PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
Hubungan Sifat Morfofisiologis Tanaman dengan Hasil Kedelai Sutoro, Nurwita Dewi, dan Mamik Setyowati Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar 3A Bogor
ABSTRACT. The Relationship between Morphophysiological Traits and Grain Yield in Soybean. The morphophysiological to crop characters which are expected to contribute to the crop productivity, because of their effect on the photosynthetic rate. Experiment using ten soybean genotypes was arranged in randomized complete block design and four replications, was carried out at Cikeumeuh Exp. Farm, in 2006, to evaluate the relationship between some morphophysiological traits and grain yield. Plot size was 4 m x 4.5 m, plant spacing was 40 x 15 cm, and standard agronomic practices were employed. Data were collected on crop growth rate, seed-filling rate and leaf senescence rate. High correlation was found between seed filling rate and grain yield; therefore, high seed filling rate could be used as selection criteria for high grain yield. The large variability on seed filling rates among soybean genotypes indicates that it is possible to select genotypes with high potential on grain yield through the high seed filling rate. Emperically, this trait could be measured based on the time required to develop pod from R3 to R6 stadia. Keywords: Soybean, morphophysiological traits, seed filling rate, grain weight ABSTRAK. Karakter morfofisiologis tanaman, termasuk ketebalan daun dan laju pertumbuhan tanaman, merupakan karakteristik tanaman yang diperkirakan mempengaruhi tingkat produktivitas karena dapat mempengaruhi kecepatan proses fotosintesis. Hubungan sifat morfofisiologis tanaman dengan hasil biji kedelai dipelajari melalui percobaan menggunakan 10 genotipe kedelai dalam rancangan acak kelompok lengkap dengan empat ulangan. Percobaan dilaksanakan pada MT 2006 di KP Cikeumeuh, Bogor. Petak percobaan berukuran 4 m x 4,5 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua biji/lubang. Pupuk diberikan dengan takaran 100 kg urea, 100 kg SP36, dan 50 kg KCl/ha. Pengamatan terhadap karakteristik morfofisiologis yang meliputi laju pertumbuhan, pengisian biji, dan laju daun menua, dilakukan terhadap lima tanaman contoh yang kompetitif. Terdapat korelasi yang tinggi antara laju pengisian biji dengan bobot biji kedelai, sehingga genotipe yang memiliki karakter tersebut dapat dijadikan kriteria seleksi untuk mendapatkan varietas kedelai yang berpotensi hasil tinggi. Keragaman laju pengisian biji antargenotipe kedelai mengindikasikan seleksi dapat dilakukan menggunakan karakteristik tersebut. Secara empiris, sifat tersebut dapat diukur dari lamanya stadia R3/polong terbentuk penuh sampai stadia R6 (polong mengisi penuh). Kata kunci: Kedelai, morfofisiologis, hasil biji
arakter morfofisiologi tanaman, seperti ketebalan daun dan laju pertumbuhan tanaman, merupakan karakter tanaman yang diduga mempengaruhi tingkat produktivitas, karena dapat mempengaruhi kecepatan proses fotosintesis. Laju pengisian biji yang tinggi dan berlangsung relatif lama akan menghasilkan bobot biji yang tinggi selama biji sebagai sink dapat menampung hasil asimilat. Sebaliknya, bila sink cukup banyak tetapi hasil asimilat rendah meng-
K
