Ahmad Mohammad 'Abdurrahman al-Nawawiy
HUKUM ISLAM SEPUTAR BUSANA & PENAMPILAN WANITA
KATA PENGANTAR
Ketika hampir seluruh agama dan bangsa menempatkan wanita pada tempat yang rendah dan hina, Islam hadir untuk mengangkat dan mendudukkan kembali wanita pada martabat yang tinggi dan mulia. Tatkala wanita dipasung hakhaknya, dieksploitasi, direndahkan, dan dipinggirkan dari pentas kehidupan, Islam datang dengan seperangkat pemikiran dan aturan, untuk mengembalikan hak-hak wanita yang dirampas, sekaligus memberikan peran yang sangat besar kepada mereka untuk berkiprah dan beraktivitas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Tidak hanya itu saja, Islam juga menetapkan sejumlah aturan-aturan yang ditujukan untuk menjaga dan melindungi kehormatan wanita. Hingga akhirnya, Islam berhasil mengubah persepsi buruk tentang wanita, mengembalikan kemulian dan kehormatan mereka, serta menempatkan mereka pada kedudukan yang luhur mulia. Islam juga berhasil menciptakan tatanan ijtimaa'iy (pergaulan) antara lakilaki dan wanita di atas prinsip taqwa, ta'awun, dan pelestarian jenis. Islam berhasil menghapus seluruh bentuk hubungan laki-laki dan wanita yang menjurus pada pemujaan terhadap sex dan syahwat, pengumbaran terhadap aurat, dan pergaulan bebas. Sayangnya, tatkala Islam mulai dimarginalkan dari ranah negara dan masyarakat, sedikit demi sedikit, dengan berkedok kebebasan dan kesetaraan antara laki-laki dan wanita, musuh-musuh Islam berhasil menghancurkan hampir seluruh persepsi dan pola interaksi luhur antara laki-laki dan wanita yang berhasil dibentuk oleh Islam. Akibatnya, wanita terperosok kembali ke lembah kehinaan dan kenistaan. Banyak wanita keluar rumah tanpa mengenakan busana Islamiy, bercampur baur dengan laki-laki asing (ikhtilath), berkhalwat, bersolek untuk menonjolkan kecantikannya, dan bergaul dengan lain jenis secara bebas tanpa mengindahkan lagi halal dan haram. Akhirnya, perzinaan, homoseks, lesbian, dan perselingkuhan merajalela. Interaksi antara laki-laki dan wanita tidak lagi didasarkan pada prinsip taqwa, akan tetapi diganti dengan pemujaan terhadap kebebasan, sex, dan syahwat. Sendi-sendi kehidupan negara dan masyarakat pun terancam dalam kebinasaan dan kehancuran. Hanya saja, para pengusung ide liberalisme tidak jemu-jemu mempropagandakan ide-ide sesat ini ke tengah-tengah kaum Muslim, dengan menggunakan berbagai macam cara dan sarana. Di media cetak, mereka menerbitkan majalah-majalah porno, tulisan-tulisan cabul yang mengundang birahi siapa saja yang membaca dan melihatnya. Di media televisi, mereka membuat infotainment yang dipenuhi dengan berita dan isyu perselingkuhan, kehidupan kaum selebritis yang penuh dengan hura-hura dan serba bebas, dan lain sebagainya. Mereka juga membuat tayangan-tayangan sinetron dan film yang di dalamnya terselubung propaganda pergaulan dan seks bebas. Di panggungpanggung hiburan terbuka, mereka juga mempertontonkan hiburan-hiburan yang dipenuhi dengan aksi-aksi menjijikkan dan nista. Para penyanyi dan biduanita bernyanyi dengan busana tipis dan merangsang, serta berlenggak-lenggok untuk membangkitkan birahi para penontonnya. Lebih dari itu, mereka juga membuat propaganda merendahkan busana Islamiy; jilbab dan khimar, dengan alasan busana itu sudah kuno, kolot, dan lambang perlawanan terhadap ide kebebasan. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa Islam dan kaum Muslim merupakan hambatan terbesar bagi kelangsungan paham-paham mereka yang sesat dan menyesatkan itu.
Untuk itu, mereka terus berusaha menjauhkan kaum Muslim dari ajaran-ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek ijtimaa'iy . Di sisi yang lain, negara yang harusnya bertanggungjawab penuh terhadap penjagaan umat Islam dari kerusakan moral dan penggerusan 'aqidah, justru belum menunjukkan tanggung jawabnya. Hal ini bisa dilihat dari sikap serta kebijakan pemerintah yang belum tegas terhadap tindakan-tindakan yang bisa merusak moral dan aqidah umat; misalnya prostitusi, pornografi dan pornoaksi. Pasalnya, paradigma yang digunakan pemerintah untuk mengatur masyarakat tidak berpijak pada Islam, akan tetapi, berpijak pada demokrasi dan HAM. Akhirnya, pemerintah terkesan malah mendukung setiap tindakan yang ditujukan untuk mengekspresikan kebebasan, meskipun hal itu bertentangan dengan 'aqidah dan syariat Islam. Sesungguhnya, selama pemerintah masih menggunakan demokrasi dan HAM sebagai dasar untuk mengatur urusan rakyat, selama itu pula umat Islam tidak bisa berharap banyak. Ironisnya lagi, mayoritas umat Islam tidak lagi memahami hukum-hukum Islam yang mengatur hubungan laki-laki dengan wanita. Mereka sudah tidak mengenal lagi aurat laki-laki dan wanita. Mayoritas wanita-wanita Mukmin juga awam terhadap jilbab dan khimar. Mereka juga tidak bisa membedakan antara tazayyun (berhias) dengan tabarruj (menampakkan kecantikan kepada laki-laki asing). Mereka juga tidak memahami kepada siapa dan dalam konteks apa saja mereka boleh menampakkan perhiasannya. Mereka juga tidak mengerti larangan berkhalwat dengan laki-laki asing, larangan menampakkan aurat di depan laki-laki asing, dan lain sebagainya. Ketidaktahuan mayoritas kaum Muslim, khususnya kaum Mukminat, terhadap hukum-hukum Islam yang mengatur aspek-aspek ijtima'iy, baik yang berhubungan dengan pakaian, interaksi antara laki-laki dan wanita, dan hukum-hukum yang lain, telah menjatuhkan mereka taqlid buta kepada budaya dan gaya hidup bebas yang diajarkan oleh orang-orang barat. Mereka asing dan terasing dari ajaran Islam. Akibatnya, tanpa sadar, mereka telah terseret oleh gaya hidup dan budaya rusak, hingga terjatuh pada lembah kenistaan dan kehinaan. Untuk itu, harus ada buku panduan yang mampu memandu kaum Muslim untuk memahami kembali hukum-hukum Islam yang berhubungan erat dengan aspek-aspek ijtima'iy. Diantaranya adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum ghadldl al-bashar (menjaga pandangan), satr al-'aurat (menutup aurat), khimar (kerudung) dan jilbab (pakaian luas), tabarruj dan tazayyun. Penulis berharap buku ini mampu memberikan pencerahan dan kesadaran kepada umat Islam yang tengah berada di bawah tekanan dan dominasi paham liberalisme. Penulis juga berharap buku ini mampu memberikan kesadaran kepada wanitawanita Mukminat untuk kembali kepada busana Islamiy, berperilaku Islamiy, serta menjauhi sejauh-jauhnya tindak pornografi dan pornoaksi yang jelas-jelas akan merusak moral dan aqidah umat Islam. Wallahu al-Haadiy al Muwaffiq ilaa Aqwaam al-Thaariq
Al-Faqir ila al-Allah Mohammad Ahmad Kamaluddin al-Nawawiy
DAFTAR ISI Judul Daftar Isi Kata Pengantar Bab I. Menjaga Pandangan - Kewajiban Menjaga Pandangan - Ketentuan Umum Tentang Ghadldl al-Bashar (Menjaga Pandangan) Bab II. Menutup Aurat - Kewajiban Menutup Aurat - Ancaman Bagi Orang Yang Membuka Aurat Bab III. Definisi dan Batasan Aurat - Definisi Aurat - Batasan Aurat Laki-laki Dan Wanita - Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi'iy - Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy - Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy - Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy - Aurat Laki-laki Dalam Perdebatan - Paha Termasuk Aurat Laki-laki - Apakah Pusat dan Lutut Termasuk Aurat? - Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan - Syarat-syarat Menutup Aurat - Kesimpulan Bab IV. Khimar dan Jilbab - Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah - Perintah Mengenakan Khimar - Perintah Mengenakan Jilbab - Syarat Penguluran Jilbab - Kesimpulan Bab V. Tazayyun dan Tabarruj - Kebolehan Tazayyun (Berhias) - Larangan Bertabarruj - Perbuatan-perbuatan Yang Terkategori Tabarruj - Mengenakan Pakaian Tipis dan Pakaian Ketat Yang Merangsang - Mengenakan Wewangian Di Hadapan Laki-laki Asing - Berdandan Menor atau Berlebihan - Membuka Sebagian Aurat - Pengaruh Tabarruj Bagi Masyarakat Bab VI. Berhias Yang Boleh - Memakai Wewangian Pada Kedua Pipi - Wanita Boleh Mengenakan Kuteks (Pewarna Kuku) - Memakai Celak Pada Kedua Mata - Memakai Gelang, Kalung, Anting-anting, dan Cincin - Larangan Menyambung Rambut - Larangan Menghilangkan Tahi Lalat dan Meratakan Gigi - Larangan Mentato
- Larangan Wanita Memakai Pakaian Laki-laki - Larangan Wanita Berhias Untuk Selain Suaminya - Bolehnya Wanita Mengenakan Sutera Bab VII. Batasan Dalam Berhias - Tidak Menyerupai Perhiasan Yang Menjadi Ciri Orang Kafir - Pakaian Wanita Hendaknya Berbeda Dengan Pakaian Laki-laki - Sunnah Sederhana Dalam Berhias dan Berbusana - Larangan Berpakaian Karena Sombong Bab VIII. Menangkis Tuduhan Miring - Jilbab dan Khimar Adalah Budaya Arab - Perintah Mengenakan Jilbab Didasarkan Sebuah 'Illat Agar Bisa Dibedakan Antara Wanita Merdeka dengan Budak - Alasan Menanggalkan Jilbab Karena Darurat
BAB I MENJAGA PANDANGAN
Kewajiban Menjaga Pandangan Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan kaum Muslim dan Muslimat untuk menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Allah swt berfirman;
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."[Al-Nuur:30] Dalam Kitab Ahkaam al-Quran disebutkan, "Maksud ayat ini adalah agar menahan (menjaga) pandangan dari aurat. Sebab, tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai bolehnya melihat selain aurat."1 Imam al-Syaukani, dalam kitab Fath al-Qadir, menyatakan, "Tatkala Allah swt menerangkan hukum meminta ijin, Allah swt juga menyertakan hukum melihat (hukm al-nadhr) dalam bentuk umum. Di mana, di atas hukum umum tersebut dijelaskan hukum menjaga pandangan dari orang yang meminta ijin, seperti yang dituturkan oleh Nabi saw, "Sesungguhnya, ijin itu ditetapkan untuk menjaga pandangan." Selain itu, kaum Mukmin juga dilarang memandang wanita Muslimat yang bukan mahramnya, seperti halnya ada larangan bagi kaum Mukmin melihat wanita a'jam (asing). Ini ditujukan untuk mencegah terjadinya praktek zina, yang salah satu bagian dari zina adalah memandang wanita asing. Jika kaum Mukmin dilarang melihat wanita asing, lebih-lebih lagi wanita-wanita Mukminat….Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga pandangan (ghadldl albashar) adalah ithbaaq al-jafn 'ala 'ain (mengatupkan kelompok mata di atas mata), agar mata tidak bisa melihat….Mayoritas ulama berpendapat, bahwa huruf min dalam frase "min absharihim" berfungsi untuk membatasi (li al-tab'iidl). Oleh karena itu, makna ayat tersebut adalah menjaga pandangan dari apa-apa yang diharamkan, dan membatasi diri hanya memandang hal-hal yang dihalalkan..Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan haramnya melihat apa-apa yang haram untuk dilihat."2 Imam Ibnu Katsir menyatakan, "Ayat ini merupakan perintah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang Mukmin agar menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu, janganlah mereka memandang, kecuali pada hal-hal yang diperbolehkan atas mereka; dan hendaklah mereka menahan (menjaga) matanya dari hal-hal yang diharamkan. Hanya saja, telah ada kesepakatan, jika seseorang memandang wanita asing tidak dengan sengaja, maka ia harus segera memalingkan pandangannya. Ketentuan ini sejalan dengan hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jarir bin 'Abdullah al-Bajaliy; bahwasanya ia berkata, "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan 1 2
Imam Ahmad bin 'Ali al-Raaziy al-Jashshaash Abu Bakar, Ahkaam al-Quran 2, juz 4/204; bandingkan pula dengan Imam al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafiy, juz 2/143 Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadir, juz 4/22; lihat juga Mohammad al-Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 6/30; Imam Suyuthiy, Tafsir al-Jalalain, juz 1/462;
yang tidak sengaja. Beliau saw memerintahkan aku untuk memalingkan 3 pandanganku". Dalam Tafsir al-Thabariy, Imam Thabariy menyatakan; Allah swt telah memerintahkan kepada Nabi Mohammad saw agar mengatakan kepada laki-laki Mukmin untuk menahan (menjaga) pandangannya dari hal-hal yang bisa membangkitkan syahwat, jika ia memandangnya.4 Imam al-Suyuthiy dalam kitab al-Durr al-Mantsur, menuturkan beberapa riwayat yang berkenaan dengan ayat di atas (al-Nuur:30). Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Ali ra berkata, "Di masa Nabi saw, ada seorang laki-laki sedang berjalan di salah satu jalan di kota Madinah, dan ia memandang seorang wanita. Wanita itu juga memandang dirinya. Lalu, keduanya dibisiki oleh setan, dimana satu dengan yang lain tidak saling memandang kecuali keduanya saling tertarik. Laki-laki itu berjalan di sisi tembok, dan terus memandang wanita itu. Tanpa ia sadari, tembok itu telah berada di depannya, dan hidungnya pun menabrak tembok hingga berdarah. Laki-laki itu berkata, "Demi Allah, aku tidak akan menyeka darahku ini, hingga Rasulullah saw mendatangiku. Lalu, ada seorang laki-laki menyampaikan masalah itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw pun mendatanginya, dan laki-laki itu pun menceritakan kisahnya kepada Nabi saw. Nabi saw bersabda, "Ini adalah hukuman atas dosamu." Kemudian, turunlah firman Allah swt surah al-Nuur:30". Diriwayatkan juga dari Qatadah, bahwa makna firman Allah swt, "qul lil mukminiin yaghudldluu min abshaarihim", adalah, "menjaga pandangan dari halhal yang tidak dihalalkan memandangnya.."5 Imam Qurthubiy juga menyitir pendapat dari Qatadah, bahwa maksud ayat ini adalah agar kaum Mukmin menjaga pandangannya dari hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka.6 Menurut Imam Qurthubiy, hukum menjaga pandangan dari semua hal yang diharamkan dan dari hal-hal yang dikhawatirkan bisa menyebabkan fitnah, adalah wajib. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudriy, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Hindarilah oleh kalian, duduk-duduk di jalanan ". Para shahabat bertanya, "Ya Rasulullah, tidaklah kami duduk di pinggir jalan, kecuali hanya sekedar berbincang-bincang saja." Nabi saw saw berkata, "Jika kalian tidak bisa menghindari untuk duduk-duduk di pinggir jalan, maka, penuhilah hak-hak pengguna jalan." Para shahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa hak pengguna jalan itu? Nabi menjawab," Menjaga pandangan, menyingkirkan bahaya, membalas salamnya, dan amar ma'ruf nahi 'anil mungkar".[HR. Bukhari dan Muslim]7 Hanya saja, kewajiban menjaga pandangan dan kemaluan, juga berlaku bagi wanita. Di dalam al-Quran Allah swt berfirman;
3 4 5 6 7
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/282; lihat juga Imam al-Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 4/182; Imam al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12/222 Imam al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/116 al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Durr al-Mantsuur, juz 6/176; lihat juga Ma'aaniy al-Quran, juz 4/520; Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12/222; lihat juga Imam al-Baghawiy, Tafsir alBaghawiy, juz 3/337 Ibid, juz 12/223
