H
utang dan Cakil. Kembar siam yang sulit dipisahkan. Seperti semut mendatangi manisnya gula, Cakil juga selalu mendatangi orang untuk dihutang. Tak terkecuali kepadaku. Apesnya, selain berhutang, ia juga datang untuk berkeluh kesah hingga malam tiba. Tiada yang aneh dari kesahnya melainkan betapa sering ia menyebut kata MATI. Cakil ingin mati. Dia begitu ingin mati. Kusadari kemudian ternyata sudah banyak di antara warga yang mengetahui kalau ia ingin mati, bukan cuma aku. Namun tetap saja kami semua terkejut ketika tahu doanya begitu cepat terkabul ketika ia ditemukan mati tergantung di Sabtu pagi yang muram. Secepat angin yang menghembuskan berita duka, isu perihal penyebab kematian Cakil menyebar sangat cepat. Tiba-tiba semua orang jadi punya mulut. Sherlock Holmes baru bermun-
culan di mana-mana. Mereka menyatakan bahwa Cakil gantung diri karena putus asa. Sementara versi satunya mengatakan bahwa si malang sengaja dibunuh oleh anak buah Wak Mitro dan mayatnya digantung. Wak Mitro. Sekejam itukah? “Wak Mitro jarang membuka mulutnya,” kata Cakil pada suatu kesempatan. “Dia cukup mengedik atau mengangkat dagu. Siapa pun pasti langsung paham apa maunya. Tanpa perlu bertanya.” “Hebat sekali,” sahutku tak tertarik. “Lalu bagaimana caramu meminjam uang padanya kalau begitu?” Cakil terpekur. Aku tahu pertanyaanku menohoknya. Tapi waktu itu aku nyaris sudah mati rasa dengannya. “Cukup dengan jari,” jawabnya kemudian. “Apa?” “Aku bilang: aku mau pinjam uang, Wak, dan dia cuma mengangguk lalu mengangkat te-
lapak tangan kanannya dengan kelima jari terbuka.” “Artinya?” “Lima kali lipat. Dalam waktu lima bulan harus lunas,” desisnya lirih. Aku terlonjak. “Lima kali lipat? Bunganya? Gila!” “Aku tahu,” Cakil menelan ludah, “Dan jika dalam waktu lima bulan aku tidak dapat melunasinya—” Mataku mengerlingnya penasaran. “Mereka akan memotong tubuhku menjadi lima bagian.” “Mengesankan sekali.” Tentu saja kupertanyakan kadar kewarasan temanku itu. Dengan bunga lima kali lipat itu artinya dia sedang menggali kuburannya sendiri. Dunia ini sudah gila. Dan kegilaanya menggerogoti saraf kewarasan Cakil sehingga dengan gaji sebagai kuli bangunan dia tak mampu lagi menutupi kebutuhan dapur istrinya. Setiap Sabtu bukan duit yang dia bawa ke rumah melainkan makian pada si istri yang disertai bogem mentah. Jika sudah begitu istrinya akan berlari dan tersedu di pangkuan istriku. Ulfa akan meraung dan meronta jika disusul Cakil. Biasanya aku akan turun tangan menengahi dan yang terjadi selalu sama: Cakil melunak setelah selembar biru keluar dari dompetku. “Maaf jika aku selalu merepotkanmu, Ji.” Dia menekuk wajahnya. Berakting, menurutku. “Tak apa. Aku malah pusing kalau sehari saja tak mendengar keluhanmu,” tukasku. “Ada apa lagi?” Tak kulihat ada penyesalan pada wajahnya. Tapi dia tetap menunduk. Diam. “Kau pukuli istrimu lagi? Jagoan sekali.” “Dia rewel.” “Dia lapar,” ralatku. Cakil menggeleng. “Wanita selalu sama, banyak maunya tapi tak mau mengerti proses,” sanggahnya. “O ya? Proses yang bagaimana, Kil?” Cakil melukis tanah dengan jemarinya. “Aku bilang padanya untuk bersabar. Aku akan kaya seminggu lagi. Aku sedang dalam proses untuk itu. Kau tahu apa katanya? Dia bilang: “Mas jangan mimpi, nggak ada kejayaan tanpa kerja keras. Nggak ada rejeki tanpa dicari”. Dia menyebalkan, Ji” “Dia benar, kan?”
