\I
Binatang yang merayap di bumi dan burung yang terbang dengan dua s~ yapnya adalah makhluk Allah sepe£ ti kamu. Tidaklah:Kami· a baikan suatu jua pun, kemudian mereka di kembalikan kepada Tuhannya 11 ( QS. Al An'Aam
38)
Kupersembahkan untuk : Ibu dan Ramanda tercinta; adit adikku Dedy, Atok, Lilies tersayang; guru-guruku yang kukagumi serta rekan-rekan dan Almamaterku tercinta.
FASCIOLIASIS PADA SAPI< POTONG
DI RUMAH PO TONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR
Oleh EM MY IRADNI
B 20. 0447
FAKUL TAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1988
RINGKASAN. Ef·lMY. lRADNI.
Fascioliasis pacta Sapi Potong di Rumah
tong Hewan Kotamadya Bogor.
Po-
(Dibawah bimbingan Dr.H.SUPAN
KUSUMAMlHARDJA, MSc ). Untuk mengetahui kejadian fascioliasis pada sapi-sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Bogor, maka
dilakukan
pemeriksaan pasca mati hati dan tinja
ekor sapi
yang dipotong di RPR Bogor.
pada 100
Penelitian dilaksanakan sela-
ma dua bulan, sejak 28 Februari 1987 sampai dengan 26 ril 1987.
Sampel tinja diambil secara langsung dari
Aprek-
tum atau yang baru keluar, dimasukkan ke dalam plastik dan diberi keterangan.
Selanjutnya diperiksa di
Laboratorium
Helminthologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogar. pemeriksaan tinja dilakukan dengan uji endap.
Cara
Diperiksa
dibawah mikroskop denga.n pembesaran 10 X dan 40 X ( secara kwalitatif).
Sedangkan pemeriksaan pasca mati hati
dila-
kukan pada sapi yang sarna, dengan jalari membuat sayatan cara vertikal pada bagian yang panjang satu saYatan,
s~
dan
dua sayatan pada lobus yang pendek secara horisontal untuk melihat apakah ada cacing hati atau tidak. Perbedaan hasil pemeriksaan· pasca mati hati dan pemeriksaan tinja diuji dengan uji Chi-kuadrat, yaitu
metode
khusus untuk daftar kontingensi 2 X 2, dimana pemeriksaan pasca mati hati sebagai faktor I dan pemeriksaan
bagai faktor II.
Sedangkan sensitifitas pemeriksaan tin-
ja secara kwalitatif dengan metode endap menggunakan cara menurut Armitage (1973). Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dari
100
sapi
yang diperiksa, 61 sapi atau 61% positif fascioliasis menurut pemeriksaan pasca mati hatt, sedangkan menurut meriksaan tinja hanya 42 sapi atau 42% yang positif
pefas-
cioliasis. Tidak dijumpai suatu perbedaan yang berarti pemeriksaan tinja dengan uji endap dibandingkan 2 saan pasca mati hati ( X
> X2 0,95(1».
antara pemerik-
Sensitifitas
meriksaan tinja secara kwalitatif dengan metode endap
68,85%
besar
dan spesitifitas
pese~
100%.
Sebab-sebab perbedaan persentase hasil pemeriksaan ha ti dengan hasil pemeriksaan tinja telah dibahas lunya.
seper-
FASCIOLIASIS PADA SAPI POTONG DI RUMAR POTONG REWAN KOTAMADYA BOGOR
oleh
EMMY
IRADNI
B 20.0447
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Rewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN REWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOn
1988
Judul Skripsi
FASCIOLIASIS PADA SAPI PO TONG DI RUMAH PO TONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR
Nama Mahasiswa
EMMY lRADNI
Nomor Pokok
B 20.0447
Te1ah diperiksa dan disetujui Dosen Pembimbing,
Dr. H.
Kusumamihard 'a
NIP: 130176913 . .
MSc
RIWAYAT HIDUP
Penu1is di1ahirkan pada tangga1
27 - Oktober
1964
di
Bangka1an-Madura dari Ibunda Djoeharijah dan Ramanda Slamet. Penu1is merupakan anak pertama dari empat bersaudara,
dua
orang putri dan dua orang putra. Penu1is memu1ai pendidikannya pada Taman Kanak - Kanak Segar pada tahun 1970.
Kemudian me1anjutkan ke Seko1ah Da-
sar Negeri Demangan pada tahun 1971 sampai tahun 1976,
Se-
ko1ah Menengah Pertama Negeri II pada tahun 1977 sampai tahun 1981, dan Seko1ah Menengah Atas Negeri I pada tahun 1981 sampai tahun 1983.
Kesemuanya bertempat di Bangka1an.
Pada tahun 1983 penu1is mendapat kesempatan kan ku1iah di Institut Pertanian Bogor me1a1ui rintis II.
me1anjutProyek
Pe-
Kemudian pada tahun 1984 terdaftar sebagai
ma-
hasiswi di Faku1tas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian gor.
BQ
Penu1is berhasi1 menye1esaikan pendidikan Sarjana Ke-
dokteran Hewan pada tangga1 14 Ju1i 1987.
KAT A PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah, perrulis panjatkan
ke
hadirat
Allah S.W.T. atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian, dan
di
susun sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian akhir Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Dengan selesainya skripsi ini penulis
ingin menyam-
paikan ucapan terima kasih kepada : 1.
Bapak Dr. H. Supan Kusumamihardja, MSc., selaku dosen pembimbing yang
telah banyak membantu, memberi saran
dan pengarahan kepada penulis. 2.
Bapak Drh. Asrul Makmur beserta staf di RPH yang
tu-
rut membantu selama melakukan penelitian.
3.
Bapak pengelola ruang laboratorium Helminthologi yang turut membantu selama melakukan penelitian.
4.
Bapak dan rbu pengelola ruang perpustakaan yang ada di Kabupaten Bogor.
5.
Seluruh keluarga yang senantiasa mendoakan dan membuka jalan menuju kesuksesan.
6.
Rekan-rekan tercinta di kampus dan semua pihak yang tu rut membantu dengan tulus. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari
sempurna, saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini di
masa mendatang akan sangat penu1is hargai.
Akhir kata se-
moga apa yang ada da1am skrippi ini dapat bermanfaat
bagi
semua pihak yang membacanya.
Bogar, Februari 1988 Penu1is
DAFTAR lSI
Halaman
KATA PENGANTAR DAFTAR lSI
vi
......................................................
vii
DAFTAR GA}lBAR
x
DAFTAR TABEL
xi
r.
......................................................... PENDAHULUAN .......................................................
II .
TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR LAMPlRAN
A. B. C. D. E.
Morfologi
1
........................................ .