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lakilaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."[al-Nuur:31] Imam Baidlawiy, dalam Tafsir al-Baidlawiy menafsirkan ini dengan menyatakan, "Hendaknya para wanita tidak melihat bagian tubuh laki-laki yang tidak dihalalkan bagi mereka untuk melihatnya."8 Imam Syaukani dalam kitab Fath al-Qadiir menjelaskan; ayat ini seperti halnya surat al-Nuur ayat 30, merupakan dalil yang menunjukkan haramnya wanita Mukminah memandang apaapa yang diharamkan.9 Imam Qurthubiy menyatakan, bahwa ayat ini berfungsi untuk menegaskan (ta'kiid) perintah gadldlu al-bashar (menjaga pandangan) kepada para wanita Muslimat. Sebab, pada ayat sebelumnya, yakni surat al-Nuur ayat 30, sudah ada perintah kepada wanita Muslimat agar menjaga pandangan dan kemaluannya. Sebab, frase "wa qul lil mukminiin" adalah frase umum yang berlaku bagi kaum laki-laki dan wanita; seperti halnya setiap khithab umum yang ada di dalam alQuran.10 Perintah ini kemudian dipertegas kembali pada ayat berikutnya (surat alNuur:31). Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kaum Mukmin dan Mukminat wajib menjaga pandangannya; dengan cara tidak melihat aurat laki-laki atau wanita asing (bukan mahram). Adapun pandangan yang tiba-tiba atau tidak disengaja; hukumnya tidaklah haram. Hanya saja, setelah pandangan pertama, mereka harus segera memalingkan pandangannya ke arah yang lain. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Sa'id bin Abi alHasan pernah berkata kepada al-Hasan, ketika ada seorang wanita 'ajam (asing) yang dada dan kepalanya terbuka, "Palingkanlah pandanganmu."[HR. Bukhari] Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, dari Jarir bin 'Abdullah, bahwasanya ia berkata;
8
Imam al-Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 4/183; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/116; Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/284; Tafsir al-Tsa'labiy, juz 3/116; Fath al-Qadiir, juz 4/23 9 Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/23 10 Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12/226
"Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Nabi saw menjawab, "Palingkanlah pandanganmu."[HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy] Dari Buraidah ra dituturkan, bahwasanya ia berkata,
"Nabi saw bersabda kepada Ali ra, "Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Sesungguhnya, yang boleh bagimu adalah pandangan yang pertama, bukan yang berikutnya." [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudziy] Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa laki-laki dan wanita wajib menjaga pandangannya satu dengan yang lain. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan memandang aurat wanita begitu juga sebaliknya, wanita tidak diperbolehkan memandang aurat laki-laki. Adapun selain aurat, baik laki-laki dan wanita diperbolehkan melihatnya dengan tidak disertai maksud untuk menikmatinya, atau untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut, sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Ketentuan Umum Tentang Ghadldl al-Bashar (Menjaga Pandangan) Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hukum memandang wanita atau laki-laki, dapat diringkas sebagai berikut; 1. Syariat telah menyatakan dengan tegas, wajibnya kaum laki-laki dan wanita menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan memandang aurat wanita, begitu juga sebaliknya; seorang wanita tidak diperbolehkan melihat aurat laki-laki, kecuali dalam kontekskonteks tertentu. Seorang laki-laki juga tidak diperkenankan melihat aurat laki-laki yang lain, demikian juga wanita; ia tidak boleh melihat aurat wanita lain, kecuali ada ketentuan yang bersifat khusus. 2. Seorang laki-laki boleh melihat selain aurat wanita; dan seorang wanita boleh memandang aurat laki-laki; tanpa diserta niat untuk dinikmati atau untuk mengumbar syahwat. 3. Seorang wanita juga boleh menampakkan selain muka dan kedua telapak tangannya di hadapan mahramnya, wanita Muslim maupun kafir, budak, dan pembantu laki-laki yang sudah tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Hal ini yang telah dijelaskan di dalam Al-Quran. Dengan kata lain, seorang laki-laki boleh melihat lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan, wanita yang termasuk mahramnya, baik Muslim maupun kafir secara mutlak. Kebolehan melihat wanita yang termasuk mahram, lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan tidak dibatasi hanya pada bagian-bagian tubuh tertentu, akan tetapi kebolehannya bersifat mutlak untuk seluruh bagian tubuh. Ketentuan semacam ini didasarkan pada Allah swt berfirman;
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."[al-Nuur:31] 4. Suami isteri boleh melihat seluruh anggota tubuh pasangannya. Ini didasarkan pada hadits yang dituturkan oleh Bahz bin Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya; bahwasanya ia berkata;"
"Aku pernah bertanya kepada Nabi saw, "Ya Rasulullah, mana aurat kami yang harus kami tutupi, dan mana yang boleh kami biarkan? Rasulullah saw berkata kepadaku, "Jagalah auratmu, kecuali kepada isterimu atau budakmu."[HR. Turmudziy] 5. Seorang laki-laki yang hendak mengkhithbah (melamar) seorang wanita yang hendak dinikahinya, boleh melihat lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan. Kebolehan melihat lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan ini ini bersifat mutlak, tanpa dibatasi bagian tubuh tertentu. Ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra, bahwa ia berkata, " Rasulullah saw bersabda, "
Jika salah seorang diantara kalian ingin melamar seorang wanita, jika ia mampu melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah." Lalu Jabir berkata: "Lalu, aku melamar seorang wanita yang sebelumnya aku sering mengintipnya hingga melihat keadaannya yang mendorong diriku untuk menikahinya." Meskipun pelamar boleh melihat lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan wanita yang hendak dinikahinya, akan tetapi, ia dilarang berkhalwat
(bersepi-sepi) dengan wanita itu. Sebab, syariat telah melarang seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, tanpa disertai oleh mahram wanita tersebut. 6. Seorang laki-laki juga diperbolehkan melihat wanita, lebih dari sekedar muka dan telapak tangan, jika ada keperluan-keperluan tertentu yang mengharuskan dirinya melihat lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan; misalnya dalam kasus pengobatan, pembuktian kasus-kasus kriminal, dan sebagainya. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya Nabi saw ketika memerintahkan Sa'ad untuk menghukum Bani Quraidlah, beliau memerintahkan Sa'ad untuk menyingkap kain sarung mereka." Diriwayatkan juga dari 'Utsman, bahwasanya dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang melakukan pencurian. Utsman berkata, "Lihatlah di balik sarungnya. Para shahabat tidak melihat ada rambut yang telah tumbuh (pubis) di kemaluannya. Oleh karena itu, Ustman tidak memotong tangannya." Apa yang dilakukan oleh 'Utsman, disaksikan dan didengar oleh para shahabat, dan tak seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa apa yang dilakukan 'Utsman ra merupakan kesepakatan para shahabat. 7. Di dalam kehidupan khusus (rumah), seorang wanita diperbolehkan menampakkan lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan, yakni, bagian-bagian tubuh yang biasa tampak ketika ia mengenakan pakaian seharihari di dalam rumah. Dalam keadaan seperti ini –yaitu, ketika memakai pakaian sehari-hari-- ia boleh terlihat oleh anak kecil yang belum baligh, serta budak-budaknya. Dalilnya adalah firman Allah swt;
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaianmu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."[al-Nuur:59] Ayat ini dengan sharih menyatakan, bahwa anak yang belum baligh dan budak boleh tidak meminta ijin kepada pemilik rumah (laki-laki dan wanita), selain tiga waktu di atas (sebelum sholat Shubuh, ketika tengah hari, dan sesudah sholat Isya'), meskipun pemilik rumah tengah berganti pakaian, atau mengenakan pakaian sehari-hari. Dengan demikian, ayat ini dengan sharih juga menunjukkan, bahwa seorang wanita hidup di dalam rumahnya dengan mengenakan pakaian sehari-hari, alias boleh menampakkan lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan. 8. Ketika seorang wanita berada di dalam rumahnya, konteks yang dibahas bukan sekedar masalah "menutup aurat" atau "tidak menutup aurat", akan tetapi, masalah al-tabadzdzul (berganti pakaian). Anak kecil, budak, dan pembantu yang ada di dalam rumah, wajib meminta ijin dalam tiga waktu, yakni sebelum
sholat Shubuh, ketika tengah hari, dan sesudah sholat 'Isya'. Adapun selain anak kecil dan budak miliknya, diharuskan meminta ijin ketika hendak masuk ke dalam rumah yang bukan miliknya. 9. Seorang wanita yang hidup serumah dengan karib kerabatnya, baik laki-laki maupun wanita, mahram maupun bukan mahram; tidak ada larangan bagi wanita tersebut untuk mengenakan pakaian sehari-hari, hingga tampak sebagian auratnya, misalnya, rambut, lengan, leher, dan kakinya. Adapun lakilaki yang termasuk mahram, atau 12 orang yang disebutkan di dalam al-Quran yang hidup serumah dengan wanita itu; tidak ada larangan bagi mereka untuk melihat wanita tersebut lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan. Sedangkan kerabat laki-laki yang bukan termasuk mahram, atau laki-laki asing yang hidup serumah dengan wanita tersebut, wajib menjaga pandangannya terhadap wanita tersebut. Dengan kata lain, kerabat laki-laki yang bukan termasuk mahram, atau laki-laki asing yang hidup serumah dengan wanita tersebut diperbolehkan melihat wanita tersebut, ketika ia tengah mengenakan pakaian sehari-hari (tsiyaab al-tabadzdzul), dengan pandangan yang wajar. Artinya, laki-laki bukan mahram, atau laki-laki asing yang hidup serumah dengan wanita tersebut diperbolehkan melihat wanita itu dalam keadaan berpakaian biasa, sehingga tampak rambut, leher, lengan, dan kedua mata kakinya, dengan pandangan yang wajar. Sebab, di dalam kehidupan khusus (rumah), seorang wanita tidak diwajibkan menutup auratnya. Namun demikian, kerabat laki-laki yang bukan mahram, dan laki-laki asing yang tinggal serumah dengan wanita itu, dilarang berinteraksi dengan wanita tersebut seperti halnya interaksi wanita tersebut dengan mahram-mahramnya. Mereka juga tidak diperbolehkan melihat wanita tersebut ketika tengah berada dalam tiga waktu; sebelum Shubuh, ketika Dzhuhur, dan sesudah sholat Isya'. 10. Adapun orang yang datang dari luar rumah, baik kerabat maupun bukan kerabat, mahram maupun bukan mahram; mereka diwajibkan untuk meminta ijin ketika hendak masuk ke dalam rumah. Jika yang masuk ke dalam rumah adalah karib kerabat yang termasuk mahram, maka tidak ada larangan bagi wanita yang ada di dalam rumah untuk menampakkan lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangannya. Sebab, mereka diperbolehkan melihat lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan. Namun, jika yang masuk ke dalam rumah adalah karib kerabat yang bukan mahram, atau orang asing, maka wanita yang ada di dalam rumah tersebut wajib menutup auratnya dari laki-laki tersebut. Ia tidak boleh menampakkan lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan, meskipun di rumahnya sendiri. 11. Adapun terhadap wanita-wanita di luar rumah yang membuka auratnya –seperti keadaan wanita sekarang ini--, maka seorang laki-laki Muslim wajib menjaga pandangan dari mereka. Ia tidak boleh memandangi wanita itu terus menerus, seperti yang banyak dilakukan kebanyakan orang saat ini. Yang diperbolehkan oleh syariat hanyalah pandangan tiba-tiba (nadzr al-fuja'ah). Ia dilarang meneruskan pandangan pertamanya (pandangan tiba-tibanya) dengan pandangan-pandangan berikutnya. Ia wajib memalingkan wajahnya ketika dengan tiba-tiba melihat wanita-wanita yang yang menyingkap auratnya di muka umum, jalan, rumah sakit, perpustakaan umum, dan lain sebagainya. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Jarir bin 'Abdullah, bahwasanya ia berkata;
"Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Nabi saw menjawab, "Palingkanlah pandanganmu."[HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy]. Dari Buraidah ra dituturkan, bahwasanya ia berkata, "Nabi saw bersabda kepada Ali ra, "Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Sesungguhnya, yang boleh bagimu adalah pandangan yang pertama, bukan yang berikutnya." [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudziy] 12. Jika seorang laki-laki bercakap-cakap dengan wanita-wanita asing yang membuka auratnya, karena ada urusan-urusan penting yang harus ia selesaikan, di kantor-kantor, pasar, rumah sakit, dan sebagainya, maka, wajib bagi laki-laki tersebut mengalihkan atau memalingkan pandangannya dari wanita tersebut; dan ia juga wajib menjaga pandangannya. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya Fadl bin 'Abbas berboncengan dengan Nabi saw. Tiba-tiba, ada seorang perempuan alKhats'amiyyah lewat, dan menarik hatinya. Fadl pun memandangi wanita itu, dan wanita itu juga memandangi dirinya. Rasulullah saw segera memalingkan wajahnya dari perempuan itu. Inilah beberapa ketentuan yang berhubungan dengan hukum melihat wanita, baik di rumah maupun di kehidupan umum. Ketentuan-ketentuan ini ditetapkan sebagai bentuk penjagaan Islam terhadap kehormatan dan kesucian wanita. Tidak hanya itu saja, hukum-hukum ini juga digariskan untuk menjaga masyarakat dari kerusakan, akibat hubungan-hubungan abnormal yang terjadi antara laki-laki dan wanita. Sayangnya, sistem pergaulan Islam yang agung dan luhur ini telah tersisih, dan diganti dengan sistem pergaulan barat yang lebih mengagungkan kebebasan dan menonjolkan pemujaan kepada hawa nafsu dan syahwat. Akibatnya, banyak wanita keluar rumah dalam keadaan membuka aurat, dan memamerkan kecantikannya (tabarruj). Pergaulan antara laki-laki dan wanita tidak lagi didasarkan pada prinsip-prinsip ta'awun (saling tolong menolong) dan baqa' al-jins (pelestarian jenis), akan tetapi didasarkan pada prinsip kebebasan dan sexualitas. Akhirnya, sendi-sendi kehidupan masyarakat mengalami kehancuran yang sangat parah. Perzinaan merajalela, prostitusi, lesbian, homoseks, pornografi, pornoksi, dan penyimpangan-penyimpangan perilaku lain akibat diterapkannya sistem pergaulan yang rusak, justru mendapatkan perlindungan hukum, dengan alasan, menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan. Wajar saja, penyimpangan perilaku akibat rusaknya nidzam al-ijtimaa'iy (sistem pergaulan) semakin hari bukan semakin menyusut, akan tetapi justru semakin bertambah, baik dari sisi kerumitan dan kekomplekannya. Untuk itu, harus ada upaya serius dari kaum Muslim untuk menerapkan kembali al-nidzam al-ijtima'iy (sistem pergaulan) Islamiy di tengah-tengah masyarakat, agar hubungan laki-laki dan wanita kembali pada keadaan fithrahnya semula.
