Humanisasi Generasi Bangsa Melalui Optimalisasi Peran Angklung Sebagai Media Pendidikan di Sekolah Rita Milyartini Dosen Jurusan Pendidikan Musik UPI Jl Dr. Setiabudi 229 Bandung - 081809363381
[email protected]
Pengakuan dunia terhadap keberadaan seni angklung telah dikukuhkan pada tanggal 16 November 2010 melalui Convention For The Safe Guarding Of The Intanggible Cultural Heritage. Singapura, Cina, Malaysia dan Thailand adalah negara-negara Asia yang giat mengembangkan angklung melalui pendididikan. Berdasarkan sejumlah penelitian, di Indonesia angklung lebih banyak digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler yang orientasinya pada pertunjukan seni atau lomba. Di sisi lain, muncul perilaku siswa sekolah yang semakin membudaya seperti kekerasan, ketidaksantunan, dan kekurang-perdulian terhadap lingkungan. Tulisan ini ingin menawarkan gagasan penggunaan angklung sebagai media untuk menyiapkan generasi bangsa yang lebih manusiawi. Optimalisasi peran angklung sebagai media pendidikan dapat digunakan untuk menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai budaya bangsa yang positif. Diharapkan muncul generasi bangsa yang lebih perduli terhadap sesama, peka terhadap lingkungan, dan mau bekerjasama untuk meraih cita-cita. Kata kunci: Angklung, media pendidikan, nilai budaya.
A. PENDAHULUAN Musik Angklung kini telah menjadi musik dunia yang dipelajari di berbagai negara. Kehadiran angklung di Thailand ternyata telah mencapai usia seratus lima tahun. Pada peringatan seratus tahun angklung di Thailand, diselenggarakan kerjasama pertunjukan angklung oleh Indonesia dan Thailand. Saat itu ada seratus anak dari empat sekolah memainkan angklung. Ada tari angklung oleh Patravadi Theatre troupe (Thailand). Pertunjukan angklung juga disajikan oleh Saung angklung Udjo (Indonesia), dan pertunjukan musik bambu lainnya. Surasak Jamnongsan dari Universitas Srinakharinwirot Bangkok, menyatakan bahwa “angklung kini adalah instrumen musik yang paling umum dimainkan oleh siswa sekolah di seluruh penjuru Thailand” (BBC 2009).
1
Perhatian Malaysia terhadap angklung juga amat besar. Pada 2013 Malaysia telah meminta Saung Angklung Udjo untuk melatih angklung di 250 sekolah taman kanak-kanak. Hasil pelatihan akan ditampilkan dalam upacara kenegaraan memperingati hari kemerdekaan Malaysia. Sam Udjo menjelaskan bahwa pemerintah Malaysia menyadari pentingnya angklung bagi pembentukan karakter, oleh karena itu mereka memutuskan mendidik anak-anak usia dini melalui angklung. Malaysia juga telah memiliki kebijakan terkait pengembangan pendidikan musik di tingkat pendidikan tinggi, yang secara eksplisit mencantumkan angklung dalam kurikulum. Currently, although the curriculum of tertiary music programmes at the undergraduate and postgraduate levels tend to follow the western educational patterns and systems, a unique feature of Malaysian music programmes is the inclusion of the traditional music components in the curriculum. Ensembles and performing groups, such as the gamelan, cak lempong, angklung, asli, keroncong and music of other Malaysian cultures provide opportunities for students to beexposed to various traditional genres. (Ministry of Higher Education Malaysia Putrajaya, 2010:8) Di Singapura angklung telah masuk dalam kurikulum seni pertunjukan di sekolah, bahkan negara ini menyelenggarakan festival internasional yang materinya antara lain festival angklung. Meta School salah satu sekolah dasar di Singapura, “pada 2003 mulai memasukkan angklung sebagai kegiatan ko-kurikuler, dan sekarang angklung telah menjadi salah satu aspek utama dalam kurikulum seni pertunjukan (performing arts curiculum)” (Ermah 2012). Pada 2005, dosen dan mahasiswa UPI juga diminta untuk melatih sejumlah sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan melatih angklung bagi orang jompo. Artinya perhatian besar telah diberikan pemerintah Singapura terhadap musik angklung. Pemerintah Cina juga memiliki perhatian besar terhadap angklung, karena pada 2013 mereka telah memesan angklung sebanyak 11.000 buah ke Saung Angklung Udjo (Sam 2013). Bila kita telusuri melalui internet, ada web site Jiemin Primary School - salah satu sekolah dasar di China yang grup angklungnya telah memperoleh “medali emas (2008 dan 2012), serta medali perak (2010) dalam Singapore Youth Festival untuk kategori Instrumental Ensembles” (TN 2013). Hal ini mengindikasikan upaya untuk berlatih angklung telah dilakukan secara intensif oleh sekolah tersebut. 2