4
. ............................................ .
......................................... .
4 5
......................................... .
8
.. .
Siklus Hidup Patogenesa
..
Gejala Klinis
9
............ .
9
.................. .
10 11
.........................................
14
F.
PerubCl.han Pa tologi Ana tomi Epidemiologi
G.
Pengendalian Penyakit
III.
BAHAN DAN METODE
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.
xii
.
.
17 .....................................
23
A.
Kesimpulan
23
B.
Saran-saran
24
.......................................... ...................................................
DAFTAR PTJSTAKA
25
LAMPIRAN
27
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman Teks
l.
Siklus Hidup Fasciola hepatica (Olsen, 1962)
2.
Hati bebas dari Infestasi Fasciola sp.
34
3.
Penebalan Pembuluh Empedu Akibat Fascioliasis Khronis ..••................•........
34
7
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel Teks 1.
Hasil Diagnosa Fa.scio1iasis pada Sapi Potong di Rumah Potong Hewan Kotamadya .......................................................... ..
17
Sensitifitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Tinja dengan Metode Endap dibandingkan Pemeriksaan Hati •..........
20
Bogar
2.
DAFTAR L.AMPlRAN
Lampiran
Halaman Teks
1.
2.
Jadwal Pemeriksaan Pasca Mati Hati dan Tinja terhadap Fasciola sp. di Rumah Po tong Hewan Kota~dya Bogor .•....• Jumlah Pemotongan dan Asal Sa pi - sapi yang Dipotong di Rumah Potong Hewan KQ tamadya Bogar
3.
............................. .
28
32
Analisa Statistika Hubungan Pemeriksaan Tinja dengan Bukti Pemeriksaan Pasca Mati Hati untuk Mendiagnosa Fascioliasis
..................................... ..
33
I.
PENDAHULUAN
Peningkatan produksi dan'reproduksi ternak akan tercapai secara optimal bila disertai cara efektif, terutama penyakit siter.
pengendalian penyakit semenular dan penyakit para-
Diantara penyakit parasiter
gian akonomi yang cukup berarti
yang menimbulkan keru-
adalah gangguan cacing ha-
ti pada kerbau, sapi, domba dan kambing. Prosesnya berlangsung lamban, berupa gangguan
fungsi fisiologi
hati akibat
perubahan struktur jaringan hati. Fascioliasis atau liver fluke disease (LFD) atau
dis-
tomatosis atau liver rot adalah suatu penyakit akibat adanya hepatitis parenkhimatosa khronik yang di tandai
oleh
akut
suatu kholangitis
penurunan bera t badan, anemia,
dan udema yang disebabkan oleh gigantica.
dan
Fasciola
nepatica atau
E.
Di Indonesia penyaki t ini pada umumnya disebab-
kan_oleh_K. gigantica, sedangkan K. hepatica menjadi penyebab fascioliasis
hanya pada
sapi-sapi
impor ( Arifin dan
Sudarmono, 1982 ). Penyakit ini
mempunyai pengaruh
dang ekonomi, karena berat run dengan drastis, demikian dapat menimbulkan kematian.
penting di dalam bi-
badan hewan penderita dapat tujuga produksi susunya, bahkan Dilaporkan di Australia, bahwa
fascioliasis mengakibatkan penurunan kwalitas dan kwantitas bulu domba ( Crossland, 1977).
Di Indonesia
kerugian itu
2
berupa susutnya tenaga kerja, berat tUbuh
dan
terbuang-
nya hati yang rusak (Suweta, 1985). Direktorat Kesehatan Hewan memperkirakan bahwa kejadian distomatosis untuk pulau Jawa sebesar 60% serta
ke-
rugian ekonomi sebesar Bp 20 milyard (Samkhan, 1985). Menurut Ressang (1984) angka infestasi rata-rata untuk luruh wilayah_Indonesia adalah 30% pada sapi.
se-
Selanjutr
nya Edney dan Mukhlis (1962) menyatakan bahwa 25-30% sapi dan kerbau, 6-10% domba dan kambing yang dipotong festasi cacing hati.
terin-
Infestasi tersebut menyebabkan
pe-
nurunan bera t badan kurang lebih 50 kg tiap ekor
kerbau/
sapi dan 5 kg tiap ekor domba/kambing.
ekonomi
Kerugian
akibat fascioliasis diduga sebesar 5,0-7,0 juta k& daging per tahun, di tambah kema tian pada sapi/kerb;;tu dan kambing.
domba/
Hal ini menunjukkan bahwa fascioliasis sudah
rupakan problema nasional yang cukup serius bangan peternakan
m~
bagi perkem-
1
"
Informasi ten tang fascioliasis pada sapi di RPR gor masih terbatas.
Berdasarkan kenyataan tersebut
Bomaka
dilakukan penelitian untuk mendapatkan data yang _'0tentik tentang prosentase fascioliasis di RPH, Bogor.
Data
diharapkan akan bermanfaa t_, minimal menambah data yang
ini t~
lah ada baik tentang kasus fascioliasis maupun ten tang asal hewan potbng
terse'but~
Selain itu penelitian ini bel:
tujuan untuk mengetahui perbedaan antara pemeriksaan tinja dengan pemeriksaan pasca mati hati, dalam hal mendiag-
3 nasa fascioliasis. serta untuk mengetahui sensi ti fi tas (kepekaan) dan spesitifitas pemeriksaan tinja secara kwalitatif dengan uji endap, dengan bukti pemeriksaan hati sapi.
II.
A.
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Cacing hati yang asli terdapat di Indonesia hanya Fas-
ciola gigantica, dengan induk semang antaranya siput
dari
jenis Lymnaea rubiginosa ( Suweta, 1985 ; Mukhlis, 1985 ). Fasciola $igantica merupakan cacing perti daun, tanpa rongga dari bagian belakang,
tubuh~
yang besar,
pipih se-
Bagian muka lebih
besar
ujung anterior berbentuk seperti ke-
rucut. Ukuran cacing hati bervariasi.
Fasciola
gigantica
panjangnya 25-27 mm dan lebar 12 mm ( Soulsby, 1982), dangkammenurut Mukhlis (1985) ukuran sa
E.
se-
panjang cacing dewa-
gigantica ialah 14-54 mm. Telur
cacing hati
berbentuk oval,
tipis.dan transparan, berwarna kuning permeabel.
Pada
berdinding sangat
dan
bersifat. sangat
salah satu ujung telur terdapat operkulum
yang dapa t membuka dan merupakan pintu jalan keluarnya 1cu'-va miracidium pada saat te1ur menetas.
