RISIKO Jutaan hektar ekosistem hutan hujan Indonesia dan lahan gambut yang kaya karbon tetap terancam penghacuran untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp, walaupun moratorium telah di tandatangani pemerintah, namun ini hanya parsial, lemah dan masih akan tetap membolehkan ekspansi ke dalam hutan dan kawasan lahan gambut. Pembukaan kawasan semacam ini akan mempercepat perubahan iklim dan mendorong satwa liar yang terancam selangkah mendekati kepunahan. •
Wilayah lahan gambut Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sama dengan hutan Amazon.
•
Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi sektor-sektor pulp dan kelapa sawit sebagai pendorong utama deforestasi.
•
Data pemerintah mengindikasikan bahwa lebih dari 30 juta hektar hutan dan lahan gambut serta hampir separuh dari semua habitat orangutan yang tersisa, berada pada wilayah konsesi industri.
HUTAN HUJAN DAN LAHAN GAMBUT INDONESIA PENTING BAGI IKLIM, SATWA LIAR DAN MASYARAKAT HUTAN Pemerintah Indonesia memperkirakan wilayah lahan gambut (termasuk hutan gambut) menyimpan jumlah karbon yang sama seperti yang tersimpan di hutan Amazon.1 Diperkirakan terdapat ~36Gt karbon. Indonesia adalah salah satu lokasi hutan hujan dunia terbesar yang tersisa, serta lahan gambut yang kaya karbon. Melindungi hutan hujan dan lahan gambut Indonesia penting untuk mempertahankan stabilitas iklim dan memastikan keberlangsungan hidup spesies liar yang terancam punah seperti harimau Sumatra serta orangutan Sumatra dan Kalimantan. Kehidupan masyarakat adat hutan juga bergantung pada kelestarian hutan. Menurut data resmi pemerintah, pada tahun 2006 (tahun terakhir dimana data resmi tersedia), luas hutan mencapai hampir 100 juta hektar.2 Menurut Wetlands International, lahan gambut meliputi sekitar 21 juta hektar,3 dengan lebih dati separuhnya tertutup hutan.4 Habitat hutan orangutan Kalimantan meliputi hampir 8 juta hektar, habitat hutan harimau Sumatra sekitar 11,5 juta hektar dan habitat hutan gajah 2,2 juta hektar.5 Rencana pembangunan saat ini untuk sektor-sektor kunci seperti pulp dan kelapa sawit mengakibatkan jutaan hektar habitat hutan dan lahan gambut yang kaya karbon berisiko dihancurkan, walaupun baru-baru ini dikeluarkan moratorium pemberian ijin baru namun ini hanya parsial dan akan tetap mengancam hutan tersisa dan lahan gambut.6 Saat ini tidak ada insentif nyata untuk industri melalui model bisnis yang menghindari deforestasi dan mempromosikan efisiensi tinggi penggunaan lahan melalui peningkatan produktifitas. Tanpa insentif-insentif ini pembangunan enomomi Indonesia akan berisiko besar pada hilanggnya hutan alam tersisa, emisi tinggi dan praktek industri yang buruk. Ini bukan model pembangunan yang harus didukung siapapun. Ini akan menggagalkan penghentian deforestasi dan degradasi lahan gambut yang akan mengakibatkan kerugian nasional dan global. Emisi gas rumahkaca (GRK) tinggi akan mempercepat perubahan iklim, hilangnya ekosistem hutan akan mendorong hilangnya keanekaragaman hayati dan model pembangunan bisnis status quo akan menjegal gerakan menuju ekonomi rendah karbon yang sesungguhnya di Indonesia.