Pada 3 Agustus 2010, diselenggarakan konferensi Internasional pendidikan musik ke 29 di Beijing China, dan ditampilkan musik angklung oleh The Music House Angklung salah satu grup musik dari Philipina. Surat kabar setempat People’s Daily online menulis catatan di bawah foto pertunjukan tersebut, bahwa angklung adalah alat musik tradisional yang terbuat dari bambu dan populer di Asia Tenggara. Saat itu angklung memang belum dilegitimasi sebagai instrumen yang berasal dari Indonesia. Hal ini merupakan salah satu fenomena yang menggelisahkan masyarakat Angklung di Indonesia, karena pada masa itu klaim tentang sejumlah kekayaan seni tradisional Indonesia oleh negara lain tengah marak. Untuk memperoleh pengakuan dunia bahwa angklung adalah musik Indonesia, pemerintah Indonesia atas dorongan masyarakat pecinta angklung segera melakukan upaya legitimasi dari Unesco. Melalui proses yang panjang pada 16 November 2010 angklung Indonesia diakui dan masuk prasasti UNESCO dalam daftar warisan budaya tak benda milik manusia the Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity. Apa yang dimaksud dengan Intangible Cultural Heritage? The Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage defines the intangible cultural heritage as the practices, representations, expressions, as well as the knowledge and skills (including instruments, objects, artefacts, cultural spaces), that communities, groups and, in some cases, individuals recognise as part of their cultural heritage. (UNESCO 2005) Bila diterjemahkan maka warisan budaya tak benda merupakan kegiatan, representasi, ekspresi, pengetahuan dan keterampilan yang disadari oleh masyarakat, kelompok maupun individu sebagai bagian dari warisan budaya. Ada beberapa pertimbangan mengapa Unesco mengakuinya yakni sebagai berikut: 1. Indonesian Angklung and its music are central to the cultural identity of communities in West Java and Banten, where playing the Angklung promotes the values of teamwork, mutual respect and social harmony; 2. Inscription of Indonesian Angklung on the Representative List could contribute to greater awareness of the importance of intangible cultural heritage and promote the values of cooperation, discipline and mutual respect that are at its core; 3. Safeguarding measures are proposed that include cooperation between performers and authorities at various levels to stimulate transmission in formal and non-formal settings, to organize performances, and to encourage the craftsmanship of making Angklungs and sustainable cultivation of the bamboo needed for its manufacture;
3
4. The nomination clearly demonstrates the broad participation of the communities both in safeguarding efforts and, through formal consultations, in the process of elaborating the nomination; 5. Indonesian Angklung is included in a national inventory maintained by the Centre for Research and Development of Culture of the Ministry of Culture and Tourism, and in several specialized inventories maintained by universities and Angklung associations (UNESCO 2005). Dari kutipan di atas kita melihat bahwa ada nilai budaya kerjasama, saling memahami dan keharmonisan sosial, dan disiplin yang begitu berharga dalam permainan angklung. Aspek ini perlu dilestarikan oleh karena itu keberadaan angklung sebagai instrumen maupun musiknya harus hidup dan berkembang di masyarakat. Keberadaan musik angklung di Indonesia, khususnya di Jawa Barat selayaknya menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dalam pendidikan musik pada sekolah formal. Pemberdayaan musik Angklung melalui pendidikan musik, penting dilakukan agar nilai-nilai budaya yang melekat pada kesenian angklung, dapat ditransformasikan dari generasi ke generasi. Secara historis kita dapat melihat bahwa perkembangan musik angklung tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa Barat. Musik Angklung yang semula digunakan sebagai bagian dari upacara ritual terkait padi (upacara sebelum menanam benih, upacara saat menanam padi, hingga memanen dan menyimpan padi di lumbung), berkembang menjadi musik untuk dakwah, musik untuk pendidikan, dan pertunjukan musik (Masunah dan dkk. 2003). Sebagian masyarakat Sunda masih menggunakan angklung “Sunda” (bukan berlaras diatonis) untuk upacara ritual padi, peringatan hari besar Islam, maupun peringatan hari kemerdekaan. Contohnya angklung Dog-dog Lojor di Sukabumi, angklung Badeng di Garut, angklung Sered di Tasikmalaya, dan angklung Reak di Sumedang. Sejalan dengan itu angklung Padaeng yang berlaras diatonis digunakan sebagai sarana pertunjukan seni hiburan, pariwisata dan dalam pembelajaran ekstra kurikuler di sekolah. Perkembangan fungsi seni angklung di masyarakat, juga diimbangi dengan inovasiinovasi angklung sebagai instumen musik. Bila angklung Sunda (buhun) yang digunakan dalam upacara padi bunyinya ‘nyalendro’ (mirip laras salendro), maupun melog (mirip pelog), maka bergeser menjadi angkung berlaras pentatonis (salendro, pelog bahkan madenda) dan diatonis. Perubahan laras dibarengi pula dengan perubahan bentuk fisik angklung. Kini kita dapat melihat ragam jenis angklung. Ada angklung bertabung dua, bertabung tiga, bahkan bertabung empat. Ada yang berbentuk kecil, sedang dan besar, bahkan ada yang berbentuk mini sebagai hiasan 4
tetapi dapat berbunyi seperti angklung lainnya. Di Saung Angklung Udjo bahkan kita dapat melihat angklung toel yakni angklung yang disususn sedemikian rupa, hingga tak perlu digoyang untuk memainkannya tetapi cukup ‘ditoel’ (disentuh). Perkembangan yang terjadi dalam instrumen musik juga seiring dengan perkembangan musik angklung. Musik angklung dalam upacara ritual padi biasanya bersifat ritmis dan memiliki pola irama yang diulang-ulang. Musik angklung yang dipakai sebagai sarana dakwah, mulai menggunakan aspek melodis, untuk mengiringi lagu-lagu bernafaskan Islami, dan dimainkan oleh para pria sambil menari (misalnya angklung Badeng di desa Sanding – Garut). Setelah alm. Bpk Daeng Soetigna menciptakan angklung diatonis, dan diperkenalkan di sekolah-sekolah, repertoar musik angklung menjadi semakin luas. Beragam musik yang memiliki sistem laras diatonis dapat dimainkan dengan menggunakan angklung. Demikian pula dengan angklung Udjo yang memiliki laras pentatonis, dapat memainkan ragam musik yang berlaras pentatonis. Fakta menjelaskan bahwa perkembangan musik angklung yang berlaras diatonis semakin hari semakin meluas, tetapi sebaliknya dengan musik angklung yang berlaras pentatonis. Kehadirannya di masyarakat kurang populer, termasuk di masyarakat Sunda/ Jawa Barat. Terdapat gejala masyarakat kita mudah menerima yang baru dan cepat mengesampingkan yang lama. Pendidikan musik di sekolah sepertinya kurang berperan dalam mengembangkan seni angklung. Pernah ada keputusan menteri pendidikan tahun 1966 tentang penggunaan angklung sebagai media pendidikan di sekolah. Namun pada saat ini amat sedikit sekolah yang memanfaatkan angklung dalam pembelajaran musik. Sejumlah sekolah yang memiliki angklung tidak dapat memanfaatkannya dengan baik, hingga kondisinya rusak dan tidak terawat. Memperhatikan kondisi tersebut, melalui tulisan ini kami ingin berbagi inspirasi agar angklung dapat dimanfaatkan lebih optimal dalam pendidikan musik di sekolah formal. Pemberdayaan angklung dalam pendidikan seni budaya khususnya musik di sekolah, diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti dalam rangka membangun karakter bangsa.
