I.
Langkah
Dari Ketinggian Leluhur Gemulai Berputar Landur Menanti Kelahiran Seorang Ksatria Duhai Pemuda, di Manakah?
Mentari
belum selesai merias diri,
namun ada kalanya ingatan masih terus dihantui akan ucapan pembimbing keagamaan semalam, “Coba ketika ada waktu luang dan kesempatan, kalian semua cari tahu tentang asal muasal nama Kota Depok. Selama ini kan Depok melulu identik dengan akronim dari Bahasa Belanda, intinya adalah Gereja Kristen Rakyat Pertama yang di mana seorang Cornelis Chastelein membeli tanah ini kemudian
mendirikan Gereja Kristen Protestan sebagai wadah untuk mereka yang ingin mendalami agama Nasrani.” “Sedangkan menurut orang tua beda lagi punya cerita. Dihikayatkan oleh para sesepuh secara turun menurun, konon Depok diambil dari kata Padepokan yang memiliki arti tempat perkumpulan, tempat belajar.” “Ketika masa silam, tatkala Nusantara masih berupa kerajaan-kerajaan, tanah ini dahulunya adalah tempat berkumpulnya para pendekar yang sedang berlatih dan mendalami ilmu kadigjayaan. Di tanah ini pula mereka semua digembleng habishabisan hingga menjadi para ksatria yang sakti mandraguna.” Iya, itulah sedikit torehan cerita keramat yang menjadi landasan bangunan novel Binar Bentala, dan juga memacu semangat saya sehingga bulat tekad untuk melangkahkan kaki ke tempat yang bertuah dan bersejarah. Oh iya, sebelum terlalu jauh tenggelam dalam lautan cerita yang sederhana ini. Perkenalkan, saya adalah Dirga, nama panjang saya Satria Dirgantara. Saat ini saya baru berusia dua puluh tujuh tahun. Saya sama seperti sebagian 2
manusia lainnya, gemar bercerita dan suka sekali mengembara. Lebih senang menikmati senja lebih dekat, mendekap alam lebih erat. Tiada kenikmatan yang sungguh, selain menggiring penglihatan ke hutan, gunung dan lautan. Mencium aroma angin yang lamban berjalan merebahkan dalam-dalam segala harapan yang riang berjingkrakan, lincah dan tidak jarang banyak berulah. Di daerah asal, saya bersama kawan-kawan mendirikan sebuah organisasi kecil yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial, saat ini baru berjalan dua tahun. Banyak pula dari mereka yang tidak menduga segala alur kehidupan yang telah saya lalui. Bagaimana tidak, seorang pemuda yang badannya penuh rajah bisa melakukan hal demikian? Bagaimana bisa seorang pemuda yang masa lalunya dikenal sebagai salah satu tukang onar disepanjang ruko jalan Nusantara, kini berevolusi menjadi sosok manusia yang agak sedikit peduli terhadap sesama. Bukan maksud hati membanggakan, melainkan justru lebih kepada memberikan cerminan bahwasanya manusia bisa dengan 3
cepat berubah menjadi sesuatu, dan penampilan fisik tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur kita untuk menilai seseorang. Adalah takdir, ketentuan Tuhan yang dapat mengubah warna hidup manusia. Dari putih menjadi hitam kemudian berwarna-warni ataupun sebaliknya. Ya, karena kita semua layaknya kanvas kecil yang telah Sang Kuasa ciptakan untuk dijadikan media-Nya berimajinasi ria, nikmati sajalah. Dari sepasang mata yang dirasuki nafsu Dari seonggok hati yang dilumuri malu Tiada lagi koloni aksara yang patut dipuja Tiada lagi rangkaian dunia yang patut dirasa Demikianlah separuh penggalan kisah tentang saya, mungkin dilembaran-lembaran nanti akan tersaji kembali rangkaian kehidupan yang akan menguak lebih dalam siapa sebenarnya Satria Dirgantara, si penulis recehan yang masih sangat kurang dalam memadukan kata dikarenakan keterbatasan pengetahuan. Baiklah, bagaimana kalau sekarang kita kembali lagi ke dalam cerita yang sempat terlupakan? Lantas pada pertemuan selanjutnya dengan 4
