Bab Empat
Humanisme Kejawèn
Ditinggalkannya budaya Jawa justru oleh sebagian besar masyarakat Jawa, seperti diuraikan dalam Bab Tiga, menimbulkan pertanyaan apakah tidak ada potensi Jawa yang dapat dikembangkan untuk menangkal arus global? Apakah budaya Jawa akan hilang tergerus oleh pengaruh budaya dari luar? Bab Empat ini berusaha menguraikan potensi Jawa yang dapat dikembangkan, yaitu kejawèn dan humanisme kejawèn, untuk menangkal globalisasi yang merupakan “anak kandung” humanisme Barat. Secara hipotesis, kalau kejawèn dan humanisme kejawèn dapat dibangkitkan, menjadi pandangan hidup, maka manusia Jawa akan menemukan kembali jatidiri, memiliki kepercayaan diri terhadap budayanya sendiri, dan hal itu akan menjadi modal untuk menghadapi arus global. Sebagai sistem berpikir, kejawèn merupakan penjabaran tunggal (singularly elaborate), mengungkapkan kosmologi, mitologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya; sistem gagasan mengenai alam manusia dan masyarakat, mencakup etika-etika, kebiasaan-kebiasaan, dan gaya hidup, melingkupi pemaknaan alam semesta, interpretasi tentang kehidupan. Kejawèn dipahami sebagai pandangan hidup manusia Jawa,
91
Jawa Menyiasati Globalisasi
implementasi kebudayaan Jawa yang juga disebut sebagai “agami jawi.” (Niels Mulder, 2005:16-17, Geertz, 2000).
Kejawèn adalah segala naluri (tradisi atau perbuatan yang sudah lazim dijalankan) atau adat-istiadat leluhur Jawa yang tidak termasuk ajaran Islam. Penyebutan kejawèn itu bertujuan untuk melepaskan diri dari hukum Islam, namun tidak dimasukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercayaan animisme (Kamil Kartapradja, 1990:59). Bagi orang Jawa, hakikat kejawèn adalah kebatinan, yaitu mistisisme, atau secara literal adalah “ilmu tentang sesuatu yang berada di dalam batin.” Salah satu tradisi kejawèn yang berkaitan dengan keyakinan mengenai ketuhanan, peribadatan, keakhiratan, dan sejenisnya yang bersangkutan dengan akidah atau keimanan di luar Islam, disebut kebatinan. Pada umumnya orang-orang yang menjalankan praktik-praktik kebatinan itu adalah penganut Islam, namun sumber ilmu kebatinannya dari luar Islam, yaitu Yoga-Tantrisme-Hindu-Buddha, sisa-sisa agama kepercayaan nenek moyang orang Jawa (Endraswara, 2003:1; Simuh, 1999: 246). Sampai saat ini mistik kejawèn masih dilaksanakan oleh para penganutnya, yang tersebar di seluruh wilayah Pulau Jawa, di desa-desa maupun di kota-kota. Mereka tidak terbatas pada komunitas, yang oleh Geertz disebut sebagai kaum abangan, rakyat biasa, dan para penganut aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, melainkan juga komunitas umat beragama dan kaum priyayi. Mistik kejawèn menyatukan berbagai komunitas, dari berbagai keyakinan agama dan golongan melalui ikatan spiritual.
92
Humanisme Kejawèn
Berbeda dari pendapat tersebut, penulis berpendapat, bahwa komunitas kejawèn tetap merupakan komunitas yang terdiri dari orang-orang yang tidak berpandangan sebagai priyayi dan santri. Hasil observasi pendahuluan yang dilakukan penulis menunjukkan, bahwa kelompok manusia Jawa yang tergabung dalam perkumpulan-perkumpulan kejawèn adalah orang-orang yang lebih tepat digolongkan abangan (seperti istilah Geertz) daripada priyayi maupun santri. Mungkin mereka mengaku priyayi atau menganut agama tertentu, namun pandangan hidup mereka tidak seperti kaum priyayi keturunan keraton dan tidak merasa terikat secara ketat oleh aturan-aturan agama yang mereka anut. Menurut penulis, pandangan bahwa kejawèn menyatukan berbagai komunitas, termasuk priyayi dan santri, hanya melihat masalah perkumpulan kejawèn dari sisi permukaan. Kalau diteliti lebih mendalam, maka sebenarnya orang-orang yang aktif dalam perkumpulan-perkumpulan itu adalah orang-orang yang lebih tepat dikategorikan sebagai abangan. Golongan priyayi, yang pada masa kini antara lain ditampakkan dari status sosial ekonomi yang mapan, justru cenderung mengikuti arus global. Adapun golongan santri, yang taat beribadah dan menjalankan syariat agama, lebih condong ke gerakan ideologi transnasional. Pengaruh globalisasi dan gerakan ideologi transnasional itu, secara bertahap meminggirkan dan mengikis pandangan hidup
kejawèn. Komunitas kejawèn yang sangat kompleks melahirkan berbagai sekte dan tradisi. Di dalamnya terdapat paguyubanpaguyuban yang secara rutin membahas alam hidup manusia didasarkan konsep rukun. Modal dasar paguyuban adalah tekad dan persamaan niat untuk memelihara tradisi leluhur dan memiliki “jalan hidup” khas Jawa. Kebatinan sering dianggap sebagai intisari kejawèn, merupakan gaya hidup orang-orang 93
Jawa Menyiasati Globalisasi
Jawa, yaitu memupuk batinnya. Oleh sifat batin itu manusia merasa diri terlepas dari segala sesuatu yang semu, yang berganda, yang memaksakan suatu bentuk hidup serba-dua yang tidak dapat dihayati secara otentik (Niels Mulder 1996:13; Subagya, 1987:14). Batin merupakan ”isi” dari raga. Raga bergerak, berpikir, bekerja, karena ada unsur batin. Batin manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa dan sukma (roh). Jiwa menyebabkan manusia berpikir, bernafsu, berkehendak, sedih lalu menangis, senang lalu tertawa. Sukma adalah unsur terdalam dari manusia, juga disebut roh, berasal atau merupakan pancaran Sang Hyang Murbèng Dumadi, Tuhan Yang Maha Esa (Hardjodisastro, 2010:100). Kebatinan merupakan religi beserta pandangan hidup orang Jawa yang lebih menitikberatkan ketenteraman, keselarasan, dan keseimbangan batin. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik, penembusan, dan pengetahuan mengenai alam raya dengan tujuan mengadakan suatu hubungan langsung antara individu dan Yang Maha Kuasa. Banyak sekali aliran kebatinan, namun gagasan psikologis aliran-aliran itu sesung-guhnya agak seragam. Semua meyakini kemanunggalan dan mencari keselarasan dengan alam semesta dan Tuhan, walaupun mungkin hanya sebagian orang mencapainya (Ma’ruf al Payamani, 1992:18; Stange, 2009:9-12). Praktik kejawèn bermuara pada ketenteraman batin, kearifan individual. Melalui keselarasan dengan alam dan Tuhan, penganut kejawèn berusaha mencapai ketenteraman jiwa. Hal tersebut menunjukkan, bahwa kejawèn memang selaras dengan sifat filosofi Jawa yang lebih mengutamakan kearifan (wisdom), sehingga menghasilkan kearifan individu. Sifat itu berbeda dari filsafat Barat yang menghasilkan ilmu pengetahuan.
94
Humanisme Kejawèn
Kajian tentang Kejawèn Seperti disebutkan dalam Bab Satu, berbagai kajian tentang kejawèn telah dilakukan oleh beberapa ahli, antara lain De Jong (1976), Subagya (1976), Geertz (1976), Hafidy (1982), Sopater (1987), Kartapradja (1990), Simuh (1999), Mulder (2001), dan Stange (2009). Secara umum, kajian-kajian itu dapat dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan persoalan pokok yang dibahas (Soehadha, 2008), yaitu: 1. Kajian yang memberi tekanan pada penyebab kemunculan dan perkembangan aliran kebatinan pada awal kemerdekaan; 2. Kajian yang memberi tekanan pada akar historis dan teologis dari kemunculan aliran kebatinan; 3. Kajian yang lebih memberi tekanan pada persoalan makna ritual-ritual yang dikembangkan oleh perkumpulan kebatinan di Indonesia.
