Manggaro, April 2010 Vol.11 No.1:1-7 HUBUNGAN STRAIN GEMINIVIRUS DAN SERANGGA VEKTOR B. TABACI DALAM MENIMBULKAN PENYAKIT KUNING KERITING CABAI Jumsu Trisno1), Sri Hendrastuti Hidayat2), Ishak Manti3) 1)
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Andalas Kampus Limau Manis Padang 25163 2) Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, Kampus Dermaga Bogor 16680 3) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Sukarami Solok 25001 ABSTRACT Pepper yellow leaf curl virus caused by geminivirus is a major disease of pepper in Indonesia since the year 1999 and year 2000 has been happening this epidemic. Suspected epidemic is closely connected with the activity vector insects, whitefly (Bemicia tabaci). Relations with the viral and vector is determined based on the efficiency of transmission, (1) period of acquisition, (2) periods of inoculation and (3) the number of insects for transmission. Insect vector B. tabaci is the vector that is very effective, because only with a single tail viruliferus vector has been able to spread the virus that causes pepper yellow leaf curl diseases. Insect vector B. tabaci biotype B origin non Bogor, and the South Coast have been able to transmit the virus after 15 minutes of acquisition, and inoculation. Acquisition and inoculation period is optimal for transmitting the virus is 6-12 hours. Effectiveness of virus transmission by insect vectors is determined by the strain of geminivirus. B. tabaci from the same location with geminivirus strains would be more effective in comparison with infectious geminivirus origin geminivirus strains of different geographical locations. Effectiveness of transmission will increase with increasing time of acquisition, inoculation and the number of insect vectors. Key Words: Geminivirus, Vector,diseses, pepper PENDAHULUAN Bemicia tabaci Genn (Hemiptera: Aleyrodidae) dengan nama umum kutukebul mulai dikenal lebih dari 100 tahun lalu sebagai hama yang merugikan pada berbagai tanaman di daerah tropika mamupun sub tropika (Oleveira et al. 2001). Selain sebagai hama, juga mempunyai peranan sebagai vektor virus penyebab penyakit. Kutu kebul mempunyai tujuh kelompok biotipe, salah satunya adalah biotipe B yang bersifat polifag dan tersebar luas (Perring, 2001), termasuk Indonesia (Aidawati, 2005). Biotipe yang dominan dijumpai di Indonesia adalah biotipe non B (Aidawati, 2005; Rahayu, 2009), dan di Sumatera Barat juga ditemukan biotipe non B (Trisno et al. 2008). Perbedaan biotipe akan berpengaruh terhadap jenis virus yang ditularkan, efektifitas penularan, laju perkembangannya, jenis endosimbion, jenis tanaman inang dan tipe gangguan fisiologis yang ditimbulkannya (Oleveira et al, 2001). Diketahui bahwa pada tahun 1999 di Jawa Barat ditemukan adanya gejala kuning keriting pada tanaman cabai, yang kemudian diketahui disebabkan oleh geminivirus (Hidayat et al., 1999), dan pada tahun 2000 dilaporkan sudah terjadi epidemi di pulau Jawa (Sulandari, 2004). Sedangkan di Sumatera Barat, gejala penyakit kuning keriting ini pertama kali dilaporkan pada akhir tahun 2003 di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan pada tahun 2004 sudah tersebar diseluruh areal pertanaman cabai di Sumatera Barat (Syaiful, 2005). Tahun 2006 penyakit ini dilaporkan sudah tersebar di hampir seluruh pertanaman cabai Indonesia (Hidayat, 2006). Kutu kebul B. tabaci adalah merupakan vektor geminivirus yang sangat efektif, memiliki
daerah penyebaran yang luas terutama di daerah tropik dan sub tropik. Di Indonesia Kutu kebul (B. tabaci) juga berkembang dengan baik (Hidayat 2005). B. tabaci mempunyai inang kurang lebih 600 spesies tanaman dari golongan dikotil, monokotil, dan bahkan beberapa gulma. Hubungan geminivirus dengan kutu kebul pada umumnya bersifat persisten, tidak mengalami replikasi dalam tubuh vektornya dan tidak ditularkan ke generasi berikutnya (Cohen et al, 1983, Aidawati et al. 2002). Keberadaan serangga vektor B. tabaci dengan kisaran inang yang luas ini memungkinkan perkembangan penyakit kuning keriting cabai yang disebabkan oleh geminivrus sangat cepat. Hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa geminivirus hanya ditularkan oleh serangga vektor B. tabaci, tidak dapat ditularkan melalui benih dan secara mekanik (Sulandari et al. 2001). Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan geminivirus dengan B. tabaci melalui efektifitas penularannya. BAHAN DAN METODE Perbanyakan serangga vektor dan sumber inokulum, serangga vektor yang digunakan adalah B. tabaci asal Bogor dan Pesisir Selatan (Sumatera Barat), yang sudah diidentifikasi sebelumnya. Vektor diperbanyak pada tanaman kapas (Gossypium hirsutum L.). Inokulum yang digunakan adalah isolat geminivirus strain Segunung (Jawa Barat), Solok dan Pesisir Selatan (Sumatera Barat). Inokulum diperbanyak pada tanaman tomat dengan penularan menggunakan vektor B. tabaci. Tanaman tomat sakit hasil penularan digunakan sebagai sumber inokulum.