5
B. PEMBAHASAN 1. Nilai Budaya Permainan Angklung Dalam permainan angklung melekat nilai-nilai budaya yang merupakan akar tradisi masyarakat Jawa Barat. Marilah kita amati bagaimana situasi yang dialami seseorang saat ia belajar angklung. Saat pertama kali seseorang belajar angklung ia akan belajar bertanggung jawab untuk membunyikan satu nada. Ia perlu belajar bagaimana membunyikan angklung dengan cara mengamati contoh pelatih atau teman-temannya. Karya musik yang akan dipelajari harus dikuasai melodinya. Suatu melodi lagu biasanya terdiri dari beberapa buah nada, sehingga untuk menghasilkan satu rangkaian melodi seorang anak harus mendengar suara angklung teman yang memainkan nada lainnya. Proses ini membiasakan diri pada anak untuk menjadi pendengar dan penyimak yang baik. Mendengar dan menyimak sepenuh hati akan membawa seseorang pada kepekaan rasa batin yang mampu menggiringnya pada kemampuan memiliki tenggang rasa yang menjadi dasar bagi berkembangnya kemampuan interaksi sosial Proses belajar angklung didasari oleh nilai-nilai silih asah, silih asih dan silih asuh. Silih asah terjadi saat seorang anak berusaha untuk menjalankan tugasnya sebagai pemain angklung.Ia harus berupaya meningkatkan keterampilan menyimak dan memainkan angklung, agar dapat menghasilkan musik yang diharapkan. Silih asih terjadi saat seorang anak berusaha untuk mengingatkan temannya dengan cara yang baik, bila teman berbuat kesalahan. Silih asuh merupakan salah satu metode yang sering diterapkan pada permainan angklung dalam jumlah yang besar. Anak-anak yang belum bisa bermain angklung, biasanya akan memainkan angklung yang sama dengan teman yang sudah pandai, agar ia dapat memahami posisi nada yang dimainkan dalam konteks musik secara keseluruhan. Ia akan meniru cara memainkan, belajar memahami lambang notasi, dan kapan nada tersebut dibunyikan.
6
Diagram 1. Nilai-nilai Budaya dalam Pembelajaran Angklung Bermain angklung memerlukan latihan bersama yang rutin, sehingga terwujud perasaan estetis yang menyatukan hati para pemain dalam mewujudkan musik. Proses ini membantu seorang anak untuk merasakan kesatuan dan keterpaduan bunyi estetis. Bila berhasil memainkan sebuah karya bersama-sama dengan baik, maka akan muncul perasaan puas, bahagia sekaligus haru, Perasaan ini dapat memotivasi anak untuk terus bermain angklung. Perasaan bahagia yang dialami secarta bersama-sama dalam kelompok pemain musik angklung akan menumbuhkan rasa persatuan, sebagaimana sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Kekuatan ini akan lebih optimal bila guru dapat memilih bahan dan mengembangkannya dalam model pembelajaran angklung yang memacu tumbuhnya apresiasi terhadap budaya ragam, dan kreativitas pada diri siswa. Dalam permainan angklung, nilai budaya seperti silih asah, silih asih, silih asuh, kebersamaan, kerjasama/gotomg royong, dan saling menghargai merupakan nilai budaya yang
7
dialami, sehingga amat berpeluang menjdi nilai-nilai yang mempribadi. Oleh karena itu proses belajar angklung merupakan proses pembentukan karakter.