Berikut ini uraian tentang tiga persoalan pokok yang dibahas dalam kajian-kajian tersebut:
Kemunculan dan Perkembangan Aliran Kebatinan De Jong (1976) menyebutkan, kemunculan kembali mistik kejawèn bertepatan dengan sejarah Republik Indonesia. Mungkinkah gerakan mistik berhubungan dengan kepribadian bangsa Indonesia? Hal ini pasti berlaku bagi Pulau Jawa: mistik merupakan salah satu bentuk, bahkan visi dasar dari Jawaisme. Seluruh Jawa diliputi oleh suasana mistik yang merangkum semua kelompok penduduk, lepas dari tingkat sosial atau tingkat
95
Jawa Menyiasati Globalisasi
pendidikan. Suasana mistik itu mencapai kristalisasi dalam bermacam-macam organisasi yang tersebar di berbagai tempat. Menurut Jong, dua faktor penting yang memengaruhi perkembangan mistisisme kejawèn, adalah: hasrat dan kepastian serta sikap agama resmi. Hasrat dan kepastian: Berjuta-juta orang Indonesia hidup dalam ketidakpastian. Keguncangan jiwa dapat dipahami, bila kita mengikuti sejarah negeri ini. Peperangan, pemberontakan, devaluasi yang me-rongrong nilai uang dan nilai-nilai moral, korupsi, dan ancaman komunis, telah mencairkan cita-cita luhur. Slogan-slogan ternyata kosong melompong. Janji-janji diberikan kemudian dilupakan begitu saja. Ketidakpastian dalam masyarakat mendorong banyak orang bersandar kembali pada mistik. Mistisisme dipandang bisa memberi jawaban, antara lain karena mistik mengajarkan bahwa kehidupan yang fana tidak abadi. De Jong mengutip pernyataan S. Sosrosudigdo: Kepribadian bangsa Indonesia harus mencerminkan inti kebatinan yang asli dan murni. Di dalam tingkat-tingkat pembangunan bangsa perlu direncanakan dan dilaksanakan pembangunan manusia Indonesia dengan ditanam dasar kebatinan.
Sikap agama-agama resmi: Tidak jarang, beberapa aliran baru yang tumbuh justru muncul dari satu atau beberapa agama. Bagi orang Jawa pada umumnya, perbedaan-perbedaan antara agama-agama itu me-mang tidak besar, asalkan berketuhanan. Banyak orang yang tidak senang mengadakan pembedaan-pembedaan yang jelas. Agama-agama yang meruncingkan dogmadogma menimbulkan keguncangan, bermunculanlah aliran-aliran baru. Ada aliran-aliran mistik yang merupakan “satelit” dari agama induknya. Beberapa aliran dengan jelas memperlihatkan 96
Humanisme Kejawèn
sifat-sifat keislaman, beberapa yang lain mengandung unsurunsur kekristenan. Kalau penganut-penganut agama resmi terkandas dalam formalisme dan tradisionalisme – suatu bahaya yang mengancam setiap agama yang sedang mengalami proses perkembangan – maka banyak orang Jawa dari berbagai tingkat sosial dan intelektual kemudian memisahkan diri dari agama resmi itu. Subagya (1976) berpendapat, pembaruan dalam kehidupan di Indonesia membawa serta kesadaran baru dalam hidup beragama. Pertumbuhan aliran-aliran kebatinan mencerminkan integrasi kembali nilai-nilai asli yang terdesak modernisasi. Menurut Mulder (2005:28-29), fenomena perkembangan
kejawèn sejak kemerdekaan Republik Indonesia dapat dibagi ke dalam dua pendapat, yaitu:
Reaksi terhadap Agama-agama Pendapat ini menyebutkan, popularitas mistisisme Jawa mengekspresikan reaksi terhadap dogmatisme dan ritualisme agama resmi (institutional religion) yang mengabaikan kebutuhan akan ekspresi mistis dan pengalaman batin. Mistisisme berkembang sebagai tanda protes dan kritik terhadap kondisi saat itu. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, penyebab perkembangan pesat aliran kebatinan adalah kegagalan dalam hirarki dan struktur agama-agama besar di Indonesia untuk memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan sosial yang pokok dari kehidupan masyarakat. Agama-agama besar juga dianggap gagal dalam menyelenggarakan perdamaian antarbangsa. Hanya kebatinan yang dianggap sanggup untuk menunaikan tugas mulia yang dilalaikan oleh agama-agama itu (Subagya, 1987).
97
Jawa Menyiasati Globalisasi
Pandangan tersebut sejalan dengan hasil kajian Sopater (1987:7), yang juga melihat bahwa kemunculan aliran-aliran mistis dalam agama-agama besar dapat dipahami sebagai reaksi internal terhadap formalisme, dogmatisme, dan kebekuan hirarkis yang terpolakan dalam agama-agama. Reaksi-reaksi itu diperkuat oleh berbagai kesenjangan di antara ajaran dan tingkah laku, kotbah dan karya nyata, dogma dan moral. Pendapat-pendapat bahwa gerakan kebatinan merupakan reaksi terhadap agama-agama tersebut menyiratkan, bahwa gerakan kejawèn mirip dengan gerakan humanisme Barat pada Periode Pertengahan dan Modern yang juga merupakan reaksi terhadap dogmatisme dan ritualisme agama, yang dianggap tidak memanusiakan manusia. Pada Periode Pertengahan itu, kaum humanis menentang dominasi agama dan mengangkat kembali nilai-nilai kemanusiaan, bahkan menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan. Ditinjau dari sisi kesamaan tersebut, sebenarnya gerakan humanisme memiliki sifat universal; gejala yang terjadi di dunia Barat juga terjadi di dunia Timur, termasuk Indonesia. Dalam konteks pemikiran ini, maka gerakan kebatinan sebenarnya merupakan gerakan mengembalikan harkat dan martabat manusia, yang dalam hal ini diekspresikan sebagai kebutuhan akan ekspresi mistis dan pengalaman batin.1
Reaksi terhadap Modernitas
1 Pengalaman penulis mengikuti kebaktian di Gereja Kristen Protestan, misa di Gereja Katolik, atau mendengarkan kotbah-kotbah agama Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu di televisi, menunjukkan gejala bahwa agama-agama kurang dapat menjawab persoalan hidup manusia. Kebanyakan kotbah pemuka agama kurang membahas persoalan konkret yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan itu menyebabkan umat beragama merasa tidak mendapat jawaban terhadap persoalan hidup mereka.
98
Humanisme Kejawèn
Gerakan mistisisme di awal kemerdekaan ditafsirkan sebagai reaksi terhadap modernitas yang menyebabkan dekadensi moral. Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, kondisi yang ditimbulkan oleh modernitas itu dapat menyebabkan suasana seperti pada zaman dominasi kolonial, yang disebut sebagai “disfungsi terus-menerus” dan “penghilangan kultural.” Kondisi itu kemudian mendorong kebangkitan gerakan-gerakan kebatinan. Adapun Koentjaraningrat berpendapat, praktik mistisisme Jawa sebagai “pelarian” dari kesulitan-kesulitan hidup sehari-hari ke dalam dunia mimpi dan pengalaman batin, serta kerinduan terhadap masa lalu (Mulder, 2005:30). Pendapat gerakan kebatinan merupakan reaksi terhadap modernitas tersebut menunjukkan, bahwa gerakan kebatinan merupakan reaksi terhadap hal-hal baru yang masuk dan memengaruhi budaya lokal. Ketika itu muncul kekhawatiran halhal baru itu akan menghilangkan budaya lokal. Dalam konteks masa kini, maka gerakan kebatinan merupakan reaksi terhadap globalisasi, karena globalisasi pun mengancam budaya-budaya lokal.
Akar Historis dan Teologis Kejawèn Kejawèn sesungguhnya merupakan manifestasi agama Jawa, yaitu akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam praktik religi tersebut, sebagian orang meyakini ada pengaruh sinkretik dengan agama lain, sedikitnya Hindu, Buddha, dan Islam. Sebaliknya ada orang yang meyakini secara puritan bahwa kejawèn adalah milik manusia Jawa yang telah ada sebelum ada pengaruh lain (Endraswara, 2003:58). Tiap-tiap asumsi itu memiliki alasan yang masuk akal, namun hal itu merupakan tugas ilmuwan sejarah kebudayaan yang pantas memberikan penjelasan lebih rinci. 99
Jawa Menyiasati Globalisasi
Telah banyak bukti berupa karya sastra Jawa yang merupakan tuntunan bagi penganut mistik kejawèn. Karya yang dihasilkan pujangga Jawa itu, sebagian memang ada pengaruh agama lain. Karya-karya seperti Arjuna Wiwaha (Empu Kanwa), Serat Cebolèk (Yasadipura), Serat Sasanasunu (Yasadipura), Serat Wulang Rèh (Pakubuwono IV), Serat Centhini (Pakubuwono V), Serat Wedhatama (Mangkunagara IV), dan sebagainya adalah karya-karya besar yang memuat pengetahuan mistik kejawèn. Lebih jelas dan tajam lagi mistik kejawèn juga digambarkan dalam karya-karya sastra berbentuk suluk, seperti Suluk
Darmogandhul, Suluk Gatholoco, Suluk Sujinah, Suluk Syekh Malaya, Suluk Malang Sumirang, Suluk Resi Driya, dan Suluk Topah. Pada zaman Wali Sanga pun banyak lagu (syair) Jawa yang menggambarkan konsep mistik kejawèn, seperti Ilir-ilir, Sluku-sluku Bathok, Cublak-cublak Suweng, dan É Dhayohé Teka. Hadiwijono, seperti dikutip Endraswara (2003:1), menyebutkan asal-usul kejawèn sebenarnya bermula dari dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Sri penjelmaan Dewi Laksmi (istri Wisnu) dan Sadono penjelmaan Wisnu. Sri dan Sadono merupakan cikal-bakal (akar historis) kejawèn, maka dalam berbagai ritual mistik kejawèn keduanya selalu mendapat tempat khusus. Dewi Sri diyakini sebagai dewa padi, dewa kesuburan. Ajaran yang menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Sri dan Sadono tersebut adalah falsafah Ajisaka yang penuh mistik kejawèn. Ajisaka dikisahkan sebagai putra brahmana dari India. Ajisaka ditafsirkan berasal dari kata aji (raja, yang dihormati, dipuja, dan disembah) dan saka berarti tiang. Ajisaka berarti tiang penyangga yang memperkokoh diri manusia, yaitu religiusitas. Religiusitas Jawa adalah mistik kejawèn. Kejawèn
100
Humanisme Kejawèn
dan mistik sudah menyatu, menjadi ekspresi religi (Amin, 2000; Endraswara, 2003). Dalam hal ini, kejawèn dipandang asli Jawa dan pada awalnya tidak terpengaruh oleh agama-agama lain, seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Pandangan itu berbeda dari pendapat Simuh (1999) yang menjelaskan, bahwa sufisme Islam memengaruhi kesusastraan Jawa, sehingga mistisisme Jawa menemukan bentuk paling khas dari sentuhan sufisme (mistisisme dalam Islam). Jadi, kejawèn bukan asli Jawa. Kejawèn bersifat sinkretis, memadukan kepercayaan asli Jawa dengan ajaran-ajaran agama. Sulit menemukan sistem kepercayaan yang benar-benar asli kejawèn, yang belum terpengaruh oleh agama-agama tersebut.