Manggaro, April 2010 Vol.11 No.1:1-7
2
Periode akuisisi, untuk mengetahui periode akuisisi minimum B. tabaci dalam menularkan masing-masing isolat geminivirus, imago masingmasing biotipe B. tabaci diberi perlakuan periode makan pada tanaman tomat terinfeksi virus selama ¼, ½, 1 , 3 dan 6 jam, kemudian diberi perlakuan periode inokulasi selama 48 jam pada tanaman uji. Pada pengujian ini diamati jumlah tanaman yang terinfeksi pada setiap perlakuan dan masa inkubasi virus dalam tanaman. Pengamatan dilakukan sampai satu bulan setelah perlakuan. Periode Inokulasi, untuk mengetahui periode inokulasi minimum masing-masing B. tabaci dalam menularkan isolat geminivirus tomat serangga vektor diberi perlakuan periode inokulasi selama ¼, ½, 1 , 3 , 6, dan 12 jam pada tanaman cabai yang sehat setelah melalui perlakuan periode akuisisi selama 24 jam pada tanaman cabai yang terinfeksi. Pada pengujian ini diamati jumlah tanaman yang terinfeksi pada setiap perlakuan dan masa inkubasi virus dalam tanaman. Pengamatan dilakukan sampai satu bulan setelah perlakuan.
Jumlah Serangga, untuk mengetahui jumlah minimum masing-masing biotipe B. tabaci yang mampu menularkan isolat geminivirus cbai dilakukan penularan dengan menggunakan jumlah serangga yang berbeda yaitu 1 , 3 , 5 , 10 , 15 dan 20 ekor per tanaman dengan diberi perlakuan periode akuisisi 24 jam dan periode inokulasi 48 jam. Pada pengujian ini diamati jumlah tanaman yang terinfeksi pada setiap perlakuan dan masa inkubasi virus dalam tanaman. Pengamatan dilakukan sampai satu bulan setelah perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Penularan geminivirus menggunakan serangga vektor B. tabaci menimbulkan gejala berupa bercak kuning pada pangkal daun muda dan selanjutnya berkembang menjadi veinclearing, daun berwarna kekuningan dan berubah menjadi kuning cerah. Tulang daun menebal dan tepi daun melengkung ke atas. Daun muda yang tumbuh berikutnya menjadi kaku dan kecil, dan pada gejala lanjut tanaman menjadi kerdil (Gambar 1.)
A
B
C
D
Gambar 1. Gejala penyakit kuning keriting cabai yang diinokulasi geminivirus menggunakan serangga vektor B. tabaci. A). 10 hari setelah inokulasi, B). 15 hari setelah inokulasi, C). 20-30 hari setelah inokulasi, D). Tanaman sehat (kontrol).