SEKTOR-SEKTOR PULP DAN KELAPA SAWIT MENDORONG PENGRUSAKAN HUTAN HUJAN Pemerintah Indonesia mengidentifikasi pendorong utama deforestasi adalah sektor-sektor pulp dan kelapa sawit.7
Pada November 2010, Greenpeace menerbitkan laporan berjudul ‘Uang Perlindungan’, memaparkan temuan investigasi mengenai potensi dampak buruk pada hutan dan lahan gambut Indonesia dari rencana pembangunan nasional Indonesia dan model-model pembangunan bisnis yang berbasis lahan. Sebagaimana dirinci laporan tersebut, rencana-rencana ekspansi ekonomi pemerintah untuk industri besar yang mengungkapkan ekspansi yang dicanangkan untuk sektor-sektor pulp, kelapa sawit, biofuel, dan batubara paling tidak akan menambahkan ~63 juta ha lahan ke dalam rantai produksi berbasis lahan pada tahun 2030: •
Hutan tamanan kayu termasuk kayu pulp: 28 juta ha8
•
Tanaman industri termasuk kelapa sawit: 9 juta ha (total permintaan tataguna lahan tidak diperkirakan)9
•
Pertanian: 13 juta ha kawasan hutan (total permintaan tataguna lahan tidak diperkirakan)10
•
Hutan tanaman untuk biofuel termasuk kelapa sawit: 9 juta ha11
•
Tambang: 4 juta ha dalam Hutan (total permintaan tataguna lahan tidak diperkirakan)12
Jumlah ini akan sama dengan semua kawasan yang dizonakan untuk ekapansi yang belum ditentukan peruntukannya.13 Data Kementrian Kehutanan menunjukkan wilayah yang dicanangkan untuk ekspansi oleh sektor-sektor ini termasuk 40% dari wilayah hutan Indonesia – sekitar 37 juta ha,14 wilayah sebesar gabungan negara Norwegia dan Denmark15 – serta 80% wilayah lahan gambut Indonesia – sekitar 16 juta ha16 – dan 50% habitat hutan orangutan.17 Angka-angka pemerintah menunjukkan bahwa karbon dalam hutan dan gambut yang berisiko berjumlah 38GtC – setara dengan emisi GRK global selama empat tahun.18 Tambahan 23 juta ha kawasan Hutan Tanaman tersedia eksklusif untuk tebang pilih (HPH).19 Peraturan-peraturan Kementrian Kehutanan mendikte bahwa konsesi HPH yang telah rusak ditebangi dapat disediakan untuk pembukaan dan pembangunan perkebunan kayu pulp. Hal ini secara progresif mengurangi ekosistem hutan alam di Indonesia. Pabrik-pabrik pulp Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan serat kayu saat ini melalui perkebunan kayu pulp dan terus bergantung pada deforestasi atau kayu alam. Pembukaan hutan menyediakan bahan baku dengan harga rendah untuk memenuhi kebutuhan pabrikpabrik pulp – deforestasi oleh sektor pulp memberi subsidi kepada ekspansi perusahaan. Operasi-operasi saat ini pada sektor-sektor pulp dan kelapa sawit dicirikan oleh pemerintahan yang lemah – dengan jelas meluasnya pengesampingan peraturan mengenai izin, analisa dampak lingkungan dan perlindungan lahan gambut dalam – pengelolaan lahan yang lemah dan produktiktifitas yang rendah. Ekspansi perkebunan dalam sektor-sektor pulp dan kelapa sawit Indonesia mencakup separuh dari rencana deforestasi di masa mendatang.20 Kedua sektor ini telah bersiap untuk ekspansi besar-besaran, dengan rencana pemerintan untuk melipat tiga produksi pulp dan kertas pada tahun 202521 dan melipat dua produksi kelapa sawit pada tahun 2020.22 Targettarget ekspansi tambahan juga telah dicanangkan untuk produksi biofuel. Sinar Mas Group: apakah berdiri untuk praktek terbaik industri atau deforestasi seperti biasa? Pendekatan status quo terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia didasari ekspansi yang bergantung pada deforestasi. Walau demikian potensi panen yang diklaim oleh salah satu divisi Sinar Mas Group – pemain utama di kedua sektor pulp dan kelapa sawit – menunjukkan bahwa, dengan menggunakan praktek terbaik tanpa penambahan total wilayah saat ini untuk konsesi kayu pulp diperlukan untuk memenuhi ambisi pertumbuhan ekonomi.23
Pengumuman kebijakan baru-baru ini oleh divisi pulp dan kelapa sawit Sinar Mas Group menunjukkan bahwa yang satu mengambil pendekatan status quo sementara yang lainnya mengambil pendekatan ‘tanpa jejak deforestasi’. Asia Pulp & Paper (APP), divisi pulp Sinar Mas, telah mengumumkan bahwa mereka akan tetap bergantung pada hutan hujan Indonesia pada akhir 2015.24 Strategi pembangunan bisnis APP berdasarkan ekspansi hutan terus menerus dari para pemasoknya. Golden Agri Resources (GAR), divisi kelapa sawit Sinar Mas, memperkenalkan kebijakan konservasi hutan mereka yang baru pada tahun 2011 ‘untuk memastikan operasi kelapa sawit mereka tidak meninggalkan jejak deforestasi’25 dan berjanji untuk mengakhiri pengembangan lahan gambut.