Ukuran te1ur E. gi-
gantica, yaitu panjang 156-197.mikron dan lebar 90-104 mikron (Soulsby, 1982), sedangkan menurut Mukhlis (1985) ran telur
E.
uku-
gigantica di Indonesia 1ebih keci1, yaitu pan-
jang 118,8-158 rnikron.dan 1ebar 66-105 mikron.
5 B.
Siklus Hidup Cacing hati dewasa memproduksi sejumlah. besar telur
di dalam pembuluh empedu induk semang definitif.
Telur-
telur yang dihasilkan oleh.cacing hati beradadalam cairan empedu, ikut. mengalir. ke dalam duodenum; dan keluar bersama tinja.
tubum
c
Telur tersebut akan menetas dalam waktu 9-
10 hari pada suhu kamar (Olsen, 1962).
selanjutnya Souls-
by (1982) menyatakan bahwa kecepata tumbuh ( berkembang ) dan penetasan telur cacing hati tergantung temperatur. Telur
E.
gigantica akan menetas dalam waktu 17 hari ( Chris-
tensen et al., 19?6).
Pada temperatur yang lebih
rendah
penetasan telur berlangsung lebih lama, pada suhu IOoe tidak menetas. Telur yang menetas menghasilkan miracidium. dium dapa.t hidup bebas selama 24-25 jam.
Miracidium
melekat pada bagian.lunak siput yang cocok dan papillanya.
Niraciakan
menusukkan
Jaringan siput dilunakkan dan dihancurkan de-
ngan bantuan enzym protease.
Dalam proses penembusan
itu
maka kulit, lapisan epidermis dan rambut getar akan ditan& galkan sehingga miracidium berubah menjadi sporokista. Beberapa hari kemudian, di dalam tubuh sporokista teL bentuk redia dari gumpalan sel pertumbuhan.
Karena pecah-
nya sporokista, maka redia akan bebas dan secara aktif beL pindah tempat menuju hati dan pankreas dari siput.
Dalam
waktu kira-kira dua minggu, lahir redia generasi kedua.
R~
6 dia terakhir ini, dalam waktu kira-kira satu bulan setelah infestasi miracidium, akan melahirkan larva tipe baru yang disebut serkaria (Soulsby, 1982).
Serkaria secara
aktif dimana
akan keluar dari tubuh siput untuk mencari tempat
ia dapat melekatkan diri, yaitu rumput-rumput, tanaman air atau permukaan batu.
Seluruh proses dari mulai miracidium
6 - 7
masuk siput sampai serkaria keluar memerlukan waktu minggu (Georgi, 1974).
Kemudia.n serkaria melepaskan ekor-
nya dan membungkus dirinya menajadi kista. Pembentukan ki§ ta ini untuk melindungi serkaria, yang sekarang
bernam~ m~
taserkaria terhadap pengaruh buruk dari luar, misalnya kekeringan.
Metaserkaria merupakan stadium yang infektif.
Infestasi cacing terjadi ketika induk semang definitif makan rumput atau tanarnan lain atau minum air yang mengandung metaserkaria.
Cairan usus akan menghancurkan diQ
ding metaserkaria, sehingga keluar cacing hati muda (immature stage).
Cacing hati muda ini secara aktif
menembus
kapsul hati, parenkhim hati dan akhirnya sampai ke saluran empedu, dimana mereka mencapai dewasa kelamin dan duksi sejumlah telur yang keluar bersarna tinja lapangan. cacing hati
mempromencernari hidup
Waktu yang diperlukan dalam satu siklus ~
5 bulan (Soulsby, 1982).
Daur hidup
E.
gigantica sarna dengan daur hidup
E.
he-
patica, yang berbeda hanyalah induk semang antaranya, yaitu E. hepatica menggunakan siput Lymnaea truncatula (
'EFC-·
(1)
~? ~--
,
---------
7
b
c
,
I
\
I
\
I I
Gambar 1.
Siklus Hidup Fasciola hepatica (Olsen, 1962)
Keterangan : 1. Sapi sebagai induk semang utama 2. Kelinci sebagai host reservoir 3. Siput sebagai hospest intermedier 4. Metaserkaria pada tanaman air/rumput a. cacing hati dewasa pada saluran empedu b. telur yang belum berembrio pada saluran empedu c. telur bercampur dengan feses d. telur baru keluar dari induk semang definitif e. telur yang berkembang di dalam air f. miracidium menusuk bagian lunak siput g. sporokista h) sporokista mengandung redia i. redia generasi_I j) redia generasi II k. serkaria bebas di air 1) metaserkaria di rumput air m. metaserkaria sudah mengalami perkembangan n. cacing hati muda di paru-paru
pa, Asia, Amerika), Lymnaea tomentosa (Australia) nan Fasciola gigantica menggunakan siput Lymnaea auricularia (Soulsby, 1982).
dis~
Sedangkan di Indonesia, cacing hati
barkan oleh siput jenis Lymnaea rubigonosa (Mukhlis,1985). Untuk lebih jelasnya siklus hidup cacing hati dapat
dili-
hat pada Gambar 1. c.
Patogenesa Caeing hati muda (immature) merusak parenkhim haU
s~
hingga menyebabkan terbentuknya jartngan ikat sebagai peng ganti jaringan yang yang telah rusak.
Kerusakan pe.renkhim
hati ini terjadi seeara perlahan-lahan dan menyebabkan te£ jadinya sirrosis hati.
Penyumbatan ini menyebabkan
ikte-
rollS dan metabolisme terjadi seeara tidak sempurna. Infestasi yang hebat dan akut dapat menyebabkan perobekan kapsula hati dan perdarahan dalam ruang (Soulsby, 1982).
peritoneum
Kerusakan hati akan mengakibatkan
an sekresi empedu.
gangg~
Pengaruh selanjutnya adalah penurunan
kondisi tubuh, kekurangan darah, turunnya berat badan serta terganggunya
penyerapan lemak
melalui usus halus, dan
menimbulkan diare. Caeing
hati mengeluarkan
suatu toksin yang bersifat
hemolitik, sehingga banyak eritrosit dihancurkan (Direktorat Kesehatan Hewan, 1980 ; Haround dan Gameel, 1986). dangkan Contreas (19'16) menyatakan bahwa eaeing hati dapat mempengaruhi sirkulasi darah foetus.
S~
muda
9
D.
Gejala Klinis Pada hewan dewasa gejala. klinis tidak selarnanya jelas,
sedangkan pada hewan muda tidak dapat dibedakan dari gejala infestasi
cacing lainnya.
Bentuk akut pada sapi mempunyai
ciri-ciri gangguan pencernaan yaitu adanya konstipasi jelas, kadang-kadang mencret. anemia.
yang
Hewan cepat kurus, lernah dan
Menurut Blood et al (1981) pada
bentuk akut kema-
tian terjadi sangat cepat, biasanya kurang dari 48 jam. tapi kema tian Ie bih banyak ter jadi selama 2-3 minggu.