Manggaro, April 2010 Vol.11 No.1:1-7
3
1. Periode akuisisi Serangga vektor B. tabaci biotipe non B asal Bogor sudah mampu menularkan virus dan dapat menyebabkan 10% tanaman sakit setelah 15 menit melakukan akuisisi. Efektifitas meningkat 2 – 3 kali (30 %) setelah vektor tersebut melakukan akuisisi pada sumber inokulum selama 1 jam. Semakin lama periode akuisisi, efektifitas penularan semakin tinggi dan masa inkubasi semakin pendek (Tabel 1 dan 2). Adanya perbedaan strain geminivirus juga menimbulkan adanya perbedaan efektifitas penularan. Penularan akan lebih efektif apabila serangga vektor dengan strain geminivirus berasal dari lokasi yang sama. Serangga vektor B. tabaci asal bogor lebih efektif menularkan geminivirus strain Segunung dibandingkan dengan apabila menularkan geminivirus strain Solok (Sumatera Barat) (Tabel 1). Hasil yang sama juga ditunjukan oleh B. tabaci asal Pesisir Selatan (Sumatera Barat) dalam menularkan geminivirus strain Pesisir Selatan (Tabel 2). Akan tetapi, B.tabaci dan strain geminivirus Pesisir Selatan lebih efektif dibandingka B.tabaci Bogor dan strain geminivirus Segunung. Hal ini dapat dilihat dari
masa inkulasi yang lebih pendek dan kejadian penyakit yang lebih tinggi. Efektifitas penularan mencapai maksimum (100%) apabila serangga vektor B. tabaci melakukan akuisisi pada sumber inokulum lebih dari 6 jam. Hasil ini sedikit berbeda dengan yang dilaporkan oleh Sulandari (2004) yang mengatakan bahwa akuisisi selama 3 jam atau lebih, telah didapatkan efektifitas penularan mencapai 100%. Swenson (1967) melaporkan semakin lama periode akuisisi akan meningkatkan efektifitas penularan virus yang bersifat sirkulatif dalam tubuh vektornya. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan serangga vektor memperoleh virus, konsentrasi virus dalam inangnya dan kemampuan virus untuk melewati dinding usus tengah serta bertahannya di dalam hemolimfa serangga. Hasil penelitian tentang penularan SLCV menunjukan makin lama periode akuisisi serangga vektor menyebabkan jumlah virus yang terbawa serangga itu semakin banyak sehingga penularan lebih efektif (Rosell et al. 1998), begitu juga pada STLCV (Idris dan Brown 1998).
Tabel 1. Pengaruh berbagai periode makan akuisisi B. tabaci biotipe non B asal Bogor (10 ekor/ tanaman) terhadap efektifitas penularan strain geminivirus setelah 48 jam periode inokulasi Strain geminivirus
Segunung
Solok
Periode akuisisi (jam) 0,25
Masa inkubasi (hsi) 13
Kejadian penyakit (%)1) 10
Keparahan2) 3
Karakterisasi gejala3) vc, m, kr
0,50
13
10
3
vc, m, kr, mf
1,0
11 - 13
30
3
vc, m, kr, mf
3,0
9 - 10
50
3
vc, m, kr, mf
6,0
9 - 11
70
3
vc, m, kr, mf
0,25
13 - 15
30
3
vc, m, kr
0,50
9 - 13
30
3
vc, m, kr, mf
1,0
11 - 16
40
3
vc, m, kr, mf
3,0
10 - 13
50
3
vc, m, kr, mf
6,0
9 - 15
50
3
vc, m, kr, mf
Keterangan: 1). Jumlah tanaman yang sakit/jumlah tanaman x 100% 2). Skala serangan : Lapidot et al (2001) Skala 0 : tidak ada gejala Skala 1 : Daun berwarna kuning pada pinggir dimulai pada daun muda Skala 2 : Semua daun hampir kuning dan sedikit keriting Skala 3 : Daun menguning, keriting dan cupping, daun-daun mengecil dan tanaman masih tumbuh Skala 4 : Tanaman kerdil dan menguning, daun muda sudah keriting, dan melengkung ke atas, pertumbuhan sudah terhenti. 3). Vc: vein clearing, m: mosaik, Kr: keriting, mf: malformasi
Manggaro, April 2010 Vol.11 No.1:1-7
4
Tabel 2. Pengaruh berbagai periode makan akuisisi B. tabaci biotipe non B asal Pesisir Selatan (10 ekor/ tanaman) terhadap efektifitas penularan strain geminivirus Pesisir Selatan setelah 48 jam periode inokulasi Strain geminivirus/ bioptipe B. tabaci
Pesisir Selatan/ Pesisir Selatan
Periode akuisisi (jam)
Masa inkubasi (hsi)
Kejadian penyakit (%)1)
Keparahan2)
0,25
9 - 13
20
3
vc, m, kr
0,50
7 - 10
40
3
vc, m, kr, mf
1,0
7 - 11
50
3
vc, m, kr, mf
3,0
9 - 10
50
3
vc, m, kr, mf
6,0
9 - 11
90
3
vc, m, kr, mf
Penelitian lain menunjukan, makin lama periode akuisisi seranga vektor semakin tinggi efektifitas penularan. Efektifitas penularan SLCV hanya mencapai 40% apabila serangga vektor melakukan akuisisi 30 menit, akan tetapi dapat mencapai 100% apabila serangga vektor diberi perlakuan akuisisi selama 6 jam (Cohen et al. 1983). Pada TYLCV penularan akan meningkat dari 10% (akuisisi selama 30 menit) menjadi 90% apabila serangga veotor diberi perlakuan akuisisi selama 12 jam (Rosell et al. 1999). Untuk PepYLCV di Thailand periode makan akuisisi serangga vektor selama 1 jam merupakan waktu yang optimal untuk penularannya (Samretwanich et al. 2000).