BAB II MENUTUP AURAT
Kewajiban Menutup Aurat Syariat Islam telah mewajibkan laki-laki dan wanita untuk menutup aurat, agar masing-masing bisa menjaga pandangannya. Sebab, yang dimaksud dengan "menjaga pandangan" (ghadl al-bashar) adalah tidak melihat hal-hal yang diharamkan atas dirinya. Dengan kata lain, perintah menjaga pandangan tak ada bedanya dengan perintah untuk tidak melihat aurat laki-laki maupun wanita. Sebab, aurat adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh dilihat, baik oleh lakilaki maupun wanita. Sedangkan selain aurat, tidak ada larangan bagi laki-laki dan wanita untuk melihatnya. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perintah untuk menjaga pandangan (ghadldl al-bashar) adalah menjaga pandangan dari aurat laki-laki maupun wanita asing11. Kewajiban menutup aurat telah disitir di dalam al-Quran. Allah swt berfirman;
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan."[al-A'raaf:26] Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan; ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat. Sebab, Allah swt telah menurunkan kepada kita, pakaian yang digunakan untuk menutup aurat. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya menutup aurat. Mereka hanya berbeda pendapat tentang bagian tubuh mana yang termasuk aurat.12 Di dalam kitab Fath al-Qadir, dituturkan; jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat dalam setiap keadaan, walaupun ia seorang diri, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits-hadits shahih.13 Dalam kitab al-Muhadzdzab dinyatakan, bahwa menutup aurat (satru al'aurat) dari pandangan mata adalah wajib.14 Adapun dalil-dalil sunnah yang menunjukkan kewajiban menutup aurat bagi laki dan wanita adalah sebagai berikut; 11
Lihat dan bandingkan dengan Imam al-Jashshash, Ahkaam al-Quran 2, juz 4/204. Al-Raaziy menyatakan, yang dimaksud dengan "menjaga pandangan" adalah menjaga diri untuk tidak melihat aurat-aurat, sedangkan melihat selain aurat bukanlah sesuatu yang dilarang. 12 Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 7/172; Imam al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 4/203; lihat dan bandingkan dengan al-Durr al-Mantsur, 3/433 ; Zaad al-Masiir, juz 3/181; 13 Imam Syaukaniy, Fath al-Qadir, juz 2/200; Kutub wa Rasaail, wa Fatwa Ibnu Taimiyyah fi alFiqh, juz 21/174 14 al-Muhadzzab, juz 1/64, lihat juga al-Tanbiih, juz 1/28; I'aanat al-Thaalibiin, juz 1/113; alWasiith, juz 2/174; Fath al-Mu'iin, juz 1/113
Imam Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy meriwayatkan sebuah hadits yang menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
"Sesungguhnya, Rasulullah saw bersabda, "Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki yang lain dalam satu selimut; dan janganlah seorang wanita tidur dengan wanita lain dalam satu selimut."[HR. Imam Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy] Imam Mubarakfuriy dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy menyatakan, bahwa hadits ini merupakan dalil haramnya seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, serta haramnya seorang perempuan melihat aurat perempuan; begitu juga sebaliknya; seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat wanita, dan wanita tidak boleh melihat aurat laki-laki.15 Bahz bin Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari bapaknya, dan bapaknya berasal dari kakeknya, bahwasanya kakeknya berkata;
"Saya bertanya kepada Rasulullah saw, "Ya Rasulullah, terhadap aurat kami, apa yang boleh kami tampakkan dan apa yang harus kami tutup? Nabi saw menjawab, "Jagalah auratmu, kecuali kepada isteri-isterimu dan budak-budak yang kamu miliki." Saya bertanya lagi, "Lalu, bagaimana jika ada suatu kaum, dimana satu dengan yang lain bisa saling melihat auratnya? Nabi saw menjawab, "Jika kamu mampu, jangan sampai auratmu dilihat oleh seorangpun. Oleh karena itu, janganlah seseorang melihat aurat orang lain." Saya bertanya lagi, "Bagaimana, jika seorang diantara kami telanjang? Nabi menjawab, "Harusnya ia lebih malu kepada Allah swt."[HR. Jama'ah kecuali Imam al-Nasaaiy] Imam Syaukani, dalam kitab Nail al-Authar, menyatakan, bahwasanya hadits di atas merupakan dalil mengenai wajibnya menutup aurat di setiap waktu, kecuali saat buang air, bersenggama, mandi; dan wajibnya menutup aurat di hadapan semua orang, kecuali di hadapan isteri, budak, dokter, saksi,dan qadliy ketika ada persengketaan.16 Hadits ini juga menunjukkan larangan mandi di satu kolam, dimana, satu dengan yang lain saling melihat aurat. 17 Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits di dalam Tarikh-nya, bahwasanya Mohammad bin Jahsiy berkata;
15
16 17
Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, Syarah hadits no.2717; lihat juga Al-Sanadiy, Syarah Shahih Ibnu Majah, hadits no. 336; lihat juga al-Hafidz ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 9/338; 'Aun al-Ma'buud, juz 11/40; Faidl al-Qadiir, juz 4/367; al-Muhalla, juz 11/392 Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/44-45 Ibid, hal. 44-45
"Rasulullah saw melewati Ma'mar yang saat itu kedua pahanya sedang terbuka. Beliau bersabda, "Hai Ma'mar tutuplah kedua pahamu. Sebab, paha itu adalah aurat."[HR. Imam Ahmad, Hakim, dan Bukhari di dalam kitab Tarikh-nya], Jarhad meriwayatkan sebuah hadits dari bapaknya, bahwasanya bapaknya berkata;
"Rasulullah saw tengah lewat, sedangkan saat itu saya sedang memakai kain dan paha saya terbuka. Beliau pun bersabda, "Tutuplah pahamu, karena paha itu adalah aurat."[HR. Imam Ahmad, Malik, Abu Dawud dan Turmudziy] Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya ia berkata;
"Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar datang menemui Rasulullah saw, sedangkan ia mengenakan pakaian tipis. Nabi saw pun segera berpaling darinya, seraya bersabda, "Wahai Asma', jika seorang wanita telah akil baligh, tidak boleh tampak dari dirinya, kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan."[HR. Abu Dawud] Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Nabi saw bersabda; "Janganlah kalian berjalan dengan telanjang."[HR. Muslim]18. Di dalam hadits lain dituturkan, bahwa Rasulullah saw bersabda; "Barangsiapa melihat aurat, hendaknya ia menutupnya."[HR. Abu Dawud]19 Hadits-hadits ini menunjukkan dengan jelas, perintah untuk menutup aurat. Tidak hanya itu saja, hadits-hadits di atas diperkuat dengan hadits-hadits yang berisi ancaman bagi siapa saja yang membuka auratnya di hadapan non mahram. Ancaman Bagi Orang Yang Membuka Auratnya Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
"Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor 18 19
Ibnu Qudamah, al-Mughniy, juz 1/146 al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 5/289
sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian."[HR. Imam Muslim] Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, "Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian 'ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta."20 Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.
"Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang ia pergunakan untuk mencambuk manusia."[HR. Imam Ahmad] Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok --melakukan gerakan-gerakan erotis dan merangsang (porno aksi).
20
Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 3971
BAB III DEFINISI DAN BATASAN AURAT
Definisi Aurat Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai' almustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah 'awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan). 21 Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah, menyatakan, "'al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu."22 Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)".23 Di dalam kitab Faidl al-Qadiiir, disebutkan, "al-'aurat : ma yastahyiy minhu idza dzahara (aurat adalah apa-apa yang menyebabkan rasa malu jika terlihat)24. Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata," Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan). Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat."25 Dalam kitab al-Mubaddi' dinyatakan; kata "al-aurat ", secara literal bermakna "al-nuqshaan wa al-syai` al-mustaqbih" (kekurangan dan sesuatu yang menyebabkan celaan). Disebut aurat, sebab, jika ditampakkan tercela. 26 Dalam kamus Lisaan al-'Arab disebutkan, "Kullu 'aib wa khalal fi syai' fahuwa 'aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu'wirun au 'awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan))."27 Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan; "Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A'masy membacanya dengan huruf wawu difathah; 'awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim."28 Batasan Aurat Laki-laki dan Wanita Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi'iy Di dalam kitab al-Muhadzdzab, Imam al-Syiraaziy berkata;
21 22 23 24 25 26 27 28
al-Mubadda', juz 1/359; Kasyf al-Qanaa', juz 1/263 Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 461 Syarah Sunan Ibnu Majah, juz 1/276 Faidl al-Qadiir, juz 1/541 Imam Syarbiniy, Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185 Abu Ishaq, al-Mubadda', juz 1/359 Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 4/616 Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/51
"Aurat laki-laki antara pusat dan lutut, sedangkan pusat dan lututnya sendiri bukan termasuk aurat. Hanya saja, sebagian madzhab kami berpendapat bahwa pusat dan lutut termasuk aurat. Yang benar adalah, keduanya bukanlah aurat. Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, "Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan."29 Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-'Ulama berkata; "Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan lutut dan pusat bukanlah termasuk aurat. Pendapat semacam ini dipegang oleh Imam Malik dalam sebuah riwayat dari Ahmad. Sebagian golongan dari kami berpendapat, bahwa pusat dan lutut termasuk aurat.. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan."30 Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim berkata; "Aurat laki-laki, baik masih kecil maupun sudah dewasa, budak non mukatab, maupun mukatab, serta anak budak, adalah antara pusat dan lutut..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan." 31 Dalam kitab al-Umm 32dinyatakan; "Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut, sedangkan keduanya (pusat dan lutut) bukanlah termasuk aurat….Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan." Al-Dimyathiy, dalam kitab I'aanat al-Thaalibiin, menyatakan; "Setiap laki-laki merdeka maupun budak, wajib menutup antara pusat dan lututnya; berdasarkan hadits, "Aurat seorang Mukmin adalah antara pusat dan lututnya. Selain itu, juga didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqiy, "…dan auratnya adalah antara pusat dan lutut."33 Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. 34 Imam Syarbiniy dalam kitab al-Iqnaa', menyatakan; "Aurat laki-laki antara pusat dan lututnya; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqiy, bahwasanya Nabi saw bersabda,"Jika salah seorang diantara kamu menikahi budak perempuannya hendaknya, budaknya itu tidak melihat auratnya. Adapun auratnya adalah antara pusat dan lutut…sedangkan pendapat yang paling shahih, pusat dan lutut tidak termasuk aurat…."35 Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, Imam Syarbiniy menyatakan; "Aurat laki-laki, baik budak, kafir, anak kecil, maupun yang sudah dewasa…adalah antara pusat dan lutut…Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…"36
29 30 31 32 33 34 35 36
al-Syiraziy, al-Muhadzdzab, juz 1/64 al-Syaasyiy, Haliyat al-'Ulama, juz 2/53 al-Haitsamiy, Manhaj al-Qawiim, juz 1/232 Imam Syafi'iy, al-Umm, juz 1/89 al-Dimyathiy, I'aanat al-Thaalibiin, juz 1/112 Ibid, juz 1/113 Imam Syarbiniy, al-Iqnaa', juz 1/123 Imam Syarbiniy, Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy Di dalam kitab al-Mubadda', Abu Ishaq menyatakan; "Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, "Seluruh badan wanita adalah aurat" [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya."37 Di dalam kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa "Sesungguhnya, apa yang ada di bawah pusat hingga lutut adalah aurat. Dengan ungkapan lain, apa yang ada diantara pusat dan lututnya adalah auratnya. Ketentuan ini berlaku untuk laki-laki merdeka maupun budak. Sebab, nash telah mencakup untuk keduanya….Sedangkan pusat dan lutut bukanlah termasuk aurat, seperti yang dituturkan oleh Imam Ahmad. Pendapat semacam ini dipegang oleh Imam Syafi'iy dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat, bahwa lutut termasuk aurat….Para ulama sepakat, bahwa wanita boleh membuka wajahnya di dalam sholat, dan ia tidak boleh membuka selain muka dan kedua telapak tangannya. Sedangkan untuk kedua telapak tangan ada dua riwayat, dimana para ulama berbeda pendapat, apakah ia termasuk aurat atau bukan. Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza'iy, dan Syafi'iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…" 38 Di dalam kitab al-Furuu', karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut; "Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama….sedangkan aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut."39 Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan; "Aurat laki-laki adalah mulai dari pusat hingga lutut, dan keduanya (pusat dan lutut) termasuk aurat. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan.."40. Dalam Hasyiyah Dasuqiy, dinyatakan; 37
38 39 40
Abu Ishaq, al-Mubadda', juz 1/360-363. Diskusi masalah ini sangatlah panjang. Menurut Ibnu Hubairah dan Imam Ahmad, dalam satu riwayat; aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sedangkan dalam riwayat lain Imam Ahmad menyatakan, bahwa seluruh badan wanita adalah aurat.[Ibnu Hubairah, al-Ifshaah 'an Ma'aaniy al-Shihaah, juz 1/86 Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 1/349 Al-Muqdisiy, al-Furuu', juz 1/285 Abu al-Hasan al-Malikiy, Kifayaat al-Thaalib, juz 1/215
"Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat) dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya……Selain aurat, yakni antara pusat dan lutut, maka tidak wajib bagi laki-laki untuk menutupnya…sedangkan aurat wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…"41 Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan; "Yang demikian itu diperbolehkan. Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan…"42 Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata; "Adapun aurat laki-laki, menurut mayoritas ulama kami, adalah antara pusat dan dua lutut, sedangkan aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan.."43 Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan; "Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi'iy ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…"44 Dalam kitab Badaai' al-Shanaai' disebutkan; "Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi'iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat." Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat."45 Aurat Laki-laki Dalam Perdebatan Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan aurat laki-laki. Ada sebagian ulama berpendapat, bahwa aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut, sedangkan pusat dan lutut bukan termasuk aurat. Imam Qurthubiy di dalam tafsir Qurthubiy menyatakan; para ulama berbeda pendapat mengenai bagian tubuh mana yang termasuk aurat. Ibnu Abi Da`b berpendapat, bahwa aurat laki-laki hanyalah kemaluan dan dubur, bukan yang lainnya. Ini adalah pendapat Dawud, Ahlu Dzahir, Ibnu Abi 'Aliyah, dan Al-Thabariy. Sedangkan Imam Malik berpendirian bahwa pusar tidak termasuk aurat, dan beliau memakruhkan laki-laki yang membuka pahanya di hadapan isterinya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa lutut termasuk aurat; dan ini adalah pendapat 'Atha'. 41 42 43 44 45
Al-Dasuqiy, Hasyiyah al-Dasuqiy, juz 1/215 Syarqaaniy, Syarah al-Zarqaaniy, juz 4/347 Mohammad bin Yusuf, al-Taaj wa al-Ikliil, juz 1/498 Abu al-Husain, al-Hidaayah Syarh al-Bidaayah, juz 1/43 al-Kaasaaniy, Badaai' al-Shanaai', juz 5/123
Adapun Imam Syafi'iy berpendapat, bahwa pusat dan kedua lutut tidak termasuk aurat, dan ini adalah riwayat yang shahih (benar). Namun, Abu Hamid alTurmudziy meriwayatkan, bahwa Imam Syafi'iy mempunyai dua pendapat mengenai pusat.46 Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut, dan keduanya (pusat dan lutut) termasuk aurat 47. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa pusat, paha, dan lutut bukan termasuk aurat. Abu Da'biy berkata, "Aurat laki-laki adalah kemaluan dan dubur. Pendapat semacam ini dipegang oleh Dawud, Ahlu Dzahir, Abu 'Aliyyah, Thabariy, Ibnu Jarir, dan al-Ishthahariy.48 Inilah beberapa pendapat ulama mengenai bagian-bagian tubuh laki-laki yang termasuk aurat. Paha Termasuk Aurat Laki-Laki Apakah paha termasuk aurat? Ada dua pendapat dalam masalah ini. Mayoritas ulama berpendirian, bahwa paha termasuk aurat laki-laki. Ulama lain berpendapat, paha bukan termasuk aurat. Pendapat terkuat dan terpilih adalah, paha termasuk aurat laki-laki. Orang yang berpendapat, bahwa paha bukan aurat mengajukan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari 'Aisyah ra.
