1 HUKUM KEWARISAN KHI1 (Oleh : Drs. H. Habiburrahman, SH., S.IP., M.Hum.) MUQADDIMAH بسن اهلل الرحمن الحين االحمد هلل ربّ العالمين و الصالة و السالم على أشرف األنبياء و المرسلين و على اله و صحبه أجمعينز Setahun menunggu akhirnya saat yang dijanjikan datang jua. Penulis telah diingatkan oleh Tuada Uldilag agar mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang lebih berat dalam seminar tanggal 19 Februari 2010 di Jakarta, tapi karena satu dan lain hal rencana tersebut tertunda dan baru ada kesempatan pada saat ini. Sebagai media antara, penulis mencoba menggugah teman-teman dan shahabat melalui tulisan yang dikirimkan kepada Ketua PTA seluruh Indonesia, ternyata diskusi seperti itu kurang efektif, mudah-mudahan dalam kesempatan Rakernas MA-RI saat ini kami mendapat masukan yang berharga dari bapak/ibu/saudara sekalian. Terima kasih kepada Bapak Drs. H. Andi Syamsu Alam, Tuada Uldilag yang masih mempercayai kami menyuguhkan makalah tentang Hukum Waris Islam dalam kesempatan ini, mudah-mudahan Allah meridhai pertemuan kita ini. Ide rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia ini timbul setelah lebih dari 18 (delapan belas) tahun hakim pada peradilan agama menjadikan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) sebagai 'Buku Rujukan' dalam menyelesaikan sengketa di antara masyarakat Muslim pencari keadilan di Indonesia, di bidang: Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan. Sejak semula tujuan penyusunan KHI adalah untuk mempersatukan persepsi, pola pikir dan pola pandang hakim pada peradilan agama, dalam rangka penyelesaian sengketa tersebut, agar para hakim tidak 1
Makalah bahan diskusi Tim-E Mahkamah Agung-RI, dengan Pejabat eselon I dan II MA, Ketua, Wakil Ketua, dan Pansek PTA seluruh Indonesia, dalam Rakernas MA, tanggal 12 Oktober 2010, di Balikpapan Kaltim.
2 lagi meruju' kepada kitab-kitab fiqh dari berbagai madzhab, yang hanya akan mengakibatkan terjadinya disparitas produk hakim untuk perkara yang sama. Persepsi yang tidak seragam tentang syari'ah akan dan sudah menyebabkan hal-hal: (1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (mâ anzalallâh), (2) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari'at itu (tanfidziyah), dan (3) Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-undang Dasar 1945, dan perundang-undangan lainnya.2 Cita-cita luhur mempersatukan persaepsi hakim melalui KHI, dalam implementasinya justru telah terjadi disparitas putusan dalam kasus yang sama, misalnya: Pasal 185 tentang ahli waris pengganti, sebagian hakim menolak adanya ahli waris pengganti dengan alasan sewaktu pewaris meninggal, KHI belum lahir3, ada juga yang menerima secara terbatas, yaitu sebatas cucu saja (misalnya di kalangan hakim wilayah PTA Jawa Timur), ada pula hakim yang tidak terbatas sampai cucu saja, bahkan hingga lapis keempat, piyut atau canggah dapat ditetapkan sebagai ahli waris pengganti, seperti kasus dimana Pewaris meninggal sekitar tahun 1930 - 1939. Juga dalam putusan mengenai anak angkat, ada hakim yang langsung memberikan bagian wasiat wajibah 1/3 dari harta warisan, ada yang menyamakan dengan bagian anak kandung; ada yang tidak boleh sama dengan apa yang didapat oleh anak kandung maupun ahli waris lainnya, atas dasar lebih mengutamakan ahli waris. Begitu pula putusan atas kasus anak yang murtad, ada hakim yang tidak memberi bagian, ada pula yang memberi bagian wasiat wajibah di bawah nilai bagian anak 2
Amrullah Ahmad, et. al., Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: PP. IKAHA Jakarta, 1994), h. 14. 3 Asas legalitas: "Pengadilan mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Pasal 4 ayat (1) UU. No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata, Jakarta: PP. IKAHI, h. 10. menyatakan: Asas legalitas dapat dimaknai 'hak perlindungan hukum' dan sekaligus 'hak persamaan hukum'. Muchsin: "hukum tidak dapat berlaku surut". Dalam hal Pewaris meninggal dunia sebelum lahirnya KHI.