T~
Se-
lanjutnya Taylor (1964) mengemukakan bahwa fascioliasis ben tuk akut pada sapi jarang ter jadi dan bila c.da maka ke.ma tian biasanya setelah 1-2 minggu.
Pada sapi muda sering "ada
gejala syaraf, yaitu eksitasi, kejang dan lain sebagainya. Hal ini mungkin disebabkan oleh toksin dari cacing hati. Bentuk khronik pada sapi berupa penurunan tas dan
pertumbuhan yang
terhambat pada anak-anak
(Direktorat Kesehatan Hewan, E.
produktifihewan
~980).
Perubahan Patologi Anatomi Pada kasus akut ditemukan pembendungan dan pembengka-
kan hati, bercak-bercak warna merah (ptechie) baik pada pe£ mukaan maupun pada sayatan.
Kantong empedu dan usus berda-
rah (Direktorat Kesehatan Hewan, 1980).
Sedangkan
Ressang
(1984) menyatakan adanya kelainan-kelainan .yang berupa pa ti tis dis toma tosa.
he-
10 Saluran empedu pada kasus yang khronik dind:Lngnya menebal, mengandung parasit dan sering pula mengandung batu. Disamping itu ditemukan pula anemia, kurus,hidrothorax dan hydropericard, degenerasi lemak dan sirrosis hati (DirektQ rat Kesehatan Hewan, 1980).
Selanjutnya Blood et al (1981)
dan Ressang (1984) menyatakan bahwa pada kasus fascioliasis yang khronik terjadi penebalan pembuluh empedu terutama P.a da lobus ventralis ha ti. dan membesar karena
Saluran-saluran
empedu: menebal
pertumbuhan.jaringan ikat
serta hati
bengkak karena blokade oleh cacing hati. F.
Epidemiologi Cacing Hati Fascioliasis umumnya menyerang ternak ruminansia, te£
utama sapi, kerbau, domba dan kambing. sapi dan kerbauterutama disebabkan oleh
Fascioliasis
I.
pada
gigantica
se-
dangkan pada domba dan kambing terutama disebabkan oleh
I.
hepatica (Cawdery et al., 1977 ; Lee dan Omar, 1986). Suweta (1985) berpendapa t bahwa faktor _. f8ktor
yanK
berperan di dalam epidemiologi fascioliasis adalah : 1.
Luasnya wilayah penyebaran telur cacing hati di lapang an oleh pencemaran ternak peliharaan dan binatang
me-
nyusui lainnya. 2.
Kondisi lingkungan tempat tersebarnya telur cacing.
3.
Penyebaran siput hospes intermedier di le.pangan dan s1. tuasi/kondisi lapangan tempat tersebarnya siput.
11
4.
Tingkat perkembangan cacing di dalam tubuh siput
dan
jumlah serkaria yang dapat berkembang sampai siap keluar tubuh siput.
5.
Jumlah serkaria dan kondisi lapangan tempat tersebarnya serkaria.
6.
Cara menggembalakan ternak. Hewan-hewan reservoir, seperti kelinci dan siput
ho~
pes intermedier (Olsen, 1962) memegang peranan penting di dalam penyebaran telur cacing hati di lapangan. Mengingat bahwa siput hospes in;termedier
E.
gigantica mutlak membu-
tuhkan air tergenang untuk hidupnya, maka kurun waktu pemakaian air pada lahan sawah dan keadaan .irig
Hal ini disebabkan perkemba-
ngan cacing hati di lUar tubuh ternak sangat
membutuhkan
keadaan cuaca yang menunjang perkembangan tersebut, misa1 nya air tergenang, kisaran pH adalah as am lemah sampai a1 kali lemah (Boray, 1964), sedangkan suhu tidak kurang dari 10°C dan-tidak lebih dari 37°C ( Christensen et al., 1976 ). G.
Pengendalian Penyakit Efektifi tas pengendalian penyaki t sanga t tergantung-
kepada ketepatgunaan dan kesempurnaan pelaksanaan tindakannya.
Dalam hal ini (1) kesempurnaan tindakan- pemberan-
12
tasan parasit di dalam tubuh hospes melalui pengobatan, (2) kesempurnaan tindakan pemberantasan siput hospes intermedier cacing hati secara fisik, khemis dan biologik, dan
(3)
kesempurnaan tindakan penyelamatan ternak dari kemungkinan infestasi cacing hati (Suweta, 1985). G.l.
Tindakan Pemberantasan Parasit Melalui Pengobatan.
Pengobatan individu dengan anthelmintika sangat penting sebagai salah satu cara untuk menggulangi penyakit cacing.
B~
berapa anthelmintika yang penting dan eifektif terhadap fascioliasis antara lain Hexachlorophene, carbon tetrachlorida hexachlorethane, dovenix, bilivon-R.
Tindakan fascioliasis
secara kuratif menggunakan anthelmintika belum 1azim
digu~
kan di Indonesia (Suweta, 1985). G.2.
Pemberantasan Siput Hospes Intermedie.r.
Siput hospes
intermedier dapat diberantas secara (1) fisik dengan melakQ kan drainage lahan berair yang perairannya tidak diperlukan 1agi, serta me1akukan rotasi lapangan rumput (Direktorat sehatan Hewan, 1980).
K~
Tetapi menurut. Wargadipura dan Ruma-
was (1976) per1akuan secara rotasi lapangan rumput di Indonesia belum memungkinkan karena peternakannya sampai
kini
masih berupa ternak rakyat, (2) secara khemis dengan mollu£ cicide dan (3) secara biologis yaitu dengan melepaskan itik untuk memberantas siput hospes intermedier.
Secara alamiah
kodok dan bangsa burung air sangat efektif da1am pemberantasan siput (Taylor, 1964).
13
G.3.
Kemungkinan Tindak Penye1amatan Ternak dari Kemung-
kinan Infestasi Cacing Rati. 1amat~n.
Dalam usaha preventif
meny~
ternak dari kemungkinan infestasi cacing hati
secara operasiona1 pada tingkat petani, (1) per1u
dihind~
ri penggembalaan di tempat-tempat tergenang air atau pernah tergenang air dalam waktu yang cukup lama, (2) ·tidak menyabit rumput yang pernah tergenang air.
Da1am keadaan
terpaksa bo1eh menyabi t rumput yang berada '. jauh·. dia tas permukaan air, asa1 diketahui bBhwa air tidak pernah mencapai bagian tersebut sebe1umnya, eksternal cacing hati, yaitu
(3)
merusak
habitat
dengan mengeringkan tempat-
tempat tergenartg air yang tak perlu (Suweta, 1985).
