RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 73/PUU-XIII/2015 Ketentuan Persentase Selisih Suara sebagai Syarat Pengajuan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan Suara ke Mahkamah Konstitusi I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H Kuasa Hukum Virza Roy Hizzal, S.H., M.H., Mhd. Taufik Umar Dhani Harahap, S.H., Herdiansyah, S.H., M.H. dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 11 Mei 2015 II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: -
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;
-
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
-
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 1
Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) Pemohon I merupakan badan hukum yang bergerak di bidang hukum yang merasa adanya ketentuan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota a quo secara langsung maupun tidak langsung merugikan berbagai macam usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Pemohon I dalam menjalankan tugas dan peranan perlindungan, pemajuan, pemenuhan, dan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Pemohon II adalah perseorangan warga Indonesia. Pemohon II sebagai aktivis partai politik dan juga sebagai bakal calon bupati dalam Pemilukada 2015 di Kabupaten Halmahera Utara, yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pemohon II merasa potensial dirugikan atas ketentuan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo yang berpeluang menimbulkan terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilukada di Kabupaten Halmahera Utara. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Norma materiil yaitu: 1. Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada: “(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan: a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi; b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi; 2
c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi; dan d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.” 2. Pasal 158 ayat (2) UU Pilkada: “(2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan: a. Kabupaten/Kota
dengan
jumlah
penduduk
sampai
dengan
250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota; b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai
dengan
250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota; c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai
dengan
500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota; dan d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma 3
lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota”.
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (2), Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar 2. Pasal 1 ayat (3), Negara Indonesia adalah negara hukum 3. Pasal 18 ayat (4), Gubernur,
Bupati,
dan
Walikota
masing-masing
sebagai
kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis 4. Pasal 24 ayat (1), Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan 5. Pasal 27 ayat (1), Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya 6. Pasal 28D ayat (1), Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum 7. Pasal 28I ayat (1), Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun 8. Pasal 28I ayat (2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu 4
9. Pasal 28I ayat (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Hak konstitusional setiap pasangan calon menjadi terhalang oleh ketentuan Pasal 158 Undang-Undang a quo karena pembatasan dengan persentase selisih suara yang begitu ketat, memungkinkan salah satu pasangan calon bekerja sama dengan KPUD untuk mengukur perolehan suara setiap pasangan calon, sehingga kemenangan yang diperoleh melebihi batas maksimal yang disyaratkan dalam Pasal 158 a quo, akibatnya tidak ada pasangan calon yang dapat mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi; 2. Tidak tepat jika sebuah pasal dalam undang-undang teknis yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemilukada, juga mengatur bahkan membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara perselisihan hasil perolehan suara Pemilukada; 3. Pasangan calon yang tidak terpilih, haruslah diberikan kesempatan untuk mencari keadilan di Mahkamah Konstitusi, apabila merasa dicurangi atau terjadi pelanggaran yang serius dalam keseluruhan rangkaian tahapan pelaksanaan Pemilukada, tanpa harus dibatasi hanya pada selisih angkaangka dalam rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPUD saja; 4. Pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan, memiliki asas bahwa pengadilan dilarang menolak perkara. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;
5
5. Adanya pembatasan kuantitatif dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) a quo dapat mengakibatkan terjadinya hasil Pemilukada yang bersifat final and binding berujung di KPUD. Hasil keputusan tentang perselisihan perolehan suara, tidak lagi melalui tahapan-tahapan pemeriksaan layaknya proses pengadilan/judicial process. Kewenangan yang ada pada KPUD untuk memutus hasil perolehan suara yang bersifat final and binding tersebut membuka ruang adanya praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme; 6. Adanya Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo merupakan langkah mundur dan pembatasan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi yang selama ini telah melakukan terobosan-terobosan guna memajukan demokrasi dalam rangka menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan suara yang diperselisihkan; VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
6
Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
7