1
PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) YANG DITUMPANGSARIKAN DENGAN KEDELAI (Glycine max L.)
Rinaldi1 Milda Ernita, S.Si. MP 2 Yunis Marni, SP. MP 3 NPM. 0910005301074 Fakultas Pertanian Jurusan Agroteknologi Universitas Tamansiswa Padang
ABSTRAK
Penelitian tentang pertumbuhan dan hasil tanaman jagung (Zae mays L.) yang ditumpangsarikan dengan kedelai (Glycine max L.) telah dilakukan dilahan kering di jorong Batu Hampar Nagari Kampung Tangah Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam mulai bulan Juni sampai September 2013. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari pertumbuhan dan hasil tanaman jagung dan kedelai secara tumpang sari. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan 4 perlakuan dan 4 kelompok. Perlakuan yang dilakukan adalah: Jagung tanpa tumpangsari (MJ), Kedelai tanpa tumpangsari (MK), tumpangsari jagung kedelai waktu tanam sama (TS1) dan Jagung tumpangsari kedelai waktu tanam beda 2 minggu (TS2). Hasil percobaan ini memberikan pengaruh nyata terhadap berat tongkol tanpa kelobot tanaman jagung, Hasil tanaman jagung per plot dan per ha, tinggi tanaman kedelai, berat 100 biji kering tanaman kedelai, Hasil per plot dan per ha tanaman kedelai. Berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman jagung dan total luas daun jagung. Pola tanam tumpangsari jagung dengan kedelai waktu tanam sama menghasilkan NKL terbaik yaitu 1.15.
Kata Kunci: Jagung dan Kedelai.
1
Mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Agroteknologi Universitas Tamansiswa Angkatan 2009 Pembimbing I dan Dosen Universitas Tamansiswa Padang 3 Pembimbing II dan Dosen Universitas Tamansiswa Padang 2
2
I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang memiliki peranan strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan. Jagung sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras, disamping itu jagung juga berperan sebagai bahan baku industri pangan, industri pakan, dan bahan bakar (Siregar, 2009). Produksi jagung nasional untuk tahun 2009-2014 dengan rata-rata peningkatan produksi sebesar 2.5 juta ton/tahun. Produksi jagung nasional tahun 2011 sebesar 17.64 juta ton pipilan kering atau turun sebanyak 684,39 ribu ton dibandingkan tahun 2010 yaitu sebesar 16.95 juta ton. Penurunan produksi jagung nasional terjadi di Jawa, sedangkan produksi jagung Sumatera Barat meningkat dari tahun 2010 sebanyak 354.262 ton menjadi 471.849 ton (Anonim, 2012). Tanaman jagung umumnya ditanam monokultur, namun dalam upaya intensifikasi lahan dapat ditumpangsarikan dengan kedelai. Intensifikasi adalah usaha untuk mengoptimalkan lahan pertanian yang ada (Ahira, 2011). Ekstensifikasi peluangnya kecil karena terbatasnya lahan pertanian produktif. Intensifikasi merupakan pilihan yang perlu terus dikembangkan, yang pelaksanaannya dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk sistem tanam tumpangsari. Warsana (2009) menyatakan, sistem tanam tumpangsari adalah salah satu usaha sistem tanam dimana terdapat dua atau lebih jenis tanaman yang berbeda ditanam secara bersamaan dalam waktu relatif sama atau berbeda dengan penanaman berselang‐seling dan jarak tanam teratur pada sebidang tanah yang sama. Pola sistem tumpangsari mengakibatkan terjadi kompetisi secara intraspesifik dan interspesifik. Kompetisi dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman. Tetapi bagaimana sistem tumpangsari dapat meminimalkan kompetisi diantara tanaman atau dapat saling mendukung untuk pertumbuhan dan produksi dan meningkatkan produktivitas per satuan luas lahan (Sullivan, 2003 cit Suwarto, Yahya, Handoko, dan Chozhin. 2005). Tanaman yang ditumpangsarikan dipilih dari tanaman yang mempunyai akar dalam dan tanaman yang berakar dangkal. Hal ini untuk menghindari persaingan penyerapan hara dari dalam tanah. Tinggi dan lebar tajuk antara tanaman yang ditumpangsarikan akan berpengaruh terhadap penerimaan cahaya matahari akan berpengaruh terhadap hasil secara keseluruhan (Supriyatman, 2011). Jagung dan Kedelai memungkinkan untuk ditanam secara tumpangsari karena Kedelai termasuk tanaman C3, jagung tergolong tanaman C4 sehingga sangat serasi (Indrati, 2009). Jagung tergolong tanaman C4 dan mampu beradaptasi dengan baik pada faktor pembatas pertumbuhan dan produksi. Salah satu sifat tanaman jagung sebagai tanaman C4, antara lain daun mempunyai laju fotosintesis lebih tinggi dibandingkan tanaman C3, fotorespirasi dan transpirasi rendah, efisien dalam penggunaan air. Tinggi tanaman jagung antara 100-300 cm, umur panen 70 hari dan umur berbunga 18 – 35 hari ( Falah, 2009). Tanaman jagung umur 18 sampai 35 hari, bahwa perkembangan akar dan penyebarannya di tanah sangat cepat dan pemanjangan batang meningkat dengan cepat. Tanaman mulai menyerap unsur hara dalam jumlah banyak. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pola tumpangsari adalah waktu tanam, karena waktu tanam berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat dan dominan menguasai ruang maka akan lebih mampu berkompetisi dalam memperebutkan air, unsur hara dan cahaya dibandingkan dengan
3
pertumbuhan vegetatifnya yang lambat, akhirnya akan mempengaruhi produksi. Pertumbuhan vegetatif jagung yang lebih cepat dan dominan diatas tanah dibandingkan Kedelai merupakan pertimbangan pemilihan waktu dan jarak tanam jagung sistem tumpangsari jagung dan Kedelai (Anonim, 2009). Pada umumya sistem tumpangsari lebih menguntungkan dibanding kan sistem monokultur karena produktivitas lahan menjadi tinggi, Produksi tumpangsari antara jagung dengan kacang hijau menunjukkan nilai kesetaraan lahan (NKL) 1,50 ini berarti diperoleh efisiensi penggunaan lahan sebesar 50% (Anonim, 2011). Hasil penelitian Waluya (2009) jagung adalah tanaman yang efisien dalam penggunaan sarana tumbuh. Jarak tanam jagung yang dapat digunakan 80 x 20 cm dan 80 x 30 cm. Suwarto et al., (2005) menyatakan semakin tinggi populasi jagung yang ditumpangsarikan baik dengan varietas Arjuna, Pioner 4, maupun Cargil 9 mengakibatkan penurunan hasil umbi ubi kayu yang makin besar. Selanjutnya hasil penelitian Effendi (2008) bahwa terjadi interaksi antara perlakuan jarak tanam dan defoliasi bunga jantan pada peubah diameter tongkol. Perlakuan kombinasi jarak tanam 70 x 20 cm dan bunga jantan dapat meningkatkan diameter tongkol lebih besar dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainya yaitu sebesar 14.50 cm. Berdasarkan uraian di atas dilakukan percobaan tentang Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung (Zea mays L.) yang ditumpangsari dengan kedelai (Glycine max L.) B. Tujuan Untuk mengetahui dan mempelajari pertumbuhan dan hasil tanaman jagung dan kedelai secara tumpang sari.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Jagung dan syarat tumbuh Tanaman jagung termasuk famili rumput-rumputan (graminae) dari sub famili myadeae. Dua famili yang berdekatan dengan jagung adalah teosinte dan tripsacum yang diduga merupakan asal dari tanaman jagung. Teosinte berasal dari Meksico dan Guatemala sebagai tumbuhan liar didaerah pertanaman jagung. Jagung merupakan tanaman berumah satu Monoecious dimana letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina pada satu tanaman. Jagung termasuk tanaman C4 yang mampu beradaptasi baik pada faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan hasil. Salah satu sifat tanaman jagung sebagai tanaman C4, antara lain daun mempunyai laju fotosintesis lebih tinggi dibandingkan tanaman C3, fotorespirasi rendah, efisiensi dalam penggunaan air (Muhadjir, 1988). Jagung mempunyai akar serabut dengan tiga macam akar, yaitu (a) akar seminal, (b) akar adventif, dan (c) akar kait atau penyangga. Akar seminal adalah akar yang berkembang dari radikula dan embrio. Pertumbuhan akar seminal akan melambat setelah plumula muncul ke permukaan tanah dan pertumbuhan akar seminal akan berhenti pada fase V3. Akar adventif adalah akar yang semula berkembang dari buku di ujung mesokotil, kemudian setelah takar adventif berkembang dari tiap buku secara berurutan dan terus keatas antara 7-10 buku, semuanya di bawah permukaan tanah. Akar adventif berkembang menjadi serabut akar tebal. Akar seminal hanya sedikit berperan dalam siklus hidup jagung. Akar adventif berperan dalam pengambilan air dan hara. Perkembangan akar jagung (kedalaman dan penyebarannya) bergantung pada varietas, pengolahan tanah, fisik dan kimia tanah, keadaan air tanah, dan pemupukan. Akar jagung dapat dijadikan indikator toleransi tanaman terhadap cekaman aluminium. Tanaman yang toleran aluminium,
