti apakah dari pergerakan kaninus ke distal ataupun ke lateral. Wellens (2007) berpendapat bahwa tahap alignment gigi insisivus dan kaninus pada kasus dengan pencabutan gigi premolar pertama dengan menggunakan natural arch form akan menghasilkan pelebaran jarak inter kaninus yang disebabkan karena pergerakan ke distal gigi kaninus ke bagian processus alveolaris yang lebih lebar. Perawatan ortodontik cekat terdiri dari beberapa macam teknik antara lain; Teknik Begg, Teknik Edgewise dan Teknik Straight wire. Teknik Begg menggunakan gaya yang ringan dengan prinsip differential forces dapat digunakan untuk merawat semua tipe maloklusi (Fletcher, 1981). Maloklusi kelas I dapat dirawat dengan Teknik Begg dengan mempertahankan relasi Molar tetap kelas I. Perawatan maloklusi kelas I pada tahap pertama menggunakan vertical loop, elastik kelas II dan anchorage bend pada kawat busur. Konfigurasi ini akan menghasilkan gaya horisontal untuk retraksi gigi-gigi anterior rahang atas untuk mengurangi tumpang gigit, jarak gigit yang berlebihan, leveling kurva Spee dan mempertahankan hubungan molar kelas I. Tahap kedua teknik Begg adalah penutupan ruang sisa pencabutan. Tahap ketiga adalah memperbaiki inklinasi aksial gigi geligi (Begg dan Kesling, 1977). Perawatan ortodontik dengan teknik Begg memiliki keuntungan antara lain kemampuannya mengurangi jarak gigit, tumpang gigit yang berlebihan secara 3
efektif dan leveling kurva Spee melalui pemakaian elastik intermaksiler kelas II dan anchorage bend pada kawat busur (Begg dan Kesling,1977). Pengaruh leveling kurva Spee dalam koreksi tumpang gigit, jarak gigit dan perubahan pada jarak inter kaninus dengan teknik Begg pada perawatan kasus maloklusi kelas I dengan tumpang gigit dalam yang membutuhkan pencabutan empat gigi premolar pertama perlu di evaluasi untuk mengetahui apakah leveling kurva Spee berpengaruh terhadap jarak gigit, tumpang gigit dan jarak inter kaninus.
B.
Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan, pada perawatan kasus maloklusi Angle kelas I yang memerlukan pencabutan empat gigi premolar pertama dengan teknik Begg, dapat diajukan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah hubungan perubahan kurva Spee dengan perubahan jarak gigit sebelum dan sesudah perawatan? 2. Bagaimanakah hubungan perubahan kurva Spee dengan perubahan tumpang gigit sebelum dan sesudah perawatan? 3. Bagaimanakah hubungan perubahan kurva Spee dengan perubahan jarak inter kaninus sebelum dan sesudah perawatan?
4
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimanakah hubungan perubahan kedalaman kurva Spee dengan perubahan jarak gigit, tumpang gigit dan jarak inter kaninus pada perawatan maloklusi Angle kelas I dengan teknik Begg pada kasus pencabutan empat gigi premolar pertama pada analisis studi model gigi.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk : 1.
Menambah informasi tentang bagaimanakah hubungan antara perubahan kedalaman kurva Spee dengan perubahan jarak gigit, tumpang gigit dan jarak inter kaninus pada perawatan maloklusi Angle kelas I dengan teknik Begg pada kasus pencabutan empat gigi premolar pertama.
2.
Bahan pertimbangan dalam menentukan perubahan kedalaman kurva Spee untuk memperkirakan perubahan jarak gigit, tumpang gigit dan jarak inter kaninus pada perawatan maloklusi Angle kelas I dengan teknik Begg pada kasus pencabutan empat gigi premolar pertama sehingga dapat membantu menegakkan prognosis yang baik.
5
E. Keaslian Penelitian Baydas dkk ( 2004 ) meneliti Posisi gigi insisivus atas dan bawah, jarak gigit dan tumpang gigit pada subyek dengan kedalaman kurva Spee yang berbeda pada maloklusi kelas I, maloklusi kelas II dan maloklusi kelas III ringan. Penelitian dilakukan pada ras kaukasoid dengan membedakan jenis kelamin usia 13 sampai 16 tahun pada subyek yang belum pernah mendapatkan perawatan ortodontik. Pandis dkk ( 2010 ) meneliti efek leveling kurva Spee pada proklinasi gigi anterior bawah dan ekspansi lengkung gigi, pada perawatan tanpa pencabutan dengan teknik edgewise. Rahayu dkk (2009) meneliti perubahan tinggi gigi molar, tinggi gigi incisivus dan panjang lengkung gigi rahang bawah pada subjek dengan kurva Spee curam pasca perawatan ortodontik cekat, pada kasus yang memerlukan pencabutan dan tanpa pencabutan. Lie dkk (2006) meneliti tentang keadaan kurva Spee pasca perawatan ortodontik dan memprediksi stabilitas kurva Spee pasca perawatan ortodontik melalui analisis sefalometri. Sepengetahuan penulis hingga saat ini belum pernah ada penelitian tentang bagaimanakah hubungan perubahan kedalaman kurva Spee dengan perubahan jarak gigit, tumpang gigit dan jarak inter kaninus pada perawatan maloklusi Angle kelas I dengan teknik Begg pada kasus pencabutan empat gigi premolar pertama.
6