akibatkan kehampaan biji. Keterbatasan source sering terjadi pada periode pengisian biji kedelai, tetapi keterbatasan sink terjadi dalam kondisi tanpa cekaman (Egli 1999). Daun tanaman kedelai sebagai source sering diukur karakteristiknya melalui indeks luas daun (LAI). LAI yang rendah menghasilkan bobot biji yang rendah, karena hasil fotosintesis rendah. Pada LAI yang relatif tinggi cenderung menghasilkan bobot biji yang rendah, karena banyak daun yang tidak efektif (Indrawati 1999) dalam menghasilkan fotosintat akibat daun ternaungi oleh daun yang lain. LAI optimum yang dapat menghasilkan biji tinggi berkisar antara 4-5 (Morrison et al. 1999). Karakteristik daun yang lain seperti SLA (berat spesifik daun) dapat mempengaruhi produktivitas tanaman. Karakter morfofisiologis ini cukup penting karena terdapat varietas yang peka SLA akibat pengaruh ozon (Lee 2006). Peningkatan SLA memberikan respon negatif pada kedelai tipe indeterminate (Gan et al. 2002) Karakter morfologi tanaman kedelai, seperti tinggi batang, jumlah polong isi dan hampa, jumlah buku subur, jumlah cabang/batang, dan ukuran biji menentukan hasil. Karakter morfologi tersebut dapat memberikan porsi keragaman bobot biji sebesar 42%, sisanya oleh karakter lain (Sumarno dan Zuraida 2006). Laju pertumbuhan tanaman antarvarietas diduga berbeda. Pengamatan sifat fisiologi plasma nutfah kedelai, seperti laju pertumbuhan yang dimanifestasikan oleh laju asimilasi bersih, laju pertumbuhan relatif, laju pengisian biji, laju daun senesen (menua), dan morfologi daun seperti berat spesifik daun belum banyak dievaluasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter morfofisiologi tanaman dari beberapa varietas kedelai, selanjutnya mencari hubungan antara karakter tersebut dengan hasil, dalam rangka menelusuri karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi dalam pemuliaan kedelai.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Cikeumeuh, BB Biogen. Sebanyak 10 varietas kedelai
185
SUTORO ET AL.: SIFAT MORFOFISIOLOGIS TANAMAN KEDELAI
ditanam pada bulan Maret 2006, dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm dua biji/lubang, pada petak berukuran 4 m x 4,5 m. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Pupuk diberikan dengan takaran 100 kg urea, 100 kg SP36, dan 50 kg KCl/ ha. Pengendalian hama dan penyakit serta gulma dilakukan secara optimal. Untuk mendapatkan data karakteristik morfofisiologi, tanaman contoh diambil sebanyak lima tanaman kompetitif pada setiap petak. Bagian tanaman berupa batang, daun, dan polong dipisahkan dari tanaman, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60-70oC selama 36 jam. Luas daun hijau tanaman diukur dengan alat pengukur luas daun secara otomatis. Karakteristik daun yang diamati meliputi SLA (specific leaf area), LMR (leaf mass ratio), LAR (leaf area ratio) dan LAI (leaf area index). Pengamatan karakterkarakter ini dilakukan pada fase pengisian biji (sekitar fase R4, umur 9 minggu dan luas daun telah mencapai maksimum). Luas spesifik daun (SLA) merupakan luas daun dibagi dengan bobot kering daun. LAR sebagai luas daun dibagi bobot kering tanaman, sedangkan LMR adalah bobot daun kering dibagi dengan bobot kering tanaman (Morrison et al. 1999). Indeks luas daun (LAI) merupakan luas daun maksimum dibagi dengan luas lahan di mana tanaman tumbuh. Laju pertumbuhan yang diamati meliputi laju asimilasi bersih (NAR = net assimilation rate), laju pertumbuhan relatif (RGR = relative growth rate), laju pengisian biji, dan laju daun menua (senesen). Laju asimilasi bersih dihitung dengan NAR =((W2W1)/(t2-t1)) ((ln A2 – ln A1)/(A2 – A1)) dan laju petumbuhan relatif sebagai RGR = (ln W2- ln W1)/(t2-t1), W1 dan W2 merupakan bobot tanaman pada waktu t1 dan t2, A1 dan A2 sebagai luas daun pada waktu t1 dan t2 (William and Joseph 1976), sedangkan t 1=tanaman berumur 6 minggu dan t2=tanaman berumur 9 minggu. Laju daun
menua (senesen) per hari dihitung = (luas daun pada tanaman berumur 9 minggu – luas daun tanaman berumur 11 minggu)/14 hari. Laju pengisian biji (LJBIJI) diduga dari bobot biji saat panen dibagi dengan selisih antara waktu panen dan mulai pengisian biji (umur 7 minggu).