4
tudung akarnya terpotong dan tidak mempunyai bulu-bulu akar (Syafruddin, 2002). Tanaman jagung mempunyai batang yang tidak bercabang, berbentuk silindris, dan terdiri atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat tunas yang berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi tongkol yang produktif. Batang memiliki tiga komponen jaringan utama, yaitu kulit (epidermis), jaringan pembuluh (bundles vaskuler), dan pusat batang (pith). Daun jagung mulai terbuka sesudah koleoptil muncul di atas permukaan tanah. Setiap daun terdiri atas helaian daun, ligula, dan pelepah daun yang erat melekat pada batang. Jumlah daun sama dengan jumlah buku batang. Jumlah daun umumya berkisar antara 10-18 helai, rata-rata munculnya daun yang terbuka sempurna adalah 3-4 hari setiap daun. Tanaman jagung di daerah tropis mempunyai jumlah daun relatif lebih banyak dibanding di daerah beriklim sedang (temperate) (Paliwal 2000). Daun jagung muncul dari bukubuku batang, sedangkan pelepah daun menyelubungi ruas batang untuk memperkuat batang. Panjang daun bervariasi antara 30-150 cm dan lebar daun 4-15 cm dengan ibu tulang daun yang sangat keras. Tepi helaian daun halus dan kadang-kadang berombak (Muhadjir, 1988). Bunga jantan terletak dipucuk yang ditandai dengan adanya malai atau tassel dan bunga betina terletak di ketiak daun dan akan mengeluarkan stigma. Bunga jagung tergolong bunga tidak lengkap karena struktur bunganya tidak mempunyai petal dan sepal dimana organ bunga jantan (staminate) dan organ bunga betina (pestilate) tidak terdapat dalam satu bunga disebut berumah satu (Rochani, 2007). Tanaman jagung mempunyai satu atau dua tongkol, tergantung varietas. Tongkol jagung diselimuti oleh daun kelobot. Tongkol jagung yang terletak pada bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih besar
dibanding yang terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri atas 10-16 baris biji yang jumlahnya selalu genap. Biji jagung disebut kariopsis, dinding ovari atau perikarp menyatu dengan kulit biji atau testa, membentuk dinding buah. Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama, yaitu (a) pericarp, berupa lapisan luar yang tipis, berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air; (b) endosperm, sebagai cadangan makanan, mencapai 75% dari bobot biji yang mengandung 90% pati dan 10% protein, mineral, minyak, dan lainnya; dan (c) embrio (lembaga), sebagai miniatur tanaman yang terdiri atas plamule, akar radikal, scutelum, dan koleoptil (Subekti, Syafruddin, Roy Efendi, dan Sri Sunarti, 2010). Secara umum tanaman jagung dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0-1.300 m dari permukaan laut dan dapat hidup baik di daerah panas maupun dingin (Badan Pengendali Bimas, 1983). Menurut Sutoro, Sulaiman, dan Iskandar (1988) bahwa selama pertumbuhannya, tanaman jagung harus mendapatkan sinar matahari yang cukup karena sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Muhadjir (1988) menambahkan bahwa jumlah radiasi surya yang diterima tanaman selama fase pertumbuhan merupakan faktor yang penting untuk penentuan jumlah biji. Selanjutnya Badan Pengendali Bimas (1983) menambahkan bahwa intensitas cahaya merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman jagung oleh sebab itu tanaman jagung harus mendapatkan cahaya matahari langsung. Bila kekurangan cahaya batangnya akan kurus, lemah, dan tongkol kecil serta hasil yang didapatkan rendah. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman jagung adalah subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, aerase dan drainasenya baik. Jagung dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah asalkan mendapatkan pengolahan yang baik. Tanah dengan tekstur lempung berdebu adalah yang terbaik untuk
5
pertumbuhannya. Tanah-tanah dengan tekstur berat masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik bila pengelolaan tanah dikerjakan secara optimal, sehingga aerase dan ketersediaan air di dalam tanah berada dalam kondisi baik. Kemasaman tanah (pH) yang baik untuk pertumbuhan tanaman jagung berkisar antara 5,6 – 7,5 (Rochani, 2007). B. Tanaman Kedelai dan Syarat tumbuhnya Tanaman Kedelai merupakan tanaman polong-polongan yang memiliki beberapa nama botani yaitu Glycine max (kedelai kuning) dan glycine soja (kedelai hitam). Secara lengkap, tanaman kedelai mepunyai klasifikasi sebagi berikut: Kingdom: plantae, divisio: spermatopyta, subdivision: Angiospermae, Kelas: Dikotyledoneae, Subkelas: Archihlamyadae, Ordo: Rosales, Subordo: Leguminosinae, Famili: Leguminosae, Subfamili polilonaceae, Genus: Glycine, Spesies: Glycine max.L Merril (Adisarwanto 2005). Menurut Pitojo (2003), cirri khas tanaman kedelai yaitu batang tanaman kedelai berkayu dan tingginya berkisar antara 30-1000 cm, memiliki 35 percabanagn dan berbentuk tanaman perdu. Tipe pertumbuhan batang dapat dibedakan menjadi terbatas (determinet), tidak terbatas (indeterminet), dan setengah terbatas (semi-determinet). Tipe terbatas memiliki ciri khas berbunga serentak dan mengakiri pertumbuhan meninggi jika sudah berbunga. Tanaman pendek sampai sedang , ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian tengah daun teratas sama besar dengan daun batng tengah. Tipe tidak terbatas memiliki cirri berbunga secara bertahap dari bawah keatas. Tanaman berpostur sedang sampai tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian tengah. Tipe setengah terbatas memiliki karateristik antara kedua tipe lainnya (Adisarwanto 2005). Di Indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Pada pH tanah 5,8 – 7 tanaman ini dapat
tumbuh pada berbagai jenis tanah asalkan drainase dan aerasi tanah cukup baik, disamping itu tanaman kedelai merupakan salah satu tanaman yang peka terhadap pH rendah (Margarettha, 2002). Kesesuain pH pada tanah dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman, Hakim et all 1986 melaporkan pH tanah dipengaruhi oleh kejenuhan basa, sifat misel (koloid) dan macam kation yang terjerap pada lapisan tanah. Tanaman kedelai juga berproduksi dengan baik pada dataran rendah sampai 900 m dpl, dan mampu beradaptasi didataran tinggi sampai ± 1.200 m dpl. Kedelai tumbuh baik pada daerah yang memiliki curah hujan 100400 mm/bulan, dengan suhu yang cocok antara 230 C – 300 C, serta kelembapan antara 60 – 70%. Kedelai juga merupakan salah satu tanaman yang dapat dibudidayakan pada lahan pasang surut dengan hasil yang cukup tinggi, namun cara budidayanya berbeda dari lahan sawah irigasi dan lahan kering ( Purwono dan Purwati, 2007). Fachrudin (2000) menjelaskan, perakaran tanaman kedelai terdiri dari akar lembaga, akar tunggang dan akar cabang berupa akar rambut yang dapat membentuk bintil akar dan merupakan koloni bakteri riozobium japanicum. Akar tunggangnya dapat menembus tanah yang gembur sedalam 150 cm sedangkan bintil akar nya mulai terbentuk pada umur 15-20 hari setelah tanam. Antara bakteri rhyzobium sp. dan tanaman kedelai terjadi kerja sama yang saling menguntungkan. Tanaman kedelai memberikan karbohidrat dan perlindungan pada bakteri, dan sebaliknya bakteri mengkonversi nitrogen atmosfire menjadi bentuk yang komplek. Kedelai memiliki dua tipe pertumbuhan batang, yaitu determinet dan indeterminet. Pertumbuhan batang determinet ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga, sedangkan pertumbuhan indeterminet dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa
6
tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga pada batang terdapat buku tempat tumbuhnya bunga, terdiri 15-30 buah dan biasanya jumlah buku batang indeterminet lebih banyak dibandingkan determinet (Adisarwanto, 2008). Purwono dan Purwati (2007) melaporkan bahwa kedelai mempunyai empat tipe daun yang berbeda yaitu kotiledon atau daun biji, daun primer sederhana, daun bertiga dan daun profilia. Pada pada buku (nodus) pertaman tanaman yang tumbuh dari biji terbentuk sepasang daun tunggal selanjutnya Andrianto dan Indarto (2004) menambahkan bentuk daun kedelai umunya berbentuk bulat (oval) dan lancip serta berbulu. Daun kedelai merupakan tanaman majemuk yang terdiri dari tiga helai anak daun dan umunya berwarna hijau muda atau hijau kekuning-kuningan, pada saat sudah tua dau-daunnya akan rontok. Bunga kedelai termasuk bunga sempurna dimana setiap bunga mempunyai alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup sehingga kemungkinan kawin silang alami amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun terjadi penyerbukan secara sempurna, sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong. Buah kedelai berbentuk polong, setiap tanaman mampu menghasilkan 100-250 polong. Polong kedelai berbulu dan berwarna kuning kecoklatan atau abu-abu. Selama proses pematamgan buah, polong yang mula-mula berwarna hijaukan berubah menjadi coklat kehitaman (Adisarwanto, 2005). Tanaman kedelai harus dipanen pada tingkat kematangan biji yang tepat. panen yang terlalu awal menyebabkan banyak butir kedelai menjadi keriput sedangkan jadwal panen yang terlambat akan mengakibatkan meningkatnya butir yang rusak dan kehilangan biji yang tinggi yang disebabkan oleh biji yang mudah rontok. Ciri-ciri kedelai siap
untuk dipanen adalah daunnya telah menguning, dan mudah rontok, polong biji mongering dan berwarna kecoklatan. Hasil produksi kedelai lokal optimal mencapai 2 ton per hektar dengan masa tanam sekitar 75 hari atau maksimal tiga bulan (Purwono, 2007). C. Tumpang sari Jagung dengan Kedelai. Pola tanam tumpangsari merupakan sistem pengelolaan lahan pertanian dengan mengkombinasikan intensifikasi dan diversifikasi tanaman. Tumpangsari merupakan bagian dari multiple cropping yaitu penanaman lebih dari satu tanaman pada waktu yang bersamaan atau selama periode tanam pada satu tempat yang sama. Tanaman yang ditanam secara tumpangsari sebaiknya mempunyai umur atau periode pertumbuhan yang tidak sama, karena mempunyai perbedaan kebutuhan terhadap faktor lingkungan seperti air, kelembaban, cahaya dan unsur hara tanaman, karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedua tanaman tersebut (Frina, Ratna dan Farida, 2000). Kedelai dan jagung yang ditanam secara tumpangsari akan terjadi kompetisi dalam memperebutkan unsur hara, air dan sinar matahari. Sehingga pengaturan populasi dan pengaturan selang waktu tanam penting untuk mengurangi terjadinya kompetisi tersebut (Subhan,1989). Diantara faktor iklim yang penting dan langsung mempengaruhi dalam pola tanam ganda terutama faktor cahaya, sebab tanaman kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap intensitas cahaya. Menurut beberapa hasil penelitian, produksi jagung maupun kedelai akan turun apabila tanaman tersebut ternaungi. Hasil penelitian Barus dan Afriani (2004), penundaan saat tanam 10 hari setelah jagung dengan populasi 40.000 tanaman per hektar dapat menurunkan hasil 67%. Hasil penelitian Indriati (2009), juga menunjukkan dimana populasi tiga kedelai dan satu jagung menunjukkan pertumbuhan kedelai yang meningkat tetapi menekan pertumbuhan jagung.
7
Populasi dan saat tanam sangat penting pada sistem tanaman ganda, terutama pada tanaman yang peka terhadap naungan. Untuk mengurangi pengaruh tersebut, waktu tanam dan populasi kedelai dan jagung perlu diatur agar pada periode kritis dari suatu pertumbuhan terhadap persaingan dapat ditekan. Tanaman kedelai termasuk tanaman yang membutuhkan sinar matahari penuh. Intensitas cahaya dan lama penaungan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Penurunan intensitas cahaya menjadi 40% sejak perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong dan hasil biji serta kadar protein. Tanaman kedelai yang dinaungi atau ditumpangsarikan akan mengalami penurunan hasil 6-52% pada tumpangsari kedelai dan jagung dan 256% pada tingkat naungan 33% (Asadi, et al. 2007). Jenis komoditas yang dihasilkan beragam, hemat pemakaian sarana produksi dan resiko kegagalan dapat diperkecil, memperkecil erosi, bahkan cara ini berhasil mempertahankan kesuburan tanah. Keuntungan agronomis dari pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dievaluasi dengan cara menghitung nisbah kesetaraan lahan. Nisbah kesetaraan lahan > 1 berarti menguntungkan. Produktivitas lahan pada sistem tumpangsari dihitung berdasarkan nisbah kesetaraan lahan (NKL). Tanaman yang saling menguntungkan maka nilai NKL didapat lebih dari satu. Apabila salah satu spesies tanaman tertekan (tidak saling menguntungkan) maka nilai NKL kurang dari satu (Frina, et al. 2000). III. BAHAN DAN METODA A. Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering di Jorong Batu Hampar, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam dengan tinggi tempat 102 m Dpl. Waktu pelaksanaan bulan Juni sampai
September 2013 jadwal penelitian pada (lampiran 1). B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk kandang, pupuk buatan (Urea, KCl, SP-36) dan benih jagung Varietas Bima 3 Batimurung (Deskripsi pada Lampiran 2), Benih Kedelai varietas Kipas putih (Deskripsi pada lampiaran 3). Peralatan yang digunakan terdiri dari label, cangkul, Ajir, sprayer, Timbangan Analitik, meteran, alat tulis dan lain-lain. C. Metoda penelitian Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 4 perlakuan, masing – masing perlakuan terdiri dari 4 kelompok, 4 x 4 = 16 plot dengan luas plot 3,2 x 1 m, jumlah sampel pada masing – masing plot terdiri 4 tanaman. Adapun perlakuan pada percobaan ini adalah: MJ = Jagung tanpa tumpang sari (monokultur), MK= Kedelai tanpa tumpangsari (monokultur), TS1= Jagung Tumpang sari Kedelai Waktu tanam sama, TS2 = Jagung Tumpang sari dengan Kedelai waktu tanam beda 2 minggu. Hasil yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji F, jika F hitung lebih besar dari F tabel 5% dilanjutkan dengan Duncan Multi Rang Tes (DMRT) pada taraf 5%. Denah petak perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 4. D. Pelaksanaan penelitian 1. Persiapan Lahan Pengolahan lahan dilakukan 2 kali, pencangkulan pertama sedalam 30 cm, setelah 2 minggu dilakukan penggemburan fungsinya untuk memecahkan bongkah tanah agar diperoleh tanah yang gembur. Setelah itu buat plot dengan ukuran 3, 2 m x 1 m dengan jarak antar plot 40 cm. Setelah itu berikan pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha setara dengan 6, 4 kg/ Plot. Pemberian pupuk kandang ini dilakukan 2 minggu sebelum tanam. Dengan cara disebar pada petakan dan diaduk merata.