2. Model Pembelajaran Apresiasi melalui Permainan Musik Angklung Untuk memudahkan aplikasi pembelajaran angklung dalam kegiatan dalam pembelajaran musik di sekolah, berikut diusulkan salah satu alternatif model pembelajaran angklung yang dapat diterapkan di tingkat SMP maupun SMA.
Diagram 2. Model Apresiasi Musik melalui Musik Angklung Model pembelajaran ini dapat digunakan untuk mengembangkan apresiasi siswa terhadap ragam budaya nusantara bahkan mancanegara. Untuk musik yang menggunakan laras salendro, madenda, dan pelog sebaiknya digunakan angklung pentatonis Udjo, agar kepekaan laras tersebut juga dimiliki oleh siswa kita. Untuk musik yang menggunakan tangga nada diatonis digunakan angklung PaDaeng.
8
Sebagai ilustrasi berikut diberikan contoh bagaimana mengembangkan pembelajaran musik untuk mengapresiasi musik nusantara, dalam hal ini musik dari Sumatera Barat. Tahapan belajar dapat dikembangkan sebagai berikut. a. Tahap Pengalaman: Siswa belajar menguasai melodi bimbingan guru.
9
angklung dan syair lagu melalui
Ada delapan nada yang akan kita gunakan dalam bermain lagu Kampuang nan Jauh di Mato. Sebaiknya setiap nada dipegang oleh satu orang, kecuali jumlah pemain kurang dari tujuh orang. Siapkanlah angklung sesuai tabel 1 berikut ini, dan bagikanlah pada para pemain. Tabel 1. KAMPUANG NAN JAUH DI MATO (Tonalitas F Mayor / do = F) No Angklung
6 t
Notasi Angka Nama nada dalam notasi c1 balok Solmisasi Sol
8 y
11
13
15
16
18
20
1
2
3
4
5
6
d1
f1
g1
a1
bes1
c2
d2
la
do
re
mi
fa
sol
la
Lakukanlah latihan pemanasan terlebih dahulu, dengan menyanyikan solmisasi sambil memainkan angklung sesuai urutan nada di atas. Bila siswa telah menguasai notasi guru dapat membimbing mereka memainkan angklung sambil membaca notasi, namun bila siswa belum menguasai notasi, pembelajaran dapat dimulai dengan menggunakan metode imitasi menggunakan hand sign. Secara bertahap siswa juga belajar menyanyikan syair lagu Kampuang nan Jauh di Mato. Disarankan belajar menyanyi setelah siswa memiliki penguasaan baik terhadap melodi lagu tersebut. b. Tahap Penyadaran: Analisis hubungan melodi dengan makna syair. Terjemahan syair lagu Kampuang nan Jauh di Mato adalah sebagai berikut. Kampung halaman yang jauh di mata Kesengsaraan ada disekeliling Terkenang pada kawan-kawan lama Saat aku bersuling-suling (memainkan suling) Penduduknya yang baik Yang suka bergotong royong kalau susah sama-sama dirasa Aku teringat pada kampung Terkenang pada kampung halaman 10
Ibu ayah adik semuanya Serasa memanggil aku pulang Aku teringat pada kampung halaman. Syair lagu tersebut mengandung banyak makna. Mari kita pelajari gambaran budaya dan nilai budaya apa yang tercermin dari lagu ini. Dari judul lagunya kita dapat mengetahui bahwa lagu ini menceritakan perasaan rindu pada kampung halaman, karena ia berada jauh dari kampung halaman atau merantau. Mochtar Naim seorang ahli sosial yang mengkaji seluk beluk budaya dan masyarakat Minangkabau menjelaskan bahwa merantau merupakan salah satu ciri khas masyarakat Minangkabau. Apa makna dari kata merantau? “Dalam merantau terkandung beberapa pokok persoalan yakni : meninggalkan kampung halaman dengan kemauan sendiri, untuk jangka waktu lama atau tidak, dengan tujuan mencari penghidupan, pengetahuan atau pengalaman, bermaksud untuk kembali pulang” (Elfitra 2012, 1) Konsep merantau dapat kita pahami juga dari gerak melodi lagu Kampuang nan Jauh di Mato. Perhatikan notasi balok berikut.