Karakterisasi gejala3)
2. Periode Inokulasi Serangga vektor B. tabaci yang sudah infektif (setelah 24 jam mengisap tanaman sakit), dapat menularkan virus ke tanaman sehat dengan efektifitas penularan berkisar antara 20 – 100 % (Tabel 3 dan 4). Dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa, periode inokulasi yang singkat (15 menit) telah dapat menimbulkan penyakit dengan efektifitas penularan 20 – 40%. Hal ini menunjukan bahwa adanya sumber inokulum dalam suatu areal sangat potensial dalam menimbulkan epidemi penyakit di lapangan. Adanya serangga vektor yang aktif akan dapat menularkan penyakit dalam waktu singkat. Data ini dapat dijadikan landasan strategi pengendalian penyakit dengan penekanan untuk selalu mengelminasi sumber inokulum dan mengendalikan vektornya.
Tabel 3. Pengaruh berbagai periode makan inokulasi B. tabaci biotipe non B asal Bogor (10 ekor/ tanaman) terhadap efektifitas penularan strain geminivirus setelah 24 jam periode akuisisi Strain geminivirus
Segunung
Solok
Periode akuisisi (jam) 0,25
Masa inkubasi (hsi) 11 - 13
Kejadian penyakit (%)1) 20
Keparahan2)
0,50
13 - 15
30
3
vc, m, kr, mf
1,0
10 - 17
80
3
vc, m, kr, mf
3,0
9 - 13
80
2,5
vc, m, kr, mf
6,0
9 - 15
100
3
vc, m, kr, mf
0,25
13 - 16
20
2,5
0,50
13 - 16
60
3
vc, m, kr, mf
1,0
11 - 15
60
3
vc, m, kr, mf
3,0
9 - 13
60
3
vc, m, kr, mf
6,0
9 - 15
90
2,55
vc, m, kr, mf
2,5
Karakterisasi gejala3) vc, m, kr,cp
vc, m, kr
Tabel 4. Pengaruh berbagai periode makan inokulasi B. tabaci biotipe non B asal Pesisir Selatan (10 ekor/ tanaman) terhadap efektifitas penularan strain geminivirus Pesisir Selatan setelah 24 jam periode akuisisi Strain geminivirus/ bioptipe B. tabaci
Pesisir Selatan/ Pesisir Selatan
Periode akuisisi (jam)
Masa inkubasi (hsi)
Kejadian penyakit (%)1)
Keparahan2)
0,25
11
40
3
vc, m, kr
0,50
10 - 12
40
3
vc, m, kr, mf
1,0
11 - 15
80
3
vc, m, kr, mf
3,0
9 - 13
80
3
vc, m, kr, mf
6,0
9 - 15
100
3
vc, m, kr, mf
Periode inokulasi yang singkat (30 menit) ternyata juga sudah dapat menularkan virus dengan efektifitas yang tinggi pada SLCV yang menyerang Waluh (Cohen et al, 1983), dan PepYLCV pada cabai (Samretwanich et al. 2000), sedangkan pada STLCV yang menyerang cabai penularan virus baru terjadi setelah inokulasi minimal selama satu jam (Idris dan Brown, 1998). Sulandari (2004) mengatakan bahwa waktu inokulasi yang lebih singkat dalam menularkan virus erat kaitannya dengan hubungan masing-masing virus yang sirkulatif dengan serangga vektornya. 3. Jumlah Serangga Satu ekor vektor B. tabaci dewasa setelah menghisap sumber inokulum selama 24 jam dan melalui periode inokulasi 48 jam sudah mampu menularkan penyakit 30 – 50 %. Efektifitas penularan meningkat dengan bertambahnya jumlah
Karakterisasi gejala3)
vektor dan mencapai 100% dengan jumlah serangga 15 ekor atau lebih. Semakin banyak serangga vektor yang digunakan, efektifitas penularan makin meningkat dan masa inkubasinya lebih singkat (Tabel 5 dan 6). Dari Tabel 5 dan 6 terlihat bahwa, peranan serangga vektor B. tabaci sangat penting dalam menularkan geminivirus pada tanaman cabai. Satu ekor B. tabaci viruliferus sudah dapat menimbulkan tanaman sakit, dan semakin banyak efektifitasnya semakin meningkat. Penularan dengan hanya satu vektor juga telah dilaporkan untuk Tobacco leaf curl virus (TbLCV) isolat Indonesia pada tembakau (Aidawati et al. 2002). Penelitian lain juga menunjukan satu ekor vektor dapat menimbulkan penyakit TPV walaupun efektifitasnya rendah (8%) dan menngkat 69% apabila digunakan 10 ekor (Lotrakul et al. 2000).
