An Other Boys "I love an other boys, that means more than one." -Elizabeth Vinya A. No copas! Just Vomment please!
Part 1: One Gadis itu meraih sebuah bolpoin hitam dan secarik kertas untuk menulis sesuatu. Wajahnya yang datar diselingi oleh ujung sudut bibirnya membentuk huruf u terbalik, dihiasi semburat merah dan titik bening yang membuat matanya berkaca-kaca. Ia memandang kosong ke arah kertas itu, lalu menghela nafas panjang. "Baiklah," ia pun mulai menulis. Hai Arya, ini aku lagi. Kumohon katakan jika kamu membaca suratku. Sudah 6 tahun kamu tidak membalas surat dariku. Bagaimana kabarmu? Kudengar 6 tahun lalu kamu pindah di sekitar pelabuhan Sydney, jadi di sinilah aku. Mengirimimu surat melalui sebuah botol kedap udara. Lalu kualirkan melalui sungai di Paris, tepat mengelilingi menara Eiffel, pun aku berharap surat ini akan sampai ke kamu. Atau setidaknya ke orang lain yang mengenalmu. Terserah, aku sudah tidak peduli lagi. Ngomong ngomong, besok aku akan masuk SMA Relington. Itu adalah SMA swasta terbaik disini karena sistem belajarnya sangat bagus dan ketat. Jadi aku tidak perlu homeschooling lagi. Kau tau? Sejak SD sama SMP, aku masih terus homeschooling. Paman Anton dan Bibi Renata tidak mau aku memiliki teman yang tidak baik. Lalu saat aku kelas 3 SD, kamu pindah ke Sydney. Tidak ada teman yang menemaniku ketika homeschooling lagi. Pun aku selalu mengirimi surat setiap hari Minggu, menanyai kabarmu. Seperti hari ini. Namun kamu tidak pernah membalas. Dan aku sangat girang, besok aku akan masuk SMA!! Bertemu dengan manusia seumuranku dan berbincang layaknya manusia normal. Entahlah, aku gugup. Aku masih ingin berteman denganmu. Apakah jika aku berteman dengan mereka maka aku sudah tidak berteman denganmu, Ar? Jelaskan padaku kumohon. Aku tidak mengerti caranya berteman. Bagaimana seseorang bisa nyaman dan menganggap 'dia itu temanku' semudah itu? Arya, jujur aku tidak pernah diperbolehkan keluar rumah hingga hari ini. Aku hanya diperbolehkan ke sungai Eiffel ini yang jaraknya 50 m dari rumahku, ditemani 2 orang bodyguards berjas hitam. Dan well.. SMA juga aku akan diantar-jemput selalu, setidaknya aku diberi sedikit kelonggaran. Dan yah, kalau kau mau tau, SMA Relington yang ku bilang akan menjadi masa SMA ku, merupakan sekolah milik keluargaku. Itulah yang kumaksud "pengawasan ketat". Haha lucu ya. Selamat datang di duniaku. Ini adalah surat terpanjang yang pernah aku tulis selama ini. Dan aku selalu menyelipkan sehelai foto ku di setiap surat yang aku kirim. Terima kasih atas segalanya Ar. Aku masih akan menunggumu, membalas suratku. Kapan pun itu. Apa di Sydney se-menyenangkan itu sampai kau lupa denganku? Kabari aku.. Who misses u so much, Vinya
Segera setelah gadis berambut blonde gelombang itu selesai menulis surat tersebut, ia memasukkannya ke
sebuah botol kaca dan menutupnya erat. Ia memejamkan matanya mengukir senyuman tipis di bibirnya seraya memeluk botol itu di dadanya, mulutnya komat-kamit berharap agar surat itu sampai ke tangan Arya. Gadis itu telah berdiri di tepi menara Eiffel bersiap melempar botolnya jauh-jauh, meski sebenarnya tidak perlu juga dilempar dan bisa dialirkan dari bawah, namun Vinya tidak suka cara lama itu. Sementara bodyguards-nya menunggu di bawah. Ya, Vinya telah berada di atas menara Eiffel. Tiap Minggu ia mengunjungi Eiffel untuk melemparkan surat dalam botol. "Arya...," gadis itu berancang-ancang melempar botol berisi surat tersebut. Ia mulai menghitung. "Satu, dua---" ia berbicara sangat pelan. "Tiga." bisik seseorang. "Aaaahhh!!!!" Byyuuurr "Tolong aku!!!!" "Vinya!"
--.tbc.