HASIL PENELITIAN Karakteristik Daun (SLA, LMR, LAR, LAI) Luas spesifik daun (SLA) adalah perbandingan luas daun dengan berat daun yang apabila semakin besar nilainya mengindikasikan daun semakin tipis. Hasil analisis data SLA menunjukkan adanya perbedaan antarvarietas (Tabel 1). Varietas yang menghasilkan bobot biji kedelai relatif tinggi adalah Tanggamus, Kipas Putih, Cikuray, dan Slamet. Empat varietas tersebut memiliki SLA 178,1-259,1 cm2/g. Daun paling tebal dimiliki oleh varietas Cikuray dengan SLA 178,1 cm2/g dan yang paling tipis dimiliki varietas Burangrang dengan SLA 260,5 cm2/g. LMR merupakan indikator kapasitas source untuk menghasilkan fotosintat dari tanaman. Varietas Tanggamus yang menghasilkan biji relatif tinggi memiliki LMR yang nyata lebih rendah daripada varietas Cikuray dan Burangrang. Namun bobot biji varietas Burangrang nyata lebih rendah daripada varietas Tanggamus, tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Cikuray. Varietas Galunggung yang menghasilkan bobot biji relatif rendah juga memiliki LMR yang tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus. LAR merupakan indikator besarnya rasio kapasitas source dengan total hasil fotosintat. Varietas Burangrang memiliki LAR tinggi (106,7 cm2/g) dan berbeda nyata dengan semua varietas yang diuji, kecuali Galunggung dan Galur I.18. Varietas yang menghasilkan bobot biji
Tabel 1. Karakteristik daun beberapa varietas kedelai pada fase pertumbuhan maksimum, Bogor, 2006.
Galur/varietas
B368G I.18 Galunggung Tidar Kipas Putih Cikuray Slamet Pangrango Burangrang Tanggamus
Umur panen (hari)
Tahun dilepas
93 93 85 82 93 85 93 97 85 93
1981 1987 1992 1992 1995 1995 1999 2001
Bobot biji (g/5 tanaman) 19,5 18,9 17,8 19,3 25,2 23,6 28,7 23,1 20,3 29,4
cd d d cd abc abcd ab bcd cd a
Luas spesifik daun (cm2/g) 223,5 249,9 188,4 234,8 191,4 178,1 259,1 239,9 260,5 230,8
abcd a cd abc cd d a ab a abc
Rasio massa daun (cm2/g)
Rasio luas daun
0,369ab 0,368 ab 0,362 ab 0,347 ab 0,367 ab 0,397 a 0,352 ab 0,356 ab 0,409 a 0,311 b
82,6 bc 92,5 ab 93,8 ab 80,9 bc 70,2 dc 70,6 dc 62,9 d 83,6 bc 106,7a 71,0 dc
*) Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf taraf 0,05 DMRT.
186
Indeks luas daun 1,050 0,935 1,088 0,990 1,028 1,170 1,298 1,473 0,998 1,203
b b ab a b ab ab a b ab
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
relatif tinggi memiliki LAR antara 62,9-71,0 cm2/g. Rasio luas daun dengan luas lahan (LAI) juga sebagai indikator kapasitas source. LAI maksimum pada penelitian ini berkisar antara 0,93-1,47. Varietas yang memiliki bobot biji tinggi, 25-29 g/5 tanaman (seperti Kipas Putih, Slamet dan Tanggamus) memiliki LAI yang tidak berbeda nyata, berkisar antara 1,17-1,47.
yang memiliki laju daun senesen relatif paling besar menghasilkan biji yang relatif rendah. Varietas unggul baru dari yang diuji dalam percobaan ini umumnya memiliki laju daun senesen yang lebih rendah daripada varietas yang dilepas sebelumnya.
Laju Pertumbuhan Tanaman, Pengisian Biji, dan Daun Senesen
Arah hubungan antara karakter morfofisiologi dengan bobot biji kedelai diduga melalui besaran koefisien korelasi. Korelasi antarkarakter yang diamati disajikan pada Tabel 3. Korelasi yang tidak nyata antara umur panen dengan semua kartakter yang diamati menunjukkan tidak ada hubungan antara kedua karakter tersebut. Namun korelasi umur panen kedelai dengan LAI positif lemah. Umur panen tanaman berkorelasi negatif lemah (r=-0.47) dengan bobot biji. Karakteristik morfofisiologi yang nyata berkorelasi dengan bobot biji adalah LAR (r=-0,77) dan laju pengisian biji (0,87), tetapi korelasi antara LAR dengan laju pengisian biji nyata negatif (r=0,81). Korelasi antara NAR dan RGR nyata positif (r=0,63), tetapi kedua karakter ini tidak nyata berkorelasi dengan bobot biji.