Makna Ritual dan Doktrin Kejawèn Mistik kejawèn tidak berdasarkan doktrin tertentu, namun dalam aliran-aliran yang berbeda-beda terdapat tekanan-tekanan, pandangan-pandangan yang sama. Oleh De Jong (1976:13), pandangan-pandangan yang sama itu dirinci sebagai berikut:
Kesatuan Kebatinan modern mirip dengan mistik dari zaman dulu karena selalu mencari kesatuan di tengah-tengah aneka macam gejala. Kenyataan empirik bukan kenyataan yang paling luhur dan mutakhir. Orang akan mencari kesatuan hakiki yang meliputi segala-galanya. Setiap insan merupakan percikan dari kesatuan hakiki itu dan ambil bagian di dalamnya. Umat manusia telah menghancurkan kesatuan purba tersebut, memisahkan diri dari kesatuan itu, berhadapan, mengadakan konfrontasi terhadap kesatuan hakiki dengan menjadi-
101
Jawa Menyiasati Globalisasi
kannya “objek.” Manusia tidak lagi merasakan diri sebagai bagian dari kesatuan purba, mengadakan “individualisasi.” Perkembangan itu menyesatkan dan hanya manusialah yang dapat memperbaikinya. Memulihkan kesatuan tersebut harus dimulai dari manusia. Semua aliran mistik memiliki sifat antroposentris.
Manusia Manusia terdiri dari bagian batiniah dan lahiriah. Bagian batiniah adalah rohnya, sukma, atau pribadinya. Bagian inilah yang mempunyai asal-usul tabiat ilahi. Oleh karena itu, batin merupakan kenyataan yang sejati. Bagian lahiriah adalah badan manusia dengan segala hawa nafsu. Badan merupakan wilayah kerajaan rohnya, yang harus dikuasai. Oleh sebab itu, badan seringkali disebut jagad cilik (mikrokosmos). Kalau manusia dapat menguasai dunia kecil itu, yaitu dirinya sendiri, disebut sudah menjadi seorang ksatria pinandhita, seseorang yang sudah maklum akan hal-hal rahasia. Dalam dirinya telah tercapai kesatuan; seperti batinnya memiliki asal-usul ilahi, maka badannya pun mengalami proses spiritualisasi, berkembang menjadi rohani.
Perkembangan Dengan mengadakan koreksi terhadap diri manusia, maka perkembangan dan kemajuan dunia pada prinsipnya dihalalkan. Perkembangan dan kemajuan tersebut sebetulnya merupakan usaha untuk memulihkan kembali kesatuan yang harmonis dan selaras. Teknik itu baik, pendidikan itu baik, namun intelektualisme mengandung suatu bahaya, karena intelektualisme memperkuat individualisme. Investasi mental merupakan suatu bagian dari setiap perkembangan dan pembangunan, tapi tidak boleh merugikan harmoni dan keselarasan.
102
Humanisme Kejawèn
Jadi, perjuangan mistisisme kejawèn adalah memulihkan kesatuan hakiki, melawan kemajuan yang menyesatkan (individualisasi), mengadakan koreksi diri menuju perkembangan dunia yang harmonis. Sifat pandangan-pandangan itu sangat antroposentris. Dalam pembangunan, manusialah titik sentralnya. Mirip dengan pandangan tersebut, Sanprov (2005:186187) berpendapat, nurani menggambarkan bagian batiniah manusia. Ada kalanya peran nurani tertutupi, karena manusia berpegang pada rasa cinta diri (ego) yang sangat besar. Adapun Stange (2009:12) menyatakan, manusia sering lebih mementingkan pemuasan nafsu daripada mengembangkan kesadaran nafsu sebagai sarana demi keterwujudan karsa Tuhan dan keselarasan alam.
Perkembangan Kejawèn Perkembangan kejawèn dipengaruhi oleh situasi politik dari masa ke masa. Pada era tahun 1950-an, identitas kejawèn sebagai pemikiran sinkretis nampak menonjol, sebagai fenomena oposisi terhadap Islam ortodoks. Massa abangan – yang oleh Mulder (2005) sering dikaitkan dengan orang-orang komunis – makin sadar posisinya berhadapan dengan kelompok yang dikategorikan sebagai santri. Pada masa itulah kejawèn berkembang baik. Pada tahun 1952, muncul definisi agama dari Departemen Agama, antara lain menyebutkan bahwa agama harus memiliki nabi dan kitab suci, serta diakui secara internasional. Definisi itu membatasi mistisisme, sehingga kejawèn tidak dapat dikategorikan sebagai agama. Dalam mistisisme, Tuhan langsung berkaitan dengan hati seseorang, tidak harus melalui perantara atau teks-teks suci. 103
Jawa Menyiasati Globalisasi
Karena ada tentangan dari kelompok Hindu Bali, definisi tersebut ditarik. Departemen Agama lalu mengakomodasi kelompok-kelompok mistisisme. Hasilnya, pada tahun 1954 dibentuk Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) untuk menangani masalah yang berkaitan dengan kelompokkelompok kebatinan, yang kemudian disebut pula sebagai Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada kenyataannya, Pakem justru menjadi lembaga pengawas terhadap kelompok-kelompok mistisisme tersebut. Tahun 1955 adalah tahun yang penting bagi sinkretisme Islam-Jawa. Hasil pemilihan umum waktu itu menunjukkan bahwa secara politik Indonesia bukan negara Islam. Secara nasional, partai-partai Islam hanya meraih 42 persen suara. Di Jawa Tengah partai-partai Islam itu meraih 30,3 persen suara, di Yogyakarta hanya 24,5 persen suara. Hal itu menunjukkan kecilnya simpati masyarakat terhadap ide menjadi negara Islam (Mulder, 2005:22). Mistisisme Jawa sangat populer dan dihayati oleh masyarakat Jawa dan berkembang pesat pada masa itu. Pada tahun 1957, muncul tuntutan untuk menjadikan kebatinan sebagai kelompok yang setingkat dengan agama resmi serta memiliki perwakilan di parlemen. Tahun 1958, Presiden Soekarno justru memperingatkan bahaya klenik yang dapat berkembang dalam ekspresi mistisisme (kejawèn). Sementara itu, para penganut kejawèn menekankan, bahwa kebatinan bukanlah klenik, bukan black magic. Kejawèn adalah kekuatan supranatural dan white magic. Pada tahun 1960, di Pekalongan, Jawa Tengah, berlangsung pertemuan antara para penganut mistik tradisional Jawa dan kelompok sufi Islam. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bersama terkait dengan pengembangan mistisisme.