Notasi 1. (Milyartini, 2013)
Pada frase pertama nada sol, do, mi bergerak dari bawah ke atas, dilanjutkan rangkaian nada turun ke bawah. Frase ke dua, nada sol, do, mi bergerak ke atas lebih jauh sampai sol tinggi, dan dilanjutkan lagi dengan gerak melodi menurun. Pola gerak melodi ke atas yang diikuti dengan gerakan menurun, mendominasi keseluruhan lagu. Hal ini mengisyaratkan pergi menjauh dan kembali sebagaimana konsep merantau yang dijelaskan Naim dalam Elfitra. Mengapa mereka merantau? Jawabannya pada syair “gunung sansai baku liliang” yang bermakna kesengsaraan ada disekeliling. Perhatikan bahwa struktur melodi pada syair ini juga berbentuk seperti gunung yakni bergerak naik dan turun. Interpretasinya kehidupan yang sangat sengsara ada di kampung halaman.
11
Bagaimana mengatasi kesengsaraan hidup? Dalam syair lagu dijelaskan bahwa orang Minang ramah dan suka bergotong royong dalam mengatasi situasi yang sulit. Cobalah nyanyikan melodi frase “Panduduaknyo nan elok, nan suko bagotong royong”. Gerak melodi naik mengisyaratkan semangat, dan perhatikan kesan akhir lagu yang berakhir pada nada re. Hal ini mengisyaratkan semangat bekerja bergotong royong yang tak pernah padam dalam mengatasi kesengsaraan.
Notasi 2. (Milyartini, 2013) Melodi pada syair “Panduduaknyo nan elok nan suka bagotong royong. Kok susah samosamo diraso” layaknya dinyanyikan bersemangat untuk bangkit dari kesengsaraan. Untuk mengatasi rasa sedih, para lelaki berkumpul sambil memainkan suling. Suling ini di Minangkabau disebut saluang. Berdendang sambil meniup saluang adalah kegiatan untuk melepaskan kedukaan. Perhatikan rangkaian nada pada syair “kawan nan lamo, sangkek bak suliang suliang”, terdapat pengulangan nada dan irama yang menyiratkan suara saluang dan kesan sedih.
Notasi 3. (Milyartini, 2013)
Bermain saluang, menjadi obat dari perasaan sedih. Menumpahkan rasa sedih dalam bentuk dendang (nyannyian) yang diiringi saluang dijelaskan oleh Zuriati berikut ini.
12
Ratok juga merujuk kepada irama yang terdapat dalam dendang saluang, yakni suatu bentuk tradisi lisan pendendangan pantun yang diiringi saluang.Dalam dendang saluang ini terdapat dua irama ratok: ratok Solok dan ratok Singgalang....Irama itu umumnya sentimental dengan pantunnya melankolis, berisikan kedukaan, sesuai dengannya, ratok, yang berarti ratapan (Zuriati 2007, 267) Laki-laki Minang tidak berhenti meratapi kesedihan dan kesengsaraan hidup di kampung halamannya. Mereka harus pergi merantau untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, dan akan kembali untuk membagi kebahagiaan hidup pada keluarganya di kampung halaman. Ciri individu perantau dijelaskan antara lain “ punya keyakinan diri yang tinggi, bertindak/berpikir rasional, luwes dalam bergaul, dan memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi (pekerja keras)”. (Elfitra 2012, 2). Ciri-ciri tersebut terbukti telah menempatkan orang Minang dalam kehidupan yang lebih baik. Kita lihat di seluruh pelosok tanah air kesuksesan orang-orang Minang. Di mana-mana