I II .
A.
BAHAN DAN ME1'O DE
Tempa t dan Waktu Pene Ii tia.n Penelitian ini dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH)
Kotamadya Bogor dan Laboratorium
Helminthologi Fakultas
Kedokteran Hewan, lnst:). tu t Pertanian Bogor selama dua bu:::'-. lan, sejak 28 Februari 1987 sampai dengan 26 April 1987.
B.
Bahan dan Cara Penelitian Cara \mendiagnosa fascioliasis
pada
penelitia~
ini
menggunakan dua cara, yaitu : 1.
Menemukan Fasciola sp pada hati
dan.
_empedu
Hal ini dilakukan
(pemeriksaan pasca mati hati). RPH saat hewan baru dipotong.
salur~n
di
Dianggap menderita fa§
cioliasis bila pada hati ditemukan satu atau lebih
c~
cing hati (Fasciola sp). 2.
Menemukan telur Fasciola sp pada pemeriksaan tinja, dengan menggunakan metode endap. Bahan yang digunakan da1am pene1itian ini baik untuk
pemeriksaan hati maupun untuk pemeriksaan tinja adalah pi sebanyak 100 ekor.
Sapi tersebut dipilih secara
s~
acak
sederhana . Tekhnik Pengambilan sampel dilakukan dengan
urutan
kerja sebagai berikut : 1.
Tanya jawab dengan pegawai
RPH untuk mempero1eh gam-
15 baran asal hewan, apakah dari tempat berawa atau kering, serta jumlah hewan yang dipotong setiap harinya ( data
s~
kunder ). 2.
Untuk memenuhi jumlah sampel, maka RPH dikunjungi dua
atae tiga kali seminggu dengan mengambil sampel lima atau lebih, dari rata-rata 34 ekor sapi yang dipotong
setiap
harinya. jalan
Pemeriksaan pasca mati hati dilakukan dengan
melakukan penyayatan secara vertikal pada bagian yang pan jang satu sayatan dan dua sayatan pada lobus yang secara horisontal untuk melihat apakah
ada
pendek
cacing
hati
I
atau tidak.
Kadang-kadang pemeriksaan hanya dilakukan
s~
cara palpasi dan inspeksi untuk mengetahui apakah ada pem bengkakan hati, pengerasan saluran empedu karena pengapu£ an, bintik-bintik merah bekas
pe~etrasi
cacing, atau bin-
tik-bintik kuning yang menunjukkan infiltrasi lemak.
Se-
dangkan pada kejadian khronis, biasanya ada kelainan pada saluran empedu berupa kholangitis dan pada hati ditemukan tenunan ikat, sehingga bila dipalpasi hati keras. Pemeriksaan tinja
untu~
mendeteksi adanya telur
ca-
cing hati (secara kwalitatif) dilakukan dengan metode endap (metode sedimentasi), dengan cara kurang lebih
Satu spa tel tinja
5 gram dilarutkan dengan 50 ml air.
Kemudi-
an disaring dan dimasukkan ke dalam tabung model .kerucut (alat Baerman).
Dibiarkan mengendap selama 10 menit sam-
16 pai endapan tersisa kurang lebih 15 mI.
Cairan supernatan
dibuang dengan hati-hati, agar endapan tidak ikut terbuang. Endapan yang tingga1 ditambah air lagi, diadlik dan disaring 1agi, dibiarkan mengendap se1ama 10 menit.
Cairan dibuang
kemudian endapan diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 X dan 40 X.
Pemeriksaan diu1ang sebanyak
3 X.
Se1anjutnya ana1isa hasi1 pene1itian menggunakan Chi-kuadrat, yaitu metode khusus untuk daftar 2 X 2.
uji
kontingensi
Metode ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan (hubungan) antara pemeriksaan tinja dengan bukti pemeriksaan
pasca mati hati.
Sedangkan
kesensitifitasan
pemeriksaan l tinja dibandingkan dengan pemeriksaan pasca m~ ti hati menggunakan met ode menurut Armitage (1973).
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui kasus fascioliasis di Rumah Potong Hewan Kotamadya Bogor, telah dilakukan suatu penelitian, mulai tanggal 1987.
28 Februari 1987
sampai
dengan 26 April
Hasil penelitian selarna dua bulan, ternyata
dari
100 ekor sapi- sampel bangsa Peranakan Ongole, 61 Bkor s£ pi atau 61% ditemukan Fasciola sp dalam hatinya, sedangkan pada pemeriksaan tinja dari hewan yang sarna hanya 42 sampel ditemukan telur cacing hati tersebut dalam tinjanya.
Data mengenai hasil diagnosa fascioliasis tersebut
tertera padcv Tabel 1. Tabel 1.
Jangka Waktu Pengambilan Sampel
28 - 2 - 1987
Hasil Diagnosa Fascioliasis pada Sapi Potong di Rumah PotongHewan Kotarnadya Bogor
Jumlah .Sapi yang Dipotong
317
Jumlah Sampel Sapi (ekor)
100
Pemeriksaan - PA Hati
Tinja
! + ! -
! + ! -
61
39
42
58
sid
26 - 4- 1987 Prosentase
100%
61% 39% 42% 58%
Dari tabel tersebut diatas penulis dapat mengemukakan bahwa angka infestasi cacing hati pada sapi-sapi yang dipotong di RPH Kodya Bogor cukup tinggi, hampir sama de-
18
ngan daerah-daerah lain, seperti yang dikemukakan oleh para peneliti terdahulu, bahwa penyebaran cacing hati di Indonesia sudah tersebar di seluruhkepulauan •. Hanya ·.saja tingkat prevalensinya yang berbeda-beda, tergantung kondisi lingkungan setempat.
Dalam hal ini Edney
dan. Mukhlis
(1962) menemukan prpvalensi yang berkisar antara 10 - 80%. Di Jawa dijumpai 50-80%.
Di Bali, Bandung, Jogjakarta dan
Malang berturut-turut sebesar 56,3% ; 79% ; 65%, dan 63,2% (Putra dan Gunawan, 1982).
Di Surabaya menurut hasil
pe-
nelitian Samkhan (i985) hanya 3,3%. Meratanya penyebaran fascioliasis ini
sesuai
dengan
sifatnya yang tersebar luas di dunia (kosmopolitan) dan d£ erah dimana ternak, siput dan lingkungan yang saling kung kelangsungan hidup cacing hati.
mend~
Berdasarkan informa-
si tentang asal sapi Peranakan Ongole yang dipotong di Rumah Potong Hewan Kotamadya Bogor, yaitu dari catatan harian jumlah pemotongan (Lampiran 2) serta keterangan Kosasih.