104
Humanisme Kejawèn
Dalam suatu kongres pemuda, Menteri Pendidikan Prof. Priyono mengusulkan agar “sintesisme” dan “sinkretisme” diakui sebagai esensi budaya Indonesia dan gerakan-gerakannya diakui secara resmi. Sementara itu, dalam Kongres keempat Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia (BKKI) di Malang, dinyatakan tidak ada perbedaan esensial antara agama dan mistisisme; agama menekankan aspek ritual, mistisisme menekankan aspek “pengalaman dalam” (inner experience) dan kesempurnaan manusia. Bersamaan dengan itu, Pakem yang semula di bawah Departemen Agama dialihkan ke Departemen Kehakiman. Pada tahun 1961, Menteri Agama memutuskan, agama harus memiliki kitab suci, nabi, serta pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan suatu sistem hukum yang berlaku bagi para pengikutnya. Untuk mendukung hal tersebut, polisi diberi hak mengawasi kelompok-kelompok kebatinan dengan alasan mencegah kemungkinan kerusuhan sosial. Tahun-tahun berikutnya diwarnai dengan bangkit dan menyebarnya gerakan-gerakan kebatinan. Untuk mencegah timbulnya anarki keagamaan, Bung Karno mengumumkan hanya Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Confusianisme sebagai agama yang secara resmi diakui pemerintah. Tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa yang dikenal sebagai Pemberontakan G30S. Setelah itu, berduyun-duyunlah orang yang semula dikategorikan sebagai abangan memeluk agama; Islam, Kristen, maupun Hindu dan Buddha. Itulah sebabnya, jumlah penganut agama-agama (secara administratif) meningkat drastis. Menjelang Sidang Umum MPR tahun 1978 muncul situasi yang menghambat pengembangan tata kehidupan beragama, antara lain masalah aliran kepercayaan yang dianggap meng105
Jawa Menyiasati Globalisasi
ganjal bagi golongan agama. Menteri Agama kemudian mengambil kebijakan pokok menyangkut masalah aliran kepercayaan. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam bab IV/D tentang “Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” huruf 1 ayat 1, menyatakan: “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa dilakukan agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru.” Perkembangan selanjutnya, masalah kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa termasuk bidang kebudayaan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Departemen Agama tidak mengurusi persoalan aliran kepercayaan, yang sudah dinyatakan bukan sebagai agama. Dalam surat Menteri Agama tertanggal 17 Juli 1980 No B.IV/5996/1980 antara lain ditegaskan: (a) bahwa dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal adanya tata cara perkawinan, sumpah, dan penguburan menurut aliran kepercayaan dan tidak dikenal pula penyebutan “Aliran Kepercayaan” sebagai “agama.” Baik dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun lain-lainnya, (b) bahwa orang yang beragama/pemeluk agama yang mengikuti aliran kepercayaan tidaklah kehilangan agama yang dipeluknya. Oleh karena itu tidak ada cara “perkawinan menurut aliran kepercayaan” dan “sumpah menurut aliran kepercayaan” (Hafidy, 1982:100). Uraian tersebut menunjukkan, sebagai pandangan hidup dan sistem kepercayaan orang Jawa, kejawèn justru terpinggirkan, tidak menjadi “tuan rumah di negeri sendiri.” Dalam berbagai pertemuan, para penganut kejawèn sering mengungkapkan keterpinggiran itu. Sebagian di antara mereka merasakan “dijajah” oleh agama-agama besar dan pihak pe-
106
Humanisme Kejawèn
merintah tidak memedulikan perkembangan kejawèn sebagai agama lokal.2
Nilai-nilai Humanisme Kejawèn Humanisme kejawèn adalah cara pandang manusia Jawa terhadap nilai-nilai kemanusiaan didasari oleh sistem berpikir kejawèn seperti dijelaskan oleh Mulder (2005). Oleh karena itu, humanisme kejawèn tidak terlepas dari pandangan tentang kosmologi, mitologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya. Humanisme kejawèn merupakan interpretasi manusia Jawa terhadap kehidupan manusia; merupakan intisari kejawèn. Nilai-nilai humanisme kejawèn, antara lain tersirat dalam Serat Wulangrèh karya Sri Paku Buwono IV (1994:72): Bener luput, ala becik lawan begja cilaka mapan saking ing badan priyangga dudu saking wong liya pramila dén ngati-ati sakèh dirgama singgahana dén éling. Arti Serat Wulangrèh tersebut adalah, bahwa betul, salah, buruk, baik dan untung, celaka tergantung pada diri manusia sendiri, bukan dari orang lain. Maka, berhati-hatilah terhadap segala rintangan, camkanlah dan ingatlah hal ini. 2 Dalam pertemuan para penganut kebatinan yang diselenggarakan oleh Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, salah seorang peserta menyatakan kesulitan setiap akan menyelenggarakan peringatan satu syura karena harus minta izin dulu pada pihak pemerintah (misalnya kepolisian), padahal penganut agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu tanpa halangan memperingati hari-hari besar keagamaan mereka. Sebagai penganut kejawèn, ia merasa diperlakukan tidak adil, dan hal itu aneh karena justru kejawèn merupakan “agama lokal” masyarakat Jawa, sementara agama-agama besar itu datang dari luar Indonesia. Ia mempertanyakan, mengapa pemerintah lebih memihak agama yang datang dari luar dan meminggirkan “agama” asli di Indonesia.
107
Jawa Menyiasati Globalisasi
Ajaran humanisme itu mirip dengan ajaran tentang kebenaran hidup yang disampaikan Rabindranath Tagore (1922:38). Kebenaran hidup tergantung pada sikap dan pikiran seseorang. Sikap itu terbentuk oleh kebiasaan berkaitan dengan suasana tertentu dari lingkungan dan temperamen seseorang. Manusia Jawa sangat menghormati pola hubungan yang seimbang, baik dilakukan pada sesama individu, pada lingkungan alam, dan pada Tuhan. Tiap-tiap pola perilaku yang ditunjukkan adalah pola perilaku yang mengutamakan keseimbangan, sehingga apabila terjadi sesuatu, seperti terganggu kelangsungan kehidupan manusia di dunia, dianggap sebagai adanya gangguan keseimbangan. Manusia harus dengan segera memperbaiki gangguan itu, sehingga keseimbangan kembali dapat dirasakan. Hubungan manusia dengan Tuhan diekspresikan di dalam kehidupan seorang individu dengan orang tua. Hal itu dilakukan karena Tuhan tidak dapat diraba, tidak dapat dilihat, dan hanya dapat dirasakan. Oleh karena itu, penghormatan terhadap Tuhan dilakukan dengan bentuk-bentuk lambang yang memberikan makna pada munculnya kehidupan manusia di dunia, yaitu orang tua, yang harus dihormati melalui pola ngawula, ngabekti, dan ngluhuraké tanpa batas waktu. Humanisme kejawèn terasa pada pandangan hidup orang Jawa tentang keseimbangan antara jagad cilik dan jagad gedhé; antara mikrokosmos dan makrokosmos. Ketenteraman jagad cilik (diri pribadi) akan memengaruhi ketenangan jagad gedhé (alam semesta), sebaliknya ketenangan jagad gedhé akan memengaruhi ketenteraman jagad cilik (Mulder 2005:32). Pemahaman tentang relasi jagad cilik dan jagad gedhé itu sangat mirip dengan pandangan filsuf masa Yunani awal dan
108
Humanisme Kejawèn
Yunani Klasik. Pada masa itu, istilah mikrokosmos digunakan untuk melukiskan kodrat manusia sebagai yang sama (analogous atau homologous) dengan realitas eksternal yang luas, yaitu makrokosmos (megeskosmos). Mereka memandang adanya persamaan antara tubuh manusia dan jagad raya. Mikrokosmos seakan-akan mencerminkan makrokosmos. Relasi mikrokosmos-makrokosmos tersebut tercermin dalam kitab Sasangka Jati, bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Konstruksi manusia terdiri dari empat unsur, berupa sari api, tanah, swasana, dan air. Oleh karena diciptakan dari empat anasir yang ada dalam alam semesta makrokosmos (jagad gedhé), maka keadaan manusia yang terdiri dari empat anasir itu disebut sebagai jagad cilik (mikrokosmos). Jiwa manusia diisi dengan Roh Suci dan disertai dengan Suksma Sejati sebagai penuntun yang pada hakikatnya manunggal dengan Sang Suksma Kawekas (Soehadha, 2008: 114). Sularso Sopater (1987:66) menyebutkan, manusia terjadi dari cahaya kesatuan tri purusa yaitu Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh Suci, yang diberi pakaian sari dari anasir empat macam, yaitu hawa, api. air, dan tanah, yang lalu berupa bahan dasar kasar dan halus. Karena mempunyai empat anasir, sama seperti dunia besar yang telah dijadikan dari keempat anasir, maka manusia dapat disebut sebagai dunia kecil. Pandangan tentang tri purusa tersebut mirip dengan ajaran Kristen tentang tritunggal, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Roh Kudus. Pengutamaan keseimbangan manusia, alam semesta, dan Tuhan, merupakan jawaban atas persoalan dikotomi antara humanisme tradisional dan humanisme ekologi yang berkembang di Barat. Humanisme tradisional menekankan kemuliaan 109
Jawa Menyiasati Globalisasi
manusia, kemerdekaan manusia, kebesaran manusia, yang diproyeksikan ke dalam sifat khusus promethean (hanya bersifat satu dimensi dunia, yaitu mengunggulkan manusia di atas segala-galanya). Konsepsi manusia itu bergandeng tangan dengan ide pemanfaatan alam untuk tujuan-tujuan dan kebutuhan-kebutuhan manusia. Humanisme ekologi didasarkan pada premis yang sebaliknya; melihat manusia hanya sebagai bagian dari skema benda-benda yang lebih besar, yaitu alam. Tiap-tiap manusia merupakan anggota dari komunitas biotik lokal, dari berbagai komunitas manusia (Skolimowski 2004:74, Tucker, 2007:30).3 Di masa silam, ekologi dan humanisme telah menempuh jalan sendiri-sendiri dan masuk dalam ideologi-ideologi yang berbeda. Ekologi menitikberatkan pada masalah lingkungan alam yang rusak, adapun humanisme mengutamakan masalah kemanusiaan yang hancur. Cara pandang dikotomis tersebut
3 Humanisme ekologis (Skolimowski, 2004:76) menawarkan alternatif autentik kepada masyarakat industri dan menganggap bahwa: (a) Zaman yang sedang datang dilihat sebagai zaman pengurusan: kita di sini bukan untuk memerintah dan mengeksploitasi, melainkan untuk mempertahankan dan mentransformasi secara kreatif, dan untuk meneruskan obor evolusi; (b) Dunia dipahami sebagai suatu tempat perlindungan: kita adalah anggota habitat-habitat tertentu, yang merupakan sumber keberdayaan dan makanan spiritual kita. Habitat-habitat ini adalah tempat-tempat kita, seperti burungburung, tinggal sementara waktu; mereka adalah tempat-tempat perlindungan ketika orang, seperti burung-burung yang langka, perlu dipelihara. Mereka juga adalah tempat-tempat suci dalam pengertian religius: tempat-tempat ketika kita terpesona dengan dunia; tetapi kita juga adalah para pendeta tempat suci itu: kita harus mempertahankan kesuciannya dan meningkatkan kerohaniannya; (c) Pengetahuan dipahami sebagai suatu perantara antara kita dan daya-daya kreatif evolusi, bukan sebagai seperangkat alat yang kejam untuk mengatomisasi alam dan kosmos melainkan sebagai peralatan yang makin halus untuk membantu kita mempertahankan keseimbangan spiritual dan fisik kita dan memampukan kita untuk membiasakan diri pada transformasi-transformasi kreatif evolusi dan diri kita selanjutnya.