Tabel 5. Pengaruh jumlah serangga vektor B. tabaci biotipe non B asal Bogor (10 ekor/ tanaman) terhadap efektifitas penularan strain geminivirus setelah 24 jam periode akuisisi dan 48 jam periode makan inokulasi Strain geminivirus
Segunung
Solok
Jumlah serangga (ekor) 1
Masa inkubasi (hsi) 13 - 15
Kejadian penyakit (%)1) 30
Keparahan2) 3
Karakterisasi gejala3) vc, m, kr,cp
3
11 - 15
40
3
vc, m, kr, mf
5
11 - 13
70
3
vc, m, kr, mf
10
9 - 13
80
3
vc, m, kr, mf
15
9 - 14
100
3
vc, m, kr, mf
20
6 - 16
100
3
vc, m, kr, mf
1
14 - 15
50
3
vc, m, kr
3
11 - 16
50
3
vc, m, kr, mf
5
10 - 15
80
3
vc, m, kr, mf
10
9 - 13
80
3
vc, m, kr, mf
15
9 - 14
100
3
vc, m, kr, mf
20
9 - 15
100
2,5
vc, m, kr, mf
Manggaro, April 2010 Vol.11 No.1:1-7
6
Tabel 6. Pengaruh berbagai periode makan inokulasi B. tabaci biotipe non B asal Pesisir Selatan (10 ekor/ tanaman) terhadap efektifitas penularan strain geminivirus Pesisir Selatan setelah 24 jam periode akuisisi Strain geminivirus/ bioptipe B. tabaci
Pesisir Selatan/ Pesisir Selatan
Periode akuisisi (jam)
Masa inkubasi (hsi)
Kejadian penyakit (%)1)
Keparahan2)
1
9 - 10
30
3
vc, m, kr
3
10 - 11
50
3
vc, m, kr, mf
5
10 - 11
70
3
vc, m, kr, mf
10
9 - 11
80
3
vc, m, kr, mf
15
9 - 11
100
3
vc, m, kr, mf
20
8 - 11
100
3
vc, m, kr, mf
Berbeda dengan SLCV pada waluh dengan satu ekor vektor efektifitas penularanya menjapai 82% dan maksimal 100% apabila digunakan 5 – 10 ekor (Cohen et al. 1983). Adanya perbedaan tersebut mungkin disebabkan sifat virusnya, seperti konsentrasi virus dalam tanaman inang dan kestabilan virus dalam tubuh vektor. SLCV selain stabil juga dilaporkan mengalami perbanyakan dalam tubuh vektornya sedangkan untuk geminivirus hanya bersifat sirkulatif (Hunter et al. 1998; Rosell et al. 1998). KESIMPULAN 1.
2.
3.
4.
Serangga vektor B. tabaci biotipe non B asal Bogor, dan Pesisir Selatan sudah mampu menularkan virus setelah 15 menit melakukan akuisisi, dan inokulasi. Periode akuisisi dan inokulasi yang optimal untuk menularkan virus adalah 6-12 jam. Serangga vektor B. tabaci merupakan vektor yang sangat efektif, karena hanya dengan satu ekor vektor yang viruliferus telah dapat menularkan virus penyebab penyakit kuning keriting cabai. Efektifitas penularan virus oleh serangga vektor ditentukan oleh strain geminivirus. B. tabaci dari lokasi yang sama dengan strain geminivirus akan lebih efektif menularkan geminivirus di bandingkan dengan strain geminivirus asal lokasi geografis yang berbeda. Efektifitas penularan akan meningkat dengan bertambahnya waktu akuisisi, inokulasi dan jumlah serangga vektor. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimaksih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Repuplik Indonesa yang telah mendanai penelitian ini melalui program Hibah Bersaing tahun 2009. Terimakasih diucapkan kepada Syaifuddin yang sudah membantu perbanyakan serangga vektor B. tabaci dan sumber inokulum geminivirus.