Part 2: Two Sudah seminggu sejak kejadian itu, panggil saja Viny atau Vinya--tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Ia benar-benar shock. Seseorang mendorongnya dari atas menara Eiffel. Vinya hampir hanyut, hingga ditolong seorang pemuda. Kedua bodyguardsnya langsung dimaki dan dipecat oleh paman Anton sesampainya Vinya di rumah dalam keadaan tak sadarkan diri. Vinya tidak bicara sepatah kata pun selama seminggu. Tok tok tok... "Vinya.. Ini Bibi Renata. Keluarlah. Kak Dion membuat nasi goreng spesial." "Vinya akan segera kesana," sahut Vinya datar dari balik pintu. Bibinya seakan kaget dan bersyukur, Vinya sudah mau bicara lagi. Wanita berkepala empat itu pun mengukir senyum di wajahnya, "Baiklah, dear." dan segera berjalan menuju ruang makan. --Suasana di ruang makan hening. Hanya dentingan sendok dan garpu yang memecah keheningan. Hingga akhirnya Paman Anton membuka pembicaraan. "Jadi Vinya, pertama Paman Anton senang kamu sudah mau kembali bicara. Paman harap kamu baik-baik saja. Apa perlu paman panggil psikiater?" "Untuk apa? Vinya tidak gi-la." Vinya menekankan nadanya pada kata 'gila'. "Jaga nada suaramu, dear." Bibi Rena mengarahkan pandangannya pada Viny. Gadis itu memutar bola
matanya. "Telor dadar?" "Tidak, terima kasih." Vinya menghela nafas. "Sorry, uncle. But, i'm not crazy at all," ketusnya, lalu menyuap nasi goreng Seafood yang terlihat sempurna di hadapannya. "Baiklah," "Ngomong ngomong, besok Kak Benny--gurumu, akan datang kesini untuk membimbing homeschooling mu lagi. Kami khawatir kamu-" "Tidak, Bibi. Vinya akan sekolah di Relington. Vinya tidak mau homeschooling. Membosankan." sahut Vinya datar seraya mengaduk nasi gorengnya tidak jelas, dan menyesap susu putih hangat di sampingnya. "Paman tidak suka melihat kamu bergaul dengan orang lain, Vinya. Mereka kadang agresif. Paman tidak mau-" "Aku mengerti, Paman. Tapi bukankah Paman Anton dan Bibi Rena ingin Vinya memiliki pengalaman baru?" sahut Vinya tanpa mengalihkan pandangannya dari nasi goreng di atas mejanya. "Yah..itu..-" Bibi Renata ragu-ragu menjawab. "Bagaimana Vinya bisa handle perusahaan alm. Papa kalau pengalaman berteman saja minus." ketus Vinya. "Berasa disekap penjahat, bahkan lebih buruk." gumamnya yang masih dapat didengar. "Baiklah, paman tidak bisa memaksamu untuk terus homeschooling." Paman Anton mengalah. Brakkk!!! Vinya berdiri sambil menggebrak meja. "Begitukah? Tidak bisa memaksa? Selama 10 tahun aku dikurung di rumah terkutuk ini! Dan paman bilang tidak bisa memaksa?!" Vinya menekankan setiap katanya, langsung berlalu--melangkah menuju kamarnya. Emosi meluap-luap. Suasana mulai panas. Vinya kesal. Jelas saja, karena ia tipikal orang yang ingin memiliki banyak teman, namun tidak bisa. Tiba-tiba Dion turun dari tangga membawa beberapa berkas di tangan kanannya. "Oh, hai Viny adikku! Aku mendengar keributan. Apa kau tidak memakan nasi gorengnya?" Dion bertanya pada Vinya yang terus berjalan. "Tidak enak," ketus Vinya. Dion, namanya William Vandiondy A. selaku kakak kandung Vinya yang dua tahun lebih tua. Ia langsung terdiam setelah melihat muka kusut Vinya. Brakkkk! Vinya membanting pintu kamarnya. Pun Dion menghampiri paman dan bibinya seraya duduk dan menyeruput teh hangat di hadapannya. Dion menatap nasi gorengnya. "Tadi itu apa? Apa nasi gorengnya benar-benar tidak enak?" Dion bertanya pada bibi Renata. Wanita berkepala empat itu hanya menggeleng, dan melayangkan tangannya di udara--isyarat menyuruh Dion mendekat ke arah bibinya. "Bibi ingin Dion mulai besok sekolah di Relington," Bibi Renata berbisik kecil sambil tersenyum miring.
"Hm, Relington? Sekolah punya papa? Baiklah. Ada apa tiba-tiba?" "Tidak ada." Paman Anton menjawab sambil menyesap teh yang tersisa tinggal setengah gelas seraya menatap pintu kamar Vinya. ... .tbc.
Part 3: Three Vinya's pov Hari ini adalah harinya. Hari dimana aku akan pergi ke sekolah, terbebas dari homeschooling yang menyiksaku. Saat ini aku sedang diantar supir pribadiku yang mahir mengendarai Mercedes Benz-ku---satusatunya mobil yang kumiliki. Pemberian dari Paman Anton, satu tahun yang lalu--tepat pada ulang tahunku. Beda dengan Kak Dion, yang sudah memiliki tiga mobil yang salah satunya, Mercedes Benz. Tentang mengapa aku benci homeschooling, itu karena guru pembimbingku, Kak Benny adalah kakak lakilaki Arya. Dan itu menyebalkan karena hampir setiap pertemuan, lelaki berumur 23 tahun itu selalu menanyakan,'kangen Arya atau tidak?' Itu menyebalkan. Sangat menjengkelkan. Bahkan aku tidak tau dimana cecunguk yang aku rindukan itu. Pun aku tidak pernah bertanya keberadaan Arya pada Kak Benny. Menurutku sangat berisiko, itu akan membuat Kak Benny lebih banyak bertanya seperti,'suka sama Arya?' dan sebagainya. Aku benci orang seperti itu. Lupakan sajalah. Beberapa kali aku berpikir, untuk apa memikirkan sesuatu yang mungkin tidak memikirkan kita? Bodohnya aku. Akhirnya aku sampai di tempat yang ku nantikan. Masih se-megah sejak 2 tahun lalu ketika aku pernah berkunjung, bedanya--lebih hijau dan asri. Ujung sudut bibirku mengangkat ke atas, ini adalah sekolah yang kuinginkan. Kakiku sudah menapak jalan di hadapan SMA Relington. Bangga rasanya dapat menginjakkan kaki disini, meskipun ini adalah sekolahku sendiri. Sekejap semua mata memandangku, seakan mencari segelintir kekurangan atau kelebihan untuk dibenci, atau sesuatu yang akan dijadikan hot gossip. Entahlah, aku tidak peduli, tapi itu menyebalkan. Seorang lelaki tua berbadan tegap dari gerbang sekolah menghampiriku dengan tangannya yang menyambut tanganku. Aku hanya mengangguk hormat. Lelaki tua itu mengambil tangannya kembali. Memasukannya ke dalam kantung celananya dengan canggung. "Selamat datang, Ms. Anders-" "Vinya. Tolong Vinya saja," "Ba-baiklah, Vinya. Selamat datang di SMA Relington," lelaki itu menempatkan tangannya pada pundakku. Ew. "Tolong jaga jarak anda, Mr. Black atau haruskah saya panggil Pak Hitam?"