110
Humanisme Kejawèn
melihat bahwa seolah-olah masalah lingkungan dan masalah manusia merupakan dua hal yang terpisah. Berbeda dari cara pandang itu, humanisme kejawèn justru menyikapi masalah lingkungan dan masalah manusia sebagai dua hal yang kait-mengait. Kerusakan lingkungan alam akan mengakibatkan kehancuran kemanusiaan, sebaliknya kehancuran kemanusiaan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan alam. Humanisme kejawèn memandang eksistensi manusia dan relasi antarmanusia sebagai perwujudan kasih Tuhan; menjunjung tinggi eksistensi manusia dalam konteks ketuhanan (antroposentris-teologis). Keseimbangan relasi itu misalnya tercermin dari semangat memayu hayuning buwana; merawat dunia agar tetap baik bagi manusia yang menghuninya. Terdapat perbedaan pendekatan antara humanisme Barat dan humanisme kejawèn. Humanisme kejawèn berintikan ketajaman rasa, bersifat subjektif, deskriptif dan simbolik, berbicara mengenai cara orang mencapai kebijaksanaan (wisdom). Adapun humanisme Barat menggunakan pendekatan intelektual, lebih menitikberatkan pada pikiran, bersifat objektif, teoretik, abstraktif, definisi-definisi, sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan dan memengaruhi cara berpikir global. Berbeda dari humanisme Barat, humanisme kejawèn didasari tiga prinsip pokok, yaitu: sangkan paraning dumadi (asal muasal kejadian), manunggaling kawula lan Gusti (menyatunya manusia dan Tuhan), dan laku (olah rasa untuk mencapai pemahaman tentang sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti (Zoetmulder, 1990; Purwadi, 2006; Susetya, 2007).
111
Jawa Menyiasati Globalisasi
Sangkan Paraning Dumadi Dalam humanisme kejawèn, ajaran tentang manusia menjadi titik sentral, justru karena manusia menjadi pusat upaya olah kebatinan. Ajaran kebatinan muncul sebagai suatu manifestasi kerinduan manusia untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup, bukan hanya dalam arti keselamatan hidup di dunia, melainkan keselamatan abadi. Pertanyaan siapakah manusia, dari mana asalnya, dan bagaimana atau ke mana akhirnya (sangkan paraning manungsa) menjadi titik tolak pemikiran dan usaha kebatinan untuk mencapai kebahagiaan abadi. Ajaran ini terkait erat dengan sangkan paraning dumadi. Oleh sebab itu, seharusnya seseorang mengetahui hakikat hidup atau wikan sangkan paraning dumadi, pengetahuan mendasar mengenai asal-usul kehidupan dan orientasinya. Harapannya, manusia di muka bumi akan memahami jatidiri dan makna hidup (Sofwan, 1999:68). Bagi orang Jawa urip mung mampir ngombé, bahwa hidup ini bersifat sementara. Masih ada kehidupan setelah kematian yang dinamakan jaman kelanggengan. Untuk mencapai jaman kelanggengan itu manusia hendaknya mengutamakan amal kebaikan (Purwadi dan Djoko, 2008:2).
Sangkan paraning dumadi, oleh Mpu Kanwa dalam Kakawin Arjunawiwaha, disebut sang sangkan paraning sarat dalam konteks sembah Sang Arjuna kepada Syiwa.4
4 Dalam konteks filsafat ketuhanan, Mpu Kanwa menulis: “Meresap pada semua makhluk dan sari dari ajaran utama (parama tattwa), sungguh sukar bagi seseorang untuk menemukan Engkau; kehadiran-Mu dalam yang ada dan tiada, yang besar maupun yang kecil, baik maupun buruk; kelahiran, kehidupan, dan kematian Engkaulah penyebabnya; Engkau merupakan asal dan kembalinya segala yang ada; Engkau berwujud nyata maupun tidak nyata.”
112
Humanisme Kejawèn
Tuhan Yang Maha Kuasa adalah asal dan kembalinya seisi jagad. Tuhan pada hakikatnya Maha Suci, maka jiwa manusia yang sesungguhnya berasal dari Tuhan adalah juga suci nirmala. Dasar hidup manusia atau yang menghidupkan manusia adalah jiwa yang suci. Akibat perbuatan-perbuatan manusia sendiri, jiwa yang suci yang tersembunyi di dalamnya, dengan diselubungi oleh bekas-bekas perbuatan (karma), lalu keliru menyamakan dirinya dengan ahangkara, yang terwujud dengan perkataan “aku.” Tujuan hidup adalah membebaskan jiwa yang suci dari belenggu maya untuk manunggal kembali kepada Tuhan yang Maha Kuasa; sangkan paran (Wayan Supartha, 1994). Inti pengertian sangkan paraning dumadi, bahwa manusia harus mengerti dan memahami asal-usul sebagai manusia. Dengan mengerti dan memahami asal-usul itu, maka manusia diharapkan mampu memosisikan diri secara tepat dalam relasi dengan manusia lain, dengan alam semesta, dengan Yang Maha Kuasa. Pesan tentang asal-usul dan tujuan hidup selalu dipegang teguh oleh penganut kejawèn, antara lain tercermin dari tembang dhandhanggula karya Sunan Kalijaga: urip iku nèng donya tan lami, upamané jebèng menyang pasar, tan langsung nèng pasar baé, tan wurung nuli mantuk, mri wismané sangkané nguni, ing mengko aja samar, sangkan paranipun, ing mengko padha weruha, yèn asalé sangkan paran du king nguni, aja nganti kesasar.
Pesan mistik tembang tersebut adalah, bahwa hidup di dunia ini tidak lama, ibarat manusia pergi ke pasar, akan segera
113
Jawa Menyiasati Globalisasi
kembali ke rumah asalnya, karena itu jangan sampai ragu-ragu terhadap asal-usul, agar jangan sampai salah jalan. Manusia hidup di dunia sekadar singgah untuk minum (mampir ngombé), suatu ketika akan kembali pada Tuhan. Sunan Kalijaga juga mengajarkan tentang sangkan paraning dumadi dan kodrat manusia, seperti dalam tembang berikut ini: Sapa weruh kembang tepus kaki Sasat weruh reke artadaya Tunggal pancer sesantiné Sapa weruh ing panuju Sasat weruh pageré wesi Rineksa wong sajagad Kang angidung iku Lamun dipun apalena Kidung iku den tutug padha sawengi Adoh panggawé ala Lawan rineksa dening Hyang Widi Sakarsané rineksa déning Hyang rineksa ing jalma kabèh. Terjemahan tembang tersebut adalah: Siapa tahu bunga tepus, niscaya tahu makna artadaya, yang satu asal dengan hidupnya. Siapa tahu tujuannya, niscaya tahu pagar besi, yang dijaga manusia sedunia. Yang melantunkan kidung, jika kidung dihapalkan, jauhlah perbuatan jahat dan dijaga oleh Tuhan. Semua kehendaknya dikabulkan-Nya, juga dijaga oleh banyak orang.