Hasil analisis laju pertumbuhan (NAR dan RGR) serta laju pengisian biji dan laju daun senesen disajikan pada Tabel 2. Laju asimilasi bersih (NAR) dan laju pertumbuhan relatif (RGR) di antara varietas tidak ada perbedaan yang nyata. Hal yang sama juga diperoleh Purwaningsih et al. (2004). Laju pengisian biji dan daun senesen menunjukkan perbedaan yang nyata di antara varietas yang diuji. Laju pengisian biji terbesar terjadi pada varietas Tanggamus, dan nyata lebih tinggi daripada varietas Burangrang, Galunggung, dan galur I.18. Varietas Galunggung menghasilkan laju daun menua yang rendah, sedangkan varietas Tidar tertinggi. Varietas Tidar
Korelasi Antarkarakteristik Morfofisologi
Tabel 2. Laju pertumbuhan beberapa varietas kedelai, Bogor 2006. Galur/varietas
Laju asimilasi bersih (g/cm 2/5 tanaman/hari)
B368G I.18 Galunggung Tidar Kipas Putih Cikuray Slamet Pangrango Burangrang Tanggamus
0,00025 0,00038 0,00029 0,00029 0,00038 0,00045 0,00036 0,00033 0,00038 0,00031
Laju pertumbuhan relatif (g/5 tanaman/hari)
a a a a a a a a a a
0,0277 0,0322 0,0265 0,0300 0,0297 0,0332 0,0291 0,0268 0,0365 0,0312
a a a a a a a a a a
Pengisian biji (g/hari/5 tanaman) 0,6890 0,5568 0,6068 0,7140 0,6998 0,8305 0,8690 0,7405 0,6288 0,9020
abc c bc abc abc ab ab abc bc a
Daun senesen (cm 2/hari/5 tanaman) 101,4 78,2 65,0 123,9 104,3 82,0 73,7 113,4 70,3 82,0
ab ab b a ab ab b ab b ab
*) Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf taraf 0,05 DMRT.
Tabel 3. Matriks korelasi antarkarakteristik morfofisiologi tanaman kedelai, Bogor 2006. Karakter UMUR Rasia massa daun (LMR) Rasio luas daun (LAR) Luas spesifik daun (SLA) Indeks luas daun (LAI) Laju asimilasi bersih (NAR) Laju pertumbuhan relatif (RGR) Laju pengisian biji (LJBIJI) Laju daun manua (SENSEN)
BIJI
UMUR
LMR
LAR
SLA
LAI
NAR
RGR
LJBIJI
0,46 -0,47 -0,77* 0,08 0,55 0,26 0,21 0,87* -0,07
-0,37 -0,32 0,26 0,50 -0,08 -0,38 0,19 0,14
0,48 -0,12 -0,31 0,54 0,50 -0,46 -0,25
0,26 -0,42 -0,14 0,29 -0,81* -0,24
0,08 -0,14 0,24 -0,04 -0,02
0,02 -0,42 0,61 0,11
0,63* 0,12 -0,32
-0,04 -0,34
0,07
* nyata pada taraf uji 5%
187
SUTORO ET AL.: SIFAT MORFOFISIOLOGIS TANAMAN KEDELAI
1.0000
35 Bobot biji (g/5 tanaman)
Laju pengisian biji (g/hari)
0.9000 0.8000 0.7000 0.6000 0.5000 0.4000 0.3000 0.2000 0.1000 0.0000 1980
1985
1990
1995
2000
2005
Tahun pelepasan varietas
Gambar 1. Hubungan antara laju pengisian biji (y) dengan tahun (x) pelepasan varietas kedelai, y = -17.2172 + 0.0090 x (r=0.5328).