"Yah...nama saya Hitamire Black, tapi orang biasa menyebut saya Mr. Black, kebetulan saya adalah kepala sekolah sekaligus guru bahasa Inggris disini, dan saya sudah memimpin sekolah ini selama 3 tahun," Mr. Black berbicara sambil menuntunku ke ruang Kepsek. "Saya tidak perlu tau itu," aku menghela nafas. "Tunjukkan saja dimana kelas saya," "Baiklah, silakan masuk dulu," Mr. Black membukakan ruang pintu Kepsek mempersilakan ku masuk. Tidak. Aku tidak kan mau masuk. "Untuk apa? Jika ada yang mau dibicarakan, bicarakan saja dengan Paman Anton. Dimana kelas saya?" "Uuh...baiklah. Kebetulan jam pelajaran pertamamu adalah bersama Bu Ira selaku wali kelasmu juga, pelajaran IPS, carilah ia di kantor guru," "Saya akan menunggu beliau keluar dari kantor, disini." kataku. Aku tidak mau ke ruang guru. Itu sangat errrrr...memalukan jika kau jadi pusat perhatian seluruh guru. "Baiklah, biar saya panggilkan beliau untuk mampir kesini, kebetulan sebentar lagi jam pelajaran masuk dimulai. Saya permisi,..." Pak Kepsek, sebut saja Mr. Black--memberi jeda. "...Ms. Anderson," aku membuang muka. Aku tidak suka dipanggil Anderson. Itu adalah nama ayahku. Keluargaku itu masa lalu. Sekarang yang ada hanya aku, Kak Dion, paman Anton dan bibi Renata. Selain itu adalah masa laluku. Yang kelam. Mengisi luangku, aku melirik piala yang berjejer di dalam lemari etalase. Pialanya sangat indah. Aku tidak memiliki piala apapun di rumah, well jelas saja itu karena aku tidak pernah mengikuti lomba yang menyangkut pautkan banyak orang. Saat ini aku berada di samping pintu ruang kepsek. Aku merutuki tindakan ku yang tidak menerima tawaran Pak tua itu untuk masuk dalam ruangannya. Pun sekarang, tiap siswa yang berlalu lalang di hadapanku, selalu melirik dengan tatapan 'ngapain dia disitu?' atau 'itu siapa?' Tidak lama kemudian, bel menggema di seluruh ruangan. Sepertinya bel masuk. Para siswa banyak yang berlarian menuju kelas, ada juga yang santai sampai ditegur guru yang lewat. Sedangkan aku? Melongo seperti sapi ompong atau anak hilang, menunggu. Dalam benakku, aku amat sebal. Mengapa waktu terasa sangat lambat?! Sampai suatu saat seorang wanita muda dengan hijabnya, datang padaku disertai senyumannya yang memaksa ku untuk kembali tersenyum kepadanya. Ia menghampiriku?! "Ms. Anderson?" wanita itu membuatku tersadar dari lamunan yang menghanyutkan. "Vinya," aku tersenyum. "Saya Bu Iratachi Sakitaroe," katanya. Aku mengernyit. "Hah?" namanya sangat asing. Apa itu nama Jepang? Aku berkutat dengan pikiranku sendiri. "Nona Vinya, mari ikut saya. 10 IPS, Kelas A, lantai 5," aku tercengang. Lantai 5?! It's like need forever to get there!! "A-apa kita naik tangga?" sambil kami berjalan, terbayang dalam benakku, lutut ku mungkin sudah copot tempurung nya ketika sampai lantai 3(?) Baiklah, aku akan minta paman Anton membangun lift. "Apa Vinya bisa terbang?" Bu Iratachi menatapku, aku terkekeh pelan.