8
2. Pelabelan dan ajir Pemasangan label dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian taraf perlakuan. Pemasangan label dilakukan setelah pengolahan lahan pada plot sesuai perlakuan. Ajir ditancapkan disisi tanaman sampel setelah tanam, sebagai dasar pengukuran tinggi tanaman, 10 cm dari ajir dipasang batang tanaman dan diberi tanda pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah. 3. Penanaman ( perlakuan ) Lubang tanam dibuat dengan alat tugal. Kedalaman lubang tanam 3 cm, dan tiap lubang diisi 2 benih. Jarak tanam sesuai dengan perlakuan yaitu MJ Jagung tanpa tumpang sari = (Monokultur) jarak tanam 80 x 40 cm, MK= Kedelai tanpa tumpangsari (monokultur) jarak tanam 20 x 40 cm, TS1= Jagung Tumpang sari Kedelai Waktu tanam sama, TS2= Jagung Tumpang sari dengan Kedelai waktu tanam beda 2 minggu. waktu tanam disesuaikan dengan perlakuan yaitu MJ, MK, TS1 Waktu tanam sama, TS2= Jagung Tumpang sari dengan Kedelai waktu tanam beda 2 minggu. Jumlah tanaman dalam satu plot jagung adalah MJ= 16 batang tanaman jagung, MK= 16 batang tanaman kedelai, TS1 dan TS2 masing – masing 16 batang tanaman jagung dan 12 batang tanaman kedelai. Tanaman sampel dalam plot ada pada (lampiran 5). 4. Pemupukan Pemupukan yang diberikan adalah pupuk anorganik, dosis pupuk Urea 300 kg/ha setara dengan 96 g/plot, SP-36 150 kg/ha setara dengan 48 g/plot, KCl 100 kg/ha setara dengan 32 g/plot. Pemberian Pupuk Urea 1/3 bagian, SP-36, KCl diberikan pada waktu tanam dengan cara pupuk disebarkan ke petakan, 2/3 bagian urea yang tinggal diberikan pada waktu jagung berumur 4 minggu. 5. Penjarangan Benih ditanam 2 biji per lubang, kemudian diperjarang pada umur 2minggu setelah tanam, dengan meninggalkan tanaman yang tegap dan sehat (seragam) sehingga mencapai
populasi yang diinginkan sesuai dengan jarak tanamyang digunakan. Tanaman yang tumbuhnya tidak baik, dipotong dengan guntingyang tajam tepat di atas permukaan tanah. 6. Penyiangan Penyiangan bertujuan untuk membersihkan lahan dari tanaman pengganggu (gulma). Penyiangan dimulai 2 minggu setelah tanam, waktu interval penyiangan dilakukan 1 minggu sekali. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut gulma dan mencangkul. Pada waktu tanaman berbunga tidak dilakukan penyiangan setelah selesai pembungaan atau mulai pembentukan buah dilakukan penyiangan kembali sesuai dengan kebutuhan. 7. Pembumbunan Pembumbunan dilakukan pada tanaman jagung saat tanaman berumur 4 minggu, bertujuan untuk memperkokoh posisi batang di buat di sekeliling bedengan atau plot, sehingga tanaman tidak mudah rebah. Selain itu juga untuk menutup akar yang bermunculan di atas permukaan tanah, Caranya, tanah di sebelah kanan dan kiri barisan tanaman diuruk dengan cangkul, kemudian ditimbun ke pangkal batang tanaman. 8.
Penyiraman
Setelah benih ditanam, dilakukan penyiraman satu kali sehari , kecuali bila tanah telah lembab (hujan), penyiraman sampai 1 minggu sebelum berbunga. 9.
Pengendalian penyakit
hama
dan
Setelah 4 hari tanam benih mulai tumbuh. Pengendalian untuk mencegah lalat bibit dimulai 4 hari setelah tanam. Penyemprotan dilakukan dengan interval 4 hari sekali. Pestisida dipergunakan adalah Sidamethrin, Metadordan Regent , dengan dosis 2 ml/ liter. 10. Panen Panen dilakukan setelah biji matang fisiologis yang ditandai dengan
9
terbentuknya lapisan hitam pada dasar biji. Tanda-tanda waktu panen dilakukan dengan berpedoman pada ciri-ciri 75% daun telah mengering, kelobot telah kuning mengkilat dan biji jika ditekan keras dan tidak berbekas. Panen dilakukan secara manual dengan cara melepaskan tongkol dari tanaman. Panen Kedelai sesuai kriteria penentuan panen sebagai berikut : Sebagian besar daun menguning dan gugur, sebagian besar polong (80%) telah tua, kulit polong cukup keras dan berwarna coklat kehitam-hitaman, kulit biji tipis dan mengkilat, batang mulai mengeras, rongga polong telah berisi penuh dengan biji dan keras. Sebelum panen lahan disiram, agar pada waktu panen memudahkan pengambilan polong. Panen dilakukan dengan mencabut batang tanaman secara hatihati agar polong tidak tertinggal dalam tanah.
E.
Pengamatan
1. Tinggi tanaman jagung (cm) Pengamatan tinggi tanaman jagung dimulai dari pangkal batang sampai keujung daun tertinggi dengan meluruskan daun menggunakan meteran. Pengamatan dilakukan mulaipada umur 2 minggu setelah tanam sampai tanaman mengeluarkan bunga jantan, Interval waktu pengamatan 1 minggu. 2. Total luas daun Jagung Pengukuran terhadap luas daun dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : YT = K x (P x L) I dimana YT = Total luas daun ; K = Konstanta (Tabel ); P = Panjang daun ke-i; L = Lebar dau ke-i. Nilai konstanta yang digunakan adalah sebagaimana tabel 1. berikut
Tabel 1 : Nilai konstanta dari jumlah daun dan pada daun ke-i yang diukur Jumlah/daun ke Nilai konstanta 8/5 4,1844 9/5 5,0390 10/6 5,4416 11/7 6,3911 12/7 6,7134 13/8 6,7892 14/9 7,1199 15/9 7,7282 Sumber : Dartius (1986). 5. Tinggi Tanaman Kedelai (cm) 3. Berat tongkol tanpa kelobot (g) Pengamatan terhadap berat tongkol tanpa kelobot dihitung pada saat panen 4. Berat pipilan kering /plot dan / ha. Setelah biji jagung dijemur sampai diperoleh kadar air sekitar 14%, dilakukan penimbangan berat biji pipilan kering untuk setiap 4 tanaman sampel/plot. Hasil pipilan kering dalam ukuran plot dikonversikan ke dalam luas lahan 1 hektar dengan rumus: Luas ha (10000 m2)
Y= Luas plot ( 3.75 m2 ) per plot.
X
hasil
Tinggi tanaman kacang tanah diukur mulai dari pangkal batang sampai ketitik tumbuh. Pengamatan dimulai pada waktu tanaman berumur 2 minggu setelah tanam dengan interval waktu pengamatan seminggu sekali sampai 10 MST. 6. Bobot 100 biji Tanaman Kedelai ( g ) Pengamatan dilakukan setelah panen dengan menimbang 100 biji setiap tanaman sampel, diambil secara acak. Hasil penimbangan dikonversikan pada kadar air biji 8%. Sebelum ditimbang ditentukan dulu kadar air bijinya
10
7. Hasil Tanaman Kedelai /plot dan /ha
Yjk = Produksi jagung tumpangsari dengan kedelai
Hasil /plot merupakan berat biji kering diperoleh dari hasil tanaman sampel di rata-ratakan pada kadar air 8% lalu di konversikanke hektar.