Setiap manusia memiliki kesadaran akan kebutuhan untuk melangsungkan kehidupannya, melangsungkan keturunannya, kesejahteraan dan kebahagiaannya, dan kemurnian jiwanya. Kesadaran tersebut terdapat dalam diri manusia menurut nafsu dan hasratnya sesuai dengan kebutuhannya. Itulah kesadaran manusia yang berpangkal dari kebutuhannya, dan bertujuan mencari diri. Berpangkal dari kesadaran akan kebutuhan tiap manusia setiap hari melakukan usaha untuk 114
Humanisme Kejawèn
mencapai cita-citanya. Berusaha dan berkarya itulah kehidupan, Usaha dan karya manusia itu berbeda dalam tujuannya menurut tinggi-rendah nilai kesadarannya (Tanpoaran, 1988:28). Kesadaran yang menjadi pangkal usaha dan karya manusia adalah: 1. Kesadaran sebagai manusia: yaitu kesadaran menyadari kediriannya sebagai benda yang hidup, terdiri dari badan dan jiwa merupakan suatu pribadi yang berdiri sendiri, dan sebagai pribadi itu dia dikenal, dipuji, dan dibenci; 2. Kesadaran sebagai warga: yaitu menyadari kediriannya sebagai warga bebrayan (warga masyarakat), tempat sebagai pribadi tidak bisa dipisahkan; 3. Kesadaran sebagai kawula (hamba insan): yaitu menyadari kediriannya di hadirat Kang Murbèng Dumadi dalam perbandingan yang wajar bahwa kawula itu bukan apa-apa dan Gusti adalah segalanya; 4. Kesadaran sebagai sentana (keluarga): menyadari kediriannya sebagai ana dan bagian dari kahanan di dalam kehidupan yang gumelar dan menghidupi kahanan menurut yang ana; 5. Kesadaran sebagai purba (kuasa): menyadari kediriannya sebagai hak dan bagian dari hukum kehidupan yang ada dan menghidupinya sebagai kelangsungan hukum. Berkaitan dengan pandangan mengenai sangkan paraning dumadi tersebut, siklus kehidupan manusia Jawa sering disebut dengan istilah cokro manggilingan. Kehidupan ibarat roda yang berputar; kadang-kadang berada di atas, kadang-kadang di bawah, bahkan mungkin paling bawah. Semua berjalan sesuai dengan hukum alam yang berlaku. Orang Jawa menyebut nuting jaman kelakoné; bungah susah, bathi rugi, padhang peteng adalah warna-warni yang menghiasi kenyataan hidup 115
Jawa Menyiasati Globalisasi
sehari-hari. Antara satu orang dan orang yang lain saling melengkapi dan saling membutuhkan. Perubahan yang terusmenerus berlangsung itu disikapi orang Jawa dengan ungkapan aja gumunan, aja kagètan, lan aja dumèh. Itulah intisari ajaran cakra manggilingan, yang menguraikan tentang siklus kehidupan umat manusia (Purwadi, 2006; Susetya, 2007).
Manunggaling Kawula lan Gusti Otonomi manusia dalam kepercayaan mistik memang cukup unik. Otonomi di sini tidak berkaitan dengan orientasi pemikiran ilmiah dan kemampuan manusia untuk menguasai alam dan membebaskan diri dari setiap bentuk ikatan, melainkan berkaitan dengan penghayatan kejiwaan yang bersifat mistis. Kebebasan manusia untuk melepaskan diri dari setiap bentuk ikatan yang bersifat profan, agar dapat kembali bersatu dengan Tuhan yang merupakan sangkan paran hidup manusia. Kebebasan manusia dalam ajaran kejawèn dimulai dari upaya mawas diri untuk mengenal dan menguasai nafsu-nafsu. Upaya tersebut untuk mengambil jarak (distansi) dengan nafsu amarah, lauwamah, dan sufiyah untuk dapat menguasai diri dan membebaskannya dari penghambatan nafsu. Menghadapi kekuatan dari langit dalam penghayatan kejiwaan yang mistis harus bersikap pasif. Menghentikan segala perbuatan dan kemauan sendiri dan mengikuti saja atau mengambang (mengapung) dalam samudera ilahi. Penghayatan memuncak dengan hilangnya kesadaran terhadap eksistensi dirinya terhisap dalam samudera ilahi. Dalam ungkapan kejawèn disebutkan manungsa lir sarah anèng lautan, tidak punya sembah puji; sembah puji milik dan dari Tuhan. Dalam tasawuf diungkapkan melihat dengan Tuhan, mencium, merasa, dan berbuat dengan Tuhan atau karena Tuhan.
116
Humanisme Kejawèn
Dalam Wirid Hidayat Jati ungkapan itu diubah menjadi “Tuhan yang berbicara, mendengar, melihat, dan merasakan segala rasa dengan meminjam tubuh manusia.” Artinya, dzat Tuhan berada atau immanent dalam diri manusia. Oleh karena itu, manusia yang sempurna adalah yang telah menyatu dengan Tuhan, sehingga gerak geriknya laksana bayang-bayang Tuhan yang berada di depan cermin. Sebagai bayang-bayang berarti pada hakikatnya manusia tidak punya gerak sendiri, sebab gerakannya semata-mata berasal dari gerak Tuhan di muka cermin. Di sini manusia laksana wayang di atas panggung, dalanglah yang menggerakkannya. Konsep manunggaling kawula lan Gusti, oleh Syekh Siti Jenar digambarkan dengan ungkapan warangka manjing curiga. Intinya, roh ada di alam mitsal yaitu materi yang berada dalam rangka yang bermakna kekosongan yang manunggal dengan Allah. Seperti orang sembahyang (berdoa) yang telah menyatu dengan Tuhan yang disembah, tidak mencari wujud bagaikan warangka (rangka). Hilanglah tembaga ketika sukma mencapai tingkat kemuliaan memancarkan cahaya benderang bagaikan kencana. Ronggowarsito menyebut manunggaling kawula lan Gusti dengan istilah pamoring kawula Gusti (Mulkhan, 2004:176; Mahmudi, 2005:169). Pemahaman tentang manunggaling kawula lan Gusti mencerminkan transendensi dan imanensi. Bagi orang Jawa, Tuhan menciptakan manusia dan bersemayam dalam diri manusia. Manusia yang menyadari ketiadaannya, menyingkir, memberi tempat kepada Tuhan. Keadaan yang menggambarkan keadaan ekstasis itu diungkapkan: bagaikan lenyapnya bintangbintang di kolong langit bila disinari oleh matahari. Tapi, hal ini jangan disalahtafsirkan. Lenyapnya bintang-bintang tidak berarti bahwa mereka menjadi matahari. Orang Jawa tidak 117
Jawa Menyiasati Globalisasi
mengenal filsafat yang abstrak, yang dipelajari demi ilmu itu sendiri. Filsafat hanya berarti sejauh dapat merupakan pedoman bagi kehidupan religiusitasnya sendiri. Untuk praktik kehidupan itu kemampuan melihat Tuhan dalam segalanya teramat penting (Zoetmulder, 1990:107). Dalam Suluk Syeh Melaya disebutkan, apabila telah tahu manunggalnya hamba dengan Tuhan, bersama sukma segala yang dimaksud akan datang. Tempatnya ada padamu. Bagaikan wayang badanmu itu. Segala gerak-gerikmu dari dalang. Sebagai jagad raya adalah bentangan kelir (layar), bergerak bila digerakkan. Segala gerak, berkedip, dan melihat dari sang dalang (Dwiyanto, 2006:66). Konsep manunggaling kawula lan Gusti, secara teologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan Tuhan, secara sosiologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan sesama, dan secara ekologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan lingkungan (Purwadi, 2005:124). Penjelasan itu menggambarkan nilai-nilai humanisme kejawèn, bahwa di dalam manunggaling kawula lan Gusti tercakup dimensi-dimensi kemanusiaan, ketuhanan, dan lingkungan. Keseimbangan dalam relasi teologis, sosiologis, dan ekologis itu akan menentukan tingkat kebahagiaan hidup manusia. Harmo-nis dalam relasi manusia dan Tuhan, manusia dan sesamanya, serta manusia dan lingkungannya.
Manunggaling kawula lan Gusti merupakan penggambaran kedekatan manusia dengan Tuhan; hasil yang diraih orang yang benar-benar menjalani olah rasa, sehingga hidupnya selalu menjalankan perintah Tuhan. Manunggaling kawula lan Gusti bukan berarti menyatunya fisik manusia dengan Tuhan, melainkan menyatunya cipta, rasa, dan karsa manusia dengan
118
Humanisme Kejawèn
kehendak Tuhan. Acuan mengenai hal ini, tercermin dalam bait-bait dhandhanggula (macapat): Yèn weruh pamoring kawula Gusti, sarta Suksma kang sinedya ana, dé warna neng sira nggoné, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing ringgit, mangku panggung kang jagad, liré badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahé kumedhep myarsa ningali, tumindak lan pangucap. Kawisésa amisésa sami, datan antara pamoring karsa, jer tanpa rupa rupané, wus anéng ing sireku, umpamané paésan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma, wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa sajroning kaca. Terjemahan tembang tersebut adalah, bahwa kalau tahu pamoring kawula Gusti, serta sukma yang dituju ada, oleh warna padamu tempatnya, dirimu seperti wayang, dari dalang gerak wayang, padahal panggung itu jagad, seperti badan itu, bergerak jika digerakkan, pergerakannya tertatap mendengar melihat, bertindak, dan berkata. Sama menguasai dikuasai, tak antara pamoring karsa, memang tanpa rupa, sudah ada pada dirimu, umpama paésan jati, yang berkaca Hyang Suksma, wayang adalah, yang ada dalam kaca, yaitu dirimu nama manusia, rupa dalam kaca.