banyak rumah makan Padang/Minang, demikian pula pedagang tekstil di seluruh pelosok tanah air didominasi oleh orang Minang. Putra-putri Minang banyak yang berhasil menempuh pendidikan tinggi, dan sukses sebagai ahli di berbagai bidang kehidupan. c. Tahap Penguatan: Penghayatan Nilai Budaya Tidak putus asa dalam mengatasi penderitaan, mau bekerja keras untuk meraih kesuksesan, saling bergotong royong dalam menghadapi kesulitan, cinta kampung halaman, sanak dan saudara adalah sebagian nilai-nilai budaya yang dapat kita pelajari dari lagu Kampuang nan Jauh di Mato. Nah marilah kita nyanyikan lagu tersebut dengan penuh penghayatan, diiringi angklung. Bergotong royong dan bekerja keras tidak hanya dilakukan saat kita sengsara. Bergotong royong dan bekerja keras telah kita lakukan bersama dalam bermain angklung bukan? Kalau kita tidak bekerjasama lagu Kampuang nan Jauh di Mato tidak akan mampu menyentuh hati pendengarnya. Mau bukti? Coba sekarang angklung no 16. dan 20 tidak usah dimainkan. Bagaimana hasilnya? Suara melodi menjadi tidak lengkap dan tidak terangkai baik satu sama lain. Pelajaran apa yang bisa kita dapatkan? Pertama, diperlukan kerjasama dan gotong royong dalam bermain angklung. Kedua, setiap angklung betapapun sedikit perannya, namun ketiadaannya akan berdampak pada keseluruhan lagu, hal ini bermakna kita perlu menghargai siapapun dalam bergotong-royong. 13
Setelah mempelajari makna lagu dan nilai budaya dari masyarakat Minang mari kita mainkan kembali angklung sesuai makna lagu yang telah kita pelajari. d. Refleksi: Kegiatan bermain angklung, bernyanyi, menganalisis dan menghayati nilai budaya pada lagu Kampuang nan Jauh di Mato, telah kita lakukan. Nah cobalah isi tabel berikut ini, apakah nilai-nilai budaya tersebut pernah kita lakukan?
Tabel 3. Refleksi diri Nilai Budaya
Pernah
Tidak Pernah
Gotong Royong Menghargai orang lain Menyayangi orangtua Menyayangi sanak saudara Bekerja keras
Menjadi manusia yang baik juga perlu kerja keras. Perilaku apa yang akan dilakukan untuk mewujudkan nilai budaya ini dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhana bila sebelumnya rumah kita terkesan tidak rapih karena kita meletakkan barang-barang pribadi di mana-mana. Sekarang kita bisa mulai bergotong-royong menjaga kerapihan rumah dengan meletakkan barang pribadi di kamar tidur kita. Isilah tabel berikut sebagai rencana untuk mewujudkan nilai budaya tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari. Isilah sesuai keikhlasan dan kemungkinannya untuk diwujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai perbandingan coba lihat tabel yang telah diisi oleh Neneng berikut ini. Setelah itu cobalah isi tabel 2.4 Tabel 2.3 Nama: Neneng Sri Indah Nilai Budaya
Bergotong Royong
Menghargai Orang Lain
Rencana Kegiatan
Menyimpan Antri dengan tas sekolah di baik saat kamar belanja di supermarket
Menyayangi Orang Tua Menolong ayah mengkunci pagar rumah
14
Menyayangi Sanak Saudara Mengajak adik bermain
Bekerja Keras belajar matematika setiap hari 30 menit.
Tabel 2.4.