MORATORIUM GAGAL MENGHENTIKAN DEFORESTASI YANG DIRENCANAKAN PEMERINTAH Deforestasi dan degradasi lahan gambut adalah sumber utama 85% emisi GRK Indonesia.26 Pemerintah Indonesia mengklaim telah menjalani visi ekonomi hijau dengan mencapai 7% pertumbuhan ekonomi dan 26% pengurangan emisi GRK dari skenario status quo pada tahun 2020.27 Dalam usaha untuk memenuhi target-target ekonomi dan emisi GRK ini, pada akhir April 2011 Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan bahwa Indonesia telah memiliki lebih dari 30 juta hektar ‘lahan terdegradasi’ yang tersedia ekspansi sektorsektor kelapa sawit dan kehutanan.28 Pada bulan Mei 2011, beliau mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang memberlakukan moratorium dua tahun akan pemberian izin baru pada hutan primer dan lahan gambut. Analisis pemetaan awal Greenpeace29 berdasarkan data pemerintah terbaik yang tersedia mengindikasikan batasan-batasan nyata dari moratorium dan nilai yang berisiko dalam apa yang dinamakan ‘lahan terdegradasi’ yang masih tersedia untuk ekspansi. Rencana-rencana pemerintah untuk ekspansi sektor-sektor pulp dan kelapa sawit berarti langkah-langkah baru ini akan gagal dalam mengatasi dua pendorong utama deforestasi. Dengan secara efektif melabel ulang kegiatan ekspansi dari kedua sektor yang bergantung pada deforestasi ini sebagai bagian dari pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan, pemerintah menghindari emisi atau hilangnya habitat terkait deforetasi status quo. Akhir kata – jutaan hektar hutan dan lahan gambut berisiko, walaupun telah ada moratorium Walau telah dikeluarkannya moratorium, banyak dari jutaan hektar ekosistem hutan, kritis bagi kelangsungan hidup harimau dan orangutan di alam bebas, dilabel ulang sebagai ‘lahan terdegradasi’ dan berisiko terkena ekspansi industri. Dari kawasan ini, sekitar 35 juta hektar hutan dan lahan gambut terletak dalam kawasan konsesi pulp, kelapa sawit, batubara, pertanian atau HPH, termasuk hampir separuh dari semua habitat hutan tempat hidup orangutan.30 Asumsi-asumsi dibalik analisis kami Analisis pemetaan dan data Greenpeace didasari oleh asumsi-asumsi legal dan tata pemerintahan berikut ini: •
Hukum Indonesia telah melindungi lahan gambut dengan kedalaman >3m, dengan demikian wilayah dengan kedalaman >3m tidak termasuk mendapatkan ‘perlindungan tambahan’ dalam hal angka-angka dalam moratorium.
•
Semua lahan gambut, apapun kedalamannya, dalam konsesi yang ada berisiko karena kurangnya tata pemerintahan.
•
Kelompok data lahan gambut mengelompokkan kisaran kedalaman menjadi 0–2 meter, 2–4 meter, dst. Analis ini berdasarkan kelompok >4 meter dan dengan demikian kemungkinan akan melebihkan pernyataan ‘perlindungan tambahan’ yang ditawarkan oleh moratorium.
•
Tidak semua data konsesi berada di ranah publik; dengan demikian ‘perlindungan tambahan’ terlalu rendah memperkirakan wilayah dengan izin konsesi yang ada dan izin prinsip.