“Dia benar-benar tidak mendukungku lagi!” Aku terkekeh. “Jadi, proses macam apa yang bisa membuatmu kaya dalam satu minggu, Kil?” “Aku akan kemari saat hari itu datang. Kau takkan lagi menertawakanku.” “Amin,”cibirku. * Tepukan Pak RT membuyarkan kenanganku pada Cakil. Raut wajahnya menampak-kan rasa prihatin. Aku setengah yakin dia merasa aku telah begitu kehilangan Cakil. “Saya turut berduka, Mas. Mas Wiji pasti sangat kehilangan.” Aku mengulum senyum. “Kita semua kehilangan. Terlebih Mbak Ulfa. Kepergian almarhum sama sekali tak terduga.” Sejujurnya aku tidak yakin Ulfa merasa kehilangan. Sejak pernikahan mereka hanya luka dan isak tangis yang bisa ditawarkan Cakil. Ulfa pasti lega monster dalam kehidupannya telah pulang ke neraka. Aku tersenyum memikirkan kemungkinan itu dan tak sadar kalau Pak RT melihatnya dan mengernyitkan dahi. “Mas Wiji?” Tak ingin Pak RT memikirkan hal yang tidak-tidak, aku memberinya jawaban. “Almarhum pernah bilang, kematian akan melunaskan semua hutangnya. Saya tak mengira dia melakukannya. Sekarang dia terbebas dari hutang. Itu yang melegakan saya, Pak.” Pak RT mengangguk, seolah percaya. Dia diam sejenak lalu mengatakan hal mengejutkan. “Almarhum dibunuh.” Kalimat singkatnya seperti petir menyambar di siang benderang. “Menurut polisi, ada indikasi almarhum dibunuh. Tapi ini dugaan sementara. Polisi akan melakukan uji forensik dan visum untuk kejelasannya.” “Bukan bunuh diri? Dia gantung diri, kan?” tanyaku. Kecemasanku jelas terbaca. Pak RT menggeleng pelan. “Polisi berpendapat lain. Mereka akan memanggil para saksi dalam waktu dekat. Termasuk Mbak Ulfa selaku istri.” Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku cemas. Aku takut. Cakil diduga dibunuh. Dan aku khawatir mereka akan mencurigai Ulfa, adikku sekaligus istri temanku, Cakil.
“Mas Wiji jangan khawatir. Polisi tidak mungkin menahan seseorang tanpa bukti yang cukup. Mbak Ulfa akan baik-baik saja dalam perlindungan mereka.” Pak RT seolah paham kecemasanku. Aku tak ingin polisi mencurigai adikku hanya karena dialah orang yang paling dekat dengan korban. Selain aku. “Kenapa jadi rumit begini, Pak?” tanyaku kalut. Aku benar-benar tak mengira semua akan begini rumit. “Siapa yang melapor?” “Saya,” kata Pak RT sambil melambai pada seorang polisi yang memanggilnya. “Saya hanya melapor ke kelurahan bahwa ada warga meninggal. Saya tak tahu kalau mereka meneruskannya pada kepolisian.” “Pembunuhan?” “Hanya kecurigaan, Mas.” “Menurut Bapak, siapa pembunuhnya?” Pak RT tersenyum dan menjawab diplomatis. “Saya pribadi berharap dugaan itu salah, Mas. Ketentraman warga adalah segalanya bagi saya.” Aku terdiam. Pak RT kemudian pamit untuk menemui polisi dan aku melangkah masuk ke rumah duka. Kulihat Ulfa sedang menangis sesenggukan di bahu istriku. Melihatku datang, adikku berhenti menangis. Dia tahu aku paling benci melihatnya menangis. Hanya sekali aku melihatnya tertawa sejak dia diperistri Cakil, yaitu ketika suaminya itu menggombal bahwa dia beruntung punya istri