3 yang Muslim, dan ada hakim yang memberi bagian sama dengan anak Muslim. Kenyataan seperti ini menurut penulis, jauh lebih baik meruju' justru kepada kitabkitab Fiqh yang mendasarkan pendapat para Ulama Mujtahid tersebut kepada nash alQurân dan Hadits, dari pada KHI yang sepenuhnya bersandarkan pemikiran.4 Di hadapan hakim peradilan agama, baik dalam kelas Diklat MA-RI, pelatihan di daerah, seminar, dan sebagainya, penulis sampaikan kritikan terhadap beberapa pasal hukum kewarisan KHI tersebut, sebagian hakim dapat menerima kritikan penulis terhadap pasal-pasal KHI dan ada yang menentang keras, khususnya ketika penulis mengungkap sosok Hazairin yang menggagas adanya ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam... Masalah pokok yang diangkat dalam makalah ini adalah: mengapa ketentuan tentang ahli waris pengganti yang tidak pernah ada di dalam Kitab-kitab Fikih Ulama Mujtahid, dapat diterima oleh Ulama Indonesia sehingga menjadi salah satu pasal dalam KHI ? dan apakah pasal yang sangat kontroversial tersebut dapat dikategorikan penyusupan teori Receptie Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven ke dalam tubuh KHI ?; hal inilah yang akan penulis coba ungkapkan dalam pertemuan kali ini. Dalam makalah terdahulu sepintas kilas sudah ada beberapa ungkapan untuk tujuan yang sama, makalah ini hanya sebagai pelengkap saja, mengemukakan beberapa hal yang belum penulis sampaikan dalam makalah yang lalu.
4
, Taufiq, Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris, Red Top Panitia Seminar Nasional, 2010, beliau menulis dalam makalahnya antara lain: Para sarjana hukum yang dalam seminar KHI dipelopori oleh KH. Khalid, SH. dan Yahya Harahap, SH., keduanya menjabat Hakim Agung, berpendirian bahwa anak-anak dari anak perempuan pewaris merupakan waris pengganti mawali dari ibunya, sesuai dengan ajaran kewarisan bilateral dari Prof. Dr. Hazairin yang sejajar dengan ajaran kewarisan aliran Syi‘ah. Menurut beliau ayat 7 Surah An-Nisaa‘ telah menghapus sistem kewarisan Hukum Adat Arab pra Islam yang bersifat unilateral patrilineal. Maka cucu-cucu keturunan anak perempuan atau anak laki-laki, menduduki ibunya atau bapaknya yang meninggal lebih dahulu, sebagai waris pengganti sebagaimana dimaksud oleh ayat 33 Surat An-Nisaa‘;
4 KHI dalam Perspektif Qanun atau KHI dari Segi Formil Peraturan Perundangundangan Qanun adalah peraturan perundang-undangan.5 Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 20046 (1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Instruksi Presiden (INPRES) tidak termasuk dalam susunan peraturan perundang-undangan. KHI yang diberi wadah dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 sebagaimana disebutkan di dalam ―Sejarah KHI‖ jelas menunjukkan, bahwa KHI bukan aturan hukum setingkat peraturan perundang-undangan. KHI adalah hukum tidak tertulis, tetapi dihimpun dalam sebuah buku, oleh karena itu untuk menghindari salah paham, sebaiknya KHI ditulis tidak dengan ―pasal-pasal‖ (apalagi dengan ―Buku, Bab, dan Bagian‖) tetapi cukup dengan angka Arab, yang berurutan dari nomor 1, 2, 3, 4, dan seterusnya sampai selesai.7 Lebih lanjut Attamimi mengatakan, bahwa inpres hanya berlaku untuk suatu keperluan khusus, seperti Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tersebut isinya adalah Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI; begitu Menteri Agama mencetak dan menyebarluaskan Buku KHI tersebut, maka berakhirlah instruksi tersebut.
5
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 1 angka 21. UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 7 A. Hamid S. Attamimi, 1996, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani, Cet. I, hlm. 154. 6
5 Moch. Koesnoe menyatakan: ―Meskipun KHI berdasarkan Instruksi Presiden kepada Menteri Agama, kedudukan KHI menurut Sistem Hukum Nasional, tetap sebagai suatu karya dari perorangan, dan bukan merupakan peraturan resmi yang keluar dari instansi pemerintah, lebih-lebih bukan suatu undang-undang atau dengan kata lain KHI tidak mempunyai kedudukan sebagai sesuatu aturan hukum tertulis di dalam sistem hukum nasional‖. Sedangkan tinjauan dari segi yuridis substansiil atau disebut juga sebagai tinjauan yuridis materiil, bahwa Sistem Hukum Nasional yang berlandaskan kepada filsafat Pancasila dan UUD 1945 menganut ajaran, bahwa dalam menafsirkan sesuatu pasal perundang-undangan, harus dipahami dengan sungguhsungguh suasana kebatinan menurut istilah dalam bahasa Jerman ‗geistliche hintergrund‘ dari perundang-undangan tersebut. Di dalam bidang ilmu hukum positif, yang mengakui dan mengajarkan hukum tertulis dan tidak tertulis, kedudukan KHI dapat dilihat sebagai apa yang disebut sebagai ‗comunis opinio doctorum‘ artinya dilihat dari segi substansiil, KHI belum dapat dikatakan sebagai suatu hukum tidak tertulis dalam tata hukum nasional, loka karya para ulama dan pakar Hukum Islam (hanya dapat dianggap sebagai Ijma’ Ulama dan Pakar Hukum Islam Indonesia).8 Secara formil KHI yang lahir atas dasar tujuan mulia pejabat-pejabat pada Mahkamah Agung RI dan Departemen Agama RI (sekarang Kementerian Agama RI) serta Tokoh Ulama terkemuka di Indonesia tersebut, yaitu guna keseragaman rujukan hakim-hakim pada peradilan agama dan telah diberi landasan pemberlakuan dan penyebarluasannya dengan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 diakui sebagai karya agung dan luhur. Dalam konsideran menimbang antara lain dinyatakan bahwa Alim Ulama Indonesia dalam loka karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 8
Moch. Koesnoe, 1995, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasinal, Jakarta: Indah Grafika, Dikutip oleh Majalah Varia Peradilan Nomor 122, November 1995.