(1987, komunikasi pribadi) ternyata bahwa sapi - sapi yang dipotong di Rumah PotDng Hewan Kotamadya Bogpr, umumnya bg rasal dari Jawa
~imur
dan Jawa
~engah,
an tara lain berasal
dari Madiun, BOjonegoro, Magetan, Pekalongan, Pati dan Tam bun.
Dari informasi asal sapi tersebut, maka penulis men-
duga bahwa tingginya infestasi ini berhubungan dengan kungan daerah asal, dimana daerah-daerah tersebut pada
lin~
u-
mumnya merupakan daerah pertanian dan lahan untuk persawah an lebih besar dibandingkan dengan tanah pemukiman , serta
19 pemeliharaan sapi jenis Peranakan Ongole kurang diperhatikan, sebab bertujuan untuk dipotong.
Sehingga dari fakto£
faktor tersebut memungkinkan perkembangan yang lebib
baik
dari penyakit cacing hati. Analisa statistika hubungan pemeriksaan pasca mati
h~
ti dan pemeriksaan tinja untuk mendiagnosa fascioliasis di gunakan uji Chi-kuadrat, yaitu metode khusus untuk
daf.tar
kontingensi 2 X 2.
Hasil dari analisa tersebut, tidak di2 jumpai adanya suatu perbedaan yang berarti (X2 > x 0 ,95(1» antara adanya Fasciola sp dalam hati dengan ditemukannya telur cacing hati pada pemeriksaan tinja dengan metode endap.
Hasil perhitungan tertera pada Lampiran 3.
Dari ha-
sil tersebut maka dapat dikatakan bahwa tidak ditemukannya telur cacing dalam tinja belum dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan tidak adanya Fasciola sp Sensi ti fi tas dan spesi.fisi tas pemeriksaan
dalam hati. tinja
de--
ngan metode endap (secara kwalitatif) dibandingkan., dengan. pemeriksaan pasca mati hati menggunakan metode menurut mitage (1973).
AF~
Hasil pengujian tersebut tercantum pada T~
bel 2 berikut ini.
20 Tabel 2.
Sensitifitas dan Spes~fisitas Pemeriksaan Tinja dengan Metode Endap Dibandingkan Pemeriksaan Hati
Pemeriksaan Pasca 11a ti Ha ti
Pemeriksaan Tinja (+)
Total Keterangan
(-)
19
61
o
39
39
42
58
100
(+) (-)
Total Sampel
Sensitifitas pemeriksaan tinja untuk di agnosa fascioliasis 42/61 X 100% = 68,85% Spesifisitas 39/39 X 100% = 100%
Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat bahwa 42 sam pel menunjukkan positif terhadap pemeriksaan tinja, dan 61 sampel menunjukkan positif adanya Fasciola sp
pada
peme-
riksaan pasca mati hati, dimana 19 diantaranya adalah sitif palsu.
Selanjutnya 39 sampel adalah negatif
po-
terha-
dap pemeriksaan tinja dan pemeriksaan hati, serta tidak di dapatkan negatif palsu.
Sedangkan pada Lampiran 1 didapa!
kan kecocokan 81% dan ketidakcocokan sebesar
19%"
an tara
pemeriksaan tinja dan pemeriksaan pasca mati
hati.
Keti-
dakcocokan ini hanya di'dapatkan pada pemeriksaan pasca mati positif tetapi pemeriksaan tinja negatif. Jadi kepekaan pemeriksaan tinja dengan ,metode
endap
(secara kwalitatif) dalam mendeteksi hewan yang betul-betul
21
menderita cacing hati ada1ah 68,85%.
Ini berarti bahwa di-
agnosa di 1apangan dengan metode ini akan kehi1angan 31,15% dari hewan yang terinfestasi:
Rendahnya
kepekaan dari me-
tode ini dapat disebabkan oleh (1) cacing hati da1am stadium muda (immature stage) sehingga silkan telur, (2) rendahnya tingkat
infestasi
telur yang dihasilkan sedikit, sehingga ngan tinja
yang
masih
be1um menghamenyebabkan
dalam campuran de-
tidak terdeteksi, (3) cacing te1ah tua
sedang-
kan infestasi baru tidak ada, sehingga produksi te1ur sedikit (keci1), (4) pengambi1an sampel tinja yang terlalu sedi kit, sehingga telur cacing tidak teramati pada sampel but (ketidakeermatan pengama~anf~ (5) adanya
ters~
telur· cacing
trematoda lain, yaitu telur cacing Paramphistomum sp.
yang
akan mempersulit pemeriksaan. Spesifisitas dari metode ini 100%.
Hal ini berarti ti
dak ada hewan yang tidak terinfestasi akan diklasifikasikan sebagai terinfestasi melalui pemeriksaan tinja
dengan metQ
de endap (sedimentasi). Telur cacing yang mempunyai persamaan dengan sp. adalah Paramphistomum
~p.,
Fasciola
sehingga adanya telur cacing
ini akan mempersulit dalam pemeriksaan.
Te1ur Fasciola sp.
mempunyai kulit telur berwarna kuning, dengan operkulum pada salah satu ujung telur, dan sel-sel rang jelas.
embrioner
yang ku-
Sedangkan telur Paramphistomum sp. kulit telur
transparan dan menyerap warna bila diwarnai dengan methylen blue, sehingga akan tampak berwarna biru
sedang sel-selnya
22
agak lebih besar bila dibandingkan dengan telur Fasciola sp. Telur Fasciola sp. tidak menyerap warna methylen blue,
se-
hingga tetap berwarna kuning. Teori yang mendukung tidak ditemukannya telur
Fasciola
sp. pada pemeriksaan tinja adalah adanya infestasi cacing
s~
cara terus menerus sepanjang tahun, sehingga ternak mulai
r~
sisiten. guo
Akibatnya perkembangan cacing hati menjadi tergang
Dalam hal ini jumlah cacing hati muda menjadi jauh
le-
bih banyak daripada cacing dewasa dan produksi telurpun terganggu (Kendall dan Parfitt, 1975).
Selanjutnya beliau juga
mengemukakan pendapat bahwa penetapan jumlatelur dalam tinja bukan merupakan petokan yang jitu untuk menentukan jumlah
c~
cing didalam pembuluh empedu.
d~
Dalam Hal ini jumlah telur
lam tinja akan mencapai mak q2mal dalam dua bulan setelah periode prepaten.
Kemudian jumlah telur menurun
199i
secara
cepat, sedangkan jumlah cacing hati tidak mengalami ,penurunan secepat itu.