guru spiritual, sambil menikmati asap tembakau saya berkata, “Bib, beberapa hari yang lalu ketika di kantor saya mendapatkan penjelasan yang berbeda akan asal muasal nama Depok.” “Kemudian tersebutlah seorang Ki Ageng Getas Pendowo atau biasa yang lebih dikenal dengan nama Raden Depok.” “Beliau ini masih ada trah atau keturunan dari Majapahit, Raden Alit alias Raja Kertabhumi atau Browijoyo V, namun beliau sudah memeluk ajaran Kanjeng Rosul sholallahu 'alayhi wasallam. Ki Ageng Getas Pendowo adalah anak dari hasil pernikahan Aria Lembu Peteng atau Raden Bondan Kejawan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dan memiliki saudara Abibdullah atau Ki Ageng Wonosobo serta saudari Dewi Roro Kasihan atau Siti Rohmah Roro Kasihan atau Nyai Ageng Ngerang.” “Pada zaman mereka lah masa di mana para pengelana berturban menggelorakan dua Kalimah Syahadah di nusantara khususnya di tanah Jawa.” “Selain lewat jalur perdagangan, metode 5
pengislaman juga berupa kawin silang antara rakyat lokal dengan para pembawa agama Kanjeng Rosulullah sholallahu 'alayhi wasallam. Adapun dengan Ki Ageng Getas Pendowo juga bisa dibilang ulama besar kala itu, menyebar luaskan Islam ke beberapa daerah di nusantara. Dari situlah kemudian timbul asumsi bahwa, nama Kota Depok diadopsi dari nama beliau, Raden Depok.” Sang guru mengangguk, dan bertanya, “Lalu di mana makam beliau sekarang? Ki Ageng Tarub itu Jaka Tarub?” Saya pun menjawab, “Di Purwodadi, dan sepertinya saya akan telusuri jejak dakwah Ki Ageng Getas Pendowo, Bib.” “Siapa tahu nanti saya bisa menemukan sesuatu yang selama ini masih menjadi pertanyaan besar bagi sebagian orang. Iya Bib, beliau adalah Jaka Tarub yang kisahnya masih tersohor hingga detik ini.” Guru spiritual diam sejenak, sambil membuang abu rokok ke dalam asbak, lalu beliau menjelaskan. “Benar. Kisah tentang seorang pemuda gagah berani yang sekaligus memiliki istri 6
dari kahyangan nan cantik jelita tiada tara, Dewi Nawangwulan.” “Mau pergi sendiri atau bersama yang lain?” “Oh iya, sebelum jenengan berangkat ke sana, alangkah baiknya sowan atau berkunjung dahulu ke tempat-tempat yang terdekat, sebagai contoh Makam Mbah Raden Wujud Beji.” Saya kemudian mengangguk dan menjawab. “InsyaAllah sendiri, Bib. Ya! Dari beliau juga nantinya cikal bakal lahirnya raja-raja besar di Javadwipa. Baiklah Bib, nanti, bersama yang lain saya akan sowan ke sana.” Guru spiritual bertanya, “Kira-kira berapa hari yang dibutuhkan selama masa pencarian?” Jawab saya, “Waaah, kurang tahu juga Bib. Mungkin bisa sebulan.” Kaget serta diiringi rasa heran, sang guru berkata. “Hah, sebulan? Lalu pekerjaanmu bagaimana?” Dengan tenang saya menjawab. “Mau ndak mau berhenti Bib, kalau minta cuti sebulan kan kocak juga, mana mungkin 7
dikasih. Hehehe.”
8