Yjj
8. Nisbah Kesetaraan Lahan Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL) yang merupakan suatu nilai yang digunakan untuk mengetahui keuntungan sistem bertanam secara tumpang sari menurut Mead dan Willey (1980) dengan menggunakan persamaan berikut:
= Produksi Jagung Monokultur
Ykj = Produksi kedelai tumpangsari dengan Jagung Ykk
secara
secara
= Produksi Kedelai Monokultur
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tinggi Tanaman Jagung dan Kedelai Sidik ragam tinggi tanaman jagung dan kedelai yang ditumpangsarikan pada jagung tidak berpengaruh nyata (Lampiran 6a), sedangkan pada kedelai berpengaruh nyata (lampiran 6e). Hasil uji lanjut disajikan pada Tabel 2.
𝑌𝑗𝑘 𝑌𝑘𝑗 + 𝑌𝑗𝑗 𝑌𝑘𝑘 Keterangan: Tabel 2. Tinggi tanaman jagung dan kedelai pada pola tanam tumpangsari. Tinggi Tanaman Jagung Pola Tanam (cm) 𝑁𝐾𝐿 =
MJ TS1 TS2
188,1 184,7 174,6
KK = 3.93 Pola Tanam MK TS1 TS2
Tinggi Tanaman Kedelai (cm) 61.78 A 76.01 B 83.56 C
KK = 3.75 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT taraf 5 %. Tabel 2. Memperlihatkan tumpangsari jagung dengan kedelai tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman jagung. Tinggi tanaman jagung pola tanam monokultur (MJ) mencapai 188,1 cm, TS1= 174,6 cm dan TS2 184,7 cm. Tidak berpengaruhnya pola tanam terhadap tinggi tanaman jagung karena tanaman jagung tinggi dari tanaman kedelai sehingga tidak ada halangan cahaya untuk sampai ketanaman jagung. Cahaya sangat dibutuhkan dalam proses fotosintesis sebagaimana yang disampaikan oleh (Dwidjoseputro, 2004) bahwa tanaman butuh cahaya yang lebih banyak untuk
proses fotosintesis sebagai sumber energi dan mengolahnya menjadi energi kimia berupa karbohidrat. Tinggi tanaman jagung saat percobaan menunjukkan tinggi yang tidak berbeda nyata, hal ini terjadi karena tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan cahaya matahari yang signifikan antara tanaman jagung dengan tanaman jagung ataupun persaingan antara tanaman jagung dengan tanaman kedelai, persaingan antara tanaman jagung dan tanaman kedelai dalam mendapatkan cahaya matahari tidak mempengaruhi tinggi tanaman jagung juga disebabkan karena
11
tanaman jagung ditanam lebih cepat atau bersamaan dengan tanaman kedelai,
Gambar 1.
pertumbuhan tanaman jagung dapat dilihat pada Gambar 1.
Monokultur tanaman jagung.
Pada Gambar 1 terlihat tinggi tanaman jagung yang tampak tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya, walaupun tanaman jagung ditanam dalam sistem tumpang sari dengan tanaman kedelai namun tidak mempengaruhi rata-rata tinggi tanaman tanaman jagung. Jika dibandingkan dengan deskripsi tanaman (Lampiran 2), tinggi tanaman jagung rata-rata dapat mencapai 2 meter, berbeda dengan hasil yang didapat di lapangan dimana tinggi tanaman jagung rata-rata yang didapat dalam sistem monokultur adalah 188,1 meter. Supriyatman (2011) menyatakan, tinggi dan lebar tajuk antara tanaman yang ditumpangsarikan akan berpengaruh terhadap penerimaan cahaya matahari, lebih lanjut akan mempengaruhi hasil sintesa (glukosa) dan muara terakhir akan berpengaruh terhadap hasil secara keseluruhan. Tabel 2. Memperlihatkan bahwa pola tanam berpengaruh terhadap tinggi tanaman kedelai, tinggi tanaman kedelai yang tertinggi diperoleh dari pola tanam tumpangsari jagung dengan kedelai dengan perbedaan waktu tanam selama 2 minggu (83,56 cm), tinggi tanaman terbaik selanjutnya terdapat pada perlakuan pola tanam tumpangsari jagung dengan kedelai dengan waktu tanam yang bersamaan (76.01 cm), kemudiaan diikuti dengan tinggi
tanaman kedelai pada pola tanam monokultur. Perbedaan tinggi tanaman terjadi karena persaingan tanaman kedelai dengan tanaman jagung dalam mendapatkan cahaya, pada sistem tumpangsari jagung dengan kedelai yang berbeda jarak tanam selama 2 minggu dimana tanaman kedelai ditanam setelah tanaman jagung berumur 2 minggu, perbedaan jarak tanam yang signifikan menyebabkan tanaman kedelai manjadi ternaungi sehingga terjadi persaingan yang lebih tinggi untuk mendapatkan cahaya matahari pada masing-masing tanaman dan menyebabkan tanaman kedelai yang ditanam 2 minggu lebih lambat tumbuh lebih tinggi. Hal ini didukung oleh pendapat Lakitan (2004) yang menyatakan bahwa tanaman yang ternaungi cenderung tumbuh lebih tinggi akibat usaha tanaman tersebut untuk mendapatkan cahaya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan melakukan kegiatan fotosintesis. Menurut deskripsi tanaman (lampiran 3), kedelai dapat mencapai tinggi 50 cm - 60 cm, tanaman kedelai yang ditanam secara monokultur memperlihatkan nilai tinggi tanaman yang normal sesuai dengan deskripsi (61.78 cm), sedangkan pada tanaman kedelai yang ditanam secara tumpangsari lebih tinggi dibandingkan
12
dengan tanaman kedelai monokultur. Perbedaan tinggi tanaman kedelai dapat
diperhatikan pada Gambar 2.
1
2
Gambar 2. Perbedaan Tinggi Tanaman Kedelai Pada Gambar 2 dapat dengan kedelai dengan waktu tanam ditunjukkan perbedaan tinggi tanaman yang bersamaan. kedelai, angka 1 menunjukkan tanaman B. Total Luas Daun Jagung kedelai yang lebih tinggi pada perlakuan Nilai total luas daun tanaman pola tanam tumpangsari jagung dengan jagung dengan perlakuan pola tanam kedelai yang berbeda waktu tanam tumpang sari tanaman jagung dan selama 2 minggu, angka 2 menunjukkan kedelai tidak ditentukan oleh perlakuan tinggi tanaman kedelai pada perlakuan pola tanam tumpangsari jagung dan pola tanam tumpangsari tanaman jagung kedelai, data rata-rata luas daun tanaman jagung pada Tabel 3. Tabel 3. Luas daun tanaman jagung pada pola tanam tumpangsari dengan kedelai. Pola Tanam
Total Luas Daun Jagung (cm2)
MJ TS1 TS2
6280.19 5502.07 6030.92
KK = 15.61 Angka-angka pada lajur total luas daun berbeda tidak nyata menurut uji F taraf 5 %. Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa rata-rata total luas daun tanaman jagung tidak berbeda secara statistik baik pada perlakuan secara monokultur ataupun perlakuan dengan sistem tumpang sari, seiring dengan nilai tinggi tanaman, hal ini disebabkan karena persaingan yang terjadi tidak terlalu besar antara tanaman jagung ataupun tanaman jagung dengan tanaman kedelai. Luas daun tanaman akan berkaitan dengan kemampuan tanaman dalam menyerap cahaya matahari untuk melakukan aktifitas fotosintesis tanaman, semakin luas daun maka
radiasi matahari yang diterima juga semakin tinggi sehingga fotosintat yang dihasilkan juga semakin banyak. Hal ini didukung oleh Syarif (2004) yang menyatakan luas daun merupakan parameter yang menunjukkan potensi tanaman melakukan fotosintesis dan juga merupakan potensi produktif tanaman di lapangan. Luas daun yang tinggi berpotensi menurunkan hasil karena daun yang paling bawah terus melakukan respirasi yang lebih besar daripada yang dihasilkan pada proses fotosintesis sehingga pembagian
13
fotosintat ke organ lain menjadi untuk menghasilkan biji atau umbi berkurang. Luas daun yang tinggi akan disamping jumlah yang cukup untuk menguntungkan jika hasil yang pertumbuhan dan pemeliharaan diinginkan adalah biomassa, tetapi bagi respirasi. Luas daun yang lebih tinggi tanaman yang dihasilkan berupa biji atau juga diperlukan jika tujuannya adalah umbi, hal itu tidak menguntungkan biomassa total, bukan hasil panen karena tidak tersedianya fotosintat yang ekonomis, misalnya untuk tanaman berlebihan untuk menghasilkan biji dan budidaya hijauan. umbi. C. Berat Tongkol Tanpa Kelobot Sejalan dengan yang dikemukan Sisik ragam berat tongkol tanpa oleh Syarif (2004), dalam hal itu tidak kelobot berpengaruh nyata (lampiran dibutuhkan atau tidak diharapkan 6c). Hasil uji lanjut disajikan pada tabel adanya hasil asimilasi yang berlebihan Tabel 5. Tabel 4. Berat tongkol tanpa kelobot tanaman jagung pada pola tanam tumpangsari dengan kedelai. Pola Tanam MJ TS1 TS2
Berat Tongkol Tanpa Kelobot (Kg) 0.44 a 0.38 b 0.34 b
KK = 7.81 Angka-angka pada lajur berat tongkol tanpa kelobot diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT taraf 5 %. Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa pola tanam monokultur tanaman jagung memperlihatkan nilai berat tongkol tanpa kelobot lebih tinggi daripada pola tanam tumpang sari jagung dengan kedelai, baik dalam rentang waktu tanam yang sama ataupun dalam rentang waktu tanam kedelai 2 minggu setelah tanam jagung, hal ini menunjukkan bahwa persaingan antara tanaman jagung dan kedelai lebih berpengaruh jika dibandingkan dengan persaingan antara tanaman jagung. Peningkatan berat tongkol berhubungan erat dengan besar fotosintat yang dialirkan ke bagian tongkol, apabila transport fotosintat kebagian tongkol tinggi maka semakin besar tongkol yang dihasilkan. Dalam hal ini yang berperan menentukan hasil tanaman adalah hasil fotosintat yang terdapat pada daun. Batang yang di transfer saat pengisian biji ( Falah, 2009). Berat tongkol tanpa kelobot dihitung berdasarkan berat bersih masing-masing tongkol tanaman jagung sebelum pemisahan tongkol dengan biji tanaman.