Dalam perspektif kaum sufi, penghayatan makrifat laksana seseorang di depan cermin yang melihat wajah Tuhan, sama dengan ketika ia melihat dirinya sendiri, yakni menjadi arif ”and realises that knowledge, knower, and know are One.” Dengan penghayatan antara yang mengetahui dan diketahui (Tuhan) adalah sama atau satu. Husein bin Mansyur Al-Hallaj mengatakan, ”Ana al Haqq” (”Aku adalah kenyataan tertinggi/ Kebenaran/Tuhan”). Dari pernyataan itu kemudian muncul segolongan kaum sufi yang menganut paham union mystic atau dalam Islam-kejawèn lebih dikenal dengan konsep manunggaling kawula lan Gusti. Paham tersebut dianut oleh Abu Yazid alBusthami, al Hallaj, Fariduddin al-’Athar, Ibnu al-Farabi, Abdul 119
Jawa Menyiasati Globalisasi
Karim al-Jili, Inayat Khan, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani. Hal itu merupakan inti dari ajaran dalam serat-serat suluk yang menjadi acuan bagi ilmu kejawèn (Simuh, 1999:27). Konsep manunggaling kawula lan Gusti dalam nuansa religius-spiritual dapat digolongkan ke dalam tiga tipe (Purwadi dalam Penghayatan Keagamaan Orang Jawa, 2002, seperti dikutip Wawan Susetya, 2007:107-108), sebagai berikut: 1. Tipe etis: perwujudan makna manunggaling kawula lan Gusti dengan harapan adanya manusia yang waskita dan susila. Harmonitas antara suara batin dan laku amalannya menjadi titik sentral orientasi darma bakti dalam kehidupan sosial; 2. Tipe kosmologis: terdapat kecenderungan kuat tentang olah lahir dan olah batin, yaitu peleburan diri ke dalam daya “kosmos universal” dan mengeliminasi individualitas. Tindakan untuk membe-baskan dari belenggu alam empiris materiil, menuju kondisi eksistensial transenden, sehingga tercipta kesatuan mutlak. Secara emanatif manusia dilukiskan sebagai percikan cahaya dan akan kembali ke asal muasalnya, sangkan paraning dumadi, yakni Dzat kosmos yang ilahi-adikodrati. 3. Tipe teologis: hampir sama dengan tipe kosmo-logis, tetapi menggunakan banyak istilah yang berasal dari kitab suci. Konsep manunggaling kawula lan Gusti terdapat pula dalam nasihat-nasihat Sri Kresna kepada Arjuna di Padang Kurusetra menjelang perang Bharatayuda, seperti disebut dalam Bhagavad Gita (Supardi, 1961:32). Pada Bab 21 sampai 24 Bhagavad Gita itu Kresna menasihati Arjuna sebagai berikut:
120
Humanisme Kejawèn
Sing sapa manasé wis ora makarti, sanadyan kagepok déning alaming kalahiran, lan kang sapa wus antuk pamarem ing dalem Dat, lan sawusé bisa dadi siji lan Brahma, sarana patrap panunggal, iya iku kang antuk kamulyan langgeng. Kasenengan kang anané saka gepokan lan kalahiran, iku tuking kasangsaran, awit ana wiwitané lan wekasané – hèh Panduputra – iku dudu kasenengané para wicaksana. Sing sapa kongsi bisa lumawan pamasésane pepénginan, lan kamurkan, prelu kanggo kamardikaning badan, – sujanma kang mangkono wus adil, yaiku kang diarani kamulyan. Sing sapa andarbèni kamulyaning batin, lan anduwèni kasenenganing batin, - sing sapa wus antuk pepadhanging batin, yaiku kang wus dadi siji (nunggal) banjur tumamèng nirwananing Brahma. Terjemahan bebas nasihat Kresna tersebut adalah: Barangsiapa sudah terbebas dari hawa nafsu, meskipun masih berhubungan dengan masalah duniawi, dan barangsiapa sudah merasakan senang bersama dan menyatu dengan Tuhan, ya itulah manusia yang menerima kemuliaan abadi. Kesenangan lahir adalah awal kesengsaraan, karena ada awal dan ada akhir, dan itu bukanlah kesenangan yang bijaksana. Barangsiapa bisa melawan nafsu dan keinginan, dan kemurkaan untuk kemerdekaan badan, akan mendapatkan kemuliaan. Barangsiapa memiliki kemuliaan dan kesenangan batin, dan sudah mendapatkan terang batin, dialah yang sudah menyatu dan dilindungi Tuhan.
Konsep manunggaling kawula lan Gusti juga terdapat dalam cerita Bima mencari air suci, tirta prawita sari, yaitu air kehidupan. Proses pencarian air suci itu, yang digambarkan dilakukan oleh Bima di dalam samudera, adalah proses pencarian manusia untuk mencapai tahap menyatu dengan Yang Maha Satu, tahap manusia manunggal kalayan Gusti. Ketika
121
Jawa Menyiasati Globalisasi
Bima masuk ke lubang telinga kiri Dewa Ruci, itulah tahap manusia mencapai manunggaling kawula lan Gusti. Makna dari cerita Dewaruci itu adalah, untuk mencapai
manunggaling kawula lan Gusti manusia harus melalui proses panjang dan berat. Intinya, proses itu adalah proses untuk menghilangkan ketergantungan pada hal-hal yang bersifat duniawi-materialistik menuju keheningan sejati di dalam Tuhan. Sepuluh watak yang harus dimiliki, dalam konteks cerita Dewaruci (Bratawijaya, 1997:62), adalah: kasih sayang kepada sesama manusia dan makhluk hidup sepenuh hati; tidak boleh berhasrat jahat; senantiasa bersikap ramah; tidak boleh membunuh apa pun; tidak boleh ingkar janji; tidak boleh mencela atau menceritakan keburukan orang lain; tidak boleh menghujat Hyang Widhi; tidak boleh mengumpat siapa pun; senantiasa berani karena benar; dan tidak boleh menentang kebijakan pemerintah. Manusia akan mampu manunggal jika telah mampu meleburkan diri ke dalam kebaikan, kejujuran, dan peran-peran kemanusiaan untuk melaksanakan perintah Tuhan (Roqib, 2007:167). Inti konsep manunggaling kawula lan Gusti yaitu, manusia memiliki otonomi untuk menentukan hidupnya sendiri, untuk berkembang dan membangun alam semesta, tetapi kebebasan itu berada dalam bingkai kekuasaan Tuhan. Kebebasan tersebut diperoleh justru karena manusia “menyatu” dengan Tuhan, sehingga Tuhan berkarya di dalam diri manusia. Hal ini dapat terwujud karena pada hakikatnya manusia adalah pangejawantahan Tuhan (Di dalam agama Kristen disebutkan “manusia diciptakan segambar dengan Allah”).
122
Humanisme Kejawèn
Manunggaling kawula lan Gusti tidak berarti meleburnya manusia menjadi sama dengan zat Tuhan (Mangoenprasodjo, 2003:19), seperti tercermin dari ungkapan sebagai berikut: Manungsa iku saka dating Pangéran; mula uga darbé sipating pangéran. Éwa semana manungsa iku bisa kadunungan dating Pangéran, nanging aja darbé pangira yèn manungsa mau bisa diarani Pangéran (Manusia berasal dari Tuhan; karena itu juga mempunyai sifat Tuhan. Sekalipun dapat mamunyai zat Tuhan, namun jangan beranggapan bahwa dengan demikian ia dapat disebut Tuhan).
Laku Untuk dapat memahami sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti, orang Jawa mengenal istilah laku. Laku lebih berupa olah rasa, dipahami sebagai ”praktik prihatin” atau melakukan syarat-syarat tindakan untuk mencapai suatu cita-cita (kesaktian, kekayaan, ketenteraman hidup, dan sebagainya). Pentingnya laku bagi manusia Jawa tergambarkan dalam Serat Wedhatamana (Mangkunagoro IV 1994:40): Ngélmu iku kelakoné kanthi laku lekasé lawan kas tegesé kas nyantosani setya budaya pangekesé dur angkara.