6 Februari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Atas dasar itu pulalah kita menyambut dengan suka cita dan bangga buah karya Alim Ulama Indonesia tersebut.9 Ulama adalah sosok panutan yang amat disegani di kalangan umat Islam – uraian lebih rinci baca makalah terdahulu yang telah dikirimkan oleh assisten kondinator TIM – E kepada Ketua-ketua PTA seluruh Indonesia Opini masyarakat dan hakim-hakim pada peradilan agama telah terbentuk dan tertata rapi, telah berjalan dengan baik selama 19 (sembilan belas) tahun, tentu suatu hal yang tidak mudah mengubah dan merekonstruksinya. Sebagaimana keadaan yang selama ini terjadi dan merupakan aksioma dunia, bahwa ―POLITIK HUKUM‖ merupakan tonggak utama lahirnya hukum atau adanya perubahan hukum. Meskipun demikian, sebagai peduli hamba Nya yang dla'if ini dengan didorong oleh keyakinan, bahwa 'yang haq pasti menang dan yang batil pasti hancur'10, bahwa lebih mengedepankan nash dari pemikiran Hazairin dan kawan-kawan/pendukungpendukungnya, yakinlah Allah akan ridha dunia-akhirat.11
KHI dalam Perspektif Fikih atau KHI dari Segi Hukum Materiil Waris menurut Al-Qur‘an dan Hadis ditetapkan oleh syariat bukan oleh pemilik harta, dengan pengecualian adanya hak pemilik yang berkeinginan berwasiat maksimal sepertiga dari harta yang ditinggalkannya, bila yang bersangkutan memiliki 9
Departemen Agama, 2004, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum, hlm. 303. 10 QS. [17]: 81 11
QS. [89]: 27-30. * * * *
7 harta yang banyak (
.- khoiran oleh Ulama Tafsir diartikan harta yang
banyak). Selanjutnya ia berhak menentukan kepada siapa yang dinilainya membutuhkan atau wajar diberi selain dari yang berhak menerima warisan. Akan tetapi, wasiat itu tidak boleh dilaksanakan bila bermotifkan maksiat atau mendorong berlangsungnya kemaksiatan.12 Harta warisan yang ditetapkan Allah pembagiannya itu diberikan kepada kerabat terdekat, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar. Anak mendapat bagian yang lebih banyak dari lainnya karena mereka merupakan pelanjut dari orang tuanya. Selain anak, masih ada yang berhak menerima seperti: ibu, nenek, bapak dan kakek walaupun dalam jumlah yang kecil. Dalam hal pembagian diperhatikan juga sisi kebutuhan. Atas dasar ini pula, maka bagian anak menjadi lebih besar sebab kebutuhan mereka lebih banyak dalam rangka menghadapi kehidupan yang lebih panjang. Pertimbangan kehidupan ini pula yang menjadikan perempuan mendapatkan separuh dari bagian laki-laki sebab kebutuhan lelaki lebih besar seperti tuntutan memberi nafkah kepada anak dan istri. Hal ini sesuai dengna fitrah manusia di mana wanita bertanggung jawab mengatur rumah tangga dan mengasuh anak, sedangkan lelaki bekerja mencari nafkah di luar rumah dan menyediakan anggaran kebutuhan rumah tangga. Demikian keadilan diukur dengan kebutuhan, karena bukanlah keadilan apabila keduanya diperlakukan sama sementara tuntutan kebutuhan dan kewajiban masing-masing berbeda. Ketentuan pembagian warisan ini adalah distribusi bukan monopoli, sehingga harta warisan tidak hanya dibagikan kepada anak sulung saja atau laki-laki saja atau anak-anak pewaris saja. Bahkan hak waris bisa merata dalam satu suku meskipun
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati Jakarta. 2007), jil. I, hlm. 370.
8 dalam praktiknya diutamakan dari yang terdekat. Hampir tidak pernah terjadi harta warisan diterima oleh satu orang saja.13 Wanita tidak dihalangi menerima warisan, tidak seperti yang terjadi dalam masyarakat Arab jahiliyah, Islam menghargai wanita dan memberikan hak-haknya secara penuh. Bahkan hukum waris ini memberi juga bagian warisan kepada kerabat pihak perempuan seperti saudara lelaki dan perempuan dari ibu.14 Hal ini merupakan penghargaan terhadap perempuan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kecuali ketika Islam datang. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami perkembangan hukum waris sejak masa Rasulullah SAW sampai timbulnya beberapa penafsiran yang berbeda dalam hal kewarisan, seperti dalam konteks pandangan para mujtahid imam mazhab, perbedaan mereka tidak pada masalah prinsip. Berkaitan dengan fenomena yang muncul di Indonesia, perlu juga dicermati bahwa beberapa pandangan ahli hukum yang menafsirkan ayat-ayat waris yang menyentuh permasalahan prinsip hukum waris Islam semisal Hazairin perlu dikritisi dengan saksama. Selain hal itu pula, pandangan-pandangan yang mengkritisi hukum waris Islam yang baku secara prinsip seperti yang dibakukan di dalam KHI yang masih perlu dicermati bahkan dikaji ulang dalam beberapa hal tentang kewarisan Islam. Kompilasi atau compilation (Inggris): Penyaringan dan dibukukannya undangundang menjadi suatu keutuhan.15 Dengan demikian KHI adalah himpunan ketentuan Hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. KHI bukanlah peraturan perundang-undangan, bukan hukum tertulis meskipun ia dituliskan, bukan undang-
13
Ibid., hlm. 371. Ibid. 15 Ranuhandoko, I.P.M., Terminologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), cet. ke-2, hlm. 14
149.