tercantik di dunia. Aku memeluknya. Pelukan seorang kakak pada adik. Pelukan yang pertama dari sekian tahun. “Subuh…” Aku melepaskan pelukanku. “Apanya, Nduk?” Ulfa terisak lagi. “Subuh, Kang…” dia tersedu, “a…aku melihat Kang Cakil mengambil air wudhu. Aku melihatnya shalat dan menangis dalam sujud. Aku tak ingin mengganggunya jadi aku ke dapur dan membuatkannya kopi tanpa gula. Dan … dan … dan….” Kuelus rambut kusut adikku lembut. “Akang mengerti, Nduk.” Kudengar bisik-bisik para pelayat. Mereka membicarakan kelakuan aneh Cakil. Aku bersumpah tak pernah melihatnya sembahyang dan entah malaikat mana yang ditemuinya tapi yang jelas kini banyak yang percaya Cakil bertobat sesaat sebelum selendang ungu membalut lehernya. Walau begitu, keberadaan polisi di luar tetaplah potensial menimbulkan desas-desus lain. Kabar terbaru menyebutkan polisi bahkan berniat memanggil Wak Mitro. Fakta bahwa almarhum masih berhutang padanya cukup untuk membuat polisi curiga. Sudut terjauh otakku samar-samar mengingat pertemuan terakhirku dengan Cakil tadi malam, beberapa jam sebelum ajalnya tiba. Semalam, Cakil datang dengan raut wajah paling tenang yang pernah kulihat. Pun begitu aku tetap saja siaga. Karena ada Cakil berarti ada hutang. Istriku masuk setelah menghidangkan teh. Cakil memulai obrolan dengan mengulang topik kami beberapa waktu lalu. Topik yang membuatnya memukuli Ulfa. Topik tentang proses menjadi kaya dalam seminggu. Aku ogah-ogahan menjadi pendengarnya saat itu sampai dia mengatakan bahwa dia baru saja menang undian togel puluhan juta! “Dukun itu sakti, Ji!” katanya berapi-api. “Apa aku bilang kemarin? Seminggu, Ji! Aku turuti nasehatnya untuk bertapa tiap malam di kuburan sampai keluar wangsit. Aku dapat, Ji! Aku dapat angkanya! Empat angka! Aku pasang besar biar hasilnya berlipat!” “Judi Singapura. Mereka menawarkan hasil yang berbeda. Enam puluh juta, Ji! ENAM PULUH JUTA! Aku akan mengambilnya besok.
Akan kulunasi semua hutangku pada Wak Mitro dan warung-warung. Lalu aku akan ke Kalimantan, Ji! Akan kumulai hidup baru di sana.” Aku tak mau begitu saja percaya. Cakil mengangsurkan secarik kertas lecek dan basah. Ternoda air liurnya. Kuperhatikan dari tadi dia menciumi kertas itu. Di sana tertera deretan angka, nomor-nomor yang dipilih Cakil beserta nominal yang dia beli. “Keluarnya ini. 9957. Kau lihat? Empat angka! Dan aku juga membeli yang tiga angka, dua angka. Lihat! Lihat, Ji! Hahahaha.” Aku tersenyum juga. Aku senang memikirkan Ulfa juga akan kecipratan uang hadiahnya. Tapi tiba-tiba sesuatu menyadarkanku. “Kalimantan? Kau mau ke Kalimantan? Bagaimana denganku?” tanyaku. “Hutangmu banyak. Kau tak lupa, kan?” Nyala semangat dalam tingkah Cakil tiba-tiba padam. “Maksudmu?” “Jangan pura-pura bego! Kau menggadai Jupiterku tanpa kutahu dan aku yang menanggung setoran per bulannya! Berapa kali kau merengek mengemis demi uang limapuluh ribu? Kau juga berhutang BPR atas namaku dan tak peduli atas angsurannya! Hutangmu padaku tak terhingga! Kenapa kau malah bertanya apa maksudku?” Amarahku sukses membuatnya terdiam. Bagaimana bisa dia berpikir tak perlu melunasi hutangnya padaku saat dia mendapat rezeki? Persetan dengan halal atau tidak! Aku kadung muak dengan polahnya. “Kupikir ….” Cakil melipat kertas togelnya. “Kupikir kita saudara. Aku adik iparmu. Aku juga temanmu. Ji.” “Apa?” “Kalau kau menganggapku adik, biarkan aku pergi. Lupakan hutangku padamu. Kita saudara.” Sungguh, ingin kuremukkan wajahnya. “Bagaimana dengan Ulfa? Akan kau beri berapa dia? Dia istrimu. Dia tahu, ‘kan?” “Itu bukan urusanmu.” Aku tahu ini bukan urusanku. “Ji, aku mau bicara padamu. Sebenarnya…” “Dia istrimu, Kil.” “Itulah,” cetusnya. “Itu kenapa aku ingin bilang, aku titip Ulfa. Kau kakaknya. Kau pasti bisa menjaganya. Aku akan ke Kalimantan. Sendiri.”