"Suatu saat Rasulullah saw duduk-duduk dengan pahanya yang terbuka. Lalu, Abu Bakar minta ijin untuk masuk. Ia dipersilahkan oleh Nabi saw, sedangkan beliau tetap dalam keadaan seperti itu. Setelah itu, 'Umar juga meminta ijin untuk masuk, dan beliau juga dipersilahkan oleh Nabi saw, dan beliau saw juga masih dalam keadaan seperti itu. Tak lama kemudian, 'Utsman bin 'Affan juga meminta ijin untuk masuk, dan Nabi saw pun melepaskan kainnya ke bawah. Setelah mereka bangkit pergi, saya ('Aisyah ra) bertanya, "Ya Rasulullah, ketika Abu Bakar dan Umar minta masuk, anda kabulkan, sedangkan pakaian anda masuk seperti semula. Tetapi, ketika 'Utsman minta masuk, kenapa anda melepaskan kain anda? Nabi saw menjawab, "Hai 'Aisyah, Tidakkah aku akan 46
Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 7/182. Di dalam kitab Nail al-Authar, Imam Syaukani menyatakan; al-Hadiy , Muayyid bi al-Allah, Abu Hanifah, dan 'Atha', dan Imam Syafi'iy berpendapat bahwa lutut tidak termasuk aurat. Menurut Imam Syaukani, Imam Syafi'iy juga berpendirian bahwa pusat termasuk aurat. [Imam Syaukani, Nail al-Authar, juz 2/48] 47 Abu al-Hasan al-Malikiy, Kifayaat al-Thaalib, juz 1/215 48 Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 7/182, Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/hal.45. Di dalam kitab Nail al-Uthar, Imam Syaukani menyatakan, "Imam Nawawiy berkata, bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa paha adalah aurat. Dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Ahmad dan Malik dinyatakan, bahwa yang termasuk aurat hanyalah kemaluan dan dubur saja." Pendapat semacam ini dipegang oleh Ahlu Dzahir, Ibnu Jarir, al-Ishthakhariy. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, yang tepat pendapat semacam ini berasal dari Ibnu Jarir.
merasa malu terhadap orang yang demi Allah, para malaikat saja merasa malu kepadanya."[HR. Imam Ahmad dan Imam Bukhari menyatakan hadits ini mu'allaq] Mereka juga mengetengahkan hadits riwayat Anas ra, bahwasanya ia berkata;
"Nabi saw pada waktu Perang Khaibar menyingsingkan kain dari pahanya, hingga kelihatan olehku paha yang putih itu."[HR. Imam Ahmad dan Bukhari]. Dan masih banyak lagi hadits yang dijadikan sandaran bagi orang yang berpendapat, bahwa paha bukan termasuk aurat. Imam Syaukani menyanggah pendapat di atas, dan mentarjih bahwa paha termasuk aurat. Menurut Imam Syaukani, dua hadits di atas, yakni hadits riwayat 'Aisyah ra dan Anas ra, harus dipahami pada konteks dan kondisi tertentu. Dengan kata lain, dua hadits di atas hanya berlaku pada konteks dan keadaan khusus, dan tidak boleh diberlakukan pada konteks yang bersifat umum dan menyeluruh 49. Sebab, konteks dua hadits di atas berlaku khusus, dan terjadi pada keadaankeadaan tertentu. Imam Qurthubiy menyatakan; dalam keadaan perang atau genting, seseorang boleh-boleh saja menyingkap pahanya. Oleh karena itu, yang layak dijadikan hujjah adalah hadits-hadits yang mengandung hukum kulliy (hukum yang berlaku menyeluruh atau umum); yakni khithab umum bagi yang menyatakan bahwa paha adalah aurat yang harus ditutup oleh kaum Muslim. Salah contoh hadits yang memuat hukum kulliy adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Tarikhnya.
"Rasulullah saw melewati Ma'mar yang saat itu kedua pahanya sedang terbuka. Beliau bersabda, "Hai Ma'mar tutuplah kedua pahamu. Sebab, paha itu adalah aurat."[HR. Imam Ahmad, Hakim, dan Bukhari di dalam kitab Tarikh-nya]. Hadits ini, khithabnya bersifat umum dan berlaku untuk semua laki-laki. Mengamalkan hadits-hadits yang mengandung hukum kulliy, lebih utama dibandingkan dua hadits di atas (hadits riwayat 'Aisyah dan Anas ra). Selain itu, dalam kaedah ushul fiqh juga disepakati bahwa perkataan (al-qaul) lebih kuat dibandingkan perbuatan (al-fi‟l)50. Hadits yang menyiratkan paha bukan aurat, berbentuk fi'liy (perbuatan), sedangkan hadits-hadits yang menyatakan paha aurat, berbentuk qauliy (perkataan). Oleh karena itu, mengamalkan hadits yang menetapkan paha adalah aurat, lebih utama dibandingkan hadits yang menetapkan paha bukan aurat. Adapun hadits-hadits yang menunjukkan, bahwa paha termasuk aurat adalah sebagai berikut; Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits di dalam Tarikh-nya, bahwasanya Mohammad bin Jahsiy berkata;
49 50
Imam al-Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/45 Ibid, hal. 45
"Rasulullah saw melewati Ma'mar yang saat itu kedua pahanya sedang terbuka. Beliau bersabda, "Hai Ma'mar tutuplah kedua pahamu. Sebab, paha itu adalah aurat."[HR. Imam Ahmad, dan Bukhari di dalam kitab Tarikh-nya]. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dan Imam Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Dari Ibnu „Abbas ra dituturkan, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Paha adalah aurat”.[HR. Turmudziy]. Imam Ahmad juga mengetengahkan riwayat yang sama dengan redaksi sebagai berikut;
“Rasulullah saw tengah melintas di depan seorang laki-laki yang pahanya terbuka; beliau pun bersabda, “Tutuplah pahamu, sesungguhnya paha seorang laki-laki termasuk auratnya.” [HR. Imam Ahmad] Dari Jarhad, ia berkata;
"Rasulullah saw tengah lewat, sedangkan saat itu saya sedang memakai kain dan paha saya terbuka. Beliau pun bersabda, "Tutuplah pahamu, karena paha itu adalah aurat."[HR. Imam Ahmad, Malik, Abu Dawud dan Turmudziy]. Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari 'Ali ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
"Janganlah engkau membuka pahamu, dan janganlah engkau melihat paha orang hidup maupun orang mati."[HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah] Hadits-hadits ini menunjukkan, bahwa paha termasuk aurat laki-laki, sehingga wajib ditutup. Pendapat yang lebih kuat dan layak dipegang adalah pendapat yang menyatakan, bahwa paha termasuk aurat. Alasannya, pertama, hadits-hadits yang diketengahkan pihak pertama, seluruhnya tidak menunjukkan adanya khithab untuk seluruh kaum Muslim, tapi hanya bertutur tentang perilaku atau perbuatan pribadi Nabi saw pada konteks dan kejadian tertentu. Dengan kata lain, haditshadits tersebut tidak menunjukkan adanya kewajiban untuk ta'asiy (mengikuti) kepada perbuatan Nabi saw. Yang layak diikuti adalah dalil-dalil yang mengandung hukum kulliy, bukan hukum juz'iy. Kedua, adapun hadits yang diketengahkan kelompok kedua lebih jelas khithabnya kepada seluruh kaum Muslim. Lebih-lebih lagi hadits ini datang dalam bentuk ucapan (qauliy), sehingga lebih kuat dibandingkan hadits-hadits perbuatan (fi'liy). Ketiga, hadits-hadits yang menyatakan paha bukanlah aurat juga akan bertentangan dengan hadits-hadits lain yang menyatakan, bahwa aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut.
“Aurat laki-laki adalah antara pusat hingga lututnya”.[HR. Imam Daruquthniy, dan Baihaqiy], dan masih banyak lagi. Hadits ini menunjukkan bahwa paha termasuk aurat. Sebab, paha terletak antara pusat dan lutut. Apakah Pusat dan Lutut Termasuk Aurat? Pada bahasan sebelumnya telah dijelaskan, bahwa para ulama juga berbeda pendapat mengenai status pusat dan lutut, apakah keduanya termasuk aurat atau bukan. Sebagian ulama berpendapat, bahwa pusat dan lutut bukan termasuk aurat. Mereka berargumentasi dengan hadits yang tercantum di dalam Sunan Abu Dawud, dan Daruquthniya, bahwasanya Nabi saw bersabda;
“Jika salah seorang diantara kalian menikahkan budak laki-lakinya, atau pembantu laki-lakinya, janganlah melihat apa yang ada di bawah pusat dan di atas lutut.”[HR. Abu Dawud dan Daruquthniy] Sebagian yang lain berpendapat, bahwa pusat tidak termasuk aurat, sedangkan lutut termasuk aurat. Mereka berdalil dengan hadits;
“Aurat laki-laki adalah apa yang ada di bawah pusatnya, hingga lututnya”. Hadits ini dijadikan hujjah oleh al-Mahdiy di dalam kitab al-Bahr. Sebagian ulama lain berpendirian, bahwa pusat termasuk aurat, sedangkan lutut tidak termasuk aurat. Sebagian yang lain berpendapat, pusat dan lutut bukan termasuk aurat. Mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari Abu Darda‟, bahwasanya ia berkata;
“Saya sedang duduk di samping Nabi saw, kemudian datanglah Abu Bakar dengan menyingsingkan kainnya, hingga saya melihat kedua lututnya. Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya, shahabatmu sedang marah.” Setelah itu, Abu Bakar pun memberi salam.”[HR. Bukhari] Nabi saw mendiamkan Abu Bakar yang telah menyingkapkan lututnya. Ini menunjukkan, bahwa lutut bukan termasuk aurat. Pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur para „ulama, yang menyatakan bahwa aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut (maa baina alsartah wa al-rukbah), dan keduanya bukan termasuk aurat. Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan Jumhur „ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lakilaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."[al-Nuur:31] Menurut Imam Thabariy, makna yang lebih tepat untuk "perhiasan yang biasa tampak" adalah muka dan telapak tangan.51 Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata;
"Wahai Asma' sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya."[HR. Muslim] Imam Qurthubiy menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para lakilaki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh lakilaki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas'ud mengatakan, bahwa maksud frase "illa ma dzahara minha" adalah dzaahir al-ziinah" (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa'id bin Jabiir, 'Atha' dan Auza'iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju52. Menurut Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan "al-ziinah" (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan "al-ziinah" (perhiasan) di sini adalah "mawaadli' al-ziinah" (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah "janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk
51 52
Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/118 Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32.
menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki"53. Syarat-syarat Menutup Aurat Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan "satru al-'aurat" (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari 'Aisyah ra, ra bahwasanya Asma' binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda:
"Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini." Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma' belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya: "Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya." Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,"Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis." Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak. Kesimpulan 1. Syariat Islam telah mewajibkan laki-laki dan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan adanya satru al-'aurat (menutup aurat). 2. Aurat laki-laki adalah antara pusat dan perut, sedangkan keduanya tidak termasuk aurat. 3. Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. 4. Seseorang baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar. Dengan kata lain, penutup yang digunakan untuk menutup
53
Imam al-Nasafiy, tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143. Dalam kitab Ruuh al-Ma'aaniy, juz 18/140, dituturkan, "Diungkapkan dengan perkataan "al-ziinah" (perhiasan), bukan "anggota tubuh tempat menaruh perhiasan", ditujukan untuk memberikan kesan penyangatan dalam hal perintah untuk menutup aurat.. Sedangkan yang boleh ditampakkan adalah muka dan kedua telapak tangan.. Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/285, menyatakan; menurut jumhur ulama tafsir, "illa ma dzahara minhaa" diartikan muka dan kedua telapak tangan.
aurat tidak boleh transparan hingga warna kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.