"Tidak Bu Iratachi," aku menggaruk tengkuk ku yang tidak gatal. Hah..jadi awkward begini. Kami pun banyak berbincang di perjalanan menuju kelas yang jaraknya ratusan km itu, maksudku ratusan cm. "Panggil saja Bu Ira, nama saya Iratyh Arnela," beliau terkekeh pelan, aku pun bingung dibuatnya. "Iratachi Sakitaroe itu hanya karangan belaka," Iratyh Arnela, nama yang bagus. Seperti nama depan ibuku. Iratyh Watson. Aku manggut-manggut. Pun Bu Ira selalu memulai pebincangan--yah karena aku tidak pernah bicara sesantai ini. Akhirnya sampai di pintu kelas, Bu Ira sudah masuk kelas duluan. Batinku, mungkin aku kabur dari sini, tapi ah itu akan memalukan! Aku pun menunggu di depan pintu. Aku mendengar dengan jelas apa yang Bu Ira bicarakan dengan murid-muridnya di dalam. "Hari ini kita kedatangan seorang murid baru-" Belum selesai Bu Ira berbicara, murid-murid sudah bergumam tidak jelas. Beda dengan seorang lelaki yang secara blak-blakan bertanya. "Cewek apa cowok, Bu?" "Perempuan," Bu Ira melirik ke arahnya. Ah siapa sih cowok itu, pandanganku terhalang pintu. "Cantik nggak, Bu?" lelaki itu bertanya lagi. "Kenapa nggak kamu jemput dia aja, Ren? Tuh, ada di luar." Bu Ira menunjuk dengan dagunya, semua tatapan memandang lurus ke arahku. "Siap, Bu!" lelaki itu menjawab dengan lantang. Terdengar langkah ke arahku yang terdengar semakin jelas. Seketika nafas ku tercekat melihat siapa yang berdiri disana. Ia menatapku dari atas ke bawah. Aku memasang wajah datar andalan ku. "Hai,..." lelaki itu berucap. "Vinya?" DEG! Tarik nafas dalam Vinya! Dia mirip Arya!!!! . . . . .tbc.
Part 4: Four "Hai....," lelaki itu memberi jeda, menatap ke arah dada kiriku. "Vinya?" ia melanjutkan. Ia menatapku dengan teliti, seakan tidak mau melewatkan satu inci pun diriku. "Darimana kamu tau namaku?" aku bertanya dengan tatapan risih. Ia menatapku seperti errrrrr....entahlah. "Dari name tag, eng...masuk?" oh, aku baru menyadarinya. Bagaimana bisa aku berfikiran negatif? Astaga, memalukan. "Hei Rendy! Jangan pelit begitu dong, bawa cewek itu kesini!" salah seorang lelaki berteriak cukup keras. Murid-murid dari dalam pun brsorak-ria, satu kelas menaruh tatapan pada kami, sedangkan Bu Ira hanya tersenyum geleng-geleng. Pun lelaki itu mengulurkan tangannya dengan senyuman mengintimidasi, dan entah kenapa aku menerima uluran tangannya. Ia menggandengku masuk ke dalam kelas. Hampir seluruh anak---ralat, hampir semua laki-laki bersorak ke arah kami. Sedangkan yang perempuan menatap sirik ke arahku. Kini aku sudah berdiri di depan kelas berjejer dengan lelaki yang kudengar tadi namanya Rendy itu. Kenapa sih cowok itu tidak duduk saja?! "Well, guys. Namanya adalah Vinya," lalu Rendy memalingkan pandangannya pada gerombolan perempuan di bangku paling belakang yang gayanya nggak banget. "Tidak ada yang boleh membencinya! Karena seperti yang kalian lihat," Ia menatap ke arahku. "Ia cantik," nafas ku tercekat lagi! Pipiku mungkin sudah semerah udang rebus sekarang. "Vinya, selamat datang disini...," "Rendy, duduklah. Biar dia yang memperkenalkan dirinya sendiri..," Bu Ira menghampiriku dan membuat Rendy duduk. Mataku menyapu satu ruangan ini, hingga tertuju pada satu-satunya bangku kosong, yang ternyata ada di sebelah lelaki bernama Rendy itu. Hanya itu tempat duduk kosong. Matilah aku. "Vinyaa!" Bu Ira berteriak cukup keras. "I-iya, Bu?" Sial. Nyatanya aku bengong sedari tadi. "Perkenalkan dirimu." "Hai, aku Vinya," aku menghela nafas lega. "Itu saja yang kau perkenalkan? Ew, udik bingits," ucap salah seorang perempuan dari gerombolan yang gayanya nggak banget tadi itu berbisik pada gerombolannya sambil menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. Aku menatap ke bawah--ke arah kakiku yang jenjang. "Itu bukan urusanmu," ucapku datar pada mereka, seraya mengalihkan pandangan--menatap mereka tajam. "Wella! Tarik kembali ucapan mu, dasar lalat!" Rendy membalas ucapan mereka. "Hei!" seorang perempuan diantara mereka berdiri. "Cukup kalian! Vinya, ceritakan lebih lanjut tentang dirimu," Bu Ira melanjutkan. Aku benci ini! Canggung sekali! "Namaku Elizabeth Vinya An-" aku meralat. "Elizabeth Vinya A." hampir saja aku mencetuskan nama