PEMBAHASAN Analisis komponen pertumbuhan dapat digunakan untuk mengkuantifikasi kontribusi komponen tersebut terhadap keragaman genetik sebagai dasar pemilihan kriteria seleksi pada pemuliaan tanaman (Sparnaaij et al. 1996). Korelasi umur tanaman dengan bobot biji dan umur panen positif lemah. Hal ini menunjukkan bahwa makin lama umur panen cenderung makin banyak total hasil fotosintat yang dialokasikan ke dalam biji kedelai. Ketebalan daun juga mempengaruhi hasil fotosintat tanaman. SLA sebagai indikator ketebalan daun menunjukkan semakin tebal daun cenderung menghasilkan biji semakin banyak (Aggarwal 1995). Namun data menunjukkan adanya korelasi positif yang sangat lemah antara SLA dengan bobot biji. Hal ini sama dengan yang diperoleh Morrison et al. (1999) yang meneliti kedelai varietas berumur genjah. Karakteristik daun SLA dan LMR menentukan laju pertumbuhan relatif tanaman (Shipley 2006). Hasil penelitian menunjukkan laju pertumbuhan relatif (RGR) berkorelasi positif nyata dengan laju asimilasi bersih (NAR), tetapi berkorelasi lemah dengan SLA. Hal serupa diperoleh Shipley (2002) yang menyatakan RGR berkorelasi lemah dengan SLA. Nampaknya SLA tidak berpengaruh langsung terhadap bobot biji. Laju asimilasi bersih (NAR) menentukan laju pertumbuhan relatif (RGR) (Shipley 2006). Apabila diperhatikan tahun pelepasan varietas, maka tidak ada kecenderungan arah perubahan karakter NAR dan RGR. Perbaikan bobot biji nampaknya tidak diikuti oleh NAR dan RGR. Dengan kata lain, respon terkorelasi karakter NAR dan RGR rendah. Mungkin NAR dan RGR bukan merupakan faktor penentu hasil riil. Korelasi yang lemah antara LMR dengan bobot biji mengindikasikan bahwa meskipun kapasitas source besar tetapi apabila kapasitas sink rendah akan menghasilkan bobot biji yang rendah.
188
30 25 20 15 10 5 0 1980
1985
1990
1995
2000
2005
Tahun pelepasan varietas
Gambar 2. Hubungan antara bobot biji (y) dengan tahun (x) pelepasan varietas kedelai, y =-859.743 + 0.443107 x (r=0.6782).
Sebaliknya, bila kapasitas sink besar tetapi kapasitas source rendah maka akan menghasilkan bobot biji yang rendah pula. LAR merupakan rasio luas daun dengan bobot tanaman yang memiliki korelasi negatif nyata dengan bobot biji. Hal ini mengindikasikan makin luas daun makin rendah bobot biji. Korelasi negatif lemah antara LAR dan LAI dengan bobot biji kedelai juga diperoleh Morrison (1999). Semakin banyak daun semakin besar kemungkinan daun saling menutupi, yang mengakibatkan daun tidak efisien dalam menghasilkan fotosintat. Laju daun senesen (menua) yang tinggi menunjukkan bahwa makin lanjut pertumbuhan tanaman semakin banyak daun yang luruh, sehingga daun yang berfotosintesis menjadi lebih rendah. Board dan Harville (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan kedelai memiliki kendala yang lebih besar pada fase reproduktif daripada fase vegetatif. Periode pengisian biji pada kedelai merupakan fase paling kritis (Muchlis dan Krisnawati 2007). Daun senesen tanaman kedelai mulai muncul setelah memasuki fase reproduktif. Daun senesen dapat dimulai tanpa memperhatikan ukuran sink, di samping itu pemasakan biji dapat berlangsung tanpa harus daun menguning atau luruh (CraftsBrandner and Egli 1987). Cekaman kekeringan selama masa pengisian biji tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan biji. Kekeringan hanya berpengaruh terhadap percepatan laju daun senesen yang memperpendek periode pengisian biji dan menghasilkan biji yang lebih kecil. Strategi untuk mengurangi kehilangan hasil akibat kekeringan selama periode pengisian biji seharusnya difokuskan pada daun senesen (Egli and Bruening 2004). Kumudini et al. (2001) menyatakan total bahan kering maksimum dicapai pada fase R4/R5 dan selanjutnya menurun selama periode pengisian biji dan perkembangan polong bertambah
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