Tumpangsari sangat berkaitan erat dengan persaingan antara tanaman yang satu dengan tanaman yang lainnya, naman semakin padat jumlah tanaman yang ada maka persaingan yang terjadi juga semakin ketat (Syarif, 2004), hal ini sejalan dengan data yang terdapat pada tabel 2 dan 3 dimana semakin rapat tanaman maka hasil yang didapatkan semakin rendah. Bahwa jarak tanam ada hubungan dengan waktu tanam, semakin rapat jarak tanam dengan waktu tanam jagung lebih dulu maka berat tongkol yang dihasilkan rendah. Diduga ada hubungan dengan laju asimilasi bersih jagung, bila hasil laju asimilasi bersihnya kecil akhirnya juga mempengaruhi rendahnya berat tongkol dengan klobot, jarak tanam melampaui batas optimum maka kompetisi tinggi terhadap unsur hara, air dan cahaya sehingga fotosintat yang dihasilkan rendah akhirnya berat tongkol dengan klobot juga rendah (Whardana, 2010). D. Berat 100 Biji Tanaman Kedelai Sidik ragam berat 100 biji tanaman kedelai berpengaruh nyata
14
(Lampiran 6g). Hasil uji lanjut tersaji organik yangterdapat pada biji.Hasil pada Tabel 5. analisis ragam terhadap nilai berat 100 Tabel 5 memperlihatkan bahwa biji tanaman kedelai menunjukkan berat 100 biji tanaman kedelai yang bahwa perlakuan pola tanam tertinggi diperoleh dari pola tanam tumpangsari mempengaruhi berat 100 kedelai secara monokultur (8.74 g), biji tanaman kedelai baik pada perlakuan sedangkan pada pola tumpangsari pola tanaman tumpangsari tanaman menunjukkan nilai berat 100 biji kedelai kedelai yang ditanam secara bersamaan yang lebih rendah, terutama pada pola ataupun pada pola tumpangsari tanaman tumpangsari dengan waktu tanama kedelai yang ditanam pada waktu berbeda 2 minggu. Berat 100 biji tanaman jagung berumur 2 MST. merupakan indikator penumpukan bahan Tabel 5. Berat 100 biji tanaman kedelai pada pola tanam tumpangsari dengan jagung. Pola Tanam MK TS1 TS2
Berat 100 Biji (g) 8.74 a 8.00 b 7.23 c
KK = 5.18 Angka-angka pada lajur berat 100 biji diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut DMRT taraf 5 %. Jika dibandingkan dengan deskripsi tanaman kedelai, berat 100 biji varietas anjasmoro dapat mencapai 12 gram, sedangkan hasil yang didapatkan pada pola monokultur hanya mencapai 8.4 gram lebih rendah dari deskripsi tanaman, hal ini diduga karena ketersedian hara yang belum mencukupi untuk kebutuhan tanaman kedelai, tanaman kedelai merupakan tanaman bersimbiosis dengan bakteri rizobium dalam memenuhi kebutuhan hara, berkemungkinan bakteri yang terdapat didalam tanah tersedia dalam jumlah sedikit sehingga ketersediaan hara bagi kedelai juga sedikit dan mengurangi pertumbuhan tinggi tanaman kedelai yang ditanam secara monokultur. Tingginya nilai berat 100 biji tanaman kedelai yang ditanam secara monokultur dibandingkan dengan tanaman kedelai dengan pola tumpangsari disebakan karena persaingan antara tanaman kedelai dalam mendapatkan faktor-faktor tumbuh seperti hara, cahaya ataupun ruang tumbuh tidak telalu tinggi, sedangkan pada pola tanam tumpangsari dengan luas lahan yang relatif sama terjadi persaingan yang signifikan akibat
padatnya populasi tanaman yang ada pada lahan tersebut. Ketika dua atau lebih jenis tanaman tumbuh bersamaan akan terjadi interaksi, masing-masing tanaman harus memiliki ruang yang cukup untuk memaksimumkan kerjasama dan meminimumkan kompetisi. Oleh karena itu, dalam tumpangsari perlu dipertimbangkan berbagai hal yaitu (1) pengaturan jarak tanam, (2) populasi tanaman, (3) umur panen tiap-tiap tanaman, (4) arsitektur tanaman (Suwarto et al., 2005) . Waktu tanam mempengaruhi jumlah hasil pada suatu tanaman, Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pola tumpangsari adalah waktu tanam, karena waktu tanam berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat dan dominan menguasai ruang maka akan lebih mampu berkompetisi dalam memperebutkan air, unsur hara dan cahaya dibandingkan dengan pertumbuhan vegetatifnya yang lambat, akhirnya akan mempengaruhi produksi ( Gomez dan Gomez, 2007).