Anderson itu. "Aku selalu homeschooling di rumah, jadi mohon bantuannya," ucapku dengan tatapan dingin. Was wes wos Suara tidak jelas murid-murid membuat keringat dingin ku mengucur deras. "Baiklah!" Suara Bu Ira membuatku kaget setengah mati. "Vinya, karena bangku yang tersisa tinggal di sebelah Rendy..jadi silakan duduk disana," beliau mempersilakan ku duduk. Rendy duduk di paling depan, tepat di hadapan meja Bu Ira. Apa dia anak yang bermasalah? Rendy menarik kursi di sebelahku, seraya membersihkan debu-debu halus yang jarang. "Silakan princess Eliza-" Rendy tersenyum, aku memotong pembicaraannya. "Vinya." ralatku. "Baiklah Viny," Pun aku menempatkan pantat ku untuk duduk dengan nyaman. Pelajaran berjalan dengan lancar. Ini seperti pelajaran paling mudah untukku, karena Kak Benny sudah mengajari ku semuanya. Ngomong ngomong Kak Benny, aku jadi teringat Arya. Arya satu-satunya teman yang aku miliki, dulu. "Mereka menamai diri mereka unyu-bee. Menjijikkan!" bisik Rendy sambil memangku dagu di tangannya-membuyarkan lamunanku. Sedangkan aku hanya manggut-manggut setelahnya. Pelajaran pun kembali berlangsung. "Vinya, coba jelaskan tentang awal mulanya Perang Dunia II," Bu Ira mengarahkan pandangannya pada ku. Aku tidak mau. 5 detik berlalu. "Hey, lihat si udik itu, dia sangat bodoh! Hahaha!" Sial. Dia belum tau aku. "Wella! Cukup! Lo-" lagi-lagi Rendy membelaku. Ini keterlaluan! Aku berdiri dari kursiku, menatap ke arah mereka. "Tidak apa-apa Rendy," aku menjawab. "Sebab utamanya ialah Jepang yang menyerang Pearl Harbour di Hawaii, dan Jerman yang menyerang kota Danzig, Polandia. Sekaligus balas dendam mereka dari kekalahannya pada Perang Dunia I," aku melihat gerombolan yang berjumlah 5 orang itu mendecak sebal. "Anda harus mengenal siapa lawan bicara Anda, guys." aku menatap mereka tajam, puas karena melihat mereka mencelos, mengerucutkan bibirnya. Pun aku kembali duduk, setelah mendapat acungan jempol Rendy disertai cengiran manisnya. Tiba-tiba pipiku panas. "Bagus, Vinya. Itu benar. Kalian semua harus mengenal siapa lawan kalian. Namun Jepang dan Jerman belum mengenal baik lawan mereka. Terlalu banyak bertindak," Bu Ira menunjuk genk lalat itu dengan dagunya. "Ceroboh seperti kalian, tidak berpikir sebelum bertindak," Pernyataan itu sepertinya sukses menohok mereka, membuat genk unyu-bee itu menunduk malu, sampai seorang gadis diantara mereka
mendecih kesal. Aku memasang wajah datar ku kembali. Lega rasanya mengungkapkan sedikit emosi. Jadi inilah cara ku berteman, jika ada yang ingin berteman denganku, baiklah. Tapi jika mencari masalah, akan aku selesaikan masalah itu, dengan caraku. . . . . . .tbc.
Part 5: Five Aku memasang wajah datar ku kembali. Lega rasanya mengungkapkan sebersit emosi. Jadi inilah cara ku berteman, jika ada yang ingin berteman denganku, baiklah. Tapi jika mencari masalah, akan aku selesaikan masalah itu, dengan caraku. Tap tap tap Derap langkah yang terkesan kesal terdengar jelas. Aku melirik kearah belakang, genk unyu-bee yang berjumlah 5 orang itu berbaris berjalan menuju pintu kelas, sepertinya mereka ingin keluar kelas. Tiap pasang mata dari kelima perempuan itu menatap tajam ke arahku, aku membalasnya dengan tatapan datar dan tajam sesekali. Dan yang paling belakang, yang paling sewot denganku sedari tadi, sepertinya dia yang namanya Wella, ketuanya. "Wella! Andien! Sofia! Bianca! Vero! Mau kemana kalian?!" Bu Ira setengah berteriak. "Toilet," jawab mereka serentak tanpa menghentikan jalannya--apalagi memalingkan pandangannya ke Bu Ira-- mereka keluar kelas begitu saja, sontak membuat Bu Ira menggelengkan kepalanya lagi. Entah sudah berapa kali Bu Ira bergeleng geleng sejak tadi. Apa itu hobinya? Maksudku apa itu hobi anak-anak untuk membuatnya geleng-geleng? Baiklah, itu tidak penting. "Kalian lanjutkan latihan, halaman 15 kerjakan latihannya, tulis soal dan jawabannya. Rendy, silakan berbagi buku dengan Vinya," Bu Ira langsung menyusul para lalat, Rendy mengangguk dan sedetik kemudian menatap ke arahku meneliti di setiap inci wajahku. "Apa?" aku bertanya dengan risih. "Nggak, muka lo enak aja dipandang," PLAK! Aku melayangkan buku paket yang ada di meja--entah itu buku apa aku tidak peduli, melempar ke arah Rendy dan tepat mengenai wajah manisnya. Wajah manis? Yang benar saja, Viny. Kau pasti bermimpi. "Hei! Tadi itu apa?" lelaki itu mengelus wajahnya--lebih tepatnya hidungnya. "Kau tau Vinya, keluargaku semuanya memiliki hidung pesek, tapi aku sedang mempertahankan reputasi langka di keluargaku. Dan kau seenaknya melempar buku paket, tepat kena hidung ku! Berikan aku penggaris!" "Untuk apa?"