Nama: .......................................... Nilai Budaya
Bergotong Royong
Menghargai Orang Lain
Menyayangi Orang Tua
Menyayangi Sanak Saudara
Bekerja Keras
Rencana Kegiatan
Uraian di atas dimaksudkan sebagai usulan bagaimana mengatasi budaya kekerasan, ketidakperdulian terhadap lingkungan dan ketidak santunan yang berkembang di kalangan para pelajar. Terkikisnya nilai budaya bangsa perlu disikapi dengan upaya nyata dalam pembelajaran di sekolah. Penyadaran nilai budaya melalui kegiatan bermain musik angklung diharapkan mampu memotivasi siswa untuk mengembangkan kepribadian yang luhur, sebagaimana mereka pelajari dari budaya masyarakat Indonesia dari ragam suku bangsa. C. KESIMPULAN Optimalisasi peran angklung sebagai media untuk membangun karakter bangsa perlu dikembangkan melalui praksis pendidikan yang terencana, dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Kandungan nilai budaya yang terdapat dalam permainan musik angklung, akan memiliki kekuatan untuk memahami nilai budaya lain bila guru mampu mengoptimalkan peran angklung sebagai media pendidikan karakter. Proses dehumanisasi generasi akibat kompleksitas permasalahan globalisasi, dapat ditanggapi melalui upaya humanisasi generasi di sekolah.
15
Contoh Silabus Apresiasi musik untuk Kelas VII SMP Standar kompetensi Mengapresiasi karya seni musik
Kompetensi dasar Mengidentifikasi jenis lagu daerah setempat
Indikator
Materi
1.
Kampuang Nan Jauh di Mato
2.
3.
Menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan lagu daerah setempat
1.
2.
3.
Siswa mampu mengidentifikasi jumlah dan nama nada yang digunakan Siswa dapat mengidentifikasi jenis pola irama dalam lagu yang dimainkan Siswa dapat mengidentifikasi bentuk lagu yang dimainkan Siswa mampu memberikan tanggapan terhadap makna syair lagu yang dipelajari Siswa mampu menghubungkan karakter musikal dengan makna syair Siswa mampu menyajikan lagu yang dipelajari melalui permainan angklung dan lagu, sesuai interpretasi.
16
Tahapan pembelajaran 1. Pengalaman: Bermain musik angklung+ menyanyikan lagu daerah 2. Penyadaran : Analisis syair dan melodi 3. Penguatan: memainkan angklung dan menyanyikan kembali dengan ekspresif 4. Refleksi: klarifikasi nilai dengan angklung
evaluasi 1.
2.
3.
Evaluasi produk terhadap ha evaluasi unjuk kerja terhadap penyajia n musik angklun g evaluasi diri untuk menilai tanggap an individu terhadap pengala man belajar.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, Khairil. Makna Interaksi Sosial Pada Satra Bagurau di Minangkabau- Analisis Semiotik. Padang: Universitas Andalas, 2006. BBC. Seabad Angklung Tiba di Thailand. 13 April 2009. http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2009/04/090413_centennaryangklung.shtml (diakses March 22, 2012). Elfitra. “Mochtar Naim Sosok Manusia Perantau.” Padang Today Minangkabau di Dunia Maya, 23 Desember 2012: 3. Ermah, Siti. Metta School. 2012. http://www.mettaschool.edu.sg (diakses May 15, 2013). Masunah, Juju, dan dkk. Perbandingan Lima Jenis Angklung di Jawa Barat. Bandung: P4ST UPI Bandung, 2003. Sam. Membumikan Angklung melalui Pendidikan Nasional. makalah, Bandung: Yayasan Saung Angklung Udjo, 2013. TN. Jiemin Primary School. 2013. http://www.jieminpri.moe.edu.sg/ (diakses May 15, 2013). UNESCO. “Definition of Intangible Heritage.” UNESCO. org. 2005. (diakses Mei 14, 2013). Zuriati. “Nazam Ratap Fatimah: Dari Rumah Duka ke Surau.” Sari 25 (2007): 263-278.
BIODATA SINGKAT Dr. Rita Milyartini, M.Si. adalah dosen di Jurusan Pendidikan Musik Universitas Pendidikan Indonesia. Alumni Jurusan Pendidikan Musik IKIP Jakarta (1987), Kajian Wilayah Amerika UI Jakarta (2001), dan Jurusan Pendidikan Nilai UPI Bandung (2012).
17