BAB IV KHIMAR DAN JILBAB
Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya. Dalam konteks "menutup aurat" (satru al-'aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit. Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna. Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada di luar rumah, atau berada di kehidupan umum. Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab. Perintah Mengenakan Khimar Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.."[al-Nuur:31] Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada. Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-'Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. 54
54
Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 4/257
Khimar (kerudung) adalah ghitha' al-ra'si 'ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.55 Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan; "Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna' (penutup kepala). Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya 56 (khimar).." Ibnu al-'Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, "Jaib" adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari 'Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, "Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika diturunkan firman Allah swt "Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka", mereka membelah kain selendang mereka". Di dalam riwayat yang lain disebutkan, "Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah kainnya." Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki."57 Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, "Adapun yang dimaksud dengan frase "fakhtamarna bihaa" (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan taqannu' (berkerudung). Al-Farra' berkata,"Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan 'imamah (sorban) bagi laki-laki." 58 Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan; "Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala. Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana'), Sa'id bin Jabir berkata, "wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna 'ala juyuubihinna, ya'ni 'ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya)."59 Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata; "Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath'u min dur'u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak".60 Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan; "Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna') di 55
Imam Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/336 al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran, juz 1/311 57 Ibnu al-'Arabiy, Ahkaam al-Quraan, jilid III/1369 58 al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 10/106 59 Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3/285; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/120; Durr al-Mantsur, juz 6/182 60 Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/23 56
atas dada mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka."61 Perintah Mengenakan Jilbab Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah swt berfirman :
"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang".[alAhzab:59] Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula'ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung."[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, "jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula'ah (baju kurung)."[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy] Di dalam kamus Lisaan al-'Arab dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa aljilbaab tsaub awsaa' min al-khimaar duuna ridaa' tughthi bihi al-mar`ah ra'sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa', yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya." Ada pula yang mengatakan aljilbaab: tsaub al-waasi' duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; aljilbaab : al-milhafah (baju kurung).62 Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, "Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida' (juba).63 Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, "Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, jilbaab adalah ridaa' (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa' (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii' al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu 'Athiyyah, bahwasanya ia berkata, "Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi menjawab,"Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya".64 Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir menyatakan, "al-jilbaab huwa alridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas'ud, 'Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa'id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha'iy, 'Atha' al61 62 63 64
Ibnu Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 6/32; Imam Nasafiy, Tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143; Ruuh alMa'aaniy, juz 18/142 Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 1/272 Imam Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaf, juz Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 14/243
Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini. Al-Jauhariy berkata, "al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung)."65 Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan; "Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung). Al-Jauhari berkata, "al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan al-qanaa' (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii' al-badan al-mar`ah."66 Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata; " Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak"67
65 66 67
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/519 Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/304 Imam al-Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/560
Syarat Penguluran Jilbab Jilbab harus diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua mata kaki. semacam ini didasarkan pada firman Allah swt;
Ketentuan
""Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang".[al-Ahzab:59] Makna ayat di atas adalah; hendaknya mereka mengulurkan jilbab. Huruf "min" pada frase "min jalaabiibihinna" berfungsi untuk menjelaskan (li al-bayaan), bukan li altab'iidl (menunjukkan arti sebagian). Oleh karena itu, maksud ayat di atas adalah, "hendaklah para wanita itu mengulurkan mula'ah (kain panjang tak berjahit) atau milhafah (semacam selimut) hingga menjulur ke bawah (irkha`)". Penafsiran semacam ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasaaiy, dari Ibnu 'Umar ra; bahwasanya Nabi saw bersabda;
"Barangsiapa mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat. Ummu Salamah bertanya, "Lantas, bagaimana dengan ujung pakaian yang dikenakan oleh para wanita? Rasulullah saw menjawab, "Hendaklah diulurkan sejengkal." Ummu Salamah berkata lagi, "Kalau begitu akan tampak kedua kakinya." Nabi saw menjawab lagi, "Hendaklah diulurkan sehasta dan jangan ditambah".[HR. Abu Dawud] Hadits ini menjelaskan bahwa pakaian luar (jilbab) yang dikenakan wanita, yakni mula`ah atau milhafah, mesti diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Oleh karena itu, jika seorang wanita menutupi kedua kakinya dengan kaus kaki atau sepatu, maka ia belum disebut irkha` (mengulurkan) jilbab. Sebab, yang dituntut oleh syariat adalah irkha` (mengulurkan jilbab) hingga ke bawah kedua kaki, bukan sekedar menutup kedua mata kaki. Inilah busana wanita Muslimat ketika ia hendak keluar rumah. Busana itu adalah khimar dan jilbab. Oleh karena itu, seorang wanita dilarang keluar dari kehidupan khususnya, rumah misalnya, tanpa mengenakan pakaian syar'iy yang telah diwajibkan baginya, yakni, jilbab dan kerudung (khimar). Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits shahih, Rasulullah saw bersabda:
Diriwayatkan dari Ummu 'Athiah yang berkata,"Rasulullah saw. memerintahkan kami agar keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adlha, baik ia budak wanita, wanita yang haidl, maupun yang perawan. Adapun bagi orangorang yang haidl maka menjauh dari tempat shalat, namun menyaksikan kebaikan dan seruan kaum Muslim. Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah saw. salah seorang di antara
kami tidak memiliki jilbab. Maka Rasulullah saw. menjawab: 'Hendaklah saudaranya itu meminjamkan jilbabnya."[HR. Muslim] Hadits ini menerangkan bahwa jilbab bukanlah pakaian utama yang dikenakan oleh wanita untuk menutup auratnya, akan tetapi, ia adalah pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian utama (pakaian sehari-hari), ketika wanita itu hendak keluar dari rumahnya. Dengan kata lain, jilbab adalah busana lain (busana kedua) yang dikenakan untuk menutup busana utama, dan ia dikenakan khusus ketika hendak keluar dari rumah. Dalam hadits lain dituturkan, bahwasanya Usamah bin Zaid berkata;
"Rasulullah saw memberiku qubthiyyah (pakaian dari katun) yang tebal, dari hadiah yang telah diberikan Dihyah al-Kalbi kepada beliau saw. Lalu, aku memberikan kain itu kepada isteriku. Beliau bertanya, "Mengakap engkau tidak memakai qubthiyyah itu? Aku menjawab, "Aku telah memberikannya kepada isteriku." Nabi saw berkata, "Perintahkanlah kepadanya supaya meletakkan ghilaalah (pakaian tipis yang dikenakan di bawah kain lainnya) di bawahnya. Saya khawatir bentuk tulangnya akan terlihat."[HR. Imam Ahmad] Kesimpulan 1. Busana yang harus dikenakan wanita Muslimah ketika keluar dari rumah adalah khimar dan jilbab. 2. Khimar adalah kain kerudung (penutup kepala) yang diulurkan hingga menutupi dada wanita. 3. Jilbab adalah pakaian luas yang dikenakan di atas pakaian biasa (pakaian seharihari), dan ia wajib diulurkan hingga ke bawah kaki. Hanya saja, jilbab wajib dikenakan ketika wanita hendak keluar dari rumah. Adapun jika ia berada di dalam rumah, ia tidak diwajibkan mengenakan jilbab, dan cukup mengenakan pakaian sehari-hari.
BAB V TAZAYYUN DAN TABARRUJ
Kebolehan Tazayyun (Berhias) Salah satu fithrah yang dianugerahkan Allah kepada manusia adalah kecenderungan untuk menyukai keindahan, kebersihan, dan kerapian. Kecenderungankecenderungan ini merupakan sifat-sifat yang tidak mungkin dihapuskan dari diri manusia. Oleh karena itu, Islam telah mensyariatkan sejumlah hukum yang berhubungan dengan fithrah-fithrah tersebut. Misalnya, Islam telah mewajibkan mandi bagi orang yang berhadats besar, dan wudlu' bagi orang yang berhadats kecil. Islam juga mewajibkan kaum Muslim untuk membersihkan najis yang mengenai badan, pakaian, dan tempat tinggalnya. Lebih dari itu, Islam juga mengatur hukum-hukum yang berkaitan dengan menghias diri, memakai wewangian, berbusana, dan lain sebagainya. Dalam konteks berhias, sesungguhnya, syariat Islam membolehkan laki-laki dan wanita menghias dirinya dalam batas kewajaran. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari 'Abdullah bin Mas'ud ra, bahwasanya ia berkata;
"Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw,"Sesungguhnya seorang laki-laki itu ingin agar bajunya bagus dan sandalnya juga bagus." Beliau saw bersabda, "Sesungguhnya Allah itu Indah dan menyukai keindahan.."[HR. Imam Muslim] Imam al-Nasaa'iy meriwayatkan sebuah hadits dari 'Aisyah ra, bahwasanya ia berkata;
"Sesungguhnya, seorang wanita mengulurkan tangannya kepada Nabi saw dengan sebuah kitab, tetapi beliau hanya menggenggam tangan beliau. Wanita itu berkata, "Wahai Rasulullah, aku ulurkan tanganku kepadamu dengan sebuah kitab, tetapi engkau tidak mau mengambilnya". Beliau saw menjawab,"Sesungguhnya aku tidak tahu, apakah ia tangan seorang wanita ataukah tangan seorang laki-laki.' Wanita itu berkata, "Tetapi, ini adalah tangan wanita." Nabi saw menjawab, "Jika engkau seorang wanita, tentunya engkau akan mengubah warna kukumu dengan inai". [HR. Imam Nasaa'iy] Dalam riwayat lain yang dituturkan dari Ibnu 'Abbas, disebutkan; "Ada seorang wanita datang kepada Nabi saw untuk berbaiat kepada beliau, tetapi, dia tidak mengecat kukunya, sehingga beliau tidak mau membai'atnya hingga ia mengecat kukunya."[HR. Abu Dawud] Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari 'Imran bin Husain, bahwa Nabiyullah saw berkata; "Perhatikan, wewangian lelaki adalah berbau namun tidak berwarna; dan perhatikanlah, wewangian wanita adalah berwarna namun tidak berbau.' Sa'id (salah
seorang perawi) berkata, "Aku melihat ia mengatakan, "Sesungguhnya mereka membawa ucapan beliau mengenai wewangian itu ke arah "jika dia keluar rumah". Adapun jika dia berada di samping suaminya, dia boleh memakai wewangian yang dia sukai."[HR. Abu Dawud]; dan masih banyak hadits-hadits lain yang berbicara pada konteks berhiasnya seorang wanita. Hadits-hadits di atas menunjukkan, bahwa seorang wanita Mukminat diperbolehkan menghias dirinya (tazayyun) dalam batas-batas kewajaran. Namun, syariat dengan tegas melarang wanita menghias dirinya di luas batas kewajaran alias tabarruj (bersolek untuk menampakkan kecantikannya). Larangan tabarruj telah disebutkan dengan sharih di dalam al-Quran. Allah swt berfirman;
"Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti haidl dan kehamilan yang tidak ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (tabarruj)."[al-Nuur:60] Mafhum muwaqah ayat ini adalah, "jika wanita-wanita tua yang telah menaphouse saja dilarang melakukan tabarrauj, lebih-lebih lagi wanita-wanita yang belum tua dan masih punya keinginan nikah." Larangan Bertabarruj Pada dasarnya, Islam telah melarang wanita melakukan tabarruj (menampakkan perhiasannya). Dengan kata lain, tabarruj adalah hukum lain yang berbeda dengan hukum menutup aurat dan hukum wanita mengenakan kerudung dan jilbab. Walaupun seorang wanita telah menutup aurat dan berbusana syar'iy, namun tidak menutup kemungkinan ia melakukan tabarruj. Adapun larangan tabarruj telah ditetapkan Allah swt di dalam surat al-Nuur ayat 60. Allah swt berfirman:
"Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti haidl dan kehamilan yang tidak ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (tabarruj)."[al-Nuur:60] Jika wanita tua dilarang untuk tabarruj, lebih-lebih lagi wanita yang belum tua dan masih mempunyai keinginan untuk menikah. Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-'Arab menyatakan; "Wa al-tabarruj : idzhaar al-mar`ah ziinatahaa wa mahaasinahaa li al-rijaal (tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan anggota tubuh untuk menaruh perhiasan kepada laki-laki non mahram."68 Di dalam kitab Zaad al-Masiir dinyatakan; "Tabarruj, menurut Abu 'Ubaidah, adalah seorang wanita menampakkan kecantikannya. Sedangkan menurut al-Zujaj; tabarruj adalah menampakkan perhiasaan, dan semua hal yang bisa merangsang syahwat laki-laki…Sedangkan sifatsifat tabarruj di jaman jahiliyyah ada enam pendapat; pertama; seorang wanita yang keluar dari rumah dan berjalan diantara laki-laki. Pendapat semacam ini dipegang 68
Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 2/212; Tafsir Qurthubiy, juz 10/9; Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.46; Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 3/125; Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/554; al-Jashshash, Ahkaam al-Quran 2, juz 5/230; Imam al-Nasafiy, Tafsir alNasafiy, juz 3/305; Ruuh al-Ma'aaniy, juz 22/7-8; dan sebagainya.