"Memotong penghapus dan menaburkannya di rambutmu!" "Apa?" "Tentu saja untuk mengukur hidungku! Vinya yang benar saja!" Aku tergelak geli dan bingung dengan tingkah manusia satu ini. Mengabaikan rasa bingung ku, segera kuberikan penggaris pada Rendy yang meraba-raba hidungnya sedari tadi. "Kau lihat?! Hidungku bertambah pesek setengah sentimeter gara-gara kamu!" Baiklah. Melihat kesungguhannya, membuat hatiku tergerak. Errrrr... Aku menyesal. Tadi itu spontan. Aku harus bilang apa? "Maaf...," satu kata yang keluar dari mulutku, mewakili seluruh perasaan bersalah ku. Aku menunduk seraya menatap buku tulis ku dan menggambar gambar tidak jelas. "Hei," Rendy menyenggol bahu ku. "Apa?" aku menatap ke arahnya. "Kau harus belajar akting, kau harus bisa membedakan mana yang akting mana yang bukan," kata Rendy dengan tawanya. Hah. Aku juga bisa. Aku memutar bola mataku, "Jadi kau akting dari tadi?" Rendy mengeluarkan cengirannya. "Sue lo bikin gue merasa bersalah! Gue gunting juga ya idung rese itu!" aku mengguncang guncangkan bahunya, lalu mengambil gunting dari tempat pensil. "Eh, jangan! Jangan! Jangan! Gila ya lo?!" Rendy mengerutkan dahinya sambil menahan tanganku yang memegang gunting. "Huh! Kau sendiri tidak bisa membedakan mana yang akting mana yang bukan! Bodoh!" aku berhasil menipunya hahay, ia pikir aku benar benar akan memotong hidungnya, hahaha. Batinku tertawa jahat. "Sue lo pembalasan nih ceritanya?" "Seperti yang aku bilang, kau harus mengenal lawan bicaramu, aku bisa melakukan apa saja yang ku mau," jawabku terkekeh pelan. "Jadi itu motto kamu?" tanya Rendy. Aku mengangguk. "Mottoku adalah jangan ikut tawuran, kalau takut mati," "Well, its kind' of..........weirdest sentence i've ever heard. Tapi lumayan maknanya banyak, jangan melakukan sesuatu yang berisiko jika kamu tidak ingin mengambil risiko tersebut. Begitu kan?" "Ya, tepat sekali, hahahaha," "Mungkin kamu harus ganti kalimatnya, orang bisa salah sangka bila mendengar itu," kataku, Rendy mengangguk. Kami terbawa dalam suasana tawa yang hangat. Pun aku kembali teringat Arya yang selalu membuatku tertawa hingga sakit perut bahkan menangis. Aku jadi bisa kembali merasakan rasanya memiliki teman.
"Apa kau mau....." mataku menyipit melihat mulut Rendy bergerak tanpa suara--bukan--tapi murid-murid terlalu gaduh membuat pendengaran ku buyar dan seperti terhalang tembok besar. "Ke kantin yokkk!!" suara ini memekikkan telingaku, bukan suara Rendy, sepertinya suara Mike--lelaki yang duduk di belakang Rendy--yang membuat suara Rendy nyaris tak terdengar sama sekali. "...ku?" Rendy melanjutkan. "Ha?" aku mengerutkan keningku. "Ayolah, kau mendengar itu!" Rendy merajuk mengerucutkan bibirnya. "Tidak--maksudku ya--tapi aku tidak mendengar dengan jelas gara-gara Mike tadi berteriak," ucapku sambil spontan menggerak gerakkan tanganku di udara, sesekali menggeleng. "Ah, Mike!" Rendy bersiap mengeluarkan tatapan pada Mike yang baru saja melihat Rendy dengan datar. "Apa?" tanya Mike sambil menautkan alisnya. "Kau-menggagalkan-rencanaku!" Rendy menggertakkan giginya menekankan setiap kata. Rahangnya mengeras. Mike membalasnya dengan lidah yang dijulurkan. Mata Rendy memicing. Mereka seperti berbicara lewat tatapan mata atau mungkin pikiran. Serius aku tidak mengerti, sebenarnya ada apa sih? "Apaan sih? Kalian kerjain tuh tugas, jangan berdebat terus. Keburu Bu Ira datang, Ren itu bukunya yang mana sih? Bukain kek!" aku menyahut sebal, jujur aku tidak mengerti sikap kekanak-kanakan mereka. Satu kata yang menyimpulkan suasana hatiku ini, sungguh aneh. "Maaf Ren....," ucap Mike berbisik. Rendy menghela nafas. "Ngomong ngomong, aku ingin bertanya, Ar-maksudku Rendy," kataku sambil menggoyangkan pulpen tanganku. Rendy mengangkat alisnya kirinya, sebagai jawaban 'apa?'. Aku menarik nafas, "Mengapa kau duduk di depan? Sendiri?" Rendy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Sebenarnya dulu ada rolling tempat duduk, tiba-tiba Bu Ira menyuruh posisi duduk harus menetap seperti ini selama ia menjabat sebagai wali kelas." Aku manggutmanggut, "Beliau juga tidak suka lalat lalat itu, jadi mereka ditempatkan di belakang, Bu Ira juga sempat bilang padaku untuk tidak menaikkan seluruh genk unyu-bee itu lagi," "Apa?!" teriak ku kaget. "Sssttttttt!" Rendy membentuk angka satu pada jari di depan mulutnya. "Ma-maaf, apa hanya kau saja yang mengetahui hal itu?" aku mengecilkan suaraku. Rendy mengangguk. Aku berpikir dan kembali memutar apa yang Rendy baru katakan, "Bu Ira juga sempat bilang padaku untuk tidak menaikkan seluruh genk unyu-bee itu lagi," lagi? Itu artinya mereka...?