dan daun senesen mulai terjadi. Dari data yang diperoleh nampak tidak ada perubahan arah kecenderungan dari laju daun senesen varietas yang telah dilepas. Namun hasil penelitian Kumudini et al. (2001) menyatakan varietas yang baru dilepas mempertahankan luas daun selama periode pengisian biji daripada varietas lama untuk melanjutkan akumulasi bahan kering. Selama masa pengisian biji, laju pertumbuhan biji kedelai dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan intensitas cahaya. Fader dan Koller (1985) menyatakan bahwa pada laju pertumbuhan biji yang tinggi, flux sukrosa melalui sukrosa pool pada polong lebih penting daripada ukuran pool itu sendiri. Pati pada kulit polong merupakan cadangan bagi pertumbuhan biji di bawah kondisi ketersediaan asimilat yang terbatas. Lamanya periode pengisian biji tidak berhubungan dengan konsentrasi N biji pada saat masak (Egli and Bruening 2007). Laju pengisian biji konstan selama periode pengisian biji meskipun ketersediaan asimilat dimodifikasi. Keragaman laju pengisian biji bergantung pada kondisi pertumbuhan di antara periode pembungaan hingga awal fase pengisian biji (Munier-Jolain and Ney 1998). Morrison et al. (1999) menduga kemajuan genetik varietas yang telah dilepas dengan cara membuat persamaan regresi antara tahun pelepasan dengan karakteristik tanaman yang menjadi perhatian. Untuk menduga laju peningkatan pengisian biji dan potensi hasil varietas yang telah dilepas, dilakukan analisis regresi antara tahun (x) pelepasan varietas dengan laju pengisian biji (y) dan bobot biji kedelai. Dari analisis regresi linier diperoleh laju pengisian biji y = -17,2172 + 0,0090 x (r = 0,5328). Koefisien regresi menunjukkan laju pengisian biji 0,009 g atau 9 mg/hari untuk lima tanaman/tahun. Hubungan antara hasil biji dengan tahun pelepasan varietas diperoleh persamaan regresi y = -859,743 + 0,4431 x (r = 0,6782) yang menunjukkan produktivitas biji 0,4431 g/lima tanaman/tahun) atau setara dengan 30 kg biji/ha/tahun. Laju pertumbuhan tanaman merupakan sifat yang dapat diturunkan (Ecker and Barzilay 1993) dan karakter tanaman yang bersifat kuantitatif umumnya dikendalikan oleh banyak gen. Identifikasi QTL (quantitative trait loci) yang berhubungan dengan sifat pertumbuhan tanaman seperti luas daun, berat spesifik daun, bobot batang, daun, dan polong telah dipelajari dan sebagian berkaitan dengan QTL (Vieira et al. 2006). Pengukuran laju pengisian biji dilakukan dengan cara memotong tanaman contoh (destruction method). Oleh karena itu, diperlukan teknik seleksi tanpa memotong/mengambil tanaman, seperti seleksi menggunakan marka molekuler. Untuk mendapatkan marka molekuler yang berkaitan dengan sifat laju pengisian biji perlu mendapat perhatian lebih lanjut.
KESIMPULAN DAN SARAN Laju pengisian biji yang berlangsung sejak awal pengisian biji (fase R4) hingga masak (fase R8) dapat memberikan bobot biji kedelai relatif tinggi. Oleh karena itu, genotipegenotipe yang memiliki karakter ini perlu diperhatikan sebagai tetua dalam perakitan varietas kedelai yang berpotensi hasil tinggi. Laju pengisian biji dapat dipertimbangkan sebagai kriteria seleksi dalam pemuliaan kedelai. Pengukuran laju pengisian biji dilakukan dengan cara memotong tanaman contoh (destruction method). Oleh karena itu diperlukan teknik seleksi tanpa memotong/mengambil tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Aggarwal, P.K. 1995. Plant type designs for increased yield potential of irrigated rice- simulation analysis. In P.K. Aggarwal, R.B. Mattews, M.J. Kroff and H.H. van Laar (Eds). SARP Research Proceedings. IRRI. Los Banos. p.59-66. Board, J.E. and B.G. Harville. 