“Apa?” “Ji, aku tahu kau jengkel padaku. Tapi tolong mengerti, adikmu itu takkan bahagia jika terus bersamaku.” Sialan, pikirku. “Dia tak perlu tahu soal ini. Percuma. Karena aku sama sekali tak berminat untuk memberinya walau seribu rupiah. Dia selalu menghinaku.” Gigiku gemeretak. Geram. “Aku akan mengabarimu begitu sampai di Borneo.” Kau takkan pernah ke sana, Pengecut! * Pagi buta aku ke rumahnya sekalian ke surau. Aku bertekad memberitahu semua pada Ulfa dan melihat apa yang akan terjadi setelahnya. Namun aku malah melihat sesuatu yang sungguh tak masuk akal. Di kamarnya, dari sela-sela dinding papan yang berlubang, aku melihat Cakil sedang berdiri di sebuah kursi yang bergoyang-goyang karena lapuk. Kedua tangannya terulur ke atas, memegang sebuah selendang ungu yang tergantung di langit-langit rumah yang sedikit rendah. Dari simpul sederhana ujung selendang ungu yang mengalungi lehernya itu aku tahu kemungkinan yang mengerikan. Aku sempat melihat dia tergugu, menangis. Ada apa? Apa yang terjadi? Apa pun itu, nyata jelas terlihat olehku: Cakil berniat gantung diri. * Lagi-lagi lamunanku buyar oleh Pak RT. Beliau masuk dan bertanya apakah shalat jenazah bisa dimulai. Pak RT juga mengatakan bahwa polisi menghentikan investigasi karena tak cukup bukti. Aku mengangguk. Jadi Cakil tidak dibunuh? Senyum samar melukis bibirku. Lega. Lega untuk beberapa saat saja. Saat shalat berlangsung, sesuatu yang bening mengalir membelah pipiku. Aku menangis. Pedih. Ibu-ibu pelayat bergumam kasihan melihatku. Tapi mereka bahkan tak tahu apa-apa. Aku menangis karena aku tak yakin akan bisa memaafkan diriku sendiri. Aku cemas akan hukuman dari sang Ilahi Rabbi. Airmataku membanjir saat kenangan semalam menyerangku. *
Melihat adik iparku hendak gantung diri, aku panik. Tanganku menggedor-gedor papan dan itu sudah cukup untuk membuat Cakil terkejut dan bereaksi. Malang baginya, dia malah kehilangan keseimbangan karena kursi pijakannya yang lapuk. Kursi itu menjauhi kakinya karena gerakannya yang tak beraturan. Selendang ungu yang sudah mengalunginya itu menghukumnya. Menjerat lehernya erat. Menutup jalur udara ke paru-parunya. Tangan dekilnya meronta liar kesana-kemari menggapai udara, kontras dengan tubuhku yang pilu kaku. Dari sela-sela papan aku melihatnya menegang merasai udara terakhir lalu perlahan-lahan mengendur lemas. * Mereka semua salah. Cakil tidak bunuh diri. Dia memang mati … tetapi akulah yang mempercepat kematiannya.***