Part 6: Six Aku berpikir dan kembali memutar apa yang Rendy baru katakan, "Bu Ira juga sempat bilang padaku untuk tidak menaikkan seluruh genk unyu-bee itu lagi," lagi? Itu artinya mereka sudah pernah tidak naik kelas? Tidak lama bel istirahat berbunyi, Bu Ira datang ke kelas untuk mengambil file yang ia tinggal tadi. "Selamat istirahat anak-anak," ucap Bu Ira. Aku tersenyum padanya, dan ia kembali melontarkan
senyumnya padaku. "Vinya, ayo kita ke kantin!" ucap Rendy yang sudah di depan pintu kelas. Aku menggeleng dan menunjukkan kotak makan siang yang aku bawa. Ia berjalan ke arahku dengan langkah yang pasti(?). Dan mengulurkan tangannya ke arahku. Aku melihat ke arah tangannya sebelum menatapnya kembali. "Apa?" aku mengerutkan keningku. Ia mengusap dahinya sambil mengalihkan pandangannya pintu kelas. "Ayolah, teman-temanku mengajakmu untuk makan bersama," ia menatap lurus ke arahku, aku masih berpikir. "Kau tau? Tidak diperbolehkan makan di kelas," katanya. Aku mengangguk-angguk mencerna apa yang baru saja ia katakan. "Aku......akan menyusul," sahut ku akhirnya. Rendy pun menyerah, mengambil kembali uluran tangannya. "Baiklah, kami tepat ada di depan kantin bakso," aku mengangguk tepat sebelum ia melangkah menjauh. Lalu aku membereskan meja ku, dan melirik kotak makanku. Perutku sudah berdemo meminta diisi, sepertinya. Ku intip isi bekal yang Bibi Rena siapkan tadi, hmmm.....makanan Jepang. Aku sangat amat bersyukur memiliki seorang yang dapat memasak dengan handal di rumahku. Sifat Rendy mirip Arya. Pikiran itu terbesit begitu saja ketika aku melihat ke tas Rendy di sampingku. Mungkin hanya kebetulan? Aku mengabaikan pikiranku. Berjalan ke luar kelas sambil membawa kotak makan siangku, sialnya aku menabrak seseorang dengan tampang wajah penuh riasan yang mengerutkan keningnya sambil membuka mulutnya kaget karena makanan yang ia bawa tumpah mengenai seragamnya, dan mangkuk yang ia bawa jatuh, pecah. Aku menutup mulutku dengan tanganku. "Maaf, ini 100rb untuk beli seragam dan mengganti mangkuk, apa cukup?" aku mengeluarkan selembar uang seratus ribu untuk menebus kesalahanku. Aku tidak sengaja dan aku mau bertanggung jawab. "Hei udik! Kau-" ah, si Wella. Ia malah menghempaskan uang yang aku berikan. "Maaf, tolong jaga ucapan mu," sahut ku memotong pembicaraannya, mengerutkan keningku. "Aku sudah minta maaf ya!" "Hei jangan memotong pembicaraan ku! Kau baru saja menumpahkan bakso itu padaku!" Wella menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Ya, aku bisa liat itu. Aku memutar bola mataku. "Seragam ku basah! Berikan seragammu padaku!" Wella menunjuk jarinya padaku. "Apakah kau bodoh? Aku memberimu 100rb untuk membeli seragam baru dan kau tidak mau...," "Grrrrrr..! Kau sangat menyebalkan!!" Wella tambah geram, mukanya memerah. Whooo..aku merasakan panasnya atmosfer naik beberapa derajat. "Sudah selesai berbicara?" aku bertanya dengan datar, memberi jeda 2 detik. "Biar kuperjelas, aku-tidakmenumpahkannya-aku-hanya-menabrakmu, tidak sengaja. Kau-yang-menumpahkannya. Bisakah kau berpikir?!" ketus ku, sambil menunjuk-nunjuk wajahnya, lalu meletakkan jari telunjuk di keningku, ketika mengatakan kata 'berpikir'.
"Hei jangan kurang ajar kau!" Wella menggertakkan giginya, rahangnya mengeras, dahinya merah berkerut, sudut bibirnya turun membentuk huruf U terbalik. Sepertinya sebentar lagi akan keluar asap dari telinganya, dan tanduk dari kepalanya. Layaknya a real devil(?). "Kurang ajar?" aku mengerutkan keningku. Bukankah dia yang kurang ajar? Aku ingin bertanggung jawab, tentu saja tidak memberikan seragam yang kupakai padanya. Tapi kuberi ia 100rb tadi, dan ia malah menghempaskan nya begitu saja. Apa aku yang kurang ajar? "Aku sudah lebih lama berada disini daripada mu! Kau-" Haha, sudah lama? "Oh ya? Lebih lama? Maksudmu kau adalah kakak kelas--yang tidak naik kelas?" rasakan itu. Aku mengatakannya tanpa beban dengan nada datar. "Jaga ucapanmu! Aku yang memiliki sekolah ini! Aku bisa saja melaporkan mu pada ayahku!" Hah. Jelas-jelas ini sekolah milikku. "Oh ya? Coba laporkan saja. Mengadulah pada ayahmu itu. Berapa orang yang sudah kalian tindas?" aku mengarahkan pandanganku pada 'anak buah' Wella. Siapa ya namanya tadi? Bianca, Vero, dll entahlah itu tidak penting, intinya mereka diam dari tadi. Enjoy the show, huh? "Tutup mulutmu!" "Kau yang tutup mulutmu! Aku sudah mau bertanggung jawab meminta maaf dan kau meneriaki ku!" bentakku akhirnya. Dari tadi aku