15
E. Berat Pipilan Tanaman Jagung dan Hasil Tanaman Kedelai per Plot dan per Hektar
Berat pipilan tanaman jagung per plot ataupun per hektar menunjukkan nilai yang terbaik pada perlakuan pola tanam tanaman jagung secara monokoltur, berbeda dengan hasil pipilan pada perlakuan pola tanam secara tumpang sari, hasil yang didapatkan justru lebih rendah, perbedaan hasil ini berkaitan dengan permasalahan persaingan tanaman dalam pemenuhan kebutuhan tanaman untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
Berat pipilan jagung berhubungan dengan hasil panen bersih biji tanaman jagung, berat pipilan tanaman jagung per plot ataupun per hektar dipengaruhi oleh perlakuan pola tanam tumpang sari tanaman jagung dengan kedelai (lampiran 6d dan 6e), data berat pipilan per plot dan per hektar tersaji pada Tabel 7. Tabel 6. Hasil pipilan jagung dan kedelai pada pola tanam tumpangsari. Hasil jagung Hasil kedelai Pola Tanam Kg/plot t/ha Kg/plot t/ha MK 4.26 a 11.23 0.35 a 0.93 TS1 3.69 b 9.70 0.10 b 0.27 TS2 3.30 b 8.69 0.09 b 0.23 KK = 8.32 KK = 8.32 Angka-angka pada lajur hasil per plot diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut DMRT taraf 5 %. Sesuai dengan deskripsi tanaman potensi pipilan kering yang dihasilkan mencapi 10 ton/ha, namun hasil pipilan kering yang didapatkan melebihi deskripsi yang ada yaitu mencapai 11.23 ton/ha, hal ini disebakan karena kondisi tanah yang cukup hara dan lingkungan yang sesuai bagi tanaman jagung sehingga hara tersebut dapat diserap dengan sempurna tanpa adanya gangguan komptetisi dari tanaman yang lain. Sebaliknya pada tanaman jagung yang ditumpangsarikan dengan tanaman kedelai mennjukkan hasil yang sedikit lebih rendah dari deskripsi tanaman, hal ini dipengaruhi oleh kompetisi tanaman. Pada tanaman kedelai, hasil tanaman kedelai pada pola tanam monokultur lebih rendah dari deskripsi tanaman seharusnya yaitu 0.93 ton/ha. Potensi hasil seharusnya dapat mencapai 1.68 ton/ha, rendahnya hasil tanaman ini diduga karena serapan hara yang kurang maksimal pada tanaman kedelai hal ini seiring dengan pengamatan tinggi
tanaman yang juga belum sesuai dengan deskripsi seharusnya. Menurut analisis ragam (lampiran 6g dan 6h) dapat disimpulkan bahwa, hasil tanaman kedelai per plot dan per hektar ditentukan oleh perlakuan pola tanam tumpang sari tanaman jagung dengan kedelai, data hasil tanaman kedelai per plot dan per hektar disajikan pada tabel 9 dan 10. Hasil tanaman kedelai per plot atau per hektar tertinggi diperoleh dari perlakuan pola tanam tanaman kedelai secara tumpang sari, sedangkan hasil terendah diperoleh dari perlakuan pola tanam tumpang sari jagung dengan kedelai yang ditanam pada waktu yang berbeda selama 2 minggu, sejalan degan hasil 100 biji tanan kedelai, nilai yang tertinggi diperoleh dari pola tanam kedelai secara monokultur. Bila dilihat dari Tabel 1. Tinggi tanaman tertinggi kedelai tertinggi diperoleh dari pola tanam tumpang sari jagung dengan kedelai yang ditanam pada waktu yang berbeda selama 2 minggu.
16
Kompetisi terjadi apabila tanaman mencapai tingkat pertumbuhan tertentu dan akan semakin keras dengan pertambahan ukuran tanaman dengan umur. Kemampuan suatu tanaman dipengaruhi oleh kemampuan suatu organ yang melakukan kompetisi. Daun dan akar merupakan bagian yang berperan aktif dalam kompetisi. Daun yang memiliki luas permukaan lebar, daun yang banyak, lebar, dan tersebar di seluruh tubuh tanaman akan meningkatkan kompetisi, akibatnya kompetisi tanaman pun tinggi sehingga dapat menurunkan hasil tanaman (Indayani et al. ,2000). Jumlah pertanaman per satuan luas merupakan faktor penting untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Pengaruh jarak tanaman yang lebar dapat menaikakan hasil tiap tanaman. Sebaliknya jarak yang sempit mengakbatkan persaingan pemanfaatan cahaya, air, unsur hara dan faktor tumbuh lainnya diantara tanaman yang tumbuh berdekatan Sarjiyah (2002). Syarif(2004) menyatakan bahwa dalam menyusun sistem tumpangsari perlu memperhatikan kepekaan tanaman terhadap persaingan selama daur hidupnya. Banyak tanaman pada periode tertentu jelas sangat sensitif dan cekaman pada periode tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan hasil. Agar persaingan antara jenis tanaman sekecil mungkin, maka perlu diatur agar permintaan sumber daya pertumbuhan tertinggi untuk masing-masing jenis tanaman tidak terjadi pada waktu yang bersamaan. Hasil tanaman berkaitan dengan efektifitas serapan hara tanaman serta kegiatan fotosintesis tanaman, apabila salah satu hal diatas terganggu baik akibat persaingan ataupun kekurangan hara maka sangat memungkinkan terjadinya penurunan hasil tanaman tersebut (Supriyatman, 2001) Tanaman kedelai yang ternaungi mengakibatkan berat biji hasil tanaman tersebut menjadi sedikit karena kurangnya fotosintat yang dihasilkan oleh tanaman terganggunya aktifitas
fotosintesis terjadi akibat kekurangan radiasi cahaya matahari yang tertutupi oleh tanaman yang lebih tinggi seperti contohnya tanaman jagung. Walaupun tanaman kedelai dapat meghasilkan hara nitrogen bagi dirinya sendri namun akan sangat sulit digunakan pada kondis ternaungi. Hal ini sesuai dengan pendapat Marta (2013), status N tanaman berpengaruh besar terhadap laju perluasan daun. N mengendalikan perkembangan kanopi sehingga kekurangan suplai N akan menurunkan pertumbuhan tanaman dan menghambat laju fotosintesis. Sebagianbesar pengaruh N terhadap fotosintesis adalah melalui peningkatan intersepsi radiasi matahari, sedangkan laju fotosintesis persatuan luas daun menjadi berkurang dengan berkurangnya kandungan N dalam tanaman. Kandungan N dalam daun berkorelasi positif dengan keberadaan cahaya. F. Nisbah Kesetaraan Lahan Nisbah kesetaraan lahan (NKL) adalah jumlah nisbah hasil antara tanaman yang ditumpangsarikan terhadap hasil tanaman yang ditanam secara tunggal pada tingkat managemen yang sama. NKL merupakan salah satu cara menghitung produktivitas lahan yang ditanam dua atau lebih jenis tanaman yang ditumpangsarikan. Data NKL disajikan pada Tabel 7.