1
DNPI (2010a): 14 menyatakan lahan gambut Indonesia menyimpan 132GtCO2e di bawah tanah dan 4,2GtC di atas tanah. 2
Kemenhut (2009c) memberikan angka 98 juta ha hutan, tetapi ini termasuk sekitar 1,9 juta ha hutan tanaman industri. Sumber: Kemenhut (2007b): Tabel I.1.1 & I.1.2. 3
Kemenhut (2009a), Wahyunto (2003, 2004, 2006)
4
12 juta hektar
5
Analisis pemetaan Greenpeace 2011
6
Pemerintah Indonesia (2011)
7
DNPI (2010a)
8
Kemenhut/Balitbang (2009). Walaupun sumber ini memberikan horizon 2025–2050, laporan sintesis Peta Sektor Perubahan Iklim Indonesia (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap/ICCSR) Maret 2010 mengasumsikan ‘usaha konstan perkebunan baru seluas 1,4 juta hektar per tahun’ sampai dengan 2029 dan menyesuaikan laju perkebunan agar dapat mencapai skema penuh dalam periode yang disebutkan. Sumber: BAPPENAS (2010). 9
DNPI (2010a): 22
10
DNPI (2010a): 19
11
Legowo (2007): 21
12
Kemenhut (2010g)
13
Analisis Greenpeace berdasarkan data Pemerintah RI. Untuk rinciannya lihat laporan utama. 14
Analisis Greenpeace berdasarkan Kemenhut (2009a) & Kemenhut (2010d)
15
Norwegia: 32,4 juta ha; Denmark: 4,3 juta ha. Sumber: CIA World Factbook www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/rankorder/2147rank.html 16
Analisis Greenpeace berdasarkan Kemenhut (2010d) & Wahyunto et al (2003, 2004, 2006)
17
Analisis Greenpeace berdasarkan Kemenhut (2010c,d), Kemenhut (2009a) dan Meijaard et al (2004) peta-peta habitat orangutan 18
emisi global 2005 termasuk perubahan tataguna lahan dan kehutanan dan bunker internasional: 34GtCO2e. Sumber: CAIT. 38GtC setara dengan 140GtCO2. 140/34 = 4,1 19
Zona Produksi Terbatas mencakup sedikit lebih dari 23 juta ha; sekitar 17 juta ha dari kawasan ini tertutup hutan pada tahun 2006. Sumber: Analisis pemetaan Greenpeace 2011 berdasarkan Kemenhut (2010d) dan dokumen-dokumen perencanaan provisional propinsi. 20 21
DNPI (2010a)
Berdasarkan proyeksi bahwa produksi industri pulp dan kertas akan meningkat menjadi 55 juta ton pada tahun 2025, atau sekitar 3,24 kali produksi tahun 2007. Sumber: DNPI/UNFCCC (2009).
18,75 adalah setara dengan 34% dari 55 juta. Bagian produksi pulp dari total produksi kertas antara 2000 dan 2006 – periode satu-satunya dimana tersedia data lengkap – adalah 34%, dengan kertas merupakan 51% dan penggunaan kertas daur ulang 15%. Dengan tidak menghitung daur ulang kertas akan meningkatkan target produksi pulp menjadi 22 juta ton. Walau demikian tanpa menyertakan kertas daur ulang, menggandakan produksi 2007 dengan 3,24 tidak akan menghasilkan 55 juta ton, tetapi 51 juta ton. Termasuk penggunaan kertas daur ulang, angka target akan mencapai ~55,6 juta ton. Angka-angka untuk 2007 tidak tersedia, karena Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) belum merilis data yang lebih baru dari 2006. 22
Media Indonesia (2010)
23
lihat Greenpeace (2010c): 43 untuk angka-angka selengkapnya
24
Greenbury (2011)
25
GAR (2011): 4
26
DNPI (2010b): 5 menyatakan emisi deforestasi sebesar 763Mt, dekomposisi gambut sebesar 300Mt dan kebakaran lahan gambut 550Mt pada tahun 2005. DNPI (2010a): 12, 13 menyatakan total yang sama tetapi membagi 772Mt dari gambut dan 838Mt dari sumbersumber LULUCF lainnya. 27
Yudhoyono (2011)
28
Yudhoyono (2011)
29
Analisis pemetaan menggunakan data tutupan hutan 2006 (Kemenhut 2009a) dan data terbaik yang tersedia mengenai semua wilayah konsesi yang ada dan dialokasikan menghasilkan 48,3 juta ha. Sebagian hutan telah dibuka, dengan DNPI mengasumsikan laju rata-rata 1,1 juta ha/tahun (DNPI 2010a). Sebaliknya, data konsesi akan gagal menyertakan beberapa juta hektar konsesi tak terindentifikasi atau izin prinsip. 30
31,6 juta ha hutan: Hutan Primer 12 juta ha, Hutan Sekunder 19,6 juta ha dalam konsesi; 6,9 juta ha lahan gambut (5,7 juta ha <4m; 1,2 juta ha > 4m); 3,7 juta ha habitat hutan orangutan.
Full presentation of this briefing is available at www.greenpeace.org/app-toying-with-extinction June 2011 Published by Greenpeace International Ottho Heldringstraat 5 1066 AZ Amsterdam The Netherlands
[email protected]