1998. Late-planted soybean yield response to reproductive source/sink stress. Crop Science 38(3):763-771. Crafts-Brandner, S.J. and D.B. Egli. 1987. Modification of seed growth in soybean by physical restraint. Effect on leaf senescence. J. exp. Bot. 38:2043-2049. Ecker R., and A. Barzilay.1993. Quantitative genetic analysis of growth rate in lisianthus. Plant Breeding 111(3):253-256. Egli, D.B. 1999. Variation in leaf starch and sink limitations during seed filling in soybean. Crop Sci. 39(5):1361-1368. Egli, D.B. and W.P. Bruening. 2004. Water stress, photosynthesis, seed sucrose levels and seed growth in soybean. The Journal of Agricultural Science 142:1-8 Egli, D.B. and W.P. Bruening. 2007. Accumulation of nitrogen and dry matter by soybean seeds with genetic differences in protein concentration. Crop Sci. 47:359-366. Fader, G.M. and H.R. Koller. 1985. Seed growth rate and carbohydrate pool sizes of the soybean fruit. Plant Physiol. 79(3):663-666. Gan, Y., I. Stulen, H. van Keulen, and P.J. Kuiper. 2002. Physiological response of soybean genotypes to plant density. Filed Crop Research 74:231-241. Indrawati. 1999. Pengaturan pola penanaman kedelai dalam modifikasi iklim mikro. Dalam R. Krisdiana, Trustinah, A. Taufiq dan A. Winarto (Eds). Perbaikan komponen teknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman kacangkacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian K acangkacangan dan Umbi-umbian, Malang. p. 170-187. Kumudini S., D.J. Hume, and G. Chu. 2001. Genetic improvement in short season soybeans. I. Dr y matter accumulation, partitioning, and leaf area duration. Crop Science 41:391398. Lee, J.E. 2006. Responses of morphological and physiological chacters to ozone stress in soybean (Glycine max (L). Merrill). ASSA-CSSA-SSCA 2006 International Meetings. November 1216, 2006.
189
SUTORO ET AL.: SIFAT MORFOFISIOLOGIS TANAMAN KEDELAI
Morrison, M.J., H.D. Voldeng, and E.R. Cober. 1999. Physiological changes from 58 years of genetic improvement of short-season soybean cultivars in Canada. Agron. J. 91:685-689.
Shipley, B. 2006. Net assimilation rate, specific leaf area and leaf mass ratio: which is most closely correlated with relative growth rate? A meta-analysis. Funct. Ecol. 20:565-574.
Muchlis Adie, M dan A. Krisnawati. 2007. Biologi tanaman kedelai. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, H. Kasim (Eds). Kedelai. Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. p.45-73.
Sparnaaij, L.D., H.J.J. Koehorst-van Putten, and I. Bos. 1996. Component analysis of plant dry matter production: a basis for selection of breeding parents as illustrated in carnation. Euphytica 90(2):183-194.
Munier, J.N.G and B. Ney. 1998. Seed growth rate in grain legumes. II. Seed growth rate depends on cotyledon cell number. J. exp. Bot. 49(329):1971-1976.
Sumarno dan N. Zuraida. 2006. Hubungan korelatif dan kausatif antara komponen hasil dengan hasil kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(1):38-44.
Purwaningrahayu, R.D. D. Indradewa, dan B.H. Sunarminto. 2004. Peningkatan hasil beberapa varietas kedelai akibat budidaya basah. Dalam A. Winarto, T. Fitriyanto, B.S. Koentjoro (Eds). Teknologi inovatif agribisnis kacang-kacangan dan umbiumbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. p. 335-348.
Vieira, A.J.D., D.A. de Oliveira, T.C.B. Soares, I. Schuster, N.D. Piovesan, C.A. Martínez, E.G. de Barros, M.A. Moreira. 2006. Use of the QTL approach to the study of soybean trait relationships in two populations of recombinant inbred lines at the F7 and F8 generations. Braz. J. Plant Physiol. 8(2). http:/ /www.scielo.br/scielo.php? script=sci_issues&pid= 16770420&lng=&nrm=iso. Akses 10 Oktober 2007.
Shipley, B. 2002. Trade-offs between net assimilation rate and specific leaf area in determining relative growth rate: relationship with daily irradiance. Funct. Ecol. 16:682-689.
190
Williams, C.N. and K.T. Joseph. 1976. Climate, soil and crop production in the humid tropics. Oxford Univ. Press. Kuala Lumpur, Malaysia.