17
Tabel 7. NKL pada pola tanam tumpangsari tanaman jagung dengan kedelai. Pola Tanam
Hasil jagung t/ha
Hasil kedelai t/ha
0.93
Xi Yi 1.00
MJ TS1
0.27
TS2 MK
NKL
-
Xj Yj -
0.29
9.70
0.86
1.15
0.23
0.24
8.69
0.77
1.01
-
-
11.23
1.00
1.009
1.00
Dari Tabel 7 dapat dijelaskan pemilihan tanaman yang tepat dengan bahwa hasil pada pola tanam tumpang habitus dan sistem perakaran yang sari jagung dengan kedelai setelah berbeda diharapkan dapat mengurangi dibandingkan dengan hasil tanaman kompetisi dalam penggunaan faktor tumbuh. jagung yang ditanam secara monokultur mempunyai NKL sebesar 1.15. Pada V. KESIMPULAN DAN SARAN pola tumpang sari kedelai dengan jagung 1. Kesimpulan setelah dibandingkan dengan hasil Berdasarkan hasil penelitian tanaman kedelai maka didapatkan hasil disimpulkan bahwa pertumbuhan dan NKL sebesar 1.02. Kedua sistem hasil tanaman jagung dan kedelai dalam tumpang sari ini sama-sama sistem tumpangsari terbaik pada pola menguntungkan tapi akan lebih tanam Tumpangsari Jagung/Kedekai menguntungkan jika kedua tanaman ini dengan waktu tanam bersamaan dengan ditanam dalam waktu yang bersamaan. NKL 1,15. NKL menunjukkan nilai Multiple cropping merupakan besar dari pada 1 yang berarti sistem system budidaya tanaman yang dapat tumpangsari lebih menguntungkan dari meningkatkan produksi lahan. pada sistem monokultur. Peningkatan ini dapat diukur dengan 2. Saran besaran yaitu NKL (Nisbah Kesetaraan Berdasarkan kesimpulan Lahan) atau LER (Land Equivalent disarankan untuk menggunakan sistem Ratio). Sebagai contoh nilai NKL atau budidaya secara tumpangsari tanaman LER = 1,8; artinya bahwa untuk jagung dengan kedelai dengan waktu mendapatkan hasil atau produksi yang tanam bersamaan untuk meningkatkan sama dengan 1 hektar diperlukan 1,8 untuk meningkatkan produktifitas per hektar pertanaman secara monokultur satu lahan. (Gomez dan Gomez, 2007) Pemilihan jenis tanaman akan DAFTAR PUSTAKA menentukan peningkatan nilai NKL pola tanam secara tumpangsari. Dikatakan oleh Sarman (2001) bahwa kombinasi Adisarwanto. 2005. Budidaya yang memberikan hasil baik pada Kedelai dengan Pemupukan tumpangsari adalah jenis-jenis tanaman yang Efektif dan yang mempunyai kanopi daun yang Pengoptimalan Peran Bintil berbeda, yaitu jenis tanaman yang lebih Akar. Penebar Swadaya . rendah yang akan menggunakan sinar Jakarta. matahari lebih efisien. Selanjutnya Marta (2013) menuliskan bahwa ---------------. 2008. Budidaya Kedelai pemilihan jenis tanaman yang dengan Pemupukan yang ditumpangsarikan akan dapat Efektif dan Pengoptimalan meningkatkan produksi karena dengan
18
Peran Bintil Akar. Edisi ke Dua. Penebar Swadaya . Jakarta. Ahira, A. 2011. Hasil Melimpah dengan Penerapan Intensifikasi Pertanian. (http: // www. Annaeahira. Com/ Intensifikasi – pertanian htm ). Andrianto, T.T. dan N. Indarto, 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani Kedelai, Kacang Hijau, Kacang Panjang, Absolut, Yogyakarta. Anonim, 2012. Data Strategis BPS, Badan Pusat Statistik. 102 Hal. Anonim. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung, Departemen Pertanian, 33 Halaman. Anonim. 2009. Tumpangsari Tanaman Jagung manis (Sweet corn). BPTP. Maros hal 6. Asadi, D. M. Arsyad. H. Zahara dan Darmijati, 2007. Pemuliaan Kedelai Untuk Toleran Naungan dan Tumpang sari. Buletin Agrobio 1 (2) : 15 – 20. Barus , W . Afriani. 2004. Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai yang ditumpangsarikan dengan jagung Terhadap Pengaturan Saat Tanam dan Jarak Tanam. Jurnal: Agronomi , Fakultas pertanian, Universitas Amir Hamzah. Medan. Dartius. 1986. Fisiologi Tanaman. Fakultas Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Dwidjoseputro, D. 2004, Pengantar Fisiologi Tumbuhan. edisi IV. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Efendi, S. 2008. Cropping System Sutu Cara Untuk Stabilitas Produksi Pertanian. Penataran PPS Bidang Agronomi dalam Pola Bertanam. Lembaga penelitian Bogor. Fachruddin L. 2000. Budidaya Kacang Kacangan. Kanisius. Yogyakarta.hal 6. Falah, R. N. 2009. Budidaya Jagung Manis. Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. Frina. M. S. Ratna. A. W. Farida. Z 2000. Pengaruh Populasi terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Yang Ditumpangsarikan dengan Jagung. Universitas Sri Wijaya Sumatera Selatan. Gomez, A.A. dan K. A. Gomez. 2007. Multiple Cropping in the Humid Tropic of Asia. Terjemahan. Andalas Press. Padang Indayani, Neny, Nasrullah, dan D. Priyanto. 2000. Kegiatan Biometrika Daya Saing antara Varietas Kedelai pada Pertananaman Campuran dan Baris Berseling. Agrosains 13 (2) : 183-184. Indrati. T. R. 2009. Pengaruh Pupuk Organik dan Populasi Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tumpang Sari Kedelai dan Jagung. Tesis Surakarta: Agronomi Program Pasca sarjana Universitas sebelas Maret Lakitan, B. 2004. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Margarettha. 2002. Molybdenum
Pengaruh terhadap
19
Nodulasi dan Hasil Kedelai yang Diinokulasi Rhizobium pada Tanah Ultisol. Jurnal Mapeta. X (22) : 4-7. Marta, Andrik. 2013. Produktifitas Tumpangsari Kentang (Solanum tuberosum) /caisim (Brassica juncea L) dengan Beberapa Dosis Pupuk Organik Cair (POC) dan Pupuk Za. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang
Rochani, S. 2007. Bercocok Tanam Jagung. Azka Press. 59 hal. Sarjiyah., 2002. Parameter Seleksi Kacang Tanah Pada Cara Tanam Tunggal dan Tumpang Sari dengan Jagung. Penelitian Pertanian Pangan XVII (1) : 69 – 73. Sarman, S. 2001. Kajian Tentang Kompetisi Tanaman dalam Sistem Tumpangsari di Lahan Kering. Jurnal Agronomi 5.
Meifrina. Widiwurjani, W. H. Nugroho, B. Guritno. 2000, Kompetisi Tanaman Bawang Daun (Allium fistulosum) dan Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt) Pada Sistim Tumpangsari Akibat Pengaturan Penanaman. Fakultas Pertanian, Unibraw
Siregar, G.S. 2009. Analisis Respon Penawaran Komoditas Jagung dalam Rangka Mencapai Swasembada Jagung di Indonesia. Skripsi S-1 Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. 130 Hal.
Muhadjir, F. 1988. Budidaya Tanaman Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 423 hal.
Subekti. N. A, Syafruddin, Roy Efendi, dan Sri Sunarti.2010. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros 28 halaman.
Nuning Argo Subekti, Syafruddin, Roy Efendi, dan S. Sunarti. 2012. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung, Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Paliwal. R.L. 2000. Tropical Maize Morphology. In: Tropical Maize:Improvement and Production. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. p 13-20. Pitojo, S. 2003. Benih Kedelai. Kanasius . Yogyakarta. hal 1246. Purwono dan Purnawati 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadya. Jakarta.
Subhan. 1989. Pengaruh Jarak Tanam dan Pemupukan Fospat terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Jogo (Phasealus Vulgaris. L). Bull. Penel. Horti.VIII.2. Lembang. 12 hal. Sudarno, H., Rusin, Marjono dan Supri. 2002. Pengaruh Sumber Nitrogen, Dosis, dan Waktu Pemberian Terhadap Produksi dan Mutu Benih Jarak. Didalam Proseding Seminar Pengembangan Wilayah dalam Rangka Otonomi Daerah. 16 oktober 2002, Malang.Supriyatman, B. 2011. Introduksi Teknologi Tumpang Sari Jagung dan Kacang Tanah.
20
Suprapto. 2002. Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. Supriyatman, B. 2011. Introduksi Teknologi Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah. Karya Ilmiah Sutoro, Y., Soelaeman dan Iskandar, 1988. Budidaya Tanaman Jagung. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan . Bogor. Suwarto, S. Yahya, Handoko, M. A. Chozhin. 2005. Kompetisi Tanaman Jagung dan Ubi Kayu dalam System Tumpang Sari. USU. Medan Syafruddin. 2002. Tolak Ukur dan Konsentrasi Al untuk Penapisan Tanaman Jagung terhadap Ketenggangan Al. Berita Puslitbangtan. 24 : 3-4. Syarif. Z. 2004. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kentang dengan dan Tanpa Diikatkan dengan Turus dalam Sistem Tumpangsari Kentang/Jagung dengan Berbagai Waktu Tanam
Jagung di Dua Lokasi Dataran Medium Berbeda Elevasi. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Padjadjaran, Bandung. Waluya, A.2009. Gulma pada Tanaman Jagung di Kebun Percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor. Penguasaan Sarana Tumbuh. Departemen Agronomi dan Hortikultura.Institut Pertanian Bogor. Warsana. 2009. Introduksi Teknologi Tumpang Sari Jagung dan Kacang tanah. BPTP Jawa Tengah. Whardana, W. 2010. Pengaruh Waktu Tanam terhadap Pertumbuhan dan Produksi Pada Sistem Tanam Tumpangsari Ubi Jalar dan Jagung Manis. Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor
21