Sehingga kadang-kadang delam pemeriksaan
tinja tidak ditemukan telur cacing hati, tetapi di dalam hati terdapat cacing hati.
v. A.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil pemeriksaan terhadap kejadian fascioliasis
pada sapi - sapi yang dipotong di Rumah Po tong Hewan Bogor selama dua bulan dapat disimpulkan bahwa : 1.
Dari 100 ekor sapi sampel ternyata 61% sapi
ditemukan
positif terhadap fascioliasis melalui pemeriksaan pasca mati hati, sedangkan secara pemeriksaan tinja hanya
42%. 2.
Tidak dijumpai adanya suatu perbedaan yang berarti antara adanya Fasciola sp. dalam ha ti . dan
di temukannya
telur cacing hati pada pemeriksaan tinja dengan met ode endap (X2 X2 0,95(1)). Kecocokan antara keduanya seb~
>
sar 81% dan ketidakcocokan sebesar 19%.
3.
Berdasarkan penelitian ini diduga bahwa peluang tersem bunyinya data adalah 19%.
4.
Pemeriksaan tinja dengan metode endap untuk mendiagnosa fascioliasis
mempunyai kesensitifitas
dan spesifisi tas 100%.
sebesar 68,85%
Sehingga bila tidak
di temuka.n
telur Fasciola.sp. pada pemeriksaan tinja (secara kwalitatif), belum tentu
dal~m
mengandung cacing hati.
hati hewan tersebut
tidak
24 B.
Saran-saran Sehubungan dengan tingginya prevalensi
fascioliasis
pada papi-sapi potong di Rumah Potong Hewan Kotamadya gor, serta rendahnya kepekaan Csensitifitas)
Bo-,
pemeriksaan
tinja (secara kwalitatif) dengan metode endap yang
sering
digunakan untuk mendiaginosa fascioliasis di lapangan, maka penulis dapat memberikan saran-saran: 1.
Memotong siklus hidup cacing hati dengan cara mengadakan pemberantasan terhadap siput sebagai induk semangantara.
2.
Memberikan bimbingan dan penyuluhan
kepada' .pet'ernak
tentang penyakit ternak, cara pencegahan serta manajemen (tata laksana) peternakan yang baik.
3.
Perlu dipilih metode pemeriksaan tinja yang sensitifitas yang lebih tinggi,
mudah
mempunyai
digunakan
mampu mendeteksi telur cacing baik kwantitatif
dan
maupun
kwali ta tif.
4.
Perlu dilakukan suatu penelitian yang lebih
mendetail
untuk mendapatkan interpretasi berat ringannya penderi ta akibat infestasi cacing hati dengan jumlah
sampel
yang lebih mewakili serta daerah asal ternak harus jelas diketahui sebagai pedoman dalam rangka pengendalipenyakit.
VI.
Armitage, P. search.
DAFTAR PUS TAKA
1973. statistical Methode in John Wiley and Sons. New York
Medical Re-
433 - 435.
Arifin dan Sudarmono. 1982. Parasit Ternak dan Capa-cara Penanggulangannya. PT Penebar Swadaya. Jakarta. Blood, D.C., Henderson, J.A. and Rododtits, O.M. 1981. V~ teririary Medicine. A Texbook of The Diseases of Cati le, Sheep, Pigs and Horse. 5th. Ed. Bailliere Tindal. London. Boray. 1964. Studies on The Ecology of Lymnaea tomentosa, The intermediate Host of Fasciola he~atica. History, Geographical DJstribution and Environment. dalam Suweta, P. 1985. Kerugian Ekonomi oleh Cacing Hati p~ da Sapi. Alumni. Bandung. , '
Cawdery, M.J.H, K.L. Stricland, A. Conway, and P.J.,Cowl. 1977. Production Effects of Liver Fluke in ~attle. The Effects of Infection on Life Weight Gain Fed Intage and Food Conversion Efficiency in Beef Cattle. Br. Vet. J. 133 ; 145 - 159. Christensen, N.Q., P. Namsen, and F. Frendsen. 1976. The Influence of Temperature on The Infectivity of Fasciola hepatica Miracidie to Lymnaea truncatula. The J. of Parasit (62) ; 5. 698 - 701. Contreas, B. 1976. Abortion due to Fascioliasis in Herd of Venuzuelan Cattle. Vet. Med. 2ev. 3 ; 77 - 88. Crossland, N.O.J. 1977. The Effects of Control Fascioliasis Chronic on The Productivity of Sheep. Br. Vet. J. 133; 179 - 181. Direktorat Kesehatan Hewan. 1980. Pedoman Pengendalian Penyaki t Hewan J'Jenular, Jilid II. Direktorat Jendral Peternaka:n. Departemen Pertanian, Jakarta ; 106-114. Edney, J.M. and i1ukhlis, A. 1962. Fascioliasis in Indone sia Livestock. Communicationes Veterinariae II ; 4962. Georgi, J.H. 1974. Parasitology for Veterinarians. 2nd. Ed. 'W.B. Sounder Comapany. Phyladelphia. London 164 - 215.
26
Haround, E.M., and A.A. Gameel. 1986. studies on Natural. ly Occuring Ovine Fascioliasis in The Sudan. J. of. Helminthologi 60 ; 47 - 53. Kendall, S.B. and J.W. Parfitt. 1975. Chemotherapy of Infec hon with Fasciola hepatica in Cattle. vet .. Rec . 97 ; 9 - 12. Lee, C.C., and A.R. Shekh-Omar. 1986. Fasciola gigantica Cobbold, 1885 in Goats in Selangor, Weast Malaysia. Kajian Veteriner 18(2) ; 199 - 201. Mukhlis, A. 1985. Identitas Cacing Hati ( Fasciola sp ) dan Daur Hidupnya di Indonesia. Disertasi IPB. Olsen, O.W. 1962. Animal Parasites Their Biology and Life Cycles. Burgess Publishing Company. Minnesota 126 - 129. Putra, A.A.G., dan Gunawan, M. si Cacing Hati pada Sapi. Jakarta ; 35 - 39.
1982. Penyidikan InfestaDirektorat Kesehatan Hewan.
Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Riset Nasional RI ; 561 - 563.
Veteriner.
Urusan
Samkhan. 1985. Kejadian Distomatosis pada Sapi-sapi yang Dipotong di Rumah Potong Hewan Sura baya serta Peme+riksaan Histopatologi pada Hati yang terifeksi. Bull. Lab. Vet. 1 (5). Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Anthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 9th. Ed. Lea and Febiger. Sudjana. 1986. 282 - 284. Suweta, P. Sapi.
J';etode
Statistika.
Tarsito.
Bandung
1985. Kerugian Ekonomi oleh Cacing Hati pada Alumni. Bandung.
Taylor, E.J. 1964. Fascioliasis and The FAO Agriculture Studies no. 64. Roma.
