Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 3 No. 2, Juli 2016
BIMBINGAN DENGAN TEKNIK PERILAKU (BEHAVIOUR THERAPY) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER) Nur Faizah Romadona, Aan Listiana, Euis Kurniati
[email protected],
[email protected],
[email protected] Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK. $WWHQWLRQ 'H¿FLW+\SHUDFWLYLW\ 'LVRUGHU $'+' PHUXSDNDQ JDQJJXDQ SHUNHPEDQJDQ pada masa anak yang dapat berlanjut hingga usia dewasa. Anak ADHD seringkali memiliki keterampilan sosial yang rendah akibat perilakunya yang cenderung agresif, mendominasi, impulsif, kurang matang, dan banyak bicara. Perilaku ini merupakan akibat dari trias gejala utama ADHD yaitu kurang perhatian, impulsif dan agresif, yang dapat mengakibatkan munculnya gangguan lain seperti self-esteem yang rendah, depresi, kecemasan, dan penurunan prestasi akademik. Saat ini jumlah anak ADHD mengalami peningkatan, baik di dunia maupun di Indoneisa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penerapan bimbingan dengan terapi perilaku (behavior therapy) dapat meningkatkan keterampilan anak ADHD di kelas rendah? Subyek merupakan dua orang anak laki-laki usia 7-8 tahun. Desain penelitian yang digunakan adalah single subject design (desain subjek tunggal) dengan desai ABA. 'DWDGLVDMLNDQGDODPJUD¿NGDQGLDQDOLVLVGHQJDQDQDOLVLVYLVXDO0RGHOELPELQJDQGHQJDQ terapi perilaku diberikan bagi guru dan orangtua dalam 7 sesi pertemuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan bimbingan dengan terapi perilaku efektif dapat meningkatkan keterampilan sosial anak ADHD kelas rendah, yang meliputi aspek kerjasama, sikap asertif, tanggung jawab, empati, dan kontrol diri. Rekomendasi diberikan bagi guru, orang tua anak ADHD maupun kepala sekolah, agar mempertimbangkan penerapan bimbingan dengan terapi perilaku untuk meningkatkan keterampilan sosial anak ADHD di kelas rendah. Kata kunci: Bimbingan, terapi perilaku, anak ADHD, keterampilan sosial ABSTRACT $WWHQWLRQ 'H¿FLW+\SHUDFWLYLW\ 'LVRUGHU $'+' LV D GHYHORSPHQWDO GLVRUGHU SHUVLVWLQJ RYHU WKH OLIHVSDQ &KLOGUHQ ZLWK$'+' IUHTXHQWO\ KDYH VRFLDO VNLOOV GH¿FLWV VXFK DV WHQG to be aggressive, overly talkative, domineering, impulsive, immature and to intense. These behavior may be a by-product of primary symptoms of inattention and/or hyperactivity/ impulsivity, which contribute to low self-esteem, depression, anxiety, and decreased academic performance. The number of children with ADHD in the world and particularly in Indonesia FRQWLQXHV WR LQFUHDVH UHFHQWO\ 7KH REMHFWLYH RI WKLV VWXG\ ZDV WR H[DPLQH WKH HI¿FDF\ RI behavior therapy to improve social skills of children with ADHD by single subject design. The data analyzed by visual analysis. Participants were 2 children 7-8-years-old who had been diagnosed with ADHD by their psychologist. Behavior therapy program used in this study were token reinforcement and response cost. This program implemented by parents and teachers. The result of the study suggest that guidance with behavior therapy effectively increase the sosial skills of the children with ADHD, in the aspect of cooperation, assertiveness, responsibility, empathy, and self control. The recomendation will give to the teachers and parents to use the procedur in order to increase the social skills of their children with ADHD.
214
Nur Faizah Romadona, dkk., Bimbingan dengan Teknik Perilaku
Pendahuluan $WWHQWLRQ 'H¿FLW+\SHUDFWLYLW\ Disorder (ADHD) merupakan gangguan neurobiologis atau gangguan tingkah laku yang paling sering ditemukan pada anakanak (APA, 2000). Gejala utama ADHD terdiri dari inatensi (gangguan pemusatan SHUKDWLDQ LPSXOVLYLWDV GDQ KLSHUDNWL¿WDV (Barkley dkk., 2006). Sebagian besar (80%) anak dengan ADHD akan melanjutkan gejala tersebut hingga usia remaja, bahkan hingga dewasa. Anak dengan ADHD memiliki resiko menjadi orang dewasa dengan gangguan antisosial dan kriminal, penyalahgunaan zat (alkohol dan napza), masalah emosi, maladapatasi sosial, kegagalan pendidikan dan pekerjaan, gangguan interpersonal dan gangguan kepribadian (Young, 2000). Jumlah anak sekolah yang mengalami ADHD saat ini terus mengalami peningkatan. Diagnosis and Statistic Manual (DSM IV) menyebutkan angka kejadian ADHD pada anak usia sekolah berkisar antara 3 -5% (Judarwanto, 2009: 1). Di Amerika Serikat, jumlah anak usia sekolah penyandang ADHD mencapai 7.8% pada populasi umum dan mencapai 50% pada setting klinik (Evans, dkk., 2006). Di Indonesia, jumlah penyandang ADHD mencapai 2-4%. Namun, di kota-kota besar, seperti Jakarta, persentase lebih tinggi lagi, mencapai 10%, sehingga diperkirakan akan ada sekitar 7.000 kasus baru setiap tahunnya (Hadriani, 2004). Penelitian oleh Tanjung, dkk (2000-2001) pada 600 orang anak SD di Jakarta, menemukan angka sebesar 4,2% penderita ADHD. Penelitian oleh Tjin Wiguna menemukan 3,27% dari 459 anak SD yang diteliti. Hasil penelitian oleh Sunartini (Suharmini, 2005) mengungkapkan bahwa pada anak TK se-Kotamadya Yogyakarta, dari 3233 anak TK ditemukan 1,76 % anak yang masuk dalam kategori ADHD, yang di Indonesia lebih sering disebut hiperaktif. Kasus anak dengan ADHD juga ditemukan pada beberapa Sekolah Dasar, baik di perkotaan dan terutama di pedesaan (Suharmini, 2005).
Barkley dkk. (1996), menyatakan hampir sebanyak 60% anak penyandang ADHD memiliki ketrampilan sosial yang rendah. Anak ADHD juga cenderung mengalami penolakan dan kurang diterima dalam pergaulan oleh teman sebaya, dibanding anak yang tidak menderita ADHD .DLVHU %XUQHWW GDQ 3¿IIQHU Hal ini diakibatkan sikap mereka yang seringkali menginterupsi pembicaraan atau mengganggu orang lain, impulsif, hiperaktif, agresif, bersikap mengatur, tidak mau mendengarkan orang lain, memulai pembicaraan dengan waktu yang tidak tepat, melanggar aturan, mendominasi pembicaraan, dan membadut terus menerus. Permasalahan sosial merupakan prediktor SHQWLQJ GDQ VLJQL¿NDQ EDJL SHUNHPEDQJDQ jangka panjang anak ADHD di usia remaja dan alat penting dalam penentuan prognosis ADHD dalam jangka panjang (Neijmer, dkk., 2007). Rendahnya ketrampilan sosial pada anak ADHD merupakan prediktor munculnya berbagai masalah saat usia remaja dan dewasa dalam domain sosial, akademik, pekerjaan, perkawinan, psikologis, dan halhal yang terkait hukum legal (Solanto, PopeBoyd, dan Stepak, 2009: 27). Rendahnya ketrampilan sosial pada anak ADHD akan menyebabkan rendahnya harga diri (selfesteem), kondisi depresi, kecemasan, penurunan prestrasi akademik di sekolah, munculnya permasalahan emosional seperti kemarahan, agresi dan frustrasi. Dengan demikian, tanpa bantuan, anak dengan hambatan ketrampilan sosial akan memiliki kemungkinan besar untuk mengalami permasalahan yang menetap (pervasif) sepanjang hidup mereka (Solanto, PopeBoyd, dan Stepak, 2009: 27). Metanalisis oleh DuPaul, Eckert, and Brigid (2012) serta Pelham dan Fabiano (2008), menyatakan teknik perilaku atau PRGL¿NDVL SHULODNX EHKDYLRU PRGL¿FDWLRQ merupakan salah satu evidence based treatment dalam penanganan bagi anak dengan ADHD. Metanalisis oleh Fabiano, 215
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 3 No. 2, Juli 2016
dkk (2009), juga menemukan bahwa dari 174 penelitian menggunakan teknik perilaku atau PRGL¿NDVLSHULODNXEHKDYLRUPRGL¿FDWLRQ), diperoleh nilai effect size sebanyak 0.83% pada penelitian antar kelompok (between group), penelitian pre dan post sebanyak 0.70%, dan penelitian dalam kelompok (within group) sebanyak 2.64%. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan teknik perilaku atau PRGL¿NDVLSHULODNXSDGDDQDN$'+'VDQJDW efektif (Fabiano, 2009: 130). Intervensi berbasis sekolah dengan terapi perilaku menggunakan contingency management yang digabung dengan pelatihan orangtua EHUEDVLV PRGL¿NDVL SHULODNX HIHNWLI GDODP memperbaiki perilaku anak dengan ADHD. Komponen contingency management yang digunakan adalah: token reinforcement, contracting contingency, response cost, time out for positive reinforcement, dan homebased contingency atau daily report card (DuPaul, 1991). Metode Disain penelitian yang digunakan adalah penelitian subjek tunggal (single subject research), menggunakan desain A-B-A, yaitu desain yang menggunakan dua kondisi kontrol (baseline) sebelum dan sesudah intervensi. Desain A-B-A ini dapat menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara variable bebas dengan variable terikat. Dengan dilakukannya kontrol terhadap kondisi intervensi sebanyak dua kali akan lebih meningkatkan keyakinan adanya hubungan sebab akibat antara intervensi dan perubahan perilaku sasaran (Sunanto, Takeuchi, Nakata, 2005; 59). Data baseline 1 diambil 5 atau 6 kali hingga diperoleh data yang stabil, sementara fase intervensi dilakukan selama 6 atau 7 minggu hingga diperoleh kestabilan data, dan data baseline-2 dilakukan selama 5 atau 6 minggu hingga diperoleh kestabilan data. Pada penelitian ini ada dua variabel yang digunakan yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah 216
model bimbingan dengan terapi perilaku untuk meningkatkan keterampilan sosial anak ADHD kelas rendah, sedangkan variabel terikat adalah keterampilan sosial. Bimbingan diberikan bagi guru dan orangtua dan dilakukan dalam 7 sesi, dengan terapi perilaku (behavior therapy) sebagai strategi yang digunakan. Dalam model bimbingan ini ada lima strategi yang digunakan yaitu positive reinforcement, token reinforcement, respon cost, time-out, and daily report card. Pemilihan strategi berbeda setiap anak sesuai hasil diskusi guru dengan orangtua disesuaikan dengan karakteristik anak. Dalam penelitian ini kedua subjek menggunakan teknik token reinforcement dan respons cost. Target perilaku yang digunakan dalam SSR adalah keterampilan sosial yang terdiri dari lima aspek, yaitu kerjasama, sikap asertif, tanggungjawab, empati dan kontrol diri (Gresham & Elliott, 1990 dalam Elliott and Busse, 1991). Subjek dalam penelitian ini adalah 2 anak ADHD usia 7-9 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Diagnosis dilakukan oleh psikolog. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan langsung melalui observasi langsung selama 2 jam (seminggu dua kali) oleh asisten peneliti dan guru. Teknik analisis menggunakan analisis visual, dengan analisis langsung data yang ditampilkan menggunakan analisa dalam kondisi dan antar kondisi (Sunanto, Takeuchi, Nakata, 2005). Hasil dan Pembahasan Dari 2 subjek anak ADHD kelas rendah, diperoleh hasil terdapat peningkatan dalam keterampilan sosial pada kedua anak ADHD, sementara untuk aspek dalam keterampilan sosial dijumpai peningkatan yang moderat dalam aspek kerjasama, sikap asertif, dan tanggungjawab, sementara peningkatan yang. Berikut adalah data SSR masingmasing anak.
Nur Faizah Romadona, dkk., Bimbingan dengan Teknik Perilaku
1. Subjek 1 Secara keseluruhan data hasil keterampilan sosial anak subjek NF dalam sesi Baseline 1 (A-1), Intervensi (B) dan Baseline 2 (A-2) digambarkan seperti pada *UD¿N A-1
B
A-2
Adapun mean level pada baseline-1 adalah 4.67, fase intervensi 13.42, dan baseline-2 adalah 15.83. Terlihat adanya peningkatan dalam keterampilan sosial pada subjek 1. Mean level masing-masing fase adalah sebagai berikut :
*UD¿N Mean Level Keterampilan Sosial Subjek 1 Analisa
Hasil analisa dalam kondisi yaitu panjang kondisi fase A-1 adalah 6 sesi, fase B 12 sesi, dan fase A-2 sebanyak 6 sesi. Dalam penelitian ini panjang intervensi sebanyak 12 sesi karena variable terikat adalah keterampilan sosial sehingga membutuhkan waktu intervensi yang cukup panjang. Estimasi kecenderungan arah memperlihatkan pada fase A-1 estimasi kecenderungan arah adalah naik, pada fase B juga naik, namun fase A-2 estimasi kecenderungan arahnya menurun. Naiknya fase B menunjukkan bahwa intervensi berhasil meningkatkan keterampilan sosial yang ditunjukkan dengan trend yang makin menaik, meski pada fase A-2 menunjukkan
trend menurun, namun secara rata-rata fase A-2 tetap lebih tinggi dibanding fase intervensi. Stabilitas dan kecenderungan stabilitas (trend stability) kemampuan anak dalam kondisi baseline maupun intervensi, dalam hal ini kriteria stabilitas jika 80%90% data masih berada pada 15% diatas dan dibawah mean, maka data dikatakan stabil (Sunanto, 2005). Pada subjek 1 (NF) pada fase baseline-1, fase intervensi, dan baseline-2 stabil, dengan kecenderungan arah (trend) yang positif pada fase intervensi, namun menurun pada fase baseline-2. Jejak data subjek NF, pada fase A-1 naik sedikit, pada fase B naik, namun menurun pada A-2. Pada subjek 1, level stabilitas, fase A-1 level stabilitas adalah stabil, demikian juga fase B dan A-2 stabil, sementara level perubahan (level of change) pada subjek 1 menunjukkan 0 pada fase A-1, namun pada fase B dan fase A-2 menunjukkan arah membaik atau positif. Secara keseluruhan hasil analisis visual dalam kondisi seperti yang digambarkan pada Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1 Tabel Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Subjek 1 Kondisi Panjang Kondisi Estimasi Kecenderungan Arah Kecenderungan Stabilitas
A-1 6
B 12
A-2 6
(=) 100 % (stabil)
(+) 85 % (stabil)
(-) 85 % (stabil)
(=) Stabil 5-4 4-4 (0)
(+) Stabil 10 -7 7-8 (+)
(-) Stabil 10 - 8 8-9 (+)
Jejak Data Level Stabilitas dan Rentang Level Perubahan
Analisa data antar kondisi pada Subjek 1 menunjukkan jumlah variabel yang diubah adalah 1 yaitu keterampilan sosial, perubahan kecenderungan arah memperlihatkan B/A1 yaitu menaik dan pada B/A-2 menurun, perubahan stabilitas keduanya stabil ke stabil, perubahan level menunjukkan hasil +3 dan 0. Overlap adalah kesamaan kondisi antar baseline 1 dengan intervensi. Semakin kecil overlap maka semakin baik pengaruh
217
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 3 No. 2, Juli 2016
intervensi terhadap target behavior. Data menunjukkan kedua kondisi antar baseline A-1 dan A-2 terhadap fase intervensi memiliki nilai overlap 0% atau dengan kata lain pengaruh intervensi sangat baik terhadap target perilaku, dalam hal ini keterampilan sosial anak ADHD. Rangkuman keseluruhan analisis antar kondisi Subjek 1 dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini: Tabel 2 Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Subjek 1 Perbandingan Kondisi
B/A-1
A-2/B
Jumalah variable yang diubah
1
1
Perubahan kecenderungan arah (+) Perubahan Stabilitas Perubahan Level Persentase overlap
(=)
(+)
(+)
Stabil ke Stabil
Stabil ke Variabel
7-4 (+3)
8-8 (0 )
0 : 12 x 100% = 0%
0 : 6 x 100% = 0%
2. Subjek 2 (AI) Secara keseluruhan hasil keterampilan sosial anak subjek 2 dalam sesi baseline-1, intervensi (B) dan baseline-2 adalah sebagai berikut : Secara visual dapat dilihat dalam *UD¿NVHEDJDLEHULNXW A-1
B
A-2
*UD¿N Keterampilan Sosial Subjek 2 Adapun mean level pada setiap sesi sebagai berikut sesi baseline-1 5.5, sesi intervensi 7.75, dan sesi baseline-2 8.5, VHEDJDLPDQDWHUOLKDWSDGD*UD¿NGLEDZDK ini :
218
*UD¿N Mean Level Keterampilan Sosial Subjek 2 Adapun analisa data dalam kondisi adalah sebagai berikut, panjang kondisi dalam penelitian ini yaitu A-1 adalah enam sesi, B sebanyak 12 dan A-2 sebanyak enam sesi. Estimasi kecenderungan arah pada baseline 1 kecenderungan arahnya adalah sejajar, fase intrevensi menaik dan fase baseline 2 sejajar. Artinya penerapan model menghasilkan kecenderungan kenaikan keterampilan social, yang kemudian menetap tinggi pada fase A-2. Kecenderungan stabilitas (trend stability) pada Baseline 1 menunjukkan stabilitas dengan persentase stabilitas sebesar 100%, fase intervensi sebesar 92% (dinyatakan stabil), dan fase baseline 2 sebesar 100% (dinyatakan stabil). Jejak data (data path) pada fase intervensi menunjukkan jejak yang meningkat, meski menurun pada fase baseline 2 (A-2). Level stabilitas pada ketiga fase adalah stabil dengan rentang pada sesi A-1 6-5, sesi intervensi 9-7, dan sesi A-2 9-8. Level perubahan, tidak ada level perubahan pada fase baseline 1, membaik pada fase intervensi, dan tidak ada perubahan pada fase baseline 2. Tabel keseluruhan analisis data dalam kondisi digambarkan seperti dalam Tabel 3.
Nur Faizah Romadona, dkk., Bimbingan dengan Teknik Perilaku
Tabel 3. Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Subjek 2 Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Subjek 2 Kondisi Panjang Kondisi Estimasi Kecenderungan Arah Kecendereungan Stabilitas
A-1 6
B 12
A-2 6
(=) 100 % (stabil)
(+) 92 % (Stabil)
(=) 100 % (Stabil)
(=) Stabil 14 -13 14-13 (+)
(+) stabil 47-41 45-41 (+)
(=) stabil 31-27 29-31 (-)
Jejak Data Level Stabilitas dan Rentang
Level Perubahan
Hasil analisa antar kondisi menunjukkan jumlah data yang diubah adalah satu yaitu keterampilan sosial. Perubahan kecenderungan arah menunjukkan terdapat perubahan terdapat peningkatan pada sesi intervensi, dengan efek positif. Perubahan stabilitas menunjukkan stabil ke stabil. Sementara perubahan level menunjukkan peningkatan dalam keterampilan sosial sebanyak +2 pada sesi intervensi. Overlap adalah kesamaan kondisi antar baseline dengan intervensi. Semakin kecil overlap maka semakin baik pengaruh intervensi terhadap target behavior. Overlap pada kondisi B/A-1 dan A-2/B keduanya menunjukkan angka 0%, dengan kata lain terdapat pengaruh yang cukup besar dari pemberian intervensi (model bimbingan dengan terapi perilaku ) terhadap perubahan target perilaku (keterampilan sosial anak ADHD). Tabel 4. Rangkuman Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Subjek 2 Perbandingan Kondisi
B/A-1
A-2/B
Jumalah variable yang diubah
1
1
Perubahan kecenderungan arah (+) Perubahan Stabilitas Perubahan Level Persentase overlap
(=)
(=)
(+)
Stabil ke Stabil
Stabil ke Stabil
7-5 (+2)
8-8 (0)
0 : 12 x 100% = 0%
0 : 6 x 100% = 0%
Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 4, terlihat bahwa penerapan bimbingan dengan terapi perilaku efektif dalam meningkatkan frekuensi keterampilan sosial pada kedua anak ADHD kelas rendah. Hal ini terlihat dari peningkatan mean level antara baseline-1 dan sesi intervensi, dilanjut dengan mean level yang meningkat pada sesi baseline-2 pada kedua anak. Analisa dalam kondisi dan antar kondisi pada kedua subyek juga menguatkan hal ini, terlihat dari perhitungan overlap kedua subjek yang menghasilkan 0% atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang cukup besar dari pemberian intervensi (bimbingan dengan terapi perilaku) terhadap perubahan target perilaku (keterampilan sosial anak ADHD). Meningkatnya mean level pada baseline-2 juga menunjukkan pengaruh penerapan WHNQLN SHULODNX PHQMDGL VDQJDW VLJQL¿NDQ Hal ini karena setelah penghentian terapi perilaku, frekuensi keterampilan sosial anak tetap tinggi yang menunjukkan bahwa penerapan bimbingan dengan terapi perilaku lama enam minggu dapat mempertahankan keterampilan sosial anak tetap tinggi. Model bimbingan dengan terapi perilaku dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan keterampilan sosial anak ADHD, karena secara teoritik model ini sesuai dengan karakter anak ADHD yang memiliki masalah dalam regulasi diri dan kontrol diri dan menggunakan terapi perilaku yang merupakan evidence-based. Penelitian oleh DuPaul, Eckert dan Brigid (2012) serta Pelham dan Fabiano (2008), menyatakan WHUDSL SHULODNX DWDX PRGL¿NDVL SHULODNX EHKDYLRUPRGL¿FDWLRQ PHUXSDNDQVDODKVDWX evidence based treatment dalam penanganan bagi anak dengan ADHD. Metanalisis oleh Fabiano, dkk (2009), juga menemukan bahwa dari 174 penelitian menggunakan WHNQLN SHULODNX DWDX PRGL¿NDVL SHULODNX EHKDYLRU PRGL¿FDWLRQ PHQJLQGLNDVLNDQ terdapat bukti-bukti yang cukup kuat dan konsisten bahwa penerapan teknik
219
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 3 No. 2, Juli 2016
SHULODNXDWDXPRGL¿NDVLSHULODNXSDGDDQDN penyandang ADHD sangat efektif (Fabiano dkk., 2009: 130). Sementara Chronis, dkk. (2006) dalam Toplak, dkk. (2007: 3) juga menemukan bahwa layanan psikososial berbasis bukti (evidence-based psychosocial treatments) untuk anak dan remaja dengan ADHD, yaitu intervensi berbasis perilaku di sekolah dan pelatihan orangtua berbasis SHULODNX GDSDW GLNODVL¿NDVLNDQ VHEDJDL penanganan yang tervalidasi secara empiris. Layanan tersebut menggunakan prinsipSULQVLS PRGL¿NDVLSHULODNX\DQJ GLGDVDUNDQ pada prinsip belajar sosial, yaitu penggunaan WDUJHW VSHVL¿N SHULODNX VHSHUWL SHQJJXQDDQ pujian, perhatian positif, dan hadiah untuk meningkatkan perilaku positif, dan penggunaan pengabaian (ignoring), timeRXW GDQ VWUDWHJL GLVLSOLQ QRQ ¿VLN XQWXN menurunkan perilaku negatif. Chronis, dkk. (2007) menemukan angka effect size ratarata sebesar 0.87 untuk pelatihan orangtua berbasis perilaku dan 1.44 untuk intervensi sekolah berbasis perilaku. Penelitian juga menemukan bahwa penerapan token reinforcement yang digabung dengan respons cost terbukti efektif. Hal ini serupa dengan penelitian oleh Fiksdal (2014) mengenai penerapan token ekonomi digabung dengan respon cost pada anak kelas dua SD, ternyata mampu mengurangi perilaku mengganggu dan meningkatkan kemampuan akademik anak. Hal ini karena kelebihan token yaitu menjembatani kesenjangan antara respon dan penguat (reinforcer), mempertahankan kinerja selama jangka waktu tertentu hingga reinforcer diberikan, dan memungkinkan terget perilaku diperkuat setiap saat (Fiksdal, 2014). Sementara penelitian oleh Truchlicka, dkk juga menemukan hal serupa, dimana penerapan token reinforcement dan respons cost mampu meningkatkan secara efektif kinerja akademik dalam mengeja bagi anak dengan masalah perilaku (Truchlicka, McLaughlin, and Swain, 1998).
220
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penerapan bimbingan dengan terapi perilaku dapat meningkatkan keterampilan sosial anak ADHD kelas rendah. Penerapan selama enam minggu dapat meningkatkan keterampilan sosial anak baik dalam aspek kerjasama, sikap asertif, tanggungjawab, empati dan kontrol sosial, dimana setelah penerapan bimbingan dengan teknik perilaku ini dihentikan tidak terjadi penurunan frekuensi, bahkan sedikit mengalami peningkatan. Strategi terapi perilaku yang mampu meningkatkan frekuensi keterampilan sosial anak ADHD kelas rendah dalam penelitian ini adalah token reinforcement dan respons cost. Saran diberikan kepada guru, orangtua maupun kepala sekolah agar mempertimbangkan bimbingan dengan terapi perilaku sebagai salah satu alternatif untuk membantu anak ADHD kelas rendah dalam meningkatkan keterampilan sosialnya. Daftar Rujukan American Psychiatric Association (2000). Diagnostic and Statistical Manual/ Mental Disorders DSM IV-TM). 5th edition. Washington D.C. Barkley, R.A. (1996). $WWHQWLRQ 'H¿FLW Hyperactivity Disorder: A handbook for diagnosis and treatment (3rd Ed). New York: Guilford. Chronis, A.M., Chacko, A., Fabiano, G.A., Wymbs, B.T. and Pelham, W.E. (2004). Enhancements to the Behavioral Parents Training Paradigma for families of Children with ADHD: Review and Future Directions. Clinical Child and Family Psychology Review, Vol. 7 (1), 1-27. doi: 1096-4037/04/0300-0001. DuPaul, G.J., Eckert, T.L., and Brigid, V. (2010). The Effect of School-Based ,QWHUYHQWLRQ IRU $WWHQWLRQ 'H¿FLW Hyperactivity Disorder: A Meta-Analysis 1996-2010. School psychology review, 41(4), 387-412.
Nur Faizah Romadona, dkk., Bimbingan dengan Teknik Perilaku
DuPaul, G.J. & Stoner, G. (1991). ADHD in The Schools: Assessment and intervention strategies (2nd Ed). New York: Guilford. Evans, S.W., Timmins, B. Sibley,M. White, L.C., Serpell, Z.N., Schultz, B. (2006). Developing coordinated, multimodal, school-based treatment for young adolescent with ADHD. Education and treatment of Children, 359-378. Fabiano, G.A, Pelham, W.E., Coles, E.K., Gnagy, E.M., Chronis-Tuscano, A., and Connor, B.C. (2009). A meta-analysis of behavioral treatment for Attention 'H¿FLW+\SHUDFWLYLW\'LVRUGHUV&OLQLFDO Psychology Review, Vol. 2, 129-140. Faraone, S.V., Sergeant, S.V., Gillberg, C., Biederman, J. (2003). The Worldwide Prevalence of ADHD: Is it An American Condition? World Psychiatry: 2(2), 104113. Retrieved from: http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1525089/ pdf/wpa020104.pdf. Fiksdal, B.L. (2014). A Comparison of the Effectiveness of a Token Economy System, a Response Cost Condition, and a Combination Condition in Reducing Problem Behaviors and Increasing Student Academic Engagement and Performance in Two First Grade Classrooms. Mankato: Minnesotta State University (Dissertation). http://cornerstone. Diunduh: lib.mnsu.edu/cgi/viewcontent. cgi?article=1342&context=etds. Elliott and Busse (1991). Social Skills assesment and Intervention with Children and Adolescent. School Psychology International, Vol. 12, 63-83. Hadriani (2004). Memusatkan perhatian si hiperaktif (Online). (retrieved from: www.korantempo.com/news/2004/9/6/ Gaya%20Hidup/36.html) Judarwanto, W. (2009). Management of ADHD in children (Online). Retrieved from http:// puterakembara.org/rm/adhd.shtml. Kaiser, N.M., McBurnett, . 3¿IIQHU L.J. (2011). Child ADHD Severity
and Positiveand Negative Parenting as Predictors of Child Social Functioning: Evaluation of Three Theoretical Models. Jouenal of Attention, Vol 15(3), 193-203. Niemeijer AS, Smits-Engelsman BC, Schoemaker MM. (2007). Neuromotor task training for children with developmental coordination disorder: A controlled trial. Developmental Medicine and Child Neurology. Vol. 49: 406–411. Pelham, W.E. and Fabiano, G.A. (2008). Evidence-based psychosocial treatment for $WWHQWLRQ'H¿FLW+\SHUDFWLYLW\'LVRUGHU J Clin Child AdolescPsychol, 37(1), 184214. doi: 10.1080/15374410701818681. Solanto, M.V, Pope-Boyd, S.A, dan Tryon, W.W. dan Stepak, B. (2009). Social Functioning in Predominantly Inattentive and Combined Subtypes of Children with ADHD. J. Atten. Disord.;13(1):27-35. doi: 10.1177/1087054708320403. Suharmini, T. (2005). Penanganan Anak Hiperaktif. Jakarta : Depdiknas, Dikti, Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan Dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. Sunanto, J., Takeuchi, K., and Nakata, H. (2005). Pengantar Penelitian Dengan Subyek Tunggal. University of Tsukuba: CRICED. Toplak, M.E., Connors, L., Shuster, J., Knezevic, B., Parks. S. (2008). Review of cognitive, cognitive-behavioral, and neural-based interventions for Attention'H¿FLW+\SHUDFWLYLW\ 'LVRUGHU $'+' Clin Psychol Rev.; 28(5):801-23. doi:10.1016/j.cpr.2007.10.008. Truchlicka, M., McLaughlin, F., and Swain, J. C. (1998). Effect of token reinforcement and respons cost on the accuracy of spelling performance with middle-school of special education student with behavior disorder. Behavioral Interventions, Vol. 13, 1-10. Young, S. (2000). ADHD children grown up: an empirical review. Counselling Psychology Quarterly; 13, 2; pg. 191-203.
221