9 undang, bukan peraturan pemerintah, bukan keputusan Presiden, dan lain-lain. KHI menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menelusuri norma-norma hukum bersangkutan apabila diperlukannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan.16 KHI adalah Fikih Indonesia yang berisi 3 (tiga) buku hukum, yaitu: Buku tentang Perkawinan, Buku tentang Kewarisan, dan Buku tentang Perwakafan. Perbedaan antara Fikih dan KHI, bahwa khusus bidang Hukum Kewarisan KHI, tidak lagi mencantumkan beda agama penghalang mendapat warisan (mawâni' al-irts), ada ahli waris pengganti, anak perempuan dapat menghabisi harta warisan, tidak ada lagi hâjib-mahjûb, disusun layaknya.hukum perundang-undangan dan lain-lain.
Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Islam Dalam Kitab-kitab Fikih Ulama Mazhab tidak pernah dikenal istilah ahli waris pengganti, pencetusnya adalah Prof. Mr. Dr. Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis. Beliau menterjemahkan Al-Qur‘an S. IV: 33. Meskipun sebenarnya telah ada Putusan Bagian Adat (Adat Kamer) Raad Justisi Jakarta pada tanggal 16 Desember 1938, termuat dalam ―Indisch Tijdschrift, van het Recht‖ bagian 150 halaman 239.17 Hazairin dianggap pencetus, karena dia tidak lagi murni Hukum Adat, tetapi diberi landasan ayat Al-Qur‘an seperti tersebut di atas, sehingga hukum kewarisan karangannya ‗cover bukunya‘ terkesan Hukum Kewarisan Islam isinya ayat tentang waris yang ditafsirkan dengan Hukum Adat. Atau kalau boleh disebut dengan istilah lain ‗Tafsir Al-Qur'ân Menurut Teori
16
Amrullah Ahmad, Op. Cit. hlm. 15. Wirjono Prodjodikoro, R. 1995. Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, Cet. XI, hlm. 43. 17
10 Receptie‘, beliaulah yang pertama kali berhasil menemukan ‗ahli waris pengganti‘ dalam Hukum Islam. Hazairin bukanlah orang yang ahli bahasa Arab ataupun ahli tafsir, dengan modal otodidak membaca terjemah ayat, dilatarbelakangi kepiawaiannya sebagai ‗Doktor‘ di bidang Hukum Adat dan dibekali pengaruh hukum Barat, Pasal 841 B.W. sehingga ia berhasil membaur/mencampuradukkan Hukum Adat, ayat Al-Qur‘an, dan B.W. Para Ahli Tafsir dan Ulama Mujtahid menterjemahkan ayat: 18 33. Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya[288]. [288] lihat orang-orang yang termasuk ahli waris dalam Surah An-Nisaa‘ ayat 11 dan 12.19
Ahli Tafsir dan Ulama Mujtahid tidak ada yang menafsirkan atau berpendapat, bahwa mawaliy sebagai ahli waris pengganti, sebaliknya Hazairin yang tidak ahli bahasa Arab dan bukan ahli tafsir menterjemahkan dan membuat tafsir sendiri dengan ahli waris pengganti. Ahli waris pengganti diangkat menjadi salah satu pasal di dalam KHI, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 185; Pasal ini telah berjalan dengan aman selama hampir 19 (sembilan belas) tahun, tidak dihebohkan oleh para hakim pada peradilan agama khususnya dan masyarakat Islam Indonesia umumnya, dan bahkan sebaliknya menjadi suatu kebanggaan sebagai karya agung Ulama Indonesia yang telah melahirkan hukum-hukum baru dalam Islam, terutama di bidang kewarisan.