Liver
Fluke.
Wargadipura, E., dan Rumawas, W. 1976. Dovenix sebagai Fasciolidae dan Haemonchisidae. Remera Zoa 69(1).
LAM P I RAN
28 Lampiran 1.
Jadwal Pemeriksaan Pasca Mati' Hati dan Tinja Terhadap Fasciola sp. di Rumah PQ tong Hewan Kotamadya Bogor
NO
Tanggal
Jenis Hewan
1 2 3
28-2-87 28-2-87 28-2-87 28-2,"87 28-2-87 28-2-87 1-3':'87 1-3-87 1-3:"87 1-3-87 1-3-87 1-3-87 1-3-87 22-3-87 22-3-87 22-3-87 22-3-87 22-3-87 22-3-87 22-3-87 22-3-87 22-3-87 27-3-87 27-3-87 27-3-87 27-3-87 27-3-87 27-3-87
Sapi Sapi Sapi Sa pi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sa pi Sapi Sa pi Sa pi Sapi Sa pi Sapi Sapi Sa pi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi
4 5 6 7 8 9
10 11
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
27 28
PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO
PM Hati
Tinja
Keterangan
+
cocak cacak cocok cocok cocok cocok cocok cacak tidak cacak cocak cocok cocok cacok cacok cacok tidak cocok cocok cocok cocok cocok cocok cacak cocak cacak cacok cocok cocok cocok
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
29 Lampiran 1.
No
Tanggal
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
27-3-87 27-3-87 27-3-87 27-3-87 27-3-87 4-4-87 4-4-87 4-4-87 4-4-87 4-4-87 4-4-87
til
4-4-87 4-4-87 4-4-87 4-4-87 5-4-87 5-4-87 5-4-87 5-4-87 5-4-87 5-4-87 5-4-87 5-4-87 5-4-87 5-4-87 5-4-87 5- 1+-87 11-4-87 11-4-87
42 43 Lf4 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
~-4-87
Lanjutan
Jenis Hewan Sapi SRpi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi SRpi
PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO PO
Sapi Sapi Sal'i Sapi Sapi Sapi
PO PO PO PO PO PO
Sapi Sapi Sapi Sapi
PO PO PO PO
PO PO PO
PM Hati
Tinja
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+ + + +
+
Keterangan coc ok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok tidak cocok cocok tida.k cocok cocok cocok tidak cocok cocok cocok tidak cocok tidak cocok cocok tidBk cocok cacak
30 Lampira n 1.
No
Tangga1
59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
11-4-87 11-4-87 11-4-87 11-4-87 11-4-87 11-4-87 11-4-87 11-4-87 11-4-87 11-4-87 12-4-87 12-4-87 12-4-87 12-4-87 12-1+-87 12-4-87 12-4-87 12-4-87 12-4-87 12-4-87 12-4-87 17-4-87 17-L+-87 17-4-87 17-1+-87 17-4-87 17-4-87 17-4-87 17-4-87 17-4-87
71
72 73 74 75 76 77. 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88
Lanj u tan
Jenis Hewan ! ·PM Hati Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sa pi PO Sa pi PO Sapi PO Sa pi PO Sapi PO Sa pi PO Sa pi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sa pi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sa pi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO
Tinja
+ + +
+
+
+
+ + + +
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+ +
+
+ +
+
+ +
+
+ +
+
+ +
+
Keterangan Tidak cocok tidak cocok cocok tidak tidak tidak cocok cocok cocok cocok cocok tidak cocok cocok tidak cocok tidak cocok cocok tidak cocok tidak cocok cocok cocok tidak cocok cocok
cocok cocok
cocok cocok cocok
cocok
cocok cocok
cocok cocok
COCOk
31 Lampiran 1.
Lanjutan
No
Tanggal
Jenis Hewan
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
17-4-87 17-4-87 26-4-87 26-4-87 26-4-87 26-4-87 26-4-87 26-4-87 26-4-87 26-4-87 26-4-87 26-4-87
Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sapi PO Sa pi PO Sa pi PO Sapi PO Sa pi PO Sapi PO Sa pi PO Sapi PO
PM Hati
Tinja
Keterangan
+
+
cocok cocok tidak cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok cocok
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Dari Lampiran 1 diatas terlihat yang cocok 81%, terdiri dari cocok positif 42% dan cocok negatif 39%. Sedangkan ketidakcocokan sebanyak 19%, yaitu di dalam hati ditemukan cacing hati, sedangkan pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan telur cacing hati tersebut.
32
Lampiran 2.
Jumlah Pemotongan dan Asal Sapi-Sapi yang Dipotong di RPHKotamadya Bogor
Tanggal Pemeriksaan
28 Februari 1987 1 - Maret
Jumlah Pemotongan (ekor)
Asal Sa'pi (secara umum)
36
Madiun, Bojone-
1987
28
goro, Magetan
22
Maret
1987
25
Pekalongan
27
Maret
1987
25
Tambun
4 April
1987
34
Pati
5 April
1987
34
11
April
1987
34
12
April
1987
34
17
April
1987
33
26
April
1987
34
Sumeer
Catatan Harian Jumlah Pemotongan Sapi di Rumah Potong Hewan Kotamadya Bogor
33 Lampiran 3.
Analisa statistika Hubungan Pemeriksaan Tinja dengan Bukti Pemeriksaan Pasca J1at:il Hati untuk J1endiagnosa Fascioliasis
jumlah
Posi tif Fasciola
Negatif Fasciola
Pemeriksaan Pasca Mati Hati
61
39
100
Pemeriksaan Tinja.
42
58
100
103
97
200
Jumlah
H
Pemeriksaan Pasca Mati Hati dan Pemeriksaan Tinja saling independen
A
Pemeriksaan Pasca J1ati Hati dan Pemeriksaan Tinja tidak saling Independen
·X2
=
200 ( 61X58 - 39X42 - 1/2X200 ) 100 X 100 X 103 X 97
=
6,48
Untuk taraf nyata 0,05 dan dk = 1, maka X2 0,95(1) = 2 3,84. Pada taraf nyata 0,01 maka X , C~(l) = 6,63. Se.... :;:1 \
°
hingga tidak dijumpai adanya suatu perbedaan yang berarti an tara adanya Fasciola sp. dalam hati dan ditemukannya telur cacing hati pada pemeriksaan tinja dengan metode endap 2 2 (X )-X O,95(l)).
f
34
Gambar 2.
Hati bebas dari Infestasi Fasciola sp.
J\ii,1
Gambar 3.
'~"
Penebalan (*) Pembuluh Empedu Akibat Fascioliasis Khronis