oleh Mujahid. Kedua, wanita yang berjalan berlenggak-lenggok dan penuh gaya dan genit. Ini adalah pendapat Qatadah. Ketiga, wanita yang memakai wewangian. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Najih. Keempat, wanita yang mengenakan pakaian yang terbuat dari batu permata, kemudian ia memakainya, dan berjalan di tengah jalan. Ini adalah pendapat al-Kalabiy. Kelima, wanita yang mengenakan kerudung namun tidak menutupnya, hingga anting-anting dan kalungnya terlihat….."69 Perbuatan-perbuatan Yang Terkategori Tabarruj Banyak hadits yang melarang setiap perbuatan yang bisa terkategori tabarruj; diantaranya adalah sebagai berikut; 1. Mengenakan Pakaian Tipis dan Pakaian Ketat Yang Merangsang Wanita yang mengenakan pakaian tipis, atau memakai busana ketat dan merangsang termasuk dalam kategori tabarruj. Nabi saw bersabda:
"Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti seekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian."[HR. Imam Muslim] Ketika menafsirkan frase "mutabarrijaat" yang terdapat di dalam surat al-Nuur ayat 60, Imam Ibnu al-'Arabiy menyatakan; "Termasuk tabarruj, seorang wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw yang terdapat di dalam hadits shahih, "Betapa banyak wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis merangsang, dan berlenggak-lenggok. Mereka tidak akan masuk ke dalam surga dan mencium baunya." (HR. Imam Bukhari]. Sebab, yang menjadikan seorang wanita telanjang adalah karena pakaiannya; dan ia disebut telanjang karena pakaian tipis yang ia kenakan. Jika pakaiannya tipis, maka ia bisa menyingkap dirinya, dan ini adalah haram."70 2. Mengenakan Wewangian Di Hadapan Laki-laki Asing Di dalam hadits lain, dituturkan, bahwasanya Nabi saw bersabda, "
"Siapapun wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, berarti ia telah berzina."[HR. Imam al-Nasaaiy] Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda;
69 70
Zaad al-Masiir, juz 6/38-382 Imam Ibnu al-'Arabiy, Ahkaam al-Quran, juz 3/hal. 419
"Setiap wanita yang memakai wewangian, janganlah ia mengerjakan sholat 'Isya' bersama kami."[HR. Muslim]
"Siapa saja wanita yang mengenakan bakhur, janganlah dia menghadiri shalat 'Isya' yang terakhir bersama kami."[HR. Muslim] Menurut Ibnu Abi Najih, wanita yang keluar rumah dengan memakai wangiwangian termasuk dalam kategori tabarruj jahiliyyah.71 Oleh karena itu, seorang wanita Mukminat dilarang keluar rumah atau berada di antara laki-laki dengan mengenakan wewangian yang dominan baunya. Adapun sifat wewangian bagi wanita Mukminat adalah, tidak kentara baunya dan mencolok warnanya. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw;
"Ketahuilah, parfum pria adalah yang tercium baunya, dan tidak terlihat warnanya. Sedangkan parfum wanita adalah yang tampak warnanya dan tidak tercium baunya."[HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud] 3. Berdandan Menor atau Berlebihan Termasuk tabarruj adalah berdandan atau bersolek dengan tidak seperti biasanya. Misalnya, memakai bedak tebal, eye shadow, lipstik dengan warna mencolok dan merangsang, dan lain sebagainya. Sebab, tindakan-tindakan semacam ini termasuk dalam kategori tabarruj secara definitif. Imam Bukhari menyatakan, bahwa tabarruj adalah tindakan seorang wanita yang menampakkan kecantikannya kepada orang lain."72 Larangan tersebut juga telah disebutkan dalam al-Quran. Allah swt berfirman;
"Janganlah mereka memukul-mukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan."[Al-Nuur:31] Ayat ini juga menunjukkan keharaman melakukan tabarruj. Sedangkan definisi tabarruj adalah idzhaar al-ziinah wa al-mahaasin li al-ajaanib (menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada laki-laki yang bukan mahram). Jika dinyatakan; seorang wanita telah bertabarruj, artinya, wanita itu telah menampakkan perhiasan dan kecantikannya kepada orang yang bukan mahramnya. Atas dasar itu, setiap upaya mengenakan perhiasan atau menampakkan kecantikan yang akan mengundang pandangan kaum laki-laki termasuk dalam tindakan tabarruj yang dilarang. Berdandan menor, baik dengan lipstik, bedak, eye shadow, dan lain sebagainya dipandang merupakan tindakan tabarruj. Pasalnya, semua tindakan ini ditujukan untuk menampakkan kecantikan dirinya, kepada orang yang bukan mahram. 5. Membuka Sebagian Aurat 71 72
al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 8/519 Syaikh Kamil Mohammad Mohammad 'Uwaidlah, al-Jaami' fii Fiqh al-Nisaa', bab Tabarruj
Wanita yang mengenakan topi kepala tanpa berkerudung; mengenakan celana tanpa mengenakan jilbab, memakai kerudung tetapi kalung dan antingantingnya tampak , dan sebagainya, termasuk dalam tabarruj. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Rasulullah saw;
"Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian."[HR. Imam Muslim] Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, "Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut…. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain.""73 Dewasa ini kita menyaksikan banyak wanita Muslimah yang mengenakan kerudung dengan kemeja dan celana panjang ketat hingga menampakkan kecantikan dan seksualitas mereka. Di sisi lain, kita juga menyaksikan banyak wanita Muslimah yang mengenakan kain penutup kepala, tetapi, sebagian rambut, leher, telinganya terlihat dengan jelas. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan semacam ini terkategori tabarruj. Menggelung rambut hingga besar seperti punuk onta miring, juga termasuk tindakan tabarruj yang diharamkan di dalam Islam. Sayangnya, perbuatan menggelung rambut ini justru telah membudaya di tengah-tengah masyarakat, dan mereka tidak menyadari bahwa hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah swt. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang terkategori tabarruj masih banyak, tidak hanya lima perbuatan yang telah dijelaskan di atas. Masih banyak perbuatan-perbuatan lain yang termasuk tabarruj. Yang jelas, setiap upaya mengenakan perhiasaan atau menampakkan perhiasaan secara tidak wajar yang akan mengundang pandangan laki-laki non mahram, termasuk tindakan tabarruj. Hanya saja, berhiasnya seorang isteri di hadapan suaminya; atau berdandannya seorang isteri ketika ada di rumah, adalah tindakan yang diperbolehkan tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat). Pengaruh Tabarruj Bagi Masyarakat Sesungguhnya, tabarruj telah memberikan sejumlah implikasi buruk bagi masyarakat, khususnya kaum Muslim. 1. Tabarruj dapat mengubah kecenderungan kaum Muslim dari kecenderungan untuk senantiasa menjaga dan menahan pandangan, menjadi kecenderungan untuk memuja hawa nafsu dan hasrat seksual. Akibatnya, laki-laki dan wanita mulai berlomba-lomba untuk menarik lawan jenisnya, dengan mengenakan 73
Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 3971
2.
3.
74
pakaian dan perhiasan yang seseksi dan semerangsang mungkin. Mereka juga menyibukkan diri dengan urusan mempercantik diri dan menarik maupun memikat lawan jenisnya. Akhirnya, banyak orang terjatuh pada hubunganhubungan lawan jenis yang dilarang oleh syariat Islam, misalnya, pacaran, berkhalwat, perselingkuhan, perzinaan, dan lain sebagainya. 74 Tabarruj bisa mengubah paradigma hubungan laki-laki dan wanita di dalam Islam; yaitu, hubungan yang didasarkan pada prinsip ketakwaan, menjadi hubungan yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis semata. Tabarruj juga akan melemahkan kaum Muslim dari upaya-upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah swt. Dengan kata lain, tabarruj akan melemahkan semangat kaum Muslim untuk menegakkan hukum-hukum Allah, serta upaya untuk mendakwahkan Islam, baik dengan propaganda maupun jihad.
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Nidzaam al-Ijtimaa'iy fi al-Islaam, hal.
BAB VI BERHIAS YANG BOLEH Pada bab sebelumnya telah dijelaskan, bahwa syariat tidak melarang wanita untuk berhias dalam batas-batas yang masih wajar (tazayyun). Para shahabat wanita dimasa Rasulullah saw juga menghiasi diri mereka dengan bahan-bahan tertentu. Hanya saja, mereka berhias pada batas-batas wajar, sesuai dengan apa yang diperintahkan Rasulullah saw kepada mereka. Sebagian ulama tafsir menyatakan, bahwa perhiasan dzahir wanita adalah pewarna pada kedua tangan (kuteks), celak pada kedua mata 75, dan sedikit wewangian pada kedua pipi76. Inilah perhiasan dzahir yang boleh ditampakkan oleh seorang wanita di kehidupan umum. Berikut adalah beberapa nash yang menunjukkan fakta berhiasnya para shahabat wanita ra. 1. Memakai Wewangian Pada Kedua Pipi Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Zainab binti Abu Salamah, bahwasanya ia berkata;
"Ketika datang berita kematian Abu Sofyan dari Syam, Ummu Habibah meminta diambilkan wewangian yang berwarna kuning pada hari yang ketiga. Lalu, ia mengusapkannya pada kedua sisi pipinya dan kedua lengannya. Dia berkata, "Sesungguhnya, aku benar-benar tidak memerlukan ini. Kalaulah bukan karena aku pernah mendengar Nabi saw mengatakan, "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk berkabung atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas suami, maka dia berkabung atasnya selama empat bulan sepuluh hari."[HR. Bukhari dan Muslim] Imam Bukhari juga meriwayatkan sebuah hadits dari Mohammad bin Sirin, bahwasanya ia berkata;"Putra Ummu 'Athiyyah meninggal dunia; maka pada hari ketiga, dia minta diambilkan wewangian berwarna kuning. Lalu, dia menyentuhnya dan berkata, "Kami dilarang berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suami."[HR. Bukhari] Hadits di atas menunjukkan bahwa wanita boleh memakai wewangian setelah masa berkabungnya selesai; yakni tiga hari untuk selain suami, dan 4 bulan 10 hari, jika yang meninggal suaminya. Akan tetapi, syarat wewangian yang dipakai wanita adalah mencolok warnanya, dan tidak berbau. Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Imran bin Hushain ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda; 75
Lihat Ibnu Jauziy, Zaad al-Masiir, surat al-Nuur:31;Imam Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaf, surat al-Nuur:31; Imam al-Baghawiy, Ma'aalim al-Tanziil fi al-Tafsiir, surat al-Nuur:31; dan lain-lain 76 Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim
"Ketahuilah, parfum pria adalah yang tercium baunya dan tidak tampak warnanya. Sedangkan parfum wanita, tampak warnanya dan tidak tercium baunya."[HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad] Di dalam riwayat lain dituturkan, bahwasanya Nabi saw bersabda;
"Parfum pria adalah yang tercium baunya dan tidak tampak warnanya, sedangkan parfum wanita, tampak warnanya dan tidak tercium aromanya."[HR. Turmudziy] 2. Wanita Boleh Mengenakan Kuteks (Pewarna Kuku) Seorang wanita Muslimah diperbolehkan mengenakan kuteks, yakni pewarna kuku. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dituturkan dari 'Aisyah ra, bahwasanya ia berkata;
"Sesungguhnya seorang wanita mengulurkan tangannya dengan sebuah kitab, tetapi beliau saw menarik tangan beliau saw. Lalu, wanita itu bertanya, "Wahai Rasulullah, aku mengulurkan tanganku kepadamu dengan sebuah kitab, tetapi engkau tidak mengambilnya". Beliau pun berkata, "Sesungguhnya aku tidak mengetahui apakah itu tangan perempuan atau laki-laki." Wanita itu menjawab, "Ia adalah tangan seorang wanita." Beliau bersabda, "Seandainya aku seorang wanita, niscaya aku akan mengubah kukumu dengan daun pacar."[HR. Abu Dawud dan Nasaa'iy] Dari Karimah binti Hamam diceritakan; ada seorang wanita bertanya kepada 'Aisyah ra mengenai kuteks dengan menggunakan daun pacar, lalu, 'Aisyah menjawab, "Boleh-boleh saja, tetapi aku tidak menyukainya. Sebab, suamiku tersayang tidak menyukai baunya."[HR. Abu Dawud dan al-Nasaaiy] 3. Memakai Celak Pada Kedua Mata Wanita Mukminat juga diperbolehkan mengenakan celak pada kedua matanya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Ummu 'Athiyyah, bahwasanya ia berkata;
"Kami telah dilarang berkabung terhadap seorang mayit lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami; masa berkabungnya adalah 4 bulan 10 hari. Kami tidak boleh bercelak, memakai wewangian, dan mengenakan pakaian yang dicelup.."[HR. Bukhari dan Muslim] Imam Muslim juga mengetengahkan sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya ia berkata;
"..Datanglah Ali ra dari Yaman dengan membawa hewan korban Nabi saw. Ia mendapati Fathimah ra termasuk orang yang telah halal dari ihramnya dan mengenakan pakaian yang bercelup serta bercelak. Ali pun mengingkari Fathimah atas yang demikian itu. Fathimah pun berkata, "Sesungguhnya, ayahku telah memerintahkan ini kepadaku."[HR. Muslim] 4. Memakai Gelang, Kalung, Anting-anting, dan Cincin Seorang wanita juga diperbolehkan mengenakan gelang, kalung, antinganting dan cincin. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu 'Abbas ra, bahwasanya ia berkata;
"Rasulullah saw keluar dengan disertai Bilal. Beliau saw mengira bahwa beliau saw belum memperdengarkan suaranya kepada kaum wanita. Lalu beliau menasehati mereka dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Mulailah seorang wanita melemparkan anting-anting dan cincinnya, sedangkan Bilal mengambilnya dengan ujung pakaiannya".[HR. Bukhari dan Muslim] Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang wanita mengenakan anting-anting dan cincin. Adapun kebolehan wanita mengenakan gelang ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dari Asma' binti Yazid dituturkan, bahwasanya ia berkata;
"Aku dan bibiku menemui Rasulullah saw, sedangkan dia memakai gelang emas. Beliau bertanya kepada kami, "Apakah kalian akan memberikan zakatnya?" Kami menjawab, "Tidak." Beliau saw bertanya lagi,"Apakah kalian tidak takut bahwa Allah akan menggelangi kalian dengan gelang-gelang dari api neraka? Tunaikanlah zakatnya."[HR. Imam Ahmad] 5. Larangan Menyambung Rambut Seorang wanita dilarang menyambut atau disambungkan rambutnya. Asma' ra, bahwasanya ada seorang permepuan bertanya kepada Nabi saw;
Dari
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya putriku tertimpa penyakit panas sehingga rambutnya rontok, dan saya akan segera menikahkannya. Lantas, apakah boleh saya menyambung rambutnya? Beliau saw menjawab, "Allah mengutuk orang yang menyambung rambut dan orang yang disambung rambutnya."[HR. Bukhari dan Muslim]
Imam Nawawiy dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, bahwa hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, keharaman menyambut rambut, dan laknat bagi laki-laki maupun perempuan yang menyambung atau disambungkan rambutnya. 77 Dalam hadits lain dituturkan, bahwasanya Mu'awiyyah berkata;
"Wahai penduduk Madinah, dimanakah ulama-ulama kalian? Saya mendengar Nabi saw melarang ikatan rambut seperti ini, serta mendengar beliau saw bersabda, "Sesungguhnya kebinasaan Bani Israel, yaitu ketika para wanitanya mempergunakan ikatan rambut".[[HR. Bukhari dan Muslim] 6. Larangan Menghilangkan Tahi Lalat dan Meratakan Gigi Wanita dan laki-laki juga dilarang menghilangkan tahi lalat dan meratakan giginya agar kelihatan lebih cantik. Dari Ibnu Umar ra diriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw mengutuk orang yang menyambung rambut dan orang yang disambung rambutnya, serta orang yang membuat tahi lalat dan orang yang minta dibuatkan tahi lalat." [HR. Bukhari dan Muslim] Dalam riwayat lain dituturkan, bahwa Ibnu Mas'ud ra berkata;
"Allah mengutuk orang yang membuat tahi lalat, dan orang yang minta dibuatkan tahi lalat, orang yang mengerok alisnya, dan orang yang memangur giginya (meratakan gigi dengan alat) dengan maksud untuk memperindah dengan mengubah ciptaan Allah". Kemudian Ummu Ya'qub menegurnya,"Apa ini?" Ibnu Mas'ud ra berkata, "Mengapa saya tidak mengutuk orang yang dikutuk oleh Rasulullah saw; sedangkan di dalam kitab Allah, Allah swt berfirman, "Apapun yang disampaikan oleh Rasul kepadamu, laksanakanlah dan apa pun yang dilarangnya maka jauhilah".[HR. Bukhari dan Muslim] 7. Larangan Mentato Laki-laki dan wanita dilarang mentato anggota tubuhnya. Dari Abdullah bin Mas'ud ra dituturkan, bahwasanya Nabi saw bersabda;
"Allah melaknat wanita yang membuat tato (pada kulitnya) dan wanita yang meminta dibuatkan tato, yang mencukur alisnya, dan wanita yang meminta diratakan giginya untuk mempercantik diri, yang mereka semua mengubah ciptaan Allah."[HR. Bukhari dan Muslim] Dari Abdullah bin 'Umar ra diceritakan, bahwa Nabi saw bersabda;
77
Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 5479
"Rasulullah saw melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang minta disambungkan rambutnya, wanita yang mentato kulitnya dan wanita yang meminta dibuatkan tato".[HR. Imam Nasaaiy] 8. Larangan Wanita Memakai Pakaian Laki-laki Seorang wanita dilarang mengenakan pakaian laki-laki, begitu juga sebaliknya, seorang laki-laki dilarang memakai busana wanita. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dituturkan dari Ibnu 'Abbas ra, bahwasanya ia berkata;
"Rasulullah saw mengutuk laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki." Dalam riwayat lain dinyatakan, "Rasulullah saw mengutuk laki-laki yang meniru perempuan, dan perempuan yang meniru lakilaki".[HR. Imam Bukhari] Dari Abu Hurairah ra; ia berkata; "Rasulullah saw mengutuk laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang mengenakan pakaian laki-laki".[HR. Abu Dawud] 9. Larangan Wanita Berhias Untuk Selain Suaminya Pada dasarnya, seorang wanita diharamkan berhias untuk selain suaminya. Sebab, tindakan semacam ini termasuk dalam kategori tabarruj. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda; "Seorang wanita dilarang berhias untuk selain suaminya."[HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan al-Nasaaiy] 10.
Bolehnya Wanita Mengenakan Sutera Seorang wanita diperbolehkan mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera. Imam Turmudziy meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Musa al-Asy'ariy, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
"Memakai kain sutera dan emas itu haram bagi umatku yang laki-laki dan halal bagi umatku yang perempuan."[HR. Turmudziy] Dari 'Ali ra diriwayatkan, bahwa ia berkata;
"Saya melihat Rasulullah saw memegang kain sutera di tangan kanannya dan memegang emas di tangan kirinya, kemudian bersabda, "Sesungguhnya dua benda ini haram bagi umatku yang laki-laki."[HR. Abu Dawud]
BAB VII BATASAN DALAM BERHIAS Walaupun seorang wanita Mukminat boleh menghias dirinya, namun syariat juga telah menjelaskan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Adapun batasan-batasan berhias yang mesti dipenuhi oleh seorang wanita adalah sebagai berikut; 1. Tidak Menyerupai Perhiasan Yang Menjadi Ciri Orang Kafir Seluruh 'ulama telah bersepakat mengenai keharaman tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir. Larangan ini didasarkan pada nash-nash AlQuran dan sunnah. Di dalam al-Quran, Allah swt berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Mohammad) "Raa'ina", tetapi katakan: "Undzurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih."[al-Baqarah:104] Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyatakan, bahwa Allah swt telah melarang kaum mukmin menyerupai perkataan dan perilaku orang-orang kafir78. Di dalam sunnah, banyak riwayat yang menuturkan larangan bertasyabbuh dengan orang-orang kafir. Dari 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash dituturkan, bahwasanya ia berkata;
"Rasulullah saw melihat aku mengenakan dua pakaian yang keduanya bercelup warna kuning. Beliau berkata, "Sesungguhnya ini termasuk pakaian orang-orang kafir, maka janganlah engkau memakainya."[HR. Bukhari dan Muslim] Imam Ahmad mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu 'Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
" Aku telah diutus di hadapan waktu dengan membawa pedang, hingga hanya Allah semata yang disembah, dan tidak ada sekutu bagi Allah; dan rizkiku telah diletakkan di bawah bayang-bayang tombakku. Kehinaan dan kenistaan akan ditimpakan kepada siapa saja yang menyelisihi perintahku; dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut."[HR. Imam Ahmad] Masih menurut Imam Ibnu Katsir, hadits ini berisikan larangan yang sangat keras, serta ancaman bagi siapa saja yang meniru-niru atau menyerupai orang-
78
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149
orang kafir, baik dalam hal perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya, peribadahan, serta semua perkara yang tidak disyariatkan bagi kaum muslim. 79 Tatkala menafsirkan hadits riwayat Imam Ahmad di atas, Imam al-Manawiy dan al-'Alqamiy, menyatakan,"Hadits di atas berisikan larangan untuk berbusana dengan busana orang-orang kafir, berjalan seperti orang-orang kafir, serta berperilaku seperti orang-orang kafir."80 Al-Qariy berkata, "Barangsiapa bertasyabuh dengan orang-orang kafir, baik dalam hal pakaian dan lain sebagainya, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut. Tasyabuh tidak hanya dengan orang-orang kafir belaka, akan tetapi juga dengan orang-orang fasik, fajir, ahli tasawwuf, dan orang-orang shaleh. Walhasil, tasyabbuh terjadi dalam hal kebaikan dan dosa."81 Ibnu 'Umar ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut."[HR. Imam Ahmad] Syaikh al-Islaam Ibnu Taimiyyah berkata, "Imam Ahmad dan 'ulama-'ulama lain berhujjah dengan hadits riwayat Ibnu 'Umar ini. Hadits ini menunjukkan keharaman melakukan tasyabbuh dengan orang-orang kafir. Hadits ini juga sejalan dengan firman Allah swt,"Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka."[alMaidah:51]82. Pendapat senada juga diketengahkan oleh Abu Ya'la. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudizy dari 'Amru bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya dikisahkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Bukanlah termasuk golongan kami, siapa saja yang bertasyabbuh dengan selain kami."[HR. Turmudziy] Meskipun hadits ini masih diperbincangkan keshahihannya, akan tetapi Imam Ibnu Taimiyyah menshahihkannya. Imam Sakhawiy berkata, "Di dalam hadits ini ada 'Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, dan ia lemah, akan tetapi ia memiliki saksi penguat." Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, "Sanad hadits ini hasan."83 Riwayat-riwayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Rasulullah saw melarang kaum muslim bertasyabbuh dengan orang-orang kafir dengan larangan yang sangat keras. Bahkan, agar kaum muslim tidak menyerupai orangorang Yahudi, Nabi saw memerintahkan umatnya untuk mengecat ubannya. Dalam sebuah riwayat dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
79
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149-150 Mohammad Syams al-Haq, 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512 81 Ibid, hadits no. 3512 82 Ibid, hadits no.3512 83 al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 6/98; 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no.3512 80
"Ubahlah warna uban kalian, dan janganlah kalian bertasyabbuh dengan kaum Yahudi."[HR. Turmudziy; hadits hasan shahih] Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Imam Ahmad ada tambahan "dan kaum Nashraniy". Sedangkan dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim dinyatakan, "Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashraniy tidak mengecat uban mereka, maka janganlah kalian menyerupai mereka".84 Imam Syaukani, di dalam kitab Nail al-Authar mengatakan, "Hadits ini menunjukkan, bahwa 'illat syar'iyyah disyariatkannya pengecatan dan mengubah warna uban adalah, agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashraniy." 'Ulama-'ulama salaf sangat memperhatikan sunnah yang satu ini. Oleh karena itu, Ibnu Jauziy menyatakan, bahwa mayoritas shahabat dan tabi'iin mengecat ubannya. Tidak hanya itu saja, Rasulullah saw juga melarang kaum muslim mengenakan pakaian, model rambut, cawan emas, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa, tasyabbuh merupakan perbuatan yang sangat dibenci oleh Nabi saw. Demikianlah, seluruh 'ulama telah sepakat, bahwa hukum bertasyabbuh dengan orang-orang kafir, baik dalam hal pakaian, perkataan, tingkah laku, hari raya, dan lain sebagainya adalah haram secara mutlak. 2. Pakaian Wanita Hendaknya Berbeda Dengan Pakaian Laki-laki Ketetapan semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dituturkan dari Ibnu 'Abbas ra, bahwasanya ia berkata;
"Rasulullah saw mengutuk laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki." Dalam riwayat lain dinyatakan, "Rasulullah saw mengutuk laki-laki yang meniru perempuan, dan perempuan yang meniru lakilaki".[HR. Imam Bukhari] Dari Abu Hurairah ra; ia berkata; "Rasulullah saw mengutuk laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang mengenakan pakaian laki-laki".[HR. Abu Dawud] 3. Sunnah Sederhana Dalam Berhias dan Berbusana Dari Muadz bin Anas ra, diceritakan, bahwasanya Nabi saw bersabda;
"Barangsiapa yang meninggalkan pakaian yang mewah karena tawadlu' kepada Allah, padahal ia mampu untuk membelinya, maka nanti pada hari kiamat Allah memanggilnya di hadapan para makhluk untuk diseuruk memilih pakaian imam yang ia kehendaki untuk dipakainya".[HR. Turmudziy] Hanya saja, kesederhanaan di sini tidak sampai menurunkan harga diri. Dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi saw bersabda; 84
Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, hadits no. 1674
"Sesungguhnya Allah hambaNya".[HR. Turmudziy]
suka
untuk
melihat
bekas
nikmatNya
kepada
4. Larangan Berpakaian Karena Sombong Seorang Mukmin dan Mukminat dilarang berpakaian karena sombong, atau untuk menunjukkan kemewahan dan kebesaran dirinya. Dari Ibnu „Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
`“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat. Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.” Rasulullah saw menjawab, “Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”[HR. Jama‟ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidiziy tidak menyebutkan penuturan dari Abu Bakar.] Dari Ibnu „Umar dituturkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
“Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.”[HR. Abu Dawud, al-Nasaa`iy, dan Ibnu Majah]
BAB VIII MENANGKIS TUDUHAN MIRING Kewajiban wanita Muslim untuk menjaga pandangan, menutup aurat , memakai busana Islamiy –khimar dan jilbab-- ketika berada di luar rumah, dan larangan tabarruj, telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang pasti penunjukkannya. Para ulama juga bersepakat mengenai wajibnya seorang wanita Mukminat untuk menjaga pandangan, menutup aurat, memakai jilbab dan khimar, serta larangan tabarruj. Sayangnya, banyak kaum Muslimah awam terhadap ketentuan-ketentuan itu, bahkan, sebagian diantara mereka justru menolak kewajiban menutup aurat, dan mengenakan khimar dan jilbab di kehidupan umum. Mereka berdalih dengan alasan-alasan klise dan dibuat-buat; mulai dalih belum siap, menyesuaikan dengan peraturan di tempat kerja, belum diberi petunjuk dan hidayah Allah, hingga alasan yang dengan tegas-tegas menolak kewajiban tersebut dengan alasan Islam tidak mewajibkan wanita mengenakan khimar dan jilbab. Sebab, khimar dan jilbab adalah tradisi berbusana ala orang Arab, dan hanya berlaku khusus untuk orang Arab saja. Sebagian lagi berdalih, bahwa 'illat (sebab pensyariatan) mengenakan jilbab adalah agar bisa dibedakan antara wanita merdeka dengan budak, sehingga wanita merdeka tidak diganggu oleh pria iseng. Padahal, saat ini sudah tidak ada lagi budak wanita, sehingga 'illat pensyariatan jilbab sudah tidak ada lagi. Atas dasar itu, kewajiban mengenakan jilbab juga sudah tidak berlaku lagi. Barangkali, masih banyak alasan lain yang sengaja diketengahkan sebagian orang untuk menolak kewajiban berjilbab dan berkerudung (khimar). Berikut ini akan diketengahkan beberapa dalih yang sering dijadikan alasan untuk menolak kewajiban berjilbab dan berkerudung. 1. Jilbab dan Khimar Adalah Budaya Arab Sebagian orang yang menolak kewajiban berjilbab dan berkhimar beralasan, bahwa jilbab dan khimar adalah budaya berpakaian bangsa Arab, seperti halnya busana-busana lain yang dimiliki oleh setiap bangsa. Untuk itu, tidak ada kewajiban bagi wanita Muslimah untuk mengenakan jilbab dan khimar. Alasannya, budaya dan tradisi Arab bersifat lokal dan hanya cocok untuk daerah Arab. Penolak khimar (kerudung) dan jilbab juga beralasan; yang penting adalah menutup aurat dan tidak menampakkan kecantikan di hadapan laki-laki asing; sedangkan busana yang dikenakan tidak harus khimar dan jilbab. Sesungguhnya, alasan-alasan di atas tidak bisa dijadikan hujjah untuk menolak kewajiban berjilbab dan berkhimar. Pertama, sesungguhnya perintah mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab telah disebutkan dengan tegas di dalam al-Quran. Al-Quran telah menyatakan masalah ini dengan sangat jelas;
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lakilaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."[al-Nuur:31]
"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang".[alAhzab:59] Ayat di atas merupakan perintah Allah kepada wanita-wanita Mukminat agar mereka mengenakan khimar (kerudung) yang diulurkan mulai kepala hingga menutupi dada; dan jilbab yang dijulurkan ke bawah hingga di bawah kaki. Konteks yang diperintahkan sangat jelas, yakni khimar (kerudung), sedangkan pihak yang diseru adalah wanita-wanita Mukminat secara umum, bukan hanya wanita-wanita Mukminat Arab. Oleh karena itu, perintah mengenakan kerudung berlaku umum untuk seluruh wanita Mukminat. Tidak bisa dinyatakan, bahwa khimar dan jilbab adalah budaya Arab, sehingga tidak ada kewajiban bagi wanita bangsa lain untuk tidak mengenakan jilbab. Sebab, perintah mengenakan jilbab dan khimar tidak ada hubungannya dengan budaya Arab atau tidak, akan tetapi berkaitan dengan perintah Allah swt yang termaktub di dalam al-Quran. Perintah itu bersifat umum mencakup seluruh wanita Mukminat. Dengan kata lain, selama wanita itu disebut wanita Mukminat, maka ia terkena taklif (beban) untuk mengenakan khimar dan jilbab. Kedua, pada dasarnya, perintah untuk melaksanakan taklif dari Allah swt, tidak boleh dihubungkan dengan cocok atau tidak cocok dengan tradisi atau kecenderungan yang ada pada setiap bangsa. Tidak bisa dinyatakan seperti itu. Sebab, taklif adalah beban hukum yang diserukan Allah swt kepada umat manusia, tanpa memandang lagi apakah ia sesuai atau tidak sesuai dengan kecenderungan dan tradisi manusia. Sholat, puasa, berjihad, misalnya, adalah taklif yang awalnya tidak pernah dikenal oleh manusia dan bukan menjadi fithrah manusia. Begitu juga hukum-hukum Islam yang lain, ia dibebankan kepada manusia untuk mengatur kecenderungan manusia, bukan untuk mengikuti fithrah dan kecenderungan manusia. Allah swt berfirman;
"agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya".[alAnfaal:8]
"Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai (nya)".[Yunus: 82] Di ayat lain, Allah swt juga berfirman;
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui".[al-Baqarah:216] Perang adalah aktivitas yang dibenci oleh manusia, alias tidak sesuai dengan kecenderungan manusia. Hanya saja, Allah tetap memerintahkan kaum Muslim untuk berperang, meskipun perang itu tidak sesuai dengan kecenderungan manusia. Ayat-ayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa taklif yang dibebankan Allah kepada manusia tidak dikaitkan dan tidak boleh dikaitkan dengan cocok atau tidak cocok dengan kecenderungan manusia. Sebab, taklif diberikan untuk mengatur hidup manusia, agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akherat; bukan untuk menyetujui kecenderungan manusia. Mengenakan jilbab dan khimar (kerudung) merupakan salah satu taklif yang dibebankan Allah kepada wanita-wanita Mukminat, tanpa memandang apakah mereka menginginkan atau tidak. Bahkan, sikap wanita-wanita beriman ketika mendapatkan perintah dari Allah dan RasulNya, adalah menerima dengan sepenuh hati tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah swt berfirman;
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". [al-Ahzab:36]
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya".[al-Nisaa':65] Ketiga; kewajiban mengenakan khimar dan jilbab terpisah dengan kewajiban menutup aurat dan larangan tabarruj. Ketiga hukum itu berdiri sendiri sendiri, dan tidak saling berhubungan. Dalam konteks kewajiban menutup aurat, syariat Islam tidak menetapkan model atau bentuk pakaian tertentu yang digunakan sebagai penutup. Pakaian apa saja boleh digunakan untuk menutup aurat, semampang mampu menutup seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan, dan bisa menutupi warna kulit. Tetapi, tidak cukup hanya itu saja; syariat juga menetapkan busana khusus yang wajib dikenakan oleh wanita ketika hendak keluar dari rumah, yakni jilbab dan khimar. Jilbab adalah pakaian luas yang dikenakan di atas pakaian sehari-hari (misalnya; daster, rok, dan sebagainya). Oleh karena itu, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, ia tetap tidak boleh keluar dari rumahnya tanpa mengenakan jilbab yang dikenakan di atas baju sehari-harinya. Pasalnya, ia belum mengenakan busana luar yang diperintahkan Allah swt, walaupun ia telah melaksanakan kewajiban menutup aurat. Ketentuan ini telah dijelaskan dalam sebuah hadits shahih;
Diriwayatkan dari Ummu 'Athiah yang berkata,"Rasulullah saw. memerintahkan kami agar keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adlha, baik ia budak wanita, wanita yang haidl, maupun yang perawan. Adapun bagi orangorang yang haidl maka menjauh dari tempat shalat, namun menyaksikan kebaikan dan seruan kaum Muslim. Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah saw. salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab. Maka Rasulullah saw. menjawab: 'Hendaklah saudaranya itu meminjamkan jilbabnya."[HR. Muslim] 2. Perintah Mengenakan Jilbab Didasarkan Sebuah 'Illat Agar Bisa Dibedakan Antara Wanita Merdeka dengan Budak Para penolak kewajiban berjilbab dan berkhimar beralasan dengan sebab turunnya surat al-Ahzab ayat 59, yakni, agar wanita-wanita Mukminat yang merdeka bisa lebih dikenal, atau bisa dibedakan dengan budak, dan agar tidak diganggu oleh laki-laki iseng. Allah swt berfirman;
"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang".[alAhzab:59] Menurut para penolak kewajiban jilbab, 'illat diwajibkannya jilbab adalah agar bisa dibedakan antara wanita merdeka dengan budak; sehingga wanita
Muslimat tidak lagi diganggu oleh laki-laki iseng. Ketika 'illat suatu hukum tidak ada maka hukumnya juga tidak ada (alias tidak berlaku). Saat ini, sudah tidak ada lagi budak perempuan, alias seluruhnya wanita merdeka, sehingga tidak perlu dikenakan jilbab sebagai alat pembeda antara budak dan wanita merdeka. Karena 'illatnya tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada. Al-'Illatu taduuru ma'a ma'luul wujuudan wa 'adaman ('illat itu beredar bersama dengan apa yang diillati, ada atau tidak adanya). Benar, para mufassir menyatakan, bahwa latar belakang turunnya ayat itu berhubungan dengan wanita-wanita merdeka yang diganggu oleh laki-laki ketika keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan. 85 Sebab, wanita-wanita merdeka itu mengenakan pakaian yang mirip dengan budak, sehingga mereka sering mendapatkan gangguan. Selanjutnya, Allah swt memerintahkan wanita-wanita Mukminat merdeka untuk mengenakan jilbab ketika keluar dari rumah, agar mereka bisa dikenali dan dibedakan dengan budak-budak perempuan. Hanya saja, frase "dzaalik adnay an yu'rafna" (yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal) bukanlah 'illat pensyariatan jilbab bagi wanita Muslimah. Sebab, tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa 'illat pensyariatan jilbab adalah supaya bisa dikenal, sehingga, jika sudah bisa dikenal dan dibedakan kewajiban itu tidak berlaku kembali. Frase tersebut hanya menunjukkan fungsi dari jilbab, bukan menunjukkan 'illat pensyariatan jilbab. Benar, frase tersebut tidak memenuhi syarat-syarat 'illat, hingga layak disebut sebagai 'illat. Adapun syarat-syarat 'illat adalah sebagai berikut86; 1. 'Illat harus menunjukkan pengertian " pembangkit hukum" (al-baa‟its ‟ala alhukm) atau menunjukkan, bahwa dirinya adalah "sebab disyariatkannya hukum". Oleh karena itu, walaupun suatu nash menunjukkan sifat tertentu, namun selama sifat itu tidak menunjukkan pengertian ”pembangkit hukum”, atau ”maksud dari Syaari‟” maka ia tidak layak disebut sebagai ‟illat hukum. Dalam keadaan semacam ini, sifat tersebut hanya menjadi tanda (imarah) yang menunjukkan hukum tertentu, dan tidak boleh disebut sebagai „illat hukum. 2. Nash tersebut harus berujud sifat yang secara jelas menunjukkan makna ta‟liil. Sebab, sifat-sifat yang ditunjukkan oleh nash-nash syariat sangatlah banyak dan beragam. Hanya saja, tidak semua sifat tersebut adalah ‟illat hukum; akan tetapi, kadang-kadang hanyalah sekedar sifat, tak ubahnya dengan sifat-sifat lain yang terkandung di dalam suatu nash. Suatu sifat layak disebut ‟illat hukum, jika sifat tersebut dengan jelas menunjukkan pengertian ‟illat, yakni sifat yang mampu menjadi ”sebab disyariatkannya hukum.” 3. ‟Illat harus memberikan pengaruh pada hukum. Jika nash tersebut tidak memberikan pengaruh kepada hukum, maka ia tidak dijadikan sebagai ‟illat. Yang dimaksud dengan ”mampu memberikan pengaruh hukum” adalah; ada dugaan kuat (ghalabat al-dzan) dari seorang Mujtahid, bahwa hukum tersebut dihasilkan dari ‟illat yang terkandung di dalam nash. Firman Allah swt, “"supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka…” [Al Hajj:28], sama sekali tidak memberikan pengaruh kepada hukum. Sebab, frase ”supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka”, tidak memberikan pengaruh pada hukum, alias bukan menjadi penyebab disyariatkannya sebuah hukum. Oleh karena itu, frase tersebut bukanlah illat hukum. Adapun 85 86
Ali Al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/536 al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3/341-342
firmanNya, ”Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” [Al Hasyr:7]; nash ini mengandung „illat hukum. Sebab, frase ”agar tidak berputar diantara orang-orang kaya” berpengaruh pada hukum, dan ‟illat tersebut membangkitkan sebuah hukum. 4. „Illat yang dipahami dari nash tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, Sunnah, dan Ijma‟ Shahabat. 5. ‟Illat tersebut harus ”al-mutharridah” (tidak ada pengecualian). Artinya, ketika illat itu ada, maka hukumnya juga ada. 6. ‟Illat tersebut harus muta'addiy (luas cakupannya). Seandainya illat tersebut terbatas (qashirah) maka tidak sah disebut sebagai „illat. Sebab fungsi „illat adalah menetapkan hukum pada perkara cabang. Sedangkan ‟illat yang terbatas (tidak luas cakupan hukumnya) tidak bisa menetapkan hukum pada perkara-perkara cabang. Oleh karena itu, ‟illat harus muta‟addiy. 7. Metode penetapan illat harus syar'i sama persis seperti penetapan hukum syara'. Dengan kata lain, penetapan illat tersebut harus berdasarkan al-Quran, Sunnah, dan Ijma‟ Shahabat. Jika suatu „illat tidak ditetapkan oleh dalil syara‟, maka ia tidak bisa dikategorikan sebagai illat syar'iyyah. 8. „Illat tidak boleh berujud hukum syariat. Sebab, ‟illat itu bukanlah sekedar tanda dan indikator yang menunjukkan hukum tertentu, tapi illat itu adalah yang menyebabkan disyariatkannya suatu hukum. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, frase ”dzalika adnay an yu‟rafna” bukanlah ‟illat disyariatkannya jilbab. Sebab, frase itu tidak memenuhi syarat-syarat 'illat yang telah disebut di atas. Hal itu tampak pada realitas berikut ini; pertama, frase ini tidak memberikan pengaruh kepada hukum, sehingga tidak layak ditetapkan sebagai ‟illat hukum. Bila dilihat dari redaksi ayat di atas, bisa disimpulkan, bahwa sebab pensyariatan jilbab bukanlah agar mudah dikenal atau diidentifikasi. Ini menunjukkan, bahwa frase "dzalika adnay an yu'rafna" bukanlah 'illat pensyariatan jilbab. Kedua, seandainya frase itu ditetapkan sebagai ‟illat hukum", hal itu justru akan bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Sebab, nash-nash syariat telah mewajibkan wanita untuk menutup aurat, menjaga pandangan, tidak tabarruj, dan mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab ketika keluar rumah. Bahkan banyak nash-nash hadits yang melarang wanita keluar rumah dalam keadaan membuka sebagian atau keseluruhan auratnya. Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya ia berkata; "Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar datang menemui Rasulullah saw, sedangkan ia mengenakan pakaian tipis. Nabi saw pun segera berpaling darinya, seraya bersabda, "Wahai Asma', jika seorang wanita telah akil baligh, tidak boleh tampak dari dirinya, kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan."[HR. Abu Dawud]. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
"Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian."[HR. Imam Muslim] Ketiga, tidak ada satupun petunjuk, baik dari sisi manthuq maupun mafhum, yang menunjukkan, bahwa frase tersebut adalah ‟illat dari pensyariatan jilbab. Keempat, frase itu hanya menunjukkan faedah atau fungsi disyariatkannya jilbab, namun bukan menjadi ”sebab” mengapa jilbab disyariatkan. 3. Alasan Menanggalkan Jilbab Karena Darurat Sebagian orang berdalih dengan darurat untuk menanggalkan jilbab mereka. Mereka menyatakan, jika wanita tidak melepaskan jilbab dan kerudungnya, maka mereka akan kesulitan mengakses kepada urusan-urusan publik, misalnya, bekerja dan beraktivitas di kehidupan umum. Jika mereka tidak bekerja atau beraktivitas di luar , tentunya ini akan merusak dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Atas dasar itu, wanita-wanita Muslimah yang hidup di jaman sekarang ini, boleh menanggalkan jilbab dan kerudungnya, karena alasan darurat. Pada dasarnya, dalih semacam ini hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh wanita-wanita yang iman dan keyakinannya sangat tipis dan kerdil. Sebab, fakta menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa kondisi yang mereka gambarkan itu sama sekali bukanlah kondisi darurat yang membolehkan suatu yang diharamkan. Selain itu, fakta juga menunjukkan, banyak wanita yang bisa bekerja dan beraktivitas di luar rumah tanpa meninggalkan jilbab dan kerudungnya. Benar, jika seorang wanita Muslimah diancam akan dibunuh atau disiksa dengan siksaan yang berat karena tetap konsisten mengenakan khimar dan jilbabnya; maka ia boleh menanggalkan khimar dan jilbabnya dengan alasan darurat. Sebab, ia memang benar-benar tengah berada dalam kondisi darurat. Namun, apakah kondisi semacam ini (kondisi darurat) sudah tercapai pada kehidupan kita sekarang; sehingga banyak wanita Muslimah menanggalkan jilbab dan khimarnya, ketika ia berada di luar rumah? Sesungguhnya, kondisi darurat yang sering mereka jadikan alasan untuk menanggalkan khimar dan jilbab ketika keluar rumah, sama sekali belum terwujud, bahkan terkesan dibuat-buat untuk membenarkan penyimpangan mereka. Sebab, kondisi darurat yang membolehkan seseorang melanggar apa yang diharamkan memang benar-benar belum terwujud dalam kehidupan mereka. Untuk itu, alasan ketiga inipun tidak bisa dijadikan dalih untuk membenarkan tindakan wanitawanita Muslimah yang keluar rumah tanpa mengenakan khimar dan jilbab.