Secara harafiah, ungkapan itu berarti: Ilmu itu terlaksana kalau dijalankan dengan upaya batin, dimulai dengan kemauan, kemauan adalah penguat, budi setia penghancur angkara murka. Makna ngélmu berbeda dari ilmu. Ilmu adalah hasil dari otak manusia yang lebih didasarkan pada pembuktian-pembuktian ilmiah, adapun ngélmu mencakup hal-hal yang rasional maupun irasional, tidak harus diterima melalui akal, tapi juga rasa. 123
Jawa Menyiasati Globalisasi
Ngélmu sebagai kawruh (gnosis), yaitu bentuk spiritual yang tidak hanya mengandalkan intelektual, tetapi intuitif. Ilmu didasari akal, ngélmu mendasarkan pada seluruh organ tubuh (Stange, 2009). Hal itu tidak berarti bahwa ngélmu tanpa akal dan tidak ada yang rasional. Ngélmu pun ada yang melukiskan akal yang jelas dan transparan. Telah disadari oleh masyarakat Jawa, bahwa ngélmu mengandung sesuatu arti ajaran rahasia (esoteric) untuk pegangan hidup, didasari laku. Jalan ini, dalam tasafuw sering disebut tarekat. Tarekat dalam budaya spiritual Jawa dikenal sebagai bagian dari laku mistik kejawèn. Paradigma ngélmu sering dirumuskan dalam pengetahuan jarwadhosok (kérata basa atau othak-athik mathuk), yaitu angèl olehé ketemu (Endraswara, 2003:26). Upaya batin dilakukan melalui penghayatan rasa yang bersifat suprarasional dan/atau intuitif. Endraswara menyebutkan, dalam hal-hal tertentu, ngélmu justru diperoleh melalui indera keenam manusia. Atas dasar ini, maka ciri-ciri ngélmu antara lain: 1. Bukan merupakan aktivitas otak, melainkan rohani yang berusaha ke arah sangkan paraning dumadi; 2. Untuk nggayuh kasampurnaning dumadi (mencapai kesempurnaan manusia); 3. Menuju kelepasan, yaitu celak coloking Hyang Widi, momor pamoring Sawujud (menyatu dengan Yang Maha Kuasa); 4. Berbentuk ungkapan-ungkapan sepotong yang berisi lambang, kiasan utuh; 5. Diketahui dengan laku batin, penghayatan rohaniah; 6. Ngélmu kelakoné kanthi laku (setelah dijalankan);
124
Humanisme Kejawèn
7. Berdasarkan penghayatan, perasaan yang dilakukan sendiri (subjektif), didapat melalui tapa brata (mengurangi kesenangan duniawi); 8. Dijalankan dengan heneng (konsentrasi), hening (pikiran bening), dan héling (ingat Tuhan). Meskipun kata laku sering diterjemahkan sebagai perbuatan atau perilaku, namun tidak berarti sebagai tindakan sosial, yang berdampak luas pada masyarakat atau pada orang lain. Dalam konteks ini, laku bersifat pribadi, dalam bentukbentuk perilaku untuk mengurangi (atau menghilangkan) kehendak yang bersifat duniawi. Beberapa praktik laku misalnya berendam di sungai (biasanya pertemuan aliran beberapa sungai), puasa, mengurangi tidur (tetap terjaga sampai di atas pukul 00.00), pantang makanan-makanan tertentu, bertapa, dan sejenisnya. Pada umumnya laku berupa makin dikuranginya angkara murka, suatu keadaan semèdi yang membawa orang kepada keadaan: heneng, hening, hawas, héling (diam, jernih, awas, ingat) sebagai unsur-unsur persepsi kesadaran yang paling murni, yang digambarkan sebagai urubing dilah (nyala lampu) yang menthèr, yang tenang tetapi berisi getaran yang berfrekuensi tinggi, sebagai gambaran energi yang hakiki. Satu-satunya senjata yang dibawa dalam segala macam laku adalah waspada dan kesadaran pribadi (Purwadi, 2005:33). Lewat tapa (bertapa) misalnya, kekuatan badan diperlemah sehingga sikap dan perasaan terhadap sesama manusia berubah. Orang akan menjadi lebih sadar akan relativitas ekistensinya. Tapa tidak hanya mengurangi nafsunafsu tertentu dengan tidak kenal ampun, melainkan dengan penyederhanaan menyeluruh, mengurangi segala aktivitas badan. Aja wareg, nanging aja luwé, aja kakèhan melèk,
nanging aja kakèhan turu, mangkono sapituruté kang sarwo 125
Jawa Menyiasati Globalisasi
sedheng, aja kongsi keladuk utawa mung umbara-umbaran baé. Makna ungkapan itu adalah: Jangan kenyang, tapi juga jangan lapar, jangan kebanyakan melek, tapi jangan kebanyakan tidur, yang penting adalah lakukan yang sedang-sedang saja. (Astiyanto, 2006:101-130).
Kesimpulan Kejawèn merupakan implementasi kebudayaan Jawa. Ibarat kebudayaan Jawa itu samudera, maka kejawèn adalah gelombangnya. Dalam praktik, kejawèn dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok kebatinan, karena inti kejawèn adalah kebatinan, suatu gerakan yang menyelaraskan hubungan antarmanusia, manusia dengan alam lingkungan, dan manusia dengan Tuhan. Tujuannya adalah ketenteraman batin, kearifan individual. Para anggota kelompok-kelompok kebatinan tersebut adalah orang-orang yang oleh Geertz disebut sebagai golongan abangan. Meskipun mereka mungkin mengaku sebagai priyayi, namun sikap dan pandangan hidupnya lebih tepat dikategorikan sebagai abangan. Meskipun mengaku menganut agama tertentu, mereka tidak merasa terikat secara ketat oleh aturan-aturan agama. Dalam perkembangan, kejawèn selalu terpinggirkan di negerinya sendiri, tidak pernah diakui sebagai agama, bahkan sering dianggap ancaman bagi agama-agama (Hindu, Buddha, Islam, Kristen/Katolik, Konghucu), yang justru berasal dari luar Indonesia. Kemunculan dan perkembangan kejawèn dipahami sebagai reaksi terhadap agama-agama dan reaksi terhadap modernitas. Gerakan ini memandang agama-agama besar cenderung terjebak pada formalisme, dogmatisme, dan kebekuan 126
Humanisme Kejawèn
hirarkis. Reaksi-reaksi itu diperkuat oleh berbagai kesenjangan di antara ajaran dan tingkah laku, kotbah dan karya nyata, dogma dan moral. Sebagai reaksi terhadap modernitas, kejawèn berusaha mempertahankan budaya Jawa dari pengaruh budaya dari luar. Terjadi proses akulturasi antara Jawa dan agamaagama, didukung sifat sinkretis kejawèn. Humanisme kejawèn adalah cara pandang manusia Jawa terhadap nilai-nilai kemanusiaan didasari oleh sistem berpikir kejawèn, tidak terlepas dari pandangan tentang kosmologi, mitologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya. Humanisme kejawèn merupakan interpretasi manusia Jawa terhadap kehidupan manusia, merupakan intisari kejawèn. Terdapat tiga inti ajaran humanisme kejawèn, yaitu: sangkan paraning dumadi (asal mula kejadian), manunggaling kawula lan Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan), dan laku (olah batin untuk mencapai ketenteraman jiwa). Pemahaman orang Jawa tentang kemanusiaan tidak dapat dipisahkan dari mistik kejawèn. Karena mistik kejawèn tidak dilandasi dengan teologi melainkan teosofi, maka ngélmu menjadi penting.5 Konsep relasi manusia dengan Tuhan membedakan humanisme kejawèn dari humanisme Barat yang tidak mengakui kekuatan di luar manusia, bahkan tidak mengakui keberadaan Tuhan (ateis) atau tidak peduli Tuhan itu ada atau tidak ada (nonteis). Secara garis besar perbedaan antara 5 Dalam konteks filsafat ketuhanan, Mpu Kanwa menulis: “Meresap pada semua makhluk dan sari dari ajaran utama (parama tattwa), sungguh sukar bagi seseorang untuk menemukan Engkau; kehadiran-Mu dalam yang ada dan tiada, yang besar maupun yang kecil, baik maupun buruk; kelahiran, kehidupan, dan kematian Engkaulah penyebabnya; Engkau merupakan asal dan kembalinya segala yang ada; Engkau berwujud nyata maupun tidak nyata.”
127
Jawa Menyiasati Globalisasi
humanisme Barat dan humanisme kejawèn digambarkan dalam tabel (lihat Lampiran 3). Humanisme kejawèn memahami, bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta dan alam semesta merupakan bagian dari manusia. Pemahaman itu tercermin dari relasi keseim-bangan antara jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhé (makrokosmos). Jadi, kebudayaan Jawa, kejawèn, dan humanisme kejawèn merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan Jawa melahirkan kejawèn, kejawèn membentuk humanisme
kejawèn yang dilandasi oleh tiga ajaran utama: sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, dan laku. Tiga ajaran utama tersebut tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, karena saling mengait dalam proses mencapai ketenteraman batin, kearifan individual.
128