Karakterisasi gejala3)
DAFTAR PUSTAKA Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, dan Sosromarsono. 2002. Transmition of an Indonesian isolate of Tobacco leaf curl virus (Geminivirus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera:Aleyrodidae). J Plant Pathol. 18 (5):231-236. Aidawati N. 2005. Keanekaragaman Begomovirus pada Tomat dan Serangga Vektornya, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera:Aleyrodidae), serta Pengujian Ketahanan Genotip Tomat Terhadap Strain Begomovirus. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Cohen S., Duffus JE, Larsen RC, Liu HY, and Flock RA. 1983. Purification, serology, and vector relationships of Squash leaf curl virus a whitefly transmitted geminivirus. Phytopathol 3:1669-1673. Hidayat SH., Rusli ES. dan Aidawati N. 1999. Penggunaan primer universal dalam polymerase chain reaction untuk mendeteksi virus gemini pada cabe. Makalah dalam Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Unsoed, Purwokerto, 16 – 18 September 1999. hal. 355 – 359. Hidayat SH. 2005. Informasi taksonomi dan biologi kutu kebul sebagai dasar pengendalian vektor penyakit kuning cabai. Makalah dalam Workshop penanganan virus kuning dan vektornya di Balai diklat Pertanian Bandar Buat Sumatera Barat. 7-8 April 2005. 15 hal. Hidayat SH. 2006. Geminivirus di Indonesia: Karakter Biologi dan Molekuler serta Permasalahannya. Makalah dalam Pertemuan POKJA Penanggulangan Virus Kuning pada Cabai. Bukittinggi 23-25 Agustus 2006. Hunter WB, Hieber E, Webb SE, Tsai JH, and Polston JE. 1998. Location of geminivirus in the whitefly Bemicia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Plant Dis. 82:1147-1151.
Manggaro, April 2010 Vol.11 No.1:1-7 Idris AM and Brown JK. 1998. Sinoloa tomato leaf curl geminivirus: Biological and molecular evidence for a new subgroup III virus. Phythopathol 88: 648-657. Lotrakul P, Valverde RA, La Torre RD., Sim J., and Gomes A. 2000. Occurrence of a strain of Texas pepper virus in Tobasco and Habanero pepper in Costa Rica. Plant Dis. 84:168-172. Oleveira MRV, Henneberry TJ, and Anderson P. 2001. History, current status, and collaborative projects for Bemisia tabaci. Special issue: Challengens and opportunities for pest management of Bemicia tabaci in the new century. Crop Protection (20) 9: 709-723. Perring MT. 2001. The Bemicia tabaci species complex. Special issue: Challengens and opportunities for pest management of Bemicia tabaci in the new century. Crop Protection (20) 9: 725-737 Samretwanich K., Chiemsombat P, Kittipakor K, and Ikegami M. 2000. A new geminivirus associated with a yellow leaf curl disease of pepper in Thailand. Plant Dis 84:1047. Sulandari S, Hidayat SH, Sesuno R, Jumanto H, dan Sosromarsono S. 2001. Keberadaan virus Gemini pada cabai di DIY. Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah PFI ke XVI, Bogor. Agustus 2001.
7 Sulandari S. 2004. Karakterisasi biologi, serologi dan analisis sidik jari DNA virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Svenson KG. 1967. Plant virus transmission by insect. In. Maramorosch K, Koprowski H. (Eds). Methods in Virology. New York: Academic Press. 267-307 pp. Syaiful. 2005. Masalah penyakit virus kuning pada tanaman cabai di Sumatera Barat. Makalah dalam Workshop penanganan virus kuning dan vektornya di Balai diklat Pertanian Bandar Buat Sumatera Barat. 7-8 April 2005. Rosell RC, Torres-Jerez I, and Brown JK. 1998. Tracing the geminivirus-whitefly transmisiion pathway by polymerase chain reaction in whitefly extract, saliva, hemolymph, and honeydew. Phytopathol 89:239-246. Trisno J, Hidayat SH, dan Manti I. 2008. Potensi rhizobakteria indigenous dalam meningkatkan ketahanan galur cabai terhadap keragaman strain geminivirus dan biotipe serangga vektornya, Bemisia tabaci ( HEMIPTERA: ALEYRODIDAE). Laporan tahun I Penelitian Hibah Bersaing Dirjen Dikti Depdiknas. Universitas Andalas.