tidak mengatakannya dengan suara keras, aku tidak membentaknya. Dan akhirnya aku kelepasan. Aku merasakan semua mata tertuju pada kami. Wella sudah akan meledak-ledak rupanya, sedetik kemudian ia melayangkan tangannya. Aku bersiap untuk menangkis, namun seseorang sudah menangkis tangannya duluan. Mengganggu aksiku saja. ~~~____~~~ "Wella cukup!" ucap seorang lelaki. Rendy yang menangkis, cukup heroik huh? "Kenapa aku yang disuruh diam?! Dia menumpahkan bakso padaku!" ujar Wella pada Rendy menunjuknunjuk ke arahku. Sedangkan aku kembali diam. Jaga image, Vinya... Sabar... Jangan sampai orang mengetahui sisi lain dalam dirimu. "Sudah cukup!" Rendy membentak Wella, membuat ia terdiam. "Kalian bubar!" ia mengarahkan pandangannya pada murid yang sudah membentuk lingkaran, dengan kami sebagai pusatnya. Lalu mereka segera bubar, termasuk keempat teman Wella atau sebut saja anak buahnya. "Sekarang kau membelanya?" Wella dengan air matanya yang berlinang menunjuk ke arahku. Aku memutar bola mataku, menghela nafas. "Apa maumu?" kataku datar akhirnya, biarlah kali ini aku yang mengalah. Lelah meladeni a devil like her. "Berikan seragammu padaku!" "Ada apa ini???!!" seorang guru perempuan, berperawakan tua dan berambut pendek, kulitnya yang mulai keriput mulai menegang. Ternyata ia telah menonton kami dari tadi. Guru berkepala 5(?) itu berkacak
pinggang. Alisnya mengkerut, ia sangat marah. Oh, apa yang dapat lebih buruk dari ini? "Kalian bertiga, termasuk kamu, Rendy! Ikut saya ke kantor kepala sekolah!!!" suaranya menggelegar bagai petir di siang bolong. Great, Vinya. You make a big mess in your first day. . . . . . .tbc. --9 June 2016, paincember
Part 7: Seven "Kalian ada masalah apa? Bisa tolong jelaskan pada saya, Bu Wan?" Sounds like Bakwan. "Perempuan yang ini," Bu Wan itu menunjuk padaku. Awalnya aku berpikir kalau Bu Wan akan berkata perempuan yang ini, aku, di bully oleh perempuan itu, Wella. Namun sedetik kemudian, "Menabrak perempuan itu dan memaki-makinya," ucapnya menunjuk Wella yang membuat bola mataku hampir keluar dari tempatnya. Dia bilang aku yang memaki Wella?! Gila ya? "Benarkah itu, Vinya?" Mr. Black selaku kepala sekolah menajamkan matanya padaku, menekankan setiap katanya. "Tidak, Pak. Tuduhan palsu." ucapku datar. "Bagaimana denganmu, Rendy?" "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, Pak. Jadi begini..." Rendy menjelaskan kurang lebih 10 menit. Itu sangaaaaaaat lama. Kulihat Mr. Black sempat menguap beberapa kali. "Jadi begitu Pak, ceritanya-" "Tidak mungkin! Saya tau betul karena saya berada dekat dengan mereka!" Bu Wan melotot dan tidak terima atas penjelasan Rendy yang bertele-tele. "Maaf, Bu. Jangan menilai sesuatu hanya dari sudut pandang ibu, " cetus ku yang membuat Bu Wan tambah melotot ke arahku. "Kamu! Vinda! Rendy!" Vinya Bu, Vinya.
Guru itu memberi jeda, berpikir sepertinya. "Bersihkan gudang pada jam pelajaran saya hari ini!" Bu Wan menunjuk ku dan Rendy bergantian tepat di depan mataku. Gila tuh guru! Hampir aja kecolok! "Yesssshhhh!!" seru Rendy girang. "Kenapa?!" "Nggak Bu..," Aku tertawa kikuk, menyikut tepat di perut Rendy sekali hantam sampai ia agak membungkuk memegang perutnya. Ia ber-aw ria. Sedangkan Wella hanya diam saja sedari tadi. "Dan Ms. Anderson," "Ya, Pak?" aku dan Wella menjawab dengan serentak. Aku memicingkan mataku ke Wella, begitu juga dengan ia. Kalau dipikir-pikir kulihat dengan jeli, ia agak mirip dengan Kak Dion. "Hey, kau pikir kau siapa? Menyahut ketika Mr. Black memanggil nama Anderson! Itu nama ayahku!" Wella mengerutkan keningnya. Tidak, kumohon jangan. Terdengar suara pintu yang terbuka, "Permisi Pak," aku kenal suara ini, kami menengok ke arah sumber suara. "Kak Dion?!" kagetku, dan tepat ketika aku mengatakan 'Kak Dion', saat itu Wella juga menyebut kata 'Dion?!' dengan nada kaget. Aku dan Wella sama-sama kaget. "Lo kenal Dion?!" Wella bertanya ke arahku. "Dia itu kakakku! Seharusnya aku yang bertanya, kamu kenal Kak Dion?" "Dia itu kembaran gue!" "Apa?!" ucapku serentak dengan Rendy. "Lo adiknya?!" Wella membentak ku sambil menarik pergelangan tanganku. Ah, sakit! "Ga usah pegang pegang, ya Wel!" aku menghempaskan tanganku. "Seseorang tolong jelasin ke gue apa yang terjadi!! Gue ga ngerti!" Rendy berteriak dengan nada frustasi. "Cukup kalian semua! Bersihkan gudang tepat setelah bel masuk! Kamu juga Dion!" "Hah? Saya, Pak?" Kak Dion bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri.