HUTANG LUAR NEGERI : MANFAAT DAN MUDARATNYA BAGI PDAM1 Oleh: Wijanto Hadipuro2 Lilitan hutang baik dalam negeri maupun luar negeri pada PDAM di seluruh Indonesia baik dari sisi jumlah PDAM maupun nilai nominalnya mengalami peningkatan luar biasa pada lima tahun terakhir ini. Artikel sederhana ini akan berusaha melihat kecenderungan tersebut - khususnya dari sisi hutang luar negeri - dan dampaknya pada kinerja PDAM di seluruh Indonesia. Bagian kedua artikel ini akan melihat secara spesifik kinerja PDAM Kota Semarang baik dari hasil penelitian empirik maupun dari data-data sekunder yang tersedia. Sementara bagian akhir artikel akan berisikan analisis dan rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan hutang luar negeri dan kinerja PDAM. Kecenderungan dan Dampak Hutang Luar Negeri Berdasarkan data-data yang disajikan Direktori Perpamsi 1998 dan 2000, terlihat bahwa jumlah PDAM yang berhutang baik dari sumber dalam negeri dan luar negeri atau keduanya meningkat sangat tajam. PDAM dengan hutang luar negeri saja maupun yang memiliki hutang luar negeri dan dalam negeri sekaligus meningkat sekitar 100% dalam kurun waktu dua tahun. Tabel 1 Jumlah PDAM yang Berhutang
PDAM dengan HLN PDAM dengan HDN PDAM dengan HLN dan HDN PDAM tidak berhutang JUMLAH
1
1998 (unit) 59 93 33 183 302
2000 (unit) 119 145 64 91 291
kenaikan (%) 102 56 94 (50)
Artikel untuk Diskusi “Dampak Utang Luar Negeri dalam Sektor Sumber Daya Air di Indonesia” di Hotel Horison Semarang tanggal 6 Desember 2003. Dalam diskusi ini hadir juga Agus Sutiyoso, Direktur Utama PDAM, lengkap beserta jajarannya seperti Direktur Umum dan Staf Litbang-nya. Dari Bank Dunia hadir pula, Risyana Sukarma yang juga merupakan pimpinan proyek untuk Semarang Surakarta Urban Development Project. Risyana sempat menyatakan secara lisan bahwa beliau hampir tiap bulan terpaksa harus datang ke Semarang karena beberapa masalah yang timbul akibat proyek tersebut. Dalam pernyataan lisannya, Risyana sempat juga menyatakan bahwa pada batas tertentu Bank Dunia merasa di fait accompli khususnya berkaitan dengan pembuatan saluran air dari Bendung Klambu ke Kudu dan pembuatan Instalasi Pengolahan Air Kudu. IPA Kudu yang direncanakan berdebit 1250 liter per detik ternyata saat ini debitnya separuhnya saja tidak. 2 Staff Pengajar Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang
Keterangan : 1. Penurunan jumlah unit dari tahun 1998 ke 2000 terjadi karena ada beberapa halaman data hilang. 2. HLN : Hutang Luar Negeri. 3. HDN : Hutang Dalam Negeri
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah peningkatan hutang tersebut di atas mampu meningkatkan kinerja PDAM ataukah hanya menambah beban PDAM saja. Dari data-data sekunder Direktori Perpamsi, hanya ada beberapa indikator kinerja yang dapat dipergunakan untuk analisis. Pertama adalah tarif dasar. Indikator tarif dasar Direktori Perpamsi memiliki kelemahan, selain banyak PDAM yang tidak tercantum tarif dasarnya, juga ada perbedaan penjelasan tentang tarif. Jika di Direktori Perpamsi 1998 dicantumkan tarif max dan tarif min, pada Direktori Perpamsi 2000 istilahnya berubah menjadi tarif dasar. Indikator kinerja kedua adalah tingkat kehilangan air atau Unaccounted for Water (UfW). Indikator kedua ini hampir tidak bermasalah. Masalah utama hanya ada beberapa PDAM yang tidak mencantumkan data UfW ini. Indikator ketiga adalah tingkat layanan atau coverage. Banyak data yang bermasalah. Ada beberapa PDAM yang mengalami penurunan yang sangat drastis dalam hal coverage. Sebagai contoh, PDAM Kota Medan tahun 1998 cakupan pelayanannya (penduduk yang dilayani) 62%, sementara tahun 2000cakupan pelayanannya menjadi hanya 22%. Setelah dilacak hal ini bisa terjadi karena ada perbedaan jumlah penduduk Kota Medan. Tahun 1998 jumlah penduduk Kota Medan tercantum hanya 1.942.200 jiwa, sementara tahun 2000 jumlah penduduknya menjadi 7.107.575 jiwa dengan 2.380.436 jiwa yang tinggal di perkotaan. Nampaknya jika tahun 1998 yang diperhitungkan hanya penduduk yang tinggal di perkotaan, sementara tahun 2000 yang diperhitungkan adalah seluruh penduduk Kota Medan3. Yang lebih aneh lagi adalah PDAM Kota Padang. Jumlah penduduk relatif tetap, tahun 1998 berjumlah 730.085 jiwa sementara tahun 2000 berjumlah 806.511 jiwa dengan 606.980 jiwa tinggal di perkotaan. Namun anehnya dengan jumlah pelanggan yang relatif tetap, cakupan pelayanan turun drastis dari 71% menjadi hanya 31%. Oleh karena itu meskipun indikator ini tetap dipergunakan namun kesimpulan yang ditarik harus dilakukan secara hati-hati (silahkan lihat detil datanya pada Lampiran ). Indikator keempat yang akan dipergunakan adalah perbandingan antara jumlah hutang luar negeri dengan jumlah asset tiap PDAM. Jumlah hutang yang melebihi jumlah asset menunjukkan resiko bagi pemberi pinjaman sangat besar jika PDAM dilikuidasi, yang jika dilihat dari sudut pandang yang lain juga berarti bahwa makin besar rasio hutang dengan jumlah asset posisi tawar PDAM menjadi sangat lemah terhadap kemungkinan akuisisi melalui perubahan hutang menjadi modal. 3
Hampir tidak mungkin dilakukan penyesuaian mengingat cakupan pelayanan terkait dengan jumlah sambungan rumah tanggal (SR), hidran umum (HU) dan terminal air (TA) yang masingmasing punya indeks sendiri-sendiri. Jumlah terlayani = ((SR x 5) + (HU & TA x 100))/jumlah penduduk, dan hasilnya dikalikan dengan 100%.
Indikator terakhir yang dipergunakan adalah perbandingan nilai hutang luar negeri dengan selisih total pendapatan dengan pengeluaran (saya tidak berani menyimpulkan bahwa selisih ini sama dengan laba tahun berjalan, karena tidak ada penjelasan tertulis di data Direktori Perpamsi). Hutang luar negeri bisa dikatakan memperbaiki kinerja jika kecenderungan selisih total pendapatan dan pengeluaran membaik. Jika selisihnya negatif maka hutang bukannya membawa manfaat tetapi malah menjadi beban. Memang analisis ini akan lebih baik jika data-data tersedia dalam kurun periode yang panjang (makin panjang makin baik), karena bisa saja investasi dari hutang luar negeri dinikmati di masa yang akan datang. Kelemahan ini bisa dieliminir melalui penyajian data hutang luar negeri tahun 1998 dan 2000. Tarif Dasar Data Direktori Perpamsi menunjukkan bahwa dari 119 PDAM yang memiliki hutang luar negeri pada Direktori Perpamsi 2000, 65 PDAM tidak memiliki data lengkap untuk tarif dasar tahun 1998 dan/atau tarif dasar tahun 2000. Hanya dua PDAM yang tarif dasarnya tidak naik. Sementara 52 PDAM atau sebesar 44% mengalami kenaikan tarif dasar. Kenaikan tarif dasar jelas memberatkan masyarakat khususnya masyarakat miskin yang dalam periode tersebut masih berada pada periode krisis ekonomi. Tingkat Kehilangan Air Dari 119 PDAM berhutang luar negeri pada Direktori Perpamsi 2000, tidak tersedia data lengkap untuk 14 PDAM. Tujuh PDAM memiliki tingkat kehilangan air tetap. Sementara 47 PDAM berhasil menurunkan tingkat kehilangan airnya dan 51 PDAM atau sebesar 43%-nya bahkan tingkat kehilangan airnya meningkat. Kenaikan tingkat kehilangan air menunjukkan bahwa hutang luar negeri tidak mendorong pada peningkatan efisiensi. Cakupan Layanan Data cakupan layanan Direktori Perpamsi 1998 dan 2000 banyak bermasalah seperti sudah diuraikan tersebut di atas. Dengan menganggap data akurat, kembali prosentase terbesar terjadi justru pada penurunan kinerja. Sebanyak 89 PDAM atau sebesar 75% justru mengalami penurunan cakupan pelayanan. Hanya 19 PDAM yang mengalami kenaikan tingkat pelayanan. Sementara 10 PDAM tidak tersedia data lengkapnya dan hanya satu PDAM yang memiliki tingkat cakupan layanan tetap. Perbandingan Hutang Luar Negeri dengan Nilai Aset Ada tujuh PDAM yang memiliki nilai hutang luar negeri melebihi aset-nya. PDAM tersebut adalah PDAM Kota Medan, Pematang Siantar, Bukit Tinggi, Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Garut, dan Kab. Wajo. PDAM Kota Bandung menurut Direktori Perpamsi 2000 memiliki pelanggan sebanyak 141.435, sementara PDAM Kota Medan memiliki pelanggan 266.437. Lima PDAM yang lain masuk kategori kecil artinya memiliki pelanggan di bawah 100.000. Jika pemberi hutang merasa besar kemungkinan dua PDAM besar tersebut di atas tidak akan mampu membayar hutang luar negerinya, maka tekanan untuk privatisasi atau dengan bahasa yang lebih halus pelibatan swasta menjadi sangat besar.
Dari 119 PDAM yang berhutang luar negeri, tiga tidak lengkap datanya dan 109 PDAM memiliki aset lebih besar dari nilai total hutangnya (dalam negeri dan luar negeri). Pendapatan dan Pengeluaran Dari 119 PDAM yang berhutang luar negeri ternyata 45 PDAM atau sebesar 38% memiliki total pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan total pendapatan. Sebanyak 71 PDAM masih memiliki selisih positif pendapatan dibandingkan pengeluaran. Sementara tiga PDAM tidak lengkap datanya. Meskipun memerlukan kajian data yang lebih lengkap dapat disimpulkan bahwa hutang luar negeri tidak dipergunakan dengan baik atau termin perjanjiannya kurang lunak sehingga malah menjadi beban bagi PDAM. Simpulan Hutang luar negeri ternyata tidak mendorong perbaikan kinerja PDAM. Tabel berikut menunjukkan bagaimana dampak hutang luar negeri pada kinerja PDAM. PDAM Bukit Tinggi dan PDAM Kab. Wajo memiliki kinerja yang buruk pada seluruh indikator. PAM Lyonnaise, PDAM Kab. Lumajang, PDAM Kab. Gresik, PDAM Kota Madiun, PDAM Kab. Pinrang, PDAM Kab. Jayapura, dan PDAM Kota Semarang kemungkinan besar akan kesulitan untuk membayar hutang luar negeri karena nilai aset dan hutang hampir seimbang sementara pengeluarannya jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Tabel 2 Hutang Luar Negeri dan Kinerja PDAM (Tarif Dasar Kehilangan Air dan Cakupan Pelayanan) (unit PDAM) Membaik Tarif Dasar Kehilangan Air Cakupan Pelayanan
0 47 19
Memburuk 52 51 89
Tetap 2 7 1
Tidak Lengkap 65 14 10
Tabel 3 Hutang Luar Negeri dan Kinerja PDAM (Perbandingan Nilai Hutang dengan Nilai Aset dan Perbandingan Pengeluaran dengan Pendapatan) (unit PDAM)
Nilai Hutang dibanding Nilai Aset Pengeluaran dibanding Pendapatan
Lebih Besar (unfavour able) 7
Lebih Kecil (‘favour able’) 109
45
71
Tidak Lengkap 3 3
Keterangan : ‘favourable’ tidak berarti menguntungkan, karena perlu dibandingkan dengan indikator lainnya.
Hutang Luar Negeri dan Kinerja PDAM Kota Semarang Pada bagian ini selain akan disajikan berbagai data sekunder tentang PDAM Kota Semarang juga akan disajikan penelitian empirik dengan mempergunakan data primer dari Skripsi Rr. Ira Niken Astuti Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata yang berjudul Analisis Perbedaan Kualitas Air Bersih yang Dirasakan Konsumen dengan Kualitas Air yang Sebenarnya Menurut Parameter Fisik (Warna, Rasa, dan Bau) pada Air PAM Semarang (Studi Kasus pada Perum PGRI Klipang) tahun 2003. Hutang Luar Negeri PDAM Kota Semarang Berdasarkan pemberitaan di Harian Suara Merdeka tanggal 27 April 2002 total hutang luar negeri PDAM Kota Semarang adalah sebesar Rp. 326,8 milyar dimana Rp. 280 milyar diantaranya merupakan hutang kepada Bank Dunia dengan suku bunga pinjaman 11% per tahun. Kompas tanggal 24 April 2002 juga memberitakan bahwa hutang PDAM Kota Semarang yang kurang lebih sebesar Rp. 350 milyar diantaranya merupakan hutang kepada Bank Pembangunan Asia (ADB). Situs Bank Dunia menunjukkan bahwa PDAM Kota Semarang berhutang kepada Bank Dunia diantaranya melalui Semarang Surakarta Urban Development Projects (lihat Financing Water Supply Development di down load dari http://lnweb18.worldbank.org/eap/eap. nsf/Attachments/water7/$File/water7. pdf), menunjukkan bahwa Subsidiary Loan Agreement yang disetujui selama periode 1 Januari 1990 sampai 31 Maret 1997 sebanyak 78 buah untuk PDAM masing-masing 9 PDAM dari Bank Dunia, 3 PDAM dari Overseas Economic Cooperation Fund, 58 dari ADB, dan 8 dari sumber lainnya). Sementara penelusuran pada situs ADB, ditemukan bahwa salah satu hutang PDAM Kota Semarang kepada ADB ada di bawah skim Semarang Water Supply Project. Hutang lain dari ADB adalah melalui Private Sector Participation in Urban Development (Bandung and Semarang) sebesar $ 600.000 disetujui pada tanggal 14 Desember 1993.
Laporan ADB yang berjudul Impact Evaluation Study of Bank Assistance in the Water Supply and Sanitation (WSS) Sector in Indonesia September 1994 menunjukkan bahwa dari 6 proyek WSS yang sudah selesai adalah Semarang Water Supply Projects. Beberapa tujuan yang ingin dicapai proyek ini adalah : 1. memperbaiki kinerja operasional dan finansial PDAM, 2. mengurang tingkat kehilangan air menjadi hanya 25%, 3. memperkuat kemampuan badan pelaksana, 4. mengurangi penyakit akibat air, 5. memperbaiki pelayanan bagi kaum miskin. Evaluasi proyek ini menurut ADB tidak memuaskan karena : kurang partisipasi masyarakat pada tahap disain dan perencanaan, biaya operasi dan pemeliharaan tidak memadai atau tidak efektif, gagal mencapai cost recovery, dan lemahnya koordinasi antar lembaga. Tujuan yang ingin dicapai tidak terealisir karena penundaan proyek, kurangnya volume produksi air, tidak tercapainya target tingkat kehilangan air, dan gagalnya usaha menaikkan tarif. Sementara tujuan yang ingin dicapai hutang dari Bank Dunia di bawah proyek Semarang-Surakarta Urban Development Projects dapat dibaca pada Staff Appraisal Report Semarang-Surakarta Urban Development Projects tanggal 16 Mei 1994, yaitu : 1. meningkatkan penyediaan infrastruktur dan pelayanan di daerah perkotaan dan meningkatkan efisiensi investasi perkotaan, 2. meningkatkan independensi finansial, 3. mengurangi kemiskinan. Kinerja PDAM Kota Semarang Tarif dasar menurut Direktori Perpamsi 2000 adalah sebesar Rp. 300,-. Saat ini tarif dasar sesuai dengan SK Walikota Nomor 690/303/Tahun 2002 tarif dasar sudah menjadi Rp. 600,-. Artinya telah terjadi kenaikan tarif dasar sebesar 100%. Cakupan pelayanan tidak mengalami perubahan 45,99% (lihat Sekilas tentang PDAM Kota Semarang dengan Data per Juni 2002). Meskipun dari jumlah pelanggan terjadi peningkatan dari 108.728 menjadi 113.837 pelanggan pada Juni 2002 dan menjadi 113.849 (lihat dokumen dari PDAM yang berjudul Sensitifitas Pelayanan). Tingkat kehilangan air berdasar Direktori Perpamsi 1998 adalah sebesar 37,68%, sementara menurut Direktori Perpamsi 2000 adalah sebesar 39%. Terjadi peningkatan dan bukannya penurunan. Jika dibandingkan dengan target dari Semarang-Surakarta Urban Development Projects, maka pencapaian tersebut tidak memenuhi target yang diharapkan. Cakupan pelayanan seharusnya naik dari 40% menjadi 64% pada tahun 1999, dan tingkat kehilangan air harusnya berkurang dari 46% menjadi hanya 26%. Bagaimana dengan kinerja finansial ? Kinerja finansial PDAM Kota Semarang juga parah. Data-data yang disajikan dalam Usulan Penyesuaian Tarif Air Minum Tahun 2002 Berdasarkan Perhitungan Biaya Penuh (dari Rp. 0,3/liter menjadi Rp. 1,671/liter) menunjukkan bahwa beban jumlah pembayaran pinjaman (mayoritas berasal dari hutang luar negeri) yang terdiri dari bunga, denda, dan pokok pinjaman untuk Januari 2002 adalah sebesar Rp. 6.756.831.992,82.
Biaya pada bulan Januari 2002 yang terdiri dari : 1. Biaya Operasi & Pemeliharaan Biaya Sumber Biaya Pengolahan Biaya Transmisi & Distribusi 2. Biaya Umum & Administrasi 3. Biaya Depresiasi sehingga total
Rp. 511.960.746,00 Rp. 1.048.858.075,00 Rp. 312.907.358,14 Rp. 794.357.862,00 Rp. 1.250.000.000,00 --------------------------------+ Rp. 3.918.084.041.14
Pendapatan berdasarkan dokumen yang sama dengan asumsi tarif dasar Rp. 1.671/meter kubik ternyata hanya Rp. 9.039.123.486,00. Padahal tarif yang berlaku sekarang adalah tarif dasar Rp. 600,- maka tentunya pendapatannya jauh dari perhitungan di atas. Kondisi finansial PDAM Kota Semarang jelas tidak sehat sama sekali : 1. Jumlah pembayaran pinjaman hampir dua kali lipat seluruh komponen biaya. 2. Dengan struktur tarif hampir tiga kali lipat dari tarif yang berlaku saat ini saja, terjadi defisit sekitar Rp. 1,635 milyar per bulan. Kinerja yang buruk masih ditambah dengan jumlah pengaduan yang melimpah. Menurut Direktur Umum PDAM seperti dikutip Harian Suara Merdeka tanggal 5 April 2003 selama tahun 2002 terdapat 2.701 pengaduan dengan 466 pengaduan belum terselesaikan. Harapan dan Persepsi Pelanggan Data Rekapitulasi Tingkat Konsumsi Pelanggan PDAM Kota Semarang Tahun 2002 dan Tahun 2003 sampai dengan bulan April yang dikeluarkan oleh Ymt. Ka. Bid. Lit & Bang. tanggal 27 Mei 2003 menunjukkan bahwa terjadi penurunan rata-rata konsumsi pelanggan dari 2.945.956,2 m3 per bulan sebelum kenaikan tarif menjadi hanya 2.645.997,5 m3 per bulan setelah kenaikan tarif. Yang menarik justru penurunan konsumsi hampir terjadi pada semua kelompok pelanggan, hanya kelompok industri 3 saja yang nampak cukup stabil konsumsinya baik sebelum maupun sesudah kenaikan tarif. Diperlukan penelitian lapangan apakah penurunan terjadi akibat penghematan (artinya selama ini konsumen PDAM Semarang boros dalam penggunaan air), ataukah karena pasokannya yang sering mati, ataukah konsumen sekarang beralih ke Air Minum Isi Ulang sebagai pengganti konsumsi air minum PDAM. Penelitian ini akan mengungkap lebih dalam tentang harapan pelanggan pada PDAM Kota Semarang. Penelitian Rr. Ira Niken Astuti seperti yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa dari uji lab parameter warna, rasa, dan bau air PDAM di Perum PGRI Klipang ternyata baik, tetapi dari 50 responden ternyata 25 responden mempersepsikan air minum PDAM dari ketiga parameter tersebut buruk. Untuk lebih melengkapi penelitian ini diperlukan penelitian lebih lanjut pada lokasi-lokasi lain dan dengan parameter lebih lengkap sesuai dengan SK menteri Kesehatan No. 907/Menkes/SK/VII/2002.
Kesimpulan dan Rekomendasi Baik analisis secara agregat maupun analisis lebih dalam pada kasus PDAM Kota Semarang menunjukkan bahwa hutang luar negeri cenderung lebih menjadi beban baru bagi PDAM dan tidak mampu secara signifikan meningkatkan kinerja seperti yang tercantum pada proyek-proyek hutang. Beban hutang seperti ini bisa dipandang secara negatif merupakan jebakan yang disengaja dilakukan oleh lembaga keuangan multilateral yang selama ini menjadi peminjam utama sektor air perkotaan Indonesia untuk memuluskan pengambilalihan PDAM oleh sektor swasta. Apalagi ditambah fakta mulusnya pembahasan RUU Sumber Daya Air di Panja DPRRI sesuai dengan jadwal pencairan tahap ketiga Water Resources Sector Adjustment Loan. Jika lembaga keuangan multilateral tidak ingin image tersebut melekat pada diri meraka, maka selayaknya mereka cukup meminjamkan dana saja dan mensyaratkan kontrol dan partisipasi masyarakat yang lebih besar tanpa harus dengan berbagai macam embel-embel persyaratan pencapaian tujuan yang ternyata hanya manis di kertas saja dan kenyataannya setelah tujuan tidak tercapai pun tanggung jawab sepenuhnya ada pada penghutang. Kesan utama lain adalah bahwa lembaga keuangan multilateral hanya peduli pada konsumsi dana pinjaman oleh PDAM penghutang. Yang penting PDAM mau berhutang dan membayar hutangnya, peduli amat dengan tercapai atau tidak tujuan dari penggunaan hutang. Juga bagi PDAM serta pemerintah baik pusat dan daerah kesannya mereka gampang sekali meminjam tanpa bersedia mempertanggungjawabkan penggunaan pinjaman tersebut. Toh nanti yang akan membayar bukan pegawai PDAM atau pegawai pemerintah, tetapi yang akan membayar rakyat banyak yang bahkan tidak pernah setetespun menikmati air produksi PDAM. Mari dalam diskusi ini kita buktikan bahwa semua kesan tersebut salah. Dan jika pun tujuan tidak tercapai mari kita diskusikan secara terbuka dimana letak kesalahannya.