18 19
QS. [4]: 33. Program Computer, Get Ayat dan Terjemah, S. IV: 33
11 Mengapa ahli waris pengganti masuk ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), penulis akan mulai dengan memperkenalkan siapa sebenar Hazairin yang merupakan pencetus hukum baru ‗ahli waris pengganti‘. Dalam Islam ‗faktor akhlak‘ merupakan kunci dalam berbagai hal. Misalnya: menjadi pemimpin, hakim, saksi, dan lain-lain dipersyaratkan ‗adil‘; hal ini sesuai dengan Firman Allah Ta‘ala:
Penyair al-Bûshīrī setelah menyebut sekian banyak budi pekerti Nabi, beliau menyimpulkan, bahwa:
Dalam ilmu hadis, ‗Sanad Hadits‘ (Perawi Hadis) merupakan bagian yang amat menentukan kualitas hadis tersebut guna menentukan ke-hujjah-annya, apakah: shahīh, hasan, dha'îf, apakah: muttashil, marfu’, majhul, dan sebagainya. Misalnya tentang rumusan persyaratan ‗Hadits Shahīh‘ sebagai berikut: 1. tidak boleh menerima hadis kecuali dari orang tsiqah; 2. perawi harus diperhatikan salat dan kepribadiannya; 3. jika shalat dan kepribadiannya tidak baik, riwayatnya tidak diterima; 4. tidak dibenarkan menerima hadis dari perawi yang tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu hadis; 5. orang yang dikenal suka berdusta dan suka mengikuti hawa nafsunya tidak diterima hadisnya; 20
QS. [68]: 4. Artinya: ―Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung‖. Quraish Shihab, Op. Cit., vol. 14, hlm. 381-382. ―Batas pengetahuan kita tentang beliau hanyalah bahwa beliau adalah seorang manusia biasa, dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk di antara seluruh makhluk Ilahi.‖ 21
12 6. orang yang ditolak kesaksiannya, tidak diterima periwayatannya.22 Mengetahui siapa sebenarnya Prof. Mr. Dr. Hazairin,23 bukan berarti mencaricari sesuatu yang terlarang menurut agama yaitu berprasangka buruk, sebagaimana Firman-Nya:
tetapi diungkap dalam rangka menyikapi pemikiran-pemikirannya tentang ahli waris pengganti khususnya dan keseluruhan tentang hukum kewarisan bilateral umumnya yang telah dikukuhkan di dalam KHI, guna meyakinkan masyarakat muslim Indonesia, apakah pemikirannya harus diterima atau ditolak. Hazairin berlatar belakang pendidikan ‗Doktor bidang Hukum Adat‘, yang notabene Hukum Adat sebagai hukum yang sengaja dibuat oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven dalam rangka mengebiri/mendiskreditkan Hukum Islam. Promotor disertasinya: Ter Haar BZN, seorang Guru Besar Belanda pada Universitas Indonesia, pendidikannya dari Tingkat Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi pada sekolah-sekolah dan perguruan tinggi penjajah Belanda. Sebagai ‗almamater‘25 wajar dia menghasilkan karya tulis di bidang hukum, meskipun cover bukunya terkesan
22
Khathib al-Baghdadiy,. Kitab al-Kifāyah fī 'Ilm al-Riwāya., (Mesir: Mthba'ah al-Sa'ādah, 1972), hlm. 72. 23 Riwayat Hidup Hazairin terlampir. 24 QS. [49]: 12. 25 Almamater menurut Bagir Manan dalam pidato Wisuda Purnabhakti Ketua Pengadilan Tinggi Riau Tahun 2008, artinya: ‗tempat menyusu‘. Dengan demikian menurut penulis: darah daging Hazairin hasil rekayasa Belanda.
13 buku tentang Hukum Islam, tetapi sesuai dengan disiplin ilmunya, buku tersebut berisi ayat Al-Qur‘an yang diterjemahkan dan ditafsirkan dengan Hukum Adat.
Hazairin dalam Menyikapi Allah dan Al-Qur’an Hazairin melalui buku-buku karangannya, tentang tidak adanya: Basmalah, Hamdalah, dua kali mendiskreditkan Al-Qur‘an (lengkapnya baca makalah terdahulu) Sikap-sikap atau akhlaq yang menunjukkan tidak ada ketundukan hati yang ikhlas di hadapan Allah Ta‘ala yang mewahyukan Al-Qur‘an tersebut. Menjadi tanda tanya besar tentang iman Hazairin kepada Allah dan Kitab-Nya.
Hazairin dalam Menyikapi Rasullah SAW dan Hadis Buku Hazairin tersebut di atas, tidak satu pun memberi ucapan salawat bagi Rasulullah Muhammad SAW26, agar beroleh syafaat dari Beliau di yaum al-mahsyar, bahkan Hazairin memuat pernyataan sikap antipati sebagai berikut: MUHAMMAD DAN HUKUM 1. Soal ―Muhammad dan Hukum‖ sangatlah luasnja dan pelitnja, terutama karena ditemui dalam ilmu hukum pertentangan paham mengenai apa hukum. Pandangan mengenai ―apakah hukum‖ akan menentukan pandangan terhadap Muhammad berkenaan dengan hukum. 2. Setjara meringkaskan dikemukakan disini dua matjam pandangan mengenai hukum. Pertama: hukum hanjalah suatu segi dari pendjelmaan hidup kemasjarakatan, jakni seperangkaian perhubungan jang tertentu jang 26
QS. [33]: 56 . 56. Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi[1229]. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya [1230]. [1229] Bersalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat: dari malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: Allahuma shalli ala Muhammad. [1230] dengan mengucapkan perkataan seperti: Assalamu’alaika ayyuhan Nabi artinya: semoga keselamatan tercurah kepadamu Hai Nabi.
14 timbul dalam dan dari masjarakat jang tertentu pula, jaitu seperangkaian peraturan hidup jang terpatok kepada hak dan kewadjiban jang berlaku selama dikuatkan oleh masjarakat itu—, jang akan terletak tidak berkekuatan manakala masjarakatnja itu berobah sikap dan menimbulkan pendjelmaan jang baru jang sesuai dengan kebutuhan hidupnja jang baru pula …27 dan seterusnya. Inti ungkapan Hazairin tersebut, bahwa hukum-hukum yang bersumber beliau S.A.W. hanya cocok untuk bangsa Arab pada masa beliau saja, bila bangsa Arab berkembang yang menghendaki perobahan, hukum beliau tidak dipakai lagi. Terlebih-lebih tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia, yang mempunyai adat istiadat berbeda dengan bangsa Arab.28
Hazairin dalam Menyikapi Ulama Mujtahid Kalimat pertama dalam ‗Pendahuluan‘ buku beliau yang berjudul Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dinyatakan: ‗Karangan ini ialah suatu idjtihad untuk menguraikan hukum kewarisan dalam Qur‘an setjara bilateral, …‘29 Beliau mengaku sebagai seorang Mujtahid, pengakuan seperti ini boleh jadi sah-sah saja, karena dalam sejarah Islam ketika Rasulullah SAW mengutus Mu‘adz bin Jabal menjadi qadli Kuffah, diterangkan dalam hadis.30 Hazairin mengatakan: ―Dari hasil studi saja mengenai fiqh Ahlu-‗l-Sunnah, jang telah masuk di Indonesia ini agaknya sudah lebih dari tudjuh abad, saja mendapat kesan bahwa ada conflict antara hukum fiqh tersebut dengan hukum adat, 27
Hazairin, Hukum Islam dan Masjarakat. (Jakarta: Tintamas, 1961), hlm. 23. Tentunya sikap beliau yang seperti ini sangat bertentangan dengan sabda Beliau S.A.W.: الخ. . .. . تركت فيكن 29 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an, (Jakarta: Tintamas, 1961), hlm. 1. 28
30
15 conflict jang berkepandjangan sampai sekarang. Fiqh Ahlu-‗l-Sunnah terbentuk dalam masjarakat Arab jang bersendikan sistim kekeluargaan jang patrilineal dalam suatu masa di dalam sejarah dimana ilmu mengenai bentukbentuk kemasjarakatan didunia ini belum berkembang, sehingga mudjtahidmudjtahid Ahlu-‗l-Sunnah djuga belum mungkin memperoleh bahan-bahan perbandingan mengenai pelbagai sistim kewarisan jang dapat didjumpai dalam pelbagai bentuk masjarakat itu.‖31 Mahmud Muhammad al-Tanthawi menetapkan bahwa syarat-syarat mujtahid adalah: Mengerti bahasa Arab, beragama Islam, dewasa, dan berakal, mengetahui dan mengerti ayat-ayat hukum dalam Qur‘an, mengetahui dan mengerti Sunnah Nabi Muhammad SAW, baik yang berupa ucapan (qawl), perbuatan (fi'l), dan ketetapan (taqrîr), mengetahui dan mengerti ijma’ ulama (fuqaha), karena ijma’ tidak boleh diabaikan (lâ tajûzu muhâlafatuhu), mengetahui dan mengerti ilmu ushûl al-fiqh, karena ilmu ushûl al-fiqh adalah media yang menetapkan prosedur istinbath hukum yang sahih, mengetahui dan mengerti ilmu maqâshid al-Syarî'ah, ilmu lanjutan dalam ijtihad bayani, agar ulama dapat menangkap rûh al-Syarî'ah.32 Jaih Mubarok menegaskan hubungan wahyu dan akal, bahwa manusia yang mencari kebenaran di alam ini berkomunikasi dengan Allah dengan menggunakan alat yang ada di dalam dirinya sendiri, yaitu akal; dan Allah menyampaikan kebenaran kepada manusia pilihan dengan menggunakan wahyu. Dengan demikian, akal adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berhubungan dengan Allah (dari bawah ke atas, tarâkî); sedangkan wahyu adalah alat komunikasi Allah dengan manusia pilihan (dari atas ke bawah, tanâzûl).33 Firman Allah Ta‘ala: 31
Hazairin, Ibid. hlm. 1. Mahmud Muhammad al-Tanthawi, Ushul al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo: Maktabath Wahbai, 2001), hlm. 481-482. 33 Jaih Mubarok, Hukum Islam Konsep, Pembaruan dan Teori Penegakan, (Bandung: Benang Merah Press, 2006), Cet. I, hlm. 96-97. 32
16 Rasulullah SAW telah memprediksi, bahwa nantinya umat Islam akan memandang sepele terhadap Al-Qur‘an, mereka akan meninggalkan peringatanperingatan, batasan-batasan baik dan buruk, halal dan haram, yang diridai dan dimurkai Allah, hukum-hukum Allah, dan lain-lain isi Al-Qur‘an—yang seharusnya dijadikan pedoman untuk mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat—FirmanNya: 35 Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan AlQur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan”.
Teori receptie, sangat mengakar ke dalam pola pikir Hazairin, bahwa Fikih Islam tidak cocok bagi masyarakat adat di Indonesia, hanya cocok untuk masyarakat Arab. Hukum Islam baru dapat diterima, apabila telah diterima oleh Hukum Adat mereka. Istilah-istilah Hukum Adat, seperti: patrilineal, matrilineal, parental (bilateral), garis pokok penggantian, dan lain sebagainya, beliau jadikan senjata mendiskreditkan kitab-kitab fikih tersebut. Istilah 'konflik berkepanjangan' yang beliau kumandangkan semata-mata dalam rangka mendukung teori receptie. Pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan tujuan nash-nash Syara’ sebagaimana diuraikan dalam kritik terhadap Hazairin di atas, adalah pemikiranpemikiran yang tidak sesuai dengan tujuan hukum kewarisan (maqashid syariah): hifdh al-'Aql, karena pemikiran-pemikiran Hazairin bukan atas ketundukannya kepada
34 35
QS. [7]: 189. QS. XXV: 30.
17 Allah Ta‘ala, tetapi tunduk kepada keinginan kolonial Belanda yang menomorsatukan Hukum Adat dan mendiskreditkan Hukum Islam, bahkan sebaliknya beliau dua kali menghina Al-Qur‘an.36 Cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, seharusnya tidak menjadi ahli waris pengganti dan hendaknya menjaga diri tidak mengaku berhak atas harta warisan. Menjaga diri disini sesuai dengan tujuan syariat/hukum kewarisan (maqashid syariah): hifdh al-Nafs. Taat kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya, tidak mengedepankan pemikiranpemikiran yang menyalahi ajaran nash-nash syara’, adalah hal yang sesuai dengan tujuan syariah (maqashid syariah): hifdh al-Dîn. Imam Abu Ishaq al-Syâthibiy antara lain mengemukakan sebagai berikut: maqasid asy- Syarî'ah )
(.
Tujuan syariat pada intinya adalah kemashlahatan (al-mashâlih) yang bersifat langgeng, universal, dan umum (abadiyyan, kulliyan, wa 'âmman), syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia baik cepat ataupun lambat, adakalanya berbentuk sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan bagi manusia, atau berbentuk menyingkirkan sesuatu yang merusak dan membahayakan manusia.38
36
Tentang keutamaan akal lihat hlm. 186 di atas. Abû Ishâq al-Syâthîbiy, Al-Muwâfaqât. (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Alamiyah, 2005), Cet. IX, Jil. 2, hlm. 3. Kemashlahatan umat fi'ddârain bahwa disyariatkannya ajaran Islam adalah bertujuan untuk memelihara kemashlahatan umat manusia di dunia dan di akhirat. 38 Kemashlahatan sebagai tujuan inti syariat, pendapat sebagian ulama yang menghimpun tujuan syariat. Lihat Jamâl al-Dîn 'Athiyyah, Nahwa Taf'il Maqâshid Syari'ah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), hlm. 111; lihat juga: Wahbah az-Zuhailiy, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy. (Beirut: Dâr al-Fikr alMu'âshir, 1986), Cet. ke-1, hlm. 1017. 37
18 Menurut Toha Jahya Omar: ―Seluruh argumen Hazairin lemah dan tertolak. Sistem pengganti itu ada tetapi sangat terbatas seperti dzawil arham pada waktu tidak adanya dzawil furud dan dapat diberikan dengan wasiat wajibah. Hazairin selanjutnya berpendirian bahwa istilah keturunan itu ialah setiap orang di garis ke bawah tidak perduli apakah garis itu laki-laki atau perempuan. Apabila kita menerima istilah itu menurut pemrasaran, maka terjadilah seorang ahli waris mendapatkan warisannya dari dua keluarga. Suatu hal yang tidak dijumpai dalam Qur‘an dan Hadis bahkan Hukum Adat.39 Belum cukupkah untuk menyimpulkan, bahwa pendapat Hazairin harus ditolak dan tidak sewajarnya masuk dalam KHI, dan bahwa teori receptie telah menyusup ke dalam KHI.
Hal penting lainnya yang layak dikaji dalam KHI 1. Anak angkat bukan darah daging dalam keluarga, sewaktu-waktu dapat menjadi pemicu konflik dalam keluarga tersebut. Faktanya banyak kasus gugat-menggugat harta warisan antara anak angkat dengan ahli waris, bila ahli waris tidak faham dengan status anak angkat dalam hukum Islam, terjadi gugat-menggugat di peradilan umum, maka anak angkat secara mutlak diakui sebagai anak kandung oleh hakim pada peradilan umum, dan bahkan dapat memahjubkan ahli waris. Ahli waris sedikit beruntung bila berperkara di peradilan agama; dikatakan 'sedikit' karena ada di antara hakim pada peradilan agama yang memprioritaskan anak angkat mendapat bagian 1/3 dari harta warisan – karena mendapat wasiat (wasiat wajibah hanya sebutannya saja hakekatnya sama), sehingga dengan bagian anak angkat 1/3 tersebut, ahli
39
Panitia Seminar Nasional, Op. Cit., hlm. 21-22.
19 waris lainnya mendapat bagian lebih kecil dari bagian anak angkat. Oleh karenanya rumusan dalam KHI yang menyatakan anak angkat berhak atas wasiat wajibah maksimal 1/3 dari harta pewaris, perlu direkonstruksi dengan menambah satu ayat lagi dalam Pasal 209 KHI sebagai berikut: (3) Anak angkat berhak atas wasiat wajibah, bila pewaris meninggalkan harta yang banyak. Bagian anak angkat, seorang atau lebih, tidak boleh melebihi bagian terkecil di antara ahli waris; 2. Nonmuslim tidak berhak mendapatkan harta warisan, Ulama Mujtahid sepakat tentang hal ini, landasannya Al-Qur‘an dan Hadis. Dalam Kitab-kitab Fikih disebutkan sebagai salah satu penyebab penghalang mendapat harta warisan (mawâni' al-irts). Hakim pada peradilan agama seharusnya tidak terobsesi oleh adanya putusan yang memberi wasiat wajibah kepada anak kandung pewaris yang murtad. Kalaupun itu sesuatu yang menyalahi ketentuan Allah dan Rasul-Nya, mudah-mudahan Allah mengampuni kekhilafan hamba-Nya. Khusus pembahasan tentang KHI, agar direkonstruksi yaitu dengan memasukkannya ke dalam Pasal 173 KHI, yaitu: nonmuslim tidak berhak mendapatkan warisan dari Pewaris Muslim; 3. Pewaris untuk dapat dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, setelah adanya gugatan atau permohonan dari ahli waris kepada pengadilan yang dilengkapi dengan alasan-alasan. Hakim dapat menyatakan meninggal, apabila telah cukup bukti yang diajukan oleh Penggugat atau Pemohon. a. Gugatan bila para ahli waris tidak sepakat dalam hal untuk dinyatakan meninggalnya salah seorang di antara keluarga mereka; b. Permohonan bila para ahli waris sepakat untuk dinyatakan meninggal.
20 Oleh karenanya perlu ada pasal tambahan, yaitu: Pasal 172 A (1) Apabila terjadi sengketa di antara ahli waris, satu pihak menyatakan pewaris meninggal beragama Islam, sedangkan pihak lain menyatakan sebaliknya, maka pihak yang menyatakan pewaris meninggal tersebut dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan; (2) Alat bukti yang dapat dijadikan dasar pembuktian adalah data yang melekat pada diri pewaris, seperti: KTP, KK, Paspor, Ijazah, dan lainlain. Bukti yang adanya sesaat sebelum meninggal atau sewaktu yang bersangkutan sedang dalam keadaan sakit keras, harus dikesampingkan. Penjelasan pasal: Sengketa di antara ahli waris dalam Pasal 172 A tersebut, sering terjadi ketika seseorang muslim sakit keras, oleh keluarganya dibawa ke rumah sakit milik swasta nonmuslim. Sewaktu yang piket keluarga yang nonmuslim, keluarga ini mendatangi Pendeta agar si sakit dibaptis, atas dasar bukti baptis inilah keluarga nonmuslim tersebut menyatakan pewaris meninggal beragama nonmuslim. Bukti seperti ini harus ditolak, demikian pula dalam hal kasus sebaliknya.
Penutup Masih banyak hal yang dapat dikritisi, berhubung waktu dan tempat, penulis cukupkan sekian, mudah-mudahan ada manfaatnya. Āmîn yâ Rabb. Wa'llahu a'lam bi'shshawab.
Jakarta, 28
Sya'ban 1431 H
09 Agustus 2010 M.
21 Penulis,
H. Habiburrahman. DAFTAR BACAAN Ahmad, Amrullah, et. al., 1994. Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta: PP. IKAHA. Attamimi, A. Hamid S. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani. Baghdadiy, Khathib al-, 1972. Kitab al-Kifāyah fī 'Ilm al-Riwāya. Mesir: Mthba'ah alSa'ādah Departemen Agama, 2004, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum. Hazairin, 1961. Hukum Islam dan Masjarakat. Jakarta: Tintamas. ---------, 1961. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an. Jakarta: Tintamas. Koesnoe, Moch., 1995. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasinal. Jakarta: Indah Grafika. Mubarok, Jaih, 2006. Hukum Islam Konsep, Pembaruan dan Teori Penegakan, Bandung: Benang Merah Press. Mujahidin, Ahmad, 2008. Pembaharuan Hukum Acara Perdata, Jakarta: PP. IKAHI. Prodjodikoro, R. Wirjono, 1995. Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung. Ranuhandoko, I.P.M., 2007. Terminologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Shihab, M. Quraish, 2007. Tafsir al Misbah. Jakarta: Lentera Hati. Syathibi, Abu Ishaq Asy-, 2005, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî'ah. Beirut Libanon: Dâr al-Kutub al-'Alamiyah. Tanthawi, Mahmud Muhammad al-, 2001. Ushul al-Fiqh al-Islâmî. Kairo: Maktabath Wahbai. Taufiq, 2010. Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris, Jakarta: Panitia Seminar Nasional PPHI2M dan